Anda di halaman 1dari 5

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Perspektif Biologis

Berlawanan dengan latar belakang kemajuan dalam ilmu kedokteran, seorang dokter dari
Jerman Wilhelm Griesinger (1817-1868) menyatakan bahwa perilaku abnormal berakar pada
penyakit di otak. Pandangan Griesinger mempengaruhi dokter Jerman lainnya, Emil Kraepelin
(1856-1926), yang menulis buku teks penting dalam bidang psikiatri pada tahun 1883 di mana
menghubungkan gangguan mental dengan penyakit fisik. Griesinger dan Kraepelin membuka
jalan untuk perkembangan model medis modern, yang berusaha menjelaskan penyebab perilaku
abnormal berdasarkan kerusakan biologis atau abnormalitas yang mendasarinya, bukan roh jahat.
Menurut model medis, orang yang berperilaku abnormal menderita penyakit atau gangguan
mental yang dapat diklasifikasi, sebagaimana penyakit fisik, berdasarkan penyebab dan simtom
khusus dari masing-masing gangguan. Tidak semua orang yang mengadopsi model medis
meyakini bahwa setiap pola perilaku abnormal merupakan hasil dari kerusakan biologis, namun
mereka mempertahankan keyakinan bahwa pola perilaku abnormal tersebut dapat dihubungkan
dengan penyakit fisik karena ciri-cirinya dapat dikonseptualisasikan sebagai simtom-simtom dari
gangguan yang mendasarinya, apa pun penyebabnya.
Kraepelin menspesifikasi dua kelompok utama dari gangguan atau penyakit mental:
dementia praecox (dari altar kata yang berarti "kegilaan precocious (prematur)"), yang saat ini
kita sebut sebagai skizofrenia, dan psikosis manic depresi, yang sekarang diistilahkan sebagai
gangguan bipolar. Kraepelin meyakini bahwa dementia praecox disebabkan oleh
ketidakseimbangan biokimiawi dan psikosis manik depresi oleh suatu abnormalitas dalam
metabolisme tubuh. Namun kontribusi utama dari Kraepelin adalah penciptaan sistem klasifikasi
yang menjadi intisari bagi sistem diagnostik saat ini. Banyak terminologi yang digunakan saat ini
yang mencerminkan pengaruh dari model medis. Dengan adanya model medis, banyak
profesional dan orang awam berbicara mengenai orang-orang yang perilakunya dianggap
abnormal sebagai menderita sakit mental. Karena model medis ini banyak orang berbicara
mengenai simtom-simtom perilaku abnormal, dan bukan ciri-ciri atau karakteristik perilaku
abnormal. Istilah-istilah lain yang dikembangkan oleh model medis termasuk kesehatan men-rah
sindrom, diagnosis, pasien, pasien mental, rumah sakit mental prognosis, penanganan, terapi,
kesembuhan, Icambuh, dan remisi.2 Model medis merupakan kemajuan utama dari demonologi.
Model ini mengilhami ide bahwa perilaku abnormal seharusnya ditangani oleh profesional
terlatih dan bukan dengan hukuman. Kasih sayang menggantikan kebencian, ketakutan, dan
penganiayaan.

2.2 Perspektif Psikologis

Meskipun model medis mempunyai pengaruh pada abad ke-19, terdapat sejumlah orang yang
meyakini bahwa faktor organis semata tidak dapat menjelaskan berbagai bentuk perilaku
abnormal. Di Paris, seorang neurolog yang sangat disegani, Jean-Martin Charcot (1825-1893),
melakukan eksperimen dengan penggunaan hipnosis (hypnosis) dalam menangani histeria, suatu
kondisi di mana orang-orang datang dengan simtom-simtom fisik seperti kelumpuhan atau mati
rasa yang tidak dapat dijelaskan oleh berbagai macam penyebab fisik yang mendasari.
Pemikiran pada masa itu adalah bahwa mereka pasti mengalami masalah pada sistem saraf, yang
menyebabkan simtom-simtom tersebut. Namun Charcot dan rekan-rekannya menunjukkan

1
bahwa simtom-simtom tersebut dapat dihilangkan dari tubuh pasien histeria atau benar-benar
dimunculkan pada tubuh pasien normal melalui sugesti hipnosis.  Di antara mereka yang
menghadiri demonstrasi Charcot terdapat seorang dokter muda dari Austria bernama Sigmund
Freud (1856-1939). Freud berpikir bahwa apabila simtom-simtom histeria dapat dihilang-kan
atau dimunculkan melalui hipnosis—sekedar "saran tentang ide"—maka simtom tersebut
semestinya me-miliki sumber yang bersifat psikologis (E. Jones, 1953). la menyimpulkan bahwa
apa pun faktor psikologis yang menyebabkan histeria, faktor-faktor itu pasti terletak di luar area
kesadaran.

Hal ini merupakan ide penting yang mendasari perspektif psikologis pertama mengenai
perilaku abnormal—model psikodinamika (psychodynamic model). Freud meyakini bahwa
penyebab perilaku abnormal terletak pada interaksi antara kekuatan-kekuatan di dalam pikiran
bawah sadar. "Saga memperoleh impresi yang paling membanggakan," Freud menulis mengenai
pengalamannya dengan Charcot, "atas kemungkinan bahwa terdapat proses-proses mental yang
sangat kuat yang di sisi lain tetap tersembunyi di dalam ketidaksadaran manusia" (sebagaimana
dikutip dalam Sulloway, 1983, halaman 32). Freud juga dipengaruhi oleh seorang dokter dari
Wina, Joseph Breuer (1842-1925), yang berusia 14 tahun lebih tua dari dirinya. Breuer juga
menggunakan hipnosis untuk menangani seorang perempuan berusia 21 tahun, Anna yang
memiliki keluhan-keluhan histeria di mana tidak terdapat dasar medis yang jelas, seperti
kelumpuhan pada tungkai, mad rasa, serta gangguan dalam penglihatan dan pendengaran (E.
Jones, 1953). Otot yang "lumpuh" di lehernya membuat ia tidak dapat menolehkan kepalanya.
Ketidakmampuannya untuk menggerakkan jari-jari di tang-an kiri membuatnya tidak mungkin
untuk makan sendiri. Breuer yakin bahwa terdapat komponen psikologis yang sangat kuat pada
simtom-simtom tersebut. Ia menangani Anna dengan mendorongnya untuk membicarakan
keluhannya. terkadang di bawah hipnosis. Mengingat kembali dan membicarakan tentang
peristiwa-peristiwa yang terkait dengan kemunculan simtom-simtom tersebut---terutama
peristiwa-peristiwa yang membangkitkan perasaan takut, cemas, atau rasa bersalah—tampaknya
dapat menghilangkan simtom itu, paling tidak untuk suatu waktu. Anna menyebut penanganan
ini sebagai "pembicaraan yang mengobati," atau, ketika bercanda, sebagai "pembersihan
cerobong asap." Simtom histeria dianggap mencerminkan transformasi dari emosi-emosi yang
terhambat, terlupakan namun tidak hilang, menjadi keluhan-keluhan fisik.
Pada kasus Anna, simtom-simtomnya tampak meng-hilang ketika emosi-emosi yang ia
pendam dibawa ke alam sadar dan "dilepaskan." Breuer mengistilahkan efek terapeutik ini
sebagai katarsis (catharsis), istilah Yunani yang berarti pembersihan atau pemurnian perasaan.
Kasus-kasus histeria, seperti pada Anna 0., tampaknya merupakan suatu hal yang umum terjadi
pada akhir masa Victoria, namun relatif lebih jarang pada masa kini (Spitzer dkk., 1989). Model
teoretis Freud merupakan model psikologis utama yang pertama membahas mengenai perilaku
abnormal. Sebagaimana yang akan kita lihat di Bab 2, perspektif psikologis lain mengenai
perilaku abnormal segera mengikuti dengan didasarkan pada model-model behavioral,
humanistik, dan kognitif. Kita juga akan melihat bahwa masing-masing perspektif tersebut,
sebagaimana model medis kontemporer. menghasilkan bentuk-bentuk terapi tertentu untuk
menangani gangguan-gangguan psikologis.
  
2.3 Perspektif Sosiokultural

2
Teoretikus sosiokultural meyakini bahwa kita harus mempertimbangkan konteks-konteks
sosial yang lebih luas di mana suatu perilaku muncul untuk memahami akar dari perilaku
abnormal. Mereka meyakini bahwa penyebab perilaku abnormal mungkin dapat ditemukan pada
kegagalan masyarakat dan bukan pada kegagalan orangnya. Masalah-masalah psikologis bisa
jadi berakar pada penyakit sosial masyarakat, seperti kemiskinan, perpecahan sosial, diskriminasi
ras dan gender, serta hilangnya kesempatan ekonomi. Menurut para teoretikus sosiokultural yang
lebih radikal, seperti psikiatri Thomas Szasz, penyakit mental adalah suatu mitos—suatu label
yang digunakan untuk menstigmatisasi dan merendahkan orang-orang yang perilakunya
menyimpang secara sosial (T.S. Szasz, 1961, 2000). Szasz menyatakan bahwa apa yang disebut
penyakit mental sesungguhnya adalah "masalah dalam kehidupan," bukan penyakit aktual seperti
influenza, AIDS, dan kanker. Szasz beranggapan bahwa orang-orang yang menyerang orang lain
atau melakukan perilaku yang menyimpang secara sosial dipersepsikan sebagai ancaman bagi
keberadaan kelompok. Melabel mereka dengan sakit memungkinkan orang lain untuk
menginglcari validitas masalah mereka dan menyingkirkan mereka ke institusi-institusi.
Para teoretikus sosiokultural menyatakan bahwa sekali label "sakit mental" diberikan pada
seseorang, sangatlah sulit untuk dihilangkan. Label ini juga mempengaruhi respons orang lain
terhadap "pasien." Pasien mental distigmatisasi dan direndahkan secara sosial. Kesempatan kerja
mungkin hilang, persahabatan mungkin terpecah, dan "pasien" mungkin semakin diasingkan dari
masyarakat. Szasz mengemulcalcan bahwa memperlakukan orang sebagai berpenyakit mental
berarti mencabut martabat mereka karena hal ini merupakan penyangkalan atas tanggung jawab
mereka terhadap perilaku-perilaku dan pilihan-pilihan mereka sendiri. Ia menyatakan bahwa
orang yang bermasalah seharusnya didorong untuk lebih bertanggung jawab dalam mengatur
kehidupan dan memecahkan masalah mereka sendiri.
Meskipun tidak semua teoretikus sosiokultural menyetujui pandangan radikal Szasz,
semuanya menekankan pentingnya mengikutsertakan faktor sosiokultural dalam memahami
orang-orang yang perilakunya membuat mereka dipersepsikan mengalami sakit mental atau
abnormal. Faktor-faktor sosiokultural dapat mencakup hal-hal yang berkaitan dengan gender,
ras, etnisitas, gaya hidup, atau penyakit-penyakit sosial seperti kemiskinan dan diskriminasi.

2.4 Perspektif Biopsikososial

Banyak akademisi terkemuka pada masa kini yang meyakini bahwa pola-pola perilaku
abnormal terlalu kompleks untuk dapat dipahami hanya dari salah satu model atau perspektif.
Mereka mendukung pandangan bahwa perilaku abnormal dapat dipahami dengan paling baik
bila memperhitungkan interaksi antara berbagai macam penyebab yang mewakili bidang
biologis, psikologis, dan sosiokultural.

Perspektif biopsikososial, atau model interaksionis, menginspirasikan pendekatan yang kami


ambil dalam buku ini untuk memahami asal usul dari perilaku abnormal. Kami yakin bahwa kita
perlu untuk mempertimbangkan interaksi antara faktor-faktor biologis, psikologis, can
sosiokultural dalam perkembangan gangguan psikologis. Meskipun kami menyadari bahwa
panahaman kami mengenai faktor-faktor penyebab tersebut mungkin tidak lengkap, kami
mendorong pembaca untuk mempertimbangkan jalur penyebab yang mungkin ada yang
melibatkan pengaruh dari berbagai faktor dan interaksinya. Perspektif-perspektif tentang
gangguan psikologis memberikan suatu kerangka berpikir yang tidak Lanya untuk penjelasan
namun juga untuk penanganan (lihat Bab 4). Berbagai perspektif tersebut juga menghasilkan

3
formulasi untuk peramalan, atau hipotesis, yang menjadi pedoman penelitian. Model medis,
misalnya, memicu penyelidikan dalam metode-metode penanganan genetis dan biokimiawi..

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perspektif merupakn suatu perkumpulan asumsi tentang sesuatu, dengan adanya
perspektif orang akan memandang sesuatu dengan cara tertentu. Dalam memandang
prilaku abnormal, terdapat beberapa pandangan tertentu sehingga penanganan dan
tindakan dari orang yang berprilaku abnormal pun berbeda-beda.
Sedangkan pada perspektif yang modern, masyarakat mulai berpaling pada nalar dan
ilmu pengetahuan sebagai cara untuk menjelaskan prilaku manusia. Penemuan-penemuan
ilmiah mengungkapkan penyebab mikrobiologis dari beberapa jenis penyakit dan
menghasilkan langkah-langkah preventif. Model-model prilaku abnormal jiga mulai
bermunculan, meliputi model-model yang mewakili perspektif biologis, psikologis,
sosiokultural, biopsikososial.

3.2 Saran
Penulis menyadarai bahwa dalam proses pembuatan dan penyampaian makalah terdapat
banyak kesalahan dan kekhilafan dari kurangnya sumber buku, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penulis guna mengingatkan dan
memperbaiki setiap kesalahan yang ada dalam proses pembuatan dan penyampaian
makalah. Dan penulis mengucapkan rasa syukur kehadirat Allah SWT. Serta
bertrimakasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam proses membuat makalah ini.

4
DAFTAR PUSTAKA

http://sumberilmupsikologi.blogspot.com/2015/10/perspektif-kontemporer-tentang-perilaku.html

Anda mungkin juga menyukai