Anda di halaman 1dari 9

Tugas

ANTROPOLOGI KESEHATAN

ETNOPSIKIATRI

Oleh :

Amelia Natasya Annastya

N1A120012

KELAS A

ANTROPOLOGI SOSIAL
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2023
Mereview buku ”Antropologi Kesehatan“
Judul : Antropologi Kesehatan
Penulis : Foster, George M.
BAB 5 : Etnopsikiatri

Konsep-konsep tentang sebab-sebab penyakit dalam masyarakat rumpun dan


petani, sebagaimana yang telah kita lihat, berbeda secara mendasar dengan konsep-konsep
yang merupakan ciri pengobatan ilmiah. Sejauh ini kita telah mengamati perwujudan sistem-
sistem kepercayaan itu, terutama dalam konteks penyakit akut, penyakit infeksi, dan
penyakit yang melemahkan, yang terbanyak mengambil korban pada penduduk dunia.
Namun etnomedisin juga mencakup studi tentang bagaimana masyarakat tradisional
memandang dan menangani penyakit jiwa. Dalam bab ini perhatian ditujukan kepada bidang
pokok kedua yang merupakan perhatian dari etnomedisin, suatu bidang yang biasanya
disebut sebagai "psikiatri transkultural" atau "psikiatri lintas-budaya" atau "etnopsikiatri,"
istilah yang kami pilih.

Perhatian awal dari para ahli antropologi terhadap penyakit mental mulanya
sangatlah jauh dari bidang etnomedisin. Perhatian mereka itu mulai dari pemahaman atas
hubungan antara kepribadian dan kekuatan-kekuatan budaya yang berpengaruh dan
membentuk kepribadian. Perhatian utama ditujukan untuk menguji hipotesis Freud, untuk
menentukan apakah Oedipus kompleks itu ber sifat universal, apakah fase-fase
perkembangan "oral," "anal," "genital" dan "laten" dalam sejarah kehidupan individu bersifat
universal ataukah hanya terbatas pada masyarakat-masyarakat khusus. Walaupun
Malinowski, pada tahun 1920-an, merupakan ahli antropologi pertama yang menguji
hipotesis tersebut dengan data lapangan yang besar jumlahnya, apa yang dinamakan aliran
"kebu dayaan dan kepribadian"-langkah pertama dari perkembangan yang kini dikenal
sebagai etnopsikiatri atau psikiatri lintas-budaya, memperoleh bentuknya di Amerika Serikat.
Pada awal tahun 1930-an, Margaret Mead, Edward Sapir dan Ruth Benedict tertarik pada
hubungan antara kebudayaan dan kepribadian, mengajukan berbagai pertanyaan dan
menguji hipotesis dengan data dari sejum- lah masyarakat. Dari tahun 1936 hingga tahun
1940, psikiater Abraham Kardiner, dalam kerjasama dengan sekelompok ahli antropologi,
termasuk Cora Du Bois, Ralph Linton, Edward Sapir, dan Ruth Benedict, mengajukan suatu
seminar mengenai kebudayaan dan kepribadian.

Seminar tersebut mendorong terbentuknya suatu studi besar pertama, khusus untuk
menguji teori-teori yang sedang didiskusikan, namun yang kekurangan data riel yang
terdapat dalam penelitian Cora DuBois, The Peuple of Alor. Seperti yang dikatakan oleh
DuBois, "Kita sudah lelah berbicara, dan hanya penelitian lapanganlah yang dapat menguji
prosedur itu" . Penelitian lapangan pada salah satu pulau di Indonesia, Alor, menurut
pendapat nya bertujuan untuk mencari, apakah ada "hubungan yang nyata antara
kepribadian orang dewasa dalam suatu kelompok dengan lingkungan sosial-budaya. nya.
Bila hubungan semacam itu ada, penjelasannya diduga berada pada pengalaman hidup
yang konsisten yang dimulai dari awal praktek pengasuhan anak dan hubungan antara
akibat tekanan pada pranata orang dewasa denganperanan peranan sosial".

