Anda di halaman 1dari 2

RINGKASAN

“TINDAK PIDANA
PEMERASAN DAN PENGANCAMAN MELALUI MEDIA SOSIAL
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Mataram Nomor
272/Pid.Sus/2019/PN.Mtr)”

Endri Susanto
I2B.021.043

Tindak pidana yang terdapat dalam Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
merupakan tindak pidana khusus yang diatur dalam undang-undang tersendiri yaitu
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam beracara di
pengadilan tetap berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Pengaturan itu masih tetap dan berada dalam batas-batas yang diperkenankan oleh
hukum pidana formil dan materil. Penerapan ketentuan pidana khusus dimungkinkan
berdasarkan asas lex spesialis derogate lex generalis , yang mengisyaratkan bahwa
ketentuan yang bersifat khusus akan lebih diutamakan daripada ketentuan yang
bersifat umum.
Tindak pidana pemerasan dan pengancaman terdapat dalam Buku Kedua
tentang Kejahatan, pada BAB XXIII tentang Delik Pemerasan dan Pengancaman
yang ditetapkan dengan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan
Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam Pasal 368, 369, 370 dan 371. Sementara itu di
Undang Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang KUHP yang disahkan oleh DPR RI
pada bulan desember tahun 2022 tidak ada perubahan mendasar atau substansial
dalam delik ini, yang berubah adalah Bab dan nomor pasalnya yaitu Tindak Pidana
Pemerasan dan Pengancaman termuat dalam BAB XXV Pasal 482, 483, 484, dan
485. Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik telah mengantisipasi
sedemikian rupa atas pengaruh buruk dari pemanfaatan kemajuan teknologi.
Perbuatan-perbuatan yang menyerang kepentingan hukum orang pribadi,
masyarakat, atau kepentingan hukum negara dengan memanfaatkan kemajuan
teknologi ITE adalah merupakan sisi buruk dari kemajuan teknologi ITE. Dalam hal
ini UU ITE telah menetapkan perbuatan-perbuatan mana yang termasuk tindak
pidana di bidang ITE dan telah ditentukan sifat jahatnya dan penyerangan terhadap
berbagai kepentingan hukum dalam bentuk rumusan-rumusan tindak pidana
tertentu.
Perkara tindak pidana pemerasan dan pengancaman melalui media elektronik
yang terjadi yaitu pada putusan Pengadilan Negeri Mataram Nomor
272/Pid.Sus/2019/PN.Mtr dengan terdakwa Amusrien Kholil, dimana terdakwa
didakwa dengan dakwaan tunggal dan diputus bebas ( vrijspraak). Dalam putusan
tersebut, tuntutan pidana Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Mataram tanggal
27 Juni 2019 menyatakan bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan terbukti
melakukan tindak pidana “Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang
memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman sebagaimana dakwaan tunggal
Pasal 27 Ayat (4) juncto Pasal 45 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (ITE).
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini, sebagai berikut: 1) Bagaimana konsep delik pemerasan dan
pengancaman melalui media sosial dalam rumusan Pasal 27 ayat (4) Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik? Dan bagaimanakah
pertimbangan hakim dalam putusan bebas ( vrijspraak) terhadap perkara tindak
pidana pemerasan dan pengancaman melalui media sosial (Studi Putusan Pengadilan
Negeri Mataram Nomor 272/Pid.Sus/2019/PN.Mtr)? Penelitian ini merupakan jenis
penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan Undang-Undang ,
Pendekatan Konseptual dan Pendekatan Kasus.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1) Konsep delik atau tindak pidana
pemerasan dan pengancaman (afpersing en afdreiging) pada Pasal 27 ayat (4)
Undang-undang ITE merupakan bentuk khusus (lex specialis) dari pemerasan dan
pengancaman Pasal 369 KUHP sebagai bentuk umumnya (lex generalis). Untuk
membuktikan tindak pidana Ayat (4) harus membuktikan bersama unsur-unsur Pasal
368 atau 369 KUHP. Delik pemerasan dan pengancaman (afpersing en afdreiging)
sebelumnya pada KUHP merupakan dua tindak pidana yang berbeda, akan tatapi
dalam UU ITE merumuskan tindak pidana pemerasan dan pengancaman dalam satu
rumusan Pasal. Pemerasan dan pengancaman (afpersing en afdreiging) yang
dilakukan melalui media elektronik menggunakan unsur pemerasan sebagai unsur
pertama dikarenakan pemerasan merupakan substansinya, sedangkan pengancaman
adalah cara yang digunakan pelaku untuk melancarkan aksi pemerasan. 2)
Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Bebas ( Vrijspraak) Terhadap Perkara Tindak
Pidana Pemerasan Dan Pengancaman Melalui Media Sosial (Studi Putusan
Pengadilan Negeri Mataram Nomor 272/Pid.Sus/2019/Pn.Mtr) adalah bahwa di
persidangan Terdakwa menerangkan maksud dan tujuan Terdakwa memberikan
komentar di Media Sosial adalah agar dana bantuan gempa bumi cepat terealisasi
oleh Pemda Kab. Lombok Utara, karena bantuan gempa bumi dari Pemda Lombok
Utara terlalu lama diberikan kepada masyarakat dikarenakan kondisi saat ini
masyarakat NTB khususnya di Kab. Lombok Utara sangat membutuhkan bantuan
dari Pemda KLU. Pertimbangan lainnya juga bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum
terbukti dari postingan Terdakwa dalam akun facebook-nya bukan bermotif
pemerasan dan Terdakwa tidak mendapatkan keuntungan apa-apa dari
postingannya tersebut, oleh karena itu unsur memiliki muatan pemerasan dan/atau
pengancaman tidak terbukti.

Anda mungkin juga menyukai