Anda di halaman 1dari 24

KEGIATAN BELAJAR 4

GEREJA DAN DIMENSI ETIS KECERDASAN BUATAN (ARTIFICIAL


INTELLIGENCE)

Deskripsi Umum

Dalam Modul ini anda kami ajak untuk mempelajari materi tentang Gereja.
Selaras dengan capaian pembelajaran yang perlu dimiliki oleh guru Pendidikan
Agama Kristen di sekolah. Modul ini bertujuan agar anda menguasai pola pikir dan
struktur keilmuan serta materi ajar PAK dengan perspektif Alkitabiah yang
menumbuhkan pengalaman, membangun hubungan, dan mendorong partisipasi dengan
berkategori advance materials secara bermakna yang dapat menjelaskan aspek “apa”
(konten), “mengapa” (filosofi), dan “bagaimana” (penerapan) dalam kehidupan
sehari-hari. Secara rinci setelah mempelajari materi dalam modul ini, diharapkan
anda dapat:

A. Menganalisis Pengertian Kecerdasan Buatan Artificial Intelligence (AI)


Mempertimbangkan Persoalan-Persoalan Etis Artificial Intelligence (AI) dan
Tiga Keprihatinan Etis Kecerdasan Buatan Artificial Intelligence Menyeleksi
Gagasan dan Sistem Nilai Artificial Intelligence (AI) Menilai Sikap dan
Tanggungjawab Gereja Terhadap Perkembangan Iptek
B. Mendalami kecerdasan Yesus dalam pemahaman Ilmu Pengetahuan

Petunjuk Penugasan:

1. Bacalah secara cermat capaian pembelajaran yang hendak dicapai.


2. Cermati dan dalami materi gereja dan dimensi etis kecerdasan buatan (artificial
intelligence)
3. Setelah mencermati dan mendalami materi dengan baik, hubungkanlah materi
tersebut dengan konteks anda agar mudah untuk dipahami dan diaplikasikan
4. Kerjakan latihan dengan baik, untuk memperlancar pemahaman anda
5. Setelah anda mempersiapkan segala peralatan yang diperlukan, mulailah
membaca modul ini secara teliti dan berurutan.

76
Capaian Pembelajaran
Menguasai pola pikir dan struktur keilmuan serta materi ajar PAK dengan
perspektif Alkitabiah yang menumbuhkan pengalaman, membangun hubungan dan
mendorong partisipasi dengan kategori advance materials secara bermakna yang
dapat menjelaskan aspek apa (konten) mengapa (filosofis) dan bagaimana
(penerapan) dalam konteks hidup sehari-hari
Sub Capaian Pembelajaran

a. Mampu menganalisis Pengertian Kecerdasan Buatan (AI)


b. Mampu mempertimbangkan Persoalan-Persoalan Etis AI dan Tiga
Keprihatinan Etis Kecerdasan Buatan (AI)
c. Mampu menyeleksi Gagasan dan Sistem Nilai AI
d. Mampu menilai Sikap dan Tanggungjawab Gereja Terhadap Perkembangan
Iptek
e. Mampu menjelaskan secara rasional kecerdasan Yesus dalam pemahaman
Ilmu Pengetahuan

Pokok Materi (Dalam Peta Konsep)

PERSOALAN - PERSOALAN ETIS AI


PENGERTIAN dan TIGA KEPRIHATINAN ETIS
KECERDASAN BUATAN (AI)

Kecerdasan Buatan
(AI)

SIKAP dan TANGGUNGJAWAB


GEREJA terhadap GAGASAN dan SISTEM NILAI AI
PERKEMBANGAN IPTEK

77
Uraian Materi

A. Pengertian Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence (AI)


Dunia tempat kita tinggal adalah dunia yang terus berubah. Perubahan demi
perubahan terjadi dengan cepat, bahkan kita terkadang tak mampu
menghindarinya. Salah satu faktor yang mendorong perubahan tersebut adalah
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). IPTEK telah memberikan
sumbangsih besar bagi kemajuan peradaban manusia. Melalui perkembangan
IPTEK kita dapat menikmati kemajuan di berbagai bidang kehidupan, antara lain
dalam bidang kesehatan, industri, transportasi, ekonomi dan lain sebagainya.
Perkembangan IPTEK yang semakin canggih saat ini ditandai dengan
maraknya keberadaan robot humanoid disekitar kita. Robot-robot tersebut tidak
hanya memiliki wujud seperti manusia, melainkan juga dilengkapi dengan
kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence yang membuat robot bisa berfikir,
merespon dan mengambil keputusan layaknya manusia. Salah satunya adalah
Sophia, robot humanoid canggih yang mampu berperilaku layaknya manusia,
menjadi terkenal sejak diluncurkan pertama kali pada 201627. Solusi yang dihadirkan
robot berbasis kecerdasan buatan atau artificial intelligence di tengah pandemi tidak
terbatas pada perawatan kesehatan saja. Tetapi, juga dapat membantu industri lain
seperti ritel bahkan maskapai penerbangan.
Sebelum membahas lebih jauh tentang penggunaan kecerdasan buatan atau
Artificial Intelligence, maka saya akan menjelaskan pengertian kecerdasan buatan
atau Artificial Intelligence terlebih dahulu.

Definisi Artificial Intelligence

Artificial Intelligence” atau “Kecerdasan Buatan” merupakan suatu konsep yang


kompleks dan luas cakupannya. Dapat disederhanakan, Artificial Intelligence pada
dasarnya adalah entitas buatan atau hasil ciptaan manusia, semacam mesin
komputer cerdas, yang berdasarkan mega data yang disimpan dan diolah secara
algoritmik menjadi informasi baru; AI adalah mesin cerdas yang mampu “berpikir,”
dan “belajar secara mandiri” berdasarkan asupan data yang telah dimasukkan,
mampu “memperoleh dan menggunakan pengetahuan” dan yang mampu

27Diunduh dari inews.id pada tanggal 23 Desember 2022 dengan judul Sophia, Robot Cerdas yang
Bakal 'Gantikan' Manusia Mulai Diproduksi Massal Tahun Ini
(https://www.inews.id/news/internasional/sophia-robot-cerdas-yang-bakal-gantikan-manusia-
mulai-diproduksi-massal-tahun-ini)

78
menghasilkan “perilaku” tertentu.28 Kata “artificial” tidak dimaksudkan sebagai
suatu yang bersifat semu atau tidak asli, melainkan suatu yang tidak tumbuh secara
alami, karena merupakan hasil karya cipta kecerdasan manusia.

Berbeda dengan artefak lain hasil karya cipta manusia sebelumnya, yang
fungsi atau cara beroperasinya masih berada dalam rentang kendali dan dapat
diprediksikan sepenuhnya oleh manusia, AI yang sudah bersifat lanjut, memiliki
unsur kreatif, acak, dan dapat “belajar” secara mandiri, serta mampu “mengoreksi
dan menyempurnakan diri”; bahkan sebagaimana mengejawantah dalam robot
humanoid yang dapat berkomunikasi dengan manusia, AI seperti memiliki
“kesadaran dan dapat merasa,” karena ia dapat bereaksi seperti manusia.
Penggunaan AI dalam teknologi robotic dapat menggantikan peran manusia dalam
berbagai kegiatan, bahkan mampu melakukan lebih cepat dan tepat banyak hal yang
tidak dapat dilakukan oleh manusia sendiri, entah karena jenis kerjanya dapat
membahayakan keselamatan manusia atau terlalu sulit terjangkau oleh tubuh
manusia, terlalu rumit, atau pun terlalu mekanis dan membosankan sifatnya untuk
dikerjakan oleh manusia.
Bern C. Stahl sendiri, dalam bukunya yang berjudul Artificial Intelligence
for a Better Future. An Ecosystem Perspective on Ethics of AI and Emerging Digital
Technologies, memberi penjelasan tentang pengertian AI, terkait maksud
penggunaannya, dalam tiga kategori, yakni (1) Pembelajaran Mesin atau Artificial
Intelligence dalam arti sempit (Machine Learning – Narrow AI), (2) AI Umum (General
AI – Strong Artificial Intelligence) dan (3) Sistem-Sistem Sosio-Teknis Yang Terpadu
(Converging Socio-Technical Systems). Masing-masing kategori tersebut memiliki
persoalan dan keprihatinan etis tersendiri.
Artificial intelligence menurut John McCarthy merupakan suatu ilmu dan teknik
dalam menciptakan mesin yang bersifat cerdas, terutama dalam menciptakan
program atau aplikasi komputer cerdas. Artificial Intelligence adalah suatu langkah
untuk menciptakan komputer, robot, atau aplikasi atau program yang bekerja secara
cerdas, layaknya seperti manusia29.
Menurut Munardi Rinaldi, Artificial Intelligence ialah perpaduan ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam pembuatan mesin pintar, khususnya program
komputer pintar.30 Artificial Intelligence berhubungan dengan tugas yang serupa
dalam menggunakan komputer untuk memahami kecerdasan manusia, tetapi

28 Bern Carsten Stahl. Artificial Intelligence for a Better Future. An Ecosystem Perspective on Ethics of AI
and Emerging Digital Technologies. Leicester, UK: Springer, 2020. Selanjutnya disingkat AIBF
29 John, McCarthy. What Is Artificial Intelligence?. California: Stanford Unifersity, 2007, hlm. 3
30 Munardi, Rinaldi. Strategi Algoritmik. Bandung: Institut Teknologi Bandung, 2004, hlm. 4

79
Artificial Intelligence tidak memiliki batasan tersendiri dalam metode-metode yang
tampak secara alamiah. Karena Artificial Intelligence tidak memiliki batasan
tersendiri atau dengan kata lain tidak bertidak secara alamiah atau insting tapi
Artificial Intelligence membutuhkan sebuah kecerdasan buatan yang diterapkan oleh
si pembuat program.
Dengan kata lain kecerdasan buatan Artificial Intelligence merupakan sistem
komputer yang bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan yang umumnya memerlukan tenaga
manusia atau kecerdasan manusia untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Kecerdasan
buatan Artificial Intelligence sendiri merupakan teknologi yang memerlukan data untuk
dijadikan pengetahuan, sama seperti manusia. Kecerdasan buatan Artificial Intelligence
membutuhkan pengalaman dan data supaya kecerdasannya bisa lebih baik lagi. Poin
penting dalam proses kecerdasan buatan Artificial Intelligence adalah learning, reasoning
dan self correction. Kecerdasan buatan Artificial Intelligence perlu belajar untuk memperkaya
pengetahuannya. Proses belajar kecerdasan buatan Artificial Intelligence pun tidak selalu
disuruh oleh manusia, melainkan Artificial Intelligence akan belajar dengan sendirinya
berdasarkan pengalaman Artificial Intelligence saat digunakan oleh manusia. Hal yang
cukup menarik dari Artificial Intelligence adalah ia mampu melakukan self correction atau
mengoreksi diri sendiri. Jika anda pernah mendengar ungkapan Artificial Intelligence “Jika
aku tidak pernah menang, maka setidaknya aku tidak boleh kalah” sedikit ngeri juga yah.
Artificial Intelligence memang diprogram untuk itu terus belajar dan membenahi diri
sendiri dari kesalahan yang pernah dibuatnya.

B. Persoalan-Persoalan Etis AI dan Tiga Keprihatinan Etis Kecerdasan Buatan


(AI)
Kemajuan teknologi sangat penting. Peradaban manusia berkembang seiring dengan
perkembangan teknologi. Namun di sisi lain, ajaran agama Kristen tentu menghadapi
tantangan yang ditimbulkan oleh percepatan perkembangan teknologi, tidak dapat
dipungkiri bahwa laju perkembangan tersebut telah mengubah tatanan sosial masyarakat.
Perubahan dinamika kehidupan sosial menimbulkan individualitas, kesepian dan
keterasingan. Perkembangan saat ini, masyarakat semakin menyukai media sosial sebagai
bagian dari perkembangan teknologi. Dalam situasi dan realitas demikian, pendidikan
agama Kristen harus mengambil peran dan memberikan kontribusi yang nyata. Salah satu
tujuan pembelajaran pendidikan agama Kristen adalah pembentukan spiritualitas. Oleh
karena itu PAK harus menjadi alat dan sarana dasar dalam pembentukan spiritualitas
peserta didik, yaitu kemampuan menampilkan diri berdasarkan kecintaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan berperan aktif dalam lingkungan sosialnya bahkan dalam dunia yang
serba teknologi. perkembangan. mempercepat Keberhasilan PAK yang dipraktikkan di
sekolah dan gereja membutuhkan peran serta guru sebagai pendidik, siswa sebagai
pembelajar, dan teknologi sebagai media pembelajaran.

80
Teknologi berbasis Kecerdasan Buatan Artificial Intelligence memang telah banyak
dikembangkan dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Namun dalam perkembangan
penggunaannya, kecerdasan buatan Artificial Intelligence memiliki tantangan dalam
berbagai persoalan etis serta ada tiga keprihatinan etis yang patut kita cermati. Pada bagian
ini, saya akan mencoba membahasnya bagi kita semua.
Pertama, keprihatinan etis terkait dengan tujuan atau untuk apa kita
menggunakan kecerdasan buatan. Pertanyaan ini muncul karena Artificial
Intelligence, sebagaimana produk teknologi yang lain, dapat digunakan untuk suatu
tujuan yang baik, tetapi juga dapat digunakan untuk tujuan yang buruk. Misalnya,
dalam dunia kedokteran, Artificial Intelligence dapat dipakai untuk membantu para
dokter melakukan diagnosis penyakit dengan cepat dan tepat dengan memindai
tubuh pasien yang cedera di bagian dalam akibat kecelakaan, tetapi teknologi yang
sama dalam bentuk Artificial Intelligence pemindai wajah orang, juga dapat dipakai
untuk menentukan target pengeboman secara lebih tepat sasaran atau memantau
perilaku para pengendara mobil di jalanan dan mengenali wajah orang yang mau
dijadikan target kejahatan.

Keprihatinan etis kedua terkait dengan siapa yang punya akses terhadap
Artificial Intelligence dan bagaimana mengakses, karena Artificial Intelligence
menuntut adanya mesin yang dapat bekerja lebih cepat dan lebih besar yang hanya
dapat diakses oleh perusahaan teknologi digital modal besar, seperti: IBM, Apple,
Android, Google, Microsoft, Facebook, Amazon, dan sebagainya. Dengan demikian apa
yang dapat kita lakukan sudah ditentukan oleh sekelompok elit yang punya akses
tersebut karena algoritma di balik mekanisme kerja Artificial Intelligence sering sudah
ditentukan oleh mereka serta berada di luar jangkauan kendali para individu
pemakai gawai elektronik yang mereka ciptakan. Sebagai makhluk yang rasional
dan bebas, manusia sesungguhnya ingin ikut menentukan pilihan tindakannya,
tetapi dalam banyak hal pilihan tindakan kita sudah ditentukan oleh mekanisme
kerja algoritma dalam gawai elektronik yang kita gunakan. Dengan kata lain,
Artificial Intelligence membatasi otonomi para penggunanya.
Keprihatinan etis ketiga terkait dengan gagasan dan sistem nilai yang ada
di balik mekanisme kerja Artificial Intelligence. Gagasan dan sistem nilai tersebut
dapat tidak sesuai dengan gagasan dan sistem nilai yang kita yakini, dan dapat jatuh
dalam berbagai bias, entah bias gender atau etnik, karena data besar yang
dimasukkan ke dalam mesin Artificial Intelligence dan diolah menjadi informasi baru,
dapat saja sudah memuat bias-bias tersebut. Kita menghendaki mesin itu bekerja
seperti kita maui berdasarkan sistem nilai kita yang menjunjung tinggi keadilan atau
tidak diskriminatif, tetapi kalau asupan (input) data yang sudah dimasukkan ke

81
dalam mesin itu sudah bias, maka luaran (output) kinerja mesin tersebut juga bersifat
bias.

C. Persoalan Etis Terkait AI Jenis Pembelajaran Mesin


Stahl31 menyebutkan adanya tiga ciri khas Artificial Intelligence Pembelajaran
Mesin yang relevan secara etis, yakni:
(1) Tak tembus pandang/kekaburan (Opacity):
Algoritma pembelajaran mesin dan jejaring sistemnya itu rumit, dan
mekanisme kerja di dalamnya sulit dipahami oleh orang awam penggunanya,
bahkan oleh para pakar. Kendati AI model pembelajaran mesin tetap
merupakan sebuah sistem yang memuat unsur teknis yang dapat
diprediksikan, namun karena terkait sebuah sistem yang dapat belajar secara
mandiri, dan dengan demikian dapat berubah, maka mekanisme kerja
internalnya memuat unsur yang tak tembus padang atau kabur, unsur yang
tidak serba pasti dan dengan demikian tidak sepenuhnya dapat diprediksikan.
(2) Tak dapat diprediksisikan (Unpredictibility):
Sebagai akibat ciri pertama tersebut, maka kalau diperhitungkan berdasarkan
asupan data yang dimasukkan saja (input), luarannya (output) masih sulit
sepenuhnya diprediksikan, atau bahkan mustahil.

(3) Tuntutan adanya “maha data” (‘Big Data’ Requirement): Sistem pembelajaran
mesin dalam bentuknya yang sekarang menuntut adanya “maha data” untuk
diproses dan kemampuan komputer yang signifikan untuk membuat model.
Untuk ini perusahaan-perusahaan teknologi digital modal besar sering
memanen data pelanggan dan digunakan untuk kepentingan mereka sendiri
tanpa persetujuan pelanggan.

Terkait Artificial Intelligence Jenis Pembelajaran Mesin, Stahl juga menyebutkan


ada persoalan dan keprihatinan etis lainnya, yakni: (1) persoalan privasi dan
perlindungan data pribadi; (2) persoalan keandalan (reliability); (3) persoalan
transparensi. Mengenai persoalan privasi dan perlunya perlindungan data pribadi,
Artificial Intelligence jenis pembelajaran mesin sebagaimana tercermin dalam
mekanisme kerja telpon pintar atau pun internet dalam computer yang kita gunakan
di mana data-data pribadi kita dalam berbagai bentuknya telah kita isikan di
dalamnya berikut mekanisme algoritmik yang menawarkan dan menstrukturkan
pilihan tindakan kita berdasarkan situs-situs yang sebelumnya kita kunjungi,

31 B. C. Stahl, AIBF, 2020: h. 10.

82
mengakibatkan kurangnya atau bahkan hilangnya privasi, dan juga ada
kemungkinan penyalahgunaan data pribadi kita, baik oleh penyelenggara aplikasi
maupun oleh mereka yang dapat mengakses data pribadi kita dan bermaksud jahat
terhadap kita. Dengan demikian keamanan data pribadi kita yang tersimpan dalam
Artificial Intelligence model pembelajaran mesin sesungguhnya kurang terjamin.
Artificial Intelligence jenis pembelajaran mesin itu membutuhkan banyak data
untuk dapat berfungsi dengan baik. Misalnya algoritma pembelajaran mesin yang
tersupervisi, agar dapat melakukan prediksi dengan baik, maka diperlukan banyak
data yang berkualitas dan sesuai dengan maksud penggunaanya. Hal ini
menyebabkan beberapa perusahaan penyelenggara aplikasi atau organisasi
penganalisis data sering rakus dalam memanen data pengguna, termasuk data
pribadi yang melanggar prinsip privasi. Matthew Liao, misalnya dalam buku Ethics
of Artificial Intelligence32 menyebutkan kasus yang terjadi 2015 ketika Facebook
membocorkan data-data para penggunanya di Amerika Serikat, dan oleh Cambridge
Analytica, sebuah perusahaan penganalisis data, tanpa sepengetahuan pengguna
Facebook, dipakai secara politis untuk memanipulasi proses pemilihan presiden di
sana 2016 yang kemudian dimenangkan oleh Donald Trump.
Terkait persoalan keandalan penggunaan Artificial Intelligence, pembelajaran
mesin, hal itu ada hubungannya dengan kualitas dan ketepatan data yang
dimasukkan ke dalam mesin serta integritas pemogram mesin. Pembelajaran mesin
hanya dapat bekerja baik kalau kualitas data yang dimasukkan untuk proses
pembelajarannya adalah data yang memadai dan tepat untuk maksud penggunaan
mesin tersebut. Kalau algoritma pembelajaran mesin dilatih dengan data yang tidak
memadai dan tidak akurat, maka prediksi yang dibuatnya juga akan tidak memadai
dan tidak akurat. Matthew Liao menyebutnya sebagai “Garbage In/Garbage Out.”
Sebagai contoh, ia menyebut kasus 2015 ketika Google Photo melabeli foto diri
Jackie Alcine, seorang pengembang perangkat lunak berkulit hitam atau keturunan
Afro-Amerika, dan teman-temannya sebagai “gorilla” karena algoritma dalam
mesin untuk pengenalan wajah dalam Google Photo hanya dibekali dengan data-
data gambar wajah yang tidak memadai dengan tidak menyediakan data gambar
wajah dari berbagai macam latar belakang rasial dan etnik. Persoalan ketiga Artificial
Intelligence. Pembelajaran Mesin, yakni tentang persoalan transparensi, terkait
dengan apa yang sebelumnya sudah disebut sebagai masalah tak tembus pandang
atau kekaburan (opacity). Algoritma pembelajaran mesin dan jejaring sistemnya itu
rumit, dan mekanisme kerja di dalamnya sulit dipahami, bahkan oleh para pakar.
Maka proses dan mekanisme kerja Artificial Intelligence, khususnya bagi para

32 Matthew Liao, Ethics of Artificial Intelligence. Oxford: Oxford University Press, 2020, h. 6.

83
penggunanya tidak transparen atau bersifat tersembunyi. Dampaknya adalah
pengguna hanya mengikuti saja pilihan tindakan yang secara algoritmik sudah
distrukturkan oleh mesin Artificial Intelligence yang ia gunakan.

D. Persoalan Etis Terkait AI Jenis Umum (General Artificial Intelligence)


General AI merupakan unsur penting dalam perdebatan etika Artificial Intelligence,
karena General Artificial Intelligence membawa ke permukaan beberapa pertanyaan
mendasar yang membuat kekhasan manusia terungkap; apa yang membedakan manusia
dari binatang atau makhluk lain dan yang membedakan manusia dari Artificial
Intelligence. General Artificial Intelligence menyingkapkan pertanyaan yang mendasar
tentang hakikat kecerdasan, tentang ada tidaknya kesadaran dalam mesin cerdas,
tentang kodrat manusia (apa artinya menjadi manusia). General Artificial Intelligence
juga mengundang kita untuk bertanya tentang hakikat realitas dan apa yang dapat
kita ketahui tentang realitas. Dengan kata lain, General Artificial Intelligence
membawa kita ke pertanyaan-pertanyaan filosofis yang mendasar yang kebanyakan
mungkin belum tentu tersedia jawabannya dan jawaban yang satu mungkin tidak
konsisten dengan jawaban yang lain, namun pertanyaan-pertanyaan itu penting
bagi manusia guna memahami siapa dirinya dan apa perannya di dunia.

E. Persoalan Etis Terkait AI Jenis Sistem Sosio-Teknis Terpadu


Terkait dimensi etis Artificial Intelligence dalam kategori sistem sosio-teknis
yang terpadu, Stahl33 secara ringkas menyebutkan paling tidak ada tiga persoalan
etis yang perlu diperhatikan, yakni menyangkut persoalan otonomi, manipulasi, dan
dampak sosial. Mengenai persoalan otonomi, Artificial Intelligence dalam kategori
sistem sosio-teknis yang terpadu membawa ke akibat-akibat tindakan yang
dampaknya tidak dapat diidentifikasi penyebabnya hanya pada tindakan manusia,
sehingga dampak dari tindakan atau perilaku Artificial Intelligence tidak sepenuhnya
ada dalam kendali otonomi manusia. Sistem sosio-teknis yang terpadu secara etis
punya implikasi pada perwujudan otonomi manusia, karena Artificial Intelligence
dalam kategori sosio-teknis yang terpadu seperti memiliki otonomi sendiri, atau
tidak sepenuhnya tergantung pada manusia pembuatnya lagi atau menghasilkan
luaran (output) atau perilaku yang berdampak pada manusia dengan cara-cara yang
akibatnya sulit ditentukan siapa yang bertanggung jawab atasnya.
Misalnya, seperti terjadi pada kasus algoritma kematian pada mobil otomatis
atau tanpa dikendalikan seorang pengemudi ketika melaju di jalan raya. Andai kata
di depan mobil itu tiba-tiba ada anak kecil mau menyeberang dan ada beberapa

33 Ibid. h. 42.

84
kemungkinan yang secara algoritmik dapat diprogram. Mana yang secara etis perlu
dipilih? Jawabannya bisa sangat dilematis, tetapi tetap harus dipilih dalam program.
Misalkan, pertama guna menyelamatkan penumpang di dalam mobil, mesin mobil
diprogram secara otomatis untuk rem mendadak dan berbelok ke kanan atau ke kiri
(tergantung dari sistem lalu lintas yang berlaku setempat) dan masuk trotoar. Tetapi
di trotoar bisa jadi ada rombongan pejalan kaki yang akan tertabrak. Bisa juga
diprogram sedemikian rupa sehingga orang yang menyeberang jalan saat lampu
lalu lintas masih hijau ditabrak saja, yang penting penumpang selamat. Siapa yang
harus bertanggung jawab atas kematian korban: apakah penumpang yang ada di
dalam mobil, atau pemilik mobil, atau perusahaan penjual mobil, atau pabrik
pembuat mobil itu? Juga kalau mesin pemindai wajah yang dalam input datanya
mengandung bias etnik tertentu, sehingga ketika digunakan, wajah orang dari etnik
tertentu selalu terdiskriminasikan, maka penggunaan AI dalam kategori sistem
sosio-teknis jelas mengandung dimensi etis yang layak diperhatikan karena bersifat
diskiriminatif.
Artificial Intelligence (AI) dalam kategori sistem sosio-teknis juga secara teknis-
algoritmik telah menstrukturkan ruang pilihan tindakan manusia yang tak lagi
sepenuhnya ada dalam kendali diri penggunanya. Kendati Artificial Intelligence tidak
secara langsung memerintahkan manusia penggunanya untuk melakukan ini atau
itu, namun telah menciptakan kondisi yang menentukan pilihan tindakan mana
yang dapat diambil, yang kadang konsekuensinya tidak selalu dapat dipahami oleh
pengguna. Ketika manusia pengguna Artificial Intelligence tidak menyadari
penstrukturan pilihan tindakan tersebut, hal itu dapat dimengerti sebagai semacam
manipulasi tersembunyi terhadap pilihan tindakan manusia.
Mengenai persolan manipulasi, Artificial Intelligence dalam kategori sistem
sosio-teknis yang terpadu secara mekanis-algoritmik telah menstrukturkan pilihan
tindakan manusia yang sering tidak disadari oleh manusia penggunanya, sehingga
Artificial Intelligence dapat dikatakan secara tersembunyi memanipulasi pilihan
tindakan manusia. Sehubungan dengan dampak sosial penggunaan Artificial
Intelligence dalam kategori sistem sosio-teknis yang terpadu, akibat-akibat yang
ditimbulkan pada individu atau pun masyarakat penggunanya, dapat sangat berarti
dari sisi kemanusiaan. Hal itu misalnya tercermin dalam penggunaan Artificial
Intelligence sistem sosio-teknis terpadu yang berakibat diskriminasi terhadap
kelompok orang tertentu karena bias suku, agama, warna kulit, jenis kelamin, dan
sebagainya.

85
Persoalan etis lainnya yang terkait dengan Artificial Intelligence dalam kategori
Sistem Sosio-Teknis Terpadu, Stahl34 yang menempatkannya dalam konteks
persoalan hidup dalam dunia digital masa kini, juga menyebutkan beberapa
persoalan etis sebagai berikut:

1) Persoalan ekonomi, seperti: a. hilangnya beberapa lapangan kerja yang diambil


alih oleh Artificial Intelligence; b. konsentrasi kekuatan ekonomi pada para
pemodal besar yang dapat menguasai Artificial Intelligence sehingga
menimbulkan kesenjangan sosial; c. besarnya biaya untuk inovasi berdasarkan
Artificial Intelligence juga berakibat bahwa pemodal besar akan lebih mampu
berinovasi.

2) Persoalan keadilan & kewajaran (justice & fairness), seperti: a. kepemilikan data
yang diperdebatkan (penyahgunaan data pribadi/pelanggaran privasi); b.
dampak negatif untuk sistem peradilan (penggunaan mesin Artificial Intelligence
oleh hakim untuk pembuatan vonis siapa yang dapat dibebaskan dan siapa
yang bersalah dan harus dihukum serta berapa lama hukumannya); c.
kurangnya akses ke pelayanan publik yang sudah menggunakan sistem Artificial
Intelligence (misalnya berbagai aplikasi elektronik yang disediakan
Kemendikbud di Indonesia saat ini belum dapat diakses dan digunakan oleh
lembaga pendidikan yang masih kesulitan mengakses jaringan internet); d.
pelanggaran hak asasi manusia dari para korban yang terdiskriminasi oleh bias
kinerja Artificial Intelligence yang digunakan untuk menyaring; e. dampak negatif
bagi kelompok rentan yang harus menanggung diskriminasi akibat bias kinerja
Artificial Intelligence.

3) Persoalan kebebasan: a. penggunaan Artificial Intelligence yang secara otomatis


menyortir dan membatasi akses terhadap informasi tertentu dan yang
mengurangi kebebasan warga negara untuk mendapat informasi yang benar; b.
hilangnya peran pengambilan keputusan manusia karena banyak proses
pengambilan keputusan diserahkan ke kinerja Artificial Intelligence, misalnya
lewat sistem persenjataan otomatis (automatic weapon system); c. hilangnya
kebebasan dan otonomi individu karena pilihan tindakannya praktis sudah
distrukturkan oleh algoritma sistem Artificial Intelligence dalam gawai elektronik
yang digunakan.

34 Ibid. h. 49.

86
Beberapa persolan kemasyarakatan yang lebih luas:

a. Relasi kuasa yang tidak seimbang, karena kelompok kaya yang punya akses
dan mampu membeli serta menggunakan Artificial Intelligence dengan
sendirinya memiliki akses informasi lebih banyak dan dapat memanipulasi
opini publik:

a. Asimetri kekuasaan sebagai akibat dari relasi kuasa yang tidak seimbang:
nasib banyak orang ditentukan oleh segelintir orang yang punya akses dan
mampu membeli serta menggunakan Artificial Intelligence yang bersifat
sistem sosio-teknik yang terpadu.

c. Berkurangnya persetujuan yang terinformasikan (lack of informed consent):


misalnya para pengguna telpon pintar sering dianggap sudah dihormati hak
dan kebebasannya untuk memilih, ketika mengklik persetujuan menerima
syarat-syarat yang daftarnya begitu panjang, sehingga pengguna tidak
punya waktu lama untuk membacanya dengan saksama dan akhirnya
menerima begitu saja pilihan yang ditawarkan berikut konsekuensinya yang
kadang tidak diketahui oleh pengguna:

b. Berkurangnya kepercayaan publik pengguna terhadap penyedia dan


penyelenggara aplikasi digital akibat praktek penyalahgunaan data pribadi
pengguna secara poilitis dan ekonomis:

c. Artificial Intelligence berpotensi untuk digunakan dalam industri militer


sebagaimana tercermin dalam pengembangan sistem pengendalian
persenjataan otomatis (automatic weapon system) dan sistem peringatan dini
(early warning system) bila terjadi serangan musuh:

d. Berkurangnya kontak manusiawi secara langsung: sistem teknologi digital


Artificial Intelligence dalam sistem sosio-teknik terpadu telah menciptakan
komunitas baru dalam dunia maya yang mengakibatkan berkurangnya
kontak manusiawi secara langsung dengan segala kelemahannya seperti
terjadinya pembulian dan berbagai bentuk kejahatan di dunia maya;

e. Dampak negatif bagi kesehatan mental anak yang kecanduan gawai atau
piranti elektronik yang membuat dirinya terasing dari dunia nyata dalam

87
relasi antar pribadi yang dapat memperkaya wawasan hidupnya, misalnya
karena ia asyik dengan permainan elektronik yang dikendalikan oleh sistem
Artificial Intelligence.

Seperti dikatakan oleh Stahl35 berbicara tentang beberapa persoalan etis


Artificial Intelligence cenderung secara implisit diandaikan bahwa Ketika kita
membahasnya seolah-olah kita bicara tentang suatu hal yang buruk. Memang
banyak pembahasan tentang dimensi etis Artificial Intelligence, seperti tercermin dari
pembahasan di atas, membawa kita masuk ke dalam perdebatan tentang beberapa
masalah terkait pengembangan dan penggunaan Artificial Intelligence yang perlu
ditanggapi secara serius. Namun Artificial Intelligence juga membawa manfaat bagi
kehidupan manusia yang secara etis perlu disadari dan dihargai.

F. Gagasan dan Sistem Nilai Artificial Intelligence (AI)


Dalam bukunya B. C. Stahl, yang berjudul Artificial Intelligence for a Better
Future, Stahl menempatkan pengembangan dan penggunaan Artificial Intelligence
dalam perspektif etika keutamaan demi mencapai kepenuhan hidup atau
pertumbuhan subur hidup manusia (human flourishing), juga menunjukkan
beberapa manfaat etis Artificial Intelligence. Ia mengutip pernyataan dari kelompok
pakar tingkat tinggi dari Uni Eropa yang berbunyi: “Artificial Intelligence bukan
suatu tujuan pada dirinya sendiri, melainkan suatu sarana yang menjanjikan untuk
mencapai kepenuhan hidup manusia (human flourishing); dengan demikian, Artificial
Intelligence meningkatkan kesejahteraan individual maupun sosial dan kebaikan
bersama, serta membawa kemajuan dan inovasi.”36 Artificial Intelligence menjanjikan
beberapa manfaat yang secara etis bernilai, seperti misalnya kebijakan
pengembangan Artificial Intelligence di berbagai negara maju berfokus pada upaya
mewujudkan manfaat ekonomis berupa meningkatknya efisiensi dan produktivitas
yang dapat menunjang terciptanya kekayaan lebih besar dan kesejahteraan yang
dapat membuat manusia dapat hidup lebih baik serta menunjang tercapainya
kepenuhan hidup manusia (human flourishing). Hal itu tentu saja mengandaikan
adanya pembagian kekayaan secara lebih adil, dan negara-negara juga perlu secara
eksplisit mengambil kebijakan yang menunjang terwujudnya, karena
pengembangan Artificial Intelligence dan penggunaannya, seperti sudah disinggung
di atas, juga dapat mengakibatkan terjadinya ketimpangan sosial. Penggunaan
Artificial Intelligence juga dapat menghilangkan beberapa lapangan kerja yang

35 B. C. Stahl, AIBF, 2020: h. 35.


36 Ibid. h. 36

88
diambil alih oleh Artificial Intelligence, tetapi juga dapat menciptakan lapangan kerja
baru yang sebelumnya tidak ada.
Artificial Intelligence memberikan beberapa kemampuan teknis yang secara etis
bernilai seperti kemampuan untuk menganalisis banyak data berikut sumbernya
yang tidak dapat dilakukan oleh manusia untuk langsung memprosesnya tanpa
bantuan Artificial Intelligence. Artificial Intelligence juga dapat menghubungan data,
menemukan pola, dan menghasilkan luaran (outputs) yang bersifat lintas ranah
bidang kajian dan lintas batas geografis. Artificial Intelligence juga dapat lebih
konsisten dibandingkan manusia dan dapat cepat beradaptasi dengan perubahan.
Artificial Intelligence dalam bentuk teknologi robotik dapat membebaskan manusia
dari pekerjaan yang berbahaya dan yang membosankan untuk dikerjakan, karena
melulu mekanis dan mengulang hal yang sama.
Selain manfaat etis berdasarkan kemampuan teknis yang secara etis bernilai
seperti disebutkan di atas, Stahl juga menyebutkan bahwa dewasa ini semakin
banyak upaya diambil untuk menggunakan Artificial Intelligence bagi tujuan yang
bersifat etis.37 Hal itu misalnya tercermin dari proyek Artificial Intelligence untuk
kebaikan (AI for Good). Kendati dalam masyarakat modern yang semakin majemuk
ada banyak pandangan tentang apa yang dipandang baik atau bernilai, namun
secara umum ada nilai-nilai yang kurang lebih dapat disepakati bersama dan dapat
dipakai sebagai pegangan untuk pengembangan Artificial Intelligence untuk
kebaikan, misalnya Artificial Intelligence yang menunjang sikap baik (benevolence),
Artificial Intelligence yang menunjang keamanan (security), Artificial Intelligence yang
menunjang peningkatan prestasi kerja manusia (achievement) dan pengarahan-diri
(self-direction). Juga penggunaan Artificial Intelligence untuk menunjang tercapainya
tujuan-tujuan pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development Goals) dan
yang menunjang perwujudan hak asasi manusia. Paula Boddington, dalam bukunya
berjudul Towards A Code of Ethics for Artificial Intelligence 38, juga menyebutkan
adanya cukup banyak upaya pengembangan dan penggunaan Artificial Intelligence
yang lebih memperhatikan nilai-nilai etis, termasuk memasukkan dimensi etis
dalam pemograman mesin Artificial Intelligence agar Artificial Intelligence dapat lebih
lebih banyak mendatangkan manfaat bagi kehidupan manusia yang lebih baik.39
Sebelum secara singkat menjelaskan lima prinsip etis sebagai sebuah kerangka
terpadu dalam menciptakan teknologi Artificial Intelligence yang dapat bermanfaat

37 Ibid. h. 36
38 Paula Boddington, Towards A Code of Ethics for Artificial Intelligence. Cham, Switzerland: Springer,
2017, p.3-4; 5-7.
39 Bagian pertama yang berjudul “Building Ethics into Machines” dalam buku yang disunting oleh S.

Matthew Liao berjudul Ethics of Artificial Intelligence. Oxford, UK: Oxford University Press, 2020, h. 45-
78. membahas tentang bagaimana kita dapat dan seharusnya membangun etika dalam AI.

89
bagi kemanusiaan, sebagaimana dikemukakan oleh Luciano Floridi dan Josh Cowls
berjudul “A Unified Framework of Five Principles for Ethical Artificial Intelligence” dalam
buku yang disunting L. Floridi berjudul Ethics, Governance, and Policies in Artificial
Intelligence,40 kiranya baik untuk kita sadari bersama bahwa berbagai upaya, baik itu
dalam bentuk merumuskan kode etik untuk Artificial Intelligence, prinsip-prinsip etis
untuk Artificial Intelligence merumuskan aturan dan regulasi yang yang perlu
diperhatikan dan dipatuhi dalam pengembangan dan penggunaan Artificial
Intelligence, jelas mengandaikan keterlibatan dan komitmen dari berbagai pihak
dalam sebuah kerjasama, baik lokal, nasional, regional, maupun internasional. Pada
level lokal, misalnya perlunya. Kerjasama di antara para ahli di pusat-pusat studi
dan pengembangan Artificial Intelligence pada level nasional atau regional (seperti
Uni Eropa),dalam bentuk undang-undang dan peraturan yang diberlakukan dalam
suatu wilayah negara, maupun pada level internasional (seperti pada lingkup PBB,
OECD) dalam bentuk hukum internasional demi masa depan yang lebih baik bagi
umat manusia dan kelestarian alam ciptaan.

1. Prinsip Berbuat Baik (Principle of Beneficence):


Prinsip ini menegaskan bahwa pengembangan dan penggunaan Artificial
Intelligence (AI) seharusnya menunjang pencapaian tujuan mewujudkan kebaikan
atau kebahagiaan (well-being) bagi semua makhluk yang dapat merasakan (sentient
creatures). Prinsip ini juga erat terkait dengan prinsip keberlanjutan dalam
pembangungan ekonomi lewat pengembangan dan penggunaan Artificial Intelligence
yang menjamin prasyarat kehidupan di dalam planet kita, terus meningkatkan
kesejahteraan hidup para penghuninya, dan melestarikan lingkungan hidup yang
baik bagi para generasi mendatang. Artificial Intelligence perlu dikembangkan demi
kebaikan bersama (common good) dan bermanfaat bagi kemanusiaan. Prinsip ini juga
menekankan pentingnya menghormati keluhuran martabat manusia dan kelestarian
planet yang kita huni. Pengembangan dan penggunaan teknologi Artificial
Intelligence diharapkan menguntungkan dan memberdayakan semakin banyak
orang.

2. Prinsip Tidak Melakukan Yang Buruk (Principle of Non-Maleficence):


Prinsip ini menekankan pentingnya menghindari akibat-akibat buruk yang
bersifat merugikan atau merusak dari penggunaan yang berlebihan atau
penyalahgunaan tekonologi Artificial Intelligence. Secara khusus misalnya hal itu

40Luciano Floridi (Ed.) Ethics, Governance, and Policies in Artificial Intelligence. Cham, Switzerland:
Springer, 2021: h. 8-16.

90
terkait dengan terjadinya pelanggaran atas privacy, terciptanya ketidakamanan
karena perlombaan senjata, kurangnya sikap hati-hati dan kurang bertanggung
jawab dalam meningkatkan kemampuan Artificial Intelligence sedemikian rupa,
sehingga kinerja Artificial Intelligence lebih merupakan ancaman bagi manusia
daripada bermanfaat untuk meningkatkan kemampuannya. Juga kemampuan untuk
menyakiti, menghancurkan, dan menipu tidak boleh secara sengaja diprogramkan
dalam Artificial Intelligence, sedemikian rupa sehingga kinerjanya berdampak negatif
pada kehidupan bersama manusia. Dalam hal ini, misalnya penggunaan piranti bots
yang sengaja diprogram secara algoritmik melipatgandakan informasi yang
menyesatkan atau yang menciptakan konflik sosial, kebencian, dan tindak terorisme,
jelas secara etis tidak dapat dibenarkan dan secara hukum perlu ditindak serta
dikenai sanksi.

3. Prinsip Otonomi:
Prinsip tidak melakukan yang buruk juga bisa dilanggar apabila
pengembangan dan penggunaan Artificial Intelligence membuat manusia kehilangan
otonominya. Memang, ketika kita mengadopsi Artificial Intelligence dengan
kepelakuannya yang cerdas, kita sengaja menyerahkan sebagian kemampuan kita
untuk menentukan diri pada teknologi buatan manusia. Maka menghindari
hilangnya otonomi manusia di sini berarti menjaga keseimbangan antara
kemampuan untuk menentukan diri yang masih dipegang manusia sendiri dan
yang didelegasikan pada Artificial Intelligence. Misalnya, kewenangan untuk
menentukan standar dan norma yang diberlakukan haruslah tetap dipegang
manusia. Apa yang didelegasikan pada mesin cerdas demi efisiensi haruslah tetap
menjadi kewenangan manusia untuk menentukan.

4. Prinsip Keadilan (Principle of Justice):


Keputusan untuk sendiri menentukan mana tindakan yang mau diambil atau
mendelegasikan pada Artificial Intelligence tidak terjadi dalam kekosongan.
Demikian juga kemampuan tersebut tidak dimiliki semua warga masyarakat secara
merata. Dampak buruk dari disparitas dalam pelaksanaan otonomi ini perlu
ditanggulangi dengan prinsip keadilan. Terkait pentingnya prinsip keadilan ini, L.
Floridi dan J. Cowls misalnya menyitir penekanan yang diberikan oleh Deklarasi
Montreal yang menyatakan bahwa “pengembangan Artificial Intelligence haruslah

91
mempromosikan keadilan dan menghindari segala bentuk diskriminasi.”41
Kemudian European Group on Ethics menegaskan bahwa Artificial Intelligence“
haruslah menyumbang pada keadilan global dan akses yang setara bagi
kebermanfaatan teknologi Artificial Intelligence”42 Lembaga itu juga memperingatkan
agar dihindari risiko memasukkan data yang bersifat bias dalam sistem Artificial
Intelligence dan yang mengancam nilai solidaritas termasuk sistem yang saling
membantu seperti dalam program untuk asuransi dan jaminan kesehatan. Prinsip
keadilan pada dasarnya mau mempromosikan kemakmuran bersama, merawat
solidaritas sosial, dan menghindari ketidakadilan.

5. Prinsip Dapat Dijelaskan (Explicability):


Di samping empat prinsip di atas yang diberlakukan juga dalam Bioetika, L.
Floridi dan J. Cowls43 merasa perlu menambahkan satu prinsip lagi yang dalam
konteks Artificial Intelligence (AI) menentukan bagaimana keempat prinsip yang lain
yang sudah disebutkan di atas itu dapat diberlakukan. Dengan “prinsip dapat
dijelaskan” atau explicability yang dalam pembahasan di atas disebut transparency,
dimaksudkan sebagai hal dapat dijelaskan atau dipahaminya kinerja Artificial
Intelligence; hal ini terkait dengan dimensi epistemologis dalam menjawab
pertanyaan “bagaimana” sistem kerja Artificial Intelligence terjadi atau dapat
berfungsi, dan menjawab pertanyaan tentang “siapa” yang bertanggung jawab atas
akibat sistem kerja tersebut, atau dimensi etis terkait akuntabilitas Artificial
Intelligence. Agar Artificial Intelligence dapat melakukan suatu yang baik (beneficent)
dan mengindari yang merugikan (nonmaleficent), atau pun harus dapat menjamin
otonomi manusia serta menjamin keadilan, baik pertanyaan tentang bagaimana
proses dan kinerja Artificial Intelligence dapat dipahami atau dapat dijelaskan,
maupun pertanyaan tentang siapa yang bertanggung jawab bila terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan, tetap harus dapat dijawab terlebih dulu. Maka prinsip dapat
dijelaskan atau explicability ini dapat dikatakan mendasari keberlakuan keempat
prinsip sebelumnya dalam mengupayakan agar teknologi Artificial Intelligence
dikembangkan dan digunakan demi menunjang tercapainya tujuan Artificial
Intelligence demi kepenuhan hidup manusia (Artificial Intelligence for human
flourishing) atau terciptanya masyarakat Artificial Intelligence yang baik (a good
Artificial Intelligence society).

41 Ibid. h. 11.
42 Ibid. h. 11-12.
43 Ibid. h. 12

92
G. Sikap dan Tanggungjawab Gereja Terhadap Perkembangan IPTEKS
Amsal 1:5 berbunyi, “Baiklah orang bijak mendengar dan menambah ilmu dan
baiklah orang yang berpengertian memperoleh bahan pertimbangan”. Berdasarkan
ayat tersebut dapat diartikan bahwa Allah menghendaki manusia untuk terus
menimba ilmu dan mencari pengertian. Allah ingin manusia terus mengembangkan
dirinya, tetapi bukan untuk kebanggaan dirinya melainkan untuk memuliakan
Tuhan. Tujuan dikembangkannya IPTEK secara implisit dapat kita lihat dalam
Keluaran 35:30 - 36:1. Bagian Alkitab ini mencatat bahwa Allah menunjuk orang-
orang yang telah dipilihnya untuk membuat segala keperluan membangun Bait
Allah. Kemudian Allah memperlengkapi mereka dengan segala keahlian, pengertian
dan pengetahuan dalam segala pekerjaan untuk membuat segala rancangan
pembangunan Bait Allah. Allah mengaruniakan Rohnya untuk memampukan
mereka dalam menyelesaikan pembangunan Bait Allah seperti yang difirmankan-
Nya.44 Melalui ayat ini kita tahu bahwa sumber segala pengetahuan dan keahlian
adalah Allah. Dan, semua itu dipakai untuk melakukan kehendak-Nya (Kel 36:1).
Jadi jelas dalam perspektif Alkitab bahwa Allah merupakan sumber dan tujuan dari
segala pengetahuan yang dimiliki manusia. Seperti firman Tuhan dalam Mazmur
150:6 iman Kristen meyakini bahwa memuliakan Allah melalui segala potensi yang
dikaruniai merupakan tujuan dari hidup manusia. Biarlah segala yang bernafas
memuji Tuhan!

Dalam bagian Alkitab yang lain kita juga dapat melihat bagaimana Allah
mendorong manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan
mengaplikasikannya dalam teknologi. Cerita Alkitab tentang “Bahtera Nuh”
memberikan kesaksian tentang hal tersebut. Allah memerintahkan Nuh membuat
bahtera besar untuk menyelamatkan ia dan keluarganya dari kebinasaan akibat air
bah dan kebobrokan moral dunia pada waktu itu. Dalam menjalankan tugas itu
tentu Nuh dan keluarganya harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang
baik tentang ilmu pertukangan dan perkapalan. Dan, dalam cerita tersebut
dikisahkan bahwa Allah sendirilah yang mengaruniakan pengetahuan dan
keterampilan kepada Nuh dan keluarganya. Pengetahuan dan keterampilan itu
menjadi sarana bagi keluarga Nuh untuk menerima anugerah keselamatan dari
Allah.

Kisah yang lain juga dapat kita saksikan dalam injil Matius 13:55. Kita tentu
tahu profesi Yusuf ayah Yesus. Profesi Yusuf bukan seperti perkiraan banyak orang.
Yusuf bukanlah tukang kayu biasa karena kemanapun Yesus pergi, orang-orang

44 Robert. M Paterson, Tafsiran Alkitab: Kitab Keluaran, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011, p. 458.

93
mengetahui bahwa Yesus adalah “Anak Yusuf si tukang kayu”. Artinya Yusuf
adalah seorang tukang kayu yang sangat ternama. Profesi tukang kayu saat itu sama
terpandangnya dengan seorang arsitek. Dalam bahasa Yunani digunakan istilah
tekton (tukang kayu) yang memiliki akar kata yang sama dengan kata “teknologi”
atau “teknik”. Jadi untuk menjadi seorang yang pandai dalam mengolah kayu
menjadi sesuatu yang berguna, membutuhkan pengetahuan tentang jenis kayu serta
keterampilan mengolahnya. Dari profesi yang digeluti Yusuf ini, kita dapat melihat
Allah juga memelihara umatnya melalui pengetahuan dan keterampilan yang
dimiliki seseorang. Karena melalui profesi itu, Yusuf menerima upah sebagai
imbalan dari pekerjaan yang telah dilakukannya.

Dari beberapa contoh di atas dapat disimpulkan bahwa pengembangan IPTEK


dalam kehidupan manusia sudah ada sejak jaman Alkitab. Dari Perjanjian Baru kita
dapat belajar bagaimana kecerdasan Yesus. Dan, kisah-kisah di atas membuktikan
bahwa Allah menghendaki manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam kehidupannya. Tidak disangkal IPTEK memberikan sumbangsih
yang yang besar dalam kehidupan manusia. Tetapi dibalik semua manfaat yang
dapat diberikan oleh kemajuan IPTEK, kita perlu bersikap hati-hati dalam
penerapannya. IPTEK bagaikan pisau bermata dua, ia dapat mendatangkan
kebaikan bagi manusia sekaligus menghancurkan kehidupan manusia. Oleh sebab
itu diperlukan hikmat dalam penggunaan IPTEK dalam kehidupan manusia.
Dengan demikian melalui IPTEK, kita dapat membangun peradaban manusia yang
sesuai dengan kehendak Tuhan.

Terkait dengan perkembangan IPTEK, Gereja perlu memiliki sikap dan


tanggungjawab untuk membekali jemaat dalam menghadapi perkembangan IPTEK.
Jika dalam pandangan umum dipahami dunia sebagai situs rahmat dengan segala
tegangan dan kontradiksinya, maka IPTEK adalah perangkat sistematik untuk
membaca tanda zaman dan terlibat dalam persoalan dunia, untuk itu diperlukan
penguasaan yang lebih unggul terhadapnya. Cara-cara yang dapat dilakukan oleh
Gereja adalah:

1. Sistem pengajaran dalam gereja harus dapat mengajak jemaat untuk


berpendapat berdasarkan data penelitian, berpikir kritis, inovatif, dan dialog
interdisiplin ilmu.
2. Gereja harus mampu memahami transformasi kebudayaan yang berkembang
dalam IPTEK.
3. Gereja mau memandang positif terhadap dunia dan kemajuan IPTEK.
4. Memahami dan mengerti etika dalam penggunaan IPTEK.

94
5. Gereja menyadari bahwa penggunaan IPTEK untuk kemajuan holistik
kemanusiaan.
6. IPTEK sebagai media untuk memanusiakan manusia.

Selain itu juga ada beberapa nilai kunci yang dapat dijadikan pedoman untuk
memiliki hikmat dalam memanfaatkan perkembangan IPTEK itu sendiri, yaitu:

1. Hidup terarah pada orang lain & masyarakat


2. Hasrat berbuat lebih
3. Keunggulan
4. Keutamaan: keberanian, keadilan, kemurahan hati, persahabatan, kejujuran,
dst.
5. Menghidupi dilema dan tegangan nilai-nilai moral
6. Seni membuat pilihan atas dilema-dilema moral

Sumbangsih Artificial Intelligence terhadap teknologi pembelajaran


Berkat penemuan teknologi Artificial Inteligence, maka teknologi dan
informatika mengalami kemajuan yang sangat pesat dan hal ini juga memberikan
dampak yang besar pada dunia pendidikan. Saat ini, perkembangan Teknologi dan
Informasi Komputer (TIK) dapat dipergunakan sebagai media dalam pembelajaran
peserta didik. Teknologi ini menawarkan pembelajaran yang variatif dan menarik
bagi para nara didik. Harapannya bahwa dengan media pembelajaran yang variatif,
kreatif dan menarik diharapkan dapat berkoleratif secara langsung bagi peningkatan
kreativitas, keaktifan nara didik yang terlihat pada hasil belajarnya. Pemamfaatan
teknologi sebagai media pada pembelajaran dapat menolong para guru sebagai
pendidik akan keterbatasannya pada penyampaian informasi maupun keterbatasan
ruang ruang dan waktu pembelajaran. Lewat teknologi, kapan pun dan dimanapun
nara didik dapat belajar. Media pembelajaran dapat dibuat dan dirancang sesuai
dengan perkembangan teknologi saat ini, diantaranya dikolaborasikan dengan
memanfaatkan smartphone atau yang dikenal dengan istilah mobile learning
(Khomarudin & Efriyanti, 2018, pp. 72–87). Beragam sumbangsih dari artificial
intelligence terhadap teknologi pembelajaran. Penelitian (Putri et al., 2020)
menunjukkan bahwa kedekatan generasi Z terhadap teknologi sangat mewarnai
dalam segala aspek kehidupan mereka, termasuk dalam proses belajar-mengajar.
Oleh karena itu, pengembangan sebuah media pembelajaran berbasis teknologi
dapat mendukung guru dalam mengajar siswa yang juga adalah generasi Z.
Teknologi kecerdasan buatan yang digunakan menghasilkan keuntungan yang
dapat diperoleh dalam pengimplementasiannya di dalam kelas. Salah satu contoh

95
lainnya tentang sumbangan teknologi kecerdasan buatan dalam teknologi
pembelajaran adalah game edukasi dalam pembelajaran bahasa inggris (Yunanto,
2017). Aplikasi duolingo sebagai game edukasi mampu mengajarkan setiap anak
berbagai bahasa yang ia pilih. Saat ini, banyak aplikasi-aplikasi game edukasi
dikembangkan seperti Khan Academy Kids, Quick Brain, Puzzle Kids, Animal
Shapes Jigsaw Puzzle sebagai media pembelajaran yang menarik (Yasin, 2021). Dari
aplikasi-aplikasi game tersebut, anak dapat belajar bahasa, belajar membaca, belajar
matematika, bahkan keterampilan memecahkan masalah dan pengembangan
motoric. Penjelasan ini sangat membuktikan bagaimana mamfaat teknologi Artificial
Intelligence dalam pengembangan teknologi pembelajaran yang sangat bermamfaat
bagi guru sebagai pendidik maupun para nara didik.

Implikasi Artificial Intelligence pada praktik pembelajaran pendidikan Agama


Kristen
Dari penjelasan di atas jelaslah bagaimana teknologi kecerdasan buatan telah
melahirkan berbagai fungsi yang berguna untuk pembelajaran. Kecerdasan buatan
dapat diintegrasikan dan membawa manfaat nyata bagi dunia pendidikan, seperti
aplikasi pembelajaran berbasis komputer yang menjalankan tugas manajemen
waktu, manajemen kelas, dan penilaian ujian. Keuntungan utama kecerdasan buatan
dalam proses pendidikan adalah bagaimana komputer dapat menyajikan simulasi
situasi sosial untuk membuat lingkungan belajar menjadi efektif dan menarik. Jika
pembelajaran lebih efektif, maka dengan sendirinya akan mempengaruhi outcome
atau hasil belajar. Teknologi pembelajaran berbasis AI ini juga harus dimanfaatkan
oleh para pendidik Kristen untuk mempersiapkan jalan mencapai tujuan PAK, yaitu
mengembangkan spiritualitas siswa. Perkembangan spiritualitas diawali dengan
berkembangnya visi atau pemahaman yang komprehensif dalam diri siswa.
Pemahaman yang komprehensif ini tercermin dalam pengetahuan. Hosea :6
"umatku akan binasa karena ketidaktahuan akan Tuhan". Pengetahuan tentang
Tuhan dibentuk oleh pengetahuan tentang Tuhan, dan pengetahuan tentang Tuhan
diserap ke dalam hati, yang pada akhirnya mengarah pada tindakan dan disebut
spiritualitas Kristen. Pendidik Kristen harus berusaha mengembangkan
pengetahuan tentang Tuhan, nilai-nilai kehidupan yang sesuai dengan kehendak
Tuhan dalam praktik pengajarannya.
Salah satu masalah utama dalam praktik pendidikan PAK di sekolah dan
gereja adalah minimnya teknologi sebagai alat pengajaran. Sedangkan pendidikan
memberikan kesempatan untuk menggunakan kemajuan sepanjang masa untuk
mencapai suatu tujuan pendidikan yaitu membentuk manusia yang sempurna

96
untuk menghadapi zamannya. Selain itu, pembelajaran abad 21 menawarkan
perubahan nyata dalam dunia pendidikan, dimana pembelajaran tidak lagi berfokus
pada hasil yang dicapai, tetapi pada proses pembelajaran itu sendiri yang
berkorelasi langsung dengan hasil pembelajaran (Tjandra, 2020). Pemanfaatan
teknologi dalam pembelajaran sudah menjadi hal yang sangat diperlukan (Ratung
dan Boiliu, 2020). Profesionalisme guru PAK di era ini menentukan penguasaan
keterampilan abad 21 mereka. Guru PAK profesional memiliki kemampuan berpikir
kritis, kreatif, inovatif, kolaboratif dan digital. Sebagai perbandingan, guru
profesional era 5.0 tahu bagaimana menggunakan berbagai teknologi untuk
meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa (Pujiono, 2021). Banyak
penelitian menyimpulkan bahwa penggunaan teknologi sebagai alat pembelajaran
sangat mempengaruhi hasil belajar.

Tugas Akhir

Forum Diskusi

Silahkan saksikan tayangan video dengan judul “Robot Sophia Berkunjung ke


Indonesia” yang terdapat pada link berikut ini
:https://www.google.com/search?q=sofia+robot+canggih&rlz=1C1GCEA_enID994
ID994&oq=sofia+robot+canggih&aqs=chrome..69i57j33i10i160.9484j0j4&sourceid=ch
rome&ie=UTF-8#fpstate=ive&vld=cid:8501a1d8,vid:Z1tPnniMw70 .

Setelah menyaksikannya, silahkan diskusikan beberapa pertanyaan berikut ini:


1. Apa yang anda pahami tentang teknologi AI? Dan apakah anda pernah
menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari anda?
2. Menurut anda sejauh mana teknologi AI ini berguna bagi kehidupan
manusia? Berikan alasannya.
3. Menurut anda Sophia ini akan menjadi peluang atau ancaman bagi manusia?
serta berikan alasan saudara.
4. Nilai-nilai Kristiani apa yang perlu diajarkan pada generasi muda dalam
menghadapi perkembangan IPTEK kedepannya? Dan mengapa?
5. Bagaimana sikap gereja yang perlu dikembangkan guna menjamin
terwujudnya manfaat etis AI?

97
Daftar Pustaka

Boddington, Paula. (2017). Towards A Code of Ethics for Artificial Intelligence. Cham,
Switzerland: Springer.
Ekmekci, Perihan Elif & Berna Arda (2020). Artificial Intelligence and Bioethics. Cham,
Switzerland: Springer.
Floridi, Luciano. (Ed.) (2021). Ethics, Governance, and Policies in Artificial Intelligence.
Cham, Switzerland: Springer.
G. N.Stanton,(2004) Jesus of Nazareth in New Testament Preaching, Cambridge
University Press, Cambridge
Gary R. Habermas, (1996) The Historical Jesus: Ancient Evidence for the Life of Christ,
College Press, Joplin-USA
Herulono Murtopo, (2004) Beriman di Arus Jaman, Indiepublishing, Depok
Gunkel, David J. (2012). The Machine Question. Critical Perspectives on AI, Robots, and
Ethics. Cambridge, MA: The MIT Press.
Liao, S. Matthew (Ed.) (2020). Ethics of Artificial Intelligence. Oxford, UK: Oxford
University Press.
Lin, Patrick, Ryan Jenkins, & Keith Abney (Eds.) (2017). Robot Ethics 2.0. From
Autonomous Cars to Artificial Intelligence. Oxford, UK: Oxford University Pess.
McCarthy, John. (2007). What Is Artificial Intelligence?. California: Stanford Unifersity.
Paterson, Robert M. (2011) Tafsiran Alkitab: Kitab Keluaran, Jakarta: BPK Gunung
Mulia.
Rinaldi, Munardi. (2004). Strategi Algoritmik. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Stahl, Bern Carsten (2020). Artificial Intelligence for a Better Future. An Ecosystem
Perspective on the Ethics of AI and Emerging Digital Technologies. Cham,
Switzerland: Springer.
Thompson, Steven John (2021). Machine Law, Ethics, and Morality in the Age of
Artificial Intelligence. Hershey, PA: IGI Global.
Walsh, Toby (2018). 2062 The World That AI Made. Carlton, VIC: La Trobe University
Press.
inews.id. Sophia, Robot Cerdas yang Bakal 'Gantikan' Manusia Mulai Diproduksi Massal
Tahun Ini (https://www.inews.id/news/internasional/sophia-robot-cerdas-yang-
bakal-gantikan-manusia-mulai-diproduksi-massal-tahun-ini) pada tanggal 23
Desember 2022

98
GLOSARIUM

• Artificial Intelligence pada dasarnya adalah entitas buatan atau hasil ciptaan
manusia, semacam mesin komputer cerdas, yang berdasarkan mega data
yang disimpan dan diolah secara algoritmik menjadi informasi baru; AI
adalah mesin cerdas yang mampu “berpikir,” dan “belajar secara mandiri”
berdasarkan asupan data yang telah dimasukkan, mampu “memperoleh dan
menggunakan pengetahuan” dan yang mampu menghasilkan “perilaku”
tertentu.
• Sophia, sebuah robot humanoid yang dikembangkan oleh perusahaan
berbasis di Hong Kong, Hanson Robotics. Robot tersebut dirancang untuk
memberikan jawaban berbagai pertanyaan dan telah "diwawancara" di
seluruh dunia. Pada Oktober 2017, robot tersebut menjadi warga negara Arab
Saudi. Sophia adalah robot pertama yang meraih kewarganegaraan dari
sebuah negara.

99

Anda mungkin juga menyukai