Kelompok 5 :
1. 20047 Britney Gracesika
2. 20053 Dinda Dwiagneza A
3. 20052 Dina Fadhilah R
4. 20063 Monica Elsyadai
5. 20065 Nabila Septiani
JAKARTA
2022
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT SISTEM
MUSKULOSKELETAL : GANGGUAN MOBILITAS FISIK PADA
TN.G YANG MENGALAMI OPEN FRAKTUR TIBIA FIBULA
DEXTRA 1/3 PROXIMAL DI RS RADEN SAID SUKANTO
JAKARTA
Makalah ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk tugas semester pada Mata
Kuliah Keperawatan Gawat Darurat Dasar 1
Kelompok 5 :
1. 20047 Britney Gracesika
2. 20053 Dinda Dwiagneza A
3. 20052 Dina Fadhilah R
4. 20063 Monica Elsyadai
5. 20065 Nabila Septiani
JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadiratan Allah SWT karena atas segala rahmat dan hidayah yang
dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan tugas makalah
ini yang berjudul “Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Pasien Tn. GS dengan OF
Tibia Fibula Dextra 1/3 Proximaldi di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat I
Raden Said Sukanto Jakarta “. Makalah ini disusun dan ditujukan untuk memenuhi
tugas Keperawatan Gawat Darurat.
Penyusunan makalah ini, penulis banyak mengalami kesulitan dan hambatan. Namun,
berkat arahan dan bimbingan dari semua pihak pada akhirnya penulis dapat
menyelesaikan makalah ini. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Ibu Yuyun Kurniasih, Skp, SAP, M.Kep selaku Direktur Akademi Keperawatan P
olri Jakarta.
2. Ibu Purnamawati, Spd, S.Kep, MKM selaku dosen koordinator Mata Ajar
Keperawatan Gawat Darurat sekaligus dosen pembimbing makalah Mata Ajar
Keperawatan Gawat Darurat.
3. Teman-teman satu kelompok yang telah memberikan dukungan dan bantuan
dalam penulisan makalah ini.
Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................3
DAFTAR ISI............................................................................................................4
BAB 1.......................................................................................................................5
PENDAHULUAN....................................................................................................5
1.1 Latar Belakang...................................................................................................5
1.2 Tujuan Penulisan................................................................................................9
1.3 Metode Penulisan.............................................................................................10
1.4 Ruang Lingkup.................................................................................................10
1.1 Sistematika Penulisan.......................................................................................10
BAB 2.....................................................................................................................10
TINJAUAN TEORITIS.........................................................................................10
2.1 Pengertian.........................................................................................................10
2.2 Etiologi.............................................................................................................12
2.3 Patofisiologi.....................................................................................................13
2.4 Penatalaksanaan...............................................................................................19
2.1 Pengertian.........................................................................................................21
2.2 Gejala dan Tanda..............................................................................................21
2.3 Faktor Penyebab...............................................................................................22
2.4 Penatalaksanaan gangguan mobilitas fisik.......................................................23
2.1 Pengkajian........................................................................................................27
2.2 Diagnosa...........................................................................................................32
2.3 Perencanaan......................................................................................................32
2.4 Implementasi....................................................................................................37
2.5 Evaluasi............................................................................................................37
BAB 3.....................................................................................................................38
B. Masalah keperawatan........................................................................................42
BAB 4.....................................................................................................................49
PENUTUP..............................................................................................................49
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................51
BAB 1
PENDAHULUAN
Fraktur adalah terputusnya tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis dan
luasnya (Brunner & Suddarth, 2002 dalam Wijaya & Putri, 2013). Penanganan
fraktur terbagi menjadi dua jenis yaitu secara konservatif (tanpa pembedahan) dan
dengan pembedahan dengan tujuan agar fragment dari tulang yang patah tidak
terjadi pergeseran dan dapat menyambung lagi dengan baik. Setelah dilakukan
tindakan salah satu masalah keperawatan yang muncul yaitu gangguan mobilitas
fisik (Muttaqin, 2008). Gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam
gerakan fisik dari satu atau lebih ekstermitas secara mandiri (Sjamsuhidajat,
2012). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Yandri, 2013)
menyatakan bahwa masalah keperawatan yang muncul yaitu gangguan mobilitas
fisik pada penanganan patah tulang tibia dan fibula yang diberikan penanganan
dengan operatif ataupun konservatif.
Menurut Depkes RI 2018, dari sekian banyak kasus fraktur di Indonsia, fraktur
pada ekstremitas bawah akibat kecelakaan memiliki prevalensi yang paling tinggi
diantara fraktur lainnya yaitu sekitar 46,2 %. Dari 45.987 orang dengan kasus
fraktur ekstremitas bawah akibat kecelakaan, 19.629 orang mengalami fraktur
pada tulang femur, 14.027 orang mengalami fraktur cruris, 3.775 orang
mengalami fraktur tibia, 970 orang mengalami fraktur pada tulang-tulang kecil di
kaki dan 336 orang mengalami fraktur fibula. Sebuah penelitian yang dilakukan
oleh Banskota et.al (2016) di salah satu Rumah Sakit di Kathmandu Nepal, dari
1337 sampel didapatkan bahwa tulang tibia dan fibula merupakan tulang tersering
yang mengalami frakur akibat kecelakaan bermotor dengan angka mencapai 297
orang (22%).Walaupun peran fibula dalam pergerakan ekstremitas bawah sangat
sedikit, tetapi terjadinya fraktur pada fibula tetap saja dapat menimbulkan adanya
gangguan aktifitas fungsional tungkai dan kaki.
Penelitian yang dilakukan oleh (Shinta Aprillia, 2019) dengan judul “Asuhan
Keperawatan Pada Pasien Dengan Fraktur Tibia Fibula di Ruangan Trauma
Center RSUP dr M. Djamil Padang didapatkan. Hasil penelitian yang yang
diperoleh dari partisipan menunjukkan adanya tanda dan gejala seperti nyeri.
Diagnosa yang diangkat adalah nyeri akut, gangguan mobilitas fisik, dan
kerusakan integritas jaringan.
Penelitian yang dilakukan oleh (Fajar Ratulangi, 2019) dengan judul “Asuhan
Keperawatan Pada Pasien Tn.T Dengan Fraktur Tibia Fibula Di Ruang Ambun
Suri Lantai 1 RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2019”. Dari hasil
penelitian didapatkan diagnose keperawatan Gangguan Mobilitas Fisik, rencana
keperawatan adalah pasang bidai pada posisi tubuh seperti saat di temukan.
Implementasi yang di lakukan adalah pemasangan bidai pada posisi tubuh seperti
saat di temukan. Selama ini penelitian tentang karakteristik fraktur tibia dan fibula
di BRSUD Kabupaten Tabanan belum pernah dilakukan, karena itu penulis
merasa perlu untuk melakukan penelitian studi kasus dengan judul “Asuhan
Keperawatan Pada Pasien Tn. GS dengan Open Fraktur Tibia Fibula yang
mengalami Masalah Keperawatan Gangguan Mobilitas Fisik di IGD BRSUD
Kabupaten Tabanan.
BAB 2
TINJAUAN TEORITIS
A. Konsep Medis
2.1 Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya, fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat
diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan pukulan langsung, gerakan puntir
mendadak, gaya remuk dan bahkan kontraksi otot eksterm (Brunner & Suddarth,
2002dalam Wijaya & Putri, 2013). Fraktur adalah terputusnya tulang dan
ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya (Brunner & Suddarth, 2002dalam
Wijaya & Putri, 2013). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan atau
tulang rawan yang disebabkan oleh rudapaksa (trauma atau tenaga fisik). Fraktur
adalah patah atau retak pada tulang yang utuh. Biasanya fraktur disebabkan oleh
trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang, baik berupa
langsung dan trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat, 2012). Fraktur atau patah
tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang dan atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Sjamsuhidajat, 2012).
2.2 Etiologi
Menurut (Sjamsuhidajat, 2012) yaitu :
a. Cidera atau benturan (jatuh pada kecelakaan)
b. Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah
oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis
c. Fraktur karena letih
d. Fraktur beban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang-orang yang baru saja
menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru diterima dalam angkatan
bersenjata atau orang-orang yang baru mulai latihan lari.
Menurut (Brunner &Suddarth, 2002dalam Wijaya & Putri, 2013), trauma dan
kondisi patologis yang terjadi pada tulang yang menyebabkan fraktur. Fraktur
menyebabkan diskontinuitas jaringan tulang yang dapat membuat penderita
mengalami kerusakan mobilitas fisiknya. Diskontinuitas jaringan tulang dapat
mengenai 3 bagian yaitu jaringan lunak, pembuluh darah dan saraf serta tulang
itu sendiri. Jika mengenai jaringan lunak makan akan terjadi spasme otot yang
menekan ujung saraf dan pembuluh darah dapat mengakibatkan nyeri, deformitas
serta syndrome compartement
2.3 Patofisiologi
2.3.1 Proses perjalanan penyakit
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup.
Tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit
(Smelter dan Bare, 2002). Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya
terjadi di sekitar tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang
tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi
perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel- sel darah putih
dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah
ketempat tersebut aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang
baru umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel
tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati.
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat
menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan
kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan
mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan
berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun
jaringan otot. Komplikasi ini di namakan sindrom compartment
(Brunner dan Suddarth, 2002 ).
2.3.3 Komplikasi
Menurut Black dan Hawks (2014) antara lain : Ada beberapa
komplikasi fraktur. Komplikasi tergantung pada jenis cedera , usia
klien, adanya masalah kesehatan lain (komordibitas) dan penggunaan
obat yang mempengaruhi perdarahan, seperti warfarin, kortikosteroid,
dan NSAID. Komplikasi yang terjadi setelah fraktur antara lain :
a. Cedera saraf
Fragmen tulang dan edema jaringan yang berkaitan dengan cedera
dapat menyebabkan cedera saraf. Perlu diperhatikan terdapat
pucat dan tungkai klien yang sakit teraba dingin, ada perubahan
pada kemampuan klien untuk menggerakkan jari-jari tangan atau
tungkai. parestesia, atau adanya keluhan nyeri yang meningkat.
b. Sindroma kompartemen
Kompartemen otot pada tungkai atas dan tungkai bawah dilapisi
oleh jaringan fasia yang keras dan tidak elastis yang tidak akan
membesar jika otot mengalami pembengkakan. Edema yang
terjadi sebagai respon terhadap fraktur dapat menyebabkan
peningkatan tekanan kompartemen yang dapat mengurangi
perfusi darah kapiler. Jika suplai darah lokal tidak dapat
memenuhi kebutuhan metabolik jaringan, maka terjadi iskemia.
Sindroma kompartemen merupakan suatu kondisi gangguan
sirkulasi yang berhubungan dengan peningkatan tekanan yang
terjadi secara progresif pada ruang terbatas. Hal ini disebabkan
oleh apapun yang menurunkan ukuran kompartemen.gips yang
ketat atau faktor-faktor internal seperti perdarahan atau edema.
Iskemia yang berkelanjutan akan menyebabakan pelepasan
histamin oleh otot-otot yang terkena, menyebabkan edema lebih
besar dan penurunan perfusi lebih lanjut. Peningkatan asam laktat
menyebabkan lebih banyak metabolisme anaerob dan peningkatan
aliran darah yang menyebabakn peningkatan tekanan jaringan.
Hal ini akan mnyebabkan suatu siklus peningkatan tekanan
kompartemen. Sindroma kompartemen dapat terjadi dimana saja,
tetapi paling sering terjadi di tungkai bawah atau lengan. Dapat
juga ditemukan sensasi kesemutanatau rasa terbakar (parestesia)
pada otot.
c. Kontraktur Volkman
Kontraktur Volkman adalah suatu deformitas tungkai akibat
sindroma kompartemen yang tak tertangani. Oleh karena itu,
tekanan yang terus-menerus menyebabkan iskemia otot kemudian
perlahan diganti oleh jaringan fibrosa yang menjepit tendon dan
saraf. Sindroma kompartemen setelah fraktur tibia dapat
menyebabkan kaki nyeri atau kebas, disfungsional, dan
mengalami deformasi.
d. Sindroma emboli lemak
Emboli lemak serupa dengan emboli paru yang muncul pada
pasien fraktur. Sindroma emboli lemak terjadi setelah fraktur dari
tulang panjang seperti femur, tibia, tulang rusuk, fibula, dan
panggul. Kompikasi jangka panjang dari fraktur antara lain :
a) Kaku sendi atau artritis
Setelah cedera atau imobilisasi jangka panjang , kekauan
sendi dapat terjadi dan dapat menyebabkan kontraktur sendi,
pergerakan ligamen, atau atrofi otot. Latihan gerak sendi aktif
harus dilakukan semampunya klien. Latihan gerak sendi pasif
untuk menurunkan resiko kekauan sendi.
b) Nekrosis avaskular
Nekrosis avaskular dari kepala femur terjadi utamaya pada
fraktur di proksimal dari leher femur. Hal ini terjadi karena
gangguan sirkulasi lokal. Oleh karena itu, untuk menghindari
terjadinya nekrosis vaskular dilakukan pembedahan
secepatnya untuk perbaikan tulang setelah terjadinya fraktur.
c) Malunion
Malunion terjadi saat fragmen fraktur sembuh dalam kondisi
yang tidak tepat sebagai akibat dari tarikan otot yang tidak
seimbang serta gravitasi. Hal ini dapat terjadi apabila pasien
menaruh beban pada tungkai yang sakit dan menyalahi
instruksi dokter atau apabila alat bantu jalan digunakan
sebelum penyembuhan yang baik pada lokasi fraktur
d) Penyatuan terhambat
Penyatuan menghambat terjadi ketika penyembuhan
melambat tapi tidak benar-benar berhenti, mungkin karena
adanya distraksi pada fragmen fraktur atau adanya penyebab
sistemik seperti infeksi.
e) Non-union
Non-union adalah penyembuhan fraktur terjadi 4 hingga 6
bulan setelah cedera awal dan setelah penyembuhan spontan
sepertinya tidak terjadi. Biasanya diakibatkan oleh suplai
darah yang tidak cukup dan tekanan yang tidak terkontrol
pada lokasi fraktur.
f) Penyatuan fibrosa
Jaringan fibrosa terletak diantara fragmen-fragmen fraktur.
Kehilangan tulang karena cedera maupun pembedahan
meningkatkan resiko pasien terhadap jenis penyatuan fraktur.
g) Sindroma nyeri regional kompleks
Sindroma nyeri regional kompleks merupakan suatu
sindroma disfungsi dan penggunaan yang salah yang disertai
nyeri dan pembengkakan tungkai yang sakit.
2.4 Penatalaksanaan
2.4.1 Terapi
a. Identifikasi kesiapan
dan kemampuan
menerima informasi.
b. Sediakan materi,
media dan alat bantu
jalan (mis. tongkat,
walker, kruk)
c. Jadwalkan
pendidikan
kesehatan sesuai
kesepakatan.
d. Jelaskan prosedur
dan tujuan ambulasi
tanpa alat bantu.
e. Anjurkan
menggunakan alas
kaki yang
memudahkan
berjalan dan
mencegah cedera
f. Ajarkan duduk di
tempat tidur, di sisi
tempat tidur
(menjuntai), atau di
kursi, sesuai
toleransi
g. Ajarkan berdiri dan
ambulasi dalam
jarak tertentu
(Sumber : PPNI, Standar Luaran Keperawatan Indonesia, 2019)
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti
:
2.2 Diagnosa
a) Nyeri Akut b.d Agen cedera fisik di tandai dengan pasien tampak meringgis,
gelisah.
b) Resiko Infeksi b.d kerusakan integritas kulit.
c) Gangguan Mobilitas Fisik b.d kerusakan integritas struktur tulang di tandai
dengan pasien nyeri saat bergerak.
d) Gangguan integritas kulit/jaringan b.d kelembabpan di tantai dengan pasien
tanpak nyeri, perdarahan, kemerahan
e) Risiko Disfungsi Neorovaskuler perifer b.d fraktur, penekanan klinis
(balutan)
f) Resiko pedarahan b.d trauma dan tindakan pembedahan.
(PPNI, T. P.. SDKI, 2017)
2.3 Perencanaan
Manajemen nyeri
Observasi
- Identifikasi lokasi,
karakteristik,
durasi,
frekuensi,kualitas,
intensitas nyeri.
- Identifikasi skala
nyeri
- Identifikasi
respons nyeri non
verbal
- Identifikasi faktor
yang memperberat
danmemperingan
nyeri
- Identifikasi
pengetahuan dan
keyakinan
tentangnyeri.
- Identifikasi
pengaruh budaya
terhadap respon
nyeri.
- Identifikasi
pengaruh nyeri
pada kualitas
hidup
- Monitor
keberhasilan terapi
komplementer
yang sudah
diberikan Monitor
efek samping
penggunaan
analgetik
Terapeutik
- Berikan teknik
nonfarmakologis
untuk
mengurangirasa
nyeri
- Kontrol
lingkungan yang
memperberat rasa
nyeri
- Fasilitasi istirahat
dan tidur
- Pertimbangkan
jenis dan sumber
nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
- Jelaskan
penyebab, periode,
dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi
meredakan nyeri
- Anjurkan
memonitor nyeri
secara mandiri
- Anjurkan
menggunakan
analgetik secara
tepat
- Ajarkan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi
pemberian
analgetik jika
perlu
2.4 Implementasi
Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam rencana
perawatan. Tindakan keperawatan mencakup tindakan mandiri (independen) dan
tindakan kolaborasi (Tarwoto &Wartonah, 2010).
2.5 Evaluasi
Evaluasi adalah fase kelima dari proses keperawatan. Evaluasi merupakan
aktivitas yang direncanakan, berkelanjutan dan terarah ketika pasien dan
professional kesehatan menentukan kemajuan pasien menuju pencapaian tujuan/
hasil dan keefektifan rencana asuhan keperawatan. Evaluasi ini akan menentukan
apakah intervensi keperawatan harus diakhiri, dilanjutkan ataupun dirubah.
BAB 3
LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA
Bab ini akan memaparkan tentang gambaran kasus kelolaan utama, analisa data,
diagnosa keperawatan, implementasi dan evaluasi keperawatan yang telah penulis
lakukan
A. Pengkajian
Tabel 3.1
Identitas Pasien
Tabel 3.2
Riwayat Penyakit
observasi Pasien 1
1 .Pemeriksaan Fisik Compost Mentis
Kesadaran umum Tingkat Kesadaran : (GCS:E :4V:5M:6)
Tekanan darah 140/80 mmHg
: Nadi 110x/menit
: Pernafasan 24x/menit
: Suhu 36,3 º C
: TB/BB 167 cm
Ekstremitas
Status sirkulasi akral hangat, CRT < 2 detik, tidak ada
Keadaan injury luka pada kaki kanan luas 3x1 cm.
Deformitas(+), nyeri tekan (+),
krepitasi (+)
Tabel 3.4
Kondisi Psiko-Spiritual
Tabel 3.5
Hasil Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Pasien 1
WBC 8,22 x10^ 3/uL
HGB 3,46 x 10^6/uL
RBC 9,5 g/dL
PLT 342 x10^3/uL
Hasil foto rongen OF Tibia Fibula Dextra 1/3
Cruris ap -lat Proximal
Hasil EKG Normal sinus rhythm
Swab antigen Negatif
Tabel 3.6
Penatalaksanaan Medis
Pasien 1
- IVFD NaCl 0,9% 12 tpm/IV/set. Indikasi: pemenuhan kebutuhan cairan dan
elektrolit - Ketorolac 30 mg dilanjutkan 3x30 mg per IV. Indikasi: analgesik
dan antiinflamasi - Ranitidin 50 mg per IV. Indikasi: menurunkan produksi
asam lambung - Ceftriaxone 2 gr dilanjutkan 2x1 gr per IV. Indikasi:
antibiotic - Tetagam 1 vial per IM. Indikasi: mencegah infeksi tetanus - Rawat
luka hecting situasi → persiapan operasi
B. Masalah keperawatan
Tabel 3.7
Analisa Data
data masalah
Pasian 1 Trauma Gangguan mobilitas fisik
DS
- Pasien mengatakan Fraktur
nyeridibagian kaki
kanan.Nyeri terasa sakit Deformitas
saat bergerak.
- Pasien mengeluh sulit Gangguan fungsi
menggerakkan kaki ekstremitas
kanannya
- Pasien merasa cemas Gangguan Mobilitas fisik
saat menggerakkan kaki
kanannya
DO:
- Pasien terlihat
memegangi kakinya
- Pasien terlihat lemas
tidak bersemangat.
- luka pada lengan kanan
luas 3x1 cm.
Deformitas(+), nyeri
tekan (+), krepitasi (+)
- Kekuatan otot
555 555
522 555
- ROM menurun
C. Diagnosa Keperawatan
Pasien 1 Tn.GS
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang
ditandai dengan Pasien mengatakan nyeridibagian kaki kanan.Nyeri bertambah
saat bergerak, Pasien mengeluh sulit menggerakkan kaki kanannya, Pasien merasa
cemas saat menggerakkan kaki kanannya, rentang gerak (ROM) menurun,nyeri
saat bergerak,merasa cemas saat bergerak.luka pada kaki kanan luas 3x1 cm.
Deformitas(+), nyeri tekan (+), krepitasi (+),
Kekuatan otot menurun
555 555
522 555
D. Rencana Keperawatan
Tabel 3.8
Rencana Asuhan Keperawatan
E. Implementasi Keperawatan
F. Evaluasi Keperawatan
Catatan Perkembangan (SOAP)
Tanggal/jam Pasien 1
10 Mei 2021/ Subjektif
Pkl. 11.00 wita - Pasien mengatakan nyeridibagian kaki kanan.Nyeri
bertambah saat bergerak.Skala nyeri 5
- Pasien mengeluh masih sulit menggerakkan kaki
kanannya
- Pasien merasa cemas sudah berkurang saat
menggerakkan kaki kanannya
Objektif
- Pasien terlihat memegangi kakinya
- Pasien tidak terlihat lemas, bersemangat.
- luka pada kaki kanan UK 3x1 cm sudah di jarit .
- Deformitas(+), nyeri tekan (+), krepitasi (+)
- Kekuatan otot
555 555
522 555
- ROM menurun
- TD: 120/80mmHg
- N: 90 x/menit
- S: 36,6 °c
- RR: 22x/ menit
A: Gangguan mobilitas fisik
P:
- Monitor adanya perdarahan pada area cedera
- Ingatkan untuk membatasi gerak pada area cedera
- Lanjutkan delegasi pemberian terapi medikasi
- Pertahank an pemasangan bidai sampai dilakukannya
tindakan operasi
BAB 4
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengkajian
Berdasarkan data pengkajian dapat simpulkan bahwa pasien pada pengkajian
mengalami gangguan mobilitas fisik, gerak dan aktivitasnya terbatas.
2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan data yang di peroleh dari pengkajian maka penulis menegakkan
diagnosa “ Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas
struktur tulang
3. Rencana keperawatan
4. Implementasi
Implementasi yang dilakukan pada karya tulis berbasis studi kasus ini yaitu
mengidentifikasi kebutuhan untuk dilakukan pembidaian, menutup luka
terbuka dengan balutan dan melakukan heacting situasi 3 jaritan, melakukan
imobilisasi sendi di atas dan di bawah area cedera (kaki kanan), menempatkan
kaki, kanan yang cedera dalam posisi fungsional dan menganjurkan pasien
untuk nafas dalam. memasang bidai tiga sisi pada kaki kanan
5. Evaluasi
Evaluasi dari tindakan keperawatan pemasangan bidai tiga sisi, setelah 1-2
jam pada pasien fraktur dengan masalah keperawatan gangguan mobilitas
fisik di IGD BRSUD Kabupaten Tabanan terbukti dapat menurunkan nyeri
pasien dengan skala nyeri 5,mengurangi cemas pasien saat menggerakkan
kakinya.
B. Saran
Saran yang dapat peneliti berikan untukAsuhan Keperawatan Gawat Darurat
Gangguan Mobilitas Fisik Pada Tn.GSyang Mengalami Open Fraktur Tibia Fibula
Dextra 1/3 Proximal di IGD BRSUD Kabupaten Tabanan adalah:
1. Bagi Perawat
Meningkatkan pengetahuan, keterampilan agar mampu merawat pasien secara
komprehensif dan optimal. Perawat juga harus menjaga komunikasi dengan
tim kesehatan lainnya agar segala perawatan pasien bisa optimal khususnya
diet yang diberikan sesuai dengan keadaan pasien.
2. Bagi Rumah
Sakit Digunakan sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi tempat
penelitian untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kepada pasien
secara optimal, khususnya pada kasus fraktur akstremitas bawah .
3. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat bermanfaat sebagai bahan informasi bagi mahasiswa di institusi
pendidikan dan sebagai tambahan referensi bagi mahasiswa.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Bagi peneliti lain untuk penelitian selanjutnya sebaiknya penelitian dilakukan
dengan subjek yang berbeda yaitu pada pasien yang mengalami fraktur
ekstremitas bawah dengan pemberian ROM aktif untuk mengatasi masalah
hambatan mobilitas fisik
DAFTAR PUSTAKA
http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/1360/4/4%20CHAPTER%202.pdf