Anda di halaman 1dari 43

TINJAUAN PUSTAKA

CORTISOL

1.1.Cortisol
1.1.Definisi
Kortisol adalah hormon steroid utama yang disintesis dari kolesterol dan
diproduksi oleh zona fasciculata yang terletak di korteks adrenal. Kortisol dikenal
sebagai titik efektor akhir hipotalamus-hipofis-adrenal (HPA). Kortisol,
glukokortikoid utama pada manusia, diproduksi oleh kelenjar adrenal dan sekresi di
bawah kendali sumbu Hypothalamic-Pituitary- Adrenal (HPA). Kortisol diproduksi
di kelenjar adrenal dan merupakan penanda utama aktivasi sumbu hipotalamus-
hipofisis-adrenal (HPA).10 Kortisol merupakan glukortikoid utama memiliki
peranan dalam metabolisme karbohidrat, lemak, protein dan membantu seseorang
dalam menahan stress.11 Beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
kortisol merupkan hormon steroid dari golongan glukortikoid yang diproduksi oleh
sel di dalam zona fasikulata pada kelenjar adrenal sebagai respon terhadap
stimulasi hormon ACTH yang disekresi oleh kelenjar hipofisis. Sebagai berikut
struktur kimiawi hormon cortisol oleh Guyton.12

Gambar 1. Struktur kimia hormon kortisol12

Struktur kimiawi hormon cortisol yang tersusun atas C21H30O5.


Mekanisme sintesa hormon cortisol terjadi secara enzimatik yang terjadi pada
adrenal cortex dengan bahan utama berupa cholesterol. Berdasarkan sifat
kelarutannya, hormon cortisol diklasifikasikan sebagai hormon yang tidak larut
dalam air (hydrophobic) sehingga dalam mempengaruhi sel target hormon ini dapat
secara langsung menembus membran sel melalui mekanisme difusi.13
Produksi kortisol dikendalikan oleh tiga komando yaitu corticotrophin
releasing hormone (CRH) yang berasal dari hipotalamus akan merangsang
pengeluaran adenocorticotropic releasing hormone (ACTH) dari hipofisis anterior.
ACTH kemudian akan merangsang pengeluaran kortisol dari bagian korteks
adrenal tepatnya pada zona fasikulata dan retikularis. Kerja utama hormon kortisol
adalah meningkatkan pasokan glukosa ke jaringan, terutama otak dan jantung.
Kortisol kebanyakan bekerja sebagai respons tubuh terhadap stress. Bermacam
kondisi stress akan mempengaruhi otak dalam melepaskan corticotrophin releasing
hormone dari hypothalamus, selanjutnya akan merangsang proses pelepasan
adnecorticotropic releasinng hormone. Hormon ini bekerja pada kortek adrenal,
menstimulasi sintesa dan pelepasan kortisol.13
Pelepasan kortisol mempengaruhi metabolisme dengan mempertahankan
kadar glukosa darah selama melakukan aktivitas fisik, kortisol juga merangsang
hati untuk menghasilkan enzim yang terlibat dalam proses glukogenesis dan
glikogenesis. Menurut Whitworth et al. (2005), kortisol berperan penting dalam
pengaturan tekanan darah. Selain memiliki efek metabolik, anti inflamasi dan
imunosupresif, hormon kortisol juga memiliki efek permisif pada aktivitas hormon
lain. Sekresi hormon kortisol terjadi pada siang hari, sekresi paling tinggi pada pagi
hari dan terendah pada sore hari. Pengaturan ini dilakukan oleh hypothalamus dan
tidak berpengaruh ada tidaknya stress.11 Senada dengan Guyton et al,12 Kadar
kortisol plasma paling tinggi kira- satu jam sebelum matahari terbit di pagi hari dan
paling rendah kira-kira sekitar tengah malam. Efek ini dihasilkan dari perubahan
siklus sinyal dari hipotalamus selama 24 jam, yang menimbulkan sekresi kortisol.
Sekresi kortisol oleh korteks adrenal diatur oleh sistem umpan-balik negatif
yang melibatkan hipotalamus dan hipofisis anterior. ACTH dari kotikrop hipofisis
anterior, bekerja melalui jalur cAMP, merangsang korteks adrenal untuk
menyekresikan kortisol. Karena bersifat tropik bagi zona fasikulata dan zona
retikularis, ACTH merangsang pertumbuhan dan sekresi kedua lapisan dalam
korteks pada ketiadaan sejumlah ACTH yang adekuat, lapisan ini mengerut dan
sekresi kortisol menurun secara drastis. Ingat kembali bahwa yang mepertahankan
ukuran zona glomerulosa adalah angiotensin, bukan ACTH. nantinya hanya me-
ngeluarkan produknya atas perintah corticotropin-releasing hormone (CRH) dari
hipotalamus. CRH merangsang kortikotrop mela-lui jalur cAMP. Lengkung kontrol
untuk balik menjadi lengkap oleh efek inhibisi kortisol pada sekresi CRH dan
ACTH masing-masing oleh hipotalamus dan hipofisis anterior.
Sistem umpan-balik negatif untuk kortisol mempertahankan kadar sekresi
hormon ini relatif konstan di sekitar titik patokan. Pada kontrol umpan-balik negatif
dasar ini terdapat dua faktor tambahan yang memengaruhi konsentrasi kortisol
plasma dengan mengubah titik patokan: irama diurnal dan stres, keduanya bekerja
pada hipotalamus untuk mengubah tingkat sekresi CRH.
Pelepasan kortisol berada di bawah kendali aksis hipotalamus-hipofisis-
adrenal (HPA). Hormon pelepas kortikotropin (CRH) dilepaskan oleh nukleus
paraventrikular (PVN) hipotalamus. Ia kemudian bekerja pada hipofisis anterior
untuk melepaskan hormon adrenokortikotropik (ACTH), yang kemudian bekerja
pada korteks adrenal. Dalam loop umpan balik negatif, kortisol yang cukup
menghambat pelepasan ACTH dan CRH. Sumbu HPA mengikuti ritme
sirkadian. Dengan demikian, kadar kortisol akan tinggi pada pagi hari dan rendah
pada malam hari. Konsentrasi kortisol dapat dipengaruhi oleh waktu bangun tidur,
aktivitas fisik dan stres.14
Gambar 2. Kontrol sekresi kortisol.11

1.2.Perubahan Ritmik Diurnal Hormon Cortisol


Sekresi hormon berirama naik turun sebagai fungsi waktu. Kadar hormon
cortisol memiliki perubahan pengaturan yang bersifat variatif tidak terpengaruh ada
atau tidaknya stres, aktivitas ini dikontrol oleh nukleus suprakiasmatikus (SCN)
yang terletak pada hypothalamus tepatnya diatas kiasma optikum, yaitu titik tempat
sebagian dari serat saraf mata yang memintas ke separuh otak yang berlawanan.
Fungsi SCN adalah sebagai pemacu irama sirkandian tubuh yang ditandai adanya
osilasi berulang kadar hormon yang bersifat sangat teratur dan memiliki siklus satu
kali 24 jam.11
Perubahan regulasi kadar hormon cortisol oleh digambarkan sebagai berikut.

Gambar 3. Gambar pola pengeluaran kortisol

Gambar 3. merupakan perubahan kadar hormon cortisol selama 24 jam pada


sirkulasi darah yang dipengaruhi oleh siklus ritme sirkandian yang mengalami
perubahan setiap jam. Pada keadaan normal hormon cortisol mulai mengalami
peningkatan pada tengah malam dan mencapai puncak peningkatan pada siang hari.
Kadar terendah hormon cortisol dalam sirkulasi darah sebesar ≤ 4.0 ng/mL keadaan
ini terjadi pada tengah malam pada pukul 24, sedangkan kadar tertinggi terjadi pada
siang hari antara pukul 8-9 mencapai ≥ 20 ng/mL.

1.3.Kelenjar Adrenal
Korteks adrenal terdiri dari tiga lapisan atau zona, yaitu: zona glomerulosa,
lapisan terluar; zona fasikulata, lapisan tengah dan terbesar; dan zona retikularis,
lapisan paling dalam. Korteks adrenal rnengeluarkan sejumlah hormon
adrenokorteks berbeda, yang semuanya adalah steroid yang berasal dari molekul
prekursor bersama, kolesterol. Semua jaringan steroidogenik (penghasil steroid)
pertama mengubah kolesterol menjadi pregnenolon, lalu memodifikasi inti biasa ini
oleh reaksi enzimatik bertahap untuk menghasilkan hormon steroid aktif. Setiap
jaringan steroidogenik memiliki enzim komplemen untuk menghasilkan satu atau
beberapa hormon steroid tapi tidak semuanya. Steroid adrenal dapat dibagi menjadi
tiga kategori:11
1.1.Mineralokortikoid
Terutama aldosteron, memengaruhi keseimbangan mineral (elektrolit),
khususnya keseimbangan Na+ dan K+
1.2.Glukokortikoid
Terutama kortisol, berperan besar dalam metabolisme glukosa serta
metabolisme protein dan lemak dan dalam adaptasi terhadap stres.
1.3.Hormon seks identik atau serupa dengan yang dihasilkan oleh gonad (testis
pada pria, ovarium pada wanita).
Hormon seks adrenokorteks yang paling banyak dan penting secara
fisiologis
adalah dehidroepiandrosteron, suatu androgen, atau suatu hormon
seks"pria".

Gambar 4. Anatomi dan Sekresi Hormonal Oleh Kelenjar Adrenal.


Ketiga kategori steroid adrenal diproduksi di bagian-bagian korteks adrenal
yang berbeda akibat perbedaan distribusi enzimenzim yang diperlukan untuk
mengatalisis jalur-jalur biosintetik berbeda yang menyebabkan terbentuknya
steroid-steroid ini. Dari dua hormon adrenokorteks utama, aldosteron dihasilkan
secara eksklusif di zona glomerulosa, sedangkan sintesis kortisol terbatas di dua
lapisan terdalam korteks, dengan zona fasikulata adalah sumber utama
glukokortikoid. Karena lipofilik, semua hormon adrenokorteks diangkut dalam
darah dalam keadaan terikat ke protein plasma. Kortisol terikat terutama ke protein
plasma yang spesifik untuknya yang dinamai corticosteroid-binding globulin
(transkortin), sementara aldosteron dan dehidroepiandrosteron umumnya terikat ke
albumin, yang secara non-spesifik mengikat berbagai hormon lipofilik lain. 11,12

Gambar 5. Jalur steroidogenik untuk hormon-hormon steroid pertama. Semua hormon steroid
dihasilkan melalui serangkaian reaksi enzimatik yang memodifikasi molekul kolesterol, seperti
dengan mengubah gugus samping yang melekat padanya. Setiap organ steroidogenik hanya dapat
menghasilkan hormon steroid jika organ tersebut memiliki semua enzim yang diperlukan untuk
memodifikasi kolesterol dengan sesuai, setelah mengubahnya terlebih dahulu menjadi pregnenolon.
Hormon aktif yang dihasilkan dijalur steroidogenik ini ditampilkan pada gambar. Hormon antara
yang tidak aktif secara biologis pada manusi tidak ditampilkan

1.4. Mekanisme Sintesa Hormon Cortisol


Reaksi enzimatik sintesa hormon cortisol melibatkan aktivitas tiga bentuk
enzim hidroksilase yang terletak pada zona fasciculata dan retikularis adrenal
cortex yang bekerja secara berurutan pada posisi C17, C21, dan C11, sedangkan
bentuk enzim secara berurutan berupa 17α-hydroxylase, 21-hydroxyilase, dan 11β-
hyidroxylase.12
Tahap reaksi enzimatik pembentukan hormon cortisol dengan memodifikasi
molekul cholesterol digambarkan sebagai berikut.

Gambar 6. Mekanisme Reaksi Enzimatik Pembentukan Hormon Cortisol


(Ortsater & Rafacho, 2012).

Mekanisme pembentukan hormon cortisol dari bahan utama berupa


kolesterol melalui reaksi enzimatik. Terdapat tiga komponen enzim utama dalam
reaksi enzimatik pembentukan cortisol yaitu 17α-hydroxylase dan 21-hydroxyilase
yang merupakan suatu enzim dari retikulum endoplasma halus serta enzim
mitokondria berupa 11β-hyidroxylase.18 Kinerja dari ketiga komponen enzim utama
tersebut dipengaruhi oleh beberapa aktivitas enzim spesifik lain berupa p450ssc,
3β-DH, Δ4,5-isomerase, P450c17, P450c21, dan P450c11.11,12
Enzim P450ssc juga disebut 20,22 desmolase atau desmolase kolesterol dan
diidentifikasi sebagai CYP11A1, aktivitas enzim tersebut mampu merubah
kolesterol menjadi pregnenolone. Enzim P450c17 disebut juga sebagai CYP17A1
yang merupakan suatu enzim microsomal tungggal dengan dua bentuk aktivitas
biosintesis steroid yaitu 17α-hydroxylase yang mampu mengubah pregnenolone
menjadi 17-OH pregnenolone. Aktivitas biosintesis kedua dari enzim P450c11
berupa 17,20-lyase yang mampu mengubah 17-OH pregnenolone menjadi
dehydroepiandosterone (DHEA).12
Aktivitas bentuk kedua dari P450c11 tidak terjadi pada mekanisme sintesa
cortisol melainkan terjadi pada pembentukan hormon androstenedione pada zona
reticularis.20 Ketika telah terbentuk 17-OH pregnenolone oleh aktivitas enzim
P450c11, selanjutnya menstimulus aktivasi kinerja dari dua bentuk enzim retikulum
endoplasma halus yang berupa 3β- hydroxyisteroid dehydrogenase (3β-DH) dan
Δ4,5-isomerase untuk merubah 17- OH pregnenolone menjadi 17-OH
progesterone. Tahap terahir 17-OH progesterone mengalami hidroksilasi untuk
membentuk 11- deoxycortisol serta diubah menjadi cortisol melalui aktivitas enzim
P450c11.13

1.5. Fungsi Cortisol


Kortisol memiliki banyak fungsi dalam tubuh manusia, seperti memediasi
respons stres, mengatur metabolisme, respons peradangan, dan fungsi kekebalan
tubuh.14

Respon imun
Glukokortikoid memiliki sejumlah tindakan dalam sistem kekebalan
tubuh. Misalnya, mereka menginduksi apoptosis sel T proinflamasi, menekan
produksi antibodi sel B, dan mengurangi migrasi neutrofil selama peradangan.15
Respon stress
Tubuh manusia terus-menerus merespons stresor internal dan
eksternal. Tubuh memproses informasi stres dan memunculkan respons tergantung
pada tingkat ancaman. Sistem saraf otonom tubuh dipecah menjadi sistem saraf
simpatik (SNS) dan sistem saraf parasimpatis (PNS). Pada saat stres, SNS akan
diaktifkan. SNS bertanggung jawab atas respons melawan atau lari, yang
menyebabkan kaskade respons hormonal dan fisiologis. Amigdala bertanggung
jawab untuk memproses ketakutan, gairah, dan rangsangan emosional untuk
menentukan respons yang tepat. Jika perlu, amigdala mengirimkan sinyal stres ke
hipotalamus.5 Hipotalamus kemudian mengaktifkan SNS, dan kelenjar adrenal
melepaskan gelombang katekolamin, seperti epinefrin. Ini menghasilkan efek
seperti peningkatan denyut jantung dan laju pernapasan. Saat tubuh terus
merasakan rangsangan sebagai ancaman, hipotalamus mengaktifkan sumbu
HPA. Kortisol dilepaskan dari korteks adrenal dan memungkinkan tubuh untuk
terus waspada. Secara akut, mekanisme katabolik kortisol menyediakan energi bagi
tubuh.16 

Homeostasis glukosa dan protein


Kortisol menghambat penyerapan dan pemakaian glukosa oleh banyak
jaringan, kecuali otak, sehingga glukosa tersedia bagi otak, yang membutuhkan
bahan ini sebagai bahan bakar metabolik. Efek ini, seperti glukoneogenesis,
meningkatkan glukossa darah. Kortisol bekerja pada hati, otot, jaringan adiposa,
dan pankreas. Di hati, kadar kortisol yang tinggi meningkatkan glukoneogenesis
dan menurunkan sintesis glikogen.24  Glukoneogenesis adalah jalur metabolisme
yang menghasilkan produksi glukosa dari asam amino glukogenik, laktat, atau
gliserol 3-fosfat yang ditemukan dalam trigliserida. Glukoneogenesis membalikkan
glikolisis, jalur sitoplasma yang digunakan untuk mengubah glukosa menjadi
molekul piruvat. Jalur ini digunakan untuk melepaskan energi melalui fosforilasi
tingkat substrat dan reaksi oksidasi. Tidak seperti glikolisis, glukoneogenesis
menjadi aktif ketika tubuh membutuhkan energi. Otot memiliki suplai glikogen
internal mereka sendiri yang memungkinkan mereka untuk merespon perubahan
kebutuhan ATP dengan cepat. Dengan adanya kortisol, sel otot menurunkan
pengambilan dan konsumsi glukosa dan meningkatkan degradasi protein; ini
memasok glukoneogenesis dengan asam amino glukogenik. Kortisol bekerja pada
pankreas untuk menurunkan insulin dan meningkatkan glukagon. Glukagon adalah
hormon peptida yang disekresikan oleh sel alfa pankreas untuk meningkatkan
glikogenolisis hati, glukoneogenesis hati, ketogenesis hati, lipolisis, serta
menurunkan lipogenesis. Kortisol meningkatkan aktivitas glukagon, epinefrin, dan
katekolamin lainnya.17

Kortisol mempermudah lipolisis


Dalam jaringan adiposa, kortisol meningkatkan lipolisis. Penguraian
simpanan lemak (lipid) di jaringan adiposa sehingga asam-asam lemak dibebaskan
ke dalam darah (tisis artinya "penguraian"). Asam-asam lemak yang dimobilisasi
ini tersedia sebagai bahan bakar metabolik alternatif bagi jaringan yang dapat
menggunakan sumber energi ini sebagai pengganti glukosa sehingga glukosa
dihemat untuk otak.18

Kortisol merangsang glukoneogenesis di hati


Yaitu perubahan sumber-sumber non-karbohidrat (yaitu asam amino) menjadi
karbohidrat (gluko artinya "glukosa"; neo artinya "baru"; genesis artinya
"produksi"). Di antara waktu makan atau selama puasa, ketika tidak ada nutrien
baru yang diserap ke dalam darah untuk digunakan dan disimpan, glikogen
(glukosa simpanan) di hati cenderung berkurang karena ditiraikan untuk
membebaskan glukosa ke dalam darah. Glukoneogenesis adalah faktor penting
untuk mengganti simpanan glikogen hati dan karenanya mempertahankan kadar
glukosa daraht etap normal di-antara waktu makan. Hal ini esensial karena otak
hanya dapat menggunakan glukosa sebagai bahan bakar metabolik, tetapi jaringan
saraf sama sekali tidak dapat menyimpan glikogen. Karena itu, konsentrasi harus
dipertahankan pada tingkat yang sesuai agar otak yang bergantung pada glukosa
mendapat nutrien yang memadai.19

Efek Permisif
Kortisol sangat penting karena sifat permisifnya. Sebagai contoh, kortisol
harus ada dalam jumlah memadai agar katekolamin dapat menimbulkan
vasokonstriksi (penyempitan pembuluh darah). Orang yang kekurangan kortisol,
jika tidak diobati, dapat mengalami syok sirkulasi pada situasi dapat mengalami
syok sirkulasi pada situasi penuh stres yang membutuhkan vasokonstriksi luas
dalam waktu cepat.20

Peran dalam adaptasi terhadap stres


Kortisol berperan kunci dalam adaptasi terhadap setres. Segala jenis stres
merupakan salah satu rangsangan utama bagi peningkatan sekresi kortisol.
Meskipun peran persis kortisol dalam adaptasi terhadap stres belum diketahui,
penjelasan yang spekulatif tetapi masuk akal adalah sebagai berikut: Manusia
primitif atau hewan yang terluka atau menghadapi situasi yang mengancam nyawa
harus melupakan makan. Pergeseran dari penyimpanan protein dan lemak ke
peningkatan simpanan karbohidrat dan ketersediaan glukosa darah yang
ditimbulkan oleh kortisol akan membantu melindungi otak dari malnutrisi selama
periode puasa terpaksa tersebut. Asam-asam amino yang dibebaskan oleh
penguraian protein juga akan menjadi jika terjadi cedera fisik. Karena itu, terjadi
peningkatan cadangan glukosa, asam amino, dan asam lemak yang dapat digunakan
sesuai kebutuhan.21

Efek anti-inflamasi dan imunosupresif


Ketika stres ditemani oleh luka jringan, respons imun dan inflamaasi akan
menyertai respons stres. Kortisol memiliki efek anti inflamasi dan imunosupresif
untuk menolong agar respons sistem imun ini berada dalam suatu keseimbangan.
Respons inflamasi yang berlebihan berpotensi menimbulkan bahaya. Kortisol turut
berperan dalam setiap langkah inflamasi, seperti dengan menekan migrasi neutrofil
ke tempat yang terluka dan ikut serta dalam aktivitas fagositiknya dan dengan
menghambat sebagian produksi mediator kimia inflamasi. Kortisol menghambat
respons imun dengan menggangu produksi antibodi oleh limfosit.22,23
Dengan mengaburkan batas antara endokrin dan kontrol imun, limfosit yang
telah terbukti menyekresi ACTH dan beberapa sitokin yang dilepaskan dari sel
imun dapat merangsang aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal. Melalui mekanisme
umpan balik, kortisol pada gilirannya memiliki dampak yang jelas dalam
menurunkan sistem imun. Interaksi yang terjadi antara sistem imun dan sekresi
kortisol ini membantu mempertahankan homeostasis imunitas, suatu are yang mulai
diteliti.22,23
Telah dikembangkan glukokortikoid (obat) sintetik yang memaksimalkan
efek antiinflamasi dan imunosupresif steroid ini sambil meminimalkan efek
metaboliknya. Ketika diberikan untuk terapi pada kadar farmakologis (yaitu lebih
tinggi daripada konsentrasi fisiologis), obat ini efektif untuk mengatasi kondisi-
kondisi yang respons peradangannya itu sendiri bersifat merusak, seperti artritis
reumatoid. Glukokortikoid yang digunakan dengan cara ini tidak memengaruhi
proses penyakit yang mendasari; obat ini hanya menekan respons tubuh terhadap
penyakit. Karena glukokortikoid juga memiliki banyak efek menghambat pada
proses imun secara keseluruhan, obat ini juga terbukti ber-manfaat dalam mengatasi
berbagai penyakit alergik (serangan imun yang tidak tepat) dan dalam mencegah
penolakan organ cangkokan (serangan imun melawan sel asing).22,23
Namun, steroid harus diberikan hanya sesuai indikasi dan dalam jumlah
terbatas, karena beberapa alasan penting. Pertama, karenaglukokortikokoid
menekan respons peradangan dan imun normal yang menjadi tulang punggung
sistem pertahanan tubuh, orang yang diterapi obat ini mengalami keterbatasan
kemampuan untuk menahan infeksi. Kedua, efek lain yang kurang menguntungkan
juga dapat ditemukan pada pemakaian jangka-panjang glukokortikoid dalam dosis
yang lebih tinggi daripada normal. Efek-efek ini mencakup timbulnya tukak
lambung, tekanan darah tinggi, aterosklerosis, ketidakteraturan haid, dan penipisan
tulang. Ketiga, glukokortioid eksogen dosis tinggi bekerja secara umpan-balik
negatif untuk menekan aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal yang menjalankan
sekresi normal glukokortikoid dan mempertahankan integritas korteks adrenal.
Penekanan berkepanjangan sumbu ini dapat menyebabkan atrofi ireversibel sel-sel
penghasil kortisol kelenjar adrenal sehingga tubuh dapat secara permanen tidak
mampu menghasilkan kortisolnya sendiri. Hal ini yang menyebabkan mengapa obat
antiinflamasi non steroid (OAINS), seperti aspirin dan Ibuprofen, digunakan
sebagai terapi antiinflamasi alternatif.22,23

1.6. Sekresi Cortisol Abnormal


Dalam kondisi fisiologis dan dalam situasi bebas stres, orang dewasa yang
sehat mengeluarkan antara 10 dan 20 mg kortisol dalam ritme harian. Ini berubah
secara signifikan dalam situasi stres dan saat ritme sirkadian tubuh terganggu,
misalnya saat ritme tidur-bangun terganggu. Pemulihan sekresi kortisol relatif
lambat; selain itu, glukokortikosteroid mengubah ekspresi gen jam biologis di
ginjal, paru-paru, dan otot, yang selanjutnya dapat memperlambat sinkronisasi
ulang jam sirkadian.26
Glukokortikoid (seperti kortisol) dengan mudah menembus ke dalam otak.
Meskipun peran fisiologisnya dalam fungsi sistem saraf pusat tidak diketahui,
diasumsikan bahwa konsentrasi normalnya memastikan neuroplastisitas,
pertumbuhan, dan diferensiasi neuron yang memadai, dan konsentrasi abnormal
dapat memengaruhi perilaku dan fungsi kognitif. Awalnya, kadar kortisol yang
berlebihan menyebabkan euforia, tetapi paparan otak yang berkepanjangan
terhadap konsentrasi tinggi dapat mengakibatkan munculnya gejala psikologis lain
seperti lekas marah, labilitas emosional, dan depresi. Defisiensi kortisol juga dapat
menyebabkan iritabilitas, tetapi dalam kasus ini, kebanyakan pasien menjadi apatis
dan depresi.27
Gangguan sekresi kortisol (terutama hiperkortisolemia) dapat menyebabkan
gangguan mental dan dapat menjadi salah satu dari banyak gangguan hormonal
yang menyertai kondisi tersebut, misalnya depresi. Sekitar 50% persen pasien
dengan depresi yang baru didiagnosis memiliki sekresi kortisol yang
berlebihan. Penting untuk diingat bahwa depresi tidak hanya disertai oleh
disregulasi aksis HPA tetapi juga oleh fungsi tiroid yang abnormal atau disregulasi
hormon seks selama periode postpartum dan pascamenopause.28
Peningkatan sekresi kortisol dalam situasi stres berdampak pada fungsi dan
kondisi otak kita. Struktur yang paling terpapar pada konsentrasi tinggi hormon ini
adalah hippocampus karena banyaknya reseptor steroid. Stres berulang
menyebabkan perubahan struktur neuron. Ketika stres berumur pendek, timbulnya
atrofi dapat dibalik, tetapi stres jangka panjang dapat menyebabkan kematian
neuron yang terletak di hippocampus. Studi PET (positron emission tomography)
dan fMRI (functional magnetic resonance imaging) menunjukkan bahwa, dalam
kasus penyakit seperti depresi atau gangguan stres pasca-trauma, ada pengurangan
volume wilayah otak ini, serta dalam korteks prefrontal dan amigdala. Namun,
tidak pasti apakah peningkatan sekresi kortisol itu sendiri atau disregulasi sekresi
kortisol adalah penyebab atrofi. Selain itu, penurunan volume hipokampus juga
terlihat pada gangguan kepribadian borderline dan pasien dengan skizofrenia.29
A. Hiperkortisolisme
Sekresi kortisol yang berlebihan (sindrom Cushing) dapat disebabkan oleh
(1) stimulasi berlebihan korteks adrenal oleh CRH, ACTH, atau keduanya (2)
tumor adrenal yang mengeluarkan kortisol dengan tak terkendali tanpa
bergantung pada ACTH, atau (3) tumor penghasil ACTH yang terletak di luar
hipofisis, terutama di paru. Gambaran yang menonjol pada sindrom ini berkaitan
dengan efek berlebihan glukokortikoid, dengan gejala utama yang disebabkan
oleh glukokokortikoid, dengan gejala utama yang disebabkan oleh
glukoneogenesis yang berlebihan. Jika terlalu banyak asam amino yang diubah
menjadi glukosa tubuh menjadi glukosa, tubuh mengalami kelebihan glukosa
(glukosa darah tinggi) dan kekurangan protein. Karena hiperglikemia dan
glukosuria (glukosa di urine) yang terjadi mirip dengan diabetes mellitus,
penyakit ini kadang disebut diabetes adrenal. Oleh sebab-sebab yang belum
jelas, sebagian glukosa ekstra ini mengendap sebagai lemak tubuh di lokasi-
lokasi yang khusus untuk penyakit ini, yaitu abdomen, diatas tulang belikat, dan
di wajah. Distribusi abnormal lemak di dua lokasi terakhir ini masing-masing
disebut "buffalo hump" (punuk sapi) dan "moon face" (wajah bulan). Sementara
itu, anggota badan tetap kurus, karena terjadi penguraian otot.
Selain efek-efek yang berkaitan dengan kelebihan produksi glukosa, efek
lain timbul karena mobilisasi luas asam-asam amino dari protein tubuh untuk
digunakan sebagai prekusor glukosa. Berkurangnya protein otot menyebabkan
kelemahan otot dan kelelahan. Kulit abdomen yang kekurangan protein dan
menipis menjadi teregang berlebihan oleh endapan lemak, membentuk garisgaris
ireguler ungu kemerahan. Berkurangnya protein struktual di dinding pembuluh
halus menyebabkan pasien mudah memar. Penyembuhan luka terhambat karena
pembentukan kolagen, protein struktual utama dijaringan parut,tertekan. Selain
itu, berkurangnya rangka kolagen tulang memperlemah tulang sehingga dapat
terjadi fraktur spontan atau karena cedera ringan.
Sindrom Cushing terjadi ketika tubuh manusia terkena kadar kortisol yang
tinggi untuk waktu yang lama. Etiologi yang berbeda untuk sindrom Cushing
dapat dikategorikan sebagai ACTH-dependent atau ACTH-independent. Pada
subtipe yang bergantung pada ACTH, terdapat kelebihan ACTH karena tumor
hipofisis atau sumber ektopik, seperti tumor neuroendokrin. Dalam kedua kasus,
kelebihan produksi ACTH merangsang kelenjar adrenal untuk menghasilkan
kelebihan kortisol. Dalam subtipe ACTH-independen, ada etiologi endogen dan
etiologi eksogen. Penyebab endogen biasanya karena tumor pada kelenjar
adrenal, yang menyebabkan produksi kortisol berlebih. Penyebab eksogen
adalah karena penggunaan kortikosteroid oral atau suntik yang
berlebihan. Kortikosteroid oral, seperti prednison, meningkatkan jumlah kortisol
dalam tubuh. Mereka diresepkan untuk membantu meringankan gejala yang
berhubungan dengan penyakit inflamasi kronis, seperti lupus eritematosa
sistemik (SLE) dan rheumatoid arthritis. Gejala sindrom Cushing tergantung
pada seberapa tinggi kadar kortisol. Tanda dan gejala umum kelebihan kortisol
termasuk penambahan berat badan (terutama di wajah dan perut), timbunan
lemak di antara tulang belikat, diabetes, hipertensi, hirsutisme pada wanita,
kelemahan otot proksimal, dan osteoporosis. Perawatan untuk sindrom Cushing
tergantung pada penyebabnya. Perawatan yang paling umum adalah melalui
intervensi bedah. Namun, antagonis reseptor glukokortikoid juga merupakan
pilihan ketika ada kontraindikasi untuk operasi.30

B. Hipokortisolisme
Insufisiensi adrenal primer, juga dikenal sebagai penyakit Addison, paling
sering disebabkan oleh adrenalitis autoimun. Penyebab lain termasuk keganasan,
infeksi, atau perdarahan adrenal. Adrenalitis autoimun terjadi karena tubuh
menyerang korteks adrenalnya. Insufisiensi adrenal sekunder disebabkan oleh
kurangnya produksi ACTH dari kelenjar hipofisis anterior. Hal ini dapat
disebabkan oleh penyakit hipofisis, tetapi penyebab paling umum adalah karena
penekanan aksis HPA dari penggunaan glukokortikoid eksogen
kronis. Insufisiensi adrenal tersier disebabkan oleh kurangnya pelepasan CRH
dari hipotalamus. Gejala insufisiensi adrenal termasuk kelelahan, penurunan
berat badan, hipotensi, dan hiperpigmentasi kulit. Karena aldosteron juga akan
mengalami defisiensi, hasil laboratorium akan menunjukkan
hiperkalemia. Terapi penggantian glukokortikoid, seperti hidrokortison,
diperlukan untuk mengobati gejala hipokortisolisme. Penting untuk diingat
untuk meningkatkan dosis untuk stresor akut, seperti penyakit dan pembedahan,
untuk menghindari krisis adrenal.31

2. Stres
2.1 Definisi
Stres adalah kondisi yang disebabkan oleh interaksi antara individu dengan
lingkungan, menimbulkan persepsi jarak antara tuntutantuntutan yang berasal dari
situasi yang bersumber pada sistem biologis, psikologis dan sosial dari seseorang.
Stres juga biasa diartikan sebagai tekanan, ketegangan atau gangguan yang tidak
menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang.1
Stres juga dapat didefinisikan sebagai reaksi non spesifik manusia terhadap
rangsangan, tekanan (stimulus stresor), yang merupakan reaksi adaptif, bersifat
sangat individual terhadap peristiwa dan individu merespon peristiwa tersebut pada
level fisiologis, emosional, kognitif, dan perilaku. Apabila stres tidak diatasi
dengan baik, maka akan muncul gangguan badan/jiwa. Stres psikologis adalah
sebuah hubungan antara individu dengan lingkungan yang dinilai oleh individu
tersebut sebagai hal yang membebani atau sangat melampaui kemampuan
seseorang dan membahayakan kesejahteraannya.1
2.2 Faktor-Faktor Penyebab Stres
Penyebab stres meliputi peristiwa traumatik, kecemasan, frustasi, dan
ketidakmampuan mengendalikan situasi. Penyebab stres dapat bervariasi dalam
derajat stres yang ditimbulkan dan jangka waktu stres tersebut berlangsung.
Sarafino membagi faktor penyebab stres menjadi 3 kategori bersumber dari diri
sendiri, keluarga, komunitas dan lingkungan.1,
a. Sumber stres dari diri sendiri Dapat berupa konflik, keadaan rasa sakit, dan
umur individu.
b. Sumber stres dari keluarga Dapat bersumber dari interaksi di antara para
anggota keluarga yang menimbulkan konflik, tuntutan orang tua, dan lain-lain
c. Sumber stres dari komunitas dan lingkungan Stres dapat disebabkan oleh:
- Lingkungan fisik yang terlalu menekan seperti kebisingan, temperatur
udara, kelembaban udara, penerangan yang kurang.
- Kurangnya kontrol yang dirasakan.
- Kurangnya hubungan interpersonal.
- Kurangnya pengakuan terhadap prestasi atau hasil kerja.

