Anda di halaman 1dari 43

RELEVANSI PLATFORM EKONOMI PANCASILA MENUJU

PENGUATAN PERAN EKONOMI RAKYAT


Pemilu 2004 sudah pasti akan diwarnai dengan ‘pertarungan politik’ antar parpol, sekaligus juga
antar kandidat calon presiden, caleg, dan antar calon anggota DPD. Hasilnya bisa jadi
kekuasaan tetap dipegang ‘pemimpin lama’, atau mungkin pula akan muncul penguasa-
penguasa baru, partai baru, dan orang-orang yang baru pula. Lalu, akan berubahkah nasib
ekonomi bangsa kita? Tidak dapat dipastikan, kecuali ada ‘janji-janji’ perubahan kebijakan
ataupun program ekonomi yang lebih banyak bersifat parsial dan konvensional dari partai peserta
pemilu. Saya setuju dengan Khudori (2004) bahwa momen Pemilu 2004 selayaknya bukan saja
memungkinkan pergantian orang atau partai melainkan pergantian ideologi atau moral ekonomi
yang mengarah pada ciri neoliberal-kapitalistik dewasa ini. Bukan berganti menjadi apa-apa,
melainkan kembali ke ideologi atau moral ekonomi Pancasila, sebuah ideologi ekonomi yang ‘ke-
Indonesia-an’.

Tulisan ini menjawab pragmatisme atau ketidaktahuan banyak orang sehingga mereka bertanya-
tanya, relevankah Ekonomi Pancasila dalam memperkuat peranan ekonomi rakyat dan ekonomi
nasional di era global (isme) kontemporer? Mereka skeptis, bukankah sistem ekonomi kita sudah
mapan, makro-ekonomi sudah stabil dengan indikator rendahnya inflasi (dibawah 5%), stabilnya
rupiah (Rp 8.500,-), menurunnya suku bunga (dibawah 10%). Lalu, apakah tidak mengada-ada
bicara sistem ekonomi dari ideologi yang pernah ‘tercoreng’, dan tidak nampak wujudnya, tidak
realistis, dan utopis? Mereka ini begitu yakin bahwa masalah ekonomi (krisis 97) adalah karena
‘salah urus’ dan bukannya ‘salah sistem’, apalagi dikait-kaitkan dengan ‘salah ideologi’ atau
‘salah teori’ ekonomi. Tidak dapat disangkal, KKN yang akut memberi sumbangan besar bagi
keterpurukan ekonomi bangsa ini. Namun, krisis di Indonesia juga tidak terlepas dari
berkembangnya paham kapitalisme disertai penerapan liberalisme ekonomi yang ‘kebablasan’.
Akibatnya, kebijakan, program, dan kegiatan ekonomi banyak dipengaruhi paham (ideologi),
moral, dan teori-teori kapitalisme-liberal.

Disinilah relevansi platform (istilah penulis) Ekonomi Pancasila, sebagai ‘media’ untuk mengenali
(detector) bekerjanya paham dan moral ekonomi yang berciri neo-liberal kapitalistik di Indonesia.
Profesor Mubyarto merumuskan Ekonomi Pancasila sebagai sistem ekonomi yang bermoral
Pancasila, dengan lima platform sebagai manifestasi sila-sila Pancasila yaitu moral agama, moral
kemerataan sosial, moral nasionalisme ekonomi, moral kerakyatan, dan moral keadilan sosial.
Ekonomi Pancasila merupakan prinsip-prinsip moral (ideologi) ekonomi yang diderivasikan dari
etika dan falsafah Pancasila. Oleh karena itu, selain berisi cita-cita visioner terwujudnya keadilan
sosial, ia juga mengangkat realitas sosio-kultur ekonomi rakyat Indonesia, sekaligus ‘rambu-
rambu’ yang bernilai sejarah untuk tidak terjerumus pada paham liberalisme dan kapitalisme.
Gagasan Ekonomi Pancasila mulai dikembangkan Profesor Mubyarto sejak tahun 1981 dalam
suatu polemik tentang sistem ekonomi nasional sampai saat ini. Inilah platform ekonomi yang
lebih awal lahir daripada gagasan Amitai Etzioni tentang ‘ekonomi baru’ yang berdimensi moral
dalam bukunya The Moral Dimension: Toward a Newf Economics, Free Press 1988). Penerapan
platform Ekonomi Pancasila secara utuh (multi-sektoral) dan menyeluruh (nasional)
menempatkan Indonesia sebagai negara yang menganut sistem ekonomi khas Indonesia yaitu
Sistem Ekonomi Pancasila.

Lalu, apa bukti platform Ekonomi Pancasila relevan dengan kondisi sosial-ekonomi kita saat ini?
Di tengah pesatnya perkembangan ilmu (ideologi) ekonomi global yang sudah semakin
mengarah pada ‘keyakinan’ layaknya agama  (Nelson, 2001), rasanya tidak sulit mengamati
ekses dari kecenderungan global tersebut di Indonesia. Relevansi Ekonomi Pancasila dapat
‘dideteksi’ dari tiga kontek yang berkaitan yaitu cita-cita ideal pendiri bangsa, praktik ekonomi
rakyat, dan praktek ekonomi aktual yang ‘menyimpang’ karena berwatak liberal, individualis, dan
kapitalistik. Semua itu terangkum dalam kajian lima platform Ekonomi Pancasila yang bersifat
holistik dan visio-revolusioner (Mubyarto, Ekonomi Pancasila, 2003).Kita mulai dari platform
pertama Ekonomi Pancasila yaitu moral agama, yang mengandung prinsip “roda kegiatan
ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral”. Pada awalnya
founding fathers kita merumuskan ‘politik kemakmuran’, ‘keadilan sosial’, dan ‘pembangunan
karakter’ (character building) bangsa yang dilandasi semangat penerapan ajaran moral dan
agama. Itu berarti pembangunan ekonomi harus beriringan dengan pembangunan moral atau
karakter bangsa, dan ditujukan untuk menjamin keadilan antar sesama makhluk ciptaan Allah,
tidak sekedar pembangunan materiil semata. Inilah moral ekonomi rakyat yang tidak sekedar
mencari untung, melainkan memperkuat silaturahmi, menegakkan hukum-hukum Allah (syari’ah),
dan memperhatikan kepentingan sosial. Asalkan tidak malas untuk turun ke desa-desa atau ke
pelaku ekonomi rakyat, tidak sulit untuk menemukan praktek ekonomi bermoral ini.

Relevansi platform Ekonomi Pancasila dalam hal ini dikuatkan akutnya perilaku ekonomi di
Indonesia yang sama sekali mengabaikan moral, etika, bahkan agama. Lihat saja korupsi yang
sudah membudaya dan melembaga karena tidak pernah diperhatikan secara serius, kecuali saat-
saat terakhir menjelang Pemilu 2004 dengan pembentukan KPTPK. Ada lagi maraknya
‘penjarahan alam’ berupa penebangan hutan secara liar (llegal logging) yang terlalu lama
‘didiamkan’ sehingga berakibat banjir, tanah longsor, dan kekeringan di sebagian wilayah di
Jawa, Sumatara, dan pulau lainnya. Yang masih panas-panasnya adalah maraknya ‘pornoaksi’
dangdut erotis lewat media TV yang memang ‘dibiarkan’ di alam kebebasan (liberalisme) saat ini.
Tanpa peduli moral, agama, dan dampak sosial bagi masyarakat, para penyanyi, produser,
perusahaan (iklan), dan stasiun TV, mengeruk ‘rente’ dari kegiatan ekonomi (bisnis) mereka.
Masih ada juga  penggusuran orang miskin, pengabaian nasib TKI, dan ribut-ribut soal
‘pesangon’ BPPN atau DPRD di berbagai tempat. Kondisi itu menegaskan perlunya ‘revolusi
moral ekonomi’ menuju pengejawantahan platform Ekonomi Pancasila, yang bermoral dan tidak
sekuler.

Platform kedua adalah “kemerataan sosial, yaitu ada kehendak kuat warga masyarakat untuk
mewujudkan kemerataan sosial, tidak membiarkan terjadi dan berkembangnya ketimpangan
ekonomi dan kesenjangan sosial”. Gagasan ini sudah lama tertuang dalam bagian penjelasan
Pasal 33 UUD 45 yang sudah diamandemen dalam konsep ‘kemakmuran masyarakatlah yang
diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang’. Sampai saat ini masih sulit meyakini realisasi
semangat tersebut karena setiap upaya ‘memakmurkan ekonomi’ ternyata yang lebih merasakan
dampaknya tetap saja ‘orang besar’ baik pengusaha ataupun pejabat pemerintahan. Masih saja
ketimpangan sosial-ekonomi susah untuk diperkecil. Di puncak piramida yang menguasai
mayoritas kue nasional dihuni segelintir manusia. Sebaliknya, di dasar piramida yang kuenya
kecil diperebutkan puluhan juta orang (Khudori, 2004).

Zakat yang sudah diformalkan (UU) dan pajak sebagai instrumen pemerataan ternyata belum
mampu berbuat banyak, padahal potensi untuk itu sangat besar. Banyak orang yang memiliki
kekayaan milyaran (termasuk calon-calon presiden kita, Tempo, 2004), namun banyak pula yang
pendapatannya pas-pasan sekedar untuk bertahan hidup. Itulah kita, hidup di ‘negara kaya’
(SDA) yang ‘miskin’ (terlilit utang), tetapi masih mampu menampilkan gaya hidup mewah,
eksklusif, dan glamour dari sebagian elit warganya. Lihatlah pesta-pesta bernilai ratusan juta
semalam yang sering diadakan ‘selebriti’, termasuk juga acara-acara pejabat yang sering
menyentak hati karena dipaksakan untuk tetap ada dan mewah. Dalam pada itu, kita masih saja
berbicara pertumbuhan ekonomi mau 4%, 5%, atau 7%, tanpa berupaya keras memprioritaskan
pemerataannya ataupun berusaha sedikit lebih ‘sederhana’ di tengah kemiskinan yang menjerat
kurang lebih 36 juta rakyat Indonesia. Kita dapat belajar pada ekonomi rakyat kita, terutama di
perdesaan, yang masih memegang prinsip kebersamaan dan solidaritas sosial-ekonomi dalam
kegiatan mereka. Ekonomi Pancasila berfungsi sebagai platform ekonomi yang memperjuangkan
pemerataan dan moral kemanusiaan melalui upaya-upaya ‘redistribusi pendapatan’.

Platform ketiga adalah “nasionalisme ekonomi; bahwa dalam era globalisasi makin jelas adanya
urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri”. Platform ini
sejalan dengan konsep founding fathers kita, khususnya Bung Karno dan Bung Hatta, perihal
‘politik-ekonomi berdikari’ yang bersendikan usaha mandiri (self-help), percaya diri (self reliance),
dan pilihan kebijakan luar negeri bebas-aktif. Kemandirian bukan saja menjadi cita-cita akhir
pembangunan nasional, melainkan juga prinsip yang menjiwai setiap proses pembangunan itu
sendiri. Ini mensyaratkan bahwa pembangunan ekonomi haruslah didasarkan pada kekuatan
lokal dan nasional untuk tidak hanya mencapai ‘nilai tambah ekonomi’ melainkan juga ‘nilai
tambah sosial-kultural’, yaitu peningkatan martabat dan kemandirian bangsa (Swasono, 2003).
Oleh karena itu pokok perhatian seharusnya diberikan pada upaya pemberdayaan ekonomi
rakyat sebagai tulang punggung ekonomi nasional. Ekonomi rakyatlah yang bersifat mandiri,
tidak ‘menyusahkan’ atau ‘membebani’ ekonomi nasional di saat krisis, sehingga ‘daya tahan’
ekonomi mereka tidak perlu diragukan lagi.
Lalu, kenapa saat ini nasionalisme ekonomi seakan-akan telah dianggap tidak penting, tidak
relevan, dan tidak perlu diperjuangkan? Lihat saja, petani dan peternsk kecil kita begitu ‘menjerit’
di saat ada impor beras, gula, dan paha ayam. Apa gunanya kampanye cinta produk dalam
negeri bila pemihakan terhadap pelaku ekonomi rakyat sebagai produsen lokal masih setengah
hati. Lagi pula, mengapa kita ragu untuk melakukan ‘proteksi’ terhadap petani kita di saat
Amerika, Jepang, negara-negara Eropa memberikan perlindungan kepada petani-petani mereka.
Lebih lanjut, justru investasi (asing) dan privatisasi BUMN yang saat ini begitu dipercaya sebagai
‘dewa’ pertumbuhan ekonomi dengan melupakan begitu saja sifat pemodal besar untuk mencari
tempat yang menguntungkan bagi investasi mereka. Dengan begitu pelarian modal (capital flight)
atau relokasi industri adalah wajar bagi mereka, dan memang tidak ada kamus ‘nasionalisme
ekonomi’ atau ‘nasionalisme modal’ dalam istilah mereka. Ada kesan kuat bahwa interaksi yang
timpang (sub-ordinatif) dengan lembaga asing seperti IMF dan CGI (terkait dengan jebakan
utang) telah ‘mengaburkan’ pentingnya kemandirian ekonomi bangsa yang ditopang oleh
semangat nasionalisme ekonomi.

Platform keempat adalah “demokrasi ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan; koperasi
dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat”. Prinsip ini
dijiwai oleh semangat Pasal 33 UUD 1945 yang kini sudah berganti menjadi UUD 2002
(amandemen keempat). Perubahan ini telah menghilangkan seluruh penjelasan UUD 1945
termasuk penjelasan Pasal 33 yang berisikan prinsip-prinsip demokrasi ekonomi dan landasan
konstitusional koperasi. Oleh karena itu, upaya penegakan demokrasi ekonomi nampaknya
berhadapan dengan upaya-upaya untuk memperjuangkan pasar bebas, yang menjadi senjata
penganut paham liberalisme dan kapitalisme. Isu-isu yang kemudian dicuatkan diantaranya
adalah privatisasi BUMN dan liberalisasi impor.

Pemilu 2004 setidaknya merupakan manifestasi demokrasi politik, namun bagaimana dengan
manifestasi demokrasi ekonominya?  Penghapusan ‘koperasi’ dari penjelasan UUD 45 dan
memasukkan ideologi ‘persaingan’ dan ‘pasar bebas’ dalam pasal 33 merupakan runtutan dari
kebijakan privatisasi BUMN yang ditentang banyak kalangan. Beralihnya pemilikan BUMN ke
investor swasta melalui privatisasi dikhawatirkan justru memperpuruk kesejahteraan ekonomi
rakyat (Baswir, 2001). Kita patut prihatin jika aset-aset yang menguasai hajat hidup orang banyak
terus ‘diobral’ ke pemodal besar apalagi pemodal asing (kasus Indosat). Jika dasar dan
pengertian demokrasi ekonomi (dalam penjelasan Pasal 33 ) sudah ‘dihapuskan’, maka dengan
platform Ekonomi Pancasila kita berusaha keras untuk mengembalikan hakekat demokrasi
ekonomi atau sistem ekonomi kerakyatan dengan ciri ‘produksi dikerjakan oleh semua untuk
semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat’.

Platform kelima (terakhir) adalah “keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil antara
perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan
bertanggungjawab, menuju pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Tujuan
keadilan sosial juga mencakup keadilan antar wilayah (daerah), yang memungkinkan seluruh
wilayah di Indonesia berkembang sesuai potensi masing-masing. Oleh karena itu pengalaman
pahit sentralisasi politik-ekonomi era Orde Baru dapat kita jadikan pelajaran untuk menyusun
strategi pembangunan nasional. Inilah substansi Negara Kesatuan yang tidak membiarkan
terjadinya ketimpangan sosial-ekonomi antardaerah melalui pemusatan aktivias ekonomi oleh
pemerintah pusat, dan di pusat pemerintahan. Paradigma yang kemudian dibangun adalah
pembangunan Indonesia, bukannya pembangunan di Indonesia seperti yang dilakukan Orde
Baru dengan paham developmentalism yang netral visi dan misi (Swasono, 2003).

Meskipun otonomi daerah telah mendorong kemandirian dan kreativitas Pemda dalam
membangun wilayah mereka, namun masih saja mereka merasa kesulitan untuk menggali
sumber-sumber penerimaan daerah. Langkah yang lazim diambil adalah optimalisasi PAD
melalui pemberlakuan Perda-Perda yang justru kadang ‘bertentangan’ dengan peraturan di
atasnya seperti halnya hasil kajian Depdagri menunjukkan ada  sekitar 7000 perda yang dinilai
tidak layak diterapkan (Sunarsip, 2004). Keadaan ini dimungkinkan karena masih juga terjadi
ketimpangan antarwilayah, antara pusat dan daerah di Indonesia. Otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal yang dimaksudkan untuk mengoreksi sentralisasi ekonomi dan pemerintahan
praktis tidak mengubah sedikitpun perimbangan penerimaan negara di Indonesia. Pusat tetap
memungut 95 persen, sedangkan PAD seluruh daerah di Indonesia tetap hanya 5 persen.
Otonomi hanya mengubah sedikit sisi belanja. Sebelum otonomi pusat membelanjakan 78
persen, kini pusat membelanjakan 70 persen (Khudori, 2004).

Demikian, momentum Pemilu dan Sidang Umum 2004 merupakan saat yang tepat untuk
mengoreksi kekeliruan sistem dan paham ekonomi kita, untuk kemudian merombaknya dengan
kembali ke Sistem Ekonomi Pancasila. Gagasan para pendiri bangsa kita yang sejalan dengan
praktek ekonomi rakyat dan menentang keras praktek ekonomi yang neo-liberal-kapitalistik
kiranya menyadarkan kita akan perlunya perombakan sistem ekonomi tersebut. Inilah relevansi
lima platform Ekonomi Pancasila yang dapat menjadi panduan (guidance) bagi pergantian sistem
dan ideologi ekonomi menjadi ekonomi yang lebih bermoral, berkerakyatan, dan berciri ‘ke-
Indonesia-an’, sehingga lebih menjamin upaya pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.

Pertanyaannya, sadarkah para capres, caleg, dan calon pejabat pemerintahan lainnya akan
kebutuhan adanya platform ekonomi yang khas Indonesia ini? Seandainya mereka (dan
partainya) memiliki platform ekonomi tersendiri, kiranya dapat diperdebatkan dengan platform
Ekonomi Pancasila. Bangsa kita benar-benar membutuhkan platform ekonomi yang utuh,
komprehensif, bernilai historis, dan visio-revolusioner. Bukannya platform ekonomi yang
konvensional, parsial, dan ‘eksklusif’ dari bidang bidang lain seperti politik, budaya, dan hukum.
Seruan memberantas korupsi atau ‘anti politisi busuk’ saja belum cukup tanpa disertai reformasi
(revolusi?) ideologi dan moral ekonomi liberal-kapitalistik yang menumbuhsuburkan praktek
korupsi dan kejahatan ekonomi (economic crime) lain di Indonesia. Apakah Pemilu dan Sidang
Umum 2004 akan mampu menjawab kebutuhan ini?

Yogyakarta, 5 Februari 2004

EKONOMI RAKYAT INDONESIA

I. DEFINISI

Pertanyaan amat penting dihadapan kita sekarang, pada pertemuan pertama seri seminar 6
bulan pendalaman ekonomi rakyat, adalah apakah kita perlu mengawali dengan sebuah definisi
ekonomi rakyat yang akan kita dalami dalam pertemuan-pertemuan mendatang. Memang kami
(panitia) berambisi bahkan sebelum pertemuan terakhir tanggal 2 Juli 2002, semua peserta
seminar, atau sebagaian besar, sudah akan benar-benar mengerti dan memahami apa yang
dimaksud dengan ekonomi rakyat dan bagaimana kita bersikap terhadapnya. Keinginan kita
yang lain tentu saja adalah untuk menghilangkan kesan amat keliru bahwa kata atau konsep
ekonomi rakyat (dan ekonomi kerakyatan) adalah konsep yang baru lahir bersamaan dengan
gerakan reformasi menjelang dan setelah lengsernya Presiden Soeharto (1997-98). Berkali-kali,
dan dalam berbagai kesempatan, saya mendapat pertanyaan apakah konsep ekonomi rakyat
atau ekonomi kerakyatan yang akan didalami ini sama dengan konsep Adi Sasono saat menjabat
Menteri Koperasi pada Kabinet Habibie. Pada saat pertemuan pakar-pakar ekonomi di Bank
Indonesia Semarang tanggal 17 Januari lalu, seorang doktor ekonomi menanyakan pada saya
”mengapa bapak menggunakan istilah ekonomi rakyat, tidak demokrasi ekonomi, misalnya
seperti dalam era Orde Baru?”

Harus diakui pertanyaan yang bertubi-tubi tentang ekonomi rakyat seperti ini bersumber pada
salah mengerti bahwa seakan-akan konsep ekonomi rakyat ini ditemukan dan diperkenalkan oleh
Adi Sasono atau Mubyarto atau Sajogyo, dan alasan pengenalannyapun tidak ilmiah tetapi hanya
untuk tujuan politik yang ”populis”, yaitu untuk ”memenangkan pemilu”. Saya sungguh tidak
percaya atau sulit untuk percaya bahwa mereka itu, para cerdik-pandai, belum pernah
mendengar atau membaca istilah ekonomi rakyat sebelum munculnya gerakan reformasi
1997/1998. Yang benar adalah bahwa mereka mungkin pernah mendengarnya, dan mengerti
bahwa ekonomi rakyat adalah sektor kegiatan ekonomi orang kecil (wong cilik) yang juga sering
disebut sektor informal. Tetapi karena tahun 1997 seorang konglomerat yang sangat berkuasa
merasa ”jijik” terhadap istilah ekonomi rakyat, maka semua orang ”yang tidak terlalu berkuasa”
merasa perlu pula untuk ”merasa asing” dengan istilah itu. Lalu apa ganti istilah yang lebih dapat
diterima atau lebih terhormat? Istilah itu adalah ekonomi kerakyatan. Istilah ekonomi kerakyatan
lebih sedikit lagi orang menggunakan, dan yang sedikit ini termasuk Sarbini Sumawinata (1985).
Tetapi karena istilah ekonomi kerakyatan ini dikenalkan kembali tahun 1997 oleh seorang
konglomerat yang “sangat berkuasa” untuk mengganti istilah ekonomi rakyat yang tidak
disukainya, maka berhasillah konsep itu masuk TAP MPR yaitu TAP Ekonomi Kerakyatan No.
XVI/1998. Dan istilah ekonomi kerakyatan ini kemudian semakin dimantapkan dalam banyak
TAP-TAP MPR berikutnya termasuk kemudian UU No. 25/2000 tentang Propenas. Bahwa
konsep Ekonomi Kerakyatan ini merupakan konsep politik yang “dipaksakan” nampak kemudian
dari penggunaannya yang simpang siur. Dan puncak dari kesimpangsiuran ini berupa keraguan
Presiden Megawati dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2001.

Demikian dalam seminar ini kami tidak lagi akan menggunakan istilah ekonomi kerakyatan
tetapi ekonomi rakyat, suatu istilah baku yang sudah dimengerti siapapun, tentunya mereka
yang mau mengerti. Di Fakultas-fakultas Pertanian dikenal istilah smallholder, terjemahan dari
perkebunan rakyat, disamping istilah-istilah pertanian rakyat, perikanan rakyat, pelayaran
rakyat, industri rakyat, dan tentu saja perumahan rakyat. Sayang saya tidak secara tegas
menjawab pertanyaan konglomerat yang disebutkan diatas pada waktu berkata, ”Pak saya kan
rakyat juga?” Seharusnya waktu itu saya menjawab ”Ya, tapi, mengapa Anda tidak tinggal di
perumahan rakyat, bersama rakyat-rakyat yang lain”?

Mudah-mudahan akan jelas bagi kita semua bahwa istilah ekonomi rakyat adalah istilah
ekonomi sosial (social economics) dan istilah ekonomi moral (moral economy), yang sejak
zaman penjajahan dimengerti mencakup kehidupan rakyat miskin yang terjajah. Bung Karno
menyebutnya sebagai kaum marhaen. Jadi ekonomi rakyat bukan istilah politik ”populis” yang
dipakai untuk mencatut atau mengatas namakan rakyat kecil untuk mengambil hati rakyat dalam
Pemilu. Ekonomi Rakyat adalah kegiatan atau mereka yang berkecimpung dalam kegiatan
produksi untuk memperoleh pendapatan bagi kehidupannya. Mereka itu adalah petani kecil,
nelayan, peternak, pekebun, pengrajin, pedagang kecil dll, yang modal usahanya merupakan
modal keluarga (yang kecil), dan pada umumnya tidak menggunakan tenaga kerja dari luar
keluarga. Tekanan dalam hal ini adalah pada kegiatan produksi, bukan konsumsi, sehingga
buruh pabrik tidak masuk dalam profesi atau kegiatan ekonomi rakyat, karena buruh adalah
bagian dari unit produksi yang lebih luas yaitu pabrik atau perusahaan. Demikian meskipun
sebagian yang dikenal sebagai UKM (Usaha Kecil-Menengah) dapat dimasukkan ekonomi
rakyat, namun sebagian besar kegiatan ekonomi rakyat tidak dapat disebut sebagai ”usaha” atau
”perusahaan” (firm) seperti yang dikenal dalam ilmu ekonomi perusahaan.

Patut diingat dan dicatat terus menerus bahwa kegiatan dalam seminar kita ini, baik pikiran-
pikiran yang sudah matang maupun yang masih pada tahap awal selama 6 bulan mendatang
adalah benar-benar kegiatan seminar, yang seluruh pesertanya dapat dan bahkan perlu
menyumbang pendapat/pikiran, sehingga pada akhir seminar pada bulan Juli nanti, konsep
ekonomi rakyat benar-benar sudah menjadi konsep yang matang dan mantap.

II. EKONOMI RAKYAT SEBAGAI ASET NASIONAL

Dengan judul tulisan sebuah perintah ”Para Penguasa dan Penasehat Ahli, Bacalah ini!”, Direktur
Kepustakaan Populer Gramedia, Parakitri T Simbolon menulis ”wawancara Imajiner” dengan
pakar ekonomi Peru yang bukunya sedang populer dimana-mana. Mengapa? Bukunya The
Mystery of Capital (2000) memang sedang diulas dan disambut secara luar biasa karena
ketepatan diagnosisnya tentang ”teka-teki kemiskinan di negara-negara dunia ketiga dan eks
negara sosialis”. Karena imajiner maka juga dibuat diagnosis imajiner tentang ”rahasia modal” di
Bali yang mewakili masyarakat Indonesia. Di Bali ”anjing lebih pintar dari manusia” (dan dengan
“bahasa Kwik Kian Gie,” pakar lebih ”bego”!), karena anjing dapat membedakan kepemilikan
(aset) tuan masing-masing melalui perbedaan gonggongannya.

Hernando De Soto 10 tahun lalu menulis buku yang juga menyakinkan berjudul The Other Parth
yang terjemahannya dalam bahasa Indonesia seharusnya ”Ekonomi Rakyat.” Tetapi karena
istilah ekonomi rakyat dianggap kata “haram” dan ”berbau komunis”, maka kata tersebut
diterjemahkan ”Masih Ada jalan Lain : Revolusi Tersembunyi di Negara Dunia Ketiga”, yang
kiranya tidak pernah dibaca oleh pakar-pakar ekonomi Indonesia yang “terlalu pintar” untuk
memberikan perhatian pada ekonomi rakyat yang ”tidak ada apa-apanya”. ”Wong orang sudah
bicara tentang globalisasi yang serba canggih kok bicara tentang ekonomi rakyat”“! Puncak rasa
”jijik” terhadap istilah ekonomi rakyat dipicu oleh konglomerat yang anak Penguasa karena
sangat murka disebut “Batara Kala yang serakah” (Makassar, 1997). Demikian dalam waktu 6
bulan (September 1997 - Maret 1998), konglomerat bersangkutan, yang sangat berkuasa,
bersumpah ”menghapus kata ekonomi rakyat dari GBHN 1993”, dan sejak itu muncullah kata
atau istilah yang dianggap lebih terhormat yaitu ekonomi kerakyatan. Sayangnya, pemerintahan
Habibie, yang tinggal menerima saja konsep ini terpaksa menelan pil pahit dianggap keliru dan
”berpolitik terlalu populis” yaitu “memusuhi konglomerat untuk membela rakyat”. Hasilnya, pakar-
pakar ekonomi Neoklasik / Neoliberal menghujat konsep ekonomi kerakyatan sebagai konsep
politik yang ”ideologis”, yang tak ilmiah, dan tak sesuai dengan sistem ekonomi pasar (bebas)
yang mereka gandrungi, dan yang dianggap satu-satunya sistem ekonomi yang ”benar” sejak
runtuhnya tembok Berlin 1989.

Demikianlah rupanya pakar-pakar ekonomi kita di Indonesia memang tidak membaca, tidak mau
tahu, apalagi menerapkan konsep-konsep ”ekonomi rakyat” yang disampaikan Hernando De
Soto. Itulah sebabnya, Parakitri T. Simbolon ”memerintahkan” para penguasa dan penasehat ahli
Indonesia untuk membaca wawancara imajinernya dengan Hernando De Soto tentang rahasia
ekonomi rakyat Indonesia sebagaimana dlihat dari kacamata ekonom Peru. Kita ragu apakah
perintahnya akan dipatuhi.

Modal Mati. Konsep kunci De Soto adalah bahwa aset atau hak milik di Negara-negara
berkembang tidak dapat dimanfaatkan alias mati (dead capital). Modal yang mati ini berupa
rumah di tanah yang tidak jelas pemiliknya, perusahaan yang tidak berbadan hukum, dan industri
tersebar yang tidak dilihat investor. Karena tidak tercatat maka kekayaan laksana ”berlian” seperti
itu tidak siap dialihkan jadi modal sosial. Di Indonesia pelaku-pelaku ekonomi (rakyat) yang
modalnya kecil, bahkan gurem, berasal dari pinjaman koperasi yang kecil-kecil, arisan kampung,
pegadaian, atau dari keluarga dekat, tidak dianggap sebagai investasi karena investasi harus
merupakan kredit besar berasal dari Bank. Demikian dalam persamaan Keynesian ekonomi
makro (Y = C + I + G), rakyat kecil dianggap hanya berkonsumsi (C), sedangkan I (investasi)
hanya dapat dilakukan pengusaha besar. Maka sejak krisis moneter 1997-1998 pakar-pakar
ekonomi arus utama selalu menyatakan di Indonesia tidak ada lagi investasi, karena para
investor ”sedang klenger”, dan bahkan para pengusaha nasional dan investor-investor asing
melarikan modal mereka ke luar negeri yang ditaksir mencapai USD 10 milyar per tahun (Anwar
Nasution, 2001). Mereka yang bukan pakar ekonomi disuruh percaya adanya “pelarian modal
besar-besaran” ini agar untuk menahannya, atau untuk menarik kembali modal tersebut,
pemerintah harus memberikan perangsang khusus berupa tax holiday atau tingkat suku bunga
tinggi atau perangsang lain. Jika hal ini dilakukan maka terjadilah yang paling dikhawatirkan De
Soto, modal dan kekayaan dalam negeri yang potensial lebih diabaikan (dimatikan) lagi.

Kebiasaan menganggap enteng pemodal dalam negeri (domestik) terutama dari ekonomi rakyat
(kecil), dan kekaguman pada modal asing, makin menonjol setelah dibukanya pasar uang dan
pasar modal di Jakarta (BEJ, 1977). Mengapa? Karena dalam BEJ berkumpul para ”fund
manager” dari seluruh dunia yang pekerjaan utamanya memang “berdagang uang” dan
melipatgandakan nilai uang mereka. Makin besar untung mereka sebagai pedagang uang makin
besar penghasilan mereka. Uang atau modal yang dijualbelikan di BEJ ini bisa secara keliru
dianggap sebagai “investasi asing yang riil”, dan penarikannya ke luar negeri dianggap pelarian
modal (capital flight), padahal sebenarnya tidak demikian. Banyak modal asing ini sekedar
diperdagangkan di Jakarta dan tidak pernah diinvestasikan disektor riil.
Dari trilyunan dolar Amerika yang diperjualbelikan sehari-hari, hanya 5 % yang berkaitan dengan
perdagangan dan transaksi ekonomi substantif lainnya. Sembilan puluh lima persen sisanya
terdiri dari spekulasi dan arbitrase, saat para pedagang yang memiliki sejumlah besar uang
mencari keuntungan yang cepat dari fluktuasi nilai tukar dan perbedaan suku bunga. 2)

2) Giddens, Anthony, ”The Third Way, Jalan Ketiga”, Pembaharuan Demokrasi sosial, Gramedia, 1999, hal 172

“Prospek” Indonesia Masa Depan. Banyak ilmuwan Indonesia ”merasa bisa” meramalkan
masa depan Indonesia tanpa secara sungguh-sngguh menjelaskan mengapa kita mempunyai
masalah yang kita hadapi sekarang. Jika ilmuwan kita ”meramal” ke depan dan memberikan
resep-resep kebijakan agar masa depan itu lebih baik, tanpa menerangkan ”sejarah” terjadinya
masalah riil yang kita hadapi sekarang, maka tentulah ilmuwan yang bersangkutan menyusun
”asumsi-asumsi” yang jika, dan hanya jika (asumsi-asumsi terpenuhi), kebijakan-kebijakan yang
dianjurkan akan dapat berjalan. Namun, jika ilmuwan menggunakan terlalu banyak asumsi yang
tidak realistis, maka berarti ilmuwan yang bersangkutan hanya berteori (berpikir deduktif),
padahal banyak teori-teori ekonomi yang berasal dari Barat ini sering keliru atau tidak tepat bagi
Indonesia.

Demikian ilmu ekonomi sebenarnya akan lebih bermanfaat jika dapat ”menjelaskan” berbagai
sebab-akibat dari fenomena masyarakat, dan dari penjelasan-penjelasan tersebut masyarakat
dapat mawas diri dan mengoreksi kekeliruan-kekeliruan yang telah dibuat di masa lalu. Mawas-
diri dan mengoreksi merupakan syarat bagi ditemukannya tindakan atau kebijakan yang lebih
baik di masa datang. Dianjurkan kepada para cerdik-pandai terutama pakar-pakar ekonomi untuk
lebih menahan diri dan tidak terlalu suka “meramalkan” masa depan dengan analisis atau
pernyataan-pernyataan remedial (dengan resep-resep atau obat-obat) tanpa data-data empirik
kenyataan masa lalu dan masa sekarang.

Dalam bidang ekonomi, kesalahan paling mendasar adalah sangat tidak memadainya rasa
nasionalisme para pemimpin ekonomi kita. Perwujudan rasa nasionalisme yang rendah (lebih
kagum globalisasi) sama dengan rendahnya rasa percaya diri, yang dalam krisis moneter 1997-
1998 hampir hilang sama sekali. Maka mengembangkan rasa percaya diri, bahwa bangsa
Indonesia akan mempunyai kemampuan mengatasi masalah-masalah ekonomi yang dihadapi
dengan upaya sendiri, mutlak diperlukan. Hernando De Soto dengan menyakinkan menunjuk
pada ”berlian” di negara-negara berkembang yang tak pernah dikenali oleh pemerintah maupun
para perencana pembangunan. Inilah potensi domestik, yaitu kekuatan “ekonomi rakyat” yang
telah terbukti tahan-banting dalam situasi krismon, dan telah menyelamatkan ekonomi Indonesia
dari kehancuran total. Bahwa ekonomi Indonesia hanya mengalami kontraksi (pertumbuhan
negatif) satu tahun saja pada tahun 1998, dan mulai tahun 1999 dan seterusnya sudah tumbuh
positif (meskipun kecil), hendaknya dicatat sebagai bukti bahwa sektor ekonomi rakyat dalam
waktu pendek telah pulih kembali meskipun ekonomi sektor modern masih menghadapi
kesulitan.

Penutup. Kami selalu menahan diri dan tidak tertarik menulis ”prospek masa depan”, dengan
alasan yang kami ajukan diatas yaitu bahwa tugas ilmuwan lebih baik ”menjelaskan” bukan
”meramal”. Menyusun prospek dalam bidang ekonomi lebih perlu lagi untuk tidak dilakukan
secara gegabah karena teori-teori ekonomi yang ada, yang berasal dari Barat, pada umumnya
tidak realistis, karena banyak menggunakan asumsi-asumsi yang sulit dipenuhi. Satu contoh
kekeliruan fatal dari teori ekonomi Neoklasik/Neoliberal dari Barat sudah terjadi yaitu ketika
krismon 1997-1998 diramalkan “tidak mungkin terjadi di Indonesia”. Dewasa ini pakar-pakar
ekonomi bersilang pendapat tentang bisa tidaknya krisis ekonomi ala Argentina menyerang
Indonesia. Dalam hal seperti ini kami selalu menolak untuk membuat ramalan. Yang kiranya
cukup jelas adalah bahwa para pemimpin ekonomi Indonesia baik dari kalangan pemerintah,
dunia bisnis, atau dari kalangan pakar, kami himbau untuk berpikir keras menyusun aturan main
atau sistem ekonomi baru yang mengacu pada sistem sosial dan budaya Indonesia sendiri. Jika
Pancasila kita terima sebagai ideologi bangsa, maka kita tidak perlu merasa ragu-ragu mengacu
pada Pancasila lengkap dengan lima silanya dalam menyusun sistem ekonomi yang dimaksud.

Sistem Ekonomi Pancasila mencakup kesepakatan ”aturan main etik” sebagai berikut:
1. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa: Perilaku setiap warga Negara digerakkan oleh rangsangan
ekonomi, sosial, dan moral;

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab: Ada tekad seluruh bangsa untuk mewujudkan
kemerataan nasional;

3. Persatuan Indonesia: Nasionalisme ekonomi;

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan:


Demokrasi Ekonomi; dan

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia: Desentralisasi dan Otonomi Daerah.

Demikian ”prospek” masa depan ekonomi Indonesia, pada hemat kami sangat tergantung pada
kesediaan untuk menerima dan melaksanakan ”aturan main etik”, (ada yang menyebutnya
sebagai ”kontrak sosial”). Apapun namanya, sebaiknya kita tinggalkan aturan main, atau sistem
ekonomi kapitalis liberal (atau Neoliberal) yang sejauh ini dianggap ”tak terelakkan”. Kita harus
berani mengelak dari nasehat-nasehat dari luar, atau dari pakar-pakar yang terlalu silau atau
terlalu yakin akan kebenaran teori-teori ekonomi dari luar. Indonesia harus percaya diri
menyusun aturan main yang paling cocok bagi kepribadian Indonesia.

III. EKONOMI RAKYAT DI MATA TEKNOKRAT

1. Sajogyo dan Widjojo Nitisastro

Pada tahun 1978 dalam sebuah artikel ilmiah populer di harian Kompas berjudul Garis
Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan, Sajogyo, yang sosiolog, ”mengambil oper”
peranan pakar ekonomi dengan menetapkan garis kemiskinan pada tingkat pendapatan pertahun
setara 240 kg nilai tukar beras / orang. Sajogyo menghitung ada 42,7 juta orang miskin (36,4%)
di Indonesia (1970), yang 6 tahun kemudian (1976) turun persentasenya menjadi 33,4 %,
meskipun dalam jumlah orang meningkat menjadi 45,1 juta. Peranan sebagai ekonom ini
dilakukan Sajogyo sejak 1976 ketika mengeluh mengapa ekonom Indonesia tidak menanggapi
hasil penelitian tentang kemiskinan di Sriharjo yang 3 tahun sebelumnya (1973) sudah dibahas
dimana-mana di kalangan ilmuwan ekonomi pertanian internasional. Sajogyo kecewa ekonom
Indonesia lebih banyak memikirkan masalah-masalah makroekonomi perdagangan dan
keuangan internasional (konglomerasi dan globalisasi), dan tidak menyediakan waktu
memikirkan ekonomi rakyat atau nasib penduduk miskin yang jumlahnya banyak dan senantiasa
meningkat.

Pada tahun 1966, Widjojo Nitisastro, yang Dekan Fakultas Ekonomi, dengan dukungan rekan-
rekannya dan mahasiswa FE-UI, mengumandangkan tekad melaksanakan pasal-pasal 23,27,33,
dan 34 UUD 1945, dan bertekad mengamalkan Pancasila dan perbaikan ekonomi rakyat.
Rumusan hasil kesimpulan seminar mahasiswa FE-UI selanjutnya menjadi landasan TAP No.
XXIII/MPRS/1966.

Pada tahun 1933, Bung Hatta yang sarjana ekonomi tamatan Sekolah Tinggi Ekonomi di
Nederland(1932), menulis kata pengantar dalam majalah Daulat Rakyat sebagai berikut :

Tani sendiri tidak berkuasa lagi atas padi yang ditanamnya. Padi masak orang lain yang punya.
Produksi tinggal di tangan bangsa kita, tetapi distribusi atau pejualan sudah ditangan bangsa
asing. Bertambah banyak perpecahan produksi, bertambah kuasa kaum pembeli dan penjual,
semakin terikat ekonomi rakyat.3)

3) M. Hatta, Kolektivisme Tua dan Baru, Daulat rakyat, No. 25, 10 Oktober 1933
Demikian jika tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin ekonomi kita di masa lalu begitu
bersemangat memihak kepetingan ekonomi rakyat dan berpikir atau bekerja keras mengangkat
derajat orang kecil yang miskin, adalah aneh jika ekonom-ekonom muda masa kini begitu
percaya dan menggantungkan diri pada konsep pertumbuhan ekonomi dan begitu mengagung-
agungkan persaingan bebas yang dianggap hasilnya pasti akan ”menetes ke bawah”. Prinsip
demokrasi ekonomi dan asas kekeluargaan, misalnya, yang dirumuskan Hata dan dibela oleh
Widjojo dkk, sekarang dianggap tidak relevan lagi setelah globalisasi.

2. Selo Soemardjan

Selo Soemardjan yang menerima Anugrah Hamengkubuwono IX tanggal 19 Januari 2002


menyampaikan orasi ilmiah di Pagelaran Keraton Yogyakarta dengan Judul Pluralisme Budaya
Indonesia (Suatu Tinjauan Sosiologis). Dari orasi dengan judul yang sangat netral dan
sederhana terungkap keprihatinan mendalam tentang mulai pudarnya nasionalisme Indonesia,
yaitu kesetiaan pada pluralisme budaya (kebhinekaan). Patriotisme dan nasionalisme seperti
yang diikrarkan Pemuda-pemudi Indonesia tahun 1928 sekarang hampir hilang karena suku-suku
bangsa di pelosok-pelosok seluruh Indonesia mulai pudar kepercayaannya pada Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berpusat di Jakarta.

Namun yang kini lebih memprihatinkan lagi bukanlah makin pudarnya rasa nasionalisme suku-
suku bangsa kecil-kecil yang jauh dari Jakarta, tetapi makin pudarnya rasa nasionlisme para
pakar yang menganggap paham globalisme lebih kuat atau lebih benar ketimbang ideologi
nasional. Maka Pancasila dan UUD yang telah disepakati para pendiri Republik Indonesia tahun
1945 juga mulai dipertanyakan karena dianggap tidak lagi relevan atau ketinggalan zaman.
Mencontoh negara-negara lain yang lebih maju dari Indonesia yang menganggap sistem
ekonomi kapitalisme sebagai satu-satunya jalan ke kemajuan, maka ”tidak perlu lagi Indonesia
“terikat” pada atas kekeluargaan atau kegotong-royongan yang terpancar dari Pancasila”.

Demikian dari uraian sosiologis Selo Soemardjan tentang pergolakan etnik di daerah-daerah
yang sudah berlangsung 4 tahun terakhir, dan keluhan Sajogyo tentang tidak cekatannya pakar-
pakar ekonomi menanggapi masalah kemiskinan dan ekonomi rakyat di Indonesia, pakar-pakar
ekonomi perlu benar-benar mawas diri. Kami sendiri berpendapat ketidaktajaman cara berpikir
pakar-pakar ekonomi, dan menurunnya rasa nasionalisme, disebabkan ilmu ekonomi telah kita
jauhkan dari ilmu sosiologi. Ilmu ekonomi ala Samuelson yang semakin kuantitatif harus kita
akui sebagai ”biangkeladi” dari kekeliruan ini. Dan yang paling fatal ilmu ekonomi Neoklasik Barat
kini kita pelajari dan kita ajarkan sebagai agama (Robert Nelson, Economics as Religion, 2001)

3. Ekonomi Moral

Jika disadari bahwa buku Smith tahun 1759 berjudul The Theory of Moral Statements, padahal
kita hanya mengajarkan ke pada mahasiswa kita buku ke duanya yaitu The Weath of Nations
(1776), kiranya kita para dosen ilmu ekonomi harus mengaku ”berdosa” atau paling sedikit
mengakui kekeliruan kita. Mengapa mahasiswa ekonomi hanya memahami manusia sebagai
”homo ekonomikus”, dan bukan sebagai ”homo moralis” atau ”homo socius” ? Itulah, karena ilmu
ekonomi kita ajarkan sebagai ilmu yang super spesialistik, yang matematik, sehingga sifatnya
sebagai ilmu sosial menjadi hilang. Memang Kenneth Boulding telah berjasa mengingatkan
bahwa ilmu ekonomi dapat dipelajari sebagai :

(1) ilmu ekologi;

(2) ilmu perilaku;

(3) ilmu politik;

(4) ilmu matematik;

(5) ilmu moral.


Tetapi berapa banyak di antara kita yang membahasnya atau menyinggung di ruang kuliah
sebagai ilmu moral? Sangat sedikit, karena kita lebih suka menganggap ilmu ekonomi sebagai
ilmu positif (positive science), dan cenderung mengejek ekonom lain yang mengajarkannya
sebagai ilmu yang normatif (normative science). Terhadap konsep Ekonomi Pancasila yang
pernah mencuat di wacana nasional, ada Ekonom Senior kita yang mengejek bahwa “tidak ada
gunanya mengajarkan ilmu surga di dunia”

Karena tidak banyak manfaatnya lagi mengingatkan kritik-kritik radikal terhadap ilmu ekonomi
seperti Paul Ormerod dalam The Death of Economics (1994), (karena buku seperti ini pasti
sudah ”disingkirkan” sejak awal), maka buku klasik Kenneth Boulding diatas kiranya lebih tepat
untuk dikutip.

Our graduate schools may easily be producing a good deal of the ”trained incapacity”, which
Veblen saw being produced in his day, and this is a negative commodity unfortunately with a very
high price.4)

4) Boulding, Kenneth, E. Economics as a Science, Tata McGraw-Hill, Bombay 1970, op. cit.hal 156

Kami sangat khawatir kita tidak terlalu peduli apakah sarjana-sarjana ekonomi yang kita hasilkan
akan merupakan ”trained incapacity” atau bukan? Mudah-mudahan melalui diskusi-diskusi ini
makin banyak dosen di fakultas-fakultas ekonomi yang tersadar, berpikir, dan menjadi peduli
pada misi pendidikan kita sekarang dan di masa depan. Jika tidak kita patut bertanya, Quo Vadis
Fakultas Ekonomi Kita?

IV. PENUTUP

Ekonomi Rakyat adalah kancah kegiatan ekonomi orang kecil (wong cilik), yang karena
merupakan kegiatan keluarga, tidak merupakan usaha formal berbadan hukum, tidak secara
resmi diakui sebagai sektor ekonomi yang berperanan penting dalam perekonomian nasional.
Dalam literatur ekonomi pembangunan ia disebut sektor informal, “underground economy”, atau
“ekstralegal sector”. Alfred Marshall bapak ilmu ekonomi Neoklasik (1890) memberikan definisi
ilmu ekonomi sebagai berikut :

Economics is a study of men as they live and move and think in the ordinary business of life. But
it concerns itselft chiefly with those motives which affect, most powerfullly and most steadily,
man’s conduct in the business part of his life.5)

5) Alfred Marshall, Principles of Ecoomics, Macmillan, 1948, op.cit. hal 14

Ekonomi kerakyatan menunjuk pada sila ke-4 Pancasila, yang menekankan pada sifat
demokratis sistem ekonomi Indonesia. Dalam demokrasi ekonomi Indonesia produksi tidak hanya
dikerjakan oleh sebagian warga tetapi oleh semua warga masyarakat, dan hasilnya dibagikan
kepada semua anggota masyarakat secara adil dan merata (penjelasan pasal 33 UUD 194).

Demikian ekonomi rakyat memegang kunci kemajuan ekonomi nasional di masa depan, dan
sistem ekonomi Pancasila merupakan “aturan main etik” bagi semua perilaku ekonomi di semua
bidang kegiatan ekonomi.

Prof. Dr. Mubyarto : Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM dan Ketua Yayasan Agro Ekonomika

Makalah disampaikan pada Pertemuan I Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, YAE-Bina Swadaya, di Financial Club, Jakarta,
22 Januari 2002.
 

BACAAN

Boulding, Kenneth, E. Economics as a Science, Tata McGraw-Hill, Bombay 1970

Lunati, M. Teresa, Ethical Issues in Economics from Altruism to Cooperation to Equality, St.
Marten’s Press, New York, 1997.

Mubyarto, membangun Sisem Ekonomi, BPFE, 2000

---------, Prospek Otonomi Daerah dan Perekonomian Indonesia Pasca Krisis Ekonomi, BPFE,
2001

---------, Amandemen Kostitusi dan Pergulatan Pakar Ekonomi, Aditya Media, 2001.

---------, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat dan Peranan Ilmu-ilmu Sosial, YAE, 2002

Nagvi, Syed Nawab Haider, Ethics and Economics, An Islamic Synthesis, The Islamic
Foundation, London, 1981.

Nelson, Robert H, Economics as Religion, from Samuelson to Chicago and Beyond,


Pennsylvania State UP, 2001

Svedberg, Richard, Max Weber and the Idea of Economic Sociology, Princeton UP, Princeton,
1998

Weber, Max, The Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism, Charles Scribner, New York,
1905

Wilson, Rodney, Economics, Ethics, and Religion, Macmillan, 1997.

EKONOMI RAKYAT: SEBUAH PENGANTAR 


 

PENDAHULUAN

Ekonomi rakyat beberapa waktu terakhir menjadi istilah baru yang banyak didiskusikan dalam
berbagai forum dan oleh banyak pihak. Bukan tanpa alasan ekonomi rakyat seolah-olah menjadi
trendsetter baru dalam wacana pembangunan. "Ambruknya" ekonomi Indonesia yang selama
lebih dari tiga dasawarsa selalu dibanggakan oleh pemerintah, memaksa berbagai pihak meneliti
kembali struktur perekonomian Indonesia. Berbagai kajian yang dilakukan berhasil
menemukenali satu faktor kunci yang menyebabkan keambrukan ekonomi Indonesia yaitu
ketergantungan ekonomi Indonesia pada sekelompok kecil usaha dan konglomerat yang ternyata
tidak memiliki struktur internal yang sehat. Ketergantungan tersebut merupakan konsekuensi
logis dari kebijakan ekonomi neoliberal yang mengedepankan pertumbuhan dengan asumsi
apabila pertumbuhan tinggi dengan sendirinya akan membuka banyak lapangan kerja, dan
karena banyak lapangan kerja maka kemiskinan akan berkurang. Kebijakan ekonomi tersebut
ternyata menghasilkan struktur ekonomi yang tidak seimbang.

Didalam struktur ekonomi yang tidak seimbang tersebut, sekelompok kecil elit ekonomi -- yang
menurut BPS jumlahnya kurang dari 1% total pelaku ekonomi -- mendapatkan berbagai fasilitas
dan hak istimewa untuk menguasai sebagian besar sumber daya ekonomi dan karenanya
mendominasi sumbangan dalam PDB, pertumbuhan ekonomi, maupun pangsa pasar. Manakala
elit ekonomi tersebut mengalami problema keuangan sebagai akibat mismanajemen dan praktek-
praktek yang tidak sehat maka sebagai konsekuensi logisnya berbagai indikator seperti PDB dan
pertumbuhan ekonomi menunjukkan kemerosotan.(1)

(1) Data BPS tahun 1998 memperlihatkan sektor usaha besar dan konglomerat yang berjumlah 0,2% dari seluruh total pelaku
ekonomi memberikan sumbangan terhadap PDB dan ekonomi sebesar kurang lebih 80%. Kondisi ini menyebabkan krisis
finansial yang dialami beberapa usaha besar dan konglomerat segera berdampak pada kinerja perekonomian nasional.

Namun struktur ekonomi yang timpang tersebut ternyata juga merupakan blessing in disguise
bagi Indonesia. Sebagian besar pelaku ekonomi yang selama ini posisinya marjinal, informal,
tidak mendapatkan fasilitas, justru lebih mampu bertahan. Para pelaku ekonomi inilah yang
sering disebut dengan ekonomi rakyat.

EKONOMI RAKYAT

Dalam wacana teori ekonomi, istilah ekonomi rakyat memang tidak dapat ditemui. Hal ini
memang karena ekonomi rakyat sebagai sebuah pengertian bukan merupakan turunan dari
mazhab atau school of thought tertentu melainkan suatu konstruksi pemahaman dari realita
ekonomi yang umum terdapat di negara berkembang. Suatu realita ekonomi dimana selain ada
sektor formal yang umumnya didominasi oleh usaha dan konglomerat terdapat sektor informal
dimana sebagian besar anggota masyarakat hidup.

Dalam konteks Indonesia, ekonomi rakyat seringkali dihadapkan secara diametral dengan usaha
besar dan konglomerat. Pembedaan ini memiliki rujukan akademis yang sudah sangat panjang
mengenai adanya dualisme ekonomi di Indonesia, suatu konsepsi yang dirumuskan oleh Boeke
jauh sebelumnya. Pembedaan ini juga dipertegas dengan klasifikasi data BPS yang
mengelompokkan pelaku ekonomi Indonesia kedalam dua kelompok, yaitu yang pertama adalah
usaha besar dan konglomerat sedangkan yang kedua adalah usaha kecil, menengah, dan
koperasi.

Apabila perhatian lebih jauh ditujukan kepada sektor kedua, yaitu usaha kecil, menengah, dan
koperasi yang jumlahnya menurut BPS sekitar 36 juta usaha, pada kenyataannya bagian
terbesar yaitu sebesar 34 juta jiwa adalah usaha mikro, baru diikuti oleh usaha kecil, koperasi,
dan usaha menengah. Sektor ini pada tahun 2000 menyerap 99,6% tenaga kerja Indonesia. (2)
Dengan demikian kalau kita membicarakan ekonomi rakyat, perlu dijadikan catatan bahwa
sebagian terbesar dari pelaku ekonomi di dalamnya adalah usaha mikro yang menyerap tenaga
kerja sangat besar dan secara hipotetis menjangkau lebih dari 136 juta jiwa.
(2) Urata, Sujiro., 2000. Policy Recommendation for SME Promotion in The Republic of Indonesia. JICA

Kegiatan-kegiatan yang digeluti pelaku ekonomi rakyat secara kasar dapat dikelompokkan
menjadi:

a) Kegiatan-kegiatan primer dan sekunder - pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan


(semua dilaksanakan dalam skala terbatas dan subsisten), pengrajin kecil, penjahit, produsen
makanan kecil, dan semacamnya.

b) Kegiatan-kegiatan tersier - transportasi (dalam berbagai bentuk), kegiatan sewa menyewa


baik perumahan, tanah, maupun alat produksi.

c) Kegiatan-kegiatan distribusi - pedagang pasar, pedagang kelontong, pedagang kaki lima,


penyalur dan agen, serta usaha sejenisnya.

d) Kegiatan-kegiatan jasa lain - pengamen, penyemir sepatu, tukang cukur, montir, tukang
sampah, juru potret jalanan, dan sebagainya.(3)

(3) Hart, Keith, 1973. Informal Income Opportunities and Urban Employment in Ghana, dalam Journal of Modern African Studies.

Kegiatan primer seperti pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan selama beberapa
dasawarsa terakhir mendapatkan tekanan struktural dari pemerintah sebagai akibat kebijakan
yang menekankan pada pertumbuhan industri dan menuntut upah buruh yang rendah. Upah
buruh rendah hanya dapat tercapai apabila salah satu komponen utamanya yaitu makan juga
rendah. Sebagai akibatnya kegiatan primer ditekan untuk menyediakan pangan murah yang
diperlukan bagi pertumbuhan industri. Orientasi pada industri juga menyebabkan berbagai
kegiatan di masyarakat seperti pengrajin, penjahit, produsen makanan dan semacamnya karena
skalanya yang terbatas tidak mendapatkan perhatian bahkan tidak dilihat sebagai aktifitas
ekonomi yang perlu dipertimbangkan.

Dalam kegiatan yang dikelompokkan sebagai tersier, transportasi baik orang maupun barang
banyak diusahakan sendiri oleh rakyat. Hal ini merupakan gejala umum pada negara
berkembang seperti telah disinyalir oleh Hernando de Soto. (4) Negara memang telah
mengusahakan berbagai sarana transportasi namun dalam kenyataannya transportasi yang
diusahakan sendiri oleh rakyat tetap lebih dominan (meskipun seringkali illegal). Kegiatan sewa
menyewa seperti misalnya tempat tinggal (baik kamar maupun rumah) di kota dan tanah atau
pekarangan di desa adalah kegiatan yang memiliki nilai ekonomi sangat tinggi dan tidak banyak
tercatat. Di kota besar seperti Jakarta, kegiatan ini telah secara efektif mendorong datang dan
berkembangnya banyak wirausaha mikro seperti penjual bakso dan pedagang keliling lainnya
dari berbagai daerah.

(4) De Soto, Hernando., 1991. Masih Ada Jalan Lain. Yayasan Obor. Jakarta (terj.)

Kegiatan-kegiatan distribusi merupakan salah satu kegiatan yang paling populer bagi ekonomi
rakyat karena relatif mudah dikerjakan, tidak menuntut keterampilan khusus, dan memiliki margin
keuntungan yang relatif besar. Kegiatan distribusi juga merupakan tempat perputaran uang yang
besar dan cepat. Melalui kegiatan distribusi yang sebagian besar dilaksanakan secara informal
(tanpa ijin) berbagai produk baik yang dihasilkan oleh perusahaan besar maupun usaha rumah
tangga mampu menjangkau masyarakat secara efektif.

Berbagai kegiatan jasa lain yang diungkap diatas, dalam kenyataannya merupakan suatu “jaring
pengaman sosial”(5) bagi kelompok masyarakat bawah yang menggantikan ketiadaan pelayanan
dasar yang semestinya disediakan oleh pemerintah. Sebagian besar masyarakat pada kegiatan
ini berada dalam tahapan bertahan hidup (survival) dan menjadikan aktifitas yang dijalaninya
sebagai persiapan untuk masuk kedalam kegiatan ekonomi lain yang lebih “mapan” meskipun
beberapa yang lain menjadikan kegiatan mereka sebagai profesi dan mereka mampu
menghidupi keluarganya secara relatif “memadai”. Memperhatikan keunikan kegiatan jasa ini,
tindakan pemerintah terutama pemerintah daerah untuk “menertibkan” atau “mengatur” kegiatan-
kegiatan ini pada kenyataannya sering kali merusak “jaring pengaman sosial” yang secara riil
telah mampu menyediakan pekerjaan pada masyarakat bawah.

(5) Terminologi ini dipakai tidak dalam pengertian baku structural adjustment program, melainkan merujuk pada kewajiban
pemerintah untuk menyediakan berbagai kebutuhan dasar seperti tertulis didalam UUD 1945

KARAKTERISTIK EKONOMI RAKYAT

Sebagai sebuah entitas ekonomi yang cakupannya sangat besar dan luas, karakteristik yang
dimiliki ekonomi rakyat sangat beragam, tergantung dari jenis kegiatan yang dimaksud. Meskipun
demikian, kiranya dapat digambarkan beberapa karakteristik dasar sebagai berikut:

Informalitas. Sebagian besar ekonomi rakyat bekerja diluar kerangka legal dan pengaturan
(legal and regulatory framework) yang ada. Ketiadaan maupun kelemahan aturan yang ada atau
ketidakmampuan pemerintah untuk mengefektifkan peraturan yang ada (yang seringkali
merugikan pelaku usaha kecil) menjadi ruang yang membuat ekonomi rakyat bisa berkembang.
Beberapa upaya intervensi yang dilakukan pemerintah dalam kenyataannya justru dapat
"mematikan" ekonomi rakyat seperti terlihat pada kasus yang menjadi persoalan nasional yaitu
pengaturan tata niaga cengkeh dan jeruk di Kalimantan Barat. Hernando de Soto dalam bukunya
yang terakhir The Mystery of Capital berpendapat bahwa situasi informalitas sektor ekonomi
rakyat ini menjadi penyebab “mati”-nya kapital yang dimiliki ekonomi rakyat, dalam artian tidak
bisa dipergunakan untuk kapitalisasi dan transaksi ekonomi. Hal ini untuk sebagian memang
benar karena informalitas ekonomi rakyat menyebabkan mereka tidak bisa mengakses lembaga
keuangan formal dan terpaksa harus berhubungan dengan sumber pinjaman informal yang
mengenakan bunga sangat tinggi. Pada sisi lain seperti diungkap diatas, formalisasi ekonomi
rakyat juga menyimpan bahaya.

Mobilitas. Aspek informalitas dari ekonomi rakyat juga membawa konsekuensi tiadanya jaminan
keberlangsungan aktifitas yang dijalani. Berbagai kebijakan pemerintah dapat secara dramatis
mempengaruhi keberlangsungan suatu aktifitas ekonomi rakyat. Dalam merespon kondisi yang
demikian, sektor ekonomi rakyat merupakan sektor yang relatif mudah dimasuki dan ditinggalkan.
Apabila pada aktifitas ekonomi tertentu terdapat banyak peluang maka dengan segera akan
banyak pelaku yang menerjuninya. Sebaliknya apabila terjadi perubahan yang mengancam
keberlangsungan jenis usaha tertentu maka dengan segera para pelakunya akan berpindah ke
jenis usaha yang lain. Situasi ini tentu saja tidak terjadi dengan aktifitas primer seperti pertanian
dimana para pelakunya jarang meninggalkan aktifitas pertaniannya. Mekanisme yang
dikembangkan untuk menjawab tantangan ekonomi akibat berbagai situasi eksternal adalah
melakukan diversifikasi aktifitas ekonomi pada bidang-bidang off-farm.

Beberapa pekerjaan dilakukan oleh satu keluarga. Salah satu karakteristik lain adalah bahwa
dalam satu keluarga terutama yang berada pada strata bawah umumnya keluarga tersebut
melalui anggotanya terlibat pada lebih dari satu aktifitas ekonomi yang dapat digolongkan
sebagai ekonomi rakyat. Mudah dipahami mengapa ini terjadi. Ketidakamanan dan keberlanjutan
yang sulit diramalkan dalam ekonomi rakyat membuat pelakunya harus membuat beberapa
alternatif yang dapat menggantikan apabila satu aktifitas ekonomi tidak terpaksa terhenti. Apabila
tidak terjadi sesuatu maka akumulasi keuntungan pendapatan dari beberapa aktifitas ekonomi
sangat mereka butuhkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar.

Kemandirian. Salah persepsi yang berkembang di masyarakat tentang ekonomi rakyat membuat
berbagai pihak baik secara sengaja maupun tidak membatasi interaksi dengan sektor ekonomi
rakyat. Dari pihak pemerintah, berbagai kegiatan yang berhubungan dengan ekonomi rakyat
masih terus berbentuk proyek baik yang menggunakan label penanggulangan kemiskinan
maupun pemberdayaan usaha kecil dan menengah. Dari lembaga keuangan sebagai contoh
yang lain, dengan berbagai peraturan dan prinsip keberhati-hatian (prudentialitas) membatasi
kemungkinan berhubungan dengan sektor ekonomi rakyat. Sektor ekonomi rakyat masih selalu
diyakini sebagai “unbankable” dan “high risk”, suatu keyakinan yang perlu dikritisi mengingat
pengalaman yang terjadi dengan sektor usaha besar dan konglomerat beberapa tahun terakhir.
Hubungan dengan sektor formal. Meskipun ekonomi rakyat dilekatkan dengan predikat
informalitas, dalam kenyataannya ekonomi rakyat memiliki hubungan yang sangat erat dengan
sektor formal. Hubungan yang dapat disebut sebagai “the dark side of the formal sector” ini
karena seringkali hubungan ini tidak diakui karena berarti sektor formal bekerja sama dengan
entitas yang "illegal" mengambil wujud konkrit seperti: penggunaan penjual koran eceran oleh
berbagai perusahaan penerbitan, penyediaan makanan murah oleh warung tegal bagi para
pekerja di berbagai perusahaan maupun pabrik, penggunaan pedagang eceran di kampung-
kampung untuk menyalurkan berbagai produk perusahaan maupun pabrik. Berbagai contoh yang
lain masih dapat dipaparkan, namun satu hal yang jelas adalah ekonomi rakyat dengan satu dan
lain cara secara nyata memiliki hubungan dan bahkan mendukung sektor formal.

PENUTUP

Amat menyesakkan bahwa meskipun berbagai bukti telah dipaparkan secara transparan
mengenai arti strategis ekonomi rakyat dalam perekonomian nasional, para pengambil keputusan
tetap meletakkan ekonomi rakyat di pinggiran dan pada tataran retorika semata. Situasi ini
merupakan akibat dari kuatnya dominasi pemikiran neoliberal dan persepsi yang terbatas
mengenai pertumbuhan dan pemerataan. Dipersepsikan bahwa hubungan pertumbuhan dan
pemerataan sebagai trade off. Berpihak pada ekonomi rakyat diartikan hanya menekankan
pemerataan dan mengabaikan pertumbuhan. Persepsi ini harus dikritisi. Kritik yang pertama,
pada saat ini kajian yang mendalam terhadap masalah pembangunan telah membawa pada
kesimpulan bahwa hubungan pertumbuhan dan pemerataan bukan dalam bentuk trade off
melainkan justru saling memprasyaratkan. Pertumbuhan ekonomi untuk dapat berlanjut harus
mulai memperhatikan variable-variabel pemerataan yang dapat menciptakan apa yang disebut
broad based growth. Sebaliknya pengalaman berbagai negara terutama negara sosialis
menunjukkan bahwa pemerataan tanpa dibarengi dengan pertumbuhan bukan merupakan suatu
pemerataan yang sehat.

Kritik kedua adalah asumsi yang mendasari persepsi yang berkembang bahwa sektor ekonomi
rakyat adalah sektor yang lemah, tradisional, tidak memiliki kemampuan, tidak memiliki daya
saing dan karenanya untuk memberdayakan sektor ini akan membutuhkan alokasi sumber daya
dan waktu yang amat besar. Terhadap asumsi ini ada dua sikap, yaitu: pertama, apabila untuk
memberdayakan ekonomi rakyat diperlukan alokasi sumber daya dan waktu yang besar, hal
tersebut merupakan sesuatu yang pantas mengingat ekonomi rakyat merupakan sektor dimana
sebagian besar pelaku ekonomi berada dan mempengaruhi bagian terbesar dari masyarakat.
Kedua, dalam kenyataannya ekonomi rakyat selama ini hidup dan berkembang dalam situasi
tertekan, lemah, dan tidak diuntungkan. Karenanya, perlakuan yang adil dan proporsional cukup
memadai untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya ekonomi rakyat. Perlakuan semacam ini
dapat dimulai dengan melibatkan sektor ekonomi rakyat dalam proses pengambilan keputusan
kebijakan perekonomian nasional. Sesuatu yang sebenarnya sangat sederhana tetapi yang
ternyata sampai dengan saat ini masih sulit diwujudkan.

Drs. Bambang Ismawan, MS., Ketua Yayasan Bina Swadaya, Sekretaris Jenderal Gema PKM
(Gerakan Bersama Pengembangan Keuangan Mikro) Indonesia dan HKTI (Himpunan Kerukunan
Tani Indonesia)

Makalah dipresentasikan untuk SeminarPendalaman Ekonomi Rakyat, Jakarta 22 Januari 2002.

PERJALANAN PANJANG EKONOMI INDONESIA: 


DARI ISU GLOBALISASI HINGGA KRISIS EKONOMI  
 
Bila tidak menarik pelajaran dari kesalahan-kesalahannya, maka negara yang
bersangkutan akan terkutuk untuk mengulangi kembali sejarah tersebut. 1)

1) George Santayana, seperti dikutip oleh Humala M.T. Oppusunggu dalam Berhentilah Bicara!: Seruan bagi Ekonom
Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta 2000, halaman vii.

PENDAHULUAN

Penulis sengaja mengutip kata-kata bijak yang dilontarkan oleh seorang


sastrawan dan filsuf termasyhur Amerika berdarah Hispanik, George Santayana,
semata-mata karena kalimat bijak itu sangat tepat (precise) untuk menjadi
sebuah "peringatan" (warning) bagi bangsa yang tengah berada dalam kesulitan
ini.

Bangsa Indonesia, sepanjang sejarahnya telah melalui berbagai pembabakan.


Mulai dari era kejayaan Nusantara lama (Sriwijaya dan Majapahit), yang tak lama
setelah keruntuhannya segera disambut oleh era kolonialisme yang
menyakitkan, sampai dengan era kemerdekaan yang di dalamnya juga telah
terisi dengan lembaran-lembaran sejarah perekonomian yang kelam.
Sesungguhnya, sejarah telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi
kita semua.

Jika suatu bangsa dengan sengaja berani melupakan catatan faktual sejarah,
maka bangsa itu tidak akan pernah mencapai kemakmuran dan kecerdasan.
Bahkan sangat mungkin akan menjadi sebuah blunder, yang dapat
menjerumuskan bangsa itu ke tataran yang lebih hina dari seekor keledai.
Bukankah seekor keledai yang bodoh sekalipun tidak pernah terantuk batu yang
sama?

SEPINTAS PEMBABAKAN EKONOMI INDONESIA

Berdasarkan pengalaman sejarah, sistem ekonomi pasar selalu mengalami


pasang surut yang dapat digambarkan dalam sebuah kurva konjungtur ekonomi.
Kurva tersebut terdiri dari beberapa bagian, antara lain: masa pertumbuhan,
masa puncak kemakmuran (peak of wealth), masa kemunduran, masa
keterpurukan (peak of crises). Setelah krisis dapat teratasi, maka akan
disambung dengan masa pemulihan (recovery), pertumbuhan, dan seterusnya
hingga membentuk seperti gelombang sinus.

Ditinjau dari periode waktunya, masing-masing babak memiliki durasi yang


hampir konsisten, yaitu membentuk siklus waktu yang relatif tidak jauh berbeda
antara gelombang satu dengan lainnya. Oleh karena itu, gabungan dari
gelombang-gelombang siklus ekonomi tersebut dapat ditarik menjadi kesimpulan
yang dikenal dengan konjungtur perekonomian.

Berdasarkan pengalaman sejarah Indonesia sejak era kemerdekaan sampai


sekarang, panjang gelombang tersebut dapat dikategorikan dalam gelombang
jangka pendek (tujuh tahunan) dan gelombang jangka panjang (35 tahunan).
Gelombang jangka pendek tujuh tahunan dapat diringkas sebagai berikut. 2)

1945 - 1952 Ekonomi Perang

1952 - 1959 Pembangunan Ekonomi Nasional

1959 - 1966 Ekonomi Komando

1966 - 1973 Demokrasi Ekonomi

1973 - 1980 Ekonomi Minyak

1980 - 1987 Ekonomi Keprihatinan

1987 - 1994 Ekonomi Konglomerasi

1994 - 2001 Ekonomi Kerakyatan

2) Mubyarto, "Siklus Tujuh Tahunan Ekonomi Indonesia (1931-1966-2001-2036)", dalam Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Indonesia, Vol. 16 No. 3, Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2000, halaman 246.

Masing-masing tahap dalam siklus tersebut telah ditandai dengan ciri-ciri khusus
yang tidak terdapat pada periode sebelum dan sesudahnya. Misalnya, pada
periode Ekonomi Konglomerasi, periode ini dipicu oleh liberalisasi sektor
perbankan, yang disusul dengan tumbuhnya imperium usaha konglomerasi yang
bermunculan seperti cendawan di musim hujan.

Pada periode tersebut ditandai dengan pembangunan ekonomi bersifat


sentralistis, rezim penguasa yang otoriter, serta birokrasi yang korup.
Pembangunan yang "kebablasan" tersebut akhirnya mengantar bangsa besar ini
ke arah periode krisis yang menyakitkan. Salah satu dampak positif yang
ditimbulkan dari krisis ekonomi adalah tumbuhnya kesadaran akan kekeliruan
strategi pembangunan yang dilakukan selama ini. Oleh karena itu, periode ini
segera disambung dengan babak baru yang lebih membuka peluang bagi
masyarakat untuk mengembangkan ekonominya secara mandiri, dengan
didukung oleh iklim dan perhatian negara yang memadai. Era ini dikenal dengan
era ekonomi kerakyatan.

Paper pendek ini tidak akan menyorot pembabakan tersebut secara


keseluruhan, tetapi hanya akan difokuskan pada dua isu besar yang pernah
mengemuka, yaitu isu globalisasi ekonomi dan pembahasan pada periode krisis
ekonomi. Dua isu besar ini sangat relevan untuk diangkat, sehubungan dengan
besarnya pengaruh yang ditimbulkan bagi kehidupan ekonomi bangsa Indonesia.
Isu globalisasi telah membuat "kalang kabut" negara-negara berkembang yang
tidak memiliki infrastruktur ekonomi yang memadai. Di lain pihak, isu globalisasi
ini menjadi semacam "bahan bakar" bagi negara-negara maju untuk
meningkatkan ekselerasi pertumbuhan ekonomi dan penetrasi ke pasar
internasional.
 
ISU GLOBALISASI

Salah satu refleksi dari kegagapan bangsa Indonesia dalam menyikapi sejarah
ekonominya adalah ketika dihadapkan pada isu santer yang dikenal dengan
globalisasi, yang di dalamnya terkandung sejumlah obsesi, tantangan,
konsekuensi, dan harapan akan kehidupan di masa depan. Globalisasi ekonomi
hanya membuat makmur sebagian kecil orang (atau negara) di dunia ini, tetapi
lebih banyak orang (bangsa/negara) yang dibuat susah, repot dan capek.
Melelahkan. 3)

3) Mubyarto, Membangun Sistem Ekonomi, PT BPFE Yogyakarta, 2000, halaman 42.

Jika kita mau belajar dari sejarah, globalisasi sebenarnya bukanlah fenomena
baru dalam kancah panjang ekonomi Indonesia. Jauh hari sebelum muncul
nation state, arus perdagangan dan migrasi lintas benua telah berlangsung sejak
lama. Jauh hari sebelumnya, perdagangan regional juga telah membuat interaksi
antarsuku bangsa terjadi secara alamiah, natural.

Dua dekade menjelang Perang Dunia I, arus uang internasional telah


mempererat ikatan antara negara-negara Eropa dengan Amerika Serikat, Asia,
Afrika, dan Timur Tengah. Pasar modal mengalami booming di kedua sisi
Atlantik. Sementara itu, bank dan investor-investor swasta sibuk
mendiversifikasikan portofolionya, dari Argentina terus melingkar Pasifik hingga
ke Singapura. Namun demikian, sejalan dengan siklus ekonomi dan politik dunia,
gelombang globalisasi pun juga mengalami pasang surut. Salah satu kekuatan
yang melatarbelakangi adalah adanya tarik-menarik antara paham
internasionalisme dengan paham nasionalisme atau bahkan dengan
isolasionisme.

Dicermati dari segi intensitas dan cakupannya, sebenarnya gelombang


globalisasi yang melanda seluruh dunia sejak dekade 1980-an telah jauh
berbeda dari gelombang yang sama pada periode sebelumnya. Proses
konvergensi akibat dari globalisasi dewasa ini praktis telah menyentuh hampir
seluruh sendi kehidupan, yang tidak saja merambah di segala bidang (ekonomi,
sosial, budaya, politik, dan ideologi), melainkan juga telah menjamah ke dalam
tataran sistem, proses, pelaku, dan events. Sekalipun demikian, tidak berarti
bahwa prosesnya selalu berjalan dengan mulus. Ada kecenderungan bahwa
gelombang globalisasi yang dahsyat menerpa itu ternyata juga disertai dengan
fragmentasi. 4)

4) Clark, Ian (1997). Globalization and Fragmentation: International Relations in the Twentieth Century. Oxford & London:
Oxford University Press, halaman 1-2.

Dewasa ini, banyak ekonom dan kritisi yang memandang bahwa globalisasi
merupakan keniscayaan sejarah, oleh karena itu terjangan arusnya tak mungkin
dapat dibendung lagi. Pandangan semacam ini muncul sebagai reaksi atas
pendapat sebagian ekonom yang justru prihatin terhadap kecenderungan
perkembangan ekonomi dunia yang kian tak menentu dan sangat rentan dengan
gejolak. Terutama akibat dari arus finansial global yang semakin "liar". Padahal,
kita semua tahu bahwa tidak semua negara memiliki daya saing (dan daya
tahan) yang cukup untuk terlibat langsung dalam kancah lalu-lintas finansial
global, yang tak lagi mengenal batas-batas teritorial negara, dan cenderung
semakin sulit untuk dikontrol oleh pemerintah sebuah negara yang berdaulat.

Globalisasi juga dikhawatirkan akan memunculkan suatu bentuk eksploitasi baru,


yaitu eksploitasi oleh financial-driven economies terhadap good-producing
economies. Kelompok pertama memiliki keleluasaan yang sangat besar dalam
merekayasa bentuk-bentuk transaksi keuangan yang sifatnya "semu". Artinya,
transaksi yang mereka lakukan sebenarnya tidak memberikan kontribusi
produktif bagi peningkatan kesejahteraan riil masyarakat. Ini semua terjadi
karena "uang" dan "aset finansial" lainnya saling diperdagangkan sebagaimana
halnya sebuah komoditas. 5)

5) Michel Chossudovsky, The Globalisation of Poverty: Impacts of IMF and World Bank Reforms. London & New Jersey:
Zed Books., 1997, halaman 332

Bagaimanapun juga, sektor finansial tidak pernah terlepas kaitannya dengan sektor riil.
Keberadaan sektor finansial, dengan segala bentuk kerumitan instrumen dan berbagai lembaga
keuangan yang menopangnya, tidak mungkin bisa berdiri sendiri. Sehebat dan secanggih apa
pun sektor finansial itu, pada intinya mereka tetap merupakan fasilitator bagi eksistensi sektor riil.

Jika dalam kenyataan kini makin nampak bahwa kedua sektor ini telah
mengalami lepas kaitan (decoupling), maka masyarakat tinggal menunggu waktu
akan datangnya kehancuran peradaban. Atau (minimal) bersiap-siap untuk hidup
dalam kegemerlapan artifisial dengan segala konsekuensinya. Oleh karena itu,
tidak ada cara lain bagi kita untuk sungguh-sungguh mengupayakan
terbentuknya suatu tatanan baru, yang menempatkan kembali sektor finansial
pada fungsinya yang hakiki. Sayangnya, dewasa ini kita hidup dalam alam
realitas yang sudah terlanjur menempatkan uang dan perangkat finansial lainnya
sebagai suatu komoditas. Telah banyak negara yang tersungkur dan terseret
oleh arus permainan kapitalisme finansial yang berperilaku semakin "buas".
Suatu perekonomian yang menapaki tahap demi tahap perkembangan, yang
telah ditumbuhkan oleh peluh keringat berjuta-juta rakyatnya, tiba-tiba saja bisa
diluluh-lantakkan dalam sekejap dengan cara mengguncang nilai mata uangnya
(Lenin=s dictum) hingga tersungkur tanpa kekuatan untuk membela diri. 6)

6) Milton Friedman, Capitalism and Freedom: The Classic statement of Milton Friedman=s Economic Philosophy, The
University of Chicago Press, Chicago and London, 1982, halaman 39.

Sebetulnya, kesadaran akan bahaya kapitalisme dengan sosok seperti sekarang


ini sudah mulai tumbuh. Di antaranya justru datang dari kalangan pemikir Barat
sendiri, termasuk para pemikir di lembaga-lembaga keuangan internasional
seperti IMF dan Bank Dunia. 7) Anehnya, justru kesadaran seperti itulah yang saat ini
kurang muncul di negara kita (dan negara berkembang pada umumnya) sehingga secara
"sukarela" mereka mau menerjunkan diri ke dalam ajang permainan yang sangat "buas" ini.

7) Jeffrey E. Garten,"Why the Global Economy is Here to Stay." Business Week, March 23, Washington, 1998, halaman
9.

Pemikiran-pemikiran alternatif sebagaimana sudah sangat sering dilontarkan


oleh ekonom seperti Prof. Dr. Mubyarto atau juga oleh para "ekonom
kontemporer" lain seperti Hartojo Wignjowijoto, atau Prof. Dr. Sritua Arief,
nampaknya perlu diwartakan dan ditawarkan kepada masyarakat dunia, untuk
benar-benar menciptakan tatanan ekonomi yang lebih sehat. Tentu saja,
gagasan bagi terbentuknya tatanan baru itu membutuhkan waktu dan pengkajian
yang cermat. Target awal yang paling penting dari semua itu adalah
memunculnya kesadaran masyarakat akan rapuh dan rentannya sistem yang
berlaku sekarang ini.

Sistem ekonomi yang berlaku sekarang ini nyata-nyata telah mendorong perilaku
konsumtif masyarakat dan telah menyeret begitu jauh perekonomian nasional
untuk tumbuh secara instant. Hanya negara-negara kaya dengan perangkat
kelembagaan ekonomi politik yang mantaplah yang bisa mengeliminasikan
dampak-dampak negatif dari gelombang pergerakan finansial global ini.

Negara-negara yang kuat tidak perlu lagi bergelimangan peluh untuk


menghasilkan barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan rakyatnya. Mereka
cukup melakukan rekayasa finansial yang menghasilkan kemelimpahan dana
untuk membeli berbagai macam kebutuhan fisiknya. Sebaliknya, negara-negara
yang menghasilkan produk riil (barang) tidak pernah bisa menikmati hasil yang
layak. Sebelum peluh mereka mengering, nilai uang riil yang dihasilkan itu telah
disedot oleh gejolak kurs dan tercekik oleh tingginya suku bunga. Bukankah
hidup di dunia seperti ini sungguh sangat berisiko bagi peradaban umat manusia
itu sendiri?

Perilaku ekonomi yang "tidak wajar" seperti itu tidak hanya dilakukan oleh para
aktor pasar finansial internasional seperti George Soros, tetapi juga telah
meracuni para pelaku bisnis di Indonesia. Hampir semua imperium bisnis di
Indonesia telah melakukan beragam rekayasa finansial, sehingga
memungkinkan mereka menjelma dalam bentuk gurita konglomerasi secara
instant. Langkah mereka semakin mulus setelah disangga oleh sistem politik
yang otoriter dan birokrasi yang korup.
 

KRISIS EKONOMI

Di tengah dinamika ekonomi global yang terus-menerus berubah dengan


akselerasi yang semakin tinggi sebagaimana digambarkan di atas, Indonesia
mengalami terpaan badai krisis yang intensitasnya telah sampai pada keadaan
yang nyaris menuju kebangkrutan ekonomi.

Krisis ekonomi - yang dipicu oleh krisis moneter - beberapa waktu yang lalu,
paling tidak telah memberikan indikasi yang kuat terhadap tiga hal. Pertama,
kredibilitas pemerintah telah sampai pada titik nadir. Penyebab utamanya adalah
karena langkah-langkah yang ditempuh pemerintah dalam merenspons krisis
selama ini lebih bersifat "tambal-sulam", ad-hoc, dan cenderung menempuh jalan
yang berputar-putar.

Selain itu, seluruh sumber daya yang dimiliki negeri ini dicurahkan sepenuhnya
untuk menyelamatkan sektor modern dari titik kehancuran. Sementara itu, sektor
tradisional, sektor informal, dan ekonomi rakyat, yang juga memiliki eksistensi di
negeri ini seakan-akan dilupakan dari wacana penyelamatan perekonomian yang
tengah menggema.
Kedua, rezim Orde Baru yang selalu mengedepankan pertumbuhan (growth)
ekonomi telah menghasilkan crony capitalism yang telah membuat struktur
perekonomian menjadi sangat rapuh terhadap gejolak-gejolak eksternal. Industri
manufaktur yang sempat dibanggakan itu ternyata sangat bergantung pada
bahan baku impor dan tak memiliki daya tahan. Sementara itu, akibat "dianak-
tirikan", sektor pertanian pun juga tak kunjung mature sebagai penopang laju
industrialisasi. Yang saat itu terjadi adalah derap industrialisasi melalui
serangkaian kebijakan yang cenderung merugikan sektor pertanian. Akibatnya,
sektor pertanian tak mampu berkembang secara sehat dalam merespons
perubahan pola konsumsi masyarakat dan memperkuat competitive advantage
produk-produk ekspor Indonesia.

Salah satu faktor terpenting yang bisa menjelaskan kecenderungan di atas


adalah karena proses penyesuaian ekonomi dan politik (economic and political
adjustment) tidak berlangsung secara mulus dan alamiah. Soeharto-style state-
assisted capitalism nyata-nyata telah merusak dan merapuhkan tatanan
perekonomian. Memang di satu sisi pertumbuhan ekonomi yang telah dihasilkan
cukup tinggi, namun mengakibatkan ekses yang ujung-ujungnya justru counter
productive bagi pertumbuhan yang berkelanjutan.

Ketiga, rezim yang sangat korup telah membuat sendi-sendi perekonomian


mengalami kerapuhan. Secara umum, segala bentuk korupsi akan
mengakibatkan arah alokasi sumber daya perekonomian menjurus pada
kegiatan-kegiatan yang tidak produktif dan tidak memberikan hasil optimum.
Dalam kondisi seperti ini pertumbuhan ekonomi memang sangat mungkin terus
berlangsung, bahkan pada intensitas yang relatif tinggi. Namun demikian,
sampai pada batas tertentu pasti akan mengakibatkan melemahnya basis
pertumbuhan.

Selanjutnya, praktik-praktik korupsi secara perlahan C tapi pasti C telah merusak


tatanan ekonomi dan pembusukan politik yang disebabkan oleh perilaku
penguasa, elit politik, dan jajaran birokrasi. Keadaan semakin parah ketika
jajaran angkatan bersenjata dan aparat penegak hukum pun ternyata juga turut
terseret ke dalam jaringan praktik-praktik korupsi itu.

Hancurnya kredibilitas pemerintah yang dibarengi dengan tingginya


ketidakpastian itu telah menyebabkan terkikisnya kepercayaan (trust). Yang
terjadi dewasa ini tidak hanya sekadar pudarnya trust masyarakat terhadap
pemerintah dan sebaliknya, melainkan juga antara pihak luar negeri dengan
pemerintah, serta di antara sesama kelompok masyarakat. Yang terakhir
disebutkan itu tercermin dengan sangat jelas dari keberingasan massa terhadap
simbol-simbol kekuasaan serta kemewahan dan terhadap kelompok etnis Cina,
seperti yang dikenal dengan peristiwa Mei 1998.

Sementara itu, krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dapat dilihat


dari respons masyarakat yang kerap kali berlawanan dengan tujuan kebijakan
yang ditempuh pemerintah. Misalnya, kebijakan pemerintah yang seharusnya
berupaya menggiring ekspektasi masyarakat ke arah kanan, justru telah
menimbulkan respons masyarakat menuju ke arah kiri, dan sebaliknya. Faktor
lainnya adalah semakin timpangnya distribusi pendapatan dan kekayaan,
sehingga mengakibatkan lunturnya solidaritas sosial.

PENUTUP

Tumbangnya imperium konglomerasi membuat indikasi di atas semakin kuat.


Bahwa sosok kerajaan bisnis yang dibangun di atas fondasi semu dan tumpukan
utang, menjadi tidak berdaya menghadapi krisis ekonomi. Sampai titik ini pun,
pemerintah nampaknya belum juga bangkit kesadarannya, bahwa
menyelamatkan sektor modern dengan cara "habis-habisan" (all out dan at all
cost) seperti yang terus dilakukan selama ini mengandung konsekuensi yang
teramat riskan. Pemerintah masih terobsesi dan selalu disugesti seakan-akan
hanya dengan sektor modern itulah bangsa berdaulat ini dapat kembali bangkit
dari keterpurukannya.

Di luar semua itu, sesungguhnya terdapat kekuatan yang luar biasa yang justru
telah menyelamatkan negeri ini dari kebangkrutannya, yaitu ekonomi rakyat. Di
atas kertas, perekonomian bangsa ini seharusnya sudah "gulung tikar" sejak
angka-angka statistik ekonomi pada periode krisis (1997-1999) menunjukkan
kecenderungan yang terus memburuk. Nyatanya, kondisi "sekarat" itu hanya
terjadi pada sektor-sektor yang memang mampu tercatat dan terefleksikan dalam
angka-angka statistik itu. Di luar angka-angka itu, yang tidak mampu dicatat oleh
sistem statistik yang ada, sesungguhnya masih menyimpan potensi, kekuatan,
dan daya tahan yang sangat besar.

Akankah pemerintah masih terus-menerus menutup mata terhadap eksistensi


ekonomi rakyat? Atau akan terus-menerus meyakini wacana yang selalu
digembar-gemborkan oleh para ekonom Neo Klasik bahwa pertumbuhan yang
terjadi saat ini adalah karena sumbangan konsumsi (driven consumption) orang-
orang berduit? Kiranya sejarah telah membuktikan, bahwa memuja dan
memanjakan sektor modern secara "membabi-buta" hanya akan menghasilkan
konklusi akhir yang menyedihkan, yang rasa pahitnya tidak hanya dikecap oleh
sekelompok orang, tetapi seluruh komponen bangsa ini akan turut
merasakannya.

Bila bangsa ini cukup cerdas untuk menterjemahkan hikmah krisis ekonomi,
secara tidak langsung (blessing in disguise) seharusnya peristiwa menyakitkan
ini justru dapat menjadi pelajaran yang dipetik hikmahnya. Kesimpulannya,
pengabaian (ignoring) eksistensi ekonomi rakyat dan sektor tradisional sudah
tiba saatnya untuk segera dihentikan. Percayalah.

Hery Nugroho, SE : adalah mahasiswa Program Magister Ekonomika


Pembangunan UGM Angkatan XVI, konsentrasi Pembangunan Daerah. Sejak
1992 bekerja sebagai staf Peneliti pada Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan
Publik (d/h PAU Studi Ekonomi), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Paper ini ditulis untuk memenuhi tugas dalam rangka mata kuliah Kebijakan Pembangunan Daerah/Ekonomi Indonesia oleh Prof.
Dr. Mubyarto

DAFTAR PUSTAKA

Boyer, Robert, and Daniel Drache, eds. (1996). States Against Market: The
Limits of Globalization. London & New York: Routledge.

Chossudovsky, Michel (1997). The Globalisation of Poverty: Impacts of IMF and


World Bank Reforms. London & New Jersey: Zed Books.

Clark, Ian (1997). Globalization and Fragmentation: International Relations in the


Twentieth Century. Oxford & London: Oxford University Press.

Cox, Robert W., ed. (1997). The New Realism: Perspectives on Multilateralism
and World Order. London: MacMillan Press Ltd for The United Nations
University.

Dicken, Peter (1992). Global Shift: The Internationalization of Economic Activity.


Socond edition. London: Paul Chapman Publishing Ltd.

Friedman, Milton, (1982), Capitalism and Freedom: The Classic statement of


Milton Friedman=s Economic Philosophy, The University of Chicago
Press, Chicago.

Garten, Jeffrey E. (1998). "Why the Global Economy is Here to Stay." Business
Week, March 23, Washington.

Hanggi, Heiner (1997). "ASEM and the Construction of the New Triad." Paper,
presented to the ASEASUK Conference Asia and Europe, organized by
School of Oriental and African Studies, University of London, London,
April 2-3, 1998.

Heywood, Paul, ed. (1997). Political Corruption. Oxford, U.K.: Blackwell


Publishers for The Political Studies Association.

Holm, Hans-Henrik, and George Sorensen, eds. (1995). Whose World Order?
Uneven Globalization and the End of The Cold War." Boulder, Col.:
Westview Press.

Hopkins, Terence K., et.al. (1996). The Age of Transition: Trajectory of the
World-System, 1945-2025. London & New Jersey: Zed Books.

Lindsey, Lawrence B. (1998). "The Real Economic Globalists." Far Eastern


Economic Review, March 26, Hongkong.

Martin, Hans-Peter, and Harald Schumann (1998). The Global Trap:


Globalization and the Assault on Prosperity and Democracy. London &
New York: Zed Books Ltd.
Mubyarto, (1998). Reformasi Sistem Ekonomi, Aditya Media, Yogyakarta.

----, (2000). Membangun Sistem Ekonomi, Penerbit PT BPFE Yogyakarta.

----, (2001). Prospek Otonomi Daerah dan Perekonomian Indonesia Pasca Krisis
Ekonomi, Penerbit PT BPFE, Yogyakarta.

----, (2001). Amandemen Konstitusi dan Pergulatan Pakar, Aditya Media,


Yogyakarta.

----, (2001). "Pemulihan Ekonomi Nasional Menuju Demokrasi Ekonomi", dalam


Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 16 No. 1, Fakultas Ekonomi
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

----, (2001). "Mengatasi Krisis Moneter Melalui Penguatan Ekonomi Rakyat",


dalam Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 16 No. 2, Fakultas
Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

----, (2001). "Siklus Tujuh Tahunan Ekonomi Indonesia (1931-1966-2001-2036)",


dalam Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 16 No. 3, Fakultas
Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

----, (2001). "Survey Ekonomi Jawa Timur: Kasus Kabupaten Pacitan dan
Lamongan", dalam Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 16 No. 4,
Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

----, (2002). Pemberdayaan Ekonomi Rakyat dan Peranan Ilmu-ilmu Sosial,


Yogyakarta.

Oppusunggu, H.M.T, (2000). Berhentilah Bicara!: Seruan bagi Ekonom


Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta.

Ruigrok, Winfried, and Rob van Tulder (1995). The Logic of International
Restructuring. London & New York: Routledge.

EKONOMI RAKYAT INDONESIA PASCA KRISMON


 

Pendahuluan
Selama 5 bulan (Juni-Oktober 2000) Pusat Penelitian Kependudukan UGM bekerjasama
dengan RAND Corporation Santa Monica mengadakan Survei Aspek Kehidupan Rumah
Tangga Indonesia (SAKERTI) di 13 propinsi dengan mewawancarai 10.000 keluarga atau
43.000 orang. Survei yang telah diadakan untuk ketigakalinya ini mewawancarai keluarga-
keluarga yang sama (panel) yang menjadi sampel sejak Sakerti 1 (1993) dan Sakerti 2
(1997). Pada tahun 1998 khusus untuk meneliti dampak krismon yang sedang berlangsung,
dilaksanakan Sakerti 2+ dengan mengambil 25% sub-sampel. Penemuan-penemuan Sakerti
2+ yang telah disebarluaskan melalui beberapa tulisan antara lain oleh Elizabeth
Frankenberg, James Smith, dan Kathleen Beegle (1999) mengejutkan banyak pihak karena
berbeda dengan “anggapan umum”. Namun sejumlah peneliti lain seperti kelompok SMERU
menemukan hal-hal yang sejalan dengan penemuan Sakerti 3 khususnya dalam dampak
krismon yang tidak terlalu parah terhadap kehidupan keluarga/perorangan. Kami sendiri yang
mengadakan kunjungan lapang ke berbagai desa selama 1998-1999 juga mencatat
pernyataan banyak warga desa bahwa “krisis ini belum apa-apa dibanding krisis yang lebih
berat pada jaman Jepang, awal kemerdekaan, dan krisis ekonomi tahun 1965-66". [1]

[1] Mubyarto, 1999, Reformasi Sistem Ekonomi, Yogyakarta , Aditya Media, hal 129-139.

Demikian keparahan krismon 1997 yang menjadi polemik nasional selanjutnya tenggelam

karena pendapat yang lebih condong ke “dampak yang parah” lebih populer agar tidak

menghambat peluncuran program-program JPS (Jaring Pengaman Sosial) lebih-lebih yang

dananya berasal dari bantuan luar negeri. Program-program JPS adalah program untuk

menolong penduduk miskin yang sedang dalam kesusahan sehingga tidaklah dianggap

bijaksana menyebarluaskan penemuan kajian-kajian yang menyimpulkan dampak krismon

tidak parah. Peneliti-peneliti Indonesia yang jujur melaporkan kenyataan dari lapangan

terpaksa mengendalikan diri “demi kemanusiaan”. Namun kemudian mereka merasa terpukul

membaca komentar penerima hadiah Nobel Ilmu Ekonomi tahun 1998 Amartya Sen yang

menyindir mereka yang telah membesar-besarkan dampak krisis koneter di Asia Timur.

It may wondered why should it be so disastrous to have, say, a 5 or 10 percent fall in gross
national product in one year when the country in question has been growing at 5 or 10 percent
per year for decades. Indeed, at the aggregate level this is not quintessentially a disastrous
situation. (Sen, 1999: 187)

Setelah laporan Sakerti 2+ sedikit dilunakkan “demi kemanusiaan”, kini Sakerti 3 yang
dilaksanakan 3 tahun setelah krisis dan 2 tahun setelah Sakerti 2+, ternyata memperkuat
penemuan-penemuan Sakerti 2+. Tanpa diduga, dampak yang “menyingkirkan” berita “krisis
belum apa-apa” ini merugikan penduduk miskin dan bertentangan dengan kepentingan melidungi
dan memajukan ekonomi rakyat, karena telah dimanfaatkan secara licik oleh kelompok tidak
miskin yaitu golongan ekonomi kuat dan sektor industri modern dalam rangka menuntut
pemerintah menyelamatkan kebangkrutan mereka dan lebih khusus lagi dalam rangka
membenarkan kebijakan penalangan (bail out) utang-utang melalui BLBI (Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia), yang mulai dikucurkan tahun 1998. Adalah kepentingan para penerima BLBI
untuk mengesankan bahwa krisis ekonomi masih terus berjalan, dan makin parah, agar peme-
rintah tetap tidak dapat bersikap keras pada mereka untuk membayar utang-utang besar yang
macet sejak awal krismon. Utang-utang besar yang macet menjadi amat berat karena banyak
utang dalam bentuk valuta asing yang tidak dijamin sehingga jika ekonomi Indonesia sudah
dianggap pulih dari kondisi krisis, mereka para pengutang akan kehilangan alasan untuk tidak
membayarnya. Inilah alasan “tersembunyi” untuk terus memojokkan pemerintah yang sayangnya
memperoleh dukungan pakar-pakar ekonomi makro yang tidak pernah meninggalkan meja
komputernya dan tidak pernah mau menerapkan metode analisis induktif-empirik dengan cara
datang ke daerah-daerah meneliti kehidupan ekonomi riil (real-life economics). Mereka
membesar-besarkan dampak krisis dengan menyebutkan pengangguran yang mencapai 40 juta
orang, pelarian modal asing US $ 10 milyar per tahun dan lain-lain.

Hasil-hasil Sakerti 3

1. Kemiskinan. Di 13 propinsi yang disurvei angka kemiskinan perkotaan menurun


selama 1997-2000 dari 13,3% menjadi 11,3%, sedangkan di perdesaan menurun dari
20,1% menjadi 18,7% (tabel 1). Penurunan angka kemiskinan di perdesaan terjadi di
Sumsel, Lampung, Sulsel, Kalsel, Bali, Sumut, dan Jatim (rata-rata 8,0%), sedangkan
penurunan kemiskinan di perkotaan yang relatif lebih kecil terjadi di Jatim, Jateng, Sulsel,
dan Jabar (rata-rata 4,9%). Lebih besarnya penurunan tingkat kemiskinan di perdesaan
khususnya di propinsi-propinsi luar Jawa menunjukkan adanya perbaikan dasar tukar
(term of trade) antara harga-harga yang diterima dan yang dibayar produsen. Di propinsi-
propinsi Jatim, Jateng, dan Sulsel, angka-angka kemiskinan di perkotaan juga menurun
yang berarti penduduk perkotaanpun masih mampu menghasilkan barang-barang yang
harga jualnya meningkat lebih cepat ketimbang harga barang-barang yang dibeli rumah
tangga. Bahwa ada kenaikan angka kemiskinan di perdesaan di Jabar, Jateng, dan DIY
(rata-rata 3,3%) dan bahkan 11,9% di NTB, mungkin menandakan kurangnya komoditi
pertanian “tradisional” yang harganya terangsang naik oleh krismon. Pendapatan riil
rumah tangga yang ditaksir dengan median pengeluaran riil per kapita selama 1997-2000
mengalami kenaikan cukup signifikan sebagai berikut:
2. Kesempatan Kerja. Berbeda dengan kesan umum telah terjadinya
pengangguran besar-besaran sejak krismon 1997-98, Sakerti 3 melaporkan adanya
peningkatan kesempatan kerja pria dari 79% (1997) menjadi 84% (2000) dan untuk
wanita dari 45% menjadi 57%. Khusus untuk kerja upahan/bergaji kenaikannya untuk
pria dari 74,5% menjadi 77,0% sedangkan untuk wanita dari 36,7% menjadi 42,2%. Yang
cukup signifikan adalah kenaikan persentase kesempatan kerja keluarga tanpa gaji
terutama wanita yang naik dari 19,2% menjadi 25,5%, meskipun untuk pria naik lebih
kecil yaitu dari 6,1% menjadi 7,9%. Arti kenaikan angka-angka ini jelas bahwa krismon
yang pada umumnya menurunkan kegiatan sektor modern/formal, ditanggapi dengan
meningkatnya kegiatan ekonomi/ industri sektor tradisional/ informal/ekonomi rakyat,
khususnya dengan mempekerjakan lebih banyak wanita atau ibu yang sebelumnya tidak
bekerja. Kesimpulan kita jelas bahwa selama 1997-2000 telah terjadi “pergeseran”
kesempatan kerja dari sektor ekonomi modern ke sektor ekonomi rakyat, dan tidak benar
adanya pengangguran besar-besaran akibat PHK.

The economic crisis has resulted in both negative and positive consequences for the Javanese. It
has resulted in a rapid rise in prices of basic items which place them beyond the capacity of many
poor people and has reduced employment opportunities in the formal sector. On the other hand, it
has resulted in the emergence of many new small enterprises which had previously been
destroyed by the economic monopolies and import of mass-produced commodities under the
New Order. [2]

[2] Jessica Poppele, Sudarno Sumarto, dan Lant Pritchett, 1999, Social Impacts of the Indonesian Crisis; Agus Dwiyanto, 1998,
Krisis Ekonomi: Respon Masyarakat dan Kebijakan Pemerintah, Pelajaran dari Tiga Desa di Jawa, PPK-UGM; Lea Jellinek &
Bambang Rustanto, “Survival Strategies of the Javanese During the Economic Crisis” (Survey Report), World Bank, Jakarta, 28
Agustus 1999, dikutip dalam Mubyarto (1999), ibid., hal 134.

3. Standar Hidup dan Kesejahteraan. Sakerti 3 menanyakan bagaimana keluarga


menilai tingkat kesejahteraan mereka selama dan sebagai akibat krismon. Hasilnya
sungguh mengejutkan karena berbeda dengan anggapan umum telah terjadinya
kemerosotan kesejahteraan dan standar hidup akibat krismon, 87% responden
menyatakan standar hidup mereka tidak berubah (tetap) atau bahkan membaik, dan
yang melaporkan memburuk hanya 13%. Mengenai kualitas hidup, 83,9% responden
menyatakan memadai (69,4%) atau lebih dari memadai (14,5%), yang berarti bahwa
keluarga yang merasakan kualitas hidup mereka tidak memadai hanya 16,1%. Tentang
kualitas hidup yang menyangkut pemenuhan kebutuhan pangan, 90,7% menyatakan
memadai atau lebih dari memadai, sedangkan tentang pemeliharaan kesehatan, 85%
menyatakan memadai dan 4% menyatakan lebih dari memadai.

Dari 3 ukuran kesejahteraan rakyat yang dilaporkan Sakerti 3 kesimpulan kita tidak meragukan
lagi bahwa orang Indonesia mempunyai cara-cara khas menanggapi krisis moneter atau krisis
ekonomi. Munculnya krismon berupa kenaikan harga-harga umum besar-besaran tidak serta
merta menurunkan kualitas atau standar hidup mereka tetapi mereka menemukan berbagai cara
untuk menanggapinya. Cara-cara menang-gapi krismon yang khas dan berbeda-beda inilah yang
bagi para pakar ekonomi ortodok (konvensional) tak terpikirkan, dan hanya dapat
diketahui/ditemukan melalui penelitian-penelitian lapangan yang serius. Sakerti 1, 2, dan 3
memberikan perhatian khusus pada mekanisme bertahan hidup (coping strategies) dan
menanggapi krisis seperti itu.

Metode Menanggapi Krismon

Orang Indonesia yang dikenal kuat menganut asas kekeluargaan dalam segala aspek
kehidupannya dapat diamati menerapkan asas atau etika hidup ini di saat terjadi krismon yang
datang secara sangat tiba-tiba. Asas hidup kekeluargaan ini yang diperkuat oleh semangat
percaya diri dan kepercayaan pada kekuasaan Tuhan berakibat pada sikap bahwa krismon tidak
lain daripada “percobaan” dan “peringatan” pada bangsa Indonesia agar menyadari aneka
kekeliruan dan penyimpangan yang telah dilakukan.
Sakerti 3 seperti halnya Sakerti 1, 2, dan 2+ sebelumnya, menemukan fakta-fakta menarik
tentang metode dan sikap menanggapi krismon secara tepat sehingga tidak mengakibatkan
kejutan atau gangguan besar pada konsumsi keluarga dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
dasar kesehatan dan pendidikan terutama bagi anak-anak.

Salah satu cara paling mudah dan paling sering dilakukan keluarga Indonesia saat-saat
menghadapi krisis adalah dengan “mengatur kembali” pengeluaran/belanja keluarga dengan cara
menunda pengeluaran-pengeluaran yang dianggap dapat ditunda misalnya pembelian pakaian,
alat-alat rumah tangga dan pengeluaran-pengeluaran upacara, yang ditaksir berkurang dengan
sepertiga. [3] Selain itu suatu keluarga dapat memutuskan “menitipkan” sebagian anggota
keluarga pada keluarga lain yang lebih mampu, atau secara umum sangat biasa terjadi pinjam-
meminjam uang tanpa bunga antarkeluarga (sebrakan) untuk menutup pengeluaran pokok yang
tidak dapat ditunda.

[3] Elizabeth Frankenberg, James P Smith and Duncan Thomas, “Economic Shocks, Wealth and Welfare”, makalah belum
diterbitkan, Rand, February 2002, h. 13

Di pihak lain jika pada saat krismon pengeluaran-pengeluaran meningkat sekali, setiap

keluarga dengan cara masing-masing berusaha bekerja lebih keras atau lebih lama

(melembur) agar pendapatan bertambah. Rata-rata keluarga sejak terjadi krismon

menambah waktu kerja 25 jam per minggu, sedangkan per orang pekerja bertambah 10 jam

per minggu. Jika satu keluarga bekerja mandiri maka dalam kondisi krisis anggota keluarga

yang sebelumnya tidak bekerja, secara spontan ikut bekerja tanpa gaji. Sakerti 3 secara

meyakinkan melaporkan bertambahnya kerja tanpa gaji untuk wanita dari 19,2% menjadi

25,5% meskipun untuk pria jauh lebih kecil yaitu dari 6,1% menjadi 7,9%.

Terakhir, tetapi ternyata sangat menonjol di Indonesia, adalah kemampuan untuk memobilisasi
kekayaan/aset apapun yang dimiliki keluarga untuk mempertahankan (smooth out) tingkat
pengeluaran keluarga. Sakerti 2+ menemukan fakta-fakta menarik bahwa hampir setiap keluarga
termasuk yang miskin memiliki kekayaan atau aset yang dapat dijual atau digadaikan untuk
menutup pengeluaran-pengeluaran pokok yang tidak dapat dihindarkan. Lebih dari 90% keluarga
di perdesaan dan 70% keluarga di perkotaan mempunyai rumah yang tidak beralih pemilikannya
selama krisis, yang berarti meningkatnya pengeluaran karena krisis selalu dapat ditutup dengan
cara menambah pendapatan, tidak dengan menjual rumah atau aset-aset berharga lainnya.
Tentang pemilikan aset-aset lancar seperti uang tunai atau surat-surat berharga, juga dilaporkan
sangat besar peranannya dalam menghadapi krisis, karena 25% keluarga perdesaan dan 40%
keluarga perkotaan memilikinya dan persentase yang lebih besar bahkan dilaporkan memiliki
kekayaan berupa emas terutama dalam bentuk perhiasan yang sangat mudah digadaikan atau
diperjual-belikan. Rumah-rumah gadai bertambah ramai dan pasar emas dilaporkan sangat
dinamis/aktif saat krisis. Harga emas mengalami kenaikan 4 kali selama krisis, lebih tinggi
ketimbang kenaikan harga-harga umum. Emas ternyata merupakan simpanan andalan bagi
banyak keluarga Indonesia untuk berjaga-jaga menghadapi krisis. Bagi keluarga-keluarga paling
miskinpun disamping ternak yang hampir selalu dimilikinya, perhiasan dari emas sangat mudah
ditemukan.  

Kesimpulan

Sebagaimana sudah sering dikemukakan oleh para peneliti ekonomi rakyat, meskipun Indonesia
merdeka sudah berusia 57 tahun dan pembangunan ekonomi “Orde Baru” sudah berlangsung 31
tahun (1966-97) yang mampu meningkatkan pendapatan riil rata-rata bangsa Indonesia 10 kali,
tokh dalam kenyataan perekonomian Indonesia masih tetap bersifat dualistik, sebagaimana
dikemukakan J.H. Boeke tahun 1910. Ekonomi dualistik adalah ekonomi yang tidak homogen
tetapi hampir di semua sektor terpilah menjadi 2 yaitu sektor ekonomi modern/formal dan sektor
ekonomi tradisional/informal. Yang kedua disebut Bung Hatta tahun 1931 sebagai sektor
(kegiatan) ekonomi rakyat. Memang sangat tidak tepat dan menyesatkan menyebut sektor
ekonomi rakyat sebagai sektor informal, karena sektor ini justru sudah lebih tua dan sudah
merupakan kegiatan ekonomi “formal” jauh sebelum datangnya para
pengusaha/pemodal/kapitalis Belanda ke Indonesia, yang sebagian besar baru beroperasi
sesudah UU Agraria (Agrarische Wet) tahun 1870. Karena para pemodal/pengusaha Belanda
yang datang sesudah 1870 ini pada umumnya berbentuk NV (PT) yang besar dengan kantor-
kantor dan kebun-kebun besar, dengan membayar pajak-pajak yang besar, maka mereka
dianggap perusahaan-perusahaan formal, sedangkan yang sangat kecil/gurem inilah yang
disebut ekonomi rakyat, yang lokasinya dapat tidak tetap atau sering pindah, dan disebut sektor
informal.

Krisis moneter 1997-98 jelas lebih dulu dan lebih mudah memukul telak sektor ekonomi modern/
formal lebih-lebih perusahaan yang berutang besar dalam nilai nominal dolar, yen, atau valuta
asing lainnya. Krisis moneter yang dimulai dengan depresiasi rupiah dan apresiasi dolar sangat
memukul perusahaan-perusahaan yang berutang dolar atau valuta asing lain dan memukul impor
karena harga rupiah barang-barang impor melonjak sesuai apresiasi dolar. Namun karena
hampir semua sektor masih bersifat dualistik, sektor tradisional/ekonomi rakyat tidak terpengaruh
krismon, atau terpengaruh secara tidak berarti. Dampak negatif krismon terhadap ekonomi rakyat
dapat dihindari atau disikapi sedemikian rupa hingga tidak dirasakan dampaknya, dengan cara-
cara atau ”seni” khas ekonomi rakyat, yang dikenal dengan istilah strategi penyikapan (coping
strategy) baik dalam produksi, perilaku berkonsumsi, atau sekedar strategi bertahan hidup
(survival strategy).

Sakerti 1, 2, 2+, dan 3 secara meyakinkan mengungkapkan bagaimana 10.000 lebih keluarga
dan 43.000 orang yang diwawancara menanggapi krismon dengan cara-cara mereka, yang tidak
dikenal dan tidak termuat dalam buku-buku teks ilmu ekonomi terbitan Amerika. Sakerti mampu
mengungkap perilaku ekonomi riil rakyat Indonesia (real life economics) yang melalui analisis
mendalam akan menghasilkan ilmu/ teori ekonomi rii. [4]

[4] Paul Ekins and Manfred Max-Neef (eds), 1992, Real-life Economics, Routledge, London-New York.

Sejak Pemerintah Indonesia mengundang “dokter ekonomi” IMF yang dianggap dokter spesialis
bagi penyakit negara-negara berkembang yang terkena krisis keuangan, ekonomi Indonesia
terkesan menjadi sangat tergantung pada utang-utang baru dari IMF dan negara-negara “donor”
anggota CGI. Sakerti 3 menemukan kenyataan ekonomi Indonesia, lebih-lebih ekonomi
rakyatnya, tegar dan kuat, yang telah tumbuh 3-4% per tahun sejak tahun 2000 sampai tahun
2002 ini. Memang teori ekonomi makro-ortodoks yang tidak mau mengakui atau tidak mengerti
ekonomi rakyat, menganggap pertumbuhan ekonomi 4% “terlalu rendah” yang tidak mampu
menyerap tenaga kerja lama dan menganggur maupun tambahan tenaga kerja lebih dari 2 juta
per tahun. Maka ekonomi Indonesia “harus tumbuh” minimal 7% per tahun dan dengan tingkat
pertumbuhan yang tinggi para ekonom tidak pernah merasa perlu mempermasalahkan keadilan
dalam distribusi pendapatannya. Tak pernah terpikir pada mereka seandainya perekonomian
tumbuh hanya 3-4%, tetapi lebih banyak disumbang dan dengan demikian juga dinikmati
ekonomi rakyat, sebenarnya akan lebih adil dan berkelanjutan ketimbang pertumbuhan 7%
seperti sebelum krismon, tetapi hanya dinikmati sekelompok kecil ekonomi kuat, yang akhirnya
menjadi “bom waktu” yang meledak seperti yang terjadi 1997 tanpa dapat diperkirakan
sebelumnya.

Demikian kiranya jelas bahwa tulisan ini berusaha meyakinkan tidak akan terjadi kebangkrutan
atau kelumpuhan ekonomi nasional jika Indonesia memutuskan secara sepihak untuk tidak lagi
mencari utang-utang baru dari luar atau bahkan dalam negeri. Tanpa ikatan kerjasama dengan
IMF, pemerintah dan bangsa Indonesia dapat memusatkan perhatian pada usaha dan program-
program pemberdayaan ekonomi rakyat, sektor ekonomi rakyat banyak yang sejak krismon 5
tahun lalu tidak saja tidak hancur tetapi malah telah menunjukkan ciri khasnya yaitu tahan
banting dan mampu menunjukkan keandalan dan kemandiriannya. Bukti-bukti dari Sakerti 3 telah
sangat memperkuat berbagai data penelitian lapangan optimistik sebelumnya. Bangsa Indonesia
harus percaya diri. Jika pada saat proklamasi kemerdekaan tahun 1945 bangsa Indonesia
memiliki rasa percaya diri amat besar untuk merdeka secara politik, kinilah saatnya kita memiliki
rasa percaya diri di bidang ekonomi. Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia tahun 1925 di
Negeri Belanda (dipimpin oleh Moh. Hatta) dapat kita jadikan acuan rasa percaya diri itu. [5]

[5] Sartono Kartodirdjo, Multi-dimensi Pembangunan Bangsa, Kanisius, 1999, hal. 18

1. Pemerintah dipilih dari dan oleh rakyat Indonesia;


2. Perjuangan itu tidak memerlukan bantuan dari pihak manapun;
3. Perjuangan itu hanya dapat berhasil bila pelbagai unsur rakyat Indonesia bersatu.

Prof. Dr. Mubyarto: Guru Besar FE - UGM

Makalah untuk Seminar "Indonesia Bersatu Menyongsong Era Global", Festival Bhinneka Tunggal Ika- Indonesia Satu,
Surabaya, 29 Oktober 2002.

Daftar Pustaka

Dhanani, Shafiq and Inayatul Islam, Poverty, Inequality and Social Protection: Lessons From The
Indonesian Crisis. UNSFIR, Jakarta, April 2000

Hardjono, Joan. The Micro Data Pictures: Results of a SMERU Social Impact Survey in the
Purwakarta-Cirebon Corridors, SMERU Final Report, July 1999

Mishra, Satish C. “Sistemic Transition in Indonesia: The Crucial Next Steps”, UNSFIR,
September 2002

Mubyarto. 1999. Reformasi Sistem Ekonomi: Dari Kapitalisme menuju Ekonomi Kerakyatan,
Aditya Media, Yogyakarta

Mubyarto. 2001. Prospek Otonomi Daerah dan Perekonomian Indonesia Pasca Krisis Ekonomi,
BPFE, Yogyakarta

Mubyarto and Daniel W. Bromley, 2002. A Development Alternative for Indonesia, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.

Sartono Kartodirdjo, 1999. Multi-dimensi Pembangunan Bangsa, Kanisius, Yogyakarta

KEMANDIRIAN, DASAR MARTABAT BANGSA


 

Ide dan Tekad Mandiri Sejak Pra-Kemerdekaan


Menimba pemikiran di zaman prakemerdekaan di awal tulisan ini merupakan titik tolak untuk
meninjau relevansinya terhadap masa kini, meninjau kadar kekiniannya. Perhimpunan Indonesia
di negeri Belanda (Indische Vereeniging kemudian menjadi Indonesische Vereeniging) pada
tahun 1921 memantapkan diri sebagai perhimpunan politik yang kemudian sangat berperan-
menentukan dalam perjuangan kemerdekaan nasional Indonesia. Perkembangan politik di Hindia
Belanda mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan dengan Perhimpunan Indonesia di
Negeri Belanda.

Pada tahun 1923, Perhimpunan Indonesia mengeluarkan pernyataan bahwa tiap-tiap orang
Indonesia harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai maksud itu dengan
kekuatan dan kemampuannya sendiri, terlepas dan bantuan orang lain.

Di dalam berbagai tulisannya, Mohammad Hatta menyatakan prinsip non-kooperatif yang dianut
Perhimpunan Indonesia itulah yang telah ikut memasyhurkan perhimpunan ini di kalangan rakyat
Indonesia, khususnya di antara para cendekiawan Indonesia. Mengutip pernyataan Mohammad
Hatta tahun 1925:

“..Dengan memakai prinsip non-kooperatif, Perhimpunan Indonesia menghendaki suatu


kebijaksanaan menyandarkan diri pada kekuatan sentdiri, yaitu suatu kebijaksanaan berdiri di
atas kaki sendiri. Perhimpunan ini akan mengumandangkan perasaan hormat pada diri sendiri ke
dalam kalbu rakyat Indonesia. Sebab hanya suatu bangsa yang telah menyingkirkan perasaan
tergantung saja yang tidak takut akan hari depan. Hanya suatu bangsa yang faham akan harga
dirinya maka cakrawalanya akan terang-benderang. Perhimpunan Indonesia ingin mendidik
bangsanya sendiri dan membuatnya kukuh kuat…”.i[iii]

[iii] Mohammad Hatta, Berpartisipasi dalam Perjuangan Kemerdekaan Nasional Indonesia, alih bahasa Sri-Edi Swasono, (Jakarta: Yayasan
Idayu 1974), hlm. 10) 

Selanjutnya dapat dikutipkan:

 "... untuk dapat melaksanakan gerakan non-kooperatif di Indonesia, Perhimpunan Indonesia


menekankan kepada anggota-anggotanya pada segala kesempatan, mereka harus bersiap diri
menghadapi kesulitan-kesulitan politis dalam kehidupan masa depan mereka, seperti
penahanan-penahanan, penjara, pembuangan, dan sebagainya...”. [iv]

[iv] Loc. cit.

Lahirnya pernyataan asas-asas Perhimpunan Indonesia tahun 1925 disebutkan oleh Sartono
Kartodirdjo, sebagai Manifesto Politik 1925. Perhimpunan Indonesia, yang telah dipersiapkan
sejak tahun 1923 itu dengan Mohammad Hatta sebagai penggerak utamanya. Menurut ahli
sejarah ini, Sumpah Pemuda 1928 merupakan pengumandangan (amplification) dimensi-dimensi
Manifesto Politik 1925 ini [v]

[v] Sartono Kartodihardjo (wawancara pnibadi 1989 dengan penulis).

Dari pernyataan Perhimpunan Indonesia tahun 1923 dan tahun 1925 itu, dapat ditarik hakikat
manifesto itu: (1) perjuangan memperoleh otonomi, mencapai kemerdekaan Indonesia, (2)
pemerintahan yang dipegang dan dipilih oleh bangsa Indonesia sendiri, (3) kesatuan sebagai
syarat perjuangan mencapai tujuan, (4) menolak bantuan dari pihak penjajah atau pihak lain
manapun.[vi]

[vi] Loc. cit.

Dari tulisan monumental Mohammad Hatta Ke Arah Indonesia Merdeka (1932) mengenai faham
kebangsaan dan kerakyatan, sekali lagi Mohammad Hatta menegaskan bahwa:

i
“...Asas Kerakyatan mengandung arti, bahwa kedaulatan ada pada rakyat. Segala Hukum
(Recht, peraturan-peraturan negeri) haruslah bersandar pada perasaan Keadilan dan Kebenaran
yang hidup dalam hati rakyat yang banyak, dan aturan penghidupan harus sempurna dan
berbahagia bagi rakyat kalau ia beralasan kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat inilah yang
menjadi sendi pengakuan oleh segala jenis manusia yang beradap, bahwa tiap-tiap bangsa
mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri...”. [vii]

[vii] Mohammad Hatta, Ke Arah Indonesia Merdeka, 1932 (Jakarta: Dekopin, 1994)

Kemudian Mohammad Hatta menegaskan pula:

“...Supaya tercapai suatu masyarakat yang berdasar Keadilan dan Kebenaran, haruslah rakyat
insaf akan haknya dan harga dirinya. Kemudian haruslah ia berhak menentukan nasibnya sendiri
dan perihal bagaimana ia mesti hidup dan bergaul. Pendeknya, cara mengatur pemerintahan
negeri, cara menyusun perekonomian negeri semuanya harus diputuskan oleh rakyat dengan
mufakat… “[viii]

[viii] Daulat Ra’jat 20/30 September 1932

Menolak Subordinasi dan Humiliasi

Kemandirian telah menjadi tuntutan politis bagi Indonesia Merdeka. Kemandirian adalah bagian
integral dan makna merdeka itu sendiri. Tidak ada kemerdekan yang genuine tanpa kemandirian.
Apabila kemerdekaan memiliki suatu makna, ada!ah karena kemandirian memberikan martabat
bagi bangsa yang memangku kemerdekaan itu. Martabat bangsa merdeka tidak tergantung pada
bangsa lain, tidak berada dalam protektorat tidak dalam posisi tersubordnasi. Kemandirian
adalah martabat yang diraih sebagai hasil perjuangan berat menuntut onafhankelijkheid dari
ketertaklukan, dari humiliasi dan dehumanisasi sosial-politik serta sosial-kultural. Mencapai
kemandirian menjadi penegakan misi suci yang kodrati.

Kemerdekaan, kemandirian dan martabat suatu bangsa memperoleh hakikat rahmatan lil alamin
yang hanya dapat dipahami oleh bangsa yang mampu mengenal harga diri dan percaya diri.
Humanisme, humanisasi dan emansipasi diri semacam ini bersumber pada taukhid.
Ketidakmandirian atau afhankelijkheid menyalahi kodrat menjaga martabat dan harga din
sebagal khalifatullah.

Peradaban pasca Zaman Kegelapan mampu melahirkan dan sekaligus menghormati Magna
Charta Libertatum yang dipancangkan di Abad Pentengahan (1215) sebagai awal semangat
demokrasi dan partisipasi rakyat dalam pemerintahan dan kekuasaan negara, yang berkelanjutan
dengan lahirnya Bill of Right Britania (1689). Linier dengan ini kita mengenal pula dalam jajaran
peradaban modern Declaration Des Droits De L’Homme Et Du Citoyen yang kemudian menjadi
Preambul UUD Perancis 1791 (Mohammad Hatta telah mengulas declaration ini dengan tajam di
Daulat Ra’jat 30 November 1931). Tentu declaration Perancis ini berpengaruh langsung terhadap
lahirnya The Declaration of Independence Amerika Serikat yang awalnya dinyatakan oleh
Thomas Jefferson, yang membuahkan dalil unalienable rights of life, liberty and the pursuit of
happeness, bahwa all men are created equal. Bagi Mohammad Hatta yang berjiwa pembebasan
dan demokrasi, tidak sulit pula berdasarkan keyakinan yang sama untuk memanfaatkan doktrin
Woodrow Wilson tentang the right of self-determination, yang kemudian masuk ke dalam Leage
of Nations Covenant dan selanjutnya lebih terelaborasi dalam The United Nations Charter.
Peradaban modern ini nampak pula ikut mewarnai titik-tolak perjuangan Mohammad Hatta.

Masa jajahan adalah masa subordinasi, diskriminasi dan humiliasi di segala bidarig kehidupan.
Mengakhiri masa jajahan adalah mengakhiri subordinasi dan diskriminasi - menegakkan
emansipasi. Oleh karena itu untuk mengakhiri kejahatan sosial-politik, sosial-kultural dan sosial-
ekonomi itu, tidak ada istilah “belum matang” untuk merdeka.
“... Merdeka tidak tergantung pada jumlah jiwa yang melek huruf, tetapi pertama-tama adalah
soal adanya lembaga-lembaga demokrasi dan semangat kaum intelektualnya ... Indonesia dapat
memenuhi kedua syarat ini. Semboyan ‘tidak masak’ (untuk merdeka) adalah suatu khayalan
Belanda untuk meninabobokan hati nuraninya yang gelisah dan menutupi keserakahannya maka
mungkin sekali ia akan bertanya, apakah sebab negara-negara seperti Liberia, Abessinia, Hejaz,
Yemen dan lain-lain ‘masak’ untuk memerintah sendiri, padahal di bidang kebudayaan dan
kecerdasan negara-negara itu jelas terbelakang dibandingkan dengan Indonesia? ... Apa yang
dilakukan oleh Amerika untuk Filipina dalam waktu hanya 18 tahun, tidak dapat dicapai oleh
Nederland setelah tiga abad …”[ix]

[ix] Mohammad Hatta, Indonesia Merdeka, pembelaan di Pengadilan Den Haag 1928 (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 92.

Selanjutnya Mohammad Hatta dengan tepatnya menyatakan bahwa mungkin karena negara-
negara yang menjadi merdeka dan berdaulat itu gurun pasirnya tidak dapat menghasilkan
minyak, tembakau ataupun gula dan seterusnya. Jelaslah bahwa “tidak masak” untuk
memerintah sendiri adalah karena adanya kekayaan di bawah bumi dan produk-produk pertanian
yang melimpah ruah.[x]

[x] Ibid, hlm. 93.

Dengan demikian itu maka setelah Indonesia mencapai kemerdekaan dan berdaulat dalam
politik, di bidang ekonomi Mohammad Hatta menegaskan perlunya terselenggara kemandirian
ekonomi dengan cara segera merestruktur perekonomian Indonesia, merubah Indonesia dari
posisi “export economie” di masa jajahan, yang menempatkan Hindia Belanda sebagai
onderneming besar dan penyediaan buruh murah dengan cara-cara eksploitatif, menjadi
perekonomian yang mengutamakan peningkatan tenaga beli rakyat dan menghidupkan tenaga
produktif rakyat berdasar kolektivisme, yang artinya “sama sejahtera”. [xi]

[xi] “Ekonomi Indonesia di Masa Datang”, Pidato Wakil Presiden RI tanggal 3 Februani 1946, (lihat Sri-Edi Swasono, et al (eds.),
Mohammad Hatta: Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan (Jakarta: UI-Press, 1992) hlm. 5-8

Relevansi Kewaspadaan Bung Hatta

Sistem dan praktek perekonomian zaman jajahan telah “memutar ujung menjadi pangkal”,
membentuk ekonomi Hindia Belanda sebagal “export economie’, yang bertentangan dengan
dasar perekonomian untuk mencukupi keperluan hidup rakyat. Menurut Mohammad Hatta ekspor
adalah untuk membayar impor. Inilah tugas “merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi
nasional” untuk melepaskan ketergantungan ekonomi nasional terhadap ekonomi negara-negara
industri pengimpor bahan mentah. Dari sini jelaslah bahwa Mohammad Hatta (dan juga Sukarno)
tergolong tokoh-tokoh strukturalis paling awal di Abad ke-20.

Peringatan Mohammad Hatta agar tidak “memutar ujung menjadi pangkal” banyak
dikumandangkan oleh Adi Sasono dan Sritua Arief menjadi platform Dekopin, dalam rangka
mewujudkan semangat kemandirian di lingkungan ekonomi rakyat. Pernyataan Mohammad Hatta
ini sekaligus merupakan kewaspadaannya terhadap ancaman akan neo-kolonialisme dan
kolonialisme ekonomi. Sritua Arief dalam berbagai bukunya mengenai kebijaksanaan ekonomi
Indonesia mempertegasnya melalul analisis teoritis, yang didukung oleh kenyataan-kenyataan
empirik berbagai negara berkembang, bahwa ekspor baru dapat berperan besar di dalam
perkembangan dan pertumbuhan ekonomi nasional setelah pasaran dalam-negeri berkembang
lebih dahulu. Dengan kata lain, ekspor merupakan konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi
dalam-negeri, bukan sebaliknya. Mohammad Hatta mengantisipasikan sejak sebelum Indonesia
merdeka, bahwa pada akhirnya, untuk situasi Indonesia, pertumbuhan ekspor tidak ada
hubungannya dengan pertumbuhan kemakmuran rakyat, apalagi kalau sektor ekspor secara
substansial dikuasai oleh pihak asing.[xii]

[xii] Mohammad Hatta, Krisis Ekonomi dan Kapitalisme, ditulis di Penjara Global (Batavia: Penerbit Sutan Lembaq Tuah, 1934), hlm.89
Dan hasil penelitian Singer (1982), Jung dan Marshall (1985) di negara-negara berkembang telah
memberikan basis empirik terhadap antisipasi Mohammad Hatta sebagaimana yang dikutibkan
oleh Sritua Arief[xiii]. Pasaran dalam-negerilah yang harus memperkukuh fondamental ekonomi
Indonesia, yaitu fondamental ekonomi yang grassroots-based, yang berbasis pada kekuatan
rakyat dalam-negeri.

[xiii] Sritua Arief, Pemikiran Pembangunan Bung Hatta, (Jakarta: LP3ES), hlm. 99-118.

Mohammad Hatta tajam dalam melihat ke depan. Pandangannya yang berorientasi pada
kekuatan pasar dalam-negeri yang didukung oleh tenaga beli rakyat, tidak menjuruskannya
terperosok ke dalam paham isolasionisme ekonomi. Ia bahkan telah meramalkan globalisme dan
globalisasi masa depan. Ia tidak menolak interdependensi ekonomi internasional, yang ia tentang
adalah dependensi ekonomi nasional Indonesia terhadap ekonomi internasional yang selalu
diwaspadainya. Sejak awal kemerdekaan (Pidato Wakil Presiden 3 Februani 1946) Mohammad
Hatta menegaskan ulang bahwa pembangunan perekonomian Indonesia yang kita hadapi adalah
(1) Soal ideologi: Bagaimana mengadakan susunan ekonomi yang sesuai dengan cita-cita
tolong-menolong. (2) Soal praktik: Politik perekonomian apakah yang praktis dan perlu dijalankan
dengan segera di masa datang ini. (3) Soal koordinasi: Bagaimana mengatur pembangunan
perekonomian Indonesia supaya pembangunan itu sejalan dan bersambung dengan
pembangunan di seluruh dunia. (Butir terakhir mi menunjukkan banwa globalisasi telah sejak
awal kemerdekaan diantisipasi oleh Mohammad Hatta, sejalan dengan tulisan-tulisannya sejak
tahun 1934)[xiv].

[xiv] Mohammad Hatta, “Ekonomi Indonesia di masa Datang”, op. cit.; Mohammad Hatta, Kr Krisis Ekonomi dan Kapitalisme, op. cit.

Bagi Mahammad Hatta, kemandirian bukan pengucilan diri, kemandirian bisa dalam ujud
dinamiknya, yaitu interdependensi. Dalam interdependensi global dan ekonomi terbuka
Mohammad Hatta tetap teguh mempertahankan prinsip independensi, yaitu bahwa dengan
memberikan kesempatan pada bangsa asing menanam modalnya di Indonesia, namun kita
sendirilah yang harus tetap menentukan syarat-syaratnya. Sikap Mohammad Hatta ini acapkali
diungkapkan oleh Soebadio Sastrosatomo, Sritua Anief dan Frans Seda dalam acara-acara
peringatan rutin 12 Juli ataupun 12 Agustus. Kemandirian bermakna dapat menentukan nasib diri
sendiri, menentukan sendiri apa yang terbaik bagi kepentingan nasional, tanpa mengabaikan
tanggung jawab global.

Pendirian “Benteng Group” pada tahun 1950-an merupakan tujuan mulia untuk memandirikan
dan memajukan perekonomian kelompok anak-negeri. Sayang sekali kepentingan partai sempat
menumbuhkan nepotisme sempit yang merusak seleksi dan rekrutmen. Yang terbentuk adalah
pengusaha-pengusaha “jago kandang” yang dengan mudah melepaskan kesempatan emas
untuk “menjadi tuan di negeri sendiri” kepada kaum non-pribumi yang sudah lama siap
menunggu. Maka jadilah pengusaha-pengusaha “Benteng Group” akibatnya pengusaha-
pengusaha “aktentas” yang “Ali-Baba”.

Aknirnya pengalaman dalam bisnis-ekonomi sebagai modal utama, berpindah tangan. Mereka
yang meraih pengalaman ini muncul menjadi komunitas eksklusif yang sangat mapan dan
tangguh. Pemerintah tidak bisa lagi mengabaikannya sebagai kekuatan nasional baru dan tidak
pula bisa menolak keberadaannya. Di sinilah awal dan babakan baru, “bulan-madu” antara
Pemerintah dan swasta kuat. Lambat laun fenomena ini berkembang menjadi suatu kolaborasi
kolusif, yang makin menonjol pada awal tahun 1980-an, sebagai awal dan apa yang saat ini kita
kenal dengan KKN.

Lebih dari itu, mentalitas dan moralitas birokrasi makin terjebak dalam komersialisasi jabatan
sebagai abdi negara. Birokrasi makin “lengah-misi” dan rela kehilangan harga diri. Lebih dari itu
terbentuk pula kekaguman terhadap sekelompok pengusaha eksklusif ini. Lalu birokrasi
memberikan kepada mereka posisi strategis sebagai lokomotif pembangunan. Kekaguman
birokrasi terhadap ideologi pasar-bebas dan globalisasi pun makin sulit dibendung dan ini
menambah persoalan. Birokrasi yang bertingkah laku budaya sebagai “pangreh” ini makin
memperpuruk diri. Dari “lengah misi” itulah bertumbuh sindroma “lengah-budaya” [xv].
[xv] Tersembul luapan-luapan keprihatinan yang tulus dan terang-terangan dari Mohammad Hatta sebagai sosok pribadi maupun pemimpin:
Dalam sambutan terakhirnya kepada ISEI (sebelum wafatnya) tahun 1979, Mohammad Hatta menyatakan “…Pada masa akhir-akhir ini negara
kita masih berdasarkan Pancasla dan UUD 1945, tetapi praktek perekonomian di bawah pengaruh teknokrat kita sekarang sekarang
menyimpang dari dasar itu ... Politik liberalisme sering dipakai sebagai pedoman, berbagai barang penting bagi kehidupan rakyat tidak menjadi
monopoli Pemerintah, tetapi dimonopoli oleh orang-orang Cina...“. Tentu Bung Hatta tidak bermaksud/bertendensi rasialisme dan memang
beliau bukan seorang tokoh rasialis, namun sekedar lebih menekankan pada penyelewengan ayat 2 Pasal 33 UUD 1945 dan kepentingan kaum
pribumi yang mayoritas itu.

Kepada Mochtar Lubis, Mohammad Hatta menyatakan kecemasannya melihat betapa lemahnya kita sekarang melindungi perdagangan dalam
negeri kita, yang seharusnya berada dalam tangan bangsa Indonesia sendiri. Mohammad Hatta tahu benar, dalam distribusi barang di dalam-
negeri, banyak modal-modal asing berselubung melakukan peranannya (surat Mochtar Lubis kepada Meutia Hatta). Meutia Farida Swasono,
Bung Hatta; Pribadinya dalam Kenangan (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan/UI-Press, 1980) hlm.579-585.

Pola Produksi dan Tugas Restrukturisasi

Birokrasi yang lengah-budaya ini besar pengaruhnya dalam kehidupan ekonomi. Mewujudkan
cita-cita kemandirian ekonomi, “membalik pangkal menjadi ujung kembali”, secara struktural
merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional [xvi] artinya dengan secara sadar
membentuk pola produksi nasional (pattern of production) yang berbasis sumber daya dalam-
negeri sendiri, sama sekali terabaikan. Sektor manufacturing tanpa banyak diketahui tahu-tahu
sudah makin tergantung pada luar-negeri, menjadi import dependent. Industri Indonesia yang
makin besar porsinya dalam GDP makin menjadi kepanjangan tangan dari industri luar-negeri.
Tingginya import contents (foreign contents) di dalam produk-produk manufaktur lebih
merupakan ujud dependensi daripada ujud interdependensi dalam perdagangan luar-negeri
Indonesia.

[xvi] Kita tetap berkiblat pada sistem ekonomi kolonial, yaitu sistem ekonomi individualistik (berdasar liberalisme). Sejak berlakunya UUD
1945 telah terjadi “dualisme” sistem ekonomi, di mana di samping Pasal 33 UUD 1945 (imperatif-normatif) yang berasas kebersamaan dan
kekeluargaan (mutually and brotherhood,), masih tetap berlaku pula sistem hukum kolonial yang berasas perorangan (Wetboek van
Koophandel, dll), mengingat Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang mestinya bersifat temporer terus dibiarkan berlaku bahkan
dikembangkan seolah-olah permanen.

Tingginya import contents dalam produk-produk manufaktur kita, bukan saja karena kita tidak
membangun ekonomi sesuai dengan kekayaan alam kita (resources based), tetapi adalah pula
pengaruh dart para juragan “import-business” yang mempunyai kepentingan ekonomis secara
mikro, yang acapkali bertentangan dengan upaya restrukturisasi ekonomi makro. Di berbagai
tulisan, penulis telah membeberkan tentang peran sekelompok importir dan birokrat sebagai
komprador asing, yang sadar atau tidak sadar mendistorsi usaha-usaha restrukturisasi ekonomi
secara makro. Namun tidak mustahil bahwa ide restrukturisasi memang tidak dikenal atau tidak
merupakan suatu political will yang nyata dan birokrasi (dan teknokrat) kita.

Tentu demikian pula, sama lengahnya kita dalam membentuk pola-konsumsi nasional. Konsumsi
masyarakat makin terdikte untuk mengkonsumsi barang dan jasa yang padat import-contents,
yang tentunya atas beban ekonomi nasional. Import mindedness merajalela, demonstration effect
yang konsumtif makin menjadi-jadi berkat hebatnya perang pasar dan periklanan canggih.
Besarnya ketergantungan sektor manufaktur terhadap import-contents merupakan salah satu
penyebab utama mengapa krisis moneter dengan hebatnya menerpurukkan perekonomian
nasional, khusus perekonomian besar dengan segala dampak berentengnya itu. Kita menjadi
kepanjangan tangan.

Oleh karena itu, kita tetap harus dapat dengan cermat membedakan antara upaya economic
recovery (ala IMF dan kaum neo-klasikal) dengan reformatory economic recovery (makro) yang
mengandung tujuan restrukturisasi ekonomi, yaitu mengatasi ketimpangan-ketimpangan
struktural.

Keterjebakan Hutang dan Dependensi Indonesia [xvii]

[xvii] Paragrap ini dipetik dan tulisan bersama dengan Snitua Arief dan disempurnakan.
Penguasaan surplus ekonomi oleh pihak asing dan kompradornya di Indonesia terhadap strata
bawah dalam struktur sosial dan konstelasi ekonomi, bukanlah sesuatu yang mengada-ada.

“Kolonialisme baru” yang bertopeng globalisasi dan globalisme dengan turbo kapitalis asing
sebagai aktor utama merupakan suatu living reality. Ini terjadi melalui proses pengembangan
industni, baik industri substitusi impor maupun industri promosi ekspor. Indonesia kembali
menjadi tempat yang empuk bagi penghisapan surplus ekonomi oleh pihak asing. Pasar-bebas
menjadi berhala baru yang secara absurd dianggap sebagai pendekar omniscient dan
omnipotent, padahal pasar-bebas hanyalah sekedar instrumen ekonomi kaum globalis untuk
memanfaatkan kelemahan struktural dalam perekonomian negara-negara berkembang.

Penghisapan surplus ekonomi oleh pihak asing dapat ditunjukkan dengan angka-angka berikut
ini : Data neraca pembayaran menunjukkan bahwa selama periode 1973-1990 nilai kumulatif
arus masuk investasi asing sebesar US$ 5,775 juta telah diiringi dengan nilal kumulatif
keuntungan investasi asing yang direpatriasi ke luar negeri sebesar US$ 58,839 juta (IMF,
Balance of Payments Year Book, berbagai tahun). Ini berarti setiap US$ 1 investasi asing yang
masuk telah diikuti dengan US$ 10.19 financial resources yang keluar (Sritua Anief, 1993).
Kendatipun perbandingan antara penanaman investasi asing langsung dengan keuntungan yang
diangkut dan Indonesia sedikit menurun sesudah tahun 1990, akan tetapi ini telah diikuti dengan
meningkatnya investasi portfolio sehingga repatriasi keuntungan pihak asing yang diangkut dari
Indonesia tetap menjadi penyebab utama defisit perkiraan berjalan dalam neraca pembayaran.
Misalnya investasi asing langsung pada tahun 1994/95, 1995/96 dan 1996/97 adalah masing-
masing besarnya US$ 2.6 milyar, US$ 5.4 milyar dan US$ 6.5 milyar. Sedangkan investasi
portfolio pada tahun-tahun ini adalah US$ 2.3 milyar, US$ 3.3 milyar dan US$ 3.1 milyar.
Investasi portfolio menimbulkan makin intensifnya keterlibatan pihak asing dalam penguasaan
sumber-sumber ekonomi di Indonesia.

Seperti telah dinyatakan di atas, keuntungan investasi asing yang direpatriasi adalah penyebab
utama defisit perkiraan berjalan dalam neraca pembayaran. Data menunjukkan bahwa selama
periode 1978/79 - 1995/96 nilai kumulatif defisit perkiraan berjalan dalam neraca pembayaran ni
adalah sebesar US$ 43.4 milyar. Nilai ini telah bertambah dalam periode 1978/79 - 1998/99
menjadi US$ 58.4 milyar. Jadi bertambah sebesar US$ 15 milyar. Perlu dinyatakan di sini bahwa
defisit perkiraan berjalan dalam neraca pembayaran Indonesia diukur dalam persentase dan
Produk Domestik Bruto (PDB) telah bertambah besar dari -1,6% pada tahun 1995/96 menjadi -
2,7% pada tahun 1998/99.

Selama periode 1970-1980 telah diperkirakan adanya pelarian modal sebesar US$ 9.4 milyar,
selama periode 1988-1991 pelarian modal telah ditaksir sebesar US$ 11.17 milyar dan selama
periode 1996-1997 pelarian modal telah diperkirakan sebesar US$ 11.7 milyar (Mubarik Ahmad,
1993 dan Sritua Arief, 1997). Telah dilaporkan bahwa sejak Juli 1997 (pada waktu krisis moneter
berlangsung) hingga sekarang sebanyak kira-kira US$ 80 milyar devisa telah dilarikan ke luar
negeri.

Hutang luar negeri Indonesia tetap terus bertambah dari tahun ke tahun. Sampai akhir tahun
1998 hutang luar negeri (pemerintah dan swasta) bernilai sebesar US$ 130 milyar yang
merupakan 162,7% dari Produk Domestik Bruto Indonesia. Pada pertengahan tahun 1999, nilai
hutang luar negeri ini bertambah menjadi US$ 146 milyar sedangkan Produk Domestik Bruto
Indonesia menurun. Ini artinya dalam presentase dan Produk Domestik Bruto, hutang luar negeri
bertambah. Apa maknanya ini? Maknanya adalah pendapatan per kapita rakyat Indonesia (tidak
termasuk para “penyamun” ekonomi) sebagai penanggung beban hutang ini sudah berada di
bawah nilai hutang mi.

Perlunya kewaspadaan terhadap hutang luar negeri telah banyak dikemukakan. Pinjaman luar
negeri meningkatkan intervensi-intervensi negara-negara donor maupun negara-negara
penerima bantuan, yang merusak prinsip-prinsip ekonomi, dengan mengabaikan keunggulan-
keunggulan komparatif di negara-negara penerima bantuan. Pinjaman luar negeri tidak terlepas
dan “skenario Barat” untuk mempertahankan negara negara terbelakang tetap dalam posisi
“status-quo in dependency”.
Selama periode 1980-1993, sektor Pemerintah di Indonesia telah melakukan pembayaran cicilan
hutang luar negeri sebesar US$ 41.4 milyar. Sementara itu, selama periode yang sama, sektor
Pemerintah telah menambah hutang luar negerinya sebesar US$ 69.4 milyar (laporan Bank
Dunia tahun 1994). Dilaporkan bahwa sampai April 1999, hutang luar negeri sektor Pemerintah
telah meningkat menjadi US$ 77.7 milyar. Ini secara implisit mengandung pengertian yang
disebutkan di atas yaitu makin banyak cicilan hutang luar negeri makin besar nilai hutang luar
negeri yang menumpuk. Nilai net transfer ke luar negeri yang dilakukan sektor Pemerintah
selama periode 1985-1993 misalnya adalah sebesar US$ 7.8 milyar dan selama periode 1994-
1998 diperkirakan sebesar US$ 19 milyar (World Bank, 1994 dan World Bank, 1997).

Ada beberapa butir lagi yang perlu dikemukakan di sini berkaitan dengan hutang luar negeri,
sebagai berikut: Dalam pengertian dialektik hubungan ekonomi antaraktor ekonomi, pemasok
hutang luar negeri dan investor asing menjadi lebih berkuasa dalam memeras rakyat Indonesia,
terutama yang berada di strata bawah dalam masyarakat Indonesia. Jelas ini menunjukkan
bahwa Indonesia dan rakyatnya akan kembali menjadi koloni asing. Dan hutang luar negeri yang
menumpuk telah berubah sifatnya dari perangkap menjadi bumerang. Bumerang dalam
pengertian mempermiskin Indonesia dan rakyatnya.

Baiklah di sini dikemukakan garis-garis besar implikasi kebijaksanaan penemuan yang


dikemukakan di atas. Pertama, pembayaran hutang luar negeri pemerintah harus dimintakan
untuk diperingan atau dikurangi secara drastis diikuti dengan penjadualan pembayaran sisanya.
Ini harus dilakukan agar pengeluaran pemerintah dimungkinkan untuk mendukung bidang-bidang
pemberdayaan ekonomi rakyat. Jan Tinbergen telah pula menegaskan (1991) bahwa hutang
negana-negara terbelakang yang mencapai US$ 1 trilyun (seluruh GDP mereka hanya US$ 3
trilyun) harus diselesaikan dengan menyisihkan minimal 0,7% GDP negana-negara donor, atau
samasekali menyelesaikannya sekali saja dengan menyisihkan 2% GDP negara-negara donor
dalam tenggang waktu tertentu. Ini demi kepentingan negara-negana donor sendiri. Kedua,
menolak penggunaan dana negara atau dana masyarakat untuk membayar hutang-hutang
perusahaan-perusahaan swasta. Untuk mencegah jatuhnya perusahaan-perusahaan swasta ini
ke pihak asing, maka Indonesia sebagai negara berdaulat harus dapat membuat peraturan -
peraturan yang restriktif. Apalagi dipercayai bahwa banyak dari hutang-hutang ini dijamin oleh
dana-dana yang diparkir di luar negeri. Ketiga, meninjau kembali sistem pembiayaan
pembangunan sehingga ketergantungan kepada pihak asing diminimumkan. Dalam hal ini bentuk
pinjaman dan besar pinjaman dari pihak asing hendaklah kita tentukan sedemikian rupa sehingga
kita tidak dikelabui.

Dengan demikian pembangunan nasional akan lebih merupakan pembangunan Indonesia, bukan
sekedar pembangunan diIndonesia. Permintaan efektif atau daya-beli rakyat di dalam negeri
harus menjadi dasar pertumbuhan ekonomi. Ini bermakna bahwa strategi pembangunan
pertumbuhan melalui pemerataan atau pertumbuhan dengan pemerataan yang berorientasi ke
dalam negeri. Bung Hatta memberikan patokan-patokan bagi hutang luar negeri ( Tracee Baru,
Universitas Indonesia, 1967), yaitu bahwa setiap hutang luar negeri harus secara langsung
dikaitkan dengan semangat meningkatkan self-help dan self-reliance, di samping bunga harus
rendah, untuk menumbuhkan aktivita ekonomi sendiri. Bantuan luar negeri harus mampu
membuat kita bergerak sendiri atas kekuatan sendiri, serta bersifat komplementer [xviii] jadi bersifat
sementara dan pelengkap Tidak pula atas syarat politik sebagai langkah kembalinya neo-
kolonialisme dan kolonialisme ekonomi[xix].

[xviii] Mohammad Hatta, Masalah Bantuan Perkembangan Ekonomi Bagi Indonesia (Jakarta: Djambatan) him. 2-4.

[xix] Loc. cit.

Siapa yang Berdaulat, Pasar atau Rakyat?

Banyak orang mengatasnamakan rakyat. Ada yang melakukannya secara benar demi
kepentingan rakyat semata, tetapi ada pula yang melakukannya demi kepentingan pribadi atau
kelompok. Yang terakhir ini tentulah merupakan tindakan yang tidak terpuji. Namun yang lebih
berbahaya dan itu adalah bahwa banyak di antara mereka, baik yang menuding ataupun yang
dituding dalam mengatasnamakan rakyat, adalah bahwa mereka kurang sepenuhnya memahami
arti dan makna rakyat serta dimensi yang melingkupinya [xx].

[xx] Siapa yang disebut “rakyat”? Pertanyaan semacam ini banyak dikemukakan sinis oleh sekelompok pencemooh yang biasanya melanjutkan
bertanya, “bukankah seorang konglomerat juga rakyat, bukankah Liem Sioe Liong juga rakyat?” Tentu! Namun yang jelas perekonomian
konglomerat bukanlah perekonomian rakyat.

“Rakyat” adalah konsepsi politik, bukan konsepsi aritmatik atau statistik, rakyat tidak harus berarti seluruh penduduk. Rakyat
adalah “the cornmon people”, rakyat adalah “orang banyak”. Pengertian rakyat berkaitan dengan “kepentingan publik”, yang
berbeda dengan “kepentingan orang-seorang”. Pengertian rakyat mempunyai kaitan dengan kepentingan kolektif atau
kepentingan bersama. Ada yang disebut “public interests” atau “public wants”, yang berbeda dengan “private interests” dan
“private wants”. Sudah lama pula orang mempertentangkan antara “individual privacy” dan “public domain”. Ini analog dengan
pengertian bahwa “preferensi sosial” berbeda dengan hasil penjumlahan atau gabungan dari “preferensi-preferensi individual”.
Istilah “rakyat” memiliki relevansi dengan hal-hal yang bersifat “publik” itu. Rakyat itu berdaulat, alias raja atas dirinya.

Mereka yang tidak mampu mengerti “paham kebersamaan” (mutuality) dan “asas kekeluargaan” (brotherhood atau broederschap,
bukan kinship atau kekerabatan) pada dasarnya karena mereka tidak mampu memahami arti dan makna luhur dari istilah “rakyat”
itu, tidak mampu memahami kemuliaan adagium “vox populi vox Dei’, di mana rakyat lebih dekat dengan arti “masyarakat” atau
“ummat”, bukan dalam arti “penduduk” yang 210 juta. Rakyat atau “the people” adalah jamak (plural), tidak tunggal (singular).

Seperti dikemukakan (di catatan kaki 18), kerakyatan dalam sistem ekonomi mengetengahkan
pentingnya pengutamaan kepentingan rakyat dan hajat hidup orang banyak, yang bersumber
pada kedaulatan rakyat atau demokrasi. Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi berlaku
demokrasi ekonomi yang tidak menghendaki “otokrasi ekonomi”, sebagaimana pula demokrasi
politik menolak “otokrasi politik”.

Dari pengertian mengenai demokrasi ekonomi seperti dikemukakan di atas, maka kita
membedakan antara private interests dengan public interest. Dari sini perlu kita mengingatkan
agar tidak mudah menggunakan istilah “privatisasi” dalam menjuali BUMN. BUMN sarat dengan
makna kerakyatan dan bersifat publik. BUMN ada untuk menjaga hajat hidup orang banyak.
Yang kita tuju bukanlah “privatisasi” tetapi adalah “go-public’, di mana pemilikan BUMN meliputi
masyarakat luas yang lebih menjamin arti “usaha bersama” berdasar atas “asas kekeluargaan”.
Go-public haruslah diatur (managed) untuk menjamin partisipasi nyata rakyat luas dalam
kepemilikan aset nasional.

Kesalahan utama kita dewasa ini terletak pada sikap Indonesia yang kelewat mengagumi pasar-
bebas. Kita telah menobatkan pasar-bebas sebagal “berdaulat” mengganti dan menggeser
kedaulatan rakyat. Kita telah menjadikan pasar sebagal “berhala” baru.

Kita boleh heran akan kekaguman ini, mengapa dikatakan Kabinet harus ramah terhadap pasar,
mengapa kriteria menjadi menteri ekonomi harus orang yang bersahabat kepada pasar. Bahkan
sekelompok ekonom tertentu mengharapkan Presiden Megawati pun harus ramah terhadap
pasar. Mengapa kita harus keliru sejauh ini.

Mengapa tidak sebaliknya bahwa pasarlah yang harus bersahabat kepada rakyat, petani,
nelayan, dst[xxi].

[xxi] Mengapa pasar di Jepang dapat diatur bersahabat dengan petani Jepang, sehingga beras di Jepang per kilo yang mencapai harga rupiah
sebesar Rp. 30.000,- para importir Jepang tidak mengimpor beras murah dari luar negeri. Mengapa pula kita harus “memper-purukkan” petani-
petani kita, justru ketika petani kita sedang panen padi, kita malah mengimpor bet-as mut-ah dan luar negeri?

Siapakah sebenarnya pasar itu? Bukankah saat ini di Indonesia pasar adalah sekedar (1)
kelompok penyandang/penguasa dana (termasuk para penerima titipan dana dan luar
negeri/komprador, para pelaku KKN, tak terkecuali para penyamun BLBI, dst); (2) para penguasa
stok barang (termasuk para penimbun dan pengijon); (3) para spekulan (baik di pasar umum dan
pasar modal); dan (4) terakhir adalah rakyat awam yang tenaga-belinya lemah. Jadi pada
hakekatnya yang demikian itu ramah kepada pasar adalah ramah kepada ketiga kelompok
pertama sebagai pelaku utama dan penentu pasar.

Oleh karena itu pasar harus tetap dapat terkontrol, terkendali, pasar bukan tempat kita
tergantung sepenuhnya, tetapi sebaliknya pasarlah, sebagai “alat” ekonomi, yang harus
mengabdi kepada negara. Adalah kekeUruan besar menganggap pasar sebagai “omniscient”
dan “omnipotent” sehingga mampu mendobrak ketimpangan struktural. Adalah naif mennanggap
“pasar-bebas” adalah riil. Yang lebih riil sebagai kenyataan adalah embargo, proteksi
terselubung, unfair competition, monopoli terselubung (copyrights, patents, intellectual property
rights dan tak terkecuali embargo dan economic sanctions sebagai kepentingan politik yang
mendominasi dan mendistorsi pasar[xxii].

[xxii] Demikian itulah, apabila kita ingin mempertahankan kedaulatan rakyat, maka Pasal 33 UUD 1945 hendaknya tidak dirubah, “usaha
bersama” dan “asas kekeluargaan” adalah kata-kata dan makna mulia yang harus tetap dipertahankan. Menghilangkan “usaha bersama” dan
“asas kekeluargaan” bisa diartikan sebagai mengabaikan nilai-nilai agama, mengabaikan moralitas ukhuwah wathoniah di dalam perikehidupan
bernegara, bahkan merupakan ukhuwah bashoriah di dalam berkeperikehidupan antar ummat di dunia yang menjadi kewajiban agama.

Pasar dan IMF Berhala Baru yang Dipuja

Apabila pasar tidak dikontrol oleh negara, apabila pasar kita biarkan bebas sehingga pasar-
bebas kita jadikan “berhala” dan kita nobatkan sebagai kaisar berdaufat, maka berarti kita
membiarkan pasar menggusur kedaulatan rakyat. Padahal menegaskan bahwa rakyatlah yang
berdaulat, bukan pasar.

Tidak saja pasar-bebas yang telah menjadi berhala yang dipuja, IMF pun menjadi - sesembahan
baru pula, menjadi tuhan baru. Kita tunduk, kita mengagumi, kita tersubordinasi dan kita rela
menjadi jongosnya. Kita merebut kemerdekaan tahun 1945. Lima tahun kemudian kita mampu
menekan penjajah dan memperoleh pengakuan/penyerahan kedaulatan melalui KMB. Kita
merdeka penuh, berdaulat dalam politik, baik secara de facto maupun de jure.

Kini, tahu-tahu saja kita secara de facto telah ter-subordinasi, terdikte, tunduk dan takut kita
kehilangan kedaulatan itu. “Kedaulatan politik” kita ibarat menjadi formalitas, tanpa sukma
merdeka. Belum lagi dua pasangannya dalam Tri Sakti, “mandiri dalam ekonomi” dan
“berkepribadian dalam budaya” ternyata luntur pula [xxiii].

[xxiii] Penulis secara pribadi sempat menyampaikan sikap “protes” kepada Presiden Soeharto tatkala melihat Camdessus ber-silang tangan di
dada, sedakep mengawasi Presiden Soeharto menandatangani Letter of Intent IMF yang disodorkan kepada beliau di rumah Cendana.
Sebagaimana banyak orang Indonesia yang tahu harga diri, penulis tidak bisa pula menerima kecongkakan Camdessus. Lebih dari itu, “protes”
penulis juga berkaitan dengan Letter of Intent yang banyak melanggar UUD 1945 (Pasal 33). Penulis tidak yakin Presiden Soeharto membaca
seluruh isi Letter of Intent itu. Bagi penulis, itu menjadi tanggung jawab Prof. Widjojo Nitisastro yang nampak hadir dalam upacara
penandatanganan di rumah Cendana. Dan situ Presiden Soeharto tidak lama kemudian menyampaikan gagasan tentang IMF plus, artinya IMF
plus UUD 1945 (Pasal 33) untuk konsumsi politik dalam-negeri.

Mengenai sikap Presiden Soeharto selanjutnya, catatan dari penulis pada buku Dari Lengser ke Lengser (Jakarta UI Press, 2001, hlm. 402)
adalah sebagai berikut: “... Sejak kecongkakan Carndessus itu Pak Harto secara mental nampaknya terpuruk, beliau biasa menjaga wibawa
bangsa dan negara, menjaga pribadi beliau sendiri, IGGI beliau bubarkan, pembelian F-16 dari USA secara sepihak beliau batalkan. Sekarang
beliau dijerumuskan oleh para komprador IMF untuk tunduk menandatangani Letter of Intent ... “ Kemudian itu kita amati, Pak Harto mulai
melemah daya joangnya oleh ketergantungan ini.

Pemerintah saat ini tidak memiliki keberanian untuk mengatakan kepada IMF dan Bank Dunia
bahwa kedua lembaga dunia ini ikut bertanggungjawab terhadap keterpurukan ekonomi
Indonesia, ikut menjerumuskan Indonesia dengan orthodoxy dan salah antisipasinya membaca
gejala ekonomi. Ini perlu menjadi suatu justifikasi untuk meminta pembebasan hutang,
pemotongan hutang ataupun penjadualan hutang tanpa beban. Kita ingat Wolfensohn tanpa malu
mengakui bahwa ia kelewat optimis dalam mendorong investasi asing dan pengucuran kredit
untuk Indonesia. IMF dan Bank Dunia bahkan ikut tenggelam dalam over-optimism (baca: salah
perhitungan) tentang Indonesia yang digolongkan sebagai masuk calon “Asian Miracle”dan
“Asian Dragon”. Indonesia terjebak, mereka cuci-tangan bersama para komprador mereka.

“Skenario” mensubordinasi ekonomi Indonesia berjalan terus. Muncul cara-cara kotor untuk
beramai-ramai menolak L/C Indonesia. Sekarang Indonesia, negara terbesar di Asia Tenggara,
terpaksa “diampu” (dianggap secara ekonomi “onbekwaam” oleh Singapura). Penulis memberi
reaksi keras di media massa[xxiv].

[xxiv] Sri-Edi Swasono, “Kita Ditipu, Kita Diampu”, Harian Terbit, 5 Maret 1998.
Penulis sempat berpikir, adakah ini kelanjutan dari ditolak dan diremehkannya permintaan
keringanan hukuman gantung bagi maninir kita, Harun dan Usman, kepada Pemerintah
Singapura, yang mengakibatkan Moh Hatta “bersumpah” untuk tidak lagi menginjakkan kaki di
Singapura untuk seumur hidupnya? Yang dilakukan Mohammad Hatta ini lebih dari sekedar demi
alasan kemanusiaan sesuai peradaban yang berlaku, tetapi adalah tawaran good neighbour
policy untuk saling hormat menghormati. Ternyata kita memilih memperpurukkan martabat dan
harga diri kita, ketika tawaran Singapura mengampu L/C Indonesia dengan begitu saja kita
terima, tanpa menanyakan lebih dahulu ikhwal dana besar Indonesia yang bersuaka.

Memprihatinkan sekali bahwa kita menyongsong sistem ekonomi pasar-bebas lebih berapi-api
daripada orang-orang Utara. Kita praktekkan liberalisme dan kapitalisme di sini lebih hebat
daripada di negara-negara Utara. Kita bahkan menjadi juru bicara sistem ekonomi pasar-bebas
untuk kepentingan mereka.

Ketika kesepakatan GATT belum kita ratifikasi, kita pun telah tunduk melatih diri, ibarat “belum
ditanya sudah mau”, kita “menari atas kendang orang lain” dengan mudahnya. Tidak hanya
gampang kagum atau soft barangkali juga malah servile tetapi mengaku friendly atau low-profile.

Tidak ada yang dapat mengabaikan peranan pasar. Kita pun memelihara ekonomi pasar. Yang
kita tolak adalah pasar-bebas. Pasar-bebas adalah imaginer, yang hanya ada dalam buku teks,
berdasar asumsi berlaku sepenuhnya persaingan bebas. Dalam realitas, tidak ada persaingan
bebas sepenuhnya, kepentingan non-ekonomi, khususnya kepentingan politik (lokal atau global),
telah mendistorsi dan menghalangi terjadinya persaingan bebas (embargo, economic sanctions,
disguised protections, strict patents and copy rights, dll). Tanpa persaingan bebas, sebagaimana
dalam kenyataannya, tidak akan ada pasar-bebas yang sebenarnya. Maka Adam Smith boleh
terperanjat bahwa the invisible hand has turned into a dirty hand.

Pasar-bebas akan menggagalkan cita-cita mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Pasar-bebas dapat mengganjal cita-cita Proklamasi Kemerdekaan untuk melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, pasar-bebas memarginalisasi yang lemah
dan miskin.

Pasar-bebas bahkan diskriminatif terhadap yang rendah produktivitasnya (tidak efisien),


akibatnya tidak mudah memperoleh alokasi kredit yang berdasar profitability itu. Pasar-bebas
jelas melintangi hak demokrasi ekonomi rakyat, yang miskin tanpa daya beli akan hanya menjadi
penonton belaka, berada di luar pagar-pagar transaksi ekonomi. Pasar-bebas melahirkan
privatisasi yang melepaskan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak ke tangan individu-individu. Pasar-bebas mencari
keuntungan ekonomi bagi orang-seorang, bukan manfaat ekonomi bagi masyarakat. Pasar-
bebas menggeser dan bahkan menggusur rakyat dari tanah dan usaha-usaha ekonominya.
Pasar-bebas, yang terbukti tidak omniscient dan omnipotent mampu mengatasi bahkan
memperkukuh ketimpangan struktural, lantas mendorong terbentuknya polarisasi sosial-ekonomi,
memperenggang integrasi sosial dan persatuan nasional. Pasar-bebas memelihara sistem
ekonomi subordinasi yang eksploitatif, non-partisipatif dan non-emansipatif, atas kerugian yang
lemah. Kemudian pasar-bebas mengacau pikiran kita, melumpuhkan misi-misi mulia dan
mendorong lidah kita bicara palsu : anti subsidi dan anti proteksi secara membabi-buta, demi
efisiensi. Pasar-bebas mereduksi manusia sebagai sumber daya insani menjadi sumber daya
manusia atau faktor produksi ekonomi belaka. Dengan pasar-bebas maka people empowerment
kelewat sering berubah menjadi people disempowerment.

Pemujaan dan penyandaran (reliance) pada pasar-bebas merupakan ujud dan parsialitas
pemikiran ekonomi (mainstream) yang hanya mampu mengakui persaingan (competition) dan
inisiatif individual sebagai penggerak kemajuan ekonomi global, mengabaikan kerjasama
(cooperation) sebagai penggerak kekuatan ekonomi berdasar mutualitas antar individu yang tak
kalah handalnya.

Dalam pemikiran ekonomi yang menganut pasar-bebas, efisiensi tak lain merupakan suatu
“keterpaksaan ekonomi” untuk bertahan hidup dan meraih keuntungan ekonomi (lebih berdasar
zero-sum daripada non-zero-sum), yang harus dicapai melalui bersaing. Sedang di dalam
pemikiran ekonomi yang mengakui kerjasama mutualitas sebagai kekuatan ekonorni, maka
efisiensi merupakan “kewajiban hidup berekonomi”. Ekonomi persaingan berjangkauan
kepentingan parsial (nilai-tambah ekonomi), sedang ekonomi kerjasama berjangkauan
kepentingan multi-parsial yang lebih lengkap dan menyeluruh (mencakup nilai-tambah ekonomi
dan nilai-tambah sosial-kultural sekaligus).

Globalisasi dan pasar-bebas memang diimaginasikan sebagai upaya meningkatkan efisiensi


global. Saat ini imaginasi itu ditumpukan kepada organisasi dunia WTO, pengganti GATT, yang
mematok pakem-pakem ekonomi pasar untuk mencapai efisiensi global. Kenyataan yang ada
membuat banyak di antara kita harus bersikap menolak dan reaksioner. Tentulah dalam
prakteknya yang lemah harus membiayai efisiensi dunia demi kesejahteraan si kuat. Selatan
membiayai efisiensi global demi keuntungan dan kemajuan Utara. Oleh karena itu pasar harus di-
managed dikendalikan, agar ramah terhadap rakyat dan kepentingan nasional.

Yang dikemukakan di atas bukanlah suatu ekstrimitas, tetapi merupakan suatu upaya
menunjukkan polarisasi dikotomis untuk mempertajam pembandingan analitikal.

Globalisasi mulai banyak dikecam, karena menyandang adu kekuatan dan peragaan dominasi
ekonomi, tak terkecuali oleh orang-orang Barat sendiri yang peduli akan pentingnya mewujudkan
keadilan global. Tak terkecuali kecaman terhadap ketidakadilan ini datang dari kalangan
akademisi Barat, NGO’s, mantan praktisi Bank Dunia dan IMF, pemenang hadiah Nobel Ekonomi
(Joseph Stiglitz). Bahkan telah lahir buku tentang perlunya mewujudkan keadilan ekonomi global
sebagai tantangan abad ke-21[xxv].

[xxv] J.W. Smith, Economic Democracy; The Challence of the Twenty-First Century (New York: M.E. Sharpe, 2000).

Dalam WTO kita harus tetap reaksioner, berani merevisi dan membuat kesepakatan-
kesepakatan baru yang tidak merugikan kepentingan nasional dengan tetap menghormati
tanggung jawab global kita. Sekalipun sebagai ahli ekonomi kita harus mampu menghayati realita
yang ditegaskan oleh ekonom terkemuka Inggris, Joan Robinson, bahwa “the very nature of
economics is rooted in nationalism”. Artinya pengembangan pemikiran ekonomi nasional dalam
konteks global pun, perlu mengacu kepada histori, ideologi, institusi dan aspirasi nasional, yang
selanjutnya harus memberi warna terhadap theory building and modeling, menolak paham
neutrality of theory. Henry Kissinger pun telah menegaskan bahwa “Globalisasi adalah nama lain
untuk dominasi Amerika Serikat” (Trinity College, 1998).

Di antara perubahan-perubahan global dalam titian perjalanan peradaban bangsa bangsa,


masalah kemandirian bangsa, atau kemandirian kelompok masyarakat, bahkan kemandirian diri,
selalu terlekat pada nilai-nilai peradaban yang “abadi”, yaitu harga diri dan jati diri (sunatullah).
Nasionalisme kebangsaan, bahkan persekelompokan parokhial atau eksklusif lainnya,
menyandang nilai-nilai “abadi” ini[xxvi].

[xxvi] Sri-Edi Swasono, Ceramah Budaya, Mimeo, Dekopin, Jakarta, 12 Juli 1995.

Paham kemandirian, sebagai lawan dan ketergantungan, menerima paham interdependensi.


Kemandirian memang bukan eksklusivisme, isolasionisme atau parochialisme sempit. Kerjasama
antar ummat manusia menjadi nilai baru yang menjadi tuntunan pemikiran baru untuk
menandingi dan mengimbangi kerakusan dominasi, penaklukan dan eksploitasi antarbangsa dan
manusia.

Munculnya lembaga-lembaga kerjasama modern seperti Leage of Nations dan United Nations,
berikut derivat-derivatnya, merupakan reaksi terhadap puncak persaingan destruktif dari dua
Perang Dunia. Kerjasama global dan kesadaran global menggerakkan kembali dunia yang
hancur oleh Perang Dunia itu. Saat ini kesadaran global itu memunculkan berbagai global
common interests seperti social development eradication of poverty, employment creation,
strengthening solidarity and social integration protection of environtment, dll bahkan sampai pada
penangkalan bersama terhadap pelanggaran human rights dan terrorism dalam berbagai
dimensinya (sebagaimana yang terpaku dalam berbagai konvensi dan keputusan PBB).
Tanggung jawab ini harus secara bersama-sama digalang oleh seluruh negara di dunia.
Kerjasama dan kesadaran global ini harus dapat kita manfaatkan untuk melindungi kepentingan
nasional kita. Akibat-akibat sosial-ekonomi, sosial-politik dan sosial-kultural yang diakibatkan oleh
persaingan bebas dan pasar-bebas seperti digambarkan di atas, jelaslah banyak bertentangan
dengan global interests di atas.

Globalisasi dan ujud globalisme masih dalam proses mencari bentuknya. Dalam masa transisi ini
yang menonjol adalah dominasi ekonomi (baik eksklusif ekonomi maupun kelanjutannya berupa
dominasi politik dan kultural) harus kita hadapi melalui tiga fronts; Pertama, melalui usaha sendiri
masing-masing negara untuk bebenah diri meningkatkan kemampuan domestik dan kinerja
nasionalnya, antara lain melalui rencana dan tindakan-tindakan terfokus untuk secara lebih
langsung untuk membentuk konsolidasi ekonomi nasional dan mengurangi ketergantungan pada
luar-negeri. Kedua, menggalang kerjasama regional, diawali dengan kerjasama ekonomi dan
kemandirian ASEAN, disertai dengan upaya mengembalikan posisi Indonesia sebagai the leader
of ASEAN, dengan segala justifikasi yang relevan dan inheren di dalamnya. Kalau perlu kita
memimpin untuk bersama-sama mendirikan “ASEAN IMF” sendiri, dan seterusnya. Ketiga,
bekerjasama dan meningkatkan keterlibatan Indonesia terhadap perkembangan pemikiran di fora
internasional yang menentang ketidakadilan inheren dan globalisasi, yang menyadari perlunya
berbagai koreksi terhadap proses perkembangan globalisasi yang menyudutkan negara-negara
berkembang, yang dikatakan telah mengakibatkan the gap between the have and the have nots
makin melebar. Di sinilah kita harus mewaspadai globalisasi.

Seperti dikemukakan di atas, semangat kemandirian merupakan kekuatan nasional utama untuk
mewujudkan kemerdekaan yang sebenarnya, kesejahteraan sosial dan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.

Penutup

Reformasi dalam konteks kenegaraan tidak saja berarti pembaharuan menuju Indonesia maju
dan terbentuknya civil society tetapi juga mengandung arti back to basics, kembali ke rel sesuai
dengan cita-cita Kemerdekaan Indonesia. Untuk itu reformasi perlu diselenggarakan berdasar
platforms nasional yang tegas sebagai landasan berpijak. Berikut ini adalah platforms yang
penulis ajukan untuk penyelenggaraan reformasi.

Platform Nasional - I

Manifesto Politik : Mempertahankan Indonesia Merdeka, Berdaulat dan Bersatu (menjunjung


tinggi national sovereignity dan territorial integrity)

Manifesto Budaya : Menegakkan Bhinneka Tunggal Ika - pluralisme adalah aset nasional bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila adalah “asas bersama” (bukan “asas tunggal”).
Pancasila merupakan ikatan pemersatu ; bagi pluralisme dalam kehidupan bermasyarakat.

Platform Nasional— II

Kemerdekaan berarti : berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, berkepribadian dalam
budaya.

Platform Nasional— III

Kepentingan nasional adalah utama, tanpa mengabaikan tanggung jawab global, dengan
menganut politik luar negeri “bebas aktif”.

Platform Nasional— IV

Yang kita bangun adalah rakyat, bangsa dan negara.


Pembangunan ekonomi adalah derivat untuk mendukung pembangunan rakyat, bangsa dan
negara. Dalam bidang ekonomi pengembangan ekonomi rakyat memberi rnakna substantif
terhadap platform ini.

Platform Nasional— V

Hubungan ekonomi nasional berdasar “kebersamaan” (mutuality) dan “asas kekeluargaan”


(brotherhood atau ukhuwah, bukan kinship, atau kekerabatan) yang partisipatif dan emansipatif.
Keadilan yang genuine hanya bisa terwujud di dalam suasana kekeluargaan (brotherhood atau
ukhuwah) itu.

Platform Nasional— VI

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai pokok-pokok kehidupan
rakyat, digunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat, dari generasi ke generasi.

Platform Nasional— VII

Proaktif ikut mendisain ujud globalisasi, berposisi sebagai subyek, bukan obyek dalam
globalisasi.

Platform Nasional—VIII

Untuk melaksanakan Otonomi Daerah dalam NKRI, kita harus tetap membangun Pemerintah
Pusat yang kuat, yang kita tolak adalah Sentralisme Pusat.

Platform Nasional— IX

Yang kita tuju adalah “Pembangunan Indonesia” bukan sekedar “Pembangunan di Indonesia “.

Platform Nasonal— X

Hutang luar negeri bersifat pelengkap dan sementara. Investasi asing berdasar pada asas mutual
benefit bukan predominasi (tidak overheersen).

Platforms di atas disusun dan dikembangkan dari pemikiran-pemikiran Mohammad Hatta,


terutama mengenai kebangsaan, kerakyatan, kedaulatan negara, keberdikarian, demokrasi
ekonomi, politik luar negeri bebas-aktif, percaturan dan pertentangan global, otonomi daerah dan
adagium Hatta “menjadi tuan di negeri sendiri”.

Tentu platforms di atas kalau perlu dapat ditambah lagi sesuai dengan perkembangan yang ada.
Masalah selanjutnya adalah bagaimana platforms tersebut disosialisasikan agar dapat diterima
sebagai paradigma reformasi, menuju kepentingan bersama, yaitu Indonesia yang Merdeka,
Berdaulat dan Bersatu sebagai bangsa maju dalam kesetaraan global.***

Oleh: Prof. Dr. Sri-Edi Swasono -- Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 

[i] Disampaikan pada Seminar “Kemandirian Ekonomi Nasional”, diselenggarakan oleh Fraksi Utusan Golongan MPR RI Jakarta,
22 November 2002

Anda mungkin juga menyukai