Anda di halaman 1dari 72

SKRIPSI

HUBUNGAN SKOR GLASGOW COMA SCALE (GCS) DENGAN FUNGSI


KOGNITIF PADA PASIEN CEDERA OTAK TRAUMATIK

LITERATURE REVIEW

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan


Pendidikan Strata I Keperawatan

DICKY SEPRIAN
1710105080

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ALIFAH PADANG
TAHUN 2021
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama Lengkap : Dicky Seprian

NIM : 1710105080

Tahun Masuk : 2017

Program Studi : S-1 Keperawatan

Nama Pembimbing Akademik : Desi Sarli, S.SiT., M.Keb

Nama Pembimbing I : Ns. Meri Yolanda, M.Kep.,MM

Nama Pembimbing II : Ns. Hidayatul Rahmi, M.Kep

Menyatakan bahwa saya tidak melakukan plagiat dalam penulisan

Literature Review yang berjudul “Hubungan Skor Glasgow Coma Skale (GCS)

dengan Fungsi Kognitif Pada Pasien Cedera Otak Traumatik”

Apabila suatu nanti terbukti saya melakukan tindaklan plagiat, maka saya

akan menerima sanksi yang telah ditetapkan. Demikianlah surat pernyataan ini

saya buat dengan sebenar-benarnya.

Padang, September 2021

Dicky Seprian
NIM. 1710105080

1
PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini diajukan oleh:

Nama Lengkap : Dicky Seprian


NIM : 1710105080
Program Studi : Keperawatan
Judul Skripsi : Hubungan Skor Glasgow Coma Skale (GCS)

dengan Fungsi Kognitif Pada Pasien Cedera

Otak Traumatik

Telah diseminarkan dan dipertahankan dihadapan Tim Penguji Seminar Skripsi

Program Studi Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alifah Padang.

Padang, September 2021

Pembimbing I Pembimbing II

(Ns. Meri Yolanda, M.Kep) (Ns. Hidayatul Rahmi, M.Kep)

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alifah


Ketua,

(Ns. Asmawati, S.Kep. M.Kep)

2
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ALIFAH
PADANG
Skripsi, Literature Review, September 2021

Dicky Seprian

Hubungan Skor Glasgow Coma Skale (GCS) dengan Fungsi Kognitif Pada
Pasien Cedera Otak Traumatik
xi + 51 halaman + 3 table + 2 gambar + 3 lampiran

ABSTRAK

Cedera otak merupakan sebuah proses dimana terjadi cedera langsung atau
deselerasi terhadap otak yang dapat mengakibatkan kerusakan tengkorak dan otak.
Pada pasien cedera otak traumati fungsi kognitifnya dapat terganggu berdasarkan
skor GCS pasien. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
skor glasgow coma skale (GCS) dengan fungsi kognitif pada pasien cedera otak
traumatik.
Metode penelitian yang digunakan adalah literature review dengan
mengidentifikasi artikel yang dipublikasikan secara online yang terdiri dari
artikel Nasional dan artikel Internasional rentan tahun 2016-2020. Artikel yang
digunakan diperoleh dari google schoolar didapatkan 10 artikel.
Hasil review artikel didapatkan bahwa 2 artikel menyatakan bahwa skor
GCS ringan, 4 artikel menyatakan skor GCS sedan dan 4 artikel yang menyatkan
skor GCS berat. 3 artikel menyatakan fungsi kogniti normal dan 6 artikel
menyatakan fungsi kognitf menurun. 7 artikel yang relevan menyatakan ada
hubungan skor GCS dengan fungsi kognitif pada pasien cedera otak traumatik
berdasarkan penelusuran artikel ilmiah.
Berdasarkan hasil review dari 10 artikel terkait maka dapat kesimpulan
bahwa ada hubungan skor glasgow coma skale (GCS) dengan fungsi kognitif pada
pasien cedera otak traumatik. Kesimpulan Kepada peneliti selanjutnya diharapkan
dapat melakukan penelitian dengan dengan variabel yang berbeda, sehingga dapat
melihat apa saja yang terganggu selain fungsi kognitif.

Kata Kunci : Glasgow Coma Skale (GCS), Fungsi Kognitif, Cedera Otak
Traumatik
Daftar Baca : 2016-2020

3
THE COLLEGE OF HEALTH SCIENCES ALIFAH PADANG
Thesis, Literature Review, September 2021

Dicky Seprian

Correlation between Glasgow Coma Scale (GCS) and Cognitive Function in


Traumatic Brain Injury Patients
xi + 51 pages + 3 tables + 2 pictures + 3 attachments

ABSTRACT

Brain injury is a process where there is direct injury or deceleration to the


brain that can result in skull and brain damage. In patients with traumatic brain
injury, cognitive function can be impaired based on the patient's GCS score. The
purpose of this study was to determine the relationship between the Glasgow
coma scale (GCS) score and cognitive function in patients with traumatic brain
injury.
The research method used is a literature review by identifying articles
published online consisting of national articles and vulnerable international
articles in 2016-2020. The articles used were obtained from Google Schoolar, 10
articles were obtained.
The results of the article review found that 2 articles stated that the GCS
score was light, 4 articles stated the sedan GCS score and 4 articles stated that
the GCS score was heavy. 3 articles stated normal cognitive function and 6
articles stated decreased cognitive function. 7 relevant articles stated that there
was a relationship between GCS scores and cognitive function in traumatic brain
injury patients based on a search of scientific articles.
Based on the results of a review of 10 related articles, it can be concluded
that there is a relationship between the Glasgow coma scale (GCS) score with
cognitive function in patients with traumatic brain injury. Conclusion For further
researchers, it is hoped that they can conduct research with different variables, so
that they can see what is disturbed other than cognitive function.

Keywords : Glasgow Coma Scale (GCS), Cognitive Function, Brain Injury


Traumatic
Reading List : 2016-2020

4
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti ucapkan kehadirat allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan karunianya, salawat beriringan salam untuk Nabi Besar

Muhammad SAW, sehingga peneliti dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan judul

“Hubungan Skor Glasgow Coma Skale (GCS) dengan Fungsi Kognitif Pada

Pasien Cedera Otak Traumatik”.

Dalam menyelesaikan Skripsi ini peneliti telah mendapat bantuan dan

bimbingan serta dukungan moril dari berbagai pihak, oleh sebab itulah pada

kesempatan ini peneliti mengucapkan terimakasih kepada :

1. Ibu Ns. Meri Yolanda, M.Kep sebagai pembimbing I yang telah banyak

memberikan masukan dan bimbingan dalam penyusunan Skripsi ini

2. Ibu Ns. Hidayatul Rahmi, M.Kep sebagai pembimbing II yang telah banyak

memberikan masukan dan bimbingan dalam penyusunan Skripsi ini.

3. Ibu Ns. Asmawati, M.Kep Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alifah

Padang

4. Dosen beserta Staff STIKes Alifah Padang yang memberikan bekal ilmu

kepada peneliti selama proses perkuliahan

5. Kepada orang tua, adik, kakak dan seluruh keluarga yang telah memberikan

doa, motivasi dan semangat dalam penyusunan Skripsi ini

6. Seluruh teman-teman mahasiswa STIKes Alifah Padang program studi

keperawatan yang seperjuangan yang telah banyak memberikan motivasi,

informasi dan bantuan terkait proses Skripsi ini.

5
Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan dan bantuan yang telah

diberikan dan semoga Skripsi ini bermanfaat bagi peneliti dan bagi para pembaca

agar dapat digunakan sebaik-baiknya. Peneliti menyadari bahwa penulisan Skripsi

ini masih belum sempurna, untuk itu peneliti mengharapkan kritikan, masukan

dan saran yang dapat membangun kesempurnaan Skripsi ini sehingga Skripsi ini

bisa diteruskan ketahap penelitian.

Padang, September 2021

Dicky Seprian

6
DAFTAR ISI

Halaman

PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT ......................................................... i


HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................ ii
KATA PENGANTAR ................................................................................. iii
DAFTAR ISI ................................................................................................ v
DAFTAR TABEL........................................................................................ vii
DAFTRA BAGAN ...................................................................................... viii
LAMPIRAN ............................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan....................................................... 1
B. Rumusan Masalah......................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan .......................................................................... 5
D. Manfaat Penulisan ........................................................................ 5
E. Ruang Lingkup Penulisan............................................................. 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Cedera Otak Traumatik (COT)
1. Definisi...................................................................................... 7
2. Patofisiologi Cedera Otak Traumatik....................................... 8
3. Etiologi...................................................................................... 9
4. Klasifikasi Cidera Otak Traumatik........................................... 9
5. Aliran Darah Otak pada Cedera Otak Traumatik..................... 10
6. Kerusakan Anatomis................................................................. 14

B. Fungsi Kognitif

1. Definisi...................................................................................... 22
2. Neurosain Kognitif.................................................................... 23
3. Aspek Fungsi Kognitif.............................................................. 26

C. Glowgow Coma Scale (GCS)

1. Definisi...................................................................................... 29
2. Pemeriksaan GCS..................................................................... 30

7
3. Interprestasi GCS...................................................................... 34

D. KERANGKA TEORI................................................................ 34
D. KERANGKA KONSEP.............................................................. 36

E. DEFINISI OPERASIONAL....................................................... 36

F. HIPOTESIS.................................................................................. 37

BAB III METODE PENULISAN


A. Jenis Review Penulisan................................................................. 36
B. Strategi Pencarian Literature......................................................... 36
C. Kriteria Literature Review............................................................. 37
D. Tahapan Literature Review .......................................................... 38

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil Pencarial Artikel.................................................................. 39
B. Pembahsan..................................................................................... 44

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................... 53
B. Saran ............................................................................................. 54

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

8
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1 Definisi Operasional ..................................................................... 36

9
DAFTAR BAGAN

Halaman
Bagan 2.1 Kerangka Teori ........................................................................... 34
Bagan 2.2 Kerangka Konsep ........................................................................ 36

10
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Pustaka


Lampiran 2 Rencana Jadwal Kegitan

11
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Cedera otak merupakan sebuah proses dimana terjadi cedera langsung

atau deselerasi terhadap otak yang dapat mengakibatkan kerusakan tengkorak

dan otak. Cedera otak terjadi karena adanya kontak daya/kekuatan yang

mendadak di otak. Mekanisme cedera otak dapat mengakibatkan adanya

gangguan atau kerusakan struktur misalnya kerusakan pada parenkim otak,

kerusakan pembuluh darah, edema dan biokimia otak misalnya penurunan

adenosin tripospat dalam mitokondria, perubahan permeabilitas vaskuler,

ditandai dengan adanya penurunan sirkulasi jaringan otak, akibat saturasi O2

di dalam otak dan nilai Glasgow Coma Scale menurun (Pierce dan Neil,

2014).

Menurut World Health Organization tahun (2018) mencatat 5,8 juta

jiwa mengalami Trauma Otak Injury (TBI) setiap tahun sedang kan pada

tahun (2018) Enam puluh sembilan juta (95% CI 64-74 juta) orang di seluruh

dunia diperkirakan mengalami Trauma Otak Injury (TBI) setiap tahun.

Proporsi TBI yang dihasilkan dari tabrakan lalu lintas jalan terbesar di Afrika

dan Asia Tenggara keduanya (56%) dan terendah di Amerika Utara (25%).

Insiden road traffic injury (RTI) serupa di Asia Tenggara (1,5%) dari populasi

per tahun dan Eropa (1,2%). Kejadian keseluruhan TBI per 100.000 orang

adalah yang terbesar di Amerika Utara 1299 kasus (95%) CI 650-1947 dan

Eropa 1012 kasus (95%) CI 911-1113 dan paling sedikit di Afrika 801 kasus

1
2

(95%) codeigner/CI 732- 871 dan Mediterania Timur 897 kasus (95%) CI

771- 1023 (WHO, 2018)

Angka kejadian trauma otak yang dirawat di Rumah Sakit di Indonesia

merupakan penyebab kematian urutan kedua (4,37%) setelah stroke, dan

merupakan urutan kelima (2,18%) pada 10 pola penyakit terbanyak yang

dirawat di rumah sakit di Indonesia (Riskesdas, 2018). Prevalensi cedera otak

di Indonesia adalah 8,2%, dengan prevalensi tertinggi ditemukan di Sulawesi

Selatan (12,8%) dan terendah di Jambi dan Sumatera Barat (4,5%). Jawa

Timur memiliki prosentase (11,2%) kejadian cedera otak di Indonesia.

Prevalensi tertinggi terjadi di Kabupaten Nganjuk (22,65%) diikuti oleh kota

Pasuruan (21%) (Riskesdas, 2019).

Dampak yang ditimbulkan pasca cedera otak adalah kerusakan otak

akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera,

sehingga dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan pasien, pasien bisa

mengalami kejang, gangguan fungsi motoris serta gangguan fungsi kognitif.

Kognitif merupakan suatu proses mengenal, dan memproses informasi

menjadi suatu pengetahuan yang akurat, valid dan berguna untuk membuat

suatu keputusan. Fungsi kognitif ada 5 domain, atensi, bahasa, daya ingat,

visuospasial dan fungsi eksekutif (Sudargo, Kusmayanti & Hidayati, 2018).

Pada cedera otak traumatik (COT) terjadi kerusakan kompleks baik

berupa luka tertutup maupun luka yang menembus kulit dan melibatkan

struktur lapisan kepala, mulai dari kulit sebagai lapisan paling luar sampai

dengan tulang tengkorak, vaskular otak, ataupun jaringan otak sebagai cedera
3

kranio-serebral. Penilaian tingkat keparahan dengan cepat dan tepat dari COT

dapat menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). Berdasarkan skor GCS,

klasifikasi COT terbagi menjadi COT ringan (13–15), COT sedang (9–12),

dan COT berat (3–8).6 Cedera otak traumatik akan merangsang sel-sel sistem

saraf pusat untuk menghasilkan berbagai mediator inflamasi (Gusti, 2019).

Penilaian awal pasien dengan trauma merupakan hal yang berpengaruh

pada penatalaksanaan pasien dengan trauma kepala. Mortalitas dapat menurun

jika pasien trauma kepala segera dilakukan penilaian untuk mendapatkan

penanganan yang tepat di rumah sakit (Mulyono, Nurdiana, & Kapti, 2019).

Gangguan kognitif yang terjadi setelah COT sering dikaitkan dengan

tingkat keparahan cedera kepala. Fungsi kognitif tidak hanya mengalami

kerusakan pada proses COT saja, namun bisa juga terjadi pada proses

hilangnya neuron pada penyakit Alzheimer atau bisa juga terjadi pada proses

penuaan yang normal saja terjadi. Selain itu, kerusakan pada sel glia dan

mikrovaskular juga telah terbukti berperan penting pada proses gangguan

fungsi kognitif. Proses hilangnya neuron/kematian neuron, cedera aksonal

difus, perdarahan mikro, serta gangguan Blood Brain Barrier (BBB)

dipercaya berperan penting dalam perkembangan gangguan kognitif setelah

terjadinya cedera otak traumatic (Apidha, 2020).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Gusti (2019) yang berjudul

hubungan antara Skor GCS dengan fungsi kognitf Pasien Cedera Otak

Traumatik di IGD RSUD Ulin Banjarmasin. Hasil penelitian didapatkan 53

subjek terdiri dari 42 pasien laki-laki dan 11 pasien perempuan dengan


4

distribusi 22 (41,5%) pasien COT ringan, 20 (37,7%) pasien COT sedang, dan

11 (20,8%) pasien COT berat. Pengukuran kadar CRP (C-reactive protein)

didapatkan rata-rata 4,64 mg/l pada COT ringan, 18,00 mg/l pada COT

sedang, dan 26,73 mg/dl pada COT berat. Terdapat hubungan antara skor GCS

dengan kadar CRP pada pasien cedera otak traumatik.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Apidha Kartinasari (2020) yang

berjudul Hubungan Skor GCS dengan Fungsi Kognitif pada Pasien Cedera

Otak Traumatik di IGD RSUD Ulin Banjarmasin menyatakan Pada COT

ringan terdapat 2 pasien (10%) mengalami penurunan fungsi kognitif, COT

sedang 15 pasien (83,3%), dan COT berat 9 pasien (90%). Analisis data

menggunakan uji Chi-Square dengan tingkat kepercayaan 95% menunjukkan

penurunan fungsi kognitif seiring dengan semakin beratnya COT (p=0,000).

Terdapat hubungan antara skor GCS dengan fungsi kognitif menggunakan

MMSE dan CDT pada pasien COT

Berdasarkan dari latar belakang yang di uraikan diatas, maka penulis

tertarik untuk melakukan telaah artikel tentang “Hubungan Skor Glasgow

Coma Skale (GCS) dengan Fungsi Kognitif Pada Pasien Cedera Otak

Traumatik”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah pada penulisan ini apakah

terdapat “Hubungan Skor Glasgow Coma Skale (GCS) dengan Fungsi

Kognitif Pada Pasien Cedera Otak Traumatik?”.


5

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui literasi Hubungan Skor Glasgow

Coma Skale (GCS) dengan Fungsi Kognitif Pada Pasien Cedera Otak

Traumatik berdasarkan kajian literature review.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahui literasi skor GCS pada pasien cedera otak traumatik

berdasarkan penelusuran artikel ilmiah

b. Diketahui literasi fungsi kognitif pada pasien cedera otak traumatik

berdasarkan penelusuran artikel ilmiah

c. Diketahui literasi hubungan skor GCS dengan fungsi kognitif pada

psien cedera otak traumatik berdasarkan penelusuran artikel ilmiah.

D. Manfaat Penulisan
Penelitian ini di harapkan dapat memberi manfaat kepada :

1. Teoritis

a. Bagi peneliti

Diharapkan dapat di jadikan sebagai tambahan sumber ilmu pengetahuan

tentang hubungan skor GCS dengan fungsi kognitif pada psien cedera

otak traumatik.

b. Bagi peneliti selanjutnya

Diharapkan dapat di jadikan sebagai acuan bagi peneliti selanjutnya

sebagai bahan perbandingan dalam meneliti tentang hubungan skor GCS

dengan fungsi kognitif pada psien cedera otak traumatik.


6

2. Praktis

a. Bagi institusi

Dapat memberikan informasi terkait hubungan skor GCS dengan fungsi

kognitif pada psien cedera otak traumatik dan sumber bacaan untu

referensi melakukan penelitian dengan mengunakan tekhnik-tekhnik

penelitian yang ada.

E. Ruang Lingkup

Penulisan ini di lakukan untuk mengetahui literasi hubungan skor GCS dengan

fungsi kognitif pada psien cedera otak traumatik. Variabel Independen dalam

penelusian ini adalah skor GCS sedangkan variabel dependen fungsi kognitif.

Metode penulisan yang digunakan adalah literature review. Sumber literature

review yang digunakan dalam penulisan ini ditelusuri melalui Google Scholar.

Study literature yang diambil adalah 5 tahun terakhir dengan minimal 5-10

artikel. Pencarian artikel dimulai dari penulisan Skripsi sampai tahap

pembahasan hasil pencarian artikel.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Cedera Otak Traumatik (COT)

Cedera otak merupakan sebuah proses dimana terjadi cedera langsung

atau deselerasi terhadap otak yang dapat mengakibatkan kerusakan tengkorak

dan otak. Cedera otak terjadi karena adanya kontak daya/kekuatan yang

mendadak di otak. Mekanisme cedera otak dapat mengakibatkan adanya

gangguan atau kerusakan struktur misalnya kerusakan pada parenkim otak,

kerusakan pembuluh darah, edema dan biokimia otak misalnya penurunan

adenosin tripospat dalam mitokondria, perubahan permeabilitas vaskuler,

ditandai dengan adanya penurunan sirkulasi jaringan otak, akibat saturasi O2 di

dalam otak dan nilai glasgow somnolen scala menurun (Pierce dan Neil, 2014).

Cedera otak traumatik merupakan masalah besar kesehatan masyarakat

dan menjadi penyebab kematian dan kecacatan diseluruh dunia. Angka

kejadian di Indonesia belum diketahui dengan pasti, tetapi dengan banyaknya

angka kecelakaan lalu lintas kemungkinan angka cedera otak cukup tinggi

(Pierce dan Neil, 2014)..

Penanganan cedera otak yang tepat akan memperbaiki angka kematian

dan kecacatan termasuk penanganan terhadap cedera langsung (cedera primer)

maupun cedera sekunder (Haddad S & Yaseen 2012).

7
8

Tabel 2.1 Penyebab Cedera Sekunder


Sistematik Intrakranial
Hipotensi Epidural hematom
Hipertensi Subdural hematom
Hipoksemia Intraserebral hematom
Hiperkarbia Peningkatan tekanan intrakranial
Anemia Edema serebral
Hipoglikemi Infark intrakranial
Hiponatremi Hiperemia
Hipertermi Epilepsi post trauma
Sepsis
Koagulopati

1. Patofisiologi Cedera Otak Traumatik

Cedera otak traumatekanan intrakranial akut akan menyebabkan

pengaruh langsung (cedera primer) dan tidak langsung (cedera sekunder).

Cedera otak primer merupakan kerusakan yang disebabkan oleh trauma

awal, melibatkan kekuatan mekanik terhadap jaringan otak dan tengkorak,

akibat dari proses akselerasi, deselerasi dan rotasi. Hal tersebut akan

menyebabkan fraktur tulang tengkorak, kontusio otak, perluasan hematoma

intrakranial, atau cedera akson difus diffuse axonal injury (DAI). Hanya

hematoma epidural (EDH) disebabkan oleh kerusakan tengkorak, bukan

karena kerusakan otak langsung. Cedera otak trauma tekanan intrakranial

primer mengawali suatu proses inflamatori, pembentukan edema, yang

menghasilkan peningkatan tekanan intrakranial lebih lanjut akan

menurunkan tekanan perfusi otak (Pierce dan Neil, 2014).

Cedera otak sekunder merupakan kelanjutan dari cedera otak primer

yang yang akan menyebakan kerusakan lebih lanjut pada jaringan otak

sehingga memperburuk keadaan pasien. Dua faktor utama sebagai penyebab

dari cedera otak sekunder adalah hipotensi (sistolik <60 mmHg). Cedera
9

otak sekunder berlangsung terus dalam waktu menit, jam, hari bahkan

minggu setelah cedera otak primer (Pierce dan Neil, 2014).

Pasca trauma otak, terjadi perubahan aliran darah otak yang jelas

akan menyebabkan cedera otak. Pada kondisi cedera otak, mekanisme

protektif berupa autoregulasi akan hilang. Penurunan pH darah arteri yang

disebabkan peningkatan PaCO2 akan menyebabkan vasodilatasi, penurunan

takanan pembuluh darah otak dan peningkatan aliran darah otak (Bisri T,

2012).

2. Etiologi

Penyebab cedera otak traumatic terdiri dari kecelakaan kendaraan bermotor,

jatuh, kecelakaan industry, serangan dan yang berhubungan dengan olah

raga, trauma akibat persalinan. Menurut Mansjoer (2011), cedera penyebab

sebagian besa kematian dan kecacatan utama pada kelompk usia produktif

dan sebagian besar akibat kecelakaan lalu lintas.

3. Klasifikasi Cidera Otak Traumatik

Terdapat beberapa klasifikasi cedera otak traumatik. Berdasarkan derajat

kesadaran berdasarkan skala Koma Glasgow dibagi menjadi : (PERDOSSI,

2011).

a. Minimal, skala koma Glasgow 15, gambaran klinik tidak terdapat pingsan

dan defisit neurologi, CT Sken kepala normal.

b. Ringan, skala koma Glasgow 13-15, gambaran klinik pingsan kurang dari

10 menit, tanpa defisit neurologi, CT Sken kepala normal.


10

c. Sedang, skala koma Glasgow 9-12, gambaran klinik pingsan lebih dari 10

menit sampai dengan 6 jam, dengan defisit neurologi, CT sken kepala

abnormal.

d. Berat, skala koma Glasgow 3-8, gambaran klinik pingsan lebih dari 6

jam, dengan defisit neurologi, CT Sken abnormal.

4. Aliran Darah Otak Pada Cedera Otak Traumatik

Cedera otak traumatik seringkali diikuti oleh penurunan darah otak

sampai setengah dari nilai normal dan berlangsung dalam waktu 24 jam

pertama, keadaan ini akan meningkatkan iskemia otak regional. Cedera otak

traumatik akan menyebabkan ketidaksesuaian antara aliran darah dengan

metabolisme dimana aliran darah lebih sedikit dibandingkan kebutuhan

oksigen sehingga akan meningkatkan iskemia otak. Pada beberapa pasien

terjadi peningkatan aliran darah yang berlebihan (luxury perfusion) karena

hilangnya autoregulasi. Keadaan patologi ini memperberat keadaan pasien

dimana ketidaksesuaian antara kebutuhan metabolisme akibat vasoparalisis

dengan peningkatan volume darah akan mengakibatkan peningkatan tekanan

intrakranial (Bisri T, 2012).

a. Autoregulasi dan reaktivitas CO2

Setelah terjadi cedera otak trauma tekanan intrakranial, pada

kebanyakan pasien akan terjadi gangguan autoregulasi, gangguan ini bisa

timbul segera setelah trauma ataupun dapat berlangsung sepanjang waktu

dan bersifat sementara atau menetap baik pada kerusakan ringan sedang

maupun berat. Dalam hal autoregulasi vasokontriksi akan lebih dominan


11

dibandingkan dengan vasodilatasi dengan tujuan untuk mempertahankan

aliran darah ke otak. Pada pasien dengan cedera otak traumatik berat

reaktivitas terhadap CO2 sangat terganggu dimana peningkatan CO2

yang tinggi tidak akan menyebabkan respon vasokontriksi pada pembuluh

darah otak sehingga tidak akan bisa mempertahankan perfusi yang

adekuat yang akan memperberat kerusakan otak itu sendiri (Bisri T,

2012).

b. Vasospasme Otak

Vasospasme adalah penurunan kemampuan respon dari pembuluh

darah arteri pada perubahan PCO2 dimana tidak bisa vasokontriksi atau

vasodilatasi karena sudah terjadi gangguan aoturegulasi otak. Terjadi

pada lebih dari sepertiga pasien cedera otak traumatik, yang menandakan

kerusakan berat pada otak, vasospasme pada cedera otak traumatik terjadi

pada hari ke 2-15 dan hipoperfusi terjadi pada 50% pasien yang

mengalami vasospasme (Bisri T, 2012).

c. Disfungsi Metabolik Otak

Metabolisme otak menurun setelah cedera otak traumatik, derajat

beratnya kegagalan metabolisme berkaitan dengan beratnya cedera

primer, prognosis pasien akan buruk pada pasien dengan gangguan

metabolisme yang berat, disfungsi metabolik ini terjadi karena disfungsi

dari mitokondria yang terjadi karena cedera primer yang tidak segera

ditangani sehingga menyebabkan cedera sekunder seperti gangguan

ventilasi dan oksigenasi pada pasien yang mengalami hipoventilasi


12

dimana akan menyebabkan metabolisme anaerob sehingga produksi

adenosine trifosfat menurun (Saleh SC, 2013).

d. Pembentukan Edema Otak

Setelah cedera otak traumatik seringkali disertai dengan

pembentukan edema yang berkaitan dengan kerusakan struktur atau

gangguan kesetimbangan air dan elektrolit yang diinduksi oleh cedera

primer maupun cedera sekunder. Terdapat dua macam edema yang terjadi

pada cedera otak traumatik yaitu edema vasogenik (interstisial) dan

edema sitotoksik (intraseluler), edema yang terjadi akan memperberat

cedera otak sekunder kondisi paling buruk terjadi pada 24-48 jam paska

trauma. Edema vasogenik disebabkan oleh gangguan mekanik atau

kerusakan fungsi endotel dari sawar darah otak, keadaan ini akan

menimbulkan penumpukan air sehingga volume interstisial otak akan

meningkat yang akan meningkatkan tekanan intracranial (Saleh SC,

2013).

Edema sitotoksik adalah penumpukan cairan di intraseluler

(neuron, glia, astrosit) sebagai akibat perubahan osmolalitas sel dengan

hasil akhir berupa kegagalan sela dalam mengatur perbedaan ion. Hal ini

kan menyebabkan kegagalan produksi adenosine trifosfat dan kematian

sel. Pada area otak yang mengalami iskemik gangguan pada sawar darah

otak apabila terjadi pengembalian darah juga dapat mengakibatkan edema

sitotoksik. Sel glia dan neuron paling mudah untuk terjadinya suatu

edema sitotoksik. Apabila edema sitotoksik meluas dapat menyebabkan


13

peningkatan tekanan intrakranial, gangguan aliran darah otak dan iskemia

(Saleh SC, 2013).

e. Gambaran Klinis

1) Penilaian kesadaran pada cedera otak traumatik

Penilaian kesadaran pada cedera otak traumatik dilakukan dengan

glasgow coma scale (GCS) yaitu penilaian terhadap reaksi mata,

respon verbal, dan respon motorik (Bisri T, 2012).

Tabel 2.2 Glasgow Coma Scale


Gambaran Nilai
Membuka Mata
Spontan 4
Terhadap perintah 3
Terhadap nyeri 2
Tidak ada respon 1
Respon verbal terbaik
Orientasi baik, bicara jelas 5
Disorientasi 4
Kata-kata tidak sesuai 3
Suara yang tidak jelas 2
Tidak ada respon 1
Respon Motorik terbaik
Mengikuti perintah verbal 6
Melokalisasi nyeri 5
Fleksi atau menjauh 4
Fleksi abnormal (dekortekanan 3
intrakranialasi) 2
Ekstensi (deserebrasi) 1
Tidak ada respon

Berikut meupakan interpretasi GCS menurut tingkat keparahan cedera

otak traumatik:

a. GCS 14-15 : Cedera otak traumatik Ringan

b. GCS 9-13 : Cedera otak traumatik Sedang

c. GCS 3-8 : Cedera otak traumatik Berat


14

5. Kerusakan Anatomis

a. Kerusakan Tengkorak Dan Kulit Kepala

Kerusakan pada tengkorak mempunyai arti klinis yang penting

seperti fraktur terbuka atau fraktur impresi tulang tengkorak, fragmen

tulang tengkorak yang masuk atau benda asing harus tetap dibiarkan

sampai dikamar operasi, karena benda tersebut bisa menjadi tampon

apabila terjadi robekan pembuluh darah dibawahnya. Pada pasien dengan

fraktur basis kranii harus dihindari intubasi nasal, karena resiko

masuknya pipa endotrakeal pada rongga cranium. Bila intubasi oral tidak

mungkin dilakukan (pada trauma maksilofasial yang hebat) maka harus

dilakukan trakeostomi (Bisri T, 2012).

b. Perdarahan Epidural (EDH)

Terjadinya hematoma epidural sebagai akibat kerusakan dari

tengkorak bukan otak. Fraktur tulang tengkorak dapat merobek pembuluh

darah meningen yang mengakibatkan timbulnya hematoma. Karena

biasanya perdarahan berasal dari arteri, maka keadaan neurologi dapat

memburuk dengan cepat sebelum dilakukan CT-scan. Tindakan segera

berupa burr hole untuk menyelamatkan jiwa dapat dilakukan, patensi

jalan nafas harus tetap dipertahankan dan segera dilakukan tindakan

evakuasi hematom tersebut. Hasil pembedahan epidural hematoma

tergantung pada kecepatan timbulnya simtom, bila gejala timbul sangat

cepat maka mortalitas dapat mencapai 60%, sedangkan bila timbul lambat
15

mortaltas kurang dari 10%. epidural hematoma akut merupakan

kedaruratan yang sebenarnya dalam bidang bedah saraf (Bisri T, 2012).

Pasien yang tidak mengalami koma (GCS> 9) dengan volume

epidural hematoma kurang dari 30 ml, ketebalan kurang dari 15 mm

dengan pergeseran garis tengah lukang kurang dari 5 mm biasanya dapat

dilakukan penanganan tanpa pembedahan (Bisri T, 2012).

c. Perdarahan Subdural (SDH-subdural hemorrhage)

Perdarahan subdural terbentuk sebagai hasil dari trauma akselerasi

deselerasi terhadap otak yang mengakibatkan regangan dan kerusakan

vena parasagital. Subdural hemorrhage akut manifest dalam 72 jam

setelah trauma, pada gambaran CT-scan merupakan lesi difus pada

lengkungan otak. Didapatkan pada 13% trauma kepala dan diperkirakan

30 % dalam keadaan koma. Timbulnya gejala lebih lambat dari pada

epidural hematoma, tetapi mortalitas lebih tinggi karena adanya

kerusakan otak. Diperkirakan mortalitas Subdural hemorrhage akut 50%.

Subdural hemorrhage akut terjadi antara 3-15 hari setelah trauma dengan

gejala utama berkaitan dengan peningkatan tekanan intracranial (Bisri T,

2012).

Subdural hemorrhage kronik terjadi setelah 20 hari paska trauma,

dapat timbul pada orang tua yang mengalami trauma ringan, bahkan

didapatkan pada 25-50% pasien tanpa riwayat trauma kepala. Gejala

bervariasi mulai dari sakit kepala sampai pada kenaikan tekanan


16

intrakranial, tanda fokal dari adanya lesi neurologik, demensia,

perubahan kebiasaan, amnesia, gangguan berjalan (Bisri T, 2012).

d. Perdarahan Intraserebral (ICH-intracerebral hemorrhage)

Angka kejadian lebih kecil dari epidural hematoma dan Subdural

hemorrhage. Pada umumnya gejala timbul beberapa waktu setelah

trauma dan 80% terjadi setelah 48 jam paska trauma, oleh karena itu

setiap pasien dengan kasus trauma kepala harus dimonitoring ketat untuk

mendeteksi gangguan neurologis atau memburuknya kondisi neurologis,

jika perlu dilakukan CT-scan berulang (Bisri T, 2012)..

Lesi massa di parenkim terjadi sampai 10% dari semua pasien

cedera otak traumatik dan 13-15% pada COT berat. Pada umumnya lesi

parenkim yang kecil tidak memerlukan pembedahan, tetapi pada lesi yang

besar akan menyebabkan efek penekanan massa yang dapat menyebabkan

cedera otak sekunder, dan pasien beresiko untuk terjadinya kondisi

neurologik yang memburuk dan resiko herniasi dan kematian (Saleh SC,

2013).

6. Penanganan Perioperatif Pasien Cedera Otak Traumik

Penanganan dini cedera otak harus dimulai ditempat kejadian,

selama transportasi sampai unit gawat darurat serta terapi defenitif berupa

tindakan operasi dikamar bedah. Penanganan dilakukan dengan standar

protokol terapi manajemen trauma sesuai ATLS (Advanced Trauma Life

Support, 2013).
17

Tujuan dari pengelolaan dini adalah pemberian oksigen yang

adekuat, mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak,

menghindari cedera otak sekunder, identifikasi lesi massa yang perlu untuk

tindakan pembedahan segera (Bisri T, 2012).

a. Penanganan Pra rumah sakit

Pasien cedera kepala berat 50% akan mengalami hipotensi dan

hipoksia. Hipotensi pada cedera kepala hampir selalu disebabkan oleh

cedera sistemik daripada karena perdarahan otak sendiri atau akibat

hilangnya tonus vaskuler, kecuali pada anak laserasi pada scalp. Kejadian

hipotensi (sistolik <90 mmHg) kira-kira terjadi 35% pada pasien cedera

kepala berat (Bisri T, 2012).

Tabel 2.3 Hubungan hipoksia, hipovolemia dengan mortalitas pada pasien

cedera kepala

Cedera Kepala Dengan Mortalitas


Hipoksia 56 %
Hipovolemia 64 %
Hipoksia + Hipovolemia 76 %
Tanpa hipoksia dan hipovolemia 27 %

Dari tabel diatas didapatkan bahwa penurunan angka kematian

dapat dilakukan jika hipoksia dan hipovolemia dapat dihindari.

Pengendalian jalan nafas dalam usaha mencegah hipoksia juga berfungsi

mencegah hiperkarbia karena volume darah intrakranial sangat sensitip

terhadap PaCO2.

Pengendalian jalan nafas dan ventilasi dapat dicapai melalui

intubasi endotrakeal, krikotirotomi, atau trakeostomi. Cedar tulang leher


18

terjadi pada 10% cedera kepala berat, maka harus hati-hati dalam

manipulasi jalan nafas, pada saat membebaskan jalan nafas tanpa alat

(jaw trust, hindari head tilt) atau dengan alat (intubasi atau

krikotirotomi). Prinsip airway with cervical spine control harus

dilaksanakan. Intubasi dilakukan dengan tehnik RSII (rapid sequence

induction intubation) yaitu intubasi dengan dengan induksi cepat dan

penggunaan agen pelumpuh otot onset cepat seperti succinylcholin atau

rocoronium dengan tujuan mencegah aspirasi pada saat intubasi.

Pada cedera medulla spinalis cervical atau thorakal bisa

menyebakan hipotensi dan bradikardia tetapi pada pasien hipovolemia

terjadi hipotensi dan takikardia. Pemberian cairan kristaloid NaCl atau

RL dapat dilakukan sebagai resusitasi cairan, hindari pemberian dekstrose

karena akan memperberat kerusakan otak pada periode iskemia. Setelah

pasien norvolemia maka diberikan cairan rumatan sesuai kebutuhan

pasien untuk mencegah overload cairan yang bisa berakibat edema paru

dan juga akan memperberat edema serebri pasien cedera otak.

Setelah pasien dalam keadaan stabil baru dilakukan penilaian GCS

sebagai assessment keadaan neurologi pasien. Transportasi pasien harus

dilakukan dengan imobilisasi kolumna spinalis, 10% cedera otak

traumatik juga mengalami cedera medulla spinalis (Bisri T, 2012).

b. Penanganan di Unit Gawat Darurat

Dua masalah utama pada cedera otak adalah hipoksia dan

hipovolemia (syok). Komplikasi-komplikasi ini akan memperburuk


19

prognosis pasien dan akan menyebabkan perubahan patofisisologi yang

terjadi:

1) perubahan CBF

2) Hilangnya autoregulasi

3) Depresi metabolisme

4) Takikardia

5) Kelainan EKG

6) Kerusakan miokardium

7) Gangguan oksigenasi otak

8) Hipoksemia

9) Hipertensi serebral

10) Peningkatan tekanan intrakranial

11) Edema serebri

12) Asidosis

13) Edema paru

Hipoksia didefenisikan jika PaO2, 60 mmHg, pada pasien cedera

otak traumatik dengan penurunan kesadaran akan kesulitan

mempertahankan jalan nafas tetap bebas, obstruksi jalan nafas merupakan

penyebab kematian 15% kasus cedera otak traumatik, hipoksia akan

diperberat dengan adanya obstruksi jalan nafas karena aspirasi, adanya

pneumotoraks, hematotoraks, kontusio paru, neurogenik pulmonary

edema (Bisri T, 2012).


20

Syok didefinisikan bila tekanan sistolik <90 mmHg, penurunan

tekanan dara pada keadaan tekanan intracranial yang tinggi akan

mengakibatkan penurunan oksigenasi ke otak (CPP=MAP-ICP), normal

CPP 80-90 mmHg, bila CPP turun dibawah 40 mmHg akan iskemia otak.

Cedera primer terjadi pada saat trauma, yaitu kerusakan langsung

yang diakibatkan oleh trauma pada struktur di dalam cranium seperti

arteri, vena, substansia alba dan subtansia grisea. Cedera sekunder

terjadi sesaat setelah cedera primer. Faktor yang menyokong terjadinya

cedera sekunder adalah hipoksia, asidosis, hiperkapnia, peningkatan

tekanan intrakranial dengan kemungkinan herniasi.

Tanda dari kenaikan intrakranial adalah seperti papil edema, pupil

anisokor, mual, muntah, sakit kepala, tinnitus dan gangguan penglihatan

(Bisri T, 2012).

c. Pengelolaan dini

Tindakan yang dilakukan diutamakan pada hal- hal yang

mengancam jiwa, penanganan jalan nafas dan resusitasi cairan untuk

stabilisasi harus dilakukan. Setelah itu baru dilakukan pemerikasaan

diagnostik seperti radiologis dan CT-scan. Pemeriksaan laboratorium

dilakukan sebelum operasi seperti Hb, hematokrit, kimia darah, gas darah

(Bisri T, 2012).

d. Penanganan Hipotensi

Hipotensi dapat ditangani dengan pemberian cairan kristaloid atau

darah, hindari pemberian glukosa karena akan menyebakan hiponatremia


21

dan hipoosmolalitas dan akan memperberat edema serebri yang timbul

(Bisri T, 2012).

Tujuan pemberian cairan adalah untuk mempertahankan tekanan

darah sistemik sehingga dapat mempertahankan perfusi ke otak (CPP=

MAP-ICP), target pemberian cairan adalah normovolemia, isoosmoler

dan normoglikemia.

Posisi pasien tidak boleh diposisikan tradelenburg dengan tujuan

meningkatkan venos return karena akan meningkatkan tekanan

intrakranial dan juga menghambat aliran darah vena jugular. Posisi head

up 30-40% dan posisi leher netral dianjurkan untuk pasien cedera otak

traumatik yang bermanfaat untuk menurunkan tekanan intrakranial (Saleh

SC, 2013).

e. Hipertensi

Bila ada hipertensi pada cedera otak traumatik maka dipikirkan

dulu adanya suatu trias cushing, penanganan utama adalah penurunan

tekanan intrakranial. Akan tetapi bila bukan karena peningkatan tekanan

intrakranial maka hipertensi harus ditangani karena akan memperberat

edema yang terjadi. Peningkatan tekanan darah yang hebat bisa diberikan

anti hipertensi dan yang merupakan pilihan adalah adrenergic blocker

agent (Bisri T, 2012).

f. Penanganan Hipoksia

Pada pasien cedera otak traumatik berat harus dilakukan intubasi

untuk mempertahankan jalan nafas bebas sehingga bisa dilakukan kontrol


22

ventilasi dan oksigenasi, intubasi pada jam pertama dapat menurunkan

angka mortalitas dari 38% menjadi 22%.

Walaupun tindakan intubasi dapat meningkatkan tekanan

intrakranial, efek ini lebih minimal jika dibandingkan dengan efek

hipoksia yang terjadi apabila tidak dilakukan intubasi. Intubasi pada

pasien cedera kepala berat diperlukan untuk menjaga jalan nafas bebas,

cegah aspirasi, cegah hipoventilasi, kontrol pernafasan dan juga

pengendalian kadar PaCO2, dan juga pada saat diagnostik pasien lebih

terkendali (sedasi ataupun paralitik pada saat diagnostik dengan jalan

nafas terjaga). Pasien dengan GCS <8 harus dilakukan intubasi untuk

menjaga jalan nafas tetap bebas (Ichai C et al, 2014).

B. Fungsi Kognitif

1. Definisi Kognitif

Kognitif merupakan kemampuan otak untuk memproses,

mempertahankan, dan menggunakan informasi. Kemampuan kognitif

mencakup pemikiran, penilaian, persepsi, perhatian pemahaman, dan

memori. Kemampuan kognitif ini penting pada kemampuan individu dalam

membuat keputusan, menyelesaikan masalah, menginterpetasikan

lingkungan dan mempelajari informasi yang baru untuk memberikan nama

pada beberapa. Kata kognisi (cognition) merujuk kepada tindakan atau

proses “mengetahui”, termasuk kesadaran dan penilaian (Sherwood, 2012).


23

2. Neurosains Kognitif

a. Otak Depan

Otak depan adalah wilayah otak yang terletak dibagian atas dan

depan otak. Terdiri dari kulit otak, ganglia basalis, sistem limbik, talamus

dan hipotalamus. Kulit otak adalah lapisan terluar hemisfer otak yang

memainkan peran vital didalam proses-proses berfikir dan mental kita.

Ganglia basal (bentuk tunggalnya:ganglion) adalah tempat berkumpulnya

neuron-neuron yang krusial bagi fungsi motorik. Sistem limbik sangat

penting bagi emosi, motivasi, memori dan pembelajaran. Sistem limbik

ini juga memadukan tiga struktur serebral yang saling berkaitan, yaitu

amigdala, septum, dan hipokampus. Talamus menyampaikan informasi

sensorik lewat kelompok-kelompok neuron yang disalurkan ke wilayah

korteks yang tepat. Ia bertempat kira-kira dipusat otak, kurang lebih

sejajar dengan mata. Untuk mengakomodasi semua tipe inormasi yang

berbeda yang perlu dipilah-pilah. Ketekanan intrakraniala talamuss

mengalami malfungsi, hasilnya adalah rasa sakit, gemetaran, amnesia,

kekacauan, dan perasaan tegang ketekanan intrakranial terjaga dan tidur.

Sedangkan hipotalamus berfungsi mengatur perilaku mempertahankan

kelangsungan hidup, seperti bekelahi, makan, melarikan diri, dan

seksualitas (Sternberg, 2012).


24

b. Otak Tengah

Pada otak tengah terdapat sebuah sistem pengaktif retekanan

intrakranialularis (RAS: Reticular Activating System; disebut juga

“formasi retekanan intrakranialularis‟), sebuah serabut neutron yang

esensial bagi pengaturan kesadaran, seperti pada tidur, keterjagaan,

bangun dari tidur dan bahkan perhatian dalam segala hal dan fungsi vital

seperti detak jantung dan pernafasan. Selain terdapat RAS, terdapat

batang otak yang menghubungkan otak depan dengan saraf tulang

belakang. Struktur yang disebut Periadequeductal Gray (PAG) terdapat

didalam batang otak ini. Menentukan batas kematian otak para ahli medis

melihat berdasarkan fungsi-fungsi batang otak tersebut (Sternberg, 2012).

c. Otak Belakang

Otak belakang terdiri atas medula oblongata, pons, dan serebelum.

Medula oblongata mengontrol aktivitas jantung dan banyak mengontrol

pernafasan, menelanan mencerna. Medula juga menjadi tempat saluran

saraf yang berasal dari bagian tubuh sisi kana yang bergerak menyilang

menuju sisi otak bagian kiri, dan sebaliknya. Medula oblongata adalah

sebuah struktur interior memanjang yang terletak persis dititekanan

intrakranial sara tulang belakang yang memasuki tengkorak dan

menempel ke otak. Medula oblongata yang mengandung RAS,

membantu kita bertahan hidup. Selain medula oblongata adapula pons

yang berfungsi sebagai sejenis stasiun pemancar karena ia mengandung

serabut-serabut neuron yang menyalurkan sinyal dari satu bagian otak ke


25

bagian otak lainnya. Serbelum yang berarti otak keil ini memiliki fungsi

yaitu mengontrol koordinasi tubuh, keseimbangan dan penyesuaian otot

dan beberapa aspek memori yang melibatkan gerakan-gerakan terkait

prosedur (Sternberg, 2012).

d. Lobus-Lobus Hemisfer Otak

1) Lobus Frontalis

Lobus frontalis diasosiasikan dengan pemrosesan motorik, dan proes-

proses berfikir yang lebih tinggi seperti penalaran abstrak. Lobus ini

juga bertanggung jawab atas fungsi kognitif tertinggi, seperti

pemecahan masalah, spontanitas, memori, bahasa, motivasi, penilaian,

dan kontrol impuls (Hernanta, 2013).

2) Lobus Parietalis

Lobus ini juga diasosiasikan dengan pemrosesan somatosensoris. Ia

menerima input-input dari neuron terkait sentuhan, rasa sakit, rasa

temperatur, dan posisi tungkai-tungkai tubuh (Sternberg, 2012).

3) Lobus Temporalis

Lobus temporal adalah area asosiasi primer untuk informasi auditorik

dan mencakup area Wernick tempat intepretasi bahasa. Lobus ini juga

terlibat dalam intepretasi bau, penyimpanan ingatan, musik, agresif

dan perrilaku seksual (Hernanta, 2013).

4) Lobus Okipitalis

Lobus oksipital adalah lobus posterior koteks cerebrum. Lobus ini

terletak di sebelah posterior dari lobus parietalis dan didasar fisura


26

parieto-oksipitalis, yang memisahkannya dari cerebellum. Lobus ini

adalah pusat asosiasi visual utama. Lobus ini menerima informasi yang

berasal dari retina. Kiri untuk melihat angka dan huruf, serta kanan

untuk melihat gambar dan bentuk (Hernanta, 2013).

3. Aspek Fungsi Kognitif

a. Atensi

Atensi adalah cara-cara kita secara aktif memproses inforrmasi yang

terbatas dari sejumlah besar informasi yang disediakan oleh indra,

memori yang tersimpan, dan oleh proses-proses kognitif lainnya. Atensi

juga mencakup baik proses-proses sadar dan proses tidak sadar (Reed,

2013).

b. Intelegens

Intelegensi adalah kapasitas untuk belajar dari pengalaman dengan

menggunakan proses-proses metakognitif dalam upayanya meningkatkan

pembelajaran, dan kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan

sekitar.

Pada umumnya intelegensi diukur dengan menjumlahkan nilai

pada berbagai subyek verbal dan kinerja. Kemampuan verbal tetap stabil

dengan preoses penuaan normal. Sebaliknya, subyek yang membutuhkan

pemikiran kreatif nonverbal dan strategi pemecahan masalah baru

menunjukkan penurunan yang lambat karena penuaan (Helter, Ouslander

dkk, 2012).
27

c. Perhatian

Perhatian melibatkan kemampuan untuk fokus pada satu atau lebih

potongan-potongan informasi baik melalui auditori dan visual yang cukup

lama untuk memasukkan dan mengolah data. Dua karakteristik perhatian

adalah elektivitas dan usaha mental. Selektivitas perlu untuk menjaga kita

dari kelebihan dengan banyaknya informasi (Reed, 2013).

d. Fungsi eksekutif

Fungsi eksekutif mencakup kemampuan untuk mengontrol dan

berperilaku langsung, membuat kesimpulan yang berarti dan penilaian

yang tepat, merencanakan dan melaksanakan tugas-tugas, memanipulasi

beberapa potongan informasi pada satu waktu (memori kerja), urutan

motorik kompleks lengkap dan memecahkan masalah abstrak dan

kompleks. Kemampuan eksekutif diperankan oleh lobus frontal hemisfer

serebri, terutama area prefrontal, merupakan area yang penting untuk

fungsi eksekutif normal (Ginsberg, 2013).

e. Memori

Memori adalah proses bertingkat dimana informasi pertama kali harus

dicatat dalam area korteks sensorik kemudian diporses melalui sistem

limbik untuk terrjadinya pembelajaran baru. Secara klinik memori dibagi

tiga tipe dasar, yaitu:

1) Immediate memory, merupakan kemampuan untuk merecall stimulus

dalam interval waktu beberapa detekanan intrakranial.


28

2) Recent memory, merupakan kemampuan untuk mengingat kejadian

sehari-hari, seperti tanggal, apa yang dimakan saat sarapan, atau

kejadian-kejadian baru.

3) Remote memory, merupakan rekoleksi atau mengintai kembali

kejadian yang terjadi bertahun-tahun yang lalu (tanggal lahir, sejarah,

nama kerabat, dan lain-lain).

f. Bahasa

Bahasa merupakan instrumen dasar bagi komunikasi pada manusia, dan

merupakan dasar dan tulang punggung bagi kemampuan kognitif. Bila

terdapat gangguan hal ini akan mengakibatkan hambatan yang berarti

bagi klien (Lumbantobing, 2012). Fungsi bahasa merupakan kemampuan

yang meliputi empat parameter, yaitu:

1) Kelancaran

Suatu metode yang dapat membantu menilai kelancaran yaitu dengan

meminta pasien menulis atau berbicara spontan.

2) Pemahaman

Pemahaman merujuk pada kemampuan untuk memahami dalam suatu

perintah atau perkataan, dibuktikan dengan seseorang untuk

melakukan perintah tersebut.

3) Pengulangan

Kemampuan sesorang untuk dapat mengklarifikasi penyataan

sebelumnya.
29

4) Penanaman

Penanaman merujuk pada kemampuan seseorang untuk menamai

sebuah objek dan bagian-bagiannya.

g. Visuospasial

Kemampuan persepsi visual memerlukan pengertian lambang tentang

ruang. Hubungan bentuk posisi ukuran relatif, latar depan dan latar

belakang, dan ketetapan bentuk (dengan mempertahankan ciri khasnya

bagaimanapun posisinya dalam ruang) adalah diantara unsur pokok

pengurutan visuospaial (Behrman, 2013).

C. Glasgow Coma Scale (GCS)

Pemeriksaan awal pada penderita cedera kepala penting dalam

penentuan tingkat keparahan, tatalaksana dan prognosa. Salah satu

pemeriksaan yang penting dilakukan adalah pemeriksaan kesadaran. GCS

merupakan skala yang paling mudah dan paling sering digunakan untuk

menggambarkan tingkat umum kesadaran pada pasien pasien dengan cedera

kepala. Skala ini bahkan sering digunakan pada pasien tanpa cedera kepala.

Contohnya sebagai monitor pada pasien dengan penyakit degeneratif,

metabolik, infeksi ataupun neoplastik yang kesadarannya mengalami

gangguan.

GCS pertama kali diperkenalkan di Scotland oleh Graham Teasdale

dan Bryan Jeneth pada tahun 1974. Pada awalnya GCS terdiri dari 14 poin.

Kemudian skala ini diperbaharui menjadi 15 poin. Skala ini bisa dikerjakan

oleh petugas medis, baik dokter spesialis, dokter umum, perawat maupun
30

koass, terutama pada departemen emergensi dan ICU. Skala ini telah

digunakan lebih dari 40 tahun dan terus mengalami perkembangan

(Blumenfeld H, 2012).

Pemeriksaan tingkat kesadaran ini harus dibedakan dengan isi

kesadaran. Penilaian tingkat kesadaran (level of consciousness) berhubungan

dengan ‘bangkitan', sedangkan isi kesadaran berkaitan dengan fungsi korteks

seperti fungsi membaca, menulis, berhitung, bahasa, daya ingat dan kecerdasan

dsb (Sindou M.Practical: Book Of Neurosurgery, 2013).

1. Pemeriksaan Glasgow Coma Scale (GCS)

GCS dibagi menjadi 3 kategori, respon mata (E) , respon verbal (V),

dan respon motorik (M). Respon membuka mata dianggap berguna untuk

merefleksikan intensitas gangguan dari pengaktivasian fungsi otak. Respon

verbal merefleksikan fungsi kortik. Sementara respon motorik digunakan

untuk merefleksikan integritas sistem saraf pada pasien yang tidak dapat

berbicara.

Respon mata terdiri dari 4 poin. Respon verbal terdiri dari 5 poin.

Sedangkan respon motorik terdiri dari 6 poin. Pemeriksaan dilakukan

berurutan dimulai dari poin terbesar (Sindou M.Practical: Book Of

Neurosurgery, 2013).
31

Berikut merupakan penjelasan mengenai pemeriksaan 3 kategori

GCS:

a. Respon membuka mata

1) Respon membuka mata secara spontan

Walaupun hal ini membuktikan bahwa sistem bangkitan otak sedang

teraktifasi, respon ini belum bisa menggambarkan kesadaran, karena

pada pasien vegetative state, terjadi gangguan kesadaran namun mata

pasien tetap terbuka.

2) Respon membuka mata terhadap perintah (suara)

Dilakukan dengan cara berbicara atau berteriak kepada pasien.

3) Respon membuka mata terhadap rangsangan nyeri

Dilakukan dengan cara menekan kuku jari tangan. Pemeriksa harus

konsisten terhadap pemberian stimulus, agar tidak terjadi respon yang

ambigu.

4) Tidak ada respon membuka mata

Hal ini menunjukkan adanya gangguan pada mekanisme bangkitan

batang otak. Perlu dipastikan bahwa hal ini tidak terjadi akibat

stimulus yang tidak adekuat. Selain itu perlu dipastikan bahwa tidak

adanya respon membuka mata tidak terjadi akibat bahan sedatif

ataupun konsekuensi penyakit tertentu seperti fronto-basal fracture.


32

b. Respon verbal

1) Baik dan tidak ada disorientasi

Dilakukan dengan cara memberikan pertanyaan seputar orientasi, yaitu

orientasi persona (contoh: menanyakan nama atau identitas), orientasi

tempat (contoh : menanyakan tempat keberadaannya pada saat itu) dan

orientasi waktu (contoh : menanyakan tahun pada saat itu).

2) Disorientasi

Terjadi apabila pasien dapat mengucapkan kalimat yang baik, namun

tidak dapat memberikan jawaban tepat terhadap 3 pertanyaan orientasi

sebelumnya.

3) Perkataan tidak tepat

Terjadi apabila pasien hanya dapat mengucapkan satu atau dua buah

kata.

4) Mengerang

Respon yang ditunjukkan hanya berupa erangan atau suara yang tidak

dapat dimengerti.

5) Tidak ada respon verbal

Pasien tidak memberikan respon sama sekali.

c. Respon motorik

1) Mengikuti perintah

Dilakukan dengan cara memberi perintah pada pasien untuk

menunjukkan suatu lokasi. Perlu diketahui bahwa respon motorik bisa

terjadi sebagai refleks primitif, saat memperbaiki postur/posisi ataupun


33

sebagai repon terhadap kejutan. Repon tersebut tidak bisa

dikategorikan dalam poin ini.

2) Mengetahui/melokalisasi lokasi nyeri

Stimulus bisa diberikan pada supraorbital notch ataupun styloid

process dibelakang mandibula. Respon ini terjadi apabila tangan

pasien dapat mencapai atas clavicle dalam usahanya menyingkirkan

stimulus nyeri.

3) Reaksi menghindar

Terjadi reaksi menghindar dari stimulus nyeri. Bisa ditandai pula

dengan terjadinya fleksi normal, yaitu fleksi pada siku dan pergelangan

tangan, dimana lengan berada dalam posisi supinasi.

4) Reaksi fleksi abnormal

Reaksi fleksi terjadi ketekanan intrakranial siku ditekuk mengarah

pada stimulus, namun tidak cukup kuat untuk melokalisasi sumber

stimulus. Lengan fleksi di siku dan pronasi, tangan mengepal (postur

dekortekanan intrakranialasi). Karakteristik fleksi abnormal adalah

terjadinya rotasi internal (postur dekortik) dan terjadi dengan lambat.

Sementara pada fleksi normal terjadi rotasi eksternal dengan cepat.

5) Reaksi ekstensi

Stimulus akan menimbulkan repon ekstensi lengan di siku, dimana

lengan biasanya adduksi dan bahu berotasi ke dalam (postur

deserebrasi).

Tidak ada respon motorik


34

Pemeriksa harus hati-hati dalam membedakan respon yang diakibatkan

oleh hipoksia maupun hipotensi. Selain itu, respon pada lengan dan

kaki perlu dibandingkan dengan respon pada kepala dan leher, untuk

menyingkirkan trauma batang otak dan medula spinalis sebagai

penyebabnya. Pemberian stimulus juga diharapkan sudah adekuat.

2. Interpretasi Glasgow Coma Scale (GCS)

Hasil pemeriksaan GCS ditulis berurutan sesuai nilai yang didapatkan mulai

dari repon membuka mata, respon verbal dan respon motorik (E-V-M). Skor

GCS merupakan hasil dari penjumlahan ketiga kategori tersebut. Skor

tertinggi adalah 15 (E4V5M6), sementara skor terendah adalah 3 (E1V1M1)

(Juwono T, 2012).

Berikut meupakan interpretasi GCS menurut tingkat keparahan cedera otak

traumatik:

a. GCS 14-15 : Cedera otak traumatik Ringan

b. GCS 9-13 : Cedera otak traumatik Sedang

c. GCS 3-8 : Cedera otak traumatik Berat.

D. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan tujuan utama dari ilmu karena teori merupakan alat

untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena yang diteliti. Teori selalu

berdasarkan fakta, didukung oleh dalil dan proposisi. Secara teori harus

berlandaskan fakta emfiris karena tujuan utamanya adalah menjelaskan dan

memprediksikan kenyataan atau realitas. Suatu penelitian dengan dasar teori


35

yang baik akan membantu mengarahkan sipeneliti dalam upaya menjelaskan

fenomena yang diteliti (Notoatmodjo, 2014).

Gambar 2.2
Bisri T (2012); Saleh SC (2013) & Reed (2013) & Juwono T (2012)
36

E. Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan dasar pada penelitian yang dirumuskan oleh

fakta-fakta, observasi dan tinjauan. Kerangka konsep membuat teori, dalil atau

konsep-konsep yang akan dijadikan dasar pijakan untuk melakukan penelitian

(Notoatmodjo, 2014). Kerangka konsep dalam penelitian ini sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.3
Hubungan Skor Glasgow Coma Skale (GCS) dengan Fungsi Kognitif Pada
Pasien Cedera Otak Traumatik

F. Definisi Operasional

Cara
No Variabel Definisi Operasional
Pengukuran
Variabel
Dependen
1 Fungsi Kognitif Kognitif merupakan Telaah dan Reiview
kemampuan otak untuk Artikel Ilmiah
memproses,
mempertahankan, dan
menggunakan informasi.
Kemampuan kognitif
mencakup pemikiran,
penilaian, persepsi,
perhatian pemahaman, dan
memori
Variabel
Independen
2 Skor Glasgow GCS merupakan skala yang Telaah dan Reiview
Coma Skale paling mudah dan paling Artikel Ilmiah
(GCS) sering digunakan untuk
menggambarkan tingkat
umum kesadaran pada
pasien pasien dengan
cedera kepala
37

G. Hipotesis

Ha : Ada hubungan skor GCS dengan fungsi kognitif pada pasien cedera otak

traumatik
BAB III
METODOLOGI PENULISAN

A. Jenis Review Penulisan

Metode yang digunakan dalam penulisan ini yaitu berjenis Literature

review. Literature review merupakan metode dalam melaksanakan review

artikel dengan standar, kriteria, evaluasi terstruktur dan pengkategorikan dari

artikel yang telah dihasilkan sebelumnya. Jenis review yang digunakan yaitu

tradisional review yang merupakan tinjaun pustaka yang biasanya umum

digunakan oleh penulis. Artikel atau artikel ilmiah yang review dipilih sendiri

oleh penulis sesuai topik penulisan.

B. Strategi Pencarian Literature

Sumber literature review yang digunakan dalam penulisan ini ditelusuri

melalui Google Scholar dengan kata kunci skor GCS, fungsi kognitif, pasien

cedera otak traumatik. Penelusuran dilakukan sejak bulan Januari 2021.

Variabel independen adalah skor GCS dan variabel dependen fungsi kognitif.

Kemudian data yang diperoleh dari telaah pustaka dianalisis menggunakan

teknik kritik dan membangun memiliki sifat positif dan berfokus pada tujuan

yang jelas serta memberi pendapat atau opini, bisa setuju atau tidak setuju yang

didukung oleh bukti. Data yang diperoleh dituangkan ke dalam sub bab-sub

bab sehingga menjawab rumusan masalah penulisan.

36
37

C. Kriteria Literature Review

Pengambilan literatur dicari di Google Scholar dengan menggunakan

kata kunci : skor GCS, fungsi kognitif, pasien cedera otak traumatik. Artikel

yang disaring atas judul, abstrak dan kata kunci dan akan diproses kembalidan

di saring kembali atas dengan melihat keseluruhan teks. Artikel yang relevan

dengan penelitian n=10 dengan daftar referensi minimal 5 tahun terakhir (tahun

2015-2020).

Kriteria Inklusi dala literature review ini adalah:

1. Diakses dari database Google Scholar

2. Naskah fulltext

3. Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris

4. 5 tahun terakhir (2015-2020)

5. Artikel terakreditasi

Kriteria Ekslusi

1. Naskah dalam bentuk abstrak atau tidak dapat diakses

2. Artikel tidak sesuai topik penelitian


38

D. Tahapan Literature Review

Pencarian artikel melalui basicdata google scholar hasil pencarian akan

disaring berdasarkan judul abstrak dan kata kunci. Hasil pencarian akan

disaring kembali dengan melihat keseluruhan teks. Artikel yang relevan dengan

penelitian n=10 dengan daftar referensi minimal 5 tahun terakhir (tahun 2015-

2020).

Hasil pencarian
Google Scholar n=98

Artikel yang disaring atas dasar


judul, abstrak dan kata kunci n=25

Hasil pencarian yang akan


diproses kembali n=20

Penyebab Cidera Otak Hasil pencarian yang tidak


Traumatik diproses n=10
Kecelakaan kendaraan
bermotor
Kecelakaan Industri
Serangan Hasil pencarian
yang yang tidak diproses n=5
berhubungan dengan
olah raga
Trauma akibat persalinan

Artikel yang relevan Artikel yang disaring


dengan penelitian n=10 kembali atas dengan melihat
Dengan daftar referensi keseluruhan teks n=20
minimal 5 tahun terakhir
(tahun 2015-2020)
Hasil pencarian yang akan diproses kembali n=10
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Kajian Literature Review

Proses pencarian dilakukan melalui elektronik based seperti : Google Scholar

hasil pencari melalui google scholar dengan kata kunci skor GCS, fungsi

kognitif, pasien cedera otak traumatik rentan tahun 2015-2020 ditemukan 98

artikel. Setelah mendapatkan hasil pencarian artikel peneliti melalukan

penyaringan berdasarkan kata kunci rentan tahun 2015-2020 didapatkan artikel

sebanyak 25 artikel dan disaring kembali berdasarkan keseluruhan isi artikel

didapatkan hasil sebanyak 10 artikel yang memenuhi kriteria. Kesimpulanya

adalah jumlah yang dipakai dalam pembuatan literature review ini sebanyak 10

artikel yang merupakan artikel Nasional dan International.

Metode
(Desain,
N Peneliti Sumber Judul Sampel,
Bahasa Hasil/Temuan
o Tahun Artikel Penelitian Variabel,
Intrumen,
Analisis)
1 Siska Safitri, Indonesia Google Fungsi Metode Univariat :
Halimuddin Scholar kognitif Deskripstif Skor GCS
pasien exploratif - Ringan 12.4%
JIM FKEP http:// pasca - Sedang 37.6%
VOL.III www.jii cedera Sampel - Berat 50%
NO.4 m.unsyi kepala 48 responden
2018 ah.ac.id/ Fungsi
FKep/ Variabe Kognitif
article/ - Fungsi - Normal
view/ Kognitif 45.8%
9662 - Cidera - Probabel
kepala gangguan
kognitif
Instrumen 54.2%
Analisis - Defnite
- Univariat gangguan
- Bivariat kognitif 0%

39
40

Bivariat
Ada hubungan
skor GCS
dengan fungsi
kognitif pada
pasien cedera
otak traumatic
dengan p-value
0,002 (p<0,05).
2 Moh. Indonesia Google Faktor Metode Univariat :
Ubaidillah Scholar yang Cross Skor GCS
Faqih, mempenga Sectional - Ringan 10.1%
Ahsan, Tina https:// ruhi fungsi - Sedang 72.9%
Handayani ejournal. kognitif Sampel - Berat 20%
Nasution stikeske pasien 107
panjen- cedera responden Fungsi
J.K.Mesence pemkab kepala Kognitif
phalon, malang. Variabe - Normal
Vol.2 No.4, ac.id/ - Skor GCS 21.7%
Oktober index.ph - Fungsi - Menurun
2016 p/ Kognitif 78.3%
hlm 238-244 mefsenc
ephalon/ Instrumen Bivariat :
article/ Analisis Ada hubungan
view/8 - Univariat skor GCS
- Bivariat dengan Fungsi
Kognitif dengan
p-value 0,000
(p<0,05).
3 Didik Indonesia Google Glasgow Metode Univariat :
Mulyono Scholar Coma Observasional Skor GCS
Scale analitik - Ringan 34.2%
JAKHKJ http:// dalam - Sedang 45.9%
Vol. 7, No. eartikel. menilai Sampel - Berat 19.9%
1, 2021 husadak fungsi 181
aryajaya kognitif responden Fungsi
p-ISSN: .ac.id/ pada psien Kognitif
2442-501x index.ph cedera Variabe - Normal
e-ISSN: p/ otak - Skor GCS 38.6%
2541-2892 JAKdH traumatik - Fungsi - Menurun
KJ/ Kognitif 61.4%
article/
view/ Instrumen
153 Analisis
- Univariat
4 Dadang Indonesia Google Nilai skor Metode Univariat :
Supriady Scholar GCS Observasiona Nilai GCS
Eka Putra, dengan l Analitik Ringan 29.1%
M. Rasjad https:// fungsi Sedang 50.2%
Indra, artikel.p kognitif Sampel Berat 20.7%
Djanggan oltekkes pada 96 responden
Sargowo, - pasien Fungsi
Mukhamad soepraoe cidera Variabe Kognitif
fathoni nd.ac.id/ kepala di Skor GCS Normal 39.7%
index.ph Rumah Fungsi
41

p/HWS/
Artikel Hesti article/ Sakit kognitif - Menurun
Wira Sakti, view/ Saiful 60.3%
Volume 4, 138 Anwar Instrumen
Nomor 2, Malang Analisis Bivariat :
Oktober - Univariat Ada hubungan
2016 - Bivariat Nilai skor GCS
dengan fungsi
kognitif pada
pasien cidera
kepala di
Rumah Sakit
Saiful Anwar
Malang dengan
p-value 0,001
<0,05.
5 Patrick Indonesia Google Gambaran Metode Univariat :
Zwingly, Scholar kualitas Observasiona GCS keadaan
Maximillian hidup l Analitik awal
Ch. Oley, H. https:// pasien - Ringan (14-
P. Limpeleh ejournal. cedera Sampel 15) 6.5%
unsrat.a kepala 31 responden - Sedang (9-13)
Artikel e- c.id/ pasca 74.2%
Clinic (eCl), index.ph operasi di Variabe - Berat (3-8)
Volume 3, p/ RSUP - GCS 19.3%
Nomor 1, eclidnic/ Prof. Dr. keadaan GCS keadaan
Januari- article/ R. D. awal Akhir
April view/ Kandou - GCS - Ringan (14-
2015 7608 Manado keadaan 15) 0%
akhir - Sedang (9-13)
41.9%
Instrumen - Berat (3-8)
Analisis 58.1%
- Univariat
6 Sari Yuni, Indonesia Google Perbedaan Metode Univariat :
Wahyudi, Scholar Glasgow design Skor GCS
Astuti Coma observasional - Ringan 31.5%
https:// Scale dan analitik - Sedang 32.1%
Artikel eartikel. fungsi Sampel Berat 36.4%
Kesehatan poltekke kognitif 181
Volume 11, s- pada responden Fungsi
Nomor 2, tjk.ac.id/ Pasien Kognitif
Tahun index.ph Trauma Variabe - Normal
2020 p/JK/ Kepala di - Skor GCS 45.5%
arsticle/ Instalasi - Fungsi Menurun
ISSN view/ Gawat kognitif 54.5%
2086-7751 1958 Darurat
Instrumen
Analisis
- Univariat
7 Ewi Astuti, Indonesia Google Hubungan Metode Univariat :
Syaiful Scholar glasgow Cross Nilai GCS
Saanin, coma scale Sectional Ringan 19.4%
Edison http:// dengan %
artikelm fungsi Sampel Sedang 30.2%
42

Majalah ka.fk.un kognitif 10 responden Berat 50.4%


and.
Kedokteran ac.id/ pada Variabe Fungsi
Andalas, index.ph pasien - GCS Kognitif
Vol. 39, p/art/ cedera - Fungsi - Normal
No.2, artiscle/ traumatik kognitif 39.7%
Agustus view/ - Menurun
2016 487 Instrumen 60.3%
Analisis
- Univariat Bivariat :
- Bivariat Ada hubungan
glasgow coma
scale dengan
glasgow
outcome scale
berdasarkan
lama waktu
tunggu operasi
pada pasien
sedera traumatik
dengan p-value
0,023 (p<0,05)
8 Apidha Indonesia Google Hubungan Metode Univariat
Kartinasari, Scholar Skor GCS Cross Skor GCS
Kenanga M. dengan Sectional - Ringan 28.6%
Sikumbang, http:// Fungsi - Berat 71.4%
Fakhrurraz inasnacc Kognitif Sampel
.org/ pada 54 responden Fungsi Kognitif
Artikel ojs2/ Pasien - Normal
Neuroaneste index.sp Cedera Variabe 69.4%%
si Indonesia hp/jni/ Otak - Skor GCS - Menurun
article/ Traumatik - Fungsi 30.6%
JNI 2020 view/ di IGD Kognitif
209 RSUD Bivariat
Ulin Instrumen ada hubungan
Banjarmas Analisis skor GCS
in - Univariat dengan fungsi
- Bivariat kognitif pada
pasien cedera
Otak traumatik
di IGD RSUD
Ulin
Banjarmasin
dengan p-value
0,000 (p<0,05)
9 Mark Gudes Inggris Gogle Improvem Metode Univariat :
blatt, Scholar ent Observasi GCS
Karl Wissem in cognitiv Study - 0-5 42.3%
ann, https:// e function - 6-10 26.9%
Myassar Zar link.spri as measur Sampel - 11-15 5.8%
if, nger.co ed 52 responden Cognitive
Barbara Bu m/ by neurotr - Score <85
mstead, content/ ax Variabe 19.2%
Lori Fafard, pdf/ in patients - GCC
Jefrey Wilke 10.1007/ with relap - Cognitive Bivariat
43

n2 ss40263 sing Impaiment ada hubungan


-018- multiple antara skor
0553-
1.pdf
CNS Drugs sclerosis Instrumen GCS dengan
(2018) treated Analisis fungsi kognitif
32:1173– with natali - Univariat dengan p-value
1181 zumab: - Bivariat 0,003
A 2-Year
Retrospect
ive
Analysis
10 Gusti M F Indonesia Google Hubungan Metode Univariat :
Suharto, Scholar antara Cross Skor GCS
Kenanga M Skor GCS Sectional - Ringan 59.3%
Sikumban, http:// dengan - Sedang 22.4%
Dewi I N inasnaac fungsi Sampel - Berat 18.3%
Pratiwi c.org/ kognitif 53 responden
ojs2/ pada Fungsi
Artikel index.ph Pasien Variabe Kognitif
Neuroaneste p/jni/ Cedera - Skor GCS - Normal
si Indonesia article/ Otak - CRP 51.4%
view/ Traumatik Menurun
JNI 208 di IGD Instrumen 48.6%
2019 RSUD Analisis
8 (3) : 153- Ulin - Univariat Bivariat :
59 Banjarmas - Bivariat Ada hubungan
in antara Skor
GCS dengan
Kadar C-
Reactive Protein
(CRP) Pasien
Cedera Otak
Traumatik di
IGD RSUD
Ulin
Banjarmasin
dengan p-value
0,034 (p<0,05)
44

B. Pembahasan

1. Univariat

a. Diketahui literasi skor GCS pada pasien cedera otak traumatik

berdasarkan penelusuran artikel ilmiah

Berdasarkan hasil penelusuran artikel melalui google scholar

didapatkan 10 artikel yang relevan didapatkan 2 artikel GCS ringan, 4

artikel GCS sedang dan 4 artikel GCS berat dengan tahun referensi

2016-2020.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Safitri, dkk (2018) yang

berjudul fungsi kognitif pasien pasca cedera kepala menunjukan bahwa

dari 48 responden terdapat skor GCS ringan yaitu 12.4%, skor GCS

sedang 37.6% dan skor GCS berat 50%.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Moh, dkk (2016) yang

berjudul Faktor yang mempengaruhi fungsi kognitif pasien cedera

kepala menunjukan bahwa dari 107 responden terdapat 10.1% skor GCS

ringan, 722.9 skor GCS sedang dan 20% skor GCS berat.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Didik (2020) yang berjudul

Glasgow Coma Scale dalam menilai fungsi kognitif pada psien cedera

otak traumatik menunjukan bahwa dari 181 responden terdapat skor GCS

ringan 34.2% skor GCS sedang 45.9% dan skor GCS berat 19.9%
45

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dadang, dkk (2016) yang

berjudul nilai skor GCS dengan fungsi kognitif pada pasien cidera kepala

di Rumah Sakit Saiful Anwar Malang menunjukan bahwa dari 96

responden terdapat nilai GCS ringan 29.1%, nilai GCS sedang 50.2% dan

nilai GCS berat 20.7%.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Patrick, dkk (2015) yang

berjudul gambaran kualitas hidup pasien cedera kepala pasca operasi di

RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado menujukan bahwa dari 31

responden terdapat Skor GCS ringan yaitu 6.5%, sedang 74.2% dan berat

19.3%.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sari (2020) yang berjudul

Perbedaan Glasgow Coma Scale dan fungsi kognitif pada Pasien Trauma

Kepala di Instalasi Gawat Darurat menunjukan bahwa dari 181

responden terdapat skor GCS ringan 31.5%, skor GCS sedang 32.1% dan

skor GCS berat 36.4%.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Astuti, dkk (2016) yang

berjudul Hubungan glasgow coma scale dengan fungsi kognitif pada

pasien cedera traumatik menunjukan bahwa dari 10 responden terdapat

skor GCS ringan 19.4%, skor GCS sedang 30.2% dan skor GCS berat

50.4%.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Apidha, dkk (2020) yang

berjudul Hubungan Skor GCS dengan Fungsi Kognitif pada Pasien

Cedera Otak Traumatik di IGD RSUD Ulin Banjarmasin menunjukan


46

bahwa dari 54 responden terdapat skor GCS ringan 28.6% dan skor GCS

berat 71.4%.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Blat, dkk (2018) yang

berjudul Improvement in cognitive function as measured by neurotrax

in patients with relapsing multiple sclerosis treated with natalizumab:

A 2-Year Retrospective Analysis menunjukan bahwa dari 52 responden

terdapat skor GCS 0-5 42.3% skor GCS 6-10 26.9% dan skor GCS 11-15

5.8%.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Gusti, dkk (2019) yang

berjudul Hubungan antara Skor GCS dengan fungsi kognitif pada Pasien

Cedera Otak Traumatik di IGD RSUD Ulin Banjarmasin menunjukan

bahwa dari 53 responden terdapat skor GCS ringan 59.3%, sedang 22.4%

dan berat 18.3%.

Penilaian kesadaran pada cedera otak traumatik dilakukan dengan

glasgow coma scale (GCS) yaitu penilaian terhadap reaksi mata, respon

verbal, dan respon motorik (Bisri T, 2012). Hasil pemeriksaan GCS

ditulis berurutan sesuai nilai yang didapatkan mulai dari repon membuka

mata, respon verbal dan respon motorik (E-V-M). Skor GCS merupakan

hasil dari penjumlahan ketiga kategori tersebut. Skor tertinggi adalah 15

(E4V5M6), sementara skor terendah adalah 3 (E1V1M1) (Juwono T,

2012).

Berdasarkan hasil penelusuran artikel, didapatkan bahwa dari 10

artikel yang relevan ditemukan 2 artikel yang menyatakan skor GCS


47

ringan, 4 artikel yang menyatakan skor GCS sedang dan 4 artikel yang

menyatakan skor GCS berat. Berat hasil penelusuran artikel didapatkan

peebedaan hasil penelitian, hal ini disebabkan oleh pada pasien cedera

otak traumatik skala skor GCS berbrda-beda tergantung tingkat

keparahan pasien tersebut.

Asumsi peneliti, berdasarkan hasil temuan yang peneliti lakukan

dari hasil penelusuran artikel dimana dapat dilihat bahwa rerata GCS

responden menurun atau tingkat kesadarn menurun, hal ini disebabkan

oleh responden mengalami cedera otak traumatic, dimana terjadi

gangguan pada reaksi mata, respon verbal dan motoric, dimana pada

pasien cedera otak traumatik tidak mampu untuk membuka mata, respon

verbal yang lemah dan motorik yang menurun yang disebabkan oleh

penurunan tekanan darah ke otak.

b. Diketahui literasi fungsi kognitif pada pasien cedera otak traumatik

berdasarkan penelusuran artikel ilmiah

Berdasarkan hasil penelusuran artikel melalui google scholar

didapatkan 9 artikel yang relavan dari 10 artikel yang didapatkan dengan

tahun referensi 2016-2020.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Safitri, dkk (2018) yang

berjudul fungsi kognitif pasien pasca cedera kepala menunjukan bahwa

dari 48 responden terdapat fungsi kognitif normal 45.8% fungsi kognitif

probable gangguan kognitif 54.2% dan definite gangguan kognitif 0%.


48

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Moh, dkk (2016) yang

berjudul Faktor yang mempengaruhi fungsi kognitif pasien cedera

kepala menunjukan bahwa dari 107 responden terdapat fungsi kognitif

normal 21.7% dan 78.3% fungsi kognitif menurun.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Didik (2020) yang berjudul

Glasgow Coma Scale dalam menilai fungsi kognitif pada psien cedera

otak traumatik menunjukan bahwa dari 181 responden terdapat 38.6%

fungsi kognitif normal dan 61.4% fungsi kognitif menurun.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dadang, dkk (2016) yang

berjudul nilai skor GCS dengan fungsi kognitif pada pasien cidera kepala

di Rumah Sakit Saiful Anwar Malang menunjukan bahwa dari 96

responden terdapat fungsi kognitif normal 39.7% dan fungsi kognitf

menurun 60.3%.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sari (2020) yang berjudul

Perbedaan Glasgow Coma Scale dan fungsi kognitif pada Pasien Trauma

Kepala di Instalasi Gawat Darurat menunjukan bahwa dari 181

responden terdapat fungsi kognitif normal 45.5% dan fungsi kognitif

menurun 54.4%

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Apidha, dkk (2020) yang

berjudul Hubungan Skor GCS dengan Fungsi Kognitif pada Pasien

Cedera Otak Traumatik di IGD RSUD Ulin Banjarmasin menunjukan

bahwa dari 54 responden terdapat skor fungsi kognitif normal 69.4% dan

fungsi kognitif menurun 30.6%.


49

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Blat, dkk (2018) yang

berjudul Improvement in cognitive function as measured by neurotrax

in patients with relapsing multiple sclerosis treated with natalizumab:

A 2-Year Retrospective Analysis menunjukan bahwa dari 52 responden

terdapat fungsi kognitif <85 19.2%

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Gusti, dkk (2019) yang

berjudul Hubungan antara Skor GCS dengan fungsi kognitif pada Pasien

Cedera Otak Traumatik di IGD RSUD Ulin Banjarmasin menunjukan

bahwa dari 53 responden terdapat skor GCS ringan 41.5%, sedang 37.3%

dan berat 20.8%.

Kognitif merupakan kemampuan otak untuk memproses,

mempertahankan, dan menggunakan informasi. Kemampuan kognitif

mencakup pemikiran, penilaian, persepsi, perhatian pemahaman, dan

memori. Kemampuan kognitif ini penting pada kemampuan individu

dalam membuat keputusan, menyelesaikan masalah, menginterpetasikan

lingkungan dan mempelajari informasi yang baru untuk memberikan

nama pada beberapa. Kata kognisi (cognition) merujuk kepada tindakan

atau proses “mengetahui”, termasuk kesadaran dan penilaian (Sherwood,

2012).

Berdasarkan hasil penelusuran artikel didapatkan 9 artikel yang

relevan, yaitu 3 artikel menyatakan bahwa fungsi kognitf normal dan 6

artikel menyatakan fungsi kognitf yang menurun, dari hasil penelusuran


50

artikel didapatkan perdaan dalam hasil penelitian, hal ini disebabkan oleh

pasien yang mengalami fungsi kognitif yang terganggu berbeda-beda.

Asumsi peneliti, berdasarkan hasil temuan yang peneliti lakukan

dari hasil penelusuran artikel dimana dapat dilihat bahwa fungsi kognitif

pada pasien cedera otak traumatik menurun, ayng disebabkan oleh

tingkat kesadaran responden yang menurun atau GCS responden yang

menurun, fungsi kognitif sendiri kemampuan responden dalam semua

aspek yang di hadapi atau dijalani. Fungsi kognitif yang menurun

membuat responden tidak mampu untuk berpikir secara normal dan

respon responden menurun seperti respon verbal dan motorik responden.

2. Bivariat

a. Diketahui literasi hubungan skor GCS dengan fungsi kognitif pada

psien cedera otak traumatik berdasarkan penelusuran artikel ilmiah

Berdasarkan hasil penelusuran artikel melalui google scholar

didapatkan 7 artikel yang relavan dari 10 artikel yang didapatkan dengan

tahun referensi 2016-2020.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Safitri, dkk (2018) ada

hubungan skor GCS dengan fungsi kognitif pada pasien cedera otak

traumatic dengan p-value 0,002 (p<0,05). Hasil penelitian yang

dilakukan oleh Moh, dkk (2016) ada hubungan skor GCS dengan Fungsi

Kognitif dengan p-value 0,000 (p<0,05). Hasil penelitian yang dilakukan

oleh Dadang, dkk (2016) ada hubungan Nilai skor GCS dengan fungsi

kognitif pada pasien cidera kepala di Rumah Sakit Saiful Anwar Malang
51

dengan p-value 0,001 <0,05. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Astuti,

dkk (2016) yang berjudul Hubungan glasgow coma scale dengan fungsi

kognitif pada pasien cedera traumatik menunjukan bahwa dari 10

responden terdapat fungsi kognitf normal 39.7% dan fungsi kognitf

menurun 60.3%. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Apidha, dkk

(2020) ada hubungan skor GCS dengan fungsi kognitif pada pasien

cedera Otak traumatik di IGD RSUD Ulin Banjarmasin dengan p-value

0,000 (p<0,05). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Blat, dkk (2018)

ada hubungan antara skor GCS dengan fungsi kognitif dengan p-value

0,003 (p<0,05). Ada hubungan antara Skor GCS dengan Kadar C-

Reactive Protein (CRP) Pasien Cedera Otak Traumatik di IGD RSUD

Ulin Banjarmasin dengan p-value 0,034 (p<0,05)

Berdasarkan hasil penelusuran artikel didapatkan 7 artikel yang

relevan, dari hasil penelusuran artikel didaptkan kesamaan dalam hasil

penelitian, dimana hasil penelitian meyatakan ada hubungan skor GCS

dengan fungsi kognitf pada pasien cedera otak traumatik. Hal ini

disebabkan oleh skor GCS dapat menganggu fungsi kognitif pada pasien

cedera otak traumatic.

Asumsi peneliti, berdasarkan hasil temuan yang peneliti lakukan

dari hasil penelusuran artikel dimana dapat dilihat bahwa ada hubungan

GCS dengan fungsi kognitif pada pasien cedera otak traumatik, hal ini

disebabkan oleh tingkat kesadaran responden akan terganggu pada fungsi

kognitif responden, dimana tingkat kesadaran responden membuat fungsi


52

kognitif menjadi lebih baik atau memburuk, seperti responden tidak bisa

melakukan aktifitas seperti biasa nya, responden tidak bisa melakukan

respon verbal seperti biasa dan motorik. Hal ini disebabkan oleh tekanan

darah ke otak yang menurun, yang biasanya didapatkan pada responden

kecelakaan dan pasien gawat darurat sehingga menjadi pendarahan di

otak yang membuat fungsi kognitif terganggu.


BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil studi literature review dari 10 artikel yang memenuhi syarat

untuk di review, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Berdasarkan 10 artikel relevan yang didapatkan bahwa 2 artikel menyatakan

bahwa skor GCS ringan, 4 artikel menyatakan skor GCS sedan dan 4 artikel

yang menyatkan skor GCS berta pada pasien cedera otak traumatik

2. Berdasarkan 9 artikel relevan yang didapatkan dari 10 artikel menyatakan

bahwa 3 artikel menyatakan fungsi kogniti normal dan 6 artikel

menyatakan fungsi kognitf menurun pada pasien cedera otak traumatik

3. Diketahui 7 artikel yang relevan menyatakan ada hubungan skor GCS

dengan fungsi kognitif pada pasien cedera otak traumatik berdasarkan

penelusuran artikel ilmiah.

B. Saran

1. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan kepada institusi pendidikan agar dapat menyediakan fasilitas

yang menunjang seperti koleksi-koleksi buku terkait dengan penelitian

sehingga dengan adanya koleksi tersebut dan ditambah dengan adanya

fasilitas yang memadai dapat mempermudah para mahasiswa dalam belajar

dan mengakses pengetahuan.

53
54

2. Bagi Peneliti Selanjutnya

Harapkan kepada peneliti selanjutnya agar dapat melakukan metode

penelitian secara langsung sehingga dapat mengetahui secara langsung

bagaimana keadaan pasien yang cedera otak traumatic sehingga dapat

melihat secara langsung bagaimana tingkat GCS dan seperti apa fungsi

kognitif yang terganggu pada pasien cedera otak traumatic.


DAFTAR PUSTAKA

Astuti, E., Saanin, S., & Edison. (2016). Hubungan Glasgow Coma Scale Dengan
Glasgow Outcome Scale Berdasarkan Lama Waktu Tunggu Operasi.
Majalah Kedokteran Andalas, 39 (2), 50–57.
Arifin MZ, Risdianto A (2012). Perbandingan Efektivitas Natrium Laktat dengan
Manitol untuk menurunkan Tekanan Intrakranial Penderita Cedera
Kepala Berat. Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Majalah
Kedokteran Bandung (MKB).
American College of Surgeons Comittee on Trauma. 2013. Advanced Trauma
Life Support for Doctors (ATLS) Student Course Manual. 8th ed.
Chicago, IL : American College of Surgeons
Bisri, T (2012). Penanganan Neuroanestesia dan Critical Care Cedera Otak
Traumatik. Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Bandung.
Behrman, Kliegman, & Arvin. 2013. Ilmu Kesehatan Anak Nelon. Vol.1. Ed/15.
Jakarta:EGC
Helter, J. B., Ouslander, J. G., dkk (2012). Hazzard's Geriatric Medicine and
Gerontology, Six Edition. United States of America:Mc Graw Hill.
Ginsberg, L (2013). Lecture Notes: Neurologi. Jakarta: Erlangga.
Grace, Pierce A, neil R. Borley. 2014. At a Glance Ilmu Bedah. Edisi Ketiga.
Jakarta: Erlangga
Haddad Samir and Yaseen M Arabi (2012). Critical care management of severe
traumatic brain injury in adults. Scandinavian Journal of trauma,
resuscitation and emergency medicine.
Ichai C, Guy A, Orban JC, Berthier F, Rami L, Long CS, Grimaud D, Levere X.
(2014). Sodium Lactate vs. Mannitol in the Treatment of Intracranial
Hypertensive Episodes in Severe Traumatic Brain-Injured Patients.
Critical Care.
Fredericks, J.A., Blumenfeld, P.C.,& Paris A. 2013. School Engagement :
Potential of the Concept, State of Evidence. Review of Educational
Research. New York: Springer
Kartinasari, A., & Sikumbang, K. M. (2020). Hubungan Skor GCS dengan Fungsi
Kognitif pada Pasien Cedera Otak Traumatik di IGD RSUD Ulin
Banjarmasin Relationship between Glasgow Coma Scale ( GCS ) Score
with Cognitive Function in Traumatic Brain Injury Patient at Emergency
Department of Ulin General. 9 (1), 1–7.
Lumbantobing, S. 2012. Neurologi Klinik: Pemeriksaan Fisik dan
Mental.Jakarta:FKUI
Mulyono, D. (2020). Perbedaan Glasgow Coma Scale dan Rapid Emergency
Medicine Score dalam Memprediksi Outcome Pasien Trauma Kepala di
Instalasi Gawat Darurat. Artikel Kesehatan, 11 (2), 215.
https://doi.org/10.26630/jk.v11i2.1958
Mulyono, D., Darurat, I. G., Sakit, R., & Manguharjo, P. (2021). JAKHKJ Vol. 7,
No. 1, 2021 Perbedaan Nationale Early Warning Score dan Glasgow
Coma Scale dalam Memprediksi Outcome Pasien Trauma Kepala di
Instalasi Gawat Darurat. 7 (1), 15–23.
Mansjoer, Arif. 20111. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jilid 1. Jakarta:
Media Aesculapilus.
Nomor, V. (2020). Artikel Penelitian Perawat Profesional DIFFERENCES OF
THE GLASGOW COMA SCALE AND THE FULL. 2 (November), 545–
554.
Notoatmodjo, S. 2014. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Saleh, SC (2013). Sinopsis Neuroanestesia Klinik : Anstesi untuk Trauma Kepala.
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya.
Sherwood, L (2012). Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem Ed. 6. Jakarta: EGC.
Suharto, G. M. F., Sikumbang, K. M., & Pratiwi, D. I. N. (2019). Hubungan
antara Skor GCS dengan Kadar C-Reactive Protein (CRP) Pasien Cedera
Otak Traumatik di IGD RSUD Ulin Banjarmasin. Artikel Neuroanestesi
Indonesia, 8 (3), 153–159. https://doi.org/10.24244/jni.v8i3.208
Safitri, S., & Halimuddin. (2018). Fungsi Kognitif Pasien Pasca Cedera Kepala
Cognitive Function of Post Head Injury. III (4), 218–223.
Suwaryo, P. A. W., & Yuwono, P. (2018). Penggunaan Glasgow Outcome Scale
Dalam Penilaian Kondisi Pasien Pasca Cedera Kepala. Artikel Ilmiah
Kesehatan Keperawatan, 13 (3), 107–113.
https://doi.org/10.26753/jikk.v13i3.227

Sternberg, RJ. (2012). Psikologi Kognitif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

PERDOSSI. 2011. Acuan Praktik Klinis Neurologi. PERDOSSI :19-25


Putra, D. S. E., Indra, M. R., Sargowo, D., & Fathoni, M. (2016). Nilai Skor
Glasgow Coma Scale, Age, Systolic Blood Pressure (Gap Score) Dan
Saturasi Oksigen Sebagai Prediktor Mortalitas Pasien Cidera Kepala Di
Rumah Sakit Saiful Anwar Malang. Hesti Wira Sakti, 4, 13–28.

Zwingly, P., Oley, M. C., & Limpeleh, H. P. (2015). Gambaran Kualitas Hidup
Pasien Cedera Kepala Pasca Operasi Periode Januari 2012 - Desember
2013 Di Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. E-CliniC, 3 (1), 1–5.
https://doi.org/10.35790/ecl.3.1.2015.7608
HUBUNGAN SKOR GCS DENGAN FUNGSI KOGNITIF
PADA PASIEN CEDERA OTAK TRAUMATIK
Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September
NO KEGIATAN
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Penyerahan Judul Skripsi oleh
Mahasiswa
2 Seleksi Judul Skripsi
3 Pengumuman Judul Diterima
4 Proses Bimbingan Proposal
5 Sidang Proposal
6 Perbaikan dan Penyerahan
Proposal
7 Penelitian dan Konsultasi
Laporan
8 Seminar Hasil
9 Perbaikan dan Penyerahan
Skripsi
10 Persiapan Yudisium
11 Yudisium

Pembimbing I Pembimbing II Mahasiswa

(Ns. Meri Yolanda, M.Kep) (Ns. Hidayatul Rahmi, M.Kep) (Dicky Seprian)

Anda mungkin juga menyukai