Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peningkatan populasi penduduk bumi memicu perkembangan industri di berbagai

belahan dunia. Pencemaran lingkungan merupakan salah satu dampak kegiatan industri. Industri

memberikan dampak pencemaran lingkungan dengan dihasilkanya produk samping berupa

limbah. Limbah industri pada akhirnya akan dibuang ke lingkungan. Walaupun telah diolah,

limbah yang mungkin masih mengandung bahan berbahaya yang dapat memberikan dampak

buruk bagi organisme dan lingkungannya (Marcussen, et.al, 2008).

Salah satu bahan berbahaya yang terkandung dalam limbah adalah logam. Di alam,

logam terdapat dalam mineral. Logam dapat digunakan sebagai bahan baku industri. Tidak hanya

langsung dilebur pada proses produksi, logam juga dapat direaksikan dengan bahan lainnya.

Salah satu unsur logam yang berbahaya bagi lingkungan adalah logam timbal (Pb) dan tembaga

(Cu).

Logam timbal dapat larut dalam air dan terakumulasi di dalam tanah sehingga dapat

diserap oleh tanaman. Pencemaran lingkungan oleh limbah yang mengandung logam timbal

dapat menyebabkan tanaman yang tumbuh di sekitar lokasi tersebut mengandung logam timbal

(Kohar, et.al, 2004). Kesehatan manusia dan hewan dapat terganggu jika mengonsumsi bahan

makanan mengandung logam timbal. Pada konsentrasi tertentu, logam timbal dapat menurunkan

fungsi syaraf, organ pencernaan, bahkan menyebabkan kematian (Lang, et al., 2008).

Udara di alam hampir tidak pernah ditemukan tanpa polutan, pencemaran udara

merupakan campuran dari satu atau lebih bahan pencemar, baik padatan, cairan atau gas yang
masuk ke udara dan kemudian menyebar ke lingkungan sekitarnya. Kecepatan penyebaran ini

tergantung pada keadaan geografi dan meterologi setempat (Wardana, 2004).

Kontaminasi logam berat dari sayuran dapat terjadi dari aktifitas manusia misalnya akibat

air irigasi yang terkena kontaminasi logam berat dari industri dari kendaraan selama

pengangkutan dan pemasaran, penambahan pupuk dan pestisida berbasis logam, proses

pemanenan maupun di lokasi titik pemasaran. (Maleki dan Saleh, 2008).

Sawi hijau merupakan jenis sayuran yang banyak diminati masyarakat. Dikenal pula

sebagai caisim, atau sawi bakso, sayuran ini mudah dibudidayakan dan dapat dimakan segar.

Jenis sayuran ini mudah tumbuh di dataran rendah maupun dataran tinggi. Tanaman ini akan

cepat berbunga bila ditanam pada suhu sejuk. Dalam proses pemanenan, tanaman ini akan

dipanen setelah berumur satu bulan. Dalam proses penanaman sawi hijau dibutuhkan beberapa

unsur hara dan mineral dari perairan sehingga asupan mineral bagi tanaman tidak kurang.

Menurut Widaningrum, et al., (2007) kandungan timbal (Pb) pada caisim atau sawi hijau yang

ditanam pada tanah yang tercemar logam berat bisa mencapai 28,78 ppm. Hal ini sejalan dengan

kriteria batasan BPOM terkait pencemaran pada makanan, maka bahan tanaman akan tercemar

karenanya. Menurut BPOM, ambang batas Pb pada tanaman sayuran dan buah segar yang

dikonsumsi sebesar 2 ppm. Semakin banyak kandungan logam berat yang dikonsumsi oleh

manusia, menyebabkan penyakit pada tubuh manusia itu sendiri. Oleh karena itu, dalam masalah

ini perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai paparan logam berat timbal (Pb)dan tembaga

(Cu) pada jaringan penyusun tanaman sawi agar tidak melewati ambang batas yang di toleransi

oleh tubuh .

Sayuran dapat berasal dari berbagai bagian atau organ tumbuh-tumbuhan. Berdasarkan

bagian organ tumbuh-tumbuhan, sayuran dapat dibagi menjadi sayuran akar, sayuran daun,
sayuran bunga, sayuran buah muda dan sayuran buah masak. Sayuran akar seperti wortel, lobak,

kentang dan umbi jalar. Sayuran batang seperti asparagus dan rebung. Sayuran daun seperti

bayam, kangkung, kubis, sawi dan selada. Sayuran bunga seperti bunga kol, kubis bunga dan

brokoli. Sayuran buah muda seperti buncis dan sayuran buah masak seperti tomat (Gardjito

et.al.2013).

Ternyata berbagai tanaman sayuran seperti kangkung, bayam dan sawi diduga termasuk

salah satu tanaman yang mudah menyerap logam berat dalam tubuhnya. (Tindaon, et, al, 2013).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka dapat dirumuskan beberapa

permasalahan sebagai berikut:

1. Berapa kadar logam timbal (Pb) dan tambaga (Cu) dari sampel sawi yang diambil dari

berbagai lokasi penanaman beserta atributnya berdasarkan ketinggian tempat dari

permukaan laut (dpl).