Studi besar lainnya yang sifatnya serupa dilakukan diantara sejumlah kelompok
masyarakat Indian Amerika Utara dan juga di kalangan penduduk bangsa-bangsa modern.
"kepribadian moral" . Istilah-istilah "etnopsikiatri," "psikiatri lintasbudaya," dan "psikiatri
transkultural" belumlah dikenal. Namun terutama dari penelitian sebelum dan setelah
Perang Dunia yang dilakukan oleh Kardiner, Linton, DuBois dan lain-lainnyalah maka
perhatian kita sekarang ini terhadap hubungan antara penyakit mental dengan kebudayaan
telah timbul. Sejarah masa kini dalam antropologi psikologi dan topik-topik yang menarik
perhatian telah dideskripsikan dengan baik oleh Singer, dan bukanlah jangkauan bab ini
untuk menyimpulkannya.

Adanya variasi yang luas dari kelompok sindroma dan nama-nama untuk menye
butkannya dalam berbagai masyarakat di dunia, baik Barat maupun non-Barat, telah
mendorong para ilmuwan mengenai tingkahlaku untuk menyatakan bahwa penyakit jiwa
adalah suatu "mitos," suatu fenomena sosiologis, suatu hasil dari anggota-anggota
masyarakat yang "beres" yang merasa bahwa mereka membutuhkan sarana untuk
menjelaskan, memberi sanksi dan mengendalikan ting kahlaku sesama mereka yang
menyimpang atau yang berbahaya, tingkahlaku yang kadang-kadang hanya "berbeda"
dengan tingkahlaku mereka sendiri.

Mereka yang berpegang pada pandangan ini dikenal sebagai "ahli teori tentang
label" atau cap . Argumen pokok yang mereka kemukakan adalah bahwa sekali tingkahlaku
menyimpang diberi cap menyimpang, betapapun ringannya atau sementaranya gejala itu,
akan tetap dijadikan stereotip dan stigma bagi yang bersangkutan. Kelompoknys
mengharapkan tingkah laku tertentu darinya, memperlakukannya sedemikian rupa sehingga
ia menemukan tingkah laku yang paling adaptif baginya untuk menyesuaikan diri dengan
apa yang diharap. kan oleh kelompoknya itu.

Realitas dan bahaya yang timbul dari cara-cara pemberian label tersebut
dideskripsikan secara mengerikan melalui suatu eksperimen yang dilakukan oleh Rosenhan.
Ia bersama tujuh orang "pasien semu" lainnya mendaftar masuk rumah sakit jiwa yang
tempatnya berbeda. Mereka menyatakan bahwa mereka "mendengar suara-suara" yang tak
jelas, tetapi yang seakan-akan mengatakan "kosong." "hampa," dan "berdebur." Suara itu
asing, namun diucapkan oleh seseorang yang jenis kelaminnya sama dengan para pasien-
semu itu. Selain "gejala - gejala" ini, dan selain mengganti nama-nama, keahlian dan
pekerjaan, tidak dilakukan perubahanperubahan lain tentang orangnya, sejarahnya atau
lingkungannya. Riwayat hidup mereka ditulis sebenar-benarnya dan tidak ada yang pernah
mengalami patologi yang serius. Setelah masuk rumah sakit, para pasien semu berhenti
memainkan semua gejala itu, dan selain menunjukkan sedikit perasaan khawatir karena
takut akan ketahuan, mereka berlaku normal. Kecuali satu orang, semuanya dinyatakan
menderita schizophrenia, dan setelah sekitar 19 hari dirawat, masing-masing diizinkan
pulang dengan pernyataan bahwa mereka mengalami schizophrenia "yang mereda."
Nyatanya, tak seorang dokter pan yang menduga bahwa mereka pasien semu, namun
sejumlah besar pasien lain di rumah sakit itu dapat merasakan bahwa para sukarelawan
tersebut bukanlah orang-orang yang benar-benar sakit.

Rosenhan menyimpulkan bahwa "Suatu label psikiatri mempunyai kehidupan dan


pengaruh tersendiri. ekali terbentuk impresi bahwa pasien menderita schizophrenia, harapan
orang adalah bahwa ia akan selamanya demikian." Setelah melewati suatu periode tanpa
ada gejala- gejala lagi, pasien dapat dianggap "telah mereda" dan siap untuk dilepaskan,
"Namun cap tetap melekat setelah ia diizinkan pulang, dengan harapan yang tidak tegas
bahwa ia akan bertingkahlaku sebagai seorang penderita schizophrenia lagi" (Rosenhan
1973: 253). "Label" psikiatri seringkali merupakan ramalan diri yang direalisir sendiri oleh
pasien, keluarganya dan oleh kawan-kawannya. Pada akhirnya pasien juga menerima
diagnosis tersebut dengan segala tuntutan harapannya, dan bertingkalaku seperti yang
diinginkan itu (Ibid., 254).

Menurut Lambo, dalam masyarakat Afrika, bahkan yang menderita psikosis berat
dan cacat mental pun diberi tempat sebagai warga masyarakat yang menjalankan fungsinya
dalam masyarakatnya, apabila mereka dapat mengurus diri mereka sendiri sampai pada
tingkatan kecukupan tertentu.

Orang Barat sejak lama percaya dan ingin mempercayai bahwa dalam masyarakat
sederhana yang belum dirusak oleh peradaban manusia hidup dalam hubungan "alami" satu
sama lain, suatu hubungan yang ditandai oleh kasih sayang, kerjasama, dan gotong-royong.
Logikanya, karena tingkatan-tingkatan stres mestinya rendah dalam suatu masyarakat yang
demikian, maka penyakit kejiwaan yang berasal dari kehidupan yang penuh stres tentunya
juga jarang. Walaupun secara historis memang benar bahwa masyarakat sederhana kurang
mengalami stres karena peradaban, namun suatu dunia yang penuh dengan dewa-dewa
dan hantu-hantu pembalas dendam, tukang sihir dan tukang tenung serta tetanggatetangga
yang marah dan kerabat yang iri, tidak sedikit menimbulkan stres dibandingkan dengan
ketakutan yang ada pada kita. Ketakutan, yang jelas merupakan stres, mungkin merupakan
pengalaman yang lebih umum dalam masyarakat-masyarakat tersebut daripada stres dalam
kehidupan modern.

Menurut Field "Apakah daerah pedesaan Afrika mem punyai lebih banyak penyakit
jiwa daripada di masa lalu karena dalam suasana fisik terdapat lebih banyak penyakit
kelamin dan influensa adalah soal lain lagi." Namun penyakit jiwa, dan banyak diantaranya,
tertanam dalam tradisi kuno". Serupa halnya, Levy dan Kunitz menemukan bahwa banyak
pola adaptasi yang buruk di daerah reservasi Indian Navaho dan Hopi tertanam dalam
bentuk penyimpangan mereka, sebelum adanya kontak dengan dunia luar. "Gaya minum-
minuman keras pada orang Hopi dan angka rata-rata mortalitas yang amat tinggi secara
paling tepat dapat dijelaskan sebagai respons penduduk yang tertekan dan secara terang-
terangan agresif, atas tersedianya kesempatan minum, daripada sebagai akibat dari konflik
atau keruwetan moral".

Di kalangan orang Samoa Amerika, bukti juga menunjukkan bahwa stres merupakan
bagian dari kehidupan tradisional, karena bebe rapa penyakit stres nampaknya lebih umum
daripada yang terdapat di kalangan penduduk golongan menengah kulit putih Amerika
Utara.

