Anda di halaman 1dari 6

BAB II

REMAJA DAN BULLYING

A. Fenomena Bullying di Dunia.


Sejak tahun 1970-an, bullying telah dikenal sebagai penyakit sosial di beberapa Negara. Hal ini
merupakan sebagian dampak dari beberapa penelitian yang secara sistematis telah dilakukan tahun
1970-an, dimulai dengan penelitian Olwcus di Scandinavia (1978,1993), dan berlanjut di Eropa,
Amerika, Australia, Jepang.
Berbeda dengan negara lain seperti Norwegia, Finlandia, dan Denmark yang menyebut bullying
dengan istilah mobbing atau mobbning. Istilah aslinya berasal dari bahasa Inggris, yaitu mob yang
menekankan bahwa biasanya mob adalah kelompok orang yang anonim dan berjumlah banyak serta
terlibat kekerasan (Wiyani, 2012).
Di Jepang, kekerasan ini dikenal dengan dime, menyeruak pada tahun 1984 ditandai dengan 16
peristiwa bunuh diri yang terkait dengan bullying. Di Amerika Serikat, meskipun bullying sangat
popular, namun tidak mendapatkan perhatian sebesar di Jepang, karena terkacaukan dengan beragam
bentuk kekerasan lain di sekolah yang juga marak terjadi.
Bullying merupakan permasalahan yang sudah mendunia, tidak hanya di Indonesia saja, tetapi
juga di Negara-negara maju seperti di Amerika serikat, Jepang, dan Eropa. Menurut data KPAI pada
tahun 2018, kasus bullying dan kekerasan fisik masih menjadi kasus yang mendominasi pada bidang
pendidikan. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada 2018 menunjukkan rata-rata terjadi 12
kasus bullying setiap hari. Dalam setahun, kasus Bullying di Indonesia mencapai 4.300 kasus. Kasus
yang tercatat bukan hanya kasus siswa yang tercatat mem-bully siswa lain, tapi juga termasuk kasus
siswa yang melakukan bully terhadap guru di sekolah atau sebaliknya.
B. Pengertian Bullying.
Pengertian Bullying Kata bullying berasal dari Bahasa Inggris, yaitu dari kata bull yang berarti
banteng yang senang merunduk kesana kemari. Dalam Bahasa Indonesia, secara etimologi kata bully
berarti penggertak, orang yang mengganggu orang lemah.
Sedangkan secara terminology, definisi bullying menurut Ken Rigby dalam Astuti (2008 ; 3,
dalam Ariesto, 2009) adalah “sebuah hasrat untuk menyakiti. Hasrat ini diperlihatkan ke dalam aksi,
menyebabkan seseorang menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh seseorang atau
sekelompok yang lebih kuat, tidak bertanggung jawab, biasanya berulang, dan dilakukan dengan
perasaan senang”.
Dan Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (2005) mendefinisikan school bullying sebagai perilaku
agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang/sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan,
terhadap siswa/siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut.
C. Peran dalam Bullying.
Menurut Djwita terjadinya bullying di sekolah merupakan suatu proses dinamika kelompok,
dinama ada pembagian-pembagian peran. Peran-peran tersebut adalah : bully, asisten bully,
bystanders (reinvorcer, devender, dan outsider) dan victim.
1. Bully atau perundung, yaitu siswa yang dikategorikan sebagai pemimpin, yang berinisiatif dan
aktif terlibat dalam perilaku bullying. Remaja yang diidentifikasi sebagai pelaku bullying sering
memperlihatkan fungsi psikososial yang lebih buruk daripada korban bullying dan murid yang
tidak terlibat dalam perilaku bullying (Haynie, dkk., dalam Totura, 2003). Pelaku bullying juga
cenderung memperlihatkan simptom depresi yang lebih tinggi daripada murid yang tidak terlibat
dalam perilaku bullying dan simptom depresi yang lebih rendah daripada victim atau korban
(Haynie, dkk., dalam Totura, 2003).
2. Assisten bully adalah orang yang terlibat aktif dalam perilaku bullying, namun ia cenderung
tergantung atau mengikuti perintah bully / perundung.
3. Bystanders terdiri dari 3 tipe, reinforces, outsider, atau defender. Peran bystanders sebetulnya
berkontribusi menentukan apakah bullying akan berlanjut atau tidak. Kekuatan bystanders dapat
menghentikan bullying, namun parahnya bila mereka acuh tak acuh atau bahkan membantu dan
menguatkan aksi pelaku, bullying pun tak terbendung
a. Reinforces adalah mereka yang ada ketika kejadian bullying terjadi, ikut menyaksikan,
menertawakan korban, memprovokasi bully, mengajak siswa lain untuk menonton dan
sebagainya.
b. Outsider adalah orang-orang tahu bahwa hal itu terjadi, namun tidak melakukan apapun,
seolah-olah tidak peduli.
c. Defender adalah orang yang orang – orang yang berusaha membantu dan membela korban
tetapi sering akhirnya mereka menjadi korban juga.
4. Victim (korban bullying) yaitu murid yang sering menjadi target dari perilaku agresif, tindakan
yang menyakitkan dan hanya memperlihatkan sedikit pertahanan melawan penyerangnya
(Olweus, dalam Moutappa dkk, 2004).
D. Faktor Penyebab terjadinya Bullying.
1. Penyebab Bullying dari Sisi Korban.
Penyebab bully dapat datang dari faktor korban maupun pelaku. Jika melihat dari sisi korban,
berikut adalah beberapa faktor yang mungkin menyebabkan anak menjadi korban:
1) Penampilan fisik.
Penyebab bullying pertama yang paling umum adalah akibat dari penampilan fisik. Ketika
seorang anak memiliki penampilan fisik yang dianggap berbeda dengan anak lain pada
umumnya, para bully dapat menjadikannya bahan untuk mengintimidasi anak tersebut.
Penampilan fisik berbeda dapat meliputi kelebihan atau kekurangan berat badan,
menggunakan kaca mata, menggunakan behel, menggunakan pakaian yang dianggap tidak
keren seperti anak-anak lainnya.
2) Ras
Perbedaan ras juga sering kali menyebabkan seorang anak terkena bully. Hal ini umumnya
terjadi ketika seorang anak dengan ras berbeda memasuki satu lingkungan dan dianggap
sebagai minoritas. Beberapa survey dan penelitian juga telah menunjukkan
bahwa bullying akibat ras yang berbeda memang cukup sering terjadi.
3) Terlihat lemah
Penyebab bullying lainnya adalah ketika seorang anak dianggap lebih lemah dan terlihat
tidak suka melawan. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa bullying melibatkan
ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan juga korban. Pelaku tentunya merasa sebagai
pihak yang lebih kuat dan dapat mendominasi korban yang lebih lemah.
4) Terlihat tidak mudah bergaul
Selain karena lemah, terlihat tidak mudah bergaul dan memiliki sedikit teman juga menjadi
salah satu penyebab menjadi korban bullying. Individu yang terlihat tidak mudah bergaul dan
memiliki sedikit teman juga dapat terlihat lebih lemah dan membuat bully berpikir dapat
mendominasi mereka. Sekelompok bully juga berpotensi melakukan bully pada kelompok
yang dianggap lebih lemah dari kelompok mereka.
Meskipun karakteristik di atas dapat menjadi penyebab bullying, tapi tentu tidak semua anak
dengan karakteristik tersebut menjadi korban bully. Kondisi tersebut hanyalah merupakan
beberapa gambaran umum.
2. Penyebab Bullying dari Sisi Pelaku
1) Memiliki masalah pribadi
Salah satu pemicu seseorang menjadi bully adalah karena memiliki masalah pribadi yang
membuatnya tidak berdaya di hidupnya sendiri. Pada anak-anak, penyebab seperti
perkelahian berlebihan di rumah, perceraian orang tua, atau adanya anggota keluarga yang
menjadi pecandu narkoba dan alkohol dapat memicu hal ini. Bullying baik verbal ataupun
fisik yang dilakukan bertujuan untuk menunjukkan individu tersebut memiliki kekuatan.
Sehingga rasa tidak berdaya tersebut dapat ditutupi.
2) Pernah menjadi korban bullying
Beberapa kasus menunjukkan bahwa pelaku sebenarnya juga merupakan korban.
Contohnya seperti anak yang merasa di-bully oleh saudaranya di rumah, kemudian anak
tersebut membalas dengan cara mem-bully temannya di sekolah yang ia anggap lebih lemah
dari dirinya. Contoh lainnya adalah orang yang tertekan akibat bullying di kehidupan nyata
dan menggunakan internet serta dunia maya untuk menunjukkan bahwa dirinya juga
memiliki kekuatan dengan cara menyerang orang lain.
3) Rasa iri pada korban
Penyebab bullying selanjutnya adalah karena rasa iri pelaku pada korban. Rasa iri ini bisa
muncul akibat korban memiliki hal yang sebenarnya sama istimewanya dengan sang pelaku.
Pelaku mengintimidasi korban agar korban tidak akan lebih menonjol dari dirinya sendiri.
Selain tidak ingin orang lain menonjol, seseorang juga mungkin melakukan bully untuk
menutupi jati dirinya sendiri. Contohnya seperti anak pintar yang tidak ingin disebut ‘kutu
buku’, sehingga ia lebih dulu menyebut temannya yang pintar sebagai kutu buku.
4) Kurangnya pemahaman
Kurangnya pemahaman dan empati juga dapat menimbulkan perilaku bullying. Ketika
seorang anak melihat anak lain berbeda dalam hal seperti ras, agama, dan orientasi seksual,
karena kurangnya pemahaman, maka mereka beranggapan bahwa perbedaan tersebut adalah
hal yang salah. Mereka juga beranggapan bahwa menjadikan anak yang berbeda tersebut
sebagai sasaran adalah hal yang benar.
5) Mencari perhatian
Terkadang pelaku tidak menyadari bahwa yang dilakukannya termasuk ke dalam
penindasan, karena sebenarnya apa yang dilakukannya adalah mencari perhatian. Jenis yang
satu ini paling mudah untuk diatasi. Caranya adalah dengan memberikannya perhatian yang
positif sebelum pelaku mencari perhatian dalam dengan cara yang negatif.
6) Kesulitan mengendalikan emosi
Anak yang kesulitan untuk mengatur emosi dapat berpotensi menjadi pelaku. Ketika
seseorang merasa marah dan frustasi, perbuatan menyakiti dan mengintimidasi orang lain
bisa saja dilakukan. Jika sulit untuk mengendalikan emosi, maka masalah kecil saja dapat
membuat seseorang terprovokasi dan meluapkan emosinya secara berlebihan.
7) Berasal dari keluarga yang disfungsional
Tidak semua anak dari keluarga disfungsional akan menjadi pelaku bullying, namun hal ini
kerap terjadi. Sebagian besar pelaku adalah anak yang merasa kurang kasih sayang dan
keterbukaan dalam keluarganya. Mereka kemungkinan juga sering melihat orang tuanya
bersikap agresif terhadap orang-orang di sekitarnya.
8) Merasa bahwa bullying menguntungkan
Pelaku bully akan tanpa sengaja bisa terus melanjutkan aksinya karena merasa perbuatannya
menguntungkan. Hal ini bisa terjadi pada anak yang mendapatkan uang atau makanan
dengan cara meminta secara paksa pada temannya. Contoh lain adalah ketika pelaku merasa
popularitas dan perhatian dari setiap orang padanya naik berkat tindakannya tersebut.
9) Kurangnya empati
Penyebab selanjutnya adalah karena kurangnya rasa empati. Ketika melihat korban,
pelakunya tidak merasa empati pada apa yang dirasakan korban, sebagian mungkin justru
merasa senang ketika melihat orang lain rasa kesakitan. Semakin mendapatkan reaksi yang
diinginkan, semakin pelaku bully senang melakukan aksinya.
E. Jenis Bullying
Bullying juga terjadi dalam beberapa bentuk tindakan. Menurut Coloroso (2007), bullying dibagi
menjadi empat jenis, yaitu:
1. Bullying Fisik
Penindasan fisik merupakan jenis bullying yang paling tampak dan paling dapat diidentifikasi
diantara bentuk-bentuk penindasan lainnya, namun kejadian penindasan fisik terhitung kurang
dari sepertiga insiden penindasan yang dilaporkan oleh siswa. Jenis penindasan secara fisik di
antaranya adalah memukul, mencekik, menyikut, meninju, menendang, menggigit, memiting,
mencakar, serta meludahi anak yang ditindas hingga ke posisi yang menyakitkan, serta merusak
dan menghancurkan pakaian serta barangbarang milik anak yang tertindas. Semakin kuat dan
semakin dewasa sang penindas, semakin berbahaya jenis serangan ini, bahkan walaupun tidak
dimaksudkan untuk mencederai secara serius.
2. Bullying Verbal
Kekerasan verbal adalah bentuk penindasan yang paling umum digunakan, baik oleh anak
perempuan maupun anak laki-laki. Kekerasan verbal mudah dilakukan dan dapat dibisikkan
dihadapan orang dewasa serta teman sebaya, tanpa terdeteksi. Penindasan verbal dapat
diteriakkan di taman bermain bercampur dengan hingar binger yang terdengar oleh pengawas,
diabaikan karena hanya dianggap sebagai dialog yang bodoh dan tidak simpatik di antara teman
sebaya. Penindasan verbal dapat berupa julukan nama, celaan, fitnah, kritik kejam, penghinaan,
dan pernyataan-pernyataan bernuansa ajakan seksual atau pelecehan seksual. Selain itu,
penindasan verbal dapat berupa perampasan uang jajan atau barang-barang, telepon yang kasar,
e-mail yang mengintimidasi, surat-surat kaleng yang berisi ancaman kekerasan, tuduhantuduhan
yang tidak benar, kasak-kusuk yang keji, serta gosip.
3. Bullying Relasional
Jenis ini paling sulit dideteksi dari luar. Penindasan relasional adalah pelemahan harga diri si
korban penindasan secara sistematis melalui pengabaian, pengucilan, pengecualian, atau
penghindaran. Penghindaran, suatu tindakan penyingkiran, adalah alat penindasan yang terkuat.
Anak yang digunjingkan mungkin akan tidak mendengar gosip itu, namun tetap akan
mengalami efeknya. Penindasan relasional dapat digunakan untuk mengasingkan atau menolak
seorang teman atau secara sengaja ditujukan untuk merusak persahabatan. Perilaku ini dapat
mencakup sikap-sikap tersembunyi seperti pandangan yang agresif, lirikan mata, helaan napas,
bahu yang bergidik, cibiran, tawa mengejek, dan bahasa tubuh yang kasar.
4. Cyber bullying
Ini adalah bentuk bullying yang terbaru karena semakin berkembangnya teknologi, internet dan
media sosial. Pada intinya adalah korban terus menerus mendapatkan pesan negative dari pelaku
bullying baik dari sms, pesan di internet dan media sosial lainnya. Bentuknya berupa: (1).
Mengirim pesan yang menyakitkan atau menggunakan gambar (2). Meninggalkan pesan
voicemail yang kejam (3). Menelepon terus menerus tanpa henti namun tidak mengatakan apa-
apa (silent calls) (4). Membuat website yang memalukan bagi si korban (5). Si korban
dihindarkan atau dijauhi dari chat room dan lainnya (6). “Happy slapping” – yaitu video yang
berisi dimana si korban dipermalukan atau di-bully lalu disebarluaskan.

F. Dampak Bullying.
1. Dampak Bullying bagi Korban
Menurut Andri Priyatna (2010: 4) menyebutkan beberapa dampak buruk yang dapat terjadi pada
anak yang menjadi korban bullying, antara lain: (a) kecemasan; (b) merasa kesepian; (c) rendah
diri; (d) tingkat kompetensi sosial yang rendah; (e) depresi; (f) simpton psikosomatik, gejala sakit
karena takut misal : mendadak pusing, sakit perut, panas, dsb; (g) penarikan sosial; (h) kabur dari
rumah; (i) konsumsi alkohol dan obat obatan terlarang; (j) bunuh diri; (k) penurunan performansi
akademik atau di sekolah.
2. Dampak Bullying bagi Pelaku
Pelaku bullying umumnya memiliki gejala berikut dan dengan melakukan tindakan bullying
gejala-gejala tersebut justru dapat menjadi semakin parah/akut:
 Tidak memiliki kepekaan terhadap batasan dan norma.
 Susah membangun hubungan sosial yang berkualitas.
 Menunjukkan sikap agresif berlebihan
 Terlibat penyalahgunaan napza (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif)
 Terlibat aktivitas seksual di bawah umur
 Melakukan kekerasan pada orang-orang terdekat mereka
3. Dampak Bullying bagi Saksi
Tindak bullying juga memengaruhi mereka yang menyaksikan peristiwa tersebut. Pengaruh
tersebut dapat berbentuk sangat ringan hingga sangat berat seperti:
 Jika saksi membantu korban, mereka mungkin merasa takut bisa menjadi sasaran berikutnya
 Jika saksi pasif, mereka mungkin mengalami tekanan sosio-psikologis untuk turut aktif
bersama pelaku melakukan tindak bullying
 Bagi saksi pasif, sangat mungkin untuk mengalami perasaan bersalah pasca kejadian karena
mereka gagal membantu korban
 Berbagai ketakutan dan tekanan sosio-psikologis ini dapat dialami secara berlanjut dan
meningkat menjadi kegelisahan (anxiety)
 Melakukan tindakan pelampiasan seperti merokok dan menggunakan napza
 Bisa jadi merasa enggan dan mulai tidak masuk sekolah, yang berujung kepada gagal lulus
(drop-out)
4. Dampak Bullying bagi Sekolah & Lingkungan
Ketika bullying terjadi dan bahkan terus berlanjut sementara sekolah gagal atau bahkan tidak
mengambil tindakan, seluruh iklim dan budaya sekolah dapat terpengaruh secara negatif. Hal ini
berdampak pada pembelajaran dan keterlibatan siswa, antusiasme dan rasa kepemilikan staf
terhadap sekolah, dan bahkan kepuasan dan kepercayaan orang tua di sekolah, yang dapat
mengarah pada:
 Lingkungan sekolah penuh ketakutan dan tidak ada iklim saling menghormati
 Kesulitan belajar kerap dialami siswa, karena
 Siswa merasa tidak aman
 Siswa tidak menyukai sekolah
 Siswa merasa bahwa guru dan staf memiliki sedikit kuasa dan kewenangan dan tidak peduli
kepada mereka
G. Penanganan untuk Bullying.
1. Penanganan untuk pelaku / pembully.
Apabila anak terindikasi sebagai seorang pengganggu atau pelaku  bullying, berikut saran
para ahli:
 Bicaralah dengan bully dan cobalah cari tahu mengapa mereka merasa perlu berperilaku
seperti itu. Cari tahu apa yang mengganggu mereka atau apa yang memicu tingkah laku
tersebut
 Pastikan remaja bully mengerti bahwa perilaku merekalah yang tidak disukai, bukan mereka.
 Yakinkan bully bahwa Anda bersedia membantu mereka dan Anda akan bekerja dengan
mereka untuk menemukan cara untuk mengubah perilaku mereka yang tidak dapat diterima
 Bantu bully untuk menebus kesalahan pada korbannya. Jelaskan bagaimana cara meminta
maaf karena telah membuat orang lain menderita dan bantu bully untuk menjelaskan alasan
perbuatannya.
 Berikan bully banyak pujian serta dukungan dan pastikan Anda mengatakan pada bully
ketika mereka berperilaku baik dan berhasil mengatur emosi dan perasaannya.
 Bersiap untuk mengkonfrontasi bully ketika mereka mulai membuat alasan atas
perbuatannya seperti ‘itu cuma bercanda’ atau ‘dia yang salah’. Jelaskan bahwa lelucon tidak
menyebabkan kesulitan dan ancaman.
 Luangkan lebih banyak waktu untuk anak dan melakukan kegiatan yang berkualitas
bersama-sama agar anak merasa dihargai dan disayangi.
 Ajarkan akan untuk mengekspresikan kemarahan dengan cara yang dapat diterima
secara sosial. Misalnya, memberikan label nama pada emosi atau perasaannya, lalu
berbicara secara terbuka dengan orangtua atau guru untuk mengatasi masalah tersebut.
 Ciptakan peluang bagi anak untuk menjadi pemimpin yang positif. Misalnya, menjadi
ketua OSIS, ketua tim olahraga, ketua kelompok pramuka, ketua kelas, dan
sebagainya.
Anak pelaku bullying tidak seharusnya dijauhi atau dimarahi. Namun justru harus dibantu
dan dirangkul, agar ia bisa memperbaiki perilakunya.
2. Penanganan untuk korban bully.
a. Belajar untuk menyembunyikan kemarahan atau kesedihan. Bila korban tampak bereaksi si
bullying akan senang.
b. Belajar berani memandang mata si bullying
c. Belajar berdiri tegak, kepala ditegakkan dalam menghadapi bullying
d. Tidak berjalan sendirian
e. Tetap tenang dalam situasi apapun
f. Bila dalam bahaya segera menyingkir.
g. Hindari kondisi dimana ada peluang kita dibully
h. Bicarakan dengan orang yg kita percayai. Berani bicara, maka kita akan mampu
menghentikan perilaku bullying.
Lebih lanjut lagi, Psikolog anak Jane Cindy Linardi mengatakan peristiwa bullying pada anak
sebaiknya ditangani oleh ahlinya agar tidak menjadi beban seiring dengan pertumbuhan anak. Jadi,
bila anak terindikasi sebagai pembully atau korban bullying maka lakukan konseling dan terapi ke
psikolog. Seperti diketahui, pengalaman mem-bully atau di-bully bisa jadi membekas hingga
dewasa dan dapat menimbulkan perilaku yang buruk.

Anda mungkin juga menyukai