2.3 Derajat Stres


Stres dibagi menjadi tiga tingkat yaitu:3
a. Stres ringan adalah stres yang tidak merusak aspek fisiologis dari seseorang. Stres
ringan umumnya dirasakan oleh setiap orang misalnya lupa, ketiduran, dikritik, dan
kemacetan. Stres ringan biasanya hanya terjadi dalam beberapa menit atau
beberapa jam. Situasi ini tidak akan menimbulkan penyakit kecuali jika dihadapi
terus menerus.
b. Stres sedang dan stres berat dapat memicu terjadinya penyakit. Stres sedang terjadi
lebih lama, dari beberapa jam hingga beberapa hari. Contoh dari stresor yang dapat
menimbulkan stres sedang adalah kesepakatan yang belum selesai, beban kerja
yang berlebihan, mengharapkan pekerjaan baru, dan anggota keluarga yang pergi
dalam waktu yang lama.
c. Stres berat adalah stres kronis yang terjadi beberapa minggu sampai beberapa
tahun. Contoh dari stresor yang dapat menimbulkan stres berat adalah hubungan
suami istri yang tidak harmonis, kesulitan finansial, dan penyakit fisik yang lama.
2.4 Hubungan Kortisol dan Stres
Stres sekarang diakui sebagai faktor pramorbid universal yang terkait dengan
banyak faktor risiko berbagai penyakit kronis. Stres akut dapat menginduksi respons
adaptif individu terhadap tuntutan lingkungan. Namun, stres kronis yang berlebihan
menyebabkan dampak negatif kumulatif pada hasil kesehatan melalui "beban
allostatik".4,5,6
Dengan demikian, memantau tingkat mediator stres jangka panjang yang terukur
akan memberikan peluang tepat waktu untuk pencegahan atau intervensi dini penyakit
kronis terkait stres. Meskipun stres akut atau kronis dapat diukur melalui pengukuran
perubahan parameter fisiologis seperti detak jantung, tekanan darah, dan tingkat berbagai
hormon metabolik, masih sulit untuk menafsirkan apakah perubahan tingkat sirkulasi
mediator stres seperti kortisol dapat terjadi. mencerminkan variasi akut, kronis, atau
diurnal. Kadar kortisol serum dan saliva menunjukkan perubahan akut pada satu titik
waktu, tetapi paparan kortisol sistemik jangka panjang secara keseluruhan sulit untuk
dievaluasi karena variasi sirkadian dan kapasitas pengikatan proteinnya. Rambut kepala
memiliki tingkat pertumbuhan yang dapat diprediksi kira-kira 1 cm/bulan, dan segmen
paling 1 cm mendekati produksi kortisol bulan lalu sebagai nilai rata-rata. Analisis
kortisol pada rambut adalah teknik yang sangat menjanjikan untuk penilaian retrospektif
stres kronis.4,5,7
Stres dapat menyebabkan masalah kesehatan fisik dan psikologis. Beberapa stres
terkadang bermanfaat dengan menghasilkan dorongan yang memberikan dorongan dan
energi untuk membantu orang melewati situasi seperti ujian atau tenggat waktu kerja.
Namun, stres yang berlebihan dapat menyebabkan konsekuensi negatif dan berdampak
buruk pada sistem kekebalan tubuh, kardiovaskular, neuroendokrin, dan saraf pusat.
Secara khusus, stres kronis dapat memiliki dampak serius karena bahan kimia tingkat
tinggi yang terus-menerus dilepaskan dalam respons "melawan atau lari", yang
melibatkan sistem endokrin yang melepaskan glukokortikoid. 4,5
Stres merupakan salah satu penyebab utama kelelahan adrenal (adrenal fatigue).
Ketika jumlah stres terus-menerus melebihi kapasitas adrenal untuk mengeluarkan
hormon yang cukup untuk membuat kompensasi fisiologis dan biokimia yang diperlukan
untuk tingkat stres tersebut, terjadi adrenal fatigue. Pada adrenal fatigue, fungsi adrenal
akan menjadi tidak optimal.4,8
Kortisol, yang disintesis dari kolesterol, adalah glukokortikoid utama dalam zona
fasikulat korteks adrenal manusia. Sekresinya sebagai respons terhadap stres biokimia
berkontribusi pada penekanan sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) yang ditandai
dengan baik pada peristiwa kesehatan dan kognisi . Karena sebagian besar aksi kortisol
bergantung pada pengikatan pada reseptor sitosolik, hanya sebagian kecil dari kortisol
bebas yang tidak terikat yang dinyatakan aktif secara biologis. Itu keluar dari
mitokondria, bermigrasi keluar dari sel ke ruang ekstraseluler dan masuk ke aliran darah.
Karena berat molekulnya yang rendah dan sifat lipofiliknya, kortisol yang tidak terikat
memasuki sel melalui difusi pasif, yang memungkinkan untuk mengukur kortisol bebas
dalam banyak cairan tubuh.4,8
Secara umum, kadar kortisol dalam darah meningkat pada pagi hari (tertinggi
sekitar jam 8 pagi) dan sedikit menurun pada malam hari dan selama fase awal tidur.
Oleh karena itu, waktu pengambilan sampel darah sangat penting. Sementara
penilaiannya dalam keringat atau air mata hanya kepentingan teoretis dan kortisol urin
menurun, kortisol saliva mungkin memiliki beberapa keuntungan dibandingkan penilaian
kortisol dalam darah. Karena kadar hormon dalam cairan biologis berfluktuasi setiap hari,
kortisol yang diekstrak dari serat rambut telah diteliti. 4,8

2.5 Respons Stres-Aksis Kortisol Hipotalamus-Pituitary-Adrenal (HPA)


Secara neurologis, manusia berfungsi dalam rangkaian antara simpatik (melawan
atau lari) dan parasimpatis (istirahat dan cerna). Sistem saraf simpatis mendorong
kerusakan jaringan katabolik dan metabolisme lemak untuk memobilisasi glukosa untuk
energi dan meningkatkan gairah, kewaspadaan, motivasi, dan perilaku yang diarahkan pada
tujuan. Di ujung lain spektrum, sistem saraf parasimpatis mempromosikan penyembuhan,
perbaikan, kekebalan, dan pertumbuhan anabolik yang diperlukan untuk memulihkan
cadangan energi dan umur panjang. Tak perlu dikatakan, keseimbangan antara aktivitas
simpatik dan parasimpatis sangat penting untuk kesehatan fisik dan psikologis jangka
panjang.2
Kortisol adalah hormon katabolik vital yang diproduksi oleh korteks adrenal ginjal.
Ini dilepaskan secara diurnal, dengan kadar darah memuncak di pagi hari untuk
memfasilitasi gairah dan terus menurun setelahnya. Sepanjang hari, kortisol
mempertahankan glukosa darah dan menekan sistem organ nonvital untuk menyediakan
energi ke otak dan sistem neuromuskuler yang berfungsi aktif. Kortisol juga merupakan
hormon antiradang yang manjur; itu mencegah kerusakan jaringan dan saraf yang meluas
yang terkait dengan peradangan.2
Selain perannya yang terpenting dalam fungsi normal sehari-hari, kortisol adalah
pemain kunci dalam respons stres. Di hadapan ancaman fisik atau psikologis, kadar
kortisol melonjak untuk menyediakan energi dan substrat yang diperlukan untuk mengatasi
rangsangan pemicu stres atau melarikan diri dari bahaya. Namun, meskipun peningkatan
sekresi kortisol yang dipicu stres bersifat adaptif dalam jangka pendek, sekresi kortisol
yang berlebihan atau berkepanjangan mungkin memiliki efek melumpuhkan, baik secara
fisik maupun psikologis.2
- Respon Akut Stres
Sebuah "stres" adalah setiap rangsangan atau peristiwa yang
membangkitkan respon stres fisiologis, biasanya disebut sebagai keadaan "stres"
atau "kecemasan." Stresor dapat berupa ancaman fisik atau psikologis terhadap
keselamatan, status, atau kesejahteraan; tuntutan fisik atau psikologis yang
melebihi sumber daya yang tersedia; perubahan lingkungan yang tidak dapat
diprediksi; atau inkonsistensi antara harapan dan hasil. Apakah penyebab stresnya
adalah rasa sakit atau tidak terkait rasa sakit (misalnya, beban kerja yang
berlebihan, masalah keuangan, rasa malu sosial), persepsi tuntutan lingkungan
yang tidak dapat dikendalikan atau tidak dapat diprediksi yang melebihi sumber
koping cenderung membangkitkan respons stres fisiologis, bermanifestasi sebagai
perasaan tidak nyaman. kegelisahan atau malapetaka yang akan datang,
perenungan atau kekhawatiran, dan menghindari rangsangan yang memicu stres.
Namun, persepsi rangsangan lingkungan sebagai sesuatu yang mengancam atau
menakutkan berbeda-beda pada setiap individu; oleh karena itu, stresor berbasis
rasa takut yang sama yang menimbulkan respons stres pada satu individu
mungkin tidak berbahaya bagi orang lain. Ketakutan akan kemungkinan terburuk
(misalnya pengangguran, kebangkrutan), ketakutan akan rasa malu sosial,
ketakutan akan rasa sakit, atau ketakutan akan kegagalan mengaktifkan amigdala,
bagian dari sistem limbik otak. Amigdala merespons rasa takut atau bahaya
dengan memulai respons simpatik segera, diikuti segera setelahnya oleh respons
neuroendokrin, dalam upaya naluriah untuk memulihkan homeostasis dan
meningkatkan kelangsungan hidup. Penilaian atau keyakinan kognitif maladaptif
mengenai sifat mengancam dari stresor potensial dapat meningkatkan respons
stres fisiologis yang berlebihan yang kemungkinan akan memulai, memperburuk,
atau memperpanjang pengalaman nyeri. Yang penting, nyeri itu sendiri adalah
stresor potensial, dan persepsi nyeri yang maladaptif sebagai ancaman atau
menakutkan dapat membangkitkan respons stres fisiologis yang berlebihan,
sehingga melanggengkan nyeri dan kecacatan kronis. 2
Pada tahap awal respons stres akut, amigdala memberi sinyal pada batang
otak untuk melepaskan katekolamin adrenergik simpatis, norepinefrin, dan
epinefrin. Setelah dilepaskan ke dalam aliran darah, neurotransmitter katekolamin
meningkatkan detak jantung, tekanan darah, dan pernapasan, arteriol
vasokonstriksi; dan merangsang sekresi keringat dan pelebaran pupil. Yang
penting, respons simpatis jangka pendek ini bersifat proinflamasi, berfungsi
untuk menghancurkan antigen, patogen, atau penyerbu asing; antagonis
adrenoreseptor telah terbukti menghambat inflamasi yang diinduksi stres dan
produksi sitokin dengan menghalangi efek proinflamasi norepinepherine.
Meskipun peran respon medula simpatoadrenal pada nyeri kronis penting untuk
dipertimbangkan.2
Sementara neurotransmiter simpatik mengatur tahap awal respons stres
akut, respons neuroendokrin mengikuti dengan cara yang tertunda tetapi
berkepanjangan dan dimediasi oleh gen. Setelah persepsi stres, amigdala
mengaktifkan sumbu HPA dengan memberi sinyal hipotalamus untuk
melepaskan hormon pelepas kortikotropin (CRH). Hormon ini kemudian memicu
pelepasan hormon adrenokortikotropik (ACTH) dari hipofisis anterior, dan
ACTH merangsang pelepasan kortisol dari korteks adrenal. Kira-kira 15 menit
setelah timbulnya stres, kadar kortisol meningkat secara sistemik dan tetap tinggi
selama beberapa jam. Peningkatan kadar kortisol memobilisasi glukosa dan
substrat jaringan untuk bahan bakar, menekan sistem organ nonvital, dan
mengurangi peradangan untuk memungkinkan manajemen stres yang efektif.
Peran anti-inflamasi kortisol yang kritis dapat ditekankan oleh gangguan
inflamasi yang tak terhitung jumlahnya yang biasanya diobati dengan pengganti
farmasi sintetiknya, kortikosteroid.2

- Respon Kronik Stres24


Peristiwa stres tidak dapat dihindari dalam kehidupan sehari-hari, dan
mengatasi rintangan melekat pada kesuksesan. Meskipun mungkin tidak realistis
untuk hidup dan bekerja di dunia yang bebas dari stres, manusia memiliki
kemampuan untuk mengendalikan apa yang mereka anggap sebagai stres dan
bagaimana mereka menanggapinya. Respons stres jangka pendek terhadap rasa
sakit atau stresor yang tidak berhubungan dengan rasa sakit dapat melayani
fungsi adaptif untuk meningkatkan kelangsungan hidup atau memotivasi
kesuksesan; namun, respons stres kronis dapat menjadi bencana besar. Kognisi
negatif yang berlebihan atau berulang, perenungan atau kekhawatiran,
pembesaran, dan ketidakberdayaan adalah semua respons bencana maladaptif
terhadap rasa sakit atau stres yang tidak berhubungan dengan rasa sakit yang
dapat memperpanjang sekresi kortisol. Perubahan serupa pada kadar kortisol
telah dilaporkan setelah stres yang diinduksi laboratorium, stres yang dilaporkan
sendiri, dan respons bencana terhadap rasa sakit. Apakah stimulus pemicu stres
itu nyeri atau tidak terkait nyeri, reaktivasi kronis dari respons stres dan lonjakan
kortisol yang berulang menyebabkan disfungsi kortisol.2
Literatur keseluruhan menunjukkan beberapa kemungkinan perubahan
neuroendokrin yang mendasari disfungsi kortisol: penipisan kortisol, kortisol
bebas (tidak terikat) yang tidak mencukupi, gangguan sekresi kortisol atau fungsi
CRH, resistensi atau penurunan regulasi glukokortikoid reseptor (GR), atau
hipersensitivitas sistem umpan balik negatif. Oleh karena itu, meskipun penipisan
kortisol setelah sekresi yang lama atau berlebihan dapat menyebabkan disfungsi,
ada penjelasan tambahan untuk dipertimbangkan.2
Dalam kondisi normal, kortisol berikatan dengan GR dan bertindak
sebagai antiinflamasi. Namun, sekresi kortisol yang berkepanjangan atau
berlebihan dapat menyebabkan penurunan regulasi kompensasi atau resistensi GR
yang menghalangi pengikatan kortisol, serupa dengan mekanisme yang
mendasari diabetes yang resistan terhadap insulin. Juga telah disarankan bahwa
lonjakan ekstrim pada kortisol dapat meningkatkan afinitasnya terhadap reseptor
mineralokortikoid (MR), dan ketika terikat pada MR, kortisol memiliki efek
proinflamasi. Dalam kedua kasus, produk sampingan inflamasi yang meningkat
dapat merusak GR, sehingga memperparah disfungsi kortisol. Selain itu,
gangguan pengikatan pada GR dapat mengganggu mekanisme umpan balik
negatif dimana kortisol biasanya menghambat pelepasan CRH yang berkelanjutan
ketika levelnya mencukupi. Hormon pelepas kortikotropin telah dilaporkan
mengaktifkan sel mast inflamasi, merangsang pelepasan norepinepherine
(neurotransmiter simpatis proinflamasi) dari locus coeruleus, dan meningkatkan
regulasi glutamat dan N-methyl-D-aspartate (NMDA) di amigdala untuk
mengkondisikan rasa takut. respons stres berbasis. Juga telah dilaporkan bahwa
aktivasi reseptor CRH yang tidak berhubungan dengan rasa sakit di amigdala
dapat memicu rasa sakit tanpa adanya kerusakan jaringan dan peningkatan input
rangsang dapat menghiperpolarisasi potensi postsinaptik, membuat amigdala
resisten terhadap input penghambatan dari korteks prefrontal. Meskipun
penelitian belum mengidentifikasi dengan tepat mekanisme mana yang mendasari
proses disfungsi kortisol yang diinduksi stres, etiologinya kemungkinan
merupakan proses gabungan, multifaktorial, dan siklus yang mungkin spesifik
jaringan dan bervariasi berdasarkan faktor individu dan lingkungan. 2
Terlepas dari mekanisme neuroendokrin yang terlibat, efek jangka panjang
dari stres kronis tetap sama: kortisol gagal berfungsi. Dalam model hewan, kadar
kortikosteron tumpul (setara dengan kortisol pada tikus) diamati setelah 2 minggu
stres pengekangan berulang, dan stres penarikan morfin yang konstan
menghasilkan hipokortisolisme setelah 8 hari. Pada manusia, peradangan akibat
stres telah terlibat dalam penyakit seperti osteoporosis, rheumatoid arthritis,
miopati, fibromyalgia, sindrom kelelahan kronis, nyeri panggul kronis, disfungsi
sendi temporomandibular, nyeri punggung bawah kronis, linu panggul, dan
banyak lagi. Kortisol adalah antiinflamasi yang kuat, dan kegagalan fungsinya
menghasilkan respons inflamasi yang tidak termodulasi terhadap patogen fisik,
protein yang tidak dikenal, atau stresor psikologis. Peradangan menginduksi stres
oksidatif dan nitrosatif, kerusakan radikal bebas, kematian sel, penuaan, dan
degenerasi jaringan sistemik. Tanda dan gejala disfungsi kortisol akibat stres
meliputi kerusakan tulang dan otot, kelelahan, depresi, nyeri, gangguan memori,
disregulasi natrium-kalium, hipotensi ortostatik, dan gangguan refleks cahaya
pupil. Selain itu, peradangan luas yang diinduksi stres mungkin merupakan
pukulan terakhir dalam rangkaian peristiwa multifaktorial yang berkontribusi
terhadap ratusan penyakit autoimun inflamasi idiopatik. 2
Gambar 7. Hormon stres diferensial yang disekresikan oleh korteks adrenal dan medulla. 7
2.6 Allostasis dan Beban Allostatik
Istilah stres awalnya diadopsi dari rekayasa (ukuran kekuatan internal yang
disebabkan oleh deformasi tubuh), tetapi sekarang disebut 'ancaman atau antisipasi
ancaman terhadap homeostasis organisme'. Dengan demikian peristiwa stres dapat
dipahami sebagai setiap rangsangan yang menyebabkan perubahan homeostasis untuk
adaptasi terhadap lingkungan. Perubahan homeostasis ini disebut sebagai 'allostasis', yang
dapat dicontohkan dengan peningkatan denyut jantung atau tekanan darah dan
peningkatan metabolisme sistemik. Secara umum, allostasis dapat bersifat adaptif atau
maladaptif tergantung pada derajat atau relevansi kontekstualnya; mediator allostasis,
seperti hormon metabolik, dapat berkontribusi pada adaptasi dan patofisiologi yang sehat.
Konsep 'beban allostatik' menunjukkan perubahan, 'titik setel baru' homeostasis, yang
dihasilkan dari efek kumulatif dari respons allostatik yang kronis, berlebihan, atau diatur
dengan buruk. Misalnya, peningkatan kadar glukosa serum bertanggung jawab atas satu
peristiwa stres akut, yang dapat disebut sebagai 'respons allostatik'. Juga, diabetes
(resistensi insulin) akibat stres kronis yang berulang dapat dipahami sebagai 'kelebihan
allostatik', di mana kadar glukosa puasa awal baru ditetapkan ke tingkat yang lebih tinggi
dari sebelumnya. Oleh karena itu, biomarker muatan allostatik, jika tersedia, dapat
digunakan untuk mengukur dan memprediksi risiko biologis kumulatif dari penyakit yang
akan datang, dan merupakan indikator ideal untuk mendeteksi 'fase pra' penyakit. 7,9
Mediator allostasis terdiri dari sistem saraf otonom (katekolamin), hormon
metabolik, dan berbagai sitokin. Di antaranya, kortisol adalah salah satu yang mendapat
perhatian besar berdasarkan konsep 'hipotesis kaskade glukokortikoid'. Hipotesis ini
menjelaskan bagaimana dan mengapa tindakan kortisol dapat dikaitkan dengan
patofisiologi pada stres yang berlebihan. Stres psikologis dan fisik meningkatkan kadar
kortisol yang bersirkulasi. Pada keadaan akut, peningkatan kortisol menginduksi respons
adaptif melalui peningkatan proses katabolik untuk memasok lebih banyak energi ke
tubuh.7,9
Secara umum, peningkatan kadar kortisol kembali ke tingkat basal melalui
mekanisme penghambatan umpan balik melalui hipotalamus, korteks prefrontal, dan yang
paling penting, hipokampus. Ketika rangsangan stres diulangi secara kronis, kortisol yang
bersirkulasi dipertahankan pada tingkat yang lebih tinggi dalam waktu lama. Kadar
kortisol yang meningkat secara kronis sekarang menyebabkan kerusakan pada neuron
hipokampus dan kortikal, yang merupakan wilayah utama tempat penghambatan umpan
balik dimulai. Akibatnya, bahkan ketika rangsangan stres menghilang, kadar kortisol
dapat dipertahankan pada tingkat yang lebih tinggi di luar kisaran normal fisiologis
karena lingkaran setan yang disebabkan oleh mekanisme umpan balik yang sudah
rusak.7,9
Akibatnya, sejumlah besar penelitian telah mengeksplorasi potensi penggunaan
kortisol sebagai biomarker untuk berbagai penyakit kronis atau keadaan pra-penyakitnya.
Saat ini, tampaknya peran kortisol, sebagai salah satu biomarker untuk muatan allostatik,
dapat diterima secara luas. Namun, masih ada isu kontroversial mengenai metode
pengambilan sampel dan pengukuran hormon ini yang berfluktuasi berdasarkan konteks
lingkungan serta siklus sirkadian. Namun, masalah yang paling penting mungkin adalah
kemungkinan bahwa tingkat yang diukur sekali pada titik saat ini dapat mencerminkan
riwayat beban stres seseorang di masa lalu, seperti HbA1c yang menunjukkan tingkat
'beban glukosa' selama 3 bulan terakhir.7,9
Tingkat kortisol pada rambut kepala sekarang dianggap sebagai biomarker yang
menjanjikan untuk menilai tingkat rata-rata beban stres masa lalu seseorang selama
periode tertentu, dan akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini. Kegunaannya telah
dibuktikan di berbagai pengaturan klinis dari neonatus hingga usia tua, ditunjukkan oleh
hubungan kadar kortisol rambut dengan stres bayi di unit perawatan intensif neonatal,
stres anak-anak saat masuk sekolah, dan berbagai gangguan metabolisme dan
neuropsikiatri termasuk infark miokard akut. gagal jantung, sindrom metabolik, dan
gangguan stres pascatrauma.7,9
2.7 Pemeriksaan darah sebagai marker kortisol
Pengambilan sampel darah, menjadi sampel dengan prosedur invasive
dibanding sampel lainnya, karena menggunakan spuit untuk pengambilan
sampelnya. Korelasi yang signifikan telah diamati antara kortisol saliva dan
konsentrasi kortisol darah, terutama selama stres. Sistem HPA diaktifkan, yang
menginduksi sekresi kortisol ke dalam darah, dan dalam hal ini.21
Untuk pengambilan darah, tenaga kesehatan akan mengambil sampel darah
dari pembuluh darah di lengan Anda, menggunakan jarum kecil. Setelah jarum
dimasukkan, sejumlah kecil darah akan dikumpulkan ke dalam tabung reaksi atau
vial. Anda mungkin merasa sedikit tersengat saat jarum masuk atau keluar. Ini
biasanya memakan waktu kurang dari lima menit. Sampel darah biasanya
diambil dua kali pada siang hari - sekali di pagi hari saat kadar kortisol berada
pada titik tertinggi, dan sekali lagi sekitar jam 4 sore, saat kadarnya jauh lebih
rendah.4,21
Namun demikian kortisol darah memiliki keunggulan, yaitu mampu
merefleksikan kortisol bebas dan terikat, tidak seperti sampel lain yang hanya
merefleksikan kortisol bebas.19 kortisol sendiri memiliki range nilai normal 5-25
mcg/dL, namun hal ini dapat berubah tergantung kepada jenis tes yang
dilakukan.22
Pada sampel darah juga memiliki kandungan kortisol yang stabil
dibandingkan sampel lainnya dan dapat diambil setiap saat, namun pengambilan
sampel yang menggunakan spuit atau jarum menimbulkan rasa ketakutan atau
tidak nyaman pada peserta atau pasien yang membuat terjadi peningkatan
kortisol yang dapat menimbulkan bias22
Terdapat sedikit risiko dalam mengambil darah sebagai marker kortiso, yaitu
berupa sedikit rasa sakit atau memar di tempat jarum dimasukkan, tetapi
sebagian besar gejala hilang dengan cepat. 22
2.8 Pemeriksaan saliva sebagai marker kortisol
Setelah stimulasi oleh ACTH, kortisol disintesis dan disekresikan dari
kelenjar adrenal dan dilepaskan ke dalam sirkulasi darah, di mana kortisol terikat
dengan cepat ke pembawa seperti cortisteroid-binding globulin (CBG), albumin,
dan eritrosit. Hanya sebagian kecil (2-15%) kortisol yang dilepaskan tetap tidak
terikat, atau bebas. Menurut konsep hormon bebas, hanya fraksi hormon inilah
yang menghasilkan banyak efek genomik kortisol di jaringan perifer dan di otak.
Meskipun dalam darah baik kortisol terikat dan bebas dapat diukur, hanya
kortisol bebas yang muncul dalam air liur. Oleh karena itu, pengukuran kortisol
saliva memberikan indeks fraksi biologis aktif dari hormon steroid ini.13
Selama beberapa dekade, penelitian tentang efek stres akut dan kronis
telah menggunakan kadar kortisol sebagai indeks respons individu terhadap
stres. Karena alasan metodologis, penelitian ini diperlambat oleh kebutuhan
beberapa sampel darah untuk mengukur kadar kortisol berulang kali.
Pengambilan sampel darah tidak hanya invasif dan mahal tetapi terkadang juga
kontraproduktif dalam penelitian stres karena prosedur pungsi vena itu sendiri
dapat menyebabkan aktivasi HPA yang signifikan. Munculnya tes biokimia
canggih yang mampu mengukur kortisol dengan andal dalam kisaran nanomolar
yang lebih rendah, bagaimanapun, membantu mengatasi masalah ini.13,17
Pengukuran kadar kortisol dalam air liur adalah metode pilihan untuk
studi lapangan atau penilaian rawat jalan di lingkungan alami subjek karena
tenaga medis atau fasilitas laboratorium tidak diperlukan untuk mengumpulkan
dan menyimpan sampel. Kortisol saliva tidak hanya diukur pada manusia, tetapi
juga berfungsi sebagai korelasi endokrin stres pada hewan, termasuk babi,
monyet, gajah, domba, tikus pohon, marmut, dan kambing.14,17
Sampel biasanya diperoleh oleh subjek atau pasien; bayi dan anak kecil
(<2 tahun) memerlukan bantuan tambahan dari orang tua atau staf rumah sakit.
Subjek mengeluarkan air liur langsung ke dalam wadah kecil atau menggunakan
perangkat seperti Salivette, yang saat ini merupakan metode pengambilan
sampel yang paling sering digunakan.14
Terdapat 406 Kortisol Saliva Stimulasi aliran air liur dengan
mengunyah perangkat dengan lembut atau dengan menambahkan beberapa
kristal Kool-Aid yang dimaniskan dengan gula (untuk digunakan pada bayi dan
anak kecil) memastikan volume sampel yang memadai. Karena sebagian besar
immunoassay yang tersedia saat ini memberikan nilai tinggi palsu dengan
sampel pH rendah, sampel saliva tidak boleh diambil setelah stimulasi dengan
asam sitrat. Penyimpanan dan pengiriman sampel tidak rumit. Karena kortisol
agak stabil dalam air liur, sampel dapat disimpan pada suhu kamar selama
minimal 4 minggu tanpa penurunan konsentrasi kortisol yang signifikan atau
dikirim ke laboratorium pada suhu kamar, bahkan ke luar negeri. Namun, untuk
menyimpan sampel dalam waktu lama dan untuk menghindari pencetakan,
disarankan agar sampel disimpan pada suhu 20 C atau lebih rendah. Untuk
analisis biokimia kortisol saliva, beberapa metode sekarang tersedia yang
memungkinkan pengukuran hormon steroid yang andal. Immunoassay dengan
pelacak radioaktif dan lainnya adalah metode pilihan untuk sebagian besar
laboratorium. Semakin banyak alat uji komersial yang dirancang untuk
digunakan dengan serum atau plasma sekarang juga menyediakan instruksi
untuk digunakan dengan air liur. Dalam beberapa kasus, penggunaan teknik
analitis alternatif mungkin diperlukan. Misalnya, deteksi simultan beberapa
hormon steroid dan metabolitnya dalam air liur dapat dicapai dengan
kromatografi cair tekanan tinggi (HPLC). Juga, untuk memproses sampel yang
mengandung senyawa tingkat tinggi (misalnya, prednison) yang bereaksi silang
secara signifikan dengan sebagian besar antibodi yang dinaikkan melawan
kortisol untuk digunakan dengan immunoassay, HPLC mungkin merupakan
teknologi analitik yang memadai. Kromatografi gas-spektrometri massa hanya
digunakan untuk memvalidasi hasil kortisol yang diperoleh dengan metode
pengujian lainnya. Molekul kortisol adalah molekul kecil (berat molekul, MW,
362) dan sangat larut dalam lemak, hormon yang tidak terikat dapat dengan
mudah melewati membran lipid-bilayer sel berinti. Hal ini memungkinkan
kortisol bebas muncul di semua cairan tubuh, termasuk darah, cairan tulang
belakang otak, urin, keringat, air mani, dan air liur. Kortisol yang terikat pada
pembawa biasanya dikeluarkan dari kompartemen tubuh ini.14,17,21
Hal yang paling penting untuk penelitian stres, kadar kortisol yang
diukur dalam air liur sangat cocok dengan jumlah kortisol bebas dalam darah.
Korelasi antara variasi air liur dan kadar kortisol darah yang tidak terikat
biasanya menjelaskan lebih dari 80% dari total varians yang diamati (r < 0,90).
Kesepakatan yang tinggi ini disebabkan oleh fakta bahwa kortisol memasuki sel
dan rongga mulut terutama melalui difusi pasif. Oleh karena itu independen dari
mekanisme transportasi dan laju aliran air liur, berbeda dengan komponen lain
yang juga ditemukan dalam air liur (misalnya imunoglobulin A dan
katekolamin). Tingkat absolut kortisol bebas lebih rendah dalam air liur karena
kelimpahan relatif enzim metabolisme kortisol 11-b hidroksisteroid
dehidrogenase.17
Seperti dalam darah, kadar kortisol saliva mengikuti ritme sirkadian
yang kuat yang sejauh ini hanya dipelajari pada subjek yang terjaga. Tingkat
puncak biasanya ditemukan pada dini hari, dengan nilai yang menurun
setelahnya. Beberapa episode sekresi dapat dideteksi sepanjang hari, bahkan
tanpa adanya stres psikologis atau fisik.4,18
Dirangsang pada saat bangun di pagi hari, terjadi peningkatan kadar
kortisol sebesar 50-100%, memuncak sekitar 30 menit setelah bangun.
Tanggapan ini menunjukkan stabilitas yang luar biasa selama berminggu-
minggu dan berbulan-bulan pada individu yang sama dan telah ditemukan
berhubungan dengan paparan stres yang berkepanjangan dan perasaan kelelahan.
Setelah puncak pagi hari, kadar kortisol terus menurun hingga episode sekresi
mayor kedua terjadi sebagai respons terhadap makanan yang lebih banyak pada
waktu makan siang. Seperti pada respon bangun, puncak yang berhubungan
dengan makan tampak lebih jelas (kira-kira 1,5 kali lipat) pada kortisol bebas
dibandingkan dengan kortisol darah total. Selama sore dan malam hari, kortisol
air liur terus menurun tanpa episode sekresi mayor lebih lanjut. Gambar 1
menggambarkan ritme sirkadian kortisol dalam air liur yang mewakili nilai
normal yang biasanya diamati pada populasi yang sehat.17

Gambar 12. Nilai normal kortisol saliva pada siang hari (garis putih: kadar rata-

rata; area yang diarsir: artinya 1 SD13

Kadar konsenterasi Kortisol saliva sebagian besar ada dalam bentuk


tidak terikat (bebas), terhitung sekitar 70% dari total kortisol tidak terikat di
dalam tubuh. Kortisol yang tidak terikat ini, karena berat molekulnya yang
rendah dan liposolubility, berdifusi melalui sel asinar kelenjar ludah dan
disekresikan ke dalam ludah. Kortisol saliva umumnya digunakan sebagai
biomarker stres psikososial dan penyakit mental atau psikologis terkait,
menunjukkan aktivitas sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA).20
Pengukuran konsentrasi kortisol dalam saliva memiliki beberapa
keunggulan dibandingkan dengan konsentrasi serum total yang lebih
konvensional dan umum digunakan. Mendapatkan sampel saliva untuk
penentuan kortisol sederhana, non-invasif, dan bebas stres, sedangkan
pengambilan sampel darah mungkin membuat stres dan dengan demikian
meningkatkan kadar kortisol . Kadar kortisol saliva tidak bergantung pada laju
aliran saliva dan berkorelasi dengan aktif secara biologis, fraksi kortisol plasma
dan serum yang tidak terikat. Selanjutnya, jeda waktu antara perubahan kadar
kortisol dalam plasma dan air liur adalah 1 sampai 2 menit. Keuntungan
tambahannya adalah kortisol stabil dalam air liur hingga tiga bulan pada suhu 5
°C dan setidaknya satu tahun pada suhu -20 °C atau -80 °C. Namun,
penyimpanan sampel air liur jangka panjang pada suhu kamar tidak dianjurkan
karena konsentrasi kortisol menurun setiap bulan.17
Selain itu, siklus pembekuan dan pencairan berulang tidak berdampak
pada kadar kortisol. Di sisi lain, makan camilan memengaruhi kortisol saliva,
oleh karena itu, tidak boleh ada makanan yang dikonsumsi setidaknya selama 90
menit sebelum pengambilan sampel air liur. Selain itu, ada dampak potensial
dari obat-obatan (misalnya glukokortikoid, antidepresan) dan penyakit (misalnya
gangguan aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal). Selain itu, kortisol saliva
berbeda dengan usia dan jenis kelamin. Tingkat kortisol saliva telah diamati
meningkat sebagai respons terhadap stres pada orang tua, terutama laki-laki.
Radikal bebas, baik spesies oksigen reaktif (ROS) maupun spesies nitrogen
reaktif (RNS), adalah produk dari metabolisme sel normal. Dalam konsentrasi
rendah atau sedang, mereka memainkan peran penting dalam berbagai proses
sel, tetapi tampaknya mereka terutama adalah molekul pemberi sinyal. Namun,
kadar radikal bebas yang lebih tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada
makromolekul, seperti lipid, protein, dan nukleotida, sehingga terjadi gangguan
fungsi sel dan kematian. Peningkatan produksi ROS dapat disebabkan oleh
faktor eksternal seperti radiasi ultraviolet, radiasi pengion, polusi, pestisida,
logam beracun, gaya hidup tidak sehat, dan kondisi stres jangka panjang. Di
antara kemungkinan sumber ROS dalam rongga mulut dapat disebutkan
penyakit periodontal, xenobiotik (misalnya, tembakau, etanol), diet tinggi lemak
atau protein tinggi, dan bahan gigi (misalnya, fluorida, komposit resin yang
mengandung metakrilat) . Dalam kondisi fisiologis, produksinya dikendalikan
oleh sistem pertahanan antioksidan (ADS). Gangguan keseimbangan antara
intensitas proses oksidatif yang menghasilkan ROS dan eliminasi oleh ADS
didefinisikan sebagai stres oksidatif. Sebaliknya, kapasitas antioksidan total
(TAC) mencerminkan respon kumulatif semua antioksidan dalam cairan
biologis. Sejumlah penelitian berpendapat bahwa stres oksidatif terlibat dalam
patogenesis berbagai gangguan, termasuk kanker, penyakit kardiovaskular
(aterosklerosis), diabetes mellitus, penyakit neurodegeneratif (penyakit
Alzheimer, penyakit Parkinson, dan multiple sclerosis), artritis reumatoid,
penyakit pernapasan (asma. , serta proses penuaan.17
Peneliti dapat mengumpulkan saliva dengan dua metode. Pertama,
dilakukan swab oleh peneliti pada mulut peserta atau kedua, peserta dapat
mengumpulkan sendiri sampel saliva dengan mengikuti prosedur yang diarahkan
lalu di kumpulkan pada wadah yang telah disiapkan peneliti. 21 Terdapat berbagai
waktu untuk pengumpulan sampel ini dilakukan, berdasar teori kortisol akan
meningkat pada waktu pagi hari mengikuti irama sikardian tubuh.19
Hal ini didukung pada penelitian yang dilakukan Kacper Nijakoswki., et
al, tahun 2022 pada mahasiswa kedokteran gigi Universitas Poznan, Polandia.
Pada sampel saliva yang telah dilakukan pengukuran kortisol, ditemukan kadar
kortisol tertinggi saliva ialah pada pagi hari. Di sisi lain, penelitain ini turut
mendukung penggunaan sampel saliva untuk menilai stres dengan marker
kortisol. Pada penelitian ini ditemukan peningkatan stres level tertinggi ialah
saat periode ujian, dimana periode tersebut tingkat stres mahasiswa dalam
kondisi tinggi.16
Penelitian lainnya oleh Karin de Punder., et al, tahun 2019 turut
mendukung penggunaan saliva sebagai sampel pengukuran respon stres akut.
Pada penelitian ini ditemukan ditemukan korelasi signifikan antara peningkatan
kortisol saliva sebagai respon stres akut (p<0,01).10
Pada suatu penelitian di sweida dengan tujuan untuk menilai secara
komprehensif tingkat stres kerja pada pekerja shift awal industri mobil dengan
menggunakan kortisol saliva sebagai penanda objektif selama hari kerja dan
pada hari libur. Didapatkan hasil nilai kortisol pagi telah digambarkan sebagai
prediktor keadaan patologis. Secara keseluruhan, rata-rata konsentrasi kortisol
pagi pada peserta kami adalah 8,22 nmol/l selama hari kerja, sedangkan rata-rata
konsentrasi pada hari libur mencapai 6,34 nmol/l. Saat kami mempertimbangkan
pengaruh jenis kelamin, pekerja shift wanita memiliki konsentrasi kortisol pagi
yang lebih tinggi (rata-rata 8,40 nmol/l) dibandingkan pekerja shift pria (rata-
rata 6,75 nmol/l). Hasil ini berada dalam kisaran normal untuk kortisol saliva
pada orang dewasa.16,17
Peneliti Swedia Aardal dan Holm menemukan nilai rata-rata sekitar 12
nmol/l pada wanita dan 10,7 nmol/l pada pria. Studi Swedia lainnya oleh
Larsson et al. menunjukkan hasil yang serupa, dengan konsentrasi kortisol pagi
yang lebih tinggi diukur pada 838 wanita (tingkat rata-rata sekitar 12,15 nmol/l)
dibandingkan pada pria (tingkat rata-rata sekitar 11,1 nmol/l). Peneliti ini juga
tidak menemukan perbedaan yang signifikan secara statistik antara hari kerja
dan hari libur. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin tidak memiliki
pengaruh pada konsentrasi kortisol. Studi lain oleh Lundberg et al. berfokus
pada stres terkait pekerjaan pada wanita yang bekerja menunjukkan keandalan
kortisol pagi hari sebagai indikator yang valid dari beban fisik yang berlebihan
dan mengusulkan penggunaan kortisol saliva pagi hari sebagai alat untuk
mengurangi beban kerja yang berlebihan. Fakta bahwa penurunan keseluruhan
kadar kortisol pagi hari dari hari kerja ke hari libur disebabkan oleh
penghilangan beban kerja yang berlebihan dikonfirmasi oleh Rydstedt et al.
Penurunannya tidak terlalu tajam, namun hal ini mengindikasikan bahwa faktor
selain stres kronis juga terlibat. Tingkat kortisol malam rata-rata untuk semua
peserta adalah 1,48 nmol/l selama hari kerja, menurun menjadi 0,75 nmol/l pada
hari libur. Wanita memiliki konsentrasi rata-rata 1,56 nmol/l dan pria memiliki
konsentrasi rata-rata sekitar 1,34 nmol/l selama hari kerja (perbedaan yang tidak
signifikan). Tetapi nilai ini berangsur-angsur menurun hingga konsentrasi rata-
rata 0,76 nmol/l pada pekerja shift wanita dan konsentrasi rata-rata 0,75 nmol/l
pada pekerja shift pria. Hasil ini signifikan secara statistik (p <0,001).
Berdasarkan studi oleh Rydstet et al., yang menilai pengaruh stres kronis jangka
panjang (terutama pada wanita), kami menyimpulkan bahwa faktor ini memiliki
efek negatif pada kadar kortisol malam hari.17
Meskipun kadar kortisol saliva sangat cocok dengan kortisol bebas
plasma, mereka hanya menunjukkan korelasi moderat dengan kadar kortisol
total dalam keadaan tertentu. Meskipun korteks adrenal distimulasi oleh ACTH
dan mengeluarkan kortisol dalam jumlah yang signifikan, subjek dapat
menunjukkan respons kortisol yang tumpul atau sama sekali tidak ada yang
diukur dalam air liur. Fenomena ini dapat diamati pada wanita yang
menggunakan kontrasepsi oral (OC) (Gambar 3). Penggunaan kontrasepsi oral
menyebabkan peningkatan kadar CBG dan karenanya ke sejumlah besar tempat
pengikatan kortisol dalam sirkulasi darah. Oleh karena itu, lebih banyak kortisol
yang dilepaskan dari adrenal yang diikat oleh CBG pada wanita ini
dibandingkan pada pengguna non-OC, dan kadar fraksi bebas aktif biologis yang
lebih rendah muncul dalam air liur (serta dalam jaringan target). Perbedaan yang
serupa antara kadar kortisol darah total dan saliva harus diharapkan dalam semua
kasus peningkatan atau penurunan produksi CBG.20

2.9 Pemeriksaan urin sebagai marker kortisol


Metode lain untuk mendapatkan informasi tentang sekresi kortisol jangka
panjang adalah pengambilan sampel urin, dengan konsentrasi kortisol bebas urin
(UFC) diasumsikan memberikan indeks terpadu sekresi kortisol selama periode
pengambilan sampel urin, biasanya 12 atau 24 jam. Sampel urin menjadi salah
satu metode lain untuk menilai hormone kortisol, pada sampel urin, peneliti akan
meminta peserta mengumpulkan urin 24 jam pada wadah yang telah disiapkan
dan diantar ke laboratorium untuk pengukuran lanjutan.20
Pada penelitian oleh Sarah J. short., et al. di Amerika Serikat, ditemukan
bahwa sampel urin menunjukkan hubungan yang relative tinggi antara stres dan
pengukuran sampel kortisol urin (p<0,05).8
Sampel urin, sampel ini memiliki kelebihan dalam pengukuran kortisol
jangka panjang, dengan periode mingguan sampel urin sendiri tergolong stabil
untuk dijadikan sampel, namun pengukuran yang memakan waktu 24
dikaitkan dengan masalah yang cukup besar, seperti ketidakpatuhan peserta dan
masih ada perdebatan tentang seberapa baik kortisol urin mencerminkan kadar
kortisol bebas yang bersirkulasi secara sistemik.8
Penelitian oleh Sarah et all meminta Peserta mengumpulkan sampel urin 24
jam sekali setiap minggu pada hari yang sama setiap empat minggu untuk
konsistensi. Peserta diizinkan untuk memilih hari mana yang paling nyaman bagi
mereka, selama pengumpulan dilakukan pada hari yang sama setiap minggu
selama bulan pengambilan sampel. Partisipan diinstruksikan untuk tidak
mengumpulkan void pertama di pagi hari ketika pengumpulan urin dimulai,
tetapi untuk mulai mengumpulkan setiap void setelahnya selama 24 jam penuh.
Sampel urin 24 jam didinginkan selama 1-2 hari sebelum diproses dan disimpan
pada suhu -80°C. Total volume sampel dicatat oleh teknisi lab dan kemudian
digunakan untuk mengoreksi data sebelum analisis. UFC diukur menggunakan
kit uji imunosorben terkait-enzim komersial dari IBL International (Hamburg,
Jerman). Batas deteksi adalah 2,95 ng/ml, dan CV masing-masing adalah 7%
untuk intraassay dan 17% untuk interassay. Volume UFC yang disesuaikan
dihitung untuk setiap sampel urin 24 jam (yaitu, kortisol urin 24 jam = (sampel
(μg/dL) x volume (mL))/100).8
2.10 Pemeriksaan rambut sebagai marker kortisol
Rambut adalah salah satu sampel yang banyak diteliti saat ini karena
tergolong mudah dan tidak invasif. Kortisol rambut kulit kepala adalah ukuran
yang muncul dari aktivitas HPA kumulatif tanpa batasan spesimen biologis
lainnya seperti air liur, urin, atau darah yang digunakan untuk menilai aktivitas
kortisol dan HPA.18
Pengambilan sampel dilakukan dengan memotong rambut terdekat ke kulit
kepala, 1 cm pada rambut mewakilkan paparan stres yang terjadi 1 bulan, hal ini
di asumsikan dengan rambut yang bertumbuh sepanjang 1 cm dalam waktu 1
bulan. Pada penelitain yang telah dilakukan Sarah J.short., et al, menunjukkan
kadar kortisol rambut baik digunakan sebagai marker stres terutama stres
kronik.6 Hal ini sesuai dengan temuan pada penelitian sebelumnya, oleh Dhama.,
et al, 2019 dan Kathwy D. wright yang menyebutkan hal serupa pada
penelitiannya.20,21
Pada penelitisn yang telah dilakukan Sarah J.short., et al, menunjukkan
kadar kortisol rambut baik digunakan sebagai marker stres terutama stres
kronik.6 Hal ini sesuai dengan temuan pada penelitian sebelumnya, oleh Dhama.,
et al, 2019 dan Kathwy D. wright yang menyebutkan hal serupa pada
penelitiannya. 20,21
Kortisol rambut pada 3 cm rambut paling proksimal adalah ukuran proksi
untuk aktivitas retrospektif total HPA selama 3 bulan sebelumnya, seperti halnya
HbA1c adalah ukuran proksi kontrol glukosa selama 3 bulan terakhir. 20,21
Kortisol yang diperoleh dari rambut kulit kepala merupakan zat lipofilik
yang berasal dari suplai vaskular yang menutrisi sel folikel batang rambut.
Sumber kortisol di dalam batang rambut berasal dari sirkulasi ke daerah medula
di inti rambut (Russell et al., 2014, hlm. 594). Sumber kortisol pada permukaan
rambut termasuk keringat dan kelenjar sebaceous yang kemungkinan besar
dihilangkan dengan cara membersihkan rambut sebelum dilakukan ekstraksi.21
Saat ini, sangat penting untuk mempertimbangkan kortisol rambut sebagai
ukuran retrospektif periode waktu sebelumnya berdasarkan panjang rambut yang
dikumpulkan dan segmen spesifik yang dianalisis. Rambut tumbuh sekitar 1
cm/bulan. Jika seseorang telah mengumpulkan rambut yang lebih panjang dan
melakukan analisis segmental pada rambut yang dimulai dengan segmen
terdekat dengan kulit kepala, setiap sentimeter adalah proksi aktivitas sumbu
HPA selama bulan yang diwakili oleh segmen tersebut, dimulai dengan bulan
terakhir di kulit kepala, dan bulan sebelumnya di segmen berikutnya. Oleh
karena itu, pertumbuhan rambut 2 cm akan mewakili aktivitas HPA total 2 bulan
sebelumnya, dan seterusnya. Umumnya, sampel 3 cm diambil dari verteks
posterior kulit kepala karena area ini terbukti memiliki variasi kadar kortisol
yang lebih sedikit dibandingkan area lain di kulit kepala.18,21
Efektivitas kortisol rambut terhadap perubahan regulasi HPA diilustrasikan
dalam data yang dikumpulkan dari populasi klinis di mana aktivitasnya tidak
normal. Misalnya, pada pasien dengan sindrom Cushing yang mengalami
episode bergantian kortisol berlebihan dan normal, konsentrasi kortisol rambut
meningkat dan menurun terkait dengan perjalanan klinis Konsentrasi kortisol
rambut juga menurun setelah perawatan bedah pada pasien sindrom Cushing.
Kortisol rambut bukanlah penanda akut aktivitas HPA, melainkan proksi
terhadap aktivitas HPA total pada bulan-bulan sebelumnya. Dengan demikian,
ini adalah penanda penting yang memberi informasi tentang aktivitas HPA pada
bulan – bulan sebelumnya.21
Meskipun penelitian pendukung masih dalam tahap awal, literatur yang
tersedia menunjukkan bahwa kortisol rambut kulit kepala merupakan biomarker
yang muncul dari stres kronis.18
Analisis kortisol rambut memiliki beberapa keunggulan dibandingkan
pengukuran kortisol menggunakan sampel lainnya. Pertama, analisis segmental
atau pemotongan rambut menjadi segmen-segmen dari kulit kepala
memungkinkan tinjauan retrospektif aktivitas aksis HPA yang tergambar dalam
kortisol.18
Kortisol rambut dapat diukur secara mudah pada rambut dengan panjang
hingga 6 cm, mewakili 6 bulan aktivitas aksis HPA. Namun, penurunan
konsentrasi kortisol yang stabil terjadi melewati 4-5 cm dari kulit kepala karena
efek tertentu(Gow et al., 2010; Kirschbaum et al., 2009). Dengan demikian,
aktivitas aksis HPA sebagai respons terhadap stres kronis dapat diukur hingga 3-
4 bulan sebelum pengambilan sampel kortisol rambut. 21
Selain itu, tindakan kortisol rambut dapat dilakukan 3 bulan kemudian dari
pertumbuhan baru, untuk mengukur perubahan seiring waktu. Selain itu, proses
pengumpulan rambut tidak menimbulkan ketidaknyamanan fisik bagi peserta.
Akhirnya, tidak seperti biohazard tambahan dan tindakan pencegahan
penyimpanan yang harus diikuti dengan sampel lainnya seperti saliva, urin, dan
darah, rambut dapat ditempatkan dalam foil di dalam amplop berlabel pada suhu
kamar selama beberapa tahun dengan degradasi minimal).20,21
Pada kenyataanya kortisol rambut bahkan telah diukur dalam sampel yang
dikumpulkan dari sisa-sisa mumi, menunjukkan stabilitas yang cukup besar dari
waktu ke waktu.21
Meskipun analisis kortisol rambut memberikan pendekatan inovatif untuk
mengukur sebagian aktivitas HPA kronis secara retrospektif selama berbulan-
bulan, respons stres akut jangka pendek dan pola diurnal tidak dapat
disimpulkan seperti pengukuran lainnya (saliva, urin, atau darah).17,18
Pada populasi orang dewasa yang lebih tua, prevalensi kebotakan
membatasi partisipasi, dan mereka yang memiliki rambut menipis mungkin
enggan memberikan sampel rambut. Selain itu, untuk subjek yang mengalami
kebotakan, seseorang tidak dapat menggunakan tempat lain untuk pengumpulan
(area ketiak, lengan, kaki), karena tingkat pertumbuhan berbeda dan kortisol
yang dikumpulkan dari tempat ini tidak mencerminkan tingkat kortisol yang
dikumpulkan dari verteks posterior.17,21
Variabilitas dalam laju pertumbuhan rambut di antara kelompok ras/etnis
dan jenis rambut yang berbeda tidak dipahami dengan baik dan dapat
memengaruhi jumlah konsentrasi kortisol dalam sampel rambut, dengan rambut
yang tumbuh lebih lambat berpotensi memiliki tingkat kortisol yang lebih tinggi
daripada rambut yang tumbuh lebih cepat.21
Kortisol rambut tidak terpengaruh oleh warna rambut alami (misalnya, abu-
abu, hitam, pirang). Namun, tingkat kortisol rambut secara signifikan
dipengaruhi oleh keramas berulang (15-30 kali dalam percobaan
laboratorium)Kurangnya standarisasi dalam pelaporan unit pengukuran untuk
hasil konsentrasi kortisol rambut menghadirkan tantangan tambahan untuk
interpretasi hasil. Mayoritas penelitian melaporkan konsentrasi kortisol rambut
dalam pikogram per miligram. 18,19
Namun, hasil konsentrasi kortisol juga dilaporkan dalam nanogram per gram
atau milimol per gram belum lagi kesalahan pelaporan dalam piktogram per
mililiter, yang membuatnya sulit untuk menginterpretasikan faktor di antara
studi dan menetapkan norma untuk populasi orang dewasa yang lebih tua.
Meskipun variasi dalam pengujian dapat mempengaruhi tingkat absolut, terdapat
korelasi antar laboratorium yang relatif tinggi Saat ini, tidak ada rentang nilai
normatif yang ditetapkan untuk konsentrasi kortisol rambut pada orang dewasa
yang lebih tua. Pekerjaan tambahan perlu dilakukan untuk menentukan norma
untuk berbagai usia terutama orang dewasa yang lebih tua. Pekerjaan ini sedang
berlangsung di beberapa laboratorium.21,22
Referensi

1. World Health Organisation (WHO). Stress [Internet]. WHO Website.


2021. Available from: https://www.who.int/news-room/questions-and-
answers/item/stress#:~:text=What is Stress%3F,experiences stress to some
degree.
2. Kebudayaan, Riset dan TRI. KBBI Daring [Internet]. Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan. 2016
[cited 2022 Jul 26]. Available from:
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/senapan gentel
3. Guyton, A. C., Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12.
Jakarta : EGC, 1022

4. Sherwood, L. 2014. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. v


Jakarta: EGC

5. Ambarwati, Putri Dewi et al. Gambaran Tingkat Stres Mahasiswa.


FIKKes Univ Muhammadiyah. 2017;5(1):40–7.
6. Habib Yaribeygi et al. The impact of stress on body function. EXCLI J.
2017;16:1057–72.
7. Ayers. BCKMTSD. Physiology, Stress Reaction [Internet].
StatPearls(NCBI). 2022. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK541120/
8. Short SJ, Stalder T, Marceau, Kristine P. Entringer S, Moog NK, Shirtcliff
EA, Wadhwa PD, et al. Correspondence between hair cortisol
concentrations and 30day integrated daily salivary and weekly urinary
cortisol measures. HHS public Access. 2017;71.
9. Lauren Thau, Jayashree handhi SS. physiology, cortisol [Internet].
StatPearls(NCBI). 2022 [cited 2022 Nov 26]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538239/
10. de Punder K, Heim C, Entringer S. Association between chronotype and
body mass index: The role of C-reactive protein and the cortisol response
to stress. Psychoneuroendocrinology [Internet]. 2019;109(July):104388.
Available from: https://doi.org/10.1016/j.psyneuen.2019.104388
11. Bautista LE, Bajwa PK, Shafer MM, Malecki KMC, McWilliams CA,
Palloni A. The relationship between chronic stress, hair cortisol and
hypertension. Int J Cardiol Hypertens [Internet]. 2019;2(May):100012.
Available from: https://doi.org/10.1016/j.ijchy.2019.100012
12. Cullen AE, Rai S, Vaghani MS, Mondelli V, McGuire P. Cortisol
responses to naturally occurring psychosocial stressors across the
psychosis spectrum: A systematic review and meta-analysis. Front
Psychiatry. 2020;11(June):1–18.
13. Chen Y, Petzold M, Rüetschi U, Dahlstrand J, Löfstedt P, Corell M, et al.
Hair glucocorticoid concentration, self-perceived stress and their
associations with cardiometabolic risk markers in Swedish adolescents.
Psychoneuroendocrinology. 2022;146(April).
14. Marcil MJ, A, G, samuel Cyr, Marie France Marin, Camille Rosa J claude
T. Hair cortisol change at COVID-19 pandemic onset predicts burnout
among health personnel. Psychoneuroendocrinology. 2022;138(January).
15. Narvaez Linares NF, Munelith-Souksanh K, Tanguay AFN, Plamondon H.
The impact of myocardial infarction on basal and stress-induced heart rate
variability and cortisol secretion in women: A pilot study. Compr
Psychoneuroendocrinology [Internet]. 2022;9(January):100113. Available
from: https://doi.org/10.1016/j.cpnec.2022.100113
16. Nijakowski K, Gruszczyński D, Łaganowski K, Furmańczak J, Brożek A,
Nowicki M, et al. Salivary Morning Cortisol as a Potential Predictor for
High Academic Stress Level in Dental Students: A Preliminary Study. Int
J Environ Res Public Health. 2022;19(5).
17. Šušoliaková O, Šmejkalová J, Bičíková M, Hodačová L, Málková A, Fiala
Z. Assessment of work-related stress by using salivary cortisol level
examination among early morning shift workers. Cent Eur J Public Health
[Internet]. 2018;26(2):92–7. Available from:
https://doi.org/10.21101/cejph.a5092
18. Wiechers DH, Brunner S, Herbrandt S, Kemper N, Fels M. Analysis of
Hair Cortisol as an Indicator of Chronic Stress in Pigs in Two Different
Farrowing Systems. Front Vet Sci. 2021;8(January):1–12.
19. Timmermans S, Souffriau J, Libert C. A general introduction to
glucocorticoid biology. Front Immunol. 2019;10(JULY).
20. Dhama K, Latheef SK, Dadar M, Samad HA, Munjal A, Khandia R, et al.
Biomarkers in stress related diseases/disorders: Diagnostic, prognostic,
and therapeutic values. Front Mol Biosci. 2019;6(October).
21. Kathy D. Wright, Ronald Hickman MLL. Hair Cortisol Analysis: A
Promising Biomarker of HPA Activation in Older Adults. Gerontologist.
2015;55(1):S140–6.
22. Medicine USNL of. Cortisol test [Internet]. Mediineplus. 2022 [cited 2022
Nov 27]. Available from: https://medlineplus.gov/lab-tests/cortisol-test/
23. Gentili M-E, Samii K, Friguet J-L. Anesthésiste de plus de 65ans : une voie
d’avenir…. NPG Neurol - Psychiatr - Gériatrie. 2014;14(84):350–353.
doi:10.1016/j.npg.2014.06.005
24. Hackney AC, Battaglini C, Evans ES. Cortisol, Stress and Adaptation
during Exercise Training. Balt J Sport Heal Sci. 2018;3(70):34–41.
doi:10.33607/bjshs.v3i70.485

Anda mungkin juga menyukai