Psikofisiologi, psikoneurosis, kepribadian dan gejala-gejala kekacauan sosiopati,


serta perubahan senilitas tidak disebutkan, namun waktu dilukiskan, informan setuju bahwa
gejala-gejala itu memang ada, tetapi pada umumnya dianggap tidak cukup serius untuk
diberi cap "penyakit". Serupa halnya, dalam masyarakat Tahiti yang dipelajari oleh Levy,
"dengan mudahnya cocok dengan kategorisasi diagnostik Barat." Tingkahlaku seorang
penduduk yang dianggap "mempunyai kepala yang jelek" mirip sekali dengan penderita
schizophrenia yang dirawat di rumah sakit Barat. Di lain pihak, keadaan-keadaan "serupa
histeria" dilaporkan sangat jarang.

dibandingkan dengan keadaan hallusinasi. Usaha-usaha untuk membandingkan


tipetipe gangguan jiwa secara lintas budaya umumnya tidak berhasil, sebagian disebabkan
oleh kesulitan-kesulitan pada tahapan penelitian untuk membongkar apa yang diperkirakan
sebagai "gejala primer" dari "gejala sekunder." Misalnya, gejala-gejala primer yaitu yang
menjadi dasar bagi depresi muncul lebih dulu dan merupakan inti dari gangguan. Gejala-
gejala sekunder dilihat sebagai reaksi individu terhadap penyakitnya; gejala-gejala tersebut
berkembang karena ia berusaha untuk menyesuai kan diri dengan tingkahlakunya yang
berubah. Karena yang terakhir dianggap tergantung pada latar belakang sosial dan budaya
pasien, psikiater didikan Barat yang kurang mengenal dunia si pasien akan merasa sulit
untuk membedakan prioritas atas gejala-gejala tersebut.

Apabila bukti tidak cukup baik mengenai perbandingan frekuensi dari berbagai jenis
penyakit jiwa yang berbeda-beda dalam masyarakat yang berbeda-beda kompleksitasnya,
maka para ahli antropologi dan psikiater sepakat bahwa bukti itu baik, sejauh yang
berkenaan dengan konsekuensi dari perubahan sosial budaya yang cepat perubahan yang
demikian itu menghasilkan angka rata-rata yang tinggi tentang terjadinya insiden penyakit.
Orang-orang Okinawa, misalnya, yang terkenal mempunyai insiden yang relatif rendah di
daerah asal mereka, nampaknya sangat merasakan stres dalam migrasi mereka ke Hawaii;
di pemukinan mereka yang baru, angka rata-rata psikosis berkembang secara menyolok,
yang juga lebih tinggi dibandingkan dengan setiap kelompok besar penduduk lainnya di
kepulauan tersebut. Masalah yang sama terjadi pula pada penduduk asli Australia, di mana
Cawte meminjam judul sebuah lagu, "The Birth of the Blues" untuk membuat dramatis
observasinya bahwa "kesuraman" penghukuman ke dalam, yang mengarah kepada depresi
muncul lebih menyolok di kalangan masyarakat yang sedang mengalami transisi
dibandingkan dengan masyarakat yang telah mapan. Sindroma yang sempurna, menurut
Cawte, adalah penggantian yang dipaksakan dari keluarga luas kepada keluarga batih
model Barat, hilangnya objek-objek yang menunjang harga diri dan identitas para pasien,
represi dari norma moral yang lazim, dan dalam krisis stres, suatu perasaan bersalah yang
umum. Hampir serupa halnya, dalam mempelajari para migran India di Trinidad dan
Suriname, Angrosino menemukan konflik yang mengganggu berfungsinya antara ikatan
keluarga dengan komunitas etnis serta keinginan untuk menjalankan peranan "di luar"
komunitas modern. Alkoholisme yang berkembang, bersama periode-periode depresi dan
kecenderungan-kecenderungan untuk bunuh diri, tampak berhubungan dengan
pemberontakan terhadap tugas keagamaan keluarga yang konpleks.

Dalam bidang penyakit jiwa, tidak ada topik lain yang sedemikian menarik bagi ahli-
ahli antropologi daripada yang disebut sebagai penyakit-penyakit budaya khusus. Salah satu
dari "penyaki -penyakit" yang terke nal itu adalah "histeria Kutub Utara" atau arctic hysteria ;
windigo, suatu obsesi kanibalistik di kalangan masyarakat Indian di Amerika Utara bagian
timur laut, running amok, pembunuhan yang membabi buta di antara kaum laki-laki
Malaysia; latah, suatu reaksi histeria yang bersifat meniru, hampir serupa dengan bentuk
histeria Kutub orang Siberia; koro, ketakutan terhadap akan mengkerutnya penisnya di
kalangan orang laki-laki Cina; dan susto, suatu kondisi kecemasan depresif yang dilukiskan
di banyak daerah di Amerika Latin. Kami meragukan apakah susto akan dimasukkan ke
dalam daftar ini, karena susto leba tepat merupakan akibat dari variasi penyakit fisik dan
penyakit jiwa, terutama dengan menyebarluasnya penyakit rakyat di Amerika Latin yang
dikenal sebagai bilis, gangguan pada hati. Akhir-akhir ini, malgri, sindroma khawatir yang
membuat orang tidak berdaya, yang ditandai oleh kantuk dan sakit perut, dideskripsi kan
sebagai penyakit yang eksklusif di Kepulauan Wellesley. Gangguan ini mempunyai tema
pokok berupa fobia yang berkenaan dengan pelanggaran tabu atas makanan khusus.
Namun dengan susto, di sini timbul sindroma psikogenik yang berhubungan dengan
gangguan fisiologis, berupa gangguan gastrointestinal.

Kepustakaan mengenai penyakit-penyakit budaya khusus dan berbagai pen-


jelasannya yang dikemukakan untuk menerangkannya, telah diringkas dengan sangat baik
oleh John Kennedy; keterbatasan ruang menyebabkan sebagian besar keadaan itu tak
dapat dibahas di sini, walaupun secara singkat. Pertanyaan pokok yang timbul dari
pertimbangan tentang penyakit-penyakit budaya khusus adalah, apakah kondisi-kondisi
yang disebut- kan itu dalam kenyataannya mewakili sindroma yang secara klinis berbeda,
atau merupakan variasi dari, atau kombinasi-kombinasi dari, sindroma-sindroma psikiatrik
umum yang telah dikenal oleh para psikiater. Pandangan yang terakhir menguasai kalangan
sarjana modern, namun terdapat bukti yang cukup bahwa kekurangan gizi, kondisi
lingkungan yang keras, serta tekanan-tekanan sosial dan psikologis yang ekstrim yang
dapat memainkan peranan pencetus dalam perjalanan penyakit, lebih menegaskan
pentingnya penelitian yang terpe- rinci tentang sifat-sifat dan sebab-sebab dari penyakit-
penyakit tersebut. Kami mengambil kasus pibloktog, yakni histeria Kutub Utara versi Eskimo
untuk menunjukkan, bagaimana penelitian biologis dan kebudayaan mengarahkan kita
kepada pengertian yang lebih jelas tentang kondisi dramatik tersebut. Dengan
melakukannya, kami terutama mengambil model studi dari dokter ahli antropologi Foulks.

Histeria Kutub Utara ditemukan di kalangan penduduk Kutub Utara, mulai dari orang
Lapp di bagian barat sampai pada orang Eskimo di Greenland, di bagian timur. Foulks
mengenal dua sindroma pokok yang pertama ditandai oleh suatu mania meniru yang tanpa
pemikiran, yang hanya di temukan di Siberia, dan yang lainnya, keadaan disosiatif gila yang
ditemukan pada semua kelompok penduduk Kutub Utara, Kedua bentuk ditandai oleh
serangan tiba-tiba dari tingkahlaku ganjil yang berlangsung hanya sebentar, diikuti oleh
hilangnya gejala-gejala akut dan kembali ke keadaan normal. Para penderita pibloktog
merobek-robek baju mereka sendiri, sering bergumul dengan orang lain dengan memiliki
tenaga yang melebihi kekuatan manusia, menjatuhkan diri ke tumpukan salju atau meniru
suara-suara burung dan binatang-binatang lain.

