Maslahah Mursalah
Maslahah Mursalah
Bahrul Hamdi
Fakultas Syari’ah IAIN Bukittinggi, bahrulhamdi@gmail.com
Abstract
Philosophically, the Islamic legal thought that has been and is currently developing reveals a second trend of
thought. Among some Islamic law thinkers, there are Hasbull-Siddieqiey, Munawir Sadzali, Sahal
Mahfudz, Ali Yafi, Masdar F Mas'udi, Al Ghozali, Asy-Syathibi and Najmuddin ath-Thufi. In the
historical record, the existence of maslahah as an approach or method of law istinbath has formed its own
polarization, which simplistically leads to hierarchical history of formulation of distinct and distinct concepts
related to the role of reason in it. The pattern of maslahah Najmuddin ath-Thufi is different from al-Ghazali
and Asy-Syatibi. The difference of the maslahah style of Islamic legal thinkers is strongly influenced by the
rational capacity, the socio-cultural conditions, the dimensions of space and time that surround it. This paper
focuses the discussion on three thoughts about Mashlahah by al-Thufi, al-Syathibiy, and al-Gazaliy with an
analytical descriptive method using a comparative study approach.
Keywords: Mashlahat, al-Ghazaliy, al-Syathibiy, al-Thufiy
Abstrak
Secara filosofis, pemikiran hukum Islam yang pernah dan sedang berkembang saat ini
menampakkan kecenderungan pola pemikiran yang kedua. Diantara beberapa tokoh pemikir
hukum Islam penganut teori adabtabilitas antara lain Hasby Ash-Shiddieqiey, Munawir
Sadzali, Sahal Mahfudz, Ali Yafi, Masdar F Mas’udi, Al Ghozali, Asy-Syathibi dan
Najmuddin ath-Thufi. Dalam catatan sejarah, eksistensi maslahah sebagai pendekatan atau
metode istinbath hukum telah membentuk polarisasi tersendiri, yang secara simplistik
mengarah pada histories hirarki perumusan konsep yang khas dan berbeda, terkait peran akal
di dalamnya. Corak maslahah Najmuddin ath-Thufi berbeda dengan al-Ghazali dan Asy-
Syatibi. Perbedaan corak maslahah para pemikir hukum Islam sangat dipengaruhi oleh
kapasitas rasional, kondisi sosio-kultural, dimensi ruang dan waktu yang melingkupinya.
Tulisan ini memfokuskan pembahasan kepada tiga pemikiran tentang Mashlahah oleh al-
Thufi, al-Syathibiy, dan al-Gazaliy dengan metode desktiptif analitis menggunakan
pendekatan studi komparatif.
Keyword: Mashlahat, al-Ghazaliy, al-Syathibiy, al-Thufiy
sia, sesuatu yang mustahil apa pada zat Tuhan. Dalam catatan sejarah, eksistensi
Dia memberikan akal pikiran kepada manusia maslahah sebagai pendekatan atau metode
supaya bisa menangkap rahasia alam dan gejala istinbath hukum telah membentuk polarisasi
sosial. Dengan akal pikiran, manusia dapat tersendiri, yang secara simplistik mengarah
memahami perputaran hukum. pada histories hirarki perumusan konsep yang
Konsekwensinya, hukum Islam terikat khas dan berbeda, terkait peran akal di
dengan dan harus dipahami menurut latar dalamnya. Corak maslahah Najmuddin ath-
belakang sosio kultural yang mengelilinginya. Thufi berbeda dengan al-Ghazali dan Asy-
Pola pemikiran pertama dikenal dengan teori Syatibi. Perbedaan corak maslahah para
keabadian ( untuk tidak menyebut tradisional) pemikir hukum Islam sangat dipengaruhi
atau biasa disebut dengan Normativitas hukum oleh kapasitas rasional, kondisi sosio-
Islam, berasumsi dan meyakini bahwa hukum kultural, dimensi ruang dan waktu yang
Islam sebagai hukum yang telah ditetapkan melingkupinya. Menarik sekali apa yang
oleh Tuhan, tidak mungkin bisa berubah dan dikatakan Louay Safi bahwa setiap
dirubah sehingga tidak bisa beradaptasi dengan pengetahuan tidak bisa lepas dari pra anggapan
perkembangan zaman. Sementara pola yang tertentu ( ilmu tidak bebas nilai- Value Free
kedua dikenal dengan teori Adaptabilitas ); wahyu mengandung suatu “ rasionalitas “
Hukum Islam (untuk tidak mengatakan tertentu dan bahwa realitas wahyu dan
Modernis) justru berasumsi bahwa hukum realitas empiris sama-sama bisa menjadi
Islam, sebagi hukum yang diciptakan Tuhan sumber pengetahuan. Memisahkan
untuk kepentingan manusia, maka ia bukan kebenaran keagamaan ( metafisika, wahyu )
saja bisa beradaptasi dengan perkembangan dari wilayah ilmiyah, terutama wilayah ilmu-
zaman, akan tetapi ia bisa dirubah demi ilmu sosial tentu tidak dapat dibenarkan.
mewujudkan keMaslahatan umat manusia. Sebagai konsekwensinya, sumber-sumber
Berdasarkan perspektif diatas, secara filosofis, pengetahuan juga harus digali dari sumber
pemikiran hukum Islam yang pernah dan wahyu dan juga realitas empiris histories. Atas
sedang berkembang saat ini menampakkan dasar itu, kajian ini berusaha mencermati dan
kecenderungan pola pemikiran yang kedua. mendalami pemikiran Najmuddin ath-Thufi
Diantara beberapa tokoh pemikir hukum tentang konsep maslahah sebagai salah satu
Islam penganut teori adabtabilitas antara lain teori istinbath hukum Islam.
Hasby Ash-Shiddieqiey, Munawir Sadzali, Dalam tulisan ini penulis mengkaji
Sahal Mahfudz, Ali Yafi, Masdar F Mas’udi, pemikiran Ath-Thufi, al-Ghozali, Abu Ishak
Al Ghozali, Asy-Syathibi dan Najmuddin Al-Syathibi mengenai Mashlahah.
ath- Thufi.
Kerangka dasar pemikiran yang MASHLAHAH DALAM PANDANGAN
mendasari lahirnya teori adaptalitas adalah AL-GAZALI DALAM KITAB AL-
prinsip Maslahah, yang merupakan maqoshidut- MUSTASHFA
tasri’ (tujuan hukum Islam) itu sendiri.. Prinsip Al-Gazali mengawali pembahasannya
ini dianggap sebagai nilai fundamental bagi dalam kitab ini dengan menyebutkan macam-
keberlangsungan hukum Islam dalam konteks macam Maslahat dilihat dari segi dibenarkan
perubahan sosial, yang secara logis harus dan tidaknya oleh dalil syara’. la menyatakan:
mampu merespons setiap perubahan sosial قِ ْس:اْل َم ْصَل َحُة ِب ْاِْل َضافَِة إ ََل َش َها َدةِ ال َّ ْش ِرع ثَلَثُة َأْق َسٍام
yang memungkinkan terwujudnya tujuan ini. ٌم َش ِه َد
Hukum Islam tidak bisa kaku dan lamban
َوقِ ْس ٌم ََْل َي ْش َه،ال َّ ْش ُر ع ِِل ْعِتَبا َِرها َوقِ ْس ٌم َش ِه َد ِلُبْطَلِِنَا
dalam menghadapi tuntutan zaman. ع
ُ ْد ال َّ ْش ر
pertimbangan dalam penetapan hukum akan terwujud dengan meraih tujuan-tujuan mereka.
Islam ataukah tidak. Yang kami maksud dengan Maslahat ialah
Dengan pembagian semacam itu sekaligus memelihara tujuan syara” /hukum Islam, dan tujuan
dapat diketahui tentang salah satu syara’ dari makhluk itu ada lima, yaitu memelihara
persyaratan maslahah mursalah, yaitu tidak agama, jiwa, akal, keturunan (ada yang menyatakan
adanya dalil tertentu/khusus yang keturunan dan kehormatan, pen.), dan harts mereka.
Setiap yang mengandung upaya memelihara kelima
membatalkan atau membenarkannya. 3
hal prinsip ini disebut Maslahat, dan setup yang
Lewat pembagian itu pula Al-Gazali ingin menghilangkan kelima prinsip ini disebut mafsadat
membedakan antara maslahah mursalah dengan dan menolaknya disebut Maslahat.”5
qiyas di satu sisi, dan antara maslahah mursalah Dari uraian Al-Gazali di atas dapat
dengan maslahah mulgah di sisi lain. diketahui bahwa yang dimaksud dengan
Al-Gazali kemudian membagi Maslahat Maslahat menurut Al-Gazali adalah upaya
dipandang dari segi kekuatan substansinya. la memelihara tujuan hukum Islam, yaitu
menyatakan: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan
َذاِ َ ِه ي ِِف ِ ْصَل َحَة ِبا ْعِتَبا ِر ْال harta benda. Setiap hal yang dimaksudkan
َِب ة.ُرْت َ ق ِس م إ م.َ ن.ْ ّو ف َتا َت.َ ُق َم
ُ َل ا َتا
َ
.َت.َ َما ي untuk memelihara tujuan hukum Islam yang
َعل َبِ ة ا ْ َلا َجا ِت.ال َّ ُض رَورا ِت َو َِإ َل َما ِ ُرْت lima tersebut disebut Maslahat. Kebalikannya,
ِ
ّ ُق َل َِ و
إ هي ف ِ َ
ِ َِ
الت ِب setiap hal yang merusak atau menafikan tujuan
hukum Islam yang lima tersebut disebut
ين َات ّ ْح ِس
mafsadat, yang oleh karena itu upaya menolak
َوالَت dan menghindarkannya disebut Maslahat.
.َبة ا ْ َلا َجات.َْ قا َع ُد َأْي ًضا َع ْن ُرت.ت.َ ز ِينَات َوت.ْ ّ Lebih lanjut Al-Gazali menyatakan:
“Maslahat dilihat dari segi kekuatan substansinya َ َوه ِذهِ ْاُْل ُص ُو ل ا ْ َْل م َسةُ ِ ْح ف َُظ ها َواقِ ٌع ِِف
ada yang berada pada tingkatan darurat (kebutuhan وى اْل َ َمراتِ ِب ِِف اْل َم َص الِ ِح.َ فَِ ه ي َأْق، َِب ة ال َّ ُض رَورا ِت.ُرْت
primer), ada yang berada pada tingkatan hajat َ
(kebutuhan sekunder), dan ada pula yang berada َق َضاُء ال َّ ْش ِرع َِب ْقت ِل اْل َكاف ر:َوِمَثاُلُه
ِ
pada posisi tahsinat dan tazyinat (pelengkap- َفِإ َّن َه،اْل ُم ِض ِّل َوُع قوَبِة اْل ُ ْمبَت ِ ِد ع ال َّدا ِعي إ ََل ِْب د َعتِ ه
penyempurna), yang tingkatannya berada di bawah ِف ّو ُت.َُ َذا ي
hajat.4
ّ ْ س ِل
ُصوِد ال َّ ْش ِرع ََو ْم ق ُص ُو د ال َوِإجَيا ُب َز ْجِ ر ْالُغ َّصا ِب َوال ر َسّرا ِق إ ْذ بِه ََْي،َواْلَْن َسا ِب
َّ ْش ِرع ِم ْن ِباْل َم ْصَل َحِ ة اْل ُم َحاف َظَة
َ َعلى َ ْم ق ُص ُل ِ ْح ف ُظ
ْ ف َس.َ ُه ْم َون.ه و َأ ْن َْي ف َظ َعَْلي ِه ْم ِدَين ِ
َ َ ُو:ا َلْل ق ََْخ َسٌة اْْلَ َم و ِا ل
ُه ْم َو َ ْع ق َُل ه ْم ال
. َها.ِِّت ِه َي َم َعا ُش ا ْ َلْل ِق َ ُوه ْم ُم ْضَطررو َن إَْلي
وَن سل َ ه م “Kelima dasar/prinsip ini memeliharanya berada
َ ْ ُ ََو ْم َا pada tingkatan darurat. la merupakan tingkatan
َت َض َّم ُن ِ ْح ف َظ َه ِذهِ ْاْلُ ُصوِل ا ْ َْل م َسِ ة.َ َف ُك رل َما ي،ُْل م Maslahat yang paling kuat/tinggi. Contohnya seperti:
. ِف ّو ُت َه ِذِ ه ْاْلُ ُص َول َف.َُ َُوك رل َما ي،ه و َم ْصَل َحٌة َ ُ .َف
1. Keputusan syara’ untuk membunuh orang
kafir yang menyesatkan dan memberi
ه و َ ْم ف َس َدٌة َ ُ hukuman kepada pembuat bid’ah yang
.َحةٌ ْص لَ َم َها mengajak orang lain untuk mengikuti
َودْف.َ ُعAdapun Maslahat pada dasarnya adalah bid’ahnya, sebab hal ini (bila dibiarkan)
ungkapan dari menarik manfaat dan menolak akan melenyapkan agama umat.
mudarat, tetapi bukan itu yang kami maksud;
sebab menarik manfaat dan menolak mudarat
5 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
adalah tujuan makhluk (manusia), dan kebaikan
al- Ghazali at-Thusi174
makhluk itu
Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum
3
2. Keputusan syara’ mewajibkan qisas “Tingkatan ketiga ialah Maslahat yang tidak
(hukuman yang sama dengan kejahatannya), kembali kepada darurat dan tidak pula ke hajat,
sebab dengan hukuman ini jiwa manusia tetapi Maslahat itu menempati posisi tahsin
akan terpelihara. (mempercantik), tazyin (memperindah), dan taisir
3. Kewajiban hadd karena minum minuman (mempermudah) untuk mendapatkan beberapa
keras, karena dengan sanksi ini akal akan keistimewaan, nilai tambah, dan memelihara sebaik-
baik sikap dalam kehidupan sehari-hari dan
terpelihara; di mana akal merupakan dasar
muamalat/pergaulan. Contohnya seperti status
pen-taklif-an. ketidaklayakan hamba sahaya sebagai saksi, padahal
4. Kewajiban hadd karena berzina, sebab fatwa dan periwayatannya bisa diterima.8
dengan sanksi ini keturunan dan nasab akan Apakah semua Maslahat dengan ketiga
terpelihara.” tingkatannya tersebut (daruriyat, hajiyat dan
5. Kewajiban memberi hukuman kepada tahsiniyah) dapat dijadikan pedoman dalam
para penjarah dan pencuri, sebab dengan penetapan hukum Islam? Dalam hal ini Al-
sanksi ini harta benda yang menjadi Gazali menjelaskan sebagai berikut :
sumber kehi- dupan manusia itu akan ِجّرِدهَ َ ُ ِْي َِل َ ُيجُوز ا ْْلُ ْك ُم ِِب.ْ ِْي ْاْلَ ِخ َ يرَت.ْ َبَت.ا َْل واقِ ُع ِِف ال ررْت
terpelihara. Kelima إ ْن ََْل
hal ini menjadi kebutuhan pokok mereka.6 ََمرى و َّ ُض رَورا ِ
Dalam menjelaskan hajiyat, Al-Gazali َ َ ْ ِ ْعَت ض ْد ب.َي
menyatakan: فََل،ِت ْ ض ِع ا ل َش َها َدةِ َأ ْص ٍل َإِّل
َأن
ِؤّد.َُ ع َد ِِف َأ ْن ي.ُْ ُّه َ ْيِجري ب
َي إ َْليِ ه ا ْج َِت ها ُد َُْم َِت ه ٍد
َْبُة َما ِ ُ ا ْ َلا َجا ِت ِم ال.الررْت
َص “Maslahat yang berada pada dua tingkatan terakhir
(hajiyat dan tahsiniyat) tidak boleh berhukum
ِال ن َم ب. ق ُع ف رْت.َ الث ي
ْ
ِح ة :ّانَِيُة
َّص ِ
َ َعَلى ال َّصغ َكَت ا َْل ِو،َواْل ُمَنا ِسَبا ِت semata-mata dengannya apabila tidak diperkuat
،غِ ِري يرةِ وا ِزوي ِج.ْ َت سلِي ِط ِِّل
ْ
ل َ
َُمَتا ٌج إَْل ِي ه اْقتَِن ِا ء ْال َصا ِ dengan dalil tertentu kecuali hajiyat yang berlaku
ْ َف ذل َ َ ُض رَوَرة َلكِن sebagaimana darurat, maka tidak jauh bila ijtihad
،َم ل ِح ِِف إَْليِ ه ُّه َك ِل
وا ستِ َّ َص َل ِح اْل قِيي ِد ْاَْل ِخ ِم ْن.ْ َوَت mujtahid sampai kepadanya (hajiyat yang berlaku
ْ َ
ُمْنَتظَِ ر ي فة ْ َك ف ِا ء sebagaimana darurat dapat dijadikan pertimbangan
ْغَن ًا ما ل ِل َ ً ا َْل َف وا ِت penetapan hukum Islam oleh mujtahid).9
ِِف ْال َِمال
“Tingkatan kedua adalah Maslahat yang berada Dari ungkapan Al-Gazali di atas dapat
pada posisi hajat, seperti pemberian kekuasaan ditarik kesimpulan bahwa Maslahat hajiyat dan
kepada wali untuk mengawinkan anaknya yang tahsiniyat tidak dapat dijadikan pertimbangan
masih kecil. Hal ini tidak sampai pada batas darurat dalam penetapan hukum Islam, kecuali hajiyat
(sangat mendesak), tetapi diperlukan untuk
yang menempati level daruriyat, hajiyat yang
memperoleh keMaslahatan, untuk mencari kesetaraan
(kafa’ah) agar dapat dikendalikan, karena khawatir seperti itu menurutnya dapat dijadikan hujjah
kalau-kalau kesempatan tersebut terlewatkan, dan pertimbangan penetapan hukum Islam.
untuk mendapatkan kebaikan yang diharapkan pada Al-Gazali kemudian meneruskan
masa datang 7 penjelasannya :
Tentang tahsiniyat dijelaskan Al-Gazali ِؤّد َي إَل ِْي ه ا.َُ ع َد ِِف َأ ْن ي.ُْ َِب ة ال َّض ُ رَورا ِت فَ َل ب.َأّما ا َْل واقِ ُع ِِف ُرْت
Bahrul 226 Mashlahah
http://
eISSN: 2549-4198
ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam Vol. 02 , No. 02., Juli-Desember 2017
ْج َِت ها ُد
pISSN: 2549-3809
sebagai berikut: ِ َ مت ِهو ٍِإ ْد،ن ََل يشه ْد َله َأصل م َع ّْي ،وِمثاُلهَ :أ َّن اْل ُ َك ّفار إ َذا
ُ ٌَُْ
َض رَورةٍ َحا َجٍ ة َوَل ِك الررْت.بُة َ ََ ِ َ ْ َْ ُ
ْن ي َ.ق ُع ََو ُِل إ ََل َ الث
ّالَثُةَ :ما َِل ي َْ.رج ُع إ ََل
َ ْم وقِ َع َتَ.ت َّ.ر ُسوا َِِب َماَعٍ ة ِم ْن ُأ َس َا رى اْل ُم ْسل ِم َْي َفَْ .ل و َ َك فْ فَنا َ ْعنُ .ه
ا لت
ّ ْح ِس ِْي ْم َل َص َ ُد مونَا
َوالت
ّ ْ .زيِ ِْي
َوال ت
ّ ْ.ي ِس ِري لِْل َ َمزاَيا َواْل َ َمزائِ ِد َوِ َر عا َِية َأ ْح َس ِن
اْل َمَنا ِه ِج ِِف ا َْل عا َدا ِت َواْل ُم َع َا َم َل ِت ِمث َُالُهْ َ :س ل ُب َ َوقَ.تُ.لوا َو َغَلُبوا َ َعلى َدا ِر ْاِْل
ا َْل ْعب ِد
َْأ هلِي َكاف ْسَلِم
َّة َّة اْل ُم ْسلِ ِم َْيَ ،و َْلو ََر ْمي.نَا
ال َّش َها َدةِ َم َع َقُ.بوِل َف ْ.ت َ .واُه ََْل ُْي ذنِ ْب َ ْذ نً.با َ َوه َذا َِل َع ْه ال رت ْ .ر َس َل َقت ْ .لَنا ُم ْسلِ ًما َم ْع
َِوَرواَيِت ه َد ِبه ِِف ُصًوما
telah menetapkan hukum Islam berdasarkan macam, yaitu: menjaga agama, dan diri, dan
nafsunya.”11 keturunan dan harta dan akal, dan dikatakan semua
Al-Gazali dalam al-Mustasfa tidak itu merupakan tujuan semua agama. Dan
menyampaikan secara jelas bahwa kulliyah itu adapun hajiyyat artinya kebutuhan terhadapnya dari
merupakan salah satu kriteria yang harus segi mengangkat kesempitan, dan adapun tahsiniyyat
dipenuhi bagi diterimanya maslahah mursalah. la artinya mengambil sesuatu untuk memperindah
mensyaratkan kriteria kulliyah ini pada kasus kebiasaan.12
tertentu, yaitu masalah orang-orang kafir yang
Dalam pemikiran ushul fiqh untuk
menjadikan tawanan muslim sebagai perisai
menjawab tantangan perubahan sosial dengan
hidup. Maslahat dalam kasus ini tidak bisa
pendekatan dan penekanan pada nilai-nilai
dipandang sebagai mula’imah (sejalan dengan
kemashlahatan manusia dalam setiap taklif
tindakan syara’) kecuali apabila memenuhi tiga
yang diturunkan Allah dikenal dengan
syarat, yaitu qat’iyah, daruriyah, dan kulliyah.
pendekatan Maqashid Syariah. Pendekatan ini
Sebab memenangkan yang banyak secara substansial sebenarnya dapat ditemukan
mengalahkan yang sedikit tidak terdapat pada keputusan hukum Rasulullah, para
dalilnya bahwa itu dikehendaki syara’. Ulama sahabat yang kemudian dilanjutkan oleh
telah sepakat apabila ada dua orang dipaksa generasi selanjutnya.13
untuk membunuh seseorang maka tidak halal Kajian Maqashid Syariah kemudian
baginya untuk membunuhnya. Demikian juga, dikembangkan secara luas dan sistematis oleh
ulama telah sepakat tidak halal bagi Abu Ishaq Asy-Syatibi. Kajian mengenai hal
sekelompok umat untuk memakan daging ini bertolak dari asumsi bahwa segenap syariat
seorang muslim lantaran kelaparan. yang diturunkan Allah senantiasa mengandung
kemashlahatan bagi hamba untuk dunia
MASHLAHAT MENURUT ASY-
SYATIBI DALAM KITAB AL- maupun akhirat.14 Asy-syatibi menggabungkan
MUWAFAQAAT antara illat dengan hukum yang menjadikan
pembentukan hukum menjadi lebih dinamis,
، رِج ُع َِإ َل َ َم قا ِص ِد َها ِِف ا ْ َلْل ِق.ْ َت َكالِي ُف ال َّ ِش ري َعِ ة َت meskipun Asy-syatibi menggunakan Mashlahah
ِوه ِذه ِ ْح ف ِظ
ََ
ٍ ِ
َأ ْن َت ُ َكضور َِوةنري:ع ُدو ثلَ ثَة ْأ َقسام أَ ح ُدها.ْال َم قا ص ُد َِل َت mursalah-nya dalam penetapan hukum ketika
ّ ِّا ًوِنالث
ُ َ َ َ ْ َ tidak ada nash yang mengaturnya, akan tetapi
ِ ِوري، ِح ف ظ ال ِّد َّي ِضنر:ا ِت َخسة وِهي
َأ ْن َت ُكو َن َحا والن، ف ِس.ّ ُ ْ ٌ ْ َ ّ
ن،ّس ِ ولال ْ
ِج ي
ّة
َوالث
ّال ُث َأ ْن َت ُكو َن ََْت
ِسينِي
ًّة فََأ ّما ال
َّ ُض روِري
،ُّة
َف َم ْعَنا َها
.َأن
ُ َ َوَْم ُموع,َّ ها َِل َُب ّد منها ِف قيام مصاحل الدين والدنيا
ال
Bahrul 230 Mashlahah
http://
eISSN: 2549-4198
ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam pISSN: 2549-3809 Vol. 02 , No. 02., Juli-Desember 2017
Asy-syatibi menjelaskan perbedaan antara sebelumnya seperti Najm al-din At-Thufi yang
pendapatnya dengan pendapat ulama
َ َ َ َ ُِ pendapatnya mengenai Mashlahah lebih
:قَاُلوا ،َواْل َوا َْل ْع ق ِل mengarah kearah liberalisme.15
ََأ و.إن َوَق ْد ،َمال
َّ ها ُ َمرا َعاٌة ِف كل ملة ّما
َف َم ْعَنا َها،ُت ا ْ َلا
.َأن ِج ي
وِ س َعِ ة ََورْف ِع.ْ َها ِم ْن َ ْحي ُث اَلّت. ٌقر إَِْلي.َ ّا َّ ها ُ ْم فت
ِ ا ن ِم ق يلِي ِ
َ ُ ْ َا ِن س ََم ت َدا ا َْل ع 12 Ibrahim bin Musa bin Muhammad lakhmi
ِِ al-Gharnati terkenal sebagai Asy-Syatibi, Al-Muwafaqaat,
(Daar Ibn Affan, 1997) juz II 17-22
يَنا ْح ِس،ا َم فَ ُت ا ْع َن ا ُذ ْخ ْاْلَ َه َب 13 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Asy-Syaukani (
“ ّ َوَأّم اPembebanan syariat kembali kepada al-Gharnati terkenal sebagai Asy-Syatibi, Al-
Muwafaqaat. 4
maqashid penciptaan itu sendiri, dan maqashid ini 15 Asep Saepudin Jahar, Al-bid‘ah versus al-
tidak lebih dari tiga pembagian, yaitu dharuriah, mashlahah Al-mursalah and al-istihsân: Al-syâthibi’s legal
hajiyyah dan tahsiniyyah. Adapun dharuriyah framework, Jurnal Ahkam, Vol XII, (September, 2014),
artinya mestilah ia bertujuan mewujudkan 6
kemashlahatan agama dan dunia. Dan keseluruhan
persoalan dhruriyah ada 5
11 Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad
al- Ghazali at-Thusi179
16Ibrahim bin Musa bin Muhammad lakhmi 18 Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum
al-Gharnati terkenal sebagai Asy-Syatibi, Al- Islam, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka,
Muwafaqaat. 8 1996), 244
17 Dadang Kahmad, Hukum Islam dalam
19 Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum
Perubahan Sosial, (Bandung : Pustaka Setia, 2010), 50-51 Islam, terj. Ahsin Muhammad, hal 244-246
adalah ibadat, adat serta muamalat, dan yang menunjukkan bahwa ia jauh dari pengikut
termasuk kedalam kelompok preventif adalah kaum syi’ah, karena menolak beberapa
jinayat.20 pendapat syi’ah, karena dinilai kaum syi’ah
sangat berpegang pada hadits-hadits versi
MASHLAHAH MENURUT
mereka sendiri, yang mana propaganda-
NAJMUDDIN AT-THUFI
Kata “maslahah” diambil dari as-Salah propagand partai mereka selama masa
(kebaikan, keguanaan, validitas dan Abbassiyah sama-sama dinisbatkan kepada
kebenaran), yang berarti bahwa sesuatu berada Nabi, termasuk hal-hal yang bertentangan
dalam bentuk yang sempurna sesuai dengan dengan akal pikiran dan prinsip-prinsip
tujuan atau sasaran yang dimaksudkan. Seperti universal al-Qur’an.24 Tetapi sampai pada akhir
pena berada pada bentuknya yang paling hayatnya ath-Thufi tetap penganut madzhab
tepat ketika dipakai untuk menulis.21 Maslahah Hanbali. Namun demikian, pemikiran
bisa berarti menarik manfaat dan menolak intelektual al-Thufi yang terbiasa berpikir
madhorot.22 Definisi maslahah menurut bebas tidak pernah terhenti.25
Pandangan Najmuddin ath-Thufi
kebiasaan yang diterima adalah factor
penyebab yang membawa kepada kebaikan tentang maslahah bertolak dari konsep
maqoshid asy-syari’ah yang menegaskan
dan kemanfaatan. Sedang definisi menurut
syara’ adalah factor penyebab yang bahwa hukum Islam itu disyari’atkan untuk
mewujudkan keMaslahatan kemanusiaan
mengantarkan pada maksud pembuat hukum
dalam masalah-masalah ibadah, maupun adat universal. Pembahasannya tentang maslahah
bertolak dari hadits Rasulullah SAW :
kebiasaan. Maslahah ada dua, yaitu yang
diuraikan oleh pembuat hukum demi dirinya نا َ ْعب ُد ا َلَّّرزا.َ َح َّدث:نا َُمَ َّم ُد ْب ُن ََْي ََي قَا َل.ََح َّدث
sendiri, seperti ibadah dan yang dimaksudkan َبَأَنا. َأْن:ِق َقا َل
oleh pembuat hukum demi kemanfaatan َع ِن اْب، َع ْن عِ ْ ِك َرمَة، َع ْن َجا ٍِب ر ا ْ ُْل عِ ف ِّي،َم ْع ٌَمر
makhlukNya dan pengaturan urusan-urusan ِن
mereka seperti adapt kebiasaan.23 َعَب
Dalam rangka kebebasan berpikir َقا َل َر ُس ُو ل
untuk mencari kebenaran tersebut, al-Thufi ا َل
tidak saja mempelajari berbagai kitab dalam
ِّ ه
mazhab sunni, tetapi juga banyak mempelajari
literatur-literatur Syi’ah di zamannya. Ketika َصَل
itu dikhotomi Sunni-Syi’a h sangat kuat, tetapi ّى اهُلل َعَْل ِي ه َو
al-Thufi tidak terpengaruh dengan dikhotomi ََسل
tersebut. Dalam sejarah bahwa al-Thufi pernah
terpengaruh dan menganut madzhab syi’ah. » َ«ِل َ َضَرر ََوِل ِ َضر َا ر:ّ َم
Namun ternyata dari beberapa karya tulisnya “Tidak boleh memudharatkan dan tidak boleh pula
dimudharatkan”26
20 Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum Menurutnya inti dari seluruh ajaran
Islam, terj. Ahsin Muhammad, hal 247 islam yang termuat dalam nas adalah Mashlahah
21, Abdallah M. Al-Husayn Al-Amiri,
(kemashlahatan) bagi umat manusia.
Dekonstruksi Sumber Hukum Islam Pemikiran Hukum Najm
ad-Din Thufi, (Jakarta; Gaya Media Pratama, 2004), 101 Karenanya, seluruh bentuk kemashlahatan
22 Najmuddin Al-Thufi, Syarh al-Arba’in an-
disyariatkan dan kemashlahatan itu tidak perlu
Nawawiyah, (Kairo; Dar al-Fikr)101
23 Abdallah M. Al-Husayn Al-Amiri, mendapatkan dukungan dari nas, baik oleh nas
Dekonstruksi Sumber Hukum Islam Pemikiran Hukum Najm tertentu maupun oleh makna yang
ad-Din Thufi,. 101 terkandung oleh sejumlah nas. Mashlahah,
menurutnya, merupakan dalil paling kuat
Bahrul 234 Mashlahah
http://
eISSN: 2549-4198
ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam pISSN: 2549-3809 Vol. 02 , No. 02., Juli-Desember 2017
yang secara mandiri dapat dijadikan alasan
dalam menetukan hukum syara’.
Pandangan al-Tufi tentang Mashlahah
berasal dari pembahasan (syarah) hadits
nomor 32 hadits Arba`in Nawawi, yang
24 Mushtafa Zaid, al-Mashlaha FiTasyri Al-
Islami wa Najmuddin At-Thufi, 127-132
25 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1,...125
26Ibnu Majah Abu Abdillah, Sunan Ibnu Majah,
berbunyi la darâra wa lâ dirâra, yang artinya 1. Akal bebas mentukan kemashlahatan dan
jangan menyebabkan bahaya atau kerugian kemafsadatan (kemudharatan), khusunya
pada orang lain, dan jangan membalas suatu dalam bidang muamalah dan adat. Untuk
kerugian dengan kerugian lainnya. Bahasan menentukan sesuatu termasuk mengenai
al-Thufi mengenai hadits no 32 tersebut kemashlahatan atau kemudharatan cukup
dikutip secara utuh dan lengkap yang dengan akal. Pandangan ini berbeda
bersumber dari bahasan Syaikh Kamaluddin dengan jumhur ulama yang mengatakan
al-Qasimi seorang ulama Damaskus yang bahwa sekalipun kemashlahatan dan
telah berupaya memisahkan bahasan al-Tufi kemudharatan itu dapat dicapai dengan
dalam hadist tersebut, kemudian akal, namun kemashlahatan itu harus
menukilkannya sebagai risalah tersendiri. Ia mendapatkan dukungan dari nas atau
juga berperan sebagai pensyarah di dalam ijma’, baik bentuk, sifat maupun jenisnya.
risalah tersebut dalam hal-hal yang memang 2. Mashlahah merupkan dalil mandiri dalam
memerlukan ulasan, ia juga memberikan menetapkan hukum. Oleh sebab itu,
komentar secukupnya. Kemudian majalah untuk kehujjahan Mashlahah tidak
al- Manar No.IX/10, oktober 1906 memuat diperlukan dalil pendukung, karena
risalah berikut syarahnya secara lengkap.27 Mashlahah itu didasarkan kepada
Pandang At-Thufi tersebut sangat pendapat akal semata.
bertentangan dengan paham yang dianut 3. Mashlahah hannya berlaku dalam masalah
mayoritas ulama ushul fiqh di zamannya. muamalah dan adat kebiasaan, adapun
Menurut ulama ushul ketika itu, Mashlahah dalam masalah ibadah atau ukuran-ukuran
betapapun bentuknya haris mendapatkan yang ditetapkan syara;, seperti shalat
dukungan dari syara, baik melalui nas tertentu dzuhur empat rakaat, puasa selam satu
maupun melalui makna yang dikandung oleh bulan, dan tawaf itu dilakukan tujuh kali,
sejumlah nas. Pandangnnya tentang Mashlahah tidak termasuk objek Mashlahah, karena
inilah yang menyebabkan ia terasing dari para masalah-masalah seperti ini merupakan
ulama ushul di zamannya. Akan tetapi, hak Allah semata.
pemikirannya tentang Mashlahah ini banyak 4. Merupakan dalil syara’ paling kuat. Olrh
dikaji dan dianalisis para ulama ushul sebab itu, ia juga mengatakan apabila nash
sesudahnya.28 atau ijma’ bertentangan dengan
Menurut Najmuddin At-Thufi, Mashlahah maka didahulukan Mashlahah
Mashlahah merupakan hujjah terkuat yang dengan cara takhsis nash ( pengkhususan
secara mandiri dapat dijadikan sebagai hukum) dan bayan ( Perincian atau
landasan hukum. Ia tidak membagi Mashlahah penjelasan).30
sebagaimana yang dilakukan oleh jumhur Ada beberapa alasan yang
ulama. Ada empat prinsip yang dianut At- dikemukakan oleh al-Thufi dalam mendukung
Thufi tentang Mashlahah yang menyebabkan pendapatnya itu:
pandangannya berbeda dengan jumhur ulama,
1. Firman Allah SWT dalam surat Al-baqarah
yaitu :29
ayat 179.
َوَل ُك ْم ِِف الِْ ق َصا ِص َحَياٌة َيا ُأوِِل اْلَْلَبا ِب
ََل عل
ّ ُك ْم
ت.َت
قو َن.ُ ّ
Bahrul 236 Mashlahah
http://
eISSN: 2549-4198
ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam pISSN: 2549-3809 Vol. 02 , No. 02., Juli-Desember 2017
27 Idaul Hasanah, Konsep Mashlahah Najamuddin “Dan dalam qisash itu ada ( jaminan
Al-Thufi Dan Implementasinya, Jurnal Ulumuddin, Vol 7, kelangsungan) hidup bagimu”
No. 1 (2011), 3 2. Firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah
28 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1,. 125-126
29 Husein Hamid Hasan, Nazariyyah al- ayat 38.
Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, (Kairo; Dar al-Nahdhah
al_’Arabiyah), 529-568 30 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1,...126
ه َما.َُ َ وال َّسا ِر ُق َوال َّسا ِرقَُة َفاْقطَُ عوا َأْي ِدي kemashlahatan umat. Larangan membeli
barang yang telah di tawar orang lain adalah
َ َجزاًء untuk memelihara kemashlahatan penawar
barang pertama: larangan mendatangi petani
ke desa untuk membeli komoditi mereka
yang perempuan dan mencuri yang َبا َك َسَبا adalah untuk memelihara kemashlahatan para
“Lelaki sebagai) ( keduanya tangan potonglah petani desa dari kemungkinan terjadinya
mencuri, kerjakan” mereka yang apa dari penipuan harga, dan larangan menikahi wanita
pembalasan sekaligus bibinya, juga untuk memelihara
3. Firman Allah SWT dalam surat An-Nur kemashalahat istri dan keluarga. Oleh sebab
ayat 2. itu, menurut Al-Thufi, pada dasarnya baik
ُه َما.ا َلّزانَِيُة َوا َلّزِاِن فَا ْجلِ ُدوا ُك َّل َوا ِح ٍد ِ ْمن firman Allah maupun hadist Nabi bertujuan
ٍِمائة ْج ل دة 31Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1,...126-127
َ َ ََ 32 Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-
“Perempuan yang berzina dan perempuan yang Bukhari, (Daar Thuq An-najah), Juz II, 71
berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seretus kali dera”
Menurut Al Thufi, semua ayat ini
mengandung pemeliharaan keMaslahatan
manusia, yaitu jiwa, harta dan kehormatan
mereka. Oleh sebab itu, tidak satupun ayat
yang tidak mengandung dan membawa
kemashlahatan bagi manusia.31
4. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari.
نا َ ْعب ُد.ََح َّدث
َا ل
ِ ِ
، َع ْن َِأب ا ِلّزَنا د،رَنا َمال ٌك.َ َأ ْخب،ِّ ه ْب ُن ُيو ُس َف
يرَة َر ِض ي.َ ْ هر
َ ُ َع ْن َِأب،ََع ِن ْالَ ْ َعِرج
َ ال
َأ َّن َر ُس َول:ُّه َ ْعنُه
ا َل
ِّ ه
ََصل
ّى اهُلل َعَْل ِي ه َو
ََسل
ي ِع.َْ ع ُض ُك ْم َعَلى ب.َْ َِل َيِب ْع ب:َ َقا َل،ّ َم
َوِلَ َيبِ ْع َحا ٌِضر ِلَبا ٍد،َنا َج ُشوا. َوِلَ َت، ْع ٍض.َب
“Seseorang jangan membeli barang yang telah
ditawar oleh orang lain dan jangan pula orang
kota ( para pedagang ) membeli barang dengannya
dengan mendatangi para petani desa, ( HR.
Bukhari)32
Larangan-larangan Rasulullah dalam
hadist ini, menurut Al-thufi, dimaksudkan
KESIMPULAN
Imam al-Gazali memandang
maslahah- mur-salah sebagai dalil yang tidak
berdiri sendiri (tidak terlepas dari al-Qur’an,
hadis dan ijma’).
Al-Thufi membangun pokok-pokok
pikirannya dalam bidang Mashlahah atas
empat asas, yaitu: pertama, bahwa akal semata
dapat menemukan dan membedakan antara
Mashlahah dengan mafsadat. Maksudnya, akal
semata tanpa harus melalui wahyu dapat
mengetahui kebaikan dan keburukan yang
diperlukan oleh umat manusia dan ini hanya
dalam bidang muamalah dan adat istiadat saja,
tidak dalam bidang ibadah. Kedua, Mashlahah
adalah dalil yang berdiri sendiri dalam
menetapkan hukum, ia terlepas dari
ketergantungan pada petunjuk nash, cukup
pada hukum adat semata. Ketiga, lapangan
operasional adala muamalat dan adat, bukan
dalam bidang ibadah dan muqadarah.
Keempat, Mashlahah adalah dalil hukum yang
paling kuat. Asas ini adalah dasar yang paling
penting dalam melandasi teori Mashlahah al-
Thufi ini.
Tetapi terdapat sanggahan dari Wael B.
Hallaq mengenai konsep Mashlahah Thufi di
atas dengan keterangan bahwa konsep
mahlahah yang menjadi sumber hukum di
bawah al-Quran dan al-Sunnah tidak
mungkin mengenyampingkan ketentuan-
ketentuan yang ada dalam nash tersebut
dengan pertimbangan suatu kemashlahatan.
Pada dasarnya, al-Thufi hanya mengambil
pegangan hukum melalui sebuah Hadits
yang berbunyi “ladharara waladhirar” atau
“jangan membuat bahaya atau membalas bahaya
dengan yang serupa”. Sehingga kedudukan
sebuah hukum hanya berpatokan pada ada
tidaknya suatu keMaslahatan.
Menurut al-Syatibi,
sebagaimana dikutip oleh Fauzi, bahwa dalam
menentukan suatu hukum dengan
menggunakan teori Mashlahah disyaratkan:
pertama, perbuatan didasarkan pada niat.
Maqasid itu dijadikan sebuah pertimbangan
dalam sebuah tindakan, baik berkaitan dengan
ibadat ataupun adat. Kedua, tuntutan kepada
mukallaf untuk menyesuaikan dengan qasd
Syari’. Allah sebagai al-Syari’ menghendaki
agar qasd seorang hamba sesuai dengan apa
yang telah ditetapkannya. Ketiga, setiap
perbuatan yang tidak sejalan dangan qasd
Syari’ dianggap batal.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdillah, Ibnu Abu Majah, Sunan Ibnu Majah, Darul Ihya Al-Kutub Al-Arabiyah,tthal-Amiri,
Abdallah M. Al-Husayn, Dekonstruksi Sumber Hukum Islam Pemikiran Hukum Najm ad-Din
Thufi, Jakarta; Gaya Media Pratama, 2004
At-Thusi, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali tahqiq Muhammad Abdu Salam
Abdu Syafi, Al-Mustashfa, Dar Al-Kutb Al-‘Ilmiyah
Al-Gharnati, Ibrahim bin Musa bin Muhammad lakhmi terkenal sebagai Asy-Syatibi, Al-
Muwafaqaat, Daar Ibn Affan, 1997
Hasan, Husein Hamid, Nazariyyah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, Kairo; Dar al-Nahdhah
al_’Arabiyah
Idaul Hasanah, Konsep Mashlahah Najamuddin Al-Thufi Dan Implementasinya, Jurnal Ulumuddin, Vol
7, No. 1, 2011
Jahar, Asep Saepudin, Al-bid‘ah versus al-Mashlahah Al-mursalah and al-Istihsân: Al-
syâthibi’s legal framework, Jurnal Ahkam, Vol XII, September, 2014
Khalaf, Abdul Wahab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996
Masud, Muhammad Khalid, Filsafat Hukum Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka,
1996