ABSTRAK
Paper ini membahas tentang konsep taqlid menurut Ahmad Hassan dan KH
Ahmad Dahlan Pacitan, yang dianalisis dari kedua kitab tokoh tersebut, yaitu
Risalah Taqlid milik Ahmad Hassan dan Fath Al-Majīd Fī Bayāni At-Taqlīd milik
KH Ahmad Dahlan Pacitan. Tujuan dari penelitian ini tak lain agar dapat
memahami konsep taqlid secara lebih luas. Karena konsep taqlid yang ada di
tengah umat Islam ini memiliki berbagai varian pandangan, sehingga perlu adanya
penjelasan mengenai faktor dan letak perbedaan tersebut. Dalam penelitian ini
penulis menggunakan metode konten analisis guna menghasilkan analisa yang
lebih terstruktur mengenai kedua konsep taqlid tersebut yang tertuang dalam
kitabnya masing-masing. Kedua tokoh tersebut memiliki perbedaan yang sangat
mencolok dalam memandang praktek taqlid, khususnya dari segi hukum
pengamalannya. Perbedaan tersebut terjadi tak lain karena beberapa faktor yang
mempengaruhi perjalanan pemikiran masing-masing tokoh.
ABSTRACT
This paper discuss about taqlid concept according to Ahmad Hassan and
KH Ahmad Dahlan Pacitan, are analyzed from two figure’s book, that Risalah
Taqlid from Ahmad Hassan and Fath Al-Majīd Fī Bayāni At-Taqlīd from KH
Ahmad Dahlan Pacitan. The purpose of this research is to understanding taqlid
concept on a deeply scale. Because taqlid concept between muslim scholar has
the various opinions, so that the writer think require the explanation about the
factor and the position of that difference. In this research the writer use the
content analysis method to produce more structural analysis about two taqlid
concept are poured on their own books. These two figures has a striking
2
difference on consider the taqlid practice, especially in the law of practice aspect.
This difference happened because of some factor influencing their intellectual
journey.
PENDAHULUAN
Hukum Islam seringkali diartikan dengan syarīat Islam yang menurut
Mahmud Syaltut yang dalam Kamiludin (2006) ialah “Peraturan yang diturunkan
Allah kepada manusia agar menjadi pedoman dalam berhubungan dengan
tuhannya, sesamanya, lingkungannya, dan kehidupannya.” Adapun proses dalam
menghasilkan syariat disebut dengan istilah Tasyrī’ yang didefinisikan sebagai
“Pembentukan dan penetapan perundang-undangan yang mengatur hukum-hukum
perbuatan orang-orang mukallaf dan hal-hal yang terjadi tentang berbagai
keputusan serta peristiwa yang terjadi diantara mereka” (Khallāf, t.t).
Sejarah telah mencatat bahwasanya Tasyri' Islam ini terbagi kedalam empat
periode, dimulai dari periode Rasulullah Saw (‘Ahdi ar-rasūl ), periode sahabat
(‘Ahdi aṣ-ṣahābah ), periode penyusunan dan imam mujtahidīn (‘Ahdi at-tadwīn
wal aimmah al-mujtahidīn ), dan periode taqlid (‘Ahdi at-taqlīd).
Istilah taqlid dalam hukum Islam masih menjadi sebuah pertentangan, dimana
pada satu sisi ada yang menganjurkannya bahkan mewajibkannya, sedangkan di
sisi lain ada yang mengharamkannya. Taqlid ialah menerima perkataan orang lain
tetapi kamu tidak mengetahui darimana pendapat itu diambil. (kutip)
Ketika istilah taqlid diatas digunakan dalam penerapan hukum Islam, maka
hal itu tentu akan menyelisihi apa yang dilakukan oleh para sahabat kepada
Rasulullah dimana mereka menerima serta mengamalkan sesuatu dengan
mengetahui dalilnya dari Rasulullah. Itulah mengapa dalam perkembangan hukum
Islam muncul istilah ittibā’ sebagai solusi bagi orang awam yang tak mampu
untuk berijtihad. Ittibā’ sendiri ialah menerima pendapat orang lain dan kamu
mengetahui dari mana pendapat itu diambil. (kutip)
Adanya keberagaman pandangan mengenai hukum taqlid yang ada di tengah
umat Islam, yang mana hal ini tentunya menjadi kebingungan tersendiri bagi umat
3
Islam. Dalam konteks ulama Nusantara ada dua tokoh yang menarik untuk dikaji
pandangannya mengenai taqlid, yaitu KH Ahmad Dahlan Pacitan dan Ahmad
Hassan.
Jika kita mendengar nama kedua tokoh ini, maka tentu Ahmad Hassan akan
lebih kita kenal dibandingkan KH Ahmad Dahlan Pacitan. Namun yang membuat
penulis tertarik untuk mengkaji pemikiran keduanya ialah karyanya masing-
masing dalam bidang ushul fiqih yaitu kitab Fath Al-Majīd fī bayāni at-taqlīd
milik KH Ahmad Dahlan Pacitan dan Risalah Taqlid milik Ahmad Hassan.
Berdasarkan pemaparan tersebut, maka penulis menemukan sebuah rumusan
masalah terkait "Bagaimana konsep taqlid Ahmad Hassan dalam kitab Risalah
Taqlid dan KH Ahmad Dahlan Pacitan dalam kitab Fath Al-Majīd Fī Bayāni At-
Taqlīd?", "Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pemikiran taqlid Ahmad
Hassan dan KH Ahmad Dahlan Pacitan?", "Bagaimanakah perbedaan dan
persamaan konsep taqlid dari kedua tokoh tersebut?"
Dari keberagaman pandangan mengenai hukum taqlid tersebut penulis
terdorong untuk melakukan penelitian yang berjudul “Konsep Taqlid Menurut
Ahmad Hassan dalam Kitab Risalah Taqlid dan KH Ahmad Dahlan Pacitan
dalam Kitab Fath Al-Majīd Fī Bayāni At-Taqlīd” dengan harapan dapat
menjelaskan kedudukan dan konsep taqlid dalam penerapan hukum Islam,
sehingga umat Islam dapat memahami istilah taqlid dengan benar.
METODE
Pendekatan yang penulis gunakan dalam penulisan paper ini ialah pendekatan
kualitatif, yaitu:
metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan
untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah
eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik
pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analis data
bersifat induktif/ kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan
makna dari pada generalisasi (Sugiyono, 2021, hal. 18).
suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media massa” (Yuris, 2009).
Sedangkan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan,
yaitu “…pengumpulan keterangan-keterangan dari berbagai literatur sebagai
bahan perbanndingan atau acuan yang relevan dengan peristiwa yang dikaji”
(Usep, 2011, hal. 2).
e. Kewajiban umat Islam dalam berpegang kepada hukum Islam itu hanya dua,
ber-ijtihad, dan ber-ittiba’.
f. Ittiba’ secara etimologi ialah “Mengikuti, membuntut dan sebagainya.”
Adapun secara terminologi, ialah “Mengamalkan suatu hukum yang ia dapat
dari seseorang dengan mengetahui dengan mengetahui landasan hukum
tersebut dari Alquran dan Assunnah.”
Sedangkan berdasarkan kitab Fath Al-Majīd fī bayāni at-taqlīd, konsep taqlid
KH Ahmad Dahlan Pacitan dapat kita pahami sebagai berikut,
a. Taqlid menurut KH Ahmad Dahlan Pacitan ialah “Mengambil sekaligus
mengamalkan pendapat para Imam mujtahid dengan tanpa mengetahui
dalilnya. Seorang pelaku taqlid itu cukup mengetahui bahwa perbuatannya itu
sudah sesuai dengan perkataan imamnya. Dan dalam bertaqlid, seseorang
yang bertaqlid tidak perlu mampu untuk melafadzkan (menirukan) atas apa
yang pernah dikatakan oleh imamnya.”
b. Taqlid itu merupakan kewajiban bagi orang awam, dan orang awam menurut
KH Ahmad Dahlan ialah “Orang yang tidak memiliki kemampuan untuk
mengetahui hukum-hukum syariat Islam yang didasarkan pada dalil-dalil
yang ada, dan mereka juga tidak mengetahui metode atau cara menghasilkan
dalil tersebut.”
c. Landasan Quran bahwa taqlid itu merupakan kewajiban bagi orang awam
ialah Qs. An-Nahl: 43 dan Qs. An-Nisa: 83.
d. Taqlid itu diharuskan kepada keempat imam maẓhab, karena mereka
tergolong sebagai Mujtahid mustaqil (Mujtahid independen). Banyak karya-
karya mereka yang terkodifikasikan, sanad keilmuan dan kapasitas mereka
sudah teruji dan selalu menjadi rujukan utama dalam pengambilan hukum
Islam. Dan golongan seperti mereka di zaman ini itu tidak ada, sehingga
wajib bertaqlid kepada mereka.
e. Dalam merumuskan konsepnya KH Ahmad Dahlan banyak mengutip
perkataan ulama-ulama dibandingkan dalil dari Quran dan Hadits.
f. Dalam bertaqlid ada enam syarat yang mesti dipenuhi. Pertama, maẓhab yang
diikuti adalah maẓhab yang resmi. Kedua, memenuhi syarat dalam mengikuti
8
pada maẓhab (aliran) dalam bidang fiqih, tasawuf, dan berkembang pada pola
kehidupan di pesantren, serta pola pemikiran yang statis atau taqlid. Keadaan ini
pun berpengaruh terhadap pemikiran KH Ahmad Dahlan khususnya dalam
memandang praktek taqlid, yang mana pandangannya bahwa taqlid itu menjadi
keharusan bagi orang-orang awam ini sesuai dengan pandangan mayoritas
penganut maẓhab Syafi’i yang juga tergolong sebagai kaum tradisionalis.
bertaqlid kepada salah satu dari keempat imam maẓhab, dan dengan hanya
mengetahui bahwa amalannya itu sesuai dengan fatwa imamnya saja ia sudah
dapat dikatakan bertaqlid kepada imamnya, tanpa perlu untuk menjelaskan
kembali fatwa imamnya.
3. Perbedaan Dalil mengenai Hukum Taqlid
Dalam pengambilan hukum taqlid, A Hassan mengutip Qs. Ali-Imran: 103
dan Qs. Al-Isra: 36 sebagai landasan haramnya bertaqlid dan keharusan untuk
berpegang kepada Qur’an dan Sunnah. Adapun KH Ahmad Dahlan mengutip Qs.
An-Nahl: 43 dan Qs. An-Nisa: 83 sebagai landasan harus dan wajibnya bertaqlid
pada salah seorang imam mujtahid. Maka dari sini terlihat persamaan keduanya
dalam pengambilan sumber hukum, yaitu sama-sama berdasar pada Alquran.
Namun yang membedakannya, A Hassan kemudian mengutip juga sabda
Rasulullah yang mengharuskan berpegang pada dua sumber saja; kitabullah dan
sunnah Nabi Saw. Juga perkataan sahabat, serta perkataan para imam maẓhab
yang mengecam praktek taqlid. Adapun KH Ahmad Dahlan lebih banyak
mengambil hukum yang telah dibuat oleh ulama-ulama terdahulu, khususnya
ulama-ulama Syafi’iyyah, seperti Sayyid Umar, Ibnu Shalah, dan Syekh bin Al-
Jamal yang mana mereka semua membolehkan praktek taqlid.
4. Perbedaan Interpretasi terhadap Nash Qs. An-Nahl: 43
Yang menjadi perbedaan selanjutnya dari kedua tokoh tersebut ialah
interpretasi terhadap dalil Qs. An-Nahl: 43 yang menjadi dalil keharusan
bertaqlid. KH Ahmad Dahlan memandang bahwa dalil tersebut menunjukkan
perintah untuk bertanya kepada yang lebih mengetahui dan lebih alim jika kita
tidak mengetahui. Perintah yang terdapat di ayat itu, secara kaidah ushul
menunjukkan kewajiban, dan bertanya itu maksudnya ialah bertaqlid. Adapun A
Hassan memandang bahwa bertanya itu bukan berarti bertaqlid, jika bertaqlid
disamakan dengan bertanya, maka akan mengacaukan istilah taqlid itu sendiri.
Selain itu, A Hassan tidak memotong ayat tersebut, melainkan ia mengambil
kesimpulan dari keseluruhan ayat tersebut, bahwa ahli adz-dzikr yang dimaksud
disini ialah kaum Yahudi dan Nasrani, dan perintah bertanya itu ditujukan untuk
bertanya tentang jenis kelamin para nabi dan rasul dahulu.
13
SIMPULAN
Taqlid menurut Ahmad Hassan ialah mengamalkan suatu hukum yang
didapat tanpa mengetahui landasannya dari Alquran dan Assunnah, dan beramal
tanpa mengetahui landasannya dari Alquran dan Assunnah merupakan perbuatan
tercela. Hal ini ia dasarkan pada Qs. Al-Isra: 36, dan Qs. Ali-Imran: 103, dan
sabda Nabi Saw. A Hassan juga mengutip perkataan para sahabat dan para imam
terdahulu yang melarang untuk berbuat taqlid. A Hassan memang melarang orang
awam untuk bertaqlid namun menganjurkannya untuk ber-ittiba’ yaitu
mengamalkan suatu hukum dengan mengetahui landasannya dari Alquran dan
Assunnah. Adapun taqlid menurut KH Ahmad Dahlan Pacitan ialah mengamalkan
pendapat para imam mujtahid tanpa mengetahui dalilnya, dan ini menjadi
kewajiban bagi orang awam berdasarkan Qs. An-Nahl: 43 dan Qs. An-Nisa: 83.
Berdasarkan pendapat para ulama, taqlid itu hanya diperbolehkan kepada
mujtahid mustaqil, yaitu keempat imam madzhab.
Pemikiran kedua tokoh tersebut tentunya merupakan hasil dari beberapa
faktor yang mempengaruhinya, diantara faktor yang nampak jelas dari kedua
tokoh tersebut ialah faktor pendidikan dan sosio-historis. Dari segi pendidikan, A
Hassan banyak dipengaruhi oleh tulisan kaum pembaharu yang ia baca,
kemampuannya dalam membaca itulah yang ia dapatkan dari pendidikannya. Dari
segi sosio-historisnya A Hassan banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pembaharu
yang berpandangan bahwa taqlid itu merupakan faktor kejumudan umat, sehingga
harus ditinggalkan. Adapun KH Ahmad Dahlan mendapatkan pendidikan agama
di Pesantren Tremas yang notabene bermadzhab Syafi’i. Dari segi sosio-historis
pun demikian, KH Ahmad Dahlan banyak bergaul dan hidup di lingkungan yang
mayoritas bermadzhab Syafi’i, yang mana mereka semua berpegang kepada
praktek taqlid dan menjadikannya sebagai sebuah keharusan.
14
Hassan, A., Ma'sum, M., Aziz, H. M., Hassan, A. Q., & Hasyim, H. Y. (2007).
Soal Jawab (Vol. 1). Bandung: CV Penerbit Diponegoro.
Wildan, D. (1999). Yang Dai Yang Politikus Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh
Persis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Internet