Ia tidak percaya bahwa hal itu semata-mata dapat menyebabkan pibloktog, tetapi ia
menyarankan bahwa individu yang peka terhadap faktor-faktor lain termasuk serangan
kecemasan, atau individu-individu yang mengidap patologi otak, dapat jatuh sakit akibat
desinkronisasi tersebut .

Untuk menguji hipotesis ini, menurut Foulks, perlu didemonstrasikan bahwa


kesepuluh subjeknya yang menunjukkan gejala-gejala tingkahlaku pibloktog juga
memperlihatkan patologi otak yang dapat dihubungkan dengan serangan mendadak yang
menandai kondisi tersebut. Unsur yang sama yang ada di sini adalah bahwa mereka semua
"terancam atau sebenarnya tidak dapat mempertahankan suatu cara hidup yang dari segi
sosial memuaskan". Pada titik tertentu, semua pernah mengalami kekhawatiran bahwa
mereka tidak dapat menjalankan suatu cara hidup yang dapat diterima oleh penduduk lain di
desa mereka. Mereka merasa malu karena tidak mampu mencapai cara hidup yang berarti".
Dengan kata lain, mereka adalah calon bagi masalah-masalah psikologis, bahkan dalam
keadaan yang paling baik pun. Pelajaran pokok yang kita peroleh dari studi cermat Foulks
adalah bahaya dari usaha untuk menginterpretasikan fenomena yang kompleks sebagai
sesuatu yang bersifat universal.

Kesimpulan Foulks adalah kemajuan yang penting, karena para antropologi pada
umumnya melihat secara membabi buta budaya yang lebih tua dan model kepribadian untuk
menjelaskan penyakit mental, gagal mengenali bahwa banyak cacat organik yang diketahui
menyebabkan gejala yang, pada prinsipnya, tidak bergejala untuk dibedakan. yang juga
dapat disebabkan oleh mekanisme psikososial. Faktor fisiologis memainkan peran yang jauh
lebih besar dalam masalah kesehatan mental daripada yang diperkirakan sebelumnya, dan
budaya juga menjadi faktor pemicu masalah kesehatan mental. Jenis-jenis stres yang
diciptakan kehidupan bervariasi sesuai dengan tekanan budaya, tetapi stres adalah fakta
yang ada di mana-mana dalam masyarakat. Faktor keturunan, faktor fisiologis dan faktor
psikokultural menjelaskan penyakit jiwa.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa etnopsikiatri adalah penjelasan


tentang penyakit kejiwaan yang terdapat pada masyarakat Barat dan non-Barat. Dari
perspektif masyarakat Barat, seseorang dengan penyakit kejiwaan dapat diobati tanpa
kontak dengan kekuatan supranatural, sementara dari perspektif ahli lintas budaya yang
mempelajari masyarakat non-Barat, mereka menyimpulkan bahwa penyembuhan dicapai
melalui penggunaan Shanisme (perdukunan). karena sebagian besar masyarakat non-Barat
masih percaya bahwa seseorang yang mengalami gangguan jiwa memiliki hubungan
dengan kekuatan supranatural,

Tentang perilaku normal dan abnormal dalam masyarakat. Perilaku normal adalah
seseorang yang tidak menunjukkan perilaku menyimpang di masyarakat, sedangkan
perilaku abnormal adalah gejala yang menyimpang dari masyarakat pada umumnya,
misalnya orang gila, LGBT dan pecandu narkoba, maka tanda perilaku menyimpang (label)
muncul dalam kehidupan masyarakat.

DAFTAR PUSTKA

Foster, G. M,. & Anderson, B. G. (2006). Antropologi Kesehatan (terjemahan).


Universitas Indonesia. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai