Deskripsi Umum
Dalam Modul ini anda kami ajak untuk mempelajari materi tentang Gereja.
Selaras dengan capaian pembelajaran yang perlu dimiliki oleh guru Pendidikan
Agama Kristen di sekolah. Modul ini bertujuan agar anda menguasai pola pikir dan
struktur keilmuan serta materi ajar PAK dengan perspektif Alkitabiah yang
menumbuhkan pengalaman, membangun hubungan, dan mendorong partisipasi dengan
berkategori advance materials secara bermakna yang dapat menjelaskan aspek “apa”
(konten), “mengapa” (filosofi), dan “bagaimana” (penerapan) dalam kehidupan
sehari-hari. Secara rinci setelah mempelajari materi dalam modul ini, diharapkan
anda dapat:
Petunjuk Penugasan:
76
Capaian Pembelajaran
Menguasai pola pikir dan struktur keilmuan serta materi ajar PAK dengan
perspektif Alkitabiah yang menumbuhkan pengalaman, membangun hubungan dan
mendorong partisipasi dengan kategori advance materials secara bermakna yang
dapat menjelaskan aspek apa (konten) mengapa (filosofis) dan bagaimana
(penerapan) dalam konteks hidup sehari-hari
Sub Capaian Pembelajaran
Kecerdasan Buatan
(AI)
77
Uraian Materi
27Diunduh dari inews.id pada tanggal 23 Desember 2022 dengan judul Sophia, Robot Cerdas yang
Bakal 'Gantikan' Manusia Mulai Diproduksi Massal Tahun Ini
(https://www.inews.id/news/internasional/sophia-robot-cerdas-yang-bakal-gantikan-manusia-
mulai-diproduksi-massal-tahun-ini)
78
menghasilkan “perilaku” tertentu.28 Kata “artificial” tidak dimaksudkan sebagai
suatu yang bersifat semu atau tidak asli, melainkan suatu yang tidak tumbuh secara
alami, karena merupakan hasil karya cipta kecerdasan manusia.
Berbeda dengan artefak lain hasil karya cipta manusia sebelumnya, yang
fungsi atau cara beroperasinya masih berada dalam rentang kendali dan dapat
diprediksikan sepenuhnya oleh manusia, AI yang sudah bersifat lanjut, memiliki
unsur kreatif, acak, dan dapat “belajar” secara mandiri, serta mampu “mengoreksi
dan menyempurnakan diri”; bahkan sebagaimana mengejawantah dalam robot
humanoid yang dapat berkomunikasi dengan manusia, AI seperti memiliki
“kesadaran dan dapat merasa,” karena ia dapat bereaksi seperti manusia.
Penggunaan AI dalam teknologi robotic dapat menggantikan peran manusia dalam
berbagai kegiatan, bahkan mampu melakukan lebih cepat dan tepat banyak hal yang
tidak dapat dilakukan oleh manusia sendiri, entah karena jenis kerjanya dapat
membahayakan keselamatan manusia atau terlalu sulit terjangkau oleh tubuh
manusia, terlalu rumit, atau pun terlalu mekanis dan membosankan sifatnya untuk
dikerjakan oleh manusia.
Bern C. Stahl sendiri, dalam bukunya yang berjudul Artificial Intelligence
for a Better Future. An Ecosystem Perspective on Ethics of AI and Emerging Digital
Technologies, memberi penjelasan tentang pengertian AI, terkait maksud
penggunaannya, dalam tiga kategori, yakni (1) Pembelajaran Mesin atau Artificial
Intelligence dalam arti sempit (Machine Learning – Narrow AI), (2) AI Umum (General
AI – Strong Artificial Intelligence) dan (3) Sistem-Sistem Sosio-Teknis Yang Terpadu
(Converging Socio-Technical Systems). Masing-masing kategori tersebut memiliki
persoalan dan keprihatinan etis tersendiri.
Artificial intelligence menurut John McCarthy merupakan suatu ilmu dan teknik
dalam menciptakan mesin yang bersifat cerdas, terutama dalam menciptakan
program atau aplikasi komputer cerdas. Artificial Intelligence adalah suatu langkah
untuk menciptakan komputer, robot, atau aplikasi atau program yang bekerja secara
cerdas, layaknya seperti manusia29.
Menurut Munardi Rinaldi, Artificial Intelligence ialah perpaduan ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam pembuatan mesin pintar, khususnya program
komputer pintar.30 Artificial Intelligence berhubungan dengan tugas yang serupa
dalam menggunakan komputer untuk memahami kecerdasan manusia, tetapi
28 Bern Carsten Stahl. Artificial Intelligence for a Better Future. An Ecosystem Perspective on Ethics of AI
and Emerging Digital Technologies. Leicester, UK: Springer, 2020. Selanjutnya disingkat AIBF
29 John, McCarthy. What Is Artificial Intelligence?. California: Stanford Unifersity, 2007, hlm. 3
30 Munardi, Rinaldi. Strategi Algoritmik. Bandung: Institut Teknologi Bandung, 2004, hlm. 4
79
Artificial Intelligence tidak memiliki batasan tersendiri dalam metode-metode yang
tampak secara alamiah. Karena Artificial Intelligence tidak memiliki batasan
tersendiri atau dengan kata lain tidak bertidak secara alamiah atau insting tapi
Artificial Intelligence membutuhkan sebuah kecerdasan buatan yang diterapkan oleh
si pembuat program.
Dengan kata lain kecerdasan buatan Artificial Intelligence merupakan sistem
komputer yang bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan yang umumnya memerlukan tenaga
manusia atau kecerdasan manusia untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Kecerdasan
buatan Artificial Intelligence sendiri merupakan teknologi yang memerlukan data untuk
dijadikan pengetahuan, sama seperti manusia. Kecerdasan buatan Artificial Intelligence
membutuhkan pengalaman dan data supaya kecerdasannya bisa lebih baik lagi. Poin
penting dalam proses kecerdasan buatan Artificial Intelligence adalah learning, reasoning
dan self correction. Kecerdasan buatan Artificial Intelligence perlu belajar untuk memperkaya
pengetahuannya. Proses belajar kecerdasan buatan Artificial Intelligence pun tidak selalu
disuruh oleh manusia, melainkan Artificial Intelligence akan belajar dengan sendirinya
berdasarkan pengalaman Artificial Intelligence saat digunakan oleh manusia. Hal yang
cukup menarik dari Artificial Intelligence adalah ia mampu melakukan self correction atau
mengoreksi diri sendiri. Jika anda pernah mendengar ungkapan Artificial Intelligence “Jika
aku tidak pernah menang, maka setidaknya aku tidak boleh kalah” sedikit ngeri juga yah.
Artificial Intelligence memang diprogram untuk itu terus belajar dan membenahi diri
sendiri dari kesalahan yang pernah dibuatnya.
80
Teknologi berbasis Kecerdasan Buatan Artificial Intelligence memang telah banyak
dikembangkan dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Namun dalam perkembangan
penggunaannya, kecerdasan buatan Artificial Intelligence memiliki tantangan dalam
berbagai persoalan etis serta ada tiga keprihatinan etis yang patut kita cermati. Pada bagian
ini, saya akan mencoba membahasnya bagi kita semua.
Pertama, keprihatinan etis terkait dengan tujuan atau untuk apa kita
menggunakan kecerdasan buatan. Pertanyaan ini muncul karena Artificial
Intelligence, sebagaimana produk teknologi yang lain, dapat digunakan untuk suatu
tujuan yang baik, tetapi juga dapat digunakan untuk tujuan yang buruk. Misalnya,
dalam dunia kedokteran, Artificial Intelligence dapat dipakai untuk membantu para
dokter melakukan diagnosis penyakit dengan cepat dan tepat dengan memindai
tubuh pasien yang cedera di bagian dalam akibat kecelakaan, tetapi teknologi yang
sama dalam bentuk Artificial Intelligence pemindai wajah orang, juga dapat dipakai
untuk menentukan target pengeboman secara lebih tepat sasaran atau memantau
perilaku para pengendara mobil di jalanan dan mengenali wajah orang yang mau
dijadikan target kejahatan.
Keprihatinan etis kedua terkait dengan siapa yang punya akses terhadap
Artificial Intelligence dan bagaimana mengakses, karena Artificial Intelligence
menuntut adanya mesin yang dapat bekerja lebih cepat dan lebih besar yang hanya
dapat diakses oleh perusahaan teknologi digital modal besar, seperti: IBM, Apple,
Android, Google, Microsoft, Facebook, Amazon, dan sebagainya. Dengan demikian apa
yang dapat kita lakukan sudah ditentukan oleh sekelompok elit yang punya akses
tersebut karena algoritma di balik mekanisme kerja Artificial Intelligence sering sudah
ditentukan oleh mereka serta berada di luar jangkauan kendali para individu
pemakai gawai elektronik yang mereka ciptakan. Sebagai makhluk yang rasional
dan bebas, manusia sesungguhnya ingin ikut menentukan pilihan tindakannya,
tetapi dalam banyak hal pilihan tindakan kita sudah ditentukan oleh mekanisme
kerja algoritma dalam gawai elektronik yang kita gunakan. Dengan kata lain,
Artificial Intelligence membatasi otonomi para penggunanya.
Keprihatinan etis ketiga terkait dengan gagasan dan sistem nilai yang ada
di balik mekanisme kerja Artificial Intelligence. Gagasan dan sistem nilai tersebut
dapat tidak sesuai dengan gagasan dan sistem nilai yang kita yakini, dan dapat jatuh
dalam berbagai bias, entah bias gender atau etnik, karena data besar yang
dimasukkan ke dalam mesin Artificial Intelligence dan diolah menjadi informasi baru,
dapat saja sudah memuat bias-bias tersebut. Kita menghendaki mesin itu bekerja
seperti kita maui berdasarkan sistem nilai kita yang menjunjung tinggi keadilan atau
tidak diskriminatif, tetapi kalau asupan (input) data yang sudah dimasukkan ke
81
dalam mesin itu sudah bias, maka luaran (output) kinerja mesin tersebut juga bersifat
bias.
(3) Tuntutan adanya “maha data” (‘Big Data’ Requirement): Sistem pembelajaran
mesin dalam bentuknya yang sekarang menuntut adanya “maha data” untuk
diproses dan kemampuan komputer yang signifikan untuk membuat model.
Untuk ini perusahaan-perusahaan teknologi digital modal besar sering
memanen data pelanggan dan digunakan untuk kepentingan mereka sendiri
tanpa persetujuan pelanggan.
82
mengakibatkan kurangnya atau bahkan hilangnya privasi, dan juga ada
kemungkinan penyalahgunaan data pribadi kita, baik oleh penyelenggara aplikasi
maupun oleh mereka yang dapat mengakses data pribadi kita dan bermaksud jahat
terhadap kita. Dengan demikian keamanan data pribadi kita yang tersimpan dalam
Artificial Intelligence model pembelajaran mesin sesungguhnya kurang terjamin.
Artificial Intelligence jenis pembelajaran mesin itu membutuhkan banyak data
untuk dapat berfungsi dengan baik. Misalnya algoritma pembelajaran mesin yang
tersupervisi, agar dapat melakukan prediksi dengan baik, maka diperlukan banyak
data yang berkualitas dan sesuai dengan maksud penggunaanya. Hal ini
menyebabkan beberapa perusahaan penyelenggara aplikasi atau organisasi
penganalisis data sering rakus dalam memanen data pengguna, termasuk data
pribadi yang melanggar prinsip privasi. Matthew Liao, misalnya dalam buku Ethics
of Artificial Intelligence32 menyebutkan kasus yang terjadi 2015 ketika Facebook
membocorkan data-data para penggunanya di Amerika Serikat, dan oleh Cambridge
Analytica, sebuah perusahaan penganalisis data, tanpa sepengetahuan pengguna
Facebook, dipakai secara politis untuk memanipulasi proses pemilihan presiden di
sana 2016 yang kemudian dimenangkan oleh Donald Trump.
Terkait persoalan keandalan penggunaan Artificial Intelligence, pembelajaran
mesin, hal itu ada hubungannya dengan kualitas dan ketepatan data yang
dimasukkan ke dalam mesin serta integritas pemogram mesin. Pembelajaran mesin
hanya dapat bekerja baik kalau kualitas data yang dimasukkan untuk proses
pembelajarannya adalah data yang memadai dan tepat untuk maksud penggunaan
mesin tersebut. Kalau algoritma pembelajaran mesin dilatih dengan data yang tidak
memadai dan tidak akurat, maka prediksi yang dibuatnya juga akan tidak memadai
dan tidak akurat. Matthew Liao menyebutnya sebagai “Garbage In/Garbage Out.”
Sebagai contoh, ia menyebut kasus 2015 ketika Google Photo melabeli foto diri
Jackie Alcine, seorang pengembang perangkat lunak berkulit hitam atau keturunan
Afro-Amerika, dan teman-temannya sebagai “gorilla” karena algoritma dalam
mesin untuk pengenalan wajah dalam Google Photo hanya dibekali dengan data-
data gambar wajah yang tidak memadai dengan tidak menyediakan data gambar
wajah dari berbagai macam latar belakang rasial dan etnik. Persoalan ketiga Artificial
Intelligence. Pembelajaran Mesin, yakni tentang persoalan transparensi, terkait
dengan apa yang sebelumnya sudah disebut sebagai masalah tak tembus pandang
atau kekaburan (opacity). Algoritma pembelajaran mesin dan jejaring sistemnya itu
rumit, dan mekanisme kerja di dalamnya sulit dipahami, bahkan oleh para pakar.
Maka proses dan mekanisme kerja Artificial Intelligence, khususnya bagi para
32 Matthew Liao, Ethics of Artificial Intelligence. Oxford: Oxford University Press, 2020, h. 6.
83
penggunanya tidak transparen atau bersifat tersembunyi. Dampaknya adalah
pengguna hanya mengikuti saja pilihan tindakan yang secara algoritmik sudah
distrukturkan oleh mesin Artificial Intelligence yang ia gunakan.
33 Ibid. h. 42.
84
kemungkinan yang secara algoritmik dapat diprogram. Mana yang secara etis perlu
dipilih? Jawabannya bisa sangat dilematis, tetapi tetap harus dipilih dalam program.
Misalkan, pertama guna menyelamatkan penumpang di dalam mobil, mesin mobil
diprogram secara otomatis untuk rem mendadak dan berbelok ke kanan atau ke kiri
(tergantung dari sistem lalu lintas yang berlaku setempat) dan masuk trotoar. Tetapi
di trotoar bisa jadi ada rombongan pejalan kaki yang akan tertabrak. Bisa juga
diprogram sedemikian rupa sehingga orang yang menyeberang jalan saat lampu
lalu lintas masih hijau ditabrak saja, yang penting penumpang selamat. Siapa yang
harus bertanggung jawab atas kematian korban: apakah penumpang yang ada di
dalam mobil, atau pemilik mobil, atau perusahaan penjual mobil, atau pabrik
pembuat mobil itu? Juga kalau mesin pemindai wajah yang dalam input datanya
mengandung bias etnik tertentu, sehingga ketika digunakan, wajah orang dari etnik
tertentu selalu terdiskriminasikan, maka penggunaan AI dalam kategori sistem
sosio-teknis jelas mengandung dimensi etis yang layak diperhatikan karena bersifat
diskiriminatif.
Artificial Intelligence (AI) dalam kategori sistem sosio-teknis juga secara teknis-
algoritmik telah menstrukturkan ruang pilihan tindakan manusia yang tak lagi
sepenuhnya ada dalam kendali diri penggunanya. Kendati Artificial Intelligence tidak
secara langsung memerintahkan manusia penggunanya untuk melakukan ini atau
itu, namun telah menciptakan kondisi yang menentukan pilihan tindakan mana
yang dapat diambil, yang kadang konsekuensinya tidak selalu dapat dipahami oleh
pengguna. Ketika manusia pengguna Artificial Intelligence tidak menyadari
penstrukturan pilihan tindakan tersebut, hal itu dapat dimengerti sebagai semacam
manipulasi tersembunyi terhadap pilihan tindakan manusia.
Mengenai persolan manipulasi, Artificial Intelligence dalam kategori sistem
sosio-teknis yang terpadu secara mekanis-algoritmik telah menstrukturkan pilihan
tindakan manusia yang sering tidak disadari oleh manusia penggunanya, sehingga
Artificial Intelligence dapat dikatakan secara tersembunyi memanipulasi pilihan
tindakan manusia. Sehubungan dengan dampak sosial penggunaan Artificial
Intelligence dalam kategori sistem sosio-teknis yang terpadu, akibat-akibat yang
ditimbulkan pada individu atau pun masyarakat penggunanya, dapat sangat berarti
dari sisi kemanusiaan. Hal itu misalnya tercermin dalam penggunaan Artificial
Intelligence sistem sosio-teknis terpadu yang berakibat diskriminasi terhadap
kelompok orang tertentu karena bias suku, agama, warna kulit, jenis kelamin, dan
sebagainya.
85
Persoalan etis lainnya yang terkait dengan Artificial Intelligence dalam kategori
Sistem Sosio-Teknis Terpadu, Stahl34 yang menempatkannya dalam konteks
persoalan hidup dalam dunia digital masa kini, juga menyebutkan beberapa
persoalan etis sebagai berikut:
2) Persoalan keadilan & kewajaran (justice & fairness), seperti: a. kepemilikan data
yang diperdebatkan (penyahgunaan data pribadi/pelanggaran privasi); b.
dampak negatif untuk sistem peradilan (penggunaan mesin Artificial Intelligence
oleh hakim untuk pembuatan vonis siapa yang dapat dibebaskan dan siapa
yang bersalah dan harus dihukum serta berapa lama hukumannya); c.
kurangnya akses ke pelayanan publik yang sudah menggunakan sistem Artificial
Intelligence (misalnya berbagai aplikasi elektronik yang disediakan
Kemendikbud di Indonesia saat ini belum dapat diakses dan digunakan oleh
lembaga pendidikan yang masih kesulitan mengakses jaringan internet); d.
pelanggaran hak asasi manusia dari para korban yang terdiskriminasi oleh bias
kinerja Artificial Intelligence yang digunakan untuk menyaring; e. dampak negatif
bagi kelompok rentan yang harus menanggung diskriminasi akibat bias kinerja
Artificial Intelligence.
34 Ibid. h. 49.
86
Beberapa persolan kemasyarakatan yang lebih luas:
a. Relasi kuasa yang tidak seimbang, karena kelompok kaya yang punya akses
dan mampu membeli serta menggunakan Artificial Intelligence dengan
sendirinya memiliki akses informasi lebih banyak dan dapat memanipulasi
opini publik:
a. Asimetri kekuasaan sebagai akibat dari relasi kuasa yang tidak seimbang:
nasib banyak orang ditentukan oleh segelintir orang yang punya akses dan
mampu membeli serta menggunakan Artificial Intelligence yang bersifat
sistem sosio-teknik yang terpadu.
e. Dampak negatif bagi kesehatan mental anak yang kecanduan gawai atau
piranti elektronik yang membuat dirinya terasing dari dunia nyata dalam
87
relasi antar pribadi yang dapat memperkaya wawasan hidupnya, misalnya
karena ia asyik dengan permainan elektronik yang dikendalikan oleh sistem
Artificial Intelligence.
88
diambil alih oleh Artificial Intelligence, tetapi juga dapat menciptakan lapangan kerja
baru yang sebelumnya tidak ada.
Artificial Intelligence memberikan beberapa kemampuan teknis yang secara etis
bernilai seperti kemampuan untuk menganalisis banyak data berikut sumbernya
yang tidak dapat dilakukan oleh manusia untuk langsung memprosesnya tanpa
bantuan Artificial Intelligence. Artificial Intelligence juga dapat menghubungan data,
menemukan pola, dan menghasilkan luaran (outputs) yang bersifat lintas ranah
bidang kajian dan lintas batas geografis. Artificial Intelligence juga dapat lebih
konsisten dibandingkan manusia dan dapat cepat beradaptasi dengan perubahan.
Artificial Intelligence dalam bentuk teknologi robotik dapat membebaskan manusia
dari pekerjaan yang berbahaya dan yang membosankan untuk dikerjakan, karena
melulu mekanis dan mengulang hal yang sama.
Selain manfaat etis berdasarkan kemampuan teknis yang secara etis bernilai
seperti disebutkan di atas, Stahl juga menyebutkan bahwa dewasa ini semakin
banyak upaya diambil untuk menggunakan Artificial Intelligence bagi tujuan yang
bersifat etis.37 Hal itu misalnya tercermin dari proyek Artificial Intelligence untuk
kebaikan (AI for Good). Kendati dalam masyarakat modern yang semakin majemuk
ada banyak pandangan tentang apa yang dipandang baik atau bernilai, namun
secara umum ada nilai-nilai yang kurang lebih dapat disepakati bersama dan dapat
dipakai sebagai pegangan untuk pengembangan Artificial Intelligence untuk
kebaikan, misalnya Artificial Intelligence yang menunjang sikap baik (benevolence),
Artificial Intelligence yang menunjang keamanan (security), Artificial Intelligence yang
menunjang peningkatan prestasi kerja manusia (achievement) dan pengarahan-diri
(self-direction). Juga penggunaan Artificial Intelligence untuk menunjang tercapainya
tujuan-tujuan pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development Goals) dan
yang menunjang perwujudan hak asasi manusia. Paula Boddington, dalam bukunya
berjudul Towards A Code of Ethics for Artificial Intelligence 38, juga menyebutkan
adanya cukup banyak upaya pengembangan dan penggunaan Artificial Intelligence
yang lebih memperhatikan nilai-nilai etis, termasuk memasukkan dimensi etis
dalam pemograman mesin Artificial Intelligence agar Artificial Intelligence dapat lebih
lebih banyak mendatangkan manfaat bagi kehidupan manusia yang lebih baik.39
Sebelum secara singkat menjelaskan lima prinsip etis sebagai sebuah kerangka
terpadu dalam menciptakan teknologi Artificial Intelligence yang dapat bermanfaat
37 Ibid. h. 36
38 Paula Boddington, Towards A Code of Ethics for Artificial Intelligence. Cham, Switzerland: Springer,
2017, p.3-4; 5-7.
39 Bagian pertama yang berjudul “Building Ethics into Machines” dalam buku yang disunting oleh S.
Matthew Liao berjudul Ethics of Artificial Intelligence. Oxford, UK: Oxford University Press, 2020, h. 45-
78. membahas tentang bagaimana kita dapat dan seharusnya membangun etika dalam AI.
89
bagi kemanusiaan, sebagaimana dikemukakan oleh Luciano Floridi dan Josh Cowls
berjudul “A Unified Framework of Five Principles for Ethical Artificial Intelligence” dalam
buku yang disunting L. Floridi berjudul Ethics, Governance, and Policies in Artificial
Intelligence,40 kiranya baik untuk kita sadari bersama bahwa berbagai upaya, baik itu
dalam bentuk merumuskan kode etik untuk Artificial Intelligence, prinsip-prinsip etis
untuk Artificial Intelligence merumuskan aturan dan regulasi yang yang perlu
diperhatikan dan dipatuhi dalam pengembangan dan penggunaan Artificial
Intelligence, jelas mengandaikan keterlibatan dan komitmen dari berbagai pihak
dalam sebuah kerjasama, baik lokal, nasional, regional, maupun internasional. Pada
level lokal, misalnya perlunya. Kerjasama di antara para ahli di pusat-pusat studi
dan pengembangan Artificial Intelligence pada level nasional atau regional (seperti
Uni Eropa),dalam bentuk undang-undang dan peraturan yang diberlakukan dalam
suatu wilayah negara, maupun pada level internasional (seperti pada lingkup PBB,
OECD) dalam bentuk hukum internasional demi masa depan yang lebih baik bagi
umat manusia dan kelestarian alam ciptaan.
40Luciano Floridi (Ed.) Ethics, Governance, and Policies in Artificial Intelligence. Cham, Switzerland:
Springer, 2021: h. 8-16.
90
terkait dengan terjadinya pelanggaran atas privacy, terciptanya ketidakamanan
karena perlombaan senjata, kurangnya sikap hati-hati dan kurang bertanggung
jawab dalam meningkatkan kemampuan Artificial Intelligence sedemikian rupa,
sehingga kinerja Artificial Intelligence lebih merupakan ancaman bagi manusia
daripada bermanfaat untuk meningkatkan kemampuannya. Juga kemampuan untuk
menyakiti, menghancurkan, dan menipu tidak boleh secara sengaja diprogramkan
dalam Artificial Intelligence, sedemikian rupa sehingga kinerjanya berdampak negatif
pada kehidupan bersama manusia. Dalam hal ini, misalnya penggunaan piranti bots
yang sengaja diprogram secara algoritmik melipatgandakan informasi yang
menyesatkan atau yang menciptakan konflik sosial, kebencian, dan tindak terorisme,
jelas secara etis tidak dapat dibenarkan dan secara hukum perlu ditindak serta
dikenai sanksi.
3. Prinsip Otonomi:
Prinsip tidak melakukan yang buruk juga bisa dilanggar apabila
pengembangan dan penggunaan Artificial Intelligence membuat manusia kehilangan
otonominya. Memang, ketika kita mengadopsi Artificial Intelligence dengan
kepelakuannya yang cerdas, kita sengaja menyerahkan sebagian kemampuan kita
untuk menentukan diri pada teknologi buatan manusia. Maka menghindari
hilangnya otonomi manusia di sini berarti menjaga keseimbangan antara
kemampuan untuk menentukan diri yang masih dipegang manusia sendiri dan
yang didelegasikan pada Artificial Intelligence. Misalnya, kewenangan untuk
menentukan standar dan norma yang diberlakukan haruslah tetap dipegang
manusia. Apa yang didelegasikan pada mesin cerdas demi efisiensi haruslah tetap
menjadi kewenangan manusia untuk menentukan.
91
mempromosikan keadilan dan menghindari segala bentuk diskriminasi.”41
Kemudian European Group on Ethics menegaskan bahwa Artificial Intelligence“
haruslah menyumbang pada keadilan global dan akses yang setara bagi
kebermanfaatan teknologi Artificial Intelligence”42 Lembaga itu juga memperingatkan
agar dihindari risiko memasukkan data yang bersifat bias dalam sistem Artificial
Intelligence dan yang mengancam nilai solidaritas termasuk sistem yang saling
membantu seperti dalam program untuk asuransi dan jaminan kesehatan. Prinsip
keadilan pada dasarnya mau mempromosikan kemakmuran bersama, merawat
solidaritas sosial, dan menghindari ketidakadilan.
41 Ibid. h. 11.
42 Ibid. h. 11-12.
43 Ibid. h. 12
92
G. Sikap dan Tanggungjawab Gereja Terhadap Perkembangan IPTEKS
Amsal 1:5 berbunyi, “Baiklah orang bijak mendengar dan menambah ilmu dan
baiklah orang yang berpengertian memperoleh bahan pertimbangan”. Berdasarkan
ayat tersebut dapat diartikan bahwa Allah menghendaki manusia untuk terus
menimba ilmu dan mencari pengertian. Allah ingin manusia terus mengembangkan
dirinya, tetapi bukan untuk kebanggaan dirinya melainkan untuk memuliakan
Tuhan. Tujuan dikembangkannya IPTEK secara implisit dapat kita lihat dalam
Keluaran 35:30 - 36:1. Bagian Alkitab ini mencatat bahwa Allah menunjuk orang-
orang yang telah dipilihnya untuk membuat segala keperluan membangun Bait
Allah. Kemudian Allah memperlengkapi mereka dengan segala keahlian, pengertian
dan pengetahuan dalam segala pekerjaan untuk membuat segala rancangan
pembangunan Bait Allah. Allah mengaruniakan Rohnya untuk memampukan
mereka dalam menyelesaikan pembangunan Bait Allah seperti yang difirmankan-
Nya.44 Melalui ayat ini kita tahu bahwa sumber segala pengetahuan dan keahlian
adalah Allah. Dan, semua itu dipakai untuk melakukan kehendak-Nya (Kel 36:1).
Jadi jelas dalam perspektif Alkitab bahwa Allah merupakan sumber dan tujuan dari
segala pengetahuan yang dimiliki manusia. Seperti firman Tuhan dalam Mazmur
150:6 iman Kristen meyakini bahwa memuliakan Allah melalui segala potensi yang
dikaruniai merupakan tujuan dari hidup manusia. Biarlah segala yang bernafas
memuji Tuhan!
Dalam bagian Alkitab yang lain kita juga dapat melihat bagaimana Allah
mendorong manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan
mengaplikasikannya dalam teknologi. Cerita Alkitab tentang “Bahtera Nuh”
memberikan kesaksian tentang hal tersebut. Allah memerintahkan Nuh membuat
bahtera besar untuk menyelamatkan ia dan keluarganya dari kebinasaan akibat air
bah dan kebobrokan moral dunia pada waktu itu. Dalam menjalankan tugas itu
tentu Nuh dan keluarganya harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang
baik tentang ilmu pertukangan dan perkapalan. Dan, dalam cerita tersebut
dikisahkan bahwa Allah sendirilah yang mengaruniakan pengetahuan dan
keterampilan kepada Nuh dan keluarganya. Pengetahuan dan keterampilan itu
menjadi sarana bagi keluarga Nuh untuk menerima anugerah keselamatan dari
Allah.
Kisah yang lain juga dapat kita saksikan dalam injil Matius 13:55. Kita tentu
tahu profesi Yusuf ayah Yesus. Profesi Yusuf bukan seperti perkiraan banyak orang.
Yusuf bukanlah tukang kayu biasa karena kemanapun Yesus pergi, orang-orang
44 Robert. M Paterson, Tafsiran Alkitab: Kitab Keluaran, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011, p. 458.
93
mengetahui bahwa Yesus adalah “Anak Yusuf si tukang kayu”. Artinya Yusuf
adalah seorang tukang kayu yang sangat ternama. Profesi tukang kayu saat itu sama
terpandangnya dengan seorang arsitek. Dalam bahasa Yunani digunakan istilah
tekton (tukang kayu) yang memiliki akar kata yang sama dengan kata “teknologi”
atau “teknik”. Jadi untuk menjadi seorang yang pandai dalam mengolah kayu
menjadi sesuatu yang berguna, membutuhkan pengetahuan tentang jenis kayu serta
keterampilan mengolahnya. Dari profesi yang digeluti Yusuf ini, kita dapat melihat
Allah juga memelihara umatnya melalui pengetahuan dan keterampilan yang
dimiliki seseorang. Karena melalui profesi itu, Yusuf menerima upah sebagai
imbalan dari pekerjaan yang telah dilakukannya.
94
5. Gereja menyadari bahwa penggunaan IPTEK untuk kemajuan holistik
kemanusiaan.
6. IPTEK sebagai media untuk memanusiakan manusia.
Selain itu juga ada beberapa nilai kunci yang dapat dijadikan pedoman untuk
memiliki hikmat dalam memanfaatkan perkembangan IPTEK itu sendiri, yaitu:
95
lainnya tentang sumbangan teknologi kecerdasan buatan dalam teknologi
pembelajaran adalah game edukasi dalam pembelajaran bahasa inggris (Yunanto,
2017). Aplikasi duolingo sebagai game edukasi mampu mengajarkan setiap anak
berbagai bahasa yang ia pilih. Saat ini, banyak aplikasi-aplikasi game edukasi
dikembangkan seperti Khan Academy Kids, Quick Brain, Puzzle Kids, Animal
Shapes Jigsaw Puzzle sebagai media pembelajaran yang menarik (Yasin, 2021). Dari
aplikasi-aplikasi game tersebut, anak dapat belajar bahasa, belajar membaca, belajar
matematika, bahkan keterampilan memecahkan masalah dan pengembangan
motoric. Penjelasan ini sangat membuktikan bagaimana mamfaat teknologi Artificial
Intelligence dalam pengembangan teknologi pembelajaran yang sangat bermamfaat
bagi guru sebagai pendidik maupun para nara didik.
96
untuk menghadapi zamannya. Selain itu, pembelajaran abad 21 menawarkan
perubahan nyata dalam dunia pendidikan, dimana pembelajaran tidak lagi berfokus
pada hasil yang dicapai, tetapi pada proses pembelajaran itu sendiri yang
berkorelasi langsung dengan hasil pembelajaran (Tjandra, 2020). Pemanfaatan
teknologi dalam pembelajaran sudah menjadi hal yang sangat diperlukan (Ratung
dan Boiliu, 2020). Profesionalisme guru PAK di era ini menentukan penguasaan
keterampilan abad 21 mereka. Guru PAK profesional memiliki kemampuan berpikir
kritis, kreatif, inovatif, kolaboratif dan digital. Sebagai perbandingan, guru
profesional era 5.0 tahu bagaimana menggunakan berbagai teknologi untuk
meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa (Pujiono, 2021). Banyak
penelitian menyimpulkan bahwa penggunaan teknologi sebagai alat pembelajaran
sangat mempengaruhi hasil belajar.
Tugas Akhir
Forum Diskusi
97
Daftar Pustaka
Boddington, Paula. (2017). Towards A Code of Ethics for Artificial Intelligence. Cham,
Switzerland: Springer.
Ekmekci, Perihan Elif & Berna Arda (2020). Artificial Intelligence and Bioethics. Cham,
Switzerland: Springer.
Floridi, Luciano. (Ed.) (2021). Ethics, Governance, and Policies in Artificial Intelligence.
Cham, Switzerland: Springer.
G. N.Stanton,(2004) Jesus of Nazareth in New Testament Preaching, Cambridge
University Press, Cambridge
Gary R. Habermas, (1996) The Historical Jesus: Ancient Evidence for the Life of Christ,
College Press, Joplin-USA
Herulono Murtopo, (2004) Beriman di Arus Jaman, Indiepublishing, Depok
Gunkel, David J. (2012). The Machine Question. Critical Perspectives on AI, Robots, and
Ethics. Cambridge, MA: The MIT Press.
Liao, S. Matthew (Ed.) (2020). Ethics of Artificial Intelligence. Oxford, UK: Oxford
University Press.
Lin, Patrick, Ryan Jenkins, & Keith Abney (Eds.) (2017). Robot Ethics 2.0. From
Autonomous Cars to Artificial Intelligence. Oxford, UK: Oxford University Pess.
McCarthy, John. (2007). What Is Artificial Intelligence?. California: Stanford Unifersity.
Paterson, Robert M. (2011) Tafsiran Alkitab: Kitab Keluaran, Jakarta: BPK Gunung
Mulia.
Rinaldi, Munardi. (2004). Strategi Algoritmik. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Stahl, Bern Carsten (2020). Artificial Intelligence for a Better Future. An Ecosystem
Perspective on the Ethics of AI and Emerging Digital Technologies. Cham,
Switzerland: Springer.
Thompson, Steven John (2021). Machine Law, Ethics, and Morality in the Age of
Artificial Intelligence. Hershey, PA: IGI Global.
Walsh, Toby (2018). 2062 The World That AI Made. Carlton, VIC: La Trobe University
Press.
inews.id. Sophia, Robot Cerdas yang Bakal 'Gantikan' Manusia Mulai Diproduksi Massal
Tahun Ini (https://www.inews.id/news/internasional/sophia-robot-cerdas-yang-
bakal-gantikan-manusia-mulai-diproduksi-massal-tahun-ini) pada tanggal 23
Desember 2022
98
GLOSARIUM
• Artificial Intelligence pada dasarnya adalah entitas buatan atau hasil ciptaan
manusia, semacam mesin komputer cerdas, yang berdasarkan mega data
yang disimpan dan diolah secara algoritmik menjadi informasi baru; AI
adalah mesin cerdas yang mampu “berpikir,” dan “belajar secara mandiri”
berdasarkan asupan data yang telah dimasukkan, mampu “memperoleh dan
menggunakan pengetahuan” dan yang mampu menghasilkan “perilaku”
tertentu.
• Sophia, sebuah robot humanoid yang dikembangkan oleh perusahaan
berbasis di Hong Kong, Hanson Robotics. Robot tersebut dirancang untuk
memberikan jawaban berbagai pertanyaan dan telah "diwawancara" di
seluruh dunia. Pada Oktober 2017, robot tersebut menjadi warga negara Arab
Saudi. Sophia adalah robot pertama yang meraih kewarganegaraan dari
sebuah negara.
99