Anda di halaman 1dari 26

53.

SISTEM ENDOKRIN

Sistem kelenjar endokrin terutama terfokus pada regulasi fungsi berbagai


metabolisme tubuh. Kelenjar endokrin mensekresikan hormon ke darah dan
menyampaikannya ke tempat yang jauh dimana respon ditimbulkan. Output hormon secara
khusus diatur melalui sistem umpan balik negatif dimana peningkatan konsentrasi hormon
dalam sirkulasi darah akan menurunkan pelepasan dari glandula induk sesudahnya.
Walaupun demikian Tumor yang mensekresikan hormon biasanya terhindar dari kontrol
umpan balik negatif ini, dan terjadi kelebihan hormon dalam konsentrasi plasma. Disfungsi
endokrin yang tidak diketahui adalah mustahil sebab dapat dibuktikan bahwa (a) berat badan
tidak berubah, (b) nadi dan tekanan darah sistemik normal, (c) tidak ditemukan glukosuria,
(d) fungsi seksual normal, (e) tidak ada riwayat pengobatan yang berhubungan dengan
sistem endokrin akhir-akhir ini.

Mekanisme Aksi Hormon


Hormon secara khusus mempengaruhi efek fisiologinya dengan berlekatan pada reseptor
spesifik di membran sel. Kombinasi hormon dan reseptor mengaktifkan adenilate siklase
mendorong terjadinya konversi adenosin tripospat (ATP) menjadi siklik adenosin mono
pospat (cAMP). Sebagai hasilnya peningkatan konsentrasi intraseluler cAMP bertanggung
jawab dalam memulai respon seluler yang disebabkan oleh efek hormon. Sebagai contoh,
hormon yang memproduksi cAMP adalah hipofisis anterior dan hiopfisis posterior dan
hipotalamus releasing hormon. Mekanisme lain aksi hormon diilustrasikan pada
kortikosteroid yang menstimulasi gen dalam sel menjadi protein intraseluler yang spesifik.
Kemudian protein ini berfungsi sebagai enzim atau protein carier yang pada gilirannya
mengkativasi fungsi hormon.
Glandula Hipofisis
Glandula hipofisis terletak diantara sella tursika pada pangkal otak dan dihubungkan dengan
hipotalamus melalui tangkai hipofisis. Secara fisiologi, glandula terletak diluar blood brain
barier dan dibagi menjadi hipofisis anterior (adenohipofisis) dan hipofisis posterior
(neurohipofisis). Hipofisis anterior mensintesis, menyimpan, dan mengekskresikan enam
hormon tropik. Adenokortikotropin hormon (ACTH), prolactin, dan hormon pertumbuhan
manusia (HGH) adalah hormon polipeptida, sementara itu, thyroid stimulating hormon
(TSH), luetinizing hormone (LH), dan folikel stimulating hormon (FSH) adalah glikoprotein.
Sebagai tambahan, hipofisis anterior mensekresikan beta-lipoprotein yang berisi rentetan
beberapa asam amino endorphin yang terikat dalam reseptor opioid. Hipofisis posterior
menyimpan dan mensekresikan dua hormon_argini vasopresor (AVP) yang tadinya
dinamakan sebagai anti diuretik hormon (ADH) dan oxytocyn_yang pada awalnya disintesis
di hipotalamus dan sub unitnya di kirim ke hipofisis posterior. (tabel 53-1)
Hormon yang dinamakan sebagai hipotalamic releasing hormon dan hipotalamic inhibitor
hormon berasal dari pengontrolan sekresi hipotalamus dari hipofisis anterior (tabel 53-2).
Hormon ini berjalan melalui pembuluh darah portal hipothalamic-hipophysieal untuk
bereaksi dengan reseptor di membran sel pada hipofisis anterior, mendorong peningkatan
konsentrasi ion calsium intraseluler dan cAMP.
Sintesis dan pelepasan releasing dan inhibitor hormon dipengaruhi oleh banyak
faktor, termasuk reseptor adrenergik dan dopaminergik, sinyal rasa sakit, emosi, dan sensasi
olfaktorius, sehingga hipotalamus adalah pusat pengumpulan informasi dan menyediakan
hubungan antara sistem saraf pusat dan sistem endokrin dan respon terhadap lingkungan.
Sekresi Hipotalamus dan hipofisis lebih pulsatif dan pulsasi ini ditumpuk lebih luas pada
irama biologis seperti pelepasan secara sircardian dari ACTH, sleep-entrained melepaskan
HGH,dan siklus bulanan gonadotropin pada wanita.
Hipofisis Anterior
Sel hipofisis anterior secara alamiah diklasifikasikan berdasarkan karekteristik terhadap
pewarnaan yaitu agranular chromofob dan granular chromofil. Chromofil dibagi lagi menjadi
asidofil dan basofil berdasarkan respon mereka terhadap pewarnaan asam atau basa. Dengan
tekhnik yang lebih modern, termasuk mikroskop elektron dan immunokimia, sangatlah
mungkin untuk mengidentifikasi paling tidak lima type sel, beberapa diantaranya
mensekresikan lebih dari satu hormon tropik (lihat tabel 53-1).
Human Growth Hormon
HGH menstimulasi pertumbuhan seluruh jaringan dalam tubuh dan menimbulkan efek
metabolik yang kuat (gambar 53-1) (ganong 2003). Efek yang paling hebat dan spesifik
adalah stimulasi pertumbuhan tulang linier sebagai hasil aksi HGH pada lempeng epifisis
kartilago pada tulang panjang. Sekresi yang berlebihan sebelum lempeng episis tertutup
menyebabkan gingatisme. Acromegaly terjadi ketika sekresi HGH yang berlebihan setelah
lempeng epifisis menutup dan tulang panjang tidak dapat bertambah dalam hal panjang tetapi
dapat bertambah tebal. Efek metabolik dari HGH termasuk peningkatan sintesis protein (efek
anabolik), meningkatkan mobilisasi asam lemak bebas (efek ketogenik), dan menurunkan
penggunaan glukosa (efek diabetogenic). Banyak aktivitas HGH yang membutuhkan turunan
utama dari kelompok peptida yang dikenal sebagai somatomedian
Sekresi HGH di atur melalui releasing dan inhibitor (somatostatin) hormon yang
disekresikan oleh hipotalamus selain mekanisme fisiologi dan farmakologi (tabel 53-3).
Sebagai contoh, kecemasan dan stress yang berkaitan dengan timbulnya anestesi akibat
pelepasan HGH. Karakteristik Konsentrasi plasma HGH meningkat selama tidur fisiologi.
Obat-obatan mempenngaruhi sekresi HGH, mungkin melalui efek pada hipotalamus. Pada
pendapat ini, dosis besar kortikostroid menekan sekresi HGH, yang bertanggung jawab
menghambat pertumbuhan pada anak yang menerima dosis kortikosteroid yang besar selama
waktu yang lama agar terjadi immunosupresan setelah transplantasi organ. Sebaliknya, agonis
dopaminergik bertanggungung jawab meningkatkan sekresi HGH.

Prolactin
Prolactin bertanggung jawab pada pertumbuhan dan perkembangan payudara untuk
mempersiapkan penyapihan. Kehamilan adalah kejadian utama yang menyebabkan
rangsangan pelepasan prolactin. Dopamin menghambat pelepasan hormon ini (tabel 53-4).
Kecemasan pre operasi sering diikuti peningkatan konsentrasi prolaktin dalam plasma.
Sekresi prolaktin yang mempengaruhi penyapihan menghambat fungsi ovarium, sehingga
terjadi sedikit ovulasi dan terjadilah infertilitas selama masa penyapihan.

Gonadotropin
LH dan FSH adalah hormon gonadotropin yang bertanggung jawab pada maturasi puberitas
dan sekresi hormonn sex steroid pada kedua jenis kelamin. Hormon ini berikatan dengan
receptor di membran sel pada ovarium dan testis untuk merangsang sintesis cAMP.
Adrenocorticotropin Hormon
Secara umum ACTH bertanggung jawab pada pengaturan sekresi hormon cortex adrenal,
terutama kortisol. Sebagai tambahan, ACTH merangsang pembentukan kolesterol di cortex
adrenal. Kolesterol memulai penghambatan sintesis kortikosteroid. Sekresi ACTH paling
terlihat pada stress dibawah pengaruh kortikotropin releasing hormon yang dikeluarkan
hipotalamus, sebagaimana mekanisme umpan balik negatif yang mempengaruhi konsentrsi
kortisol yang beredar dalam darah (tabel 53-5) (taylor dan fishman, 1988). Jumlah sekresi
kortikotropin releasing hormon dan ACTH tinggi pada pagi hari dan rendah pada malam hari.
Variasi diurnal ini menghasilkan konsentrasi kortisol yang tinggi pada pagi hari (kurang lebih
20µg/dl) dan rendah pada malam hari (kurang lebih5µg/dl), sehingga konsentrasi kortisol
dalam darah harus diintepretasikan dengan waktu pengukuran dibuat.
Pada keadaan atrofi cortek adrenal, ACTH tidak dihasilkan, tetapi zona fasiculata
yang mensekresikan adlosteron paling sedikit dipengaruhi. Sehingga hipofisektomi memiliki
efek yang sangat sedikit terhadap keseimbangan elektrolit karena pelepasan aldosteron secara
terus menerus dari cortex adrenal. Perubahan pigmentasi yang mengikuti berbagai penyakit
endokrin dapat dikarenakan konsentrasi ACTH yang berubah-ubah dalam darah sehingga
menekan efek melanosit stimulating hormon. Sebagai contoh, pucat adalah tanda
hipopituitarism. Sebaliknya, hiperpigmentasi terjadi pada pasien-pasien dengan adrenal
insufisiensi yang dikarenakan penyakit pada glandula adrenal, sehingga konsentrasi ACTH
meningkat dalam darah sebgai usaha hipofisis anterior menstimulasi sekresi kortikosteroid.
Pengambilan kortikosteroid yang kronik menyebabkan atrofi fungsi axis hipotalamus-
hipofisis. Butuh waktu beberapa bulan untuk memulihkan aksis ini setelah pemindahan
pengaruh supresive. Pada beberapa pasien, dapat dibayangkan bahwa stress selama masa pