Anda di halaman 1dari 16

1

KONSEP TAQLID MENURUT AHMAD HASSAN DALAM KITAB


RISALAH TAQLID DAN KH AHMAD DAHLAN PACITAN DALAM
KITAB FATH AL-MAJĪD FĪ BAYĀNI AT-TAQLĪD

Arsya Roja Munaya Shodiqin1


1
Tarbiyatul Mu’allimin Al-Islamiyah Al-Firdaus, Bandung Barat

ABSTRAK
Paper ini membahas tentang konsep taqlid menurut Ahmad Hassan dan KH
Ahmad Dahlan Pacitan, yang dianalisis dari kedua kitab tokoh tersebut, yaitu
Risalah Taqlid milik Ahmad Hassan dan Fath Al-Majīd Fī Bayāni At-Taqlīd milik
KH Ahmad Dahlan Pacitan. Tujuan dari penelitian ini tak lain agar dapat
memahami konsep taqlid secara lebih luas. Karena konsep taqlid yang ada di
tengah umat Islam ini memiliki berbagai varian pandangan, sehingga perlu adanya
penjelasan mengenai faktor dan letak perbedaan tersebut. Dalam penelitian ini
penulis menggunakan metode konten analisis guna menghasilkan analisa yang
lebih terstruktur mengenai kedua konsep taqlid tersebut yang tertuang dalam
kitabnya masing-masing. Kedua tokoh tersebut memiliki perbedaan yang sangat
mencolok dalam memandang praktek taqlid, khususnya dari segi hukum
pengamalannya. Perbedaan tersebut terjadi tak lain karena beberapa faktor yang
mempengaruhi perjalanan pemikiran masing-masing tokoh.

Kata Kunci: Taqlid; Ahmad Hassan; KH Ahmad Dahlan Pacitan.

ABSTRACT
This paper discuss about taqlid concept according to Ahmad Hassan and
KH Ahmad Dahlan Pacitan, are analyzed from two figure’s book, that Risalah
Taqlid from Ahmad Hassan and Fath Al-Majīd Fī Bayāni At-Taqlīd from KH
Ahmad Dahlan Pacitan. The purpose of this research is to understanding taqlid
concept on a deeply scale. Because taqlid concept between muslim scholar has
the various opinions, so that the writer think require the explanation about the
factor and the position of that difference. In this research the writer use the
content analysis method to produce more structural analysis about two taqlid
concept are poured on their own books. These two figures has a striking
2

difference on consider the taqlid practice, especially in the law of practice aspect.
This difference happened because of some factor influencing their intellectual
journey.

Keywords: Taqlid; Ahmad Hassan; KH Ahmad Dahlan Pacitan

PENDAHULUAN
Hukum Islam seringkali diartikan dengan syarīat Islam yang menurut
Mahmud Syaltut yang dalam Kamiludin (2006) ialah “Peraturan yang diturunkan
Allah kepada manusia agar menjadi pedoman dalam berhubungan dengan
tuhannya, sesamanya, lingkungannya, dan kehidupannya.” Adapun proses dalam
menghasilkan syariat disebut dengan istilah Tasyrī’ yang didefinisikan sebagai
“Pembentukan dan penetapan perundang-undangan yang mengatur hukum-hukum
perbuatan orang-orang mukallaf dan hal-hal yang terjadi tentang berbagai
keputusan serta peristiwa yang terjadi diantara mereka” (Khallāf, t.t).
Sejarah telah mencatat bahwasanya Tasyri' Islam ini terbagi kedalam empat
periode, dimulai dari periode Rasulullah Saw (‘Ahdi ar-rasūl ), periode sahabat
(‘Ahdi aṣ-ṣahābah ), periode penyusunan dan imam mujtahidīn (‘Ahdi at-tadwīn
wal aimmah al-mujtahidīn ), dan periode taqlid (‘Ahdi at-taqlīd).
Istilah taqlid dalam hukum Islam masih menjadi sebuah pertentangan, dimana
pada satu sisi ada yang menganjurkannya bahkan mewajibkannya, sedangkan di
sisi lain ada yang mengharamkannya. Taqlid ialah menerima perkataan orang lain
tetapi kamu tidak mengetahui darimana pendapat itu diambil. (kutip)
Ketika istilah taqlid diatas digunakan dalam penerapan hukum Islam, maka
hal itu tentu akan menyelisihi apa yang dilakukan oleh para sahabat kepada
Rasulullah dimana mereka menerima serta mengamalkan sesuatu dengan
mengetahui dalilnya dari Rasulullah. Itulah mengapa dalam perkembangan hukum
Islam muncul istilah ittibā’ sebagai solusi bagi orang awam yang tak mampu
untuk berijtihad. Ittibā’ sendiri ialah menerima pendapat orang lain dan kamu
mengetahui dari mana pendapat itu diambil. (kutip)
Adanya keberagaman pandangan mengenai hukum taqlid yang ada di tengah
umat Islam, yang mana hal ini tentunya menjadi kebingungan tersendiri bagi umat
3

Islam. Dalam konteks ulama Nusantara ada dua tokoh yang menarik untuk dikaji
pandangannya mengenai taqlid, yaitu KH Ahmad Dahlan Pacitan dan Ahmad
Hassan.
Jika kita mendengar nama kedua tokoh ini, maka tentu Ahmad Hassan akan
lebih kita kenal dibandingkan KH Ahmad Dahlan Pacitan. Namun yang membuat
penulis tertarik untuk mengkaji pemikiran keduanya ialah karyanya masing-
masing dalam bidang ushul fiqih yaitu kitab Fath Al-Majīd fī bayāni at-taqlīd
milik KH Ahmad Dahlan Pacitan dan Risalah Taqlid milik Ahmad Hassan.
Berdasarkan pemaparan tersebut, maka penulis menemukan sebuah rumusan
masalah terkait "Bagaimana konsep taqlid Ahmad Hassan dalam kitab Risalah
Taqlid dan KH Ahmad Dahlan Pacitan dalam kitab Fath Al-Majīd Fī Bayāni At-
Taqlīd?", "Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pemikiran taqlid Ahmad
Hassan dan KH Ahmad Dahlan Pacitan?", "Bagaimanakah perbedaan dan
persamaan konsep taqlid dari kedua tokoh tersebut?"
Dari keberagaman pandangan mengenai hukum taqlid tersebut penulis
terdorong untuk melakukan penelitian yang berjudul “Konsep Taqlid Menurut
Ahmad Hassan dalam Kitab Risalah Taqlid dan KH Ahmad Dahlan Pacitan
dalam Kitab Fath Al-Majīd Fī Bayāni At-Taqlīd” dengan harapan dapat
menjelaskan kedudukan dan konsep taqlid dalam penerapan hukum Islam,
sehingga umat Islam dapat memahami istilah taqlid dengan benar.

METODE
Pendekatan yang penulis gunakan dalam penulisan paper ini ialah pendekatan
kualitatif, yaitu:
metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan
untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah
eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik
pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analis data
bersifat induktif/ kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan
makna dari pada generalisasi (Sugiyono, 2021, hal. 18).

Adapun metode yang penulis gunakan adalah konten analisis (content


analysis), yaitu, “penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi
4

suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media massa” (Yuris, 2009).
Sedangkan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan,
yaitu “…pengumpulan keterangan-keterangan dari berbagai literatur sebagai
bahan perbanndingan atau acuan yang relevan dengan peristiwa yang dikaji”
(Usep, 2011, hal. 2).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Konsep Taqlid Ahmad Hassan dan KH Ahmad Dahlan Pacitan
Ahmad Hassan lahir di Singapura pada 31 Desember 1887 dari keluarga
campuran Indonesia dan India (Yudiar, 2020). Ayahnya bernama Ahmad yang
merupakan seorang pengarang dan wartawan terkenal di Singapura. Sedangkan
ibunya bernama Hajjah Muznah yang berasal dari wilayah Palekat (Madras,
India). Menurut Djaja (1980) sejak kecil kehidupan beragama telah mewarnai
pribadi A Hassan, hal ini terlihat dari kedua orangtua-nya. Ayahnya A Hassan
ingin sekali ia menjadi seorang pengarang, namun sebelum itu ia mesti dibekali
ilmu-ilmu agama terlebih dahulu. Sedangkan ibunya merupakan perempuan yang
sederhana dan tekun dalam mempelajari agama.
Dari segi Pendidikan A Hassan tidak pernah menamatkan sekolah formalnya.
Sejak umur 12 tahun ia sudah bekerja di toko milik iparnya yaitu Sulaiman,
sambil belajar ilmu-ilmu agama dan gramatika Arab kepada Muhammad Thaib,
Said Abdullah Al-Musawi, Abdul Lathif, Syekh Hassan, dan Syekh Ibrahim yang
ia habiskan hingga umurnya 23 tahun. Dalam kurun waktu itu pun A Hassan
sudah mengenal majalah kaum pembaharu yaitu majalah Al-Manar yang
diterbitkan oleh Rasyid Ridha dan majalah Al-Imam yang diterbitkan oleh Thahir
Jalaludin (kutip yudiar).
Pertumbuhan pemikiran A Hassan terjadi ketika ia pindah ke Surabaya dan
bertemu dengan Faqih Hasyim sebagai pelopor kaum muda dan Wahab Hasbullah
sebagai pelopor kaum tua. Dari sanalah A Hassan berkeyakinan bahwa agama
hanyalah apa yang Allah dan Rasul-nya sampaikan. Setelah tinggal di Surabaya
A Hassan kemudian pindah ke Bandung dan semakin memperkuat pendiriannya.
Di Bandung ia mengabdikan dirinya kedalam organisasi Perstauan Islam dan
5

mengembangkannya menjadi organisasi yang diperhitungkan pada masanya. A


Hassan berkiprah dengan mendirikan pesantren, membuat berbagai tulisan yang
salah satunya ialah Risalah Taqlid, dan berdebat mengenai permasalahan agama
(kutip mughni).
Tokoh selanjutnya ialah KH Ahmad Dahlan Pacitan yang dikenal pula
dengan sapaan “as-samarani” (karena bertempat di Semarang) lahir di Tremas,
Pacitan Jawa Timur pada tahun 1862. Ayahnya bernama KH Abdullah bin KH
Abdul Mannan Dipomenggolo yang merupakan anak dari pendiri Pondok
Pesantren Tremas, Sedangkan ibunya bernama Nyai Siti Aminah. KH Ahmad
Dahlan pun merupakan saudara kandung dari Syekh Mahfudz At-Turmusi, KH
Dimyathi, dan KH Abdurrozaq yang kesemuanya menjadi ulama besar (Kutip).
Pendidikan KH Ahmad Dahlan dimulai di Pesantren Tremas dengan
mempelajari dasar-dasar ilmu syariat. Kemudian ia melanjutkannya ke Mekkah
untuk belajar dengan para ulama Hijaz termasuk kakaknya sendiri, Syekh
Mahfudz At-Turmusi. Di Mekkah inilah ia ia bersama sahabatnya Syekh
Muhammad Hasan Asy’ari pergi ke beberapa wilayah yang ada di tanah arab
hingga kemudian bertemu dan belajar ilmu falak bersama Syekh Jamil Jambek
dan Syekh Ahmad Thohir Jalaluddin al-Azhari, serta menamatkan kitab al-Maṭla’
as-Sa’id fi Hisābi al-Kawākib ala ar-Raṣdi al-Jadīd, kitab induk ilmu falak yang
ditulis oleh Syekh Husain Zaid al-Mishrī dari awal abad 19.
Sepulang perjalanannya di tanah arab, KH Ahmad Dahlan Pacitan
mengabdikan dirinya di Pesantren Darat Semarang yang diasuh oleh KH Shaleh
Darat. Disinilah ia membantu mengajar dan mengembangkan ilmunya dalam
bidang ilmu falak dengan berbagai karyanya. Namun tak hanya dalam bidang
ilmu falak ia pun menulis sebuah kitab dalam bidang ushul fiqih yaitu Fath Al-
Majīd fī bayāni at-taqlīd (kutip chamami).
Kitab Risalah Taqlid dan Fath Al-Majīd fī bayāni at-taqlīd merupakan dua
kitab ushul fiqih yang sama-sama menyajikan pembahasan tentang taqlid, namun
dengan pemahaman dan kesimpulan yang berbeda. Risalah Taqlid merupakan
rangkuman hasil debat yang dilakukan A Hassan dengan NU. Selain itu risalah ini
berisikan bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang mewajibkan taqlid dan
6

penetapan argumennya dalam mengharamkan taqlid. A Hassan membantah 21


dalil yang digunakan muqallid, dan menyajikan 73 dalil akan haramnya taqlid.
Sedangkan kitab Fath Al-Majīd fī bayāni at-taqlīd merupakan kitab yang
menjelaskan hukum taqlid dan urgensitas bermadzhab dari zaman ke zaman.
Kitab yang ringkas ini berisikan pentingnya bertaqlid bagi mereka yang tidak
mampu berijtihad, sehingga mereka harus bertaqlid kepada salah satu madzhab
tertentu dari keempat madzhab. KH Ahmad Dahlan Pacitan juga menjelaskan
syarat-syarat yang mesti dipenuhi oleh orang-orang awam ketika ia hendak
bertaqlid.
Berdasarkan kitab Risalah Taqlid, konsep taqlid A Hassan dapat kita rangkum
sebagai berikut.
a. Secara etimologi, taqlid ialah “Meniru, mencontoh dan semacamnya.”
Adapun secara terminologi, “Mengamalkan suatu hukum yang ia dapat dari
seseorang namun ia tidak mengetahui landasan hukum tersebut dari Alquran
dan Assunnah.”
b. Taqlid itu terbagi menjadi dua, Taqlid Riwāyah dan Taqlid Dirāyah. Taqlid
Riwāyah ialah menerima informasi tidak berdasarkan pemikirannya.
Sedangkan Taqlid Dirāyah ialah menerima informasi berdasarkan
pemahaman atau pemikirannya, dan inilah taqlid yang diharamkan.
c. Landasan Quran yang paling jelas bahwa taqlid itu haram ialah firman Allah
Qs. Ali Imran: 103, dan Qs. Al-Isra: 36. Ayat ini menerangkan bahwa jangan
sampai kita mengikuti pendapat orang lain tanpa kita ketahui dari mana
sumbernya. Ayat ini juga menurutnya mendidik umat Islam agar mempunyai
pikiran yang merdeka dan jangan mau jadi hamba dari pikiran seseorang.
d. Landasan hadits akan keharaman taqlid ialah hadits riwayat imam Malik,
Rasulullah bersabda, “Aku meninggalkan kalian dua perkara yang kalian
tidak akan sesat jika berpegang kepada keduanya: Kitabullah, dan Sunnah
Nabi Saw.”[HR. Malik, No. 1874]. Menunjukkan keharusan berpegang
kepada dua sumber saja, yaitu Kitabullah, dan Sunnah Nabi Saw bukan
pendapat-pendapat para kyai.
7

e. Kewajiban umat Islam dalam berpegang kepada hukum Islam itu hanya dua,
ber-ijtihad, dan ber-ittiba’.
f. Ittiba’ secara etimologi ialah “Mengikuti, membuntut dan sebagainya.”
Adapun secara terminologi, ialah “Mengamalkan suatu hukum yang ia dapat
dari seseorang dengan mengetahui dengan mengetahui landasan hukum
tersebut dari Alquran dan Assunnah.”
Sedangkan berdasarkan kitab Fath Al-Majīd fī bayāni at-taqlīd, konsep taqlid
KH Ahmad Dahlan Pacitan dapat kita pahami sebagai berikut,
a. Taqlid menurut KH Ahmad Dahlan Pacitan ialah “Mengambil sekaligus
mengamalkan pendapat para Imam mujtahid dengan tanpa mengetahui
dalilnya. Seorang pelaku taqlid itu cukup mengetahui bahwa perbuatannya itu
sudah sesuai dengan perkataan imamnya. Dan dalam bertaqlid, seseorang
yang bertaqlid tidak perlu mampu untuk melafadzkan (menirukan) atas apa
yang pernah dikatakan oleh imamnya.”
b. Taqlid itu merupakan kewajiban bagi orang awam, dan orang awam menurut
KH Ahmad Dahlan ialah “Orang yang tidak memiliki kemampuan untuk
mengetahui hukum-hukum syariat Islam yang didasarkan pada dalil-dalil
yang ada, dan mereka juga tidak mengetahui metode atau cara menghasilkan
dalil tersebut.”
c. Landasan Quran bahwa taqlid itu merupakan kewajiban bagi orang awam
ialah Qs. An-Nahl: 43 dan Qs. An-Nisa: 83.
d. Taqlid itu diharuskan kepada keempat imam maẓhab, karena mereka
tergolong sebagai Mujtahid mustaqil (Mujtahid independen). Banyak karya-
karya mereka yang terkodifikasikan, sanad keilmuan dan kapasitas mereka
sudah teruji dan selalu menjadi rujukan utama dalam pengambilan hukum
Islam. Dan golongan seperti mereka di zaman ini itu tidak ada, sehingga
wajib bertaqlid kepada mereka.
e. Dalam merumuskan konsepnya KH Ahmad Dahlan banyak mengutip
perkataan ulama-ulama dibandingkan dalil dari Quran dan Hadits.
f. Dalam bertaqlid ada enam syarat yang mesti dipenuhi. Pertama, maẓhab yang
diikuti adalah maẓhab yang resmi. Kedua, memenuhi syarat dalam mengikuti
8

pendapat suatu permasalahan. Ketiga, tidak bertentangan dengan keputusan


imam maẓhab, Alquran, Assunnah, ijma’, dan qiyas. Keempat, tidak boleh
asal mengambil keringanan dalam beribadah. Kelima, tidak boleh bertaqlid
kepada beberapa imam dalam satu masalah. Keenam, tidak boleh
mencampuradukkan pendapat dari kedua maẓhab.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemikiran A Hassan dan KH Ahmad
Dahlan Perihal Taqlid
1. Faktor Pendidikan
Dari sisi pendidikan, A Hassan menjalani pendidikan yang sangat berbeda
dengan KH Ahmad Dahlan. Dapat dikatakan A Hassan tidak pernah mengikuti
jenjang pendidikan tinggi dalam bidang agama secara formal. Selama A Hassan
menjalani pendidikan agama bersama guru-gurunya di Singapura, sebenarnya
mereka semua tidak mempengaruhi corak pemikiran A Hassan dalam memandang
taqlid, melainkan mereka sangat memberikan andil terhadap pengetahuan dasar A
Hassan dalam memperdalam ilmu agama. Mereka mengajarkan bahasa arab
beserta Nahwu dan Shorof-nya, bahasa Inggris, Tamil, dan Melayu. Mereka juga
mengajarkan Alquran, dan pembahasan dasar mengenai fiqih seperti thaharah,
sholat, zakat, shaum dsb.
Dalam sisi ini, A Hassan lebih banyak dipengaruhi oleh bacaan yang ia baca
dan pergaulan yang ia alami selama hidupnya. Adapun pendidikan yang ia lalui,
berdampak pada kemampuannya dalam memperdalam ilmu agama, hingga ia
berkesimpulan bahwa taqlid itu merupakan perbuatan yang diharamkan oleh
Allah.
Adapun KH Ahmad Dahlan, ia tumbuh di sebuah lembaga pendidikan
pesantren Tremas yang diasuh oleh ayahnya dan didirikan oleh kakeknya.
Sehingga tidak dapat dipungkiri, KH Ahmad Dahlan mendapatkan pendidikan
agama secara sempurna dari pesantren Tremas asuhan ayahnya tersebut. Menurut
penulis, di pesantren inilah KH Ahmad Dahlan telah mendapatkan pemahaman
tentang keharusan bertaqlid bagi orang awam.
Sedangkan di timur tengah sendiri ia melanjutkan pembelajarannya dengan
kakaknya sendiri, dan memperdalam ilmu falaknya. Disaat kembali ke Indonesia,
9

ia kembali mengembangkan keahliannya dalam bidang ilmu falak dengan KH


Sholeh Darat yang bertempat di Semarang.
Sehingga dari sini, penulis berkesimpulan bahwa pendidikan agama yang
didapat oleh KH Ahmad Dahlan sangatlah berpengaruh terhadap pemikirannya
perihal taqlid. Lingkungan pendidikan yang ia jalani telah membentuk
pemikirannya dalam bidang ilmu agama. Walaupun dari pendidikan yang ia lalui,
ilmu falak lah yang menjadi keahliannya, namun bukti bahwa ia pun mendalami
ilmu lainnya khususnya ushul fiqh ialah buah karyanya yaitu kitab Fath Al-Majīd
fī bayāni at-taqlīd.
2. Faktor Sosio-Historis
Ada perbedaan sosio-historis yang terjadi pada kedua tokoh ini. Pemikiran A
Hassan mulai tumbuh kurang lebih sekitar rentang tahun 1900-seterusnya.
Sedangkan pemiikiran KH Ahmad Dahlan tumbuh dan berkembang kurang lebih
sekitar tahun 1870-seterusnya, sehingga tepat saja jika terjadi perbedaan
pemikiran antara keduanya. Kedua tokoh tersebut juga menjalani kehidupan di
beberapa tempat berbeda, A Hassan hidup di Singapura, Surabaya, hingga
kemudian ke Bandung. Sedangkan KH Ahmad Dahlan menjalani kehidupan di
Pacitan Tremas, Timur Tengah, hingga kemudian Semarang.
Dalam rentang kehidupan A. Hassan di tiga tempat tersebut, yang pertama
kali akan disoroti ialah keluarganya. Menurut Mughni (1994) Ayah A Hassan
yang bernama Ahmad Temasuk kedalam empat orang yang terkenal berpaham
pembaharu (Wahabbi). Selain dari itu, di Singapura A Hassan sendiri sudah mulai
membaca majalah-majalah yang diterbitkan oleh kaum pembaharu mulai dari Al-
manar yang diterbitkan oleh Rasyid Ridha, dan Al-Imam yang diterbitkan oleh
Thahir Jalaludin. Ketika masih di Singapura, paham-paham tersebut belum
sepenuhnya mempengaruhi A Hassan, akan tetapi ini menunjukkan bahwa sejak
awal A Hassan memang sudah berkenalan dengan paham pembaharu.
Puncak fundamental pemikiran A Hassan ini tepat ketika ia tengah di
Surabaya dan Bandung. Pada saat di Surabaya A Hassan bergaul dengan tokoh-
tokoh kaum pembaharu, seperti Ahmad Surkati, dan Faqih Hasyim yang secara
tidak langsung mewarnai pemikiran A Hassan. Setelah di Surabaya ia pun pindah
10

ke Bandung dan bergabung dengan organisasi Persatuan Islam, yang mana


organisasi ini didirikan oleh KH Zamzam dan Muhammad Yunus yang berpaham
pembaharu juga. Dan di Bandung inilah A Hassan menyebarkan pemikirannya
dengan menulis dan berdebat.
Maka tampaklah jelas bahwa secara sosio-historis A Hassan banyak bergaul
dengan tokoh-tokoh pembaharu dan mempelajari pemikiran mereka. Salah satu
pemikiran mereka ialah kepercayaan dan pendirian bahwa pintu ijtihad tidak
pernah tertutup. Oleh karena itu, menurut mereka praktek taqlid harus
dihilangkan, ajaran-ajaran Islam harus diterjemahkan secara rasional, sehingga
mampu membangun dan bersaing dengan peradaban modern (Farah, 2016).
Sehingga pantaslah jika A Hassan pun mengharamkan dan mencela praktek taqlid
yang ada di tengah umat Islam.
Sama halnya dengan A Hassan, KH Ahmad Dahlan dalam rentang
kehidupannya di tiga tempat tersebut, yang menjadi awal dari pembentukan
pemikirannya ialah keluarganya. KH Ahmad Dahlan merupakan keturunan dari
pendiri pondok Tremas, sehingga semasa kecil hingga dewasa ia dibesarkan
dalam lingkungan pondok Tremas bersama ayahnya dan para kiai disana. Secara
sosio-historis para kiai dan ayahnya ini merupakan para ulama yang bermaẓhab
Syafi’i, sehingga hal itu membuat murid serta anaknya pun turut bermaẓhab
Syafi’I yang juga merupakan maẓhab mayoritas umat Islam di Indonesia.
Selanjutnya ia berangkat ke Mekkah untuk belajar kepada kakaknya Syekh
Mahfudz At-Turmusi, setelah dari Mekkah ia pun pergi ke Kairo bersama
sahabatnya. Ketika di Timur tengah ia lebih memfokuskan dirinya dengan
memperdalam ilmu falak kepada para ulama nusantara yang ahli dalam ilmu
falak.
Setelah dari Timur tengah, ia pun melanjutkan perjalanan kehidupan serta
intelektualnya di Semarang bersama dengan KH Sholeh Darat yang menganut
maẓhab Syafi’i, sehingga hal ini memperkuat pemahamannya akan maẓhab
Syafi’i. Apalagi sosio-historis kala itu, mayoritas umat Islam Indonesia berpaham
tradisionalis yang mana menurut M. Ridwan Lubis yang dikutip oleh Baharuddin
(2009), diantara ciri-ciri Islam Tradisionalis ialah keterkaitan yang mendalam
11

pada maẓhab (aliran) dalam bidang fiqih, tasawuf, dan berkembang pada pola
kehidupan di pesantren, serta pola pemikiran yang statis atau taqlid. Keadaan ini
pun berpengaruh terhadap pemikiran KH Ahmad Dahlan khususnya dalam
memandang praktek taqlid, yang mana pandangannya bahwa taqlid itu menjadi
keharusan bagi orang-orang awam ini sesuai dengan pandangan mayoritas
penganut maẓhab Syafi’i yang juga tergolong sebagai kaum tradisionalis.

Perbedaan dan Kesamaan Konsep Taqlid Ahmad Hassan dan KH Ahmad


Dahlan Pacitan
1. Perbedaan Definisi
Menurut A Hassan taqlid adalah “Mengamalkan suatu hukum yang ia dapat
dari seseorang, namun ia tidak mengetahui landasan hukum tersebut dari Alquran
dan Assunnah.” Adapun menurut KH Ahmad Dahlan taqlid adalah
“Mengamalkan pendapat para imam mujtahid dengan tanpa mengetahui dalilnya.
Seorang pelaku taqlid itu cukup mengetahui bahwa perbuatannya itu sudah sesuai
dengan perkataan imamnya. Dan dalam bertaqlid, seseorang yang bertaqlid tidak
perlu mampu untuk melafadzkan (menirukan) atas apa yang pernah dikatakan
oleh imamnya.” Dalam definisi ini terlihat jelas bahwasanya definisi taqlid yang
diberikan oleh KH Ahmad Dahlan itu lebih luas cakupannya daripada definisi
yang diberikan A Hassan. Walaupun secara konsep masih terlihat sama, yaitu;
“mengamalkan suatu hukun tanpa mengetahui dalilnya dari Alquran dan
Assunnah.”
2. Perbedaan Konseptual
Ahmad Hassan melarang untuk bertaqlid, namun mengharuskan ittiba’ yang
maksudnya, fatwa atau pendapat seorang ulama mujtahid itu mesti diperiksa
kembali apakah sesuai dengan Quran dan Hadits atau tidak. Dan untuk melakukan
hal tersebut seorang muttabi’ tidak perlu untuk menguasai bahasa Arab, namun
cukup dengan melihat terjemahannya saja, karena kebutuhan muttabi’ hanya
untuk mengetahui dalilnya sehingga ia beramal dengan mengetahui dalilnya.
Adapun KH Ahmad Dahlan membolehkan dan mewajibkan taqlid bagi orang
awam; yaitu orang yang tidak mampu untuk men-istinhbath hukum. Ia mesti
12

bertaqlid kepada salah satu dari keempat imam maẓhab, dan dengan hanya
mengetahui bahwa amalannya itu sesuai dengan fatwa imamnya saja ia sudah
dapat dikatakan bertaqlid kepada imamnya, tanpa perlu untuk menjelaskan
kembali fatwa imamnya.
3. Perbedaan Dalil mengenai Hukum Taqlid
Dalam pengambilan hukum taqlid, A Hassan mengutip Qs. Ali-Imran: 103
dan Qs. Al-Isra: 36 sebagai landasan haramnya bertaqlid dan keharusan untuk
berpegang kepada Qur’an dan Sunnah. Adapun KH Ahmad Dahlan mengutip Qs.
An-Nahl: 43 dan Qs. An-Nisa: 83 sebagai landasan harus dan wajibnya bertaqlid
pada salah seorang imam mujtahid. Maka dari sini terlihat persamaan keduanya
dalam pengambilan sumber hukum, yaitu sama-sama berdasar pada Alquran.
Namun yang membedakannya, A Hassan kemudian mengutip juga sabda
Rasulullah yang mengharuskan berpegang pada dua sumber saja; kitabullah dan
sunnah Nabi Saw. Juga perkataan sahabat, serta perkataan para imam maẓhab
yang mengecam praktek taqlid. Adapun KH Ahmad Dahlan lebih banyak
mengambil hukum yang telah dibuat oleh ulama-ulama terdahulu, khususnya
ulama-ulama Syafi’iyyah, seperti Sayyid Umar, Ibnu Shalah, dan Syekh bin Al-
Jamal yang mana mereka semua membolehkan praktek taqlid.
4. Perbedaan Interpretasi terhadap Nash Qs. An-Nahl: 43
Yang menjadi perbedaan selanjutnya dari kedua tokoh tersebut ialah
interpretasi terhadap dalil Qs. An-Nahl: 43 yang menjadi dalil keharusan
bertaqlid. KH Ahmad Dahlan memandang bahwa dalil tersebut menunjukkan
perintah untuk bertanya kepada yang lebih mengetahui dan lebih alim jika kita
tidak mengetahui. Perintah yang terdapat di ayat itu, secara kaidah ushul
menunjukkan kewajiban, dan bertanya itu maksudnya ialah bertaqlid. Adapun A
Hassan memandang bahwa bertanya itu bukan berarti bertaqlid, jika bertaqlid
disamakan dengan bertanya, maka akan mengacaukan istilah taqlid itu sendiri.
Selain itu, A Hassan tidak memotong ayat tersebut, melainkan ia mengambil
kesimpulan dari keseluruhan ayat tersebut, bahwa ahli adz-dzikr yang dimaksud
disini ialah kaum Yahudi dan Nasrani, dan perintah bertanya itu ditujukan untuk
bertanya tentang jenis kelamin para nabi dan rasul dahulu.
13

Adapun kesamaan pandangan, penulis tidak menemukan persamaan konsep


taqlid dari kedua tokoh ini, melainkan sebuah perbedaan yang begitu mencolok,
khususnya dari sisi hukum bertaqlid.

SIMPULAN
Taqlid menurut Ahmad Hassan ialah mengamalkan suatu hukum yang
didapat tanpa mengetahui landasannya dari Alquran dan Assunnah, dan beramal
tanpa mengetahui landasannya dari Alquran dan Assunnah merupakan perbuatan
tercela. Hal ini ia dasarkan pada Qs. Al-Isra: 36, dan Qs. Ali-Imran: 103, dan
sabda Nabi Saw. A Hassan juga mengutip perkataan para sahabat dan para imam
terdahulu yang melarang untuk berbuat taqlid. A Hassan memang melarang orang
awam untuk bertaqlid namun menganjurkannya untuk ber-ittiba’ yaitu
mengamalkan suatu hukum dengan mengetahui landasannya dari Alquran dan
Assunnah. Adapun taqlid menurut KH Ahmad Dahlan Pacitan ialah mengamalkan
pendapat para imam mujtahid tanpa mengetahui dalilnya, dan ini menjadi
kewajiban bagi orang awam berdasarkan Qs. An-Nahl: 43 dan Qs. An-Nisa: 83.
Berdasarkan pendapat para ulama, taqlid itu hanya diperbolehkan kepada
mujtahid mustaqil, yaitu keempat imam madzhab.
Pemikiran kedua tokoh tersebut tentunya merupakan hasil dari beberapa
faktor yang mempengaruhinya, diantara faktor yang nampak jelas dari kedua
tokoh tersebut ialah faktor pendidikan dan sosio-historis. Dari segi pendidikan, A
Hassan banyak dipengaruhi oleh tulisan kaum pembaharu yang ia baca,
kemampuannya dalam membaca itulah yang ia dapatkan dari pendidikannya. Dari
segi sosio-historisnya A Hassan banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pembaharu
yang berpandangan bahwa taqlid itu merupakan faktor kejumudan umat, sehingga
harus ditinggalkan. Adapun KH Ahmad Dahlan mendapatkan pendidikan agama
di Pesantren Tremas yang notabene bermadzhab Syafi’i. Dari segi sosio-historis
pun demikian, KH Ahmad Dahlan banyak bergaul dan hidup di lingkungan yang
mayoritas bermadzhab Syafi’i, yang mana mereka semua berpegang kepada
praktek taqlid dan menjadikannya sebagai sebuah keharusan.
14

Kedua konsep taqlid yang bertentangan tersebut jelas memiliki perbedaan


yang sangat mencolok. Perbedaan yang ada pada kedua konsep taqlid tersebut
terbagi kedalam empat dasar perbedaan, diantaranya perbedaan definisi,
perbedaan konseptual, perbedaan dalil mengenai hukum taqlid, dan perbedaan
interpretasi terhadap nash. Dari segi definisi, KH Ahmad Dahlan memberikan
definisi yang lebih luas cakupannya daripada definisi yang diberikan A Hassan.
Dari segi konsep A Hassan mengaharamkan perbuatan taqlid namun
menganjurkan ittiba’ yaitu mengetahui landasan dari Quran dan Hadits, adapun
KH Ahmad Dahlan mengharuskan taqlid kepada salah satu dari empat imam
madzhab, dan cukup dengan mengetahui fatwa imam madzhab saja. Dari segi
dalil yang digunakan, A Hassan mencamtumkan empat sumber yaitu Alquran,
Hadits, perkataan sahabat, dan perkataan imam madzhab. Adapun KH Ahmad
Dahlan lebih banyak mengambil pendapat ulama-ulama terdahulu. Dan terakhir
dari segi interpretasi terhadap nash Qs. An-Nahl: 43, A Hassan men-istinbath ayat
tersebut berdasarkan keseluruhan ayatnya, sedangkan KH Ahmad Dahlan men-
istinhbath nya secara potongan ayat saja. Adapun persamaan penulis tak
menemukan persamaan diantara dua konsep tersebut.

DAFTAR RUJUKAN PAPER


Abū Dāwud, S. A.-A. (2020). Sunan Abū Dāwud. Kairo: Dār Alamiyah.

Al Bukhāri, M. b. (2015). Ṣahīh Al-Bukhāri. Kairo: Dār Alamiyyah.

Al-Jurjani, M. b.-Z. (2018). At-Ta'rīfāt. Cairo: Dār Ibnul Jauzi.

Al-Mubārakfury, S. (2013). Ar-Rahīqul Makhtūm. Beirut: Dār Ibnu Hażm.

Pacitan, A. D. (2020). Kitab Pegangan Bertaklid. (A. Machmud, & R. Fachrudin,


Trans.) Depok: Sahifa Publishing.

Bachtiar, T. A. (2018). JAS MEWAH Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah dan


Dakwah. Yogyakarta: Pro-u Media.

Djaja, T. (1980). Riwayat Hidup A.Hassan. Jakarta: Mutiara Jakarta.


15

Hakim, A. H. (t.t). Mabādi' Awaliyyah. Jakarta: Penerbit Sa''adiyah.

Hassan, A. (2005). Risalah Taqlid. In A. Hassan, Kumpulan Risalah A. Hassan.


Bangil: Pustaka Elbina.

Hassan, A., Ma'sum, M., Aziz, H. M., Hassan, A. Q., & Hasyim, H. Y. (2007).
Soal Jawab (Vol. 1). Bandung: CV Penerbit Diponegoro.

Kamiluddin, U. (2006). Menyorot Ijtihad Persis. Bandung: Tafakur.

Kementrian Agama RI. (2019). Al-Quranul Karim. Bandung : PT. Berkah


Khazanah Intelektual.

Khallāf, A. W. (t.t). Khulāṣah Tārikh Tasyri' Islām. Cairo: Al-Haramain.

Mālik, M. A. (1991). Al-Muwaṭṭa'. Beirut: Muassasah Ar-Risālah.

Minhaji, A. (2015). A. Hassan Sang Ideologi Reformis Fikih di Indonesia. Garut:


Pembela Islam.

Mughni, S. A. (1994). Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal. Surabaya: PT.


Bina Ilmu.

Noer, D. (1982). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta :


LP3ES.

Sopyan, Y. (2018). TARIKH TASYRI' Sejarah Pembentukan Hukum Islam.


Depok: PT Rajagrafindo Persada.

Sugiyono. (2021). Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung:


Alfabeta.

Usep. (2011-2012). Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah / Paper. Garut.

Wildan, D. (1999). Yang Dai Yang Politikus Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh
Persis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Yudiar, N. (2020). Percik Pemikiran A.Hassan Goeroe Persatoean Islam.


Bandung: Insan Rabbani.
16

Internet

Chamami, M. (2016, Agustus Kamis). KH Ahmad Dahlan: Ahli Falak Nusantara.


Retrieved from NU online: https://www.nu.or.id/tokoh/kh-ahmad-
dahlanahli-falak-nusantara-3592M

Fatihah, L. (2015, Mei). KH Ahmad Dahlan Tremas (+1862-1911). Retrieved


from Catatan Fahmi Ali: https://fahmialinh.wordpress.com/2015/05/09/kh-
ahmad-dahlan-tremas-1862-1911/

Tambusey, S. A. (2020). Resensi Kitab Fath al-Majid fi Bayani at-Taqlid.


Retrieved from PCINU Maroko: http://numaroko.or.id/home/resensi-kitab-
fath-al-majid-fi-bayani-at-taqlid/

Yuris, A. (2009, September 2). Berkenalan Dengan Analisis Isi (Content


Analysis). Retrieved from Andreyuris.Wordpress:
https://andreyuris.wordpress.com/2009/09/02/analisis-isi-content-analysis/
Jurnal

Farah, N. (2016, Juni). Pola Pemikiran Kelompok Tradisionalis dan Modernis


dalam Islam. YAQZHAN, 2, 10.

Anda mungkin juga menyukai