2. Berapa tingkat kandungan logam berat timbal (Pb) dan tembaga (Cu) dari sumber

sayuran sawi yang diperoleh dari berbagai tingkat pengelolaan lahan pertanian.

3. Berapa Tingkat bahaya kadar logam timbal (Pb) dan tembaga (Cu) dari tanaman sawi

berbagai variasi tempat dan manajemen dibandingkan dengan kriteria BPOM (2017).

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kandungan logam berat timbal (Pb) dan tembaga (Cu) pada sayuran

sawi hijau yang diperoleh dari berbagai lokasi penanaman sayur sawi di wilayah

Sumatera Utara.
2. Untuk mengetahui tingkat bahaya (batas cemaran maksimum) logam berat timbal (Pb)

dan tembaga (Cu) pada sayuran sawi hijau dibandingkan dengan Baku Mutu Lingkungan

untuk kadar logam berat menurut BPOM (2017)

3. Untuk memberikan rekomendasi pemanfaatan sayuran sawi hijau yang berasal dari

berbagai sumber di berbagai lokasi penaman sawi di wilayah Sumatera Utara.

1.4 Hipotesis Peneitian

1. Diduga ada pengaruh ketinggian tempat dari permukaan laut (dpl) terhadap kandungan

logam berat timbal (Pb) dan tembaga (Cu) pada sawi hijau yang ditanam pada berbagai

lokasi penanaman di wilayah Sumatera Utara.

2. Diduga ada pengaruh tingkat manajemen pertanian (sistem pertanian) pada kandungan

logam berat timbal (Pb) dan tembaga (Cu) yang terdapat dalam sayur sawi hijau yang

yang ditanam pada berbagai lokasi penanaman di wilayah Sumatera Utara.

3. Diduga ada pengaruh faktor atribut (spesifik lahan), terutama jarak lokasi tanam dengan

jalan raya, terhadap kandungan logam berat timbal (Pb) dan tembaga (Cu) pada sayuran

sawi hijau yang ditanam di berbagai ketinggian tempat dan tingkat manajemen pertanian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistematika Tanaman Sawi


Berdasarkan taksonominya, tanaman sawi (Brassica juncea L.) dapat diklasifikasikan

sebagai berikut : Kingdom : Plantae, Divisi : Spermatophyta, Subdivisi : Angiospermae, Kelas :

Dicotyledonae, Ordo : Brassicales, Famili : Brassicaceae, Genus : Brassica, Spesies : Brassica

Juncea L (Haryanto, dkk., 2007). Tanaman sawi (Brassica juncea L.) memiliki akar serabut yang

tumbuh dan berkembang secara menyebar ke semua arah disekitar permukaan tanah,

perakarannya sangat dangkal pada kedalaman sekitar 5 cm. Tanaman sawi tidak memiliki akar

tunggang. Perakaran tanaman sawi dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada tanah yang

gembur, subur, dan mudah menyerap air serta kedalaman tanah cukup dalam (Fransisca,
2009). Batang (caulis) sawi pendek dan beruas-ruas, sehingga hampir tidak kelihatan. Batang

ini berfungsi sebagai alat pembentuk dan penopang daun (Rukmana, 2007).

Secara umum tanaman sawi mempunyai daun lonjong, halus, tidak berbulu, dan tidak

berkrop. Tangkai daunnya agak pipih, sedikit berliku, tetapi kuat (Sunarjono, 2003). Umumnya

sawi mudah berbunga secara alami, baik didataran tinggi maupun dataran rendah. Struktur

bunga sawi tersusun dalam tangkai bunga (inflorescentia) yang tumbuh memanjang (tinggi) dan

bercabang banyak. Tiap bunga berwarna kuning cerah, empat helai benang sari, dan satu buah

putik yang berongga dua (Rukmana, 2007).

Buah sawi termasuk tipe buah polong, yakni bentuknya memanjang dan berongga. Tiap

buah (polong) berisi 2 - 8 butir biji. Biji sawi hijau berbentuk bulat, berukuran kecil,

permukaanya licin dan mengkilat, agak keras dan berwarna coklat kehitaman (Fransisca, 2009).

Tanaman sawi (Brassica juncea L.) tumbuh dengan baik pada curah hujan yang cukup

sepanjang tahun dapat mendukung kelangsungan hidup tanaman karena ketersedian air tanah

yang mencukupi. Sawi hijau tergolong tanaman yang tahan terhadap curah hujan, sehingga

penanaman pada musim hujan masih bisa memberikan hasil yang cukup baik. Curah hujan yang

sesuai untuk pembudidayaan sawi hijau adalah 1000-1500 mm/tahun (Cahyono, 2003). Sawi

pada umumnya banyak ditanam di dataran rendah. Tanaman ini selain tahan terhadap suhu panas

(tinggi) juga mudah berbunga dan menghasilkan biji secara alami pada kondisi iklim tropis

Indonesia (Haryanto, et al,. 2007).

Kelembapan udara yang sesuai untuk pertumbuhan sawi hijau yang optimal berkisar

antara 80% - 90%. Kelembapan udara yang tinggi lebih dari 90 % berpengaruh buruk terhadap

pertumbuhan tanaman. Kelembapan yang tinggi tidak sesuai dengan yang dikehendaki tanaman,

menyebabkan mulut daun (stomata) tertutup sehingga penyerapan gas karbondioksida (CO2)
terganggu, dengan demikian kadar gas CO2 tidak dapat masuk kedalam daun, sehingga kadar gas

CO2 yang diperlukan tanaman untuk fotosintesis tidak tercukupi, selain itu suhu udara yang

tinggi lebih dari 210 C dapat menyebabkan sawi hijau tidak dapat tumbuh dengan sempurna

(Cahyono, 2003).

Ketinggian tempat yang optimal untuk pertumbuhan tanaman sawi berkisar 100 - 500

meter diatas permukaan laut (Supriati dan Herliana, 2010). Media tanam yang cocok untuk

tanaman sawi adalah tanah yang gembur, banyak mengandung humus, subur serta pembuangan

airnya baik. Derajat kemasaman (pH) tanah yang optimum untuk pertumbuhannya adalah

antara pH 6-7.

2.2 Penyerapan Logam Berat oleh Tanaman Sayuran


Tumbuhan hiperakumulator adalah tumbuhan yang mempunyai kemampuan

untuk mengkonsentrasikan logam di dalam biomassanya dalam kadar yang luar biasa tinggi.

Kebanyakan tumbuhan mengakumulasi logam, misalnya nikel, sebesar 10 mg/kg berat kering

(BK) (setara dengan 0,001%). Tetapi tumbuhan hiperakumulator logam mampu mengakumulasi

hingga 11% BK. Batas kadar logam yang terdapat di dalam biomassa agar suatu tumbuhan dapat

disebut hiperakumulator berbeda-beda bergantung pada jenis logamnya (Baker, 1999). Batas

bagi tembaga dan timbal adalah 0,1% (1.000 mg/kg BK).

Tanaman yang menjadi mediator penyebaran logam berat pada makhluk hidup, menyerap

logam berat melalui akar dan daun (stomata). Logam berat terserap ke dalam jaringan tanaman

melalui akar, yang selanjutnya akan masuk ke dalam siklus rantai makanan (Alloway, 1990

dalam Darmono, 2005; Nirwana, 2008). Di Indonesia, kadar logam berat yang cukup tinggi pada

sayuran sudah semestinya mendapat perhatian serius dari semua pihak, terutama pada sayur-

sayuran yang ditanam di pinggir jalan raya. Data terakhir pada sayuran caisim, kandungan logam
berat Pb bisa mencapai 28,78 ppm. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibanding kandungan logam

berat pada sayuran yang ditanam jauh dari jalan raya (±0-2 ppm), padahal batas aman yang

diperbolehkan oleh Ditjen POM (2017) hanya 2 ppm. Bahkan dalam Rancangan Standar

Nasional Indonesia (RSNI-2, 2004) dalam Anonymous (2005) menyatakan bahwa residu logam

berat yang masih memenuhi standar BMR (Batas Maksimum Residu) adalah 1,0 ppm. Dengan

dikonsumsinya sayuran sebagai salah satu sumber pangan pada manusia dan hewan

menyebabkan berpindahnya logam berat yang dikandung oleh sayur-sayuran tersebut seperti

timbal (Pb) dan tembaga (Cu) ke dalam tubuh makhluk hidup lainnya. Logam berat yang masuk

ke dalam tubuh manusia akan melakukan interaksi antara lain dengan enzim, protein, DNA, serta

metabolit lainnya. Adanya logam berat pada jumlah yang berlebihan dalam tubuh akan

berpengaruh buruk terhadap tubuh (Charlena, 2004).

Pencemaran logam berat pada tanaman sayuran telah banyak terdeteksi pada sayuran,

terutama yang ditanam dekat dengan jalan raya dan rentan polusi udara, antara lain yang berasal

dari asap pabrik serta asap kendaraan bermotor. Penelitian yang dilakukan Ayu (2002)

menunjukkan bahwa pada komoditas kangkung dan bayam yang dijual di pasar pasar daerah

Bogor mempunyai kadar timbal (Pb) di atas ambang batas cemaran logam sesuai yang ditetapkan

Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan, yaitu 2 ppm. Kisaran kadar timbal (Pb) pada sampel

kangkung < 0,01 ppm-3,12 ppm sedangkan kisaran timbal (Pb) pada sampel bayam < 0,01 ppm-

3,38 ppm. Dalam kasus ini, jalur distribusi dan cara pengangkutan sangat berpengaruh terhadap

bertambahnya kadar cemaran timbal (Pb). Naiknya suhu diatas suhu normal atau daerah dengan

suhu yang relatif panas resiko penyerpan timbal lebih tinggi karena laju respirasi akan

meningkat atau tinggi sehingga stomata akan membuka dan laju penyerapan gas disekitar akan

lebih tinggi Semakin banyak uap air di udara, maka semakin kecil tekanan uap air dalam rongga
daun dengan yang di udara atau dengan kata lain kelembapan rendah maka memicu stomata

membuka lebar (Ibrahim dan Hisqiay, 2013).

Selain timbal (Pb), sayuran juga rentan terhadap kontaminasi logam berat tembaga (Cu).

Cemaran tembaga (Cu) terdapat pada sayuran dan buah-buahan yang disemprot dengan pestisida

secara berlebihan. Penyemprotan pestisida banyak dilakukan untuk membasmi siput dan cacing

pada tanaman sayuran dan buah. Selain itu, garam Cu juga digunakan sebagai bahan dari larutan

“bordeaux” yang mengandung 1 - 3% CuSO4 untuk membasmi jamur pada tanaman sayur dan

buah (Darmono, 1995). Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan (POM) RI telah menetapkan

batas maksimum cemaran logam berat tembaga (Cu) pada sayuran segar yaitu sebesar 5 ppm.

Pestisida merupakan salah satu input dalam budidaya tanaman sayuran, yang digunakan

untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman. Penyemprotan pestisida akan

mengakibatkan terjadinya deposit pestisida dan akhirnya menjadi residu pada tanaman. Sekitar

200 jenis pestisida untuk pertanian yang beredar di Indonesia telah terdaftar dan diizinkan oleh

pemerintah, antara lain pestisida golongan organofosfat. Pestisida golongan ini banyak

digunakan petani karena mudah larut dalam air dan mudah terhidrolisis menjadi senyawa yang

pada kadar tertentu tidak beracun dibandingkan dengan pestisida golongan lain (Winarti dan

Miskiyah, 2010).

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa tanaman sayuran yang dibudidayakan dengan

pemakaian pestisida berlebihan, cenderung mengandung residu bahan aktif. Penelitian Yenita, et

all., (2012) mendapatkan residu organofosfat pada daun bayam, demikian juga dengan penelitian

Yuliastuti (2011), yang mendapatkan residu bahan aktif.

Pencemaran timbal (Pb) pada sayuran pasca panen terjadi selama pengangkutan,

penjualan, dan distribusi. Kadar logam berat tembaga (Cu) pada beberapa komoditas sayuran
juga cukup tinggi, diantaranya adalah; kangkung mengandung tembaga pada kisaran 1,98 ppm-

6,37 ppm, bayam 1,25 ppm-4,36 ppm, kol 4,16 ppm-8,88 ppm sedangkan daun singkong 4,58

ppm-8,75 ppm. Terkandungnya tembaga secara berlebihan pada sayuran disebabkan pemupukan

yang berlebihan, pemakaian insektisida dan air irigasi yang tercemar limbah pabrik (Munarso,

et al., 2005). Pencemaran logam berat tembaga terjadi selama proses prapanen yaitu selama

penanaman dan pemeliharaan, juga disebabkan pemakaian pupuk mikro yang mengandung

tembaga. Logam berat pada sayuran yang diambil dari daerah terkontaminasi lebih tinggi

daripada yang diambil dari daerah yang tidak terkontaminasi. Sedangkan timbal (Pb) pada

kembang kol (25,98 ppm). Konsentrasi semua logam berat ( Pb dan Cu) masih melebihi ambang

batas yang diperbolehkan standar India pada semua jenis sayuran. Perbedaan akumulasi logam

berat pada sayuran mungkin dapat disebabkan oleh perbedaan dalam sifat morpho-physiologis

sayuran-sayuran tersebut (Singh, et al., 2007). Akumulasi logam berat yang berlebihan pada

tanah pertanian dapat berakibat tidak hanya terhadap kontaminasi lingkungan tetapi yang lebih

buruk adalah menyebabkan meningkatnya kadar logam berat pada hasil-hasil pertanian yang

dipanen sehingga hal tersebut pada akhirnya berakibat terhadap penurunan mutu dan keamanan

pangan nabati yang dihasilkan. Untuk melindungi konsumen, beberapa negara telah menetapkan

batas aman cemaran logam berat pada makanan, seperti dapat dilihat pada Tabel 2. Di Indonesia,

Ditjen POM telah mengeluarkan Keputusan No. 03725/B/SK/VII/89 tentang Batas Maksimum

Cemaran Logam dalam Makanan untuk Sayuran Segar, batas aman untuk Pb 2 mg/kg dan Cu

50mg/kg.

2.3 Logam Berat Di Lingkungan Tanah


Pembuangan limbah ke tanah apabila melebihi kemampuan tanah dalam mencerna

limbah akan mengakibatkan pencemaran tanah. Jenis limbah yang berpotensi merusak
lingkungan hidup adalah limbah yang termasuk dalam Bahan Beracun Berbahaya (B3) yang di

dalamnya terdapat logam logam berat. Subowo, et al., (1999) menyatakan bahwa adanya logam

berat dalam tanah pertanian dapat menurunkan produktivitas pertanian dan kualitas hasil

pertanian selain dapat membahayakan kesehatan manusia melalui konsumsi pangan yang

dihasilkan dari tanah yang tercemar logam berat tersebut.

Kandungan logam berat di dalam tanah secara alamiah sangat rendah, kecuali tanah

tersebut sudah tercemar. Kandungan logam berat dalam tanah sangat berpengaruh terhadap

kandungan logam pada tanaman yang tumbuh di atasnya, kecuali terjadi interaksi di antara

logam itu sehingga terjadi hambatan penyerapan logam tersebut oleh tanaman. Akumulasi logam

dalam tanaman tidak hanya tergantung pada kandungan logam dalam tanah, tetapi juga

tergantung pada unsur kimia tanah, jenis logam, pH tanah dan spesies tanaman yang sensitif

terhadap logam berat tertentu (Darmono, 1995). Logam berat masuk ke lingkungan tanah melalui

penggunaan bahan kimia yang langsung mengenai tanah, penimbunan debu, hujan atau

pengendapan, pengikisan tanah dan limbah buangan.

Untuk meningkatkan hasil pertanian, penggunaan pupuk tidak dapat dihindari. Petani di

daerah semakin banyak yang menggunakan obat-obatan pertanian untuk meningkatkan hasil

produksinya tanpa mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan pada tanaman dan lingkungan

sekitarnya. Petani di daerah Brebes yang dikenal sebagai salah satu pusat produksi bawang

merah di Jawa Tengah, cenderung menggunakan pupuk dan pestisida secara berlebihan (Sumarni

dan Rosliani, 1996). Padahal adanya logam berat dalam tanah pertanian dapat menurunkan

produktifitas pertanian dan kualitas hasil pertanian selain dapat membahayakan kesehatan

manusia melalui konsumsi pangan yang dihasilkan dari tanah yang tercemar logam berat tersebut

(Subowo, et al., 1999). Secara bertahap pemakaian bahan agrokimia (pupuk dan pestisida) dalam
sistem budidaya pertanian harus dikurangi, karena bahan agrokimia mengandung logam berat

yang termasuk bahan beracun berbahaya (B3). Penggunaan bahan agrokimia yang tidak

terkendali pada lahan pertanian terutama pada sayuran berdampak negatif antara lain

meningkatnya resistensi hama atau penyakit tanaman, terbunuhnya musuh alami dan organisme

yang berguna, serta terakumulasinya zat-zat kimia berbahaya dalam tanah (Sutamihardja dan

Rizal, 1985 dalam Charlene, 2004).

Kontaminasi Oleh Logam berat faktor yang menyebabkan tingginya kontaminasi logam

berat di lingkungan adalah perilaku manusia yang menciptakan teknologi tanpa menimbang

terlebih dahulu efek yang akan ditimbulkan bagi lingkungan di kemudian hari. Sebagai contoh,

di Indonesia, tingginya kandungan timbal (Pb) pada lingkungan disebabkan oleh pemakaian

bensin bertimbal yang sangat tinggi pada hampir semua jenis kendaraan bermotor. Untuk

mempermudah bensin premium terbakar, titik bakarnya harus diturunkan melalui peningkatan

bilangan oktan dengan penambahan timbal dalam bentuk tetrail lead (TEL). Namun dalam

proses pembakaran, timbal dilepas kembali bersama-sama sisa pembakaran lainnya ke udara dan

dihirup oleh manusia saat bernafas.

Timbal (Pb) atau dalam keseharian dikenal dengan timah hitam, dan dalam bahasa

ilmiahnya dinamakan Plumbum dengan simbol Pb. Logam ini termasuk kedalam kelompok

logam-logam golongan IV-A pada Tabel Periodik unsur kimia. Timbal (Pb) mempunyai

nomor atom (NA) 82 dengan bobot atau berat atom (BA) 207,2 adalah logam berat berwarna

kelabu kebiruan dan lunak dengan titik leleh 327oC dan titik didih 1620oC. Pada suhu 550-

600oC Pb menguap dan membentuk timbal (Pb) oksida. Bentuk oksida yang paling umum

adalah timbal (Pb) (II). Walaupun bersifat lunak dan lentur, timbal (Pb) sangat rapuh dan

mengkerut saat pendinginan, sulit larut dalam air, air panas dan air asam, timbal (Pb) dapat
larut dalam asam nitrit, asam asetat dan asam sulfat pekat (Palar, 2008).

Kadar timbal (Pb) yang secara alami dapat ditemukan dalam bebatuan sekitar 13

mg/kg. Khusus timbal (Pb) yang tercampur dengan batu fosfat dan terdapat di dalam batu

pasir (sand stone) kadarnya lebih besar yaitu 100 mg/kg. Timbal (Pb) terdapat di tanah

sekitar 5-25mg/kg dan di air bawah tanah (ground water) berkisar antara 1-60µg/dl. Secara

alami timbal (Pb)juga ditemukan di air permukaan. Kadar timbal (Pb) pada air telaga dan air

sungai adalah sebesar 1-10 µg/dl. Dalam air laut kadar timbal (Pb) lebih rendah dari dalam

air tawar. Laut yang dikatakan terbebas dari pencemaran mengandung timbal (Pb) sekitar

0,07 µg/dl. Kandungan timbal (Pb) dalam air danau dan sungai di USA berkisar antara 1-10

µg/dl. Secara alami timbal (Pb) juga di temukan diudara yang kadarnya berkisar antara

0,0001-0,001 µg/m3. Tumbuh-tumbuhan termasuk sayur-sayuran dan padi-padian dapat

mengandung timbal (Pb), penelitian yang dilakukan di USA kadarnya berkisar antara 0,1-1,0

µg/kg berat kering (ATSDR, 2005).

Komponen-komponen timbal (Pb) yang mengandung halogen terbentuk selama

pembakaran bensin karena ke dalam bensin sering ditambahkan cairan antiletupan yang

mengandung scavenger kimia. Bahan anti letupan yang aktif terdiridari tertraetil-Pb atau

Pb(C2H5)4, tetrametil-Pb atau Pb(CH3)4, atau kombinasi darikedua. Scavenger ditambahkan

supaya dapat bereaksi dengan komponen timbal (Pb) yang tertinggal di dalam mesin sebagai

akibat pembakaran bahan anti letup tersebut. Bahan aditif yang ditambahkan ke dalam bensin

terdiri dari 62% tetraetil-Pb, 18%etilen dibromida, 18% etilen dikhloride, dan 2% bahan-

bahan lainnya. Jenis danjumlah komponen-komponen timbal (Pb) yang diproduksi dari asap

mobil dapat dilihat pada Tabel 2.3. Dari senyawa timbal (Pb) yang ditambahkan ke bensin,

kurang lebih 70% diemisikan melalui knalpot dalam bentuk garam inorganik, 1% diemisikan
masih dalam bentuk tetraalkyl lead dan sisanya terperangkap dalam system exhaust dan mesin

oli (Mukono, 2002).

Tabel 2.2 Kandungan Senyawa Timbal (Pb) dalam Gas Buangan Kendaraan Bermotor

Persen dari total partikal Pb di dalam asap


NO Komponen Pb
Segera Setelah Starter 18 jam setelah Starter
1 PbBrCl 32 12
2 PbBrCl.2PbO 31.4 1.6
3 PbCl2 10.7 8.3
4 Pb(OH)Cl 7.7 7.2
5 PbBr2 5.5 0.5
6 PbCl2.2PbO 5.2 5.6
7 Pb(OH)Br 2.2 0.1
8 PbOx 2.2 21.2
9 PbCO3 1.2 13.8
10 PbBr2 .2PbO 1.1 0.1
11 PbCO3. @PbO 1 29.6 Sumber :
Fardiaz (2006)
Kandungan PbBrCL dan PbBrCl2PbO merupakan kandungan senyawa timbal (Pb) yang

utama. Kedua senyawa tersebut telah dihasilkan pada saat pembakaran pada mesin kendaraan

dimulai, yaitu saat waktu 0 jam. Selanjutnya jumlah dari kedua senyawa tersebut akan

berkurang setelah waktu pembakaran berjalan 18 jam dimana jumlah buangan atas kedua

senyawa tersebut menjadi berkurang jauh (50% untuk PbBrCL) dan menjadi sangat sedikit

untuk PbBrCl2PbO. Sedangkan kandungan oksida-oksida timbal (Pb) (PbOx) dan

PbCO32PbO mengalami peningkatan yang sangat tinggi dan menggantikan posisi kandungan

pertama setelah masa pembakaran sampai 18 jam (Palar, 2008).

Konsentrasi tertinggi dari timbal (Pb) di udara ambien ditemukan pada daerah

dengan populasi yang padat, makin besar suatu kota makin tinggi konsentrasi timbal (Pb) di

udara ambien. Kualitas udara di jalan raya dengan lalu lintas yang sangat padat mengandung

timbal (Pb) yang lebih tinggi dibandingkan dengan udara di jalanraya dengan kepadatan lalu

lintas yang rendah. Konsentrasi timbal (Pb) di udara bervariasi dari 2-4 µg/m³ di kota besar

dengan lalu lintas yang padat sampai kurang dari 0,2 µg/m³ di daerah pinggiran kota dan
lebih rendah lagi di daerah pedesaan. Konsentrasi tertinggi terjadi di sepanjang jalan raya

bebas hambatan selama jam-jam sibuk di mana konsentrasinya bisa mencapai 14-25 ug/m³.

WHO Expert Commite, 1969 EHC, 1977 dalam (Palar 2008).

2.4 Dampak Logam Berat Bagi Kesehatan manusia

Moshman (1997) dalam Charlena (2004) mengungkapkan bahwa akumulasi logam berat

Pb pada tubuh manusia yang terus-menerus dapat mengakibatkan anemia, kemandulan, penyakit

ginjal, kerusakan syaraf dan kematian. Sedangkan keracunan Cu dapat menyebabkan tekanan

darah tinggi, kerusakan jaringan-jaringan testicular, kerusakan ginjal dan kerusakan butir-butir

sel darah merah. Logam berat yang ada di lingkungan, tanah, air dan udara dengan suatu

mekanisme tertentu masuk ke dalam tubuh makhluk hidup.

Tanaman yang menjadi mediator penyebaran logam berat pada makhluk hidup, menyerap

logam berat melalui akar dan daun (stomata). Logam berat terserap ke dalam jaringan tanaman

melalui akar, yang selanjutnya akan masuk ke dalam siklus rantai makanan (Alloway, 1990

dalam Darmono, 2005). Di Indonesia, kadar logam berat yang cukup tinggi pada sayuran sudah

semestinya mendapat perhatian serius dari semua pihak, terutama pada sayur-sayuran yang

ditanam di pinggir jalan raya. Data terakhir pada sayuran caisim, kandungan logam beratPb-nya

bisa mencapai 28,78 ppm. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibanding kandungan logam berat pada

sayuran yang ditanam jauh dari jalan raya (±0-2 ppm), padahal batas aman yang diperbolehkan

oleh Ditjen POM hanya 2 ppm. Bahkan dalam Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI-2,

2004) dalam Widianingrum et al., (2007) menyatakan bahwa residu logam berat yang masih

memenuhi standar BMR (Batas Maksimum Residu) adalah 1,0 ppm. Dengan dikonsumsinya

sayuran sebagai salah satu sumber pangan pada manusia dan hewan menyebabkan berpindahnya

logam berat yang dikandung oleh sayur-sayuran tersebut seperti timbal (Pb) dan tembaga (Cu) ke
dalam tubuh makhluk hidup lainnya. Logam berat yang masuk ke dalam tubuh manusia akan

melakukan interaksi antara lain dengan enzim, protein, DNA, serta metabolit lainnya. Adanya

logam berat pada jumlah yang berlebihan dalam tubuh akan berpengaruh buruk terhadap tubuh

(Charlena, 2004).

Pangan yang dikonsumsi manusia sehari-hari merupakan produk pertanian. Pangan

seharusnya memenuhi kriteria ASUH ( Aman, Sehat, Utuh dan Halal) salah satu parameter yaitu

aman termasuk kedalam masalah mutu. Mutu dan keamanan pangan sangat berpengaruh

langsung terhadap masalah kesehatan masyarakat dan perkembangan sosial. Makanan yang

bermutu baik dan aman diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan individu dan kemakmuran

masyarakat.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Pengambilan Sampel dan Analaisa Laboratorium


Lokasi pengambilan sampel diambil di 3 (tiga) lokasi penanaman sawi di wilayah

Sumatera Utara, yaitu: 1) kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo, pada dataran tinggi. 2)

Kecamatan Siantar Martoba Kota Siantar dan kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun, pada

dataran sedang dan 3) Kecamatan Medan Deli Kota Medan, pada dataran rendah. Analisa kadar

Pb dan Cu dilakukan di laboratorium Balai Riset dan Standarisasi Industri Medan Jalan

Sisingamangaraja No.24, Pasar Merah Kecamatan Medan Kota, Kota Medan, Sumatera Utara.

Pengambilan sampel dilaksanakan pada bulan juni 2019 di 3 (tiga) lokasi yang ditetapkan.

3.2 Pengumpulan Sampel


Pengambilan sampel dilakukan dengan memperhatikan ketinggian tempat dari permukaan

laut, dan keragaman sistem pertanian yang ada serta data atribut penunjang pada lokasi

penanaman. Ketinggian tempat dikelompokkan dalam 3 (tiga) kelompok, yakni : 1) Dataran

tinggi, dengan ketinggan tempat >750 m dari permukaan laut, 2) Dataran Sedang, dengan

ketinggan tempat 301-750 m dari permukaan laut, dan 3) Dataran Rendah, dengan ketinggan

tempat 0-300 m dari permukaan laut. Sedangkan sistem manajemen pertanian dikelompokkan

dalam 2 (dua) kelompok, yakni : 1) Pertanian Intensif, dan 2) Pertanian Semi Intensif.

Sedangkan untu faktor atribut/penunjang pada masing masing sistem pertanian tersebut dicatat
data hak hal sebagai berikut : a) titik kordinat (dengan GPS Garmin), b) ketinggian tempat (GPS

Garmin), c) keadaan cuaca saat pengambilan sampel, d) data iklim masing masing lokasi (curah

hujan.penyinaran matahari, dan suhu); e) jenis pestisida yang digunakan dan frekuensinya, f)

jenis pupuk dan dosisnya, g) jarak lokasi penanaman dengan jalan raya, dan h) kelas jalan

sekitar lokasi penanaman sawi.

Pemeriksaan kadar timbal (Pb) dan tembaga (Cu) secara kuantitatif dan kualitatif

dilakukan di Balai Riset dan Standarisasi Industri Medan Jalan Sisingamangaraja No.24, Pasar

merah Kecamatan Medan Kota, Kota Medan, Sumatera Utara..

Objek yang akan diteliti yaitu sayur sawi yang di terdapat pada berbagi lokasi penanaman

sawi di wilayah Sumtera Utara. Teknik pemilihan sampel sayuran digunakan purposive

sampling, dilakukan pemilihan kriteria seperti sayuran sawi yang berada di lokasi penelitian

yang disebutkan di atas dengan umur yang relative sama.

3.3 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah GPS, plastik bening dan kertas

label.

Alat yang digunakan dalam analisa kandungan logam berat (Pb dan Cu) pada sawi adalah

neraca, oven, blender, ayakan 60 mesh. Alat-alat gelas yang digunakan berupa labu ukur 100 ml,

kuvet, botol semprot, pipet tetes dan pipet volume 10 ml, 5 ml, botol sampel, labu takar, gelas

ukur, tabung reaksi dan gelas piala. Analisis kadar logamnya menggunakan atomic absorption

spektrophotometer (AAS). Bahan-bahan yang digunakan adalah sayur sawi dan bahan kimia

analisa logam-logam berat, sampel beberapa jenis tanaman sayuran yang diambil dari berbagai

wilayah penanaman sawi di Sumatera Utara yang dibutuhkan dalam penelitian ini.
Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah larutan standar larutan standar

Pb dan Cu 0,5 mg/L, 1 mg/L, 1,5 mg/L, 2 mg/L dan 2,5 mg/L, HNO3 pekat, sampel tanaman

sayuran, air suling dan bahan kimia lainnya.

3.4 Persiapan Sampel


Sampel tanaman sayur yang didapat kemudian di timbang 600 gram yang diambil dari

berbagai lokasi penanaman di wilayah Sumatera utara dicuci bersih, kemudian dioven dengan

suhu 80 ℃ selama 48 jam. Setelah kering masing masing sampel dihaluskan hingga menjadi

serbuk dengan menggunakan grinder, serbuk sampel kemudian ditimbang sebanyak 4-6 gram

untuk kemudian dimasukkan ke dalam furnace oven pada suhu 450 ℃ sealama 12 jam sampai

menjadi abu yang berwarna putih. Abu sampel kemudian didesktruksi secara kimia. Abu sampel

dimasukkan ke dalam beaker glass pyrex dan kemudian ditambahkan 15 ml HCL pekat dan 5 ml

HNO3 pekat dan mulut beaker ditutup dengan kaca arloji, kemudian beaker glass dipanaskan ke

atas api Bunsen selama 30 menit hingga larutan asap menguat dan mengering. Ke dalam beaker

glass diteteskan 1 ml HNO3 pekat, kemudian beaker glass didinginkan. Setelah dingin

ditambahkan akuades sedikit dan latutan dipindahkan kedalam labu volumetrik 25 ml

menggunakan corong kaca yang dilapisi kertas saring dan ditetesi akuades sampai volume

mencapai 25 ml. Larutan sampel kemudian dituangkan kedalam botol plastic dan siap untuk

dianalisa kandungan Timbal (Pb) dan tembaga (Cu) dengan alat spektrofotometer serapan atom

(Crosby, 1977).

3.5 Metoda Penelitian


Penelitian ini menggunakan metode deskriftif dengan mengambil sampel sayuran sawi

berdasarkan tiga kategori kelompok ketinggian tempat, dua perlakuan tingkat menejemen

pertanian dan atribut lahan yang di ulang tiga kali pada setiap ketinggian tempat , yaitu :
1. Kategori kelompok berdasarkan ketinggian tempat menurut Soribsya (1989), yaitu :

Dataran Tinggi = Ketinggian tempat diatas 750 meter dari permukaan laut
Dataran Sedang= Ketinggian tempat 301-750 meter dari permukaan laut
Dataran Rendah= Ketinggian tempat 0-300 meter dari permukaan laut

2. Perlakukan yang digunakan yakni sistem pertanian dikelompokkan dalam 2 (kelompok)

sistem pertanian, yaitu :

Sistem Pertanian Intensif = (Sitem pertanian dengan tingkat masukan teknologi


dan input lainnya tinggi)

Sistem Pertanian Semi Intensif = (Sitem pertanian dengan tingkat masukan


teknologi dan input lainnya sedang)

3. Kondisi atribut (factor penujang) juga dicatat untuk mengetahui keragaman lingkungan

lokasi penanaman sawi, baik untuk jarak lokasi tanam sawi dengan jalan raya dan sistem

budidaya yang diterapkan, terutama untuk pemakaian pupuk, dan bahan pestisida.

3.7 Parameter Yang Diamati

3.7.1 Uji rata-rata timbal (Pb) dan tembaga (Cu)


Parameter yang diamati ada 2 (dua), yaitu : 1) kandungan Timbal (Pb) dalam sayuran

sawi, dan 2) Kandungan Tembaga (Cu) dalam kandungan sayuran sawi.

3.7.2 Analisis Ambang Batas Timbal (Pb) Dan Tembaga (Cu)


Menurut peraturan kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia

nomor 23 tahun 2017 tentang batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan olahan

bahwa ambang batas maksimum untuk sayuran sawi aman di konsumsi adalah untuk timbal (Pb)

sebesar 2 mg/kg sayur dan tembaga (Cu) sebesar 5 mg/kg sayur. Hasil analisa kandungan Timbal
(Pb) dan Tembaga (Cu) pada masing masing pelokasi pengambilan sampel dibandingkan dengan

kadar PB dan Cu yang dapat ditolelir (batas maksimum) menurut kriteria Badan POM Tahun

2017.

Anda mungkin juga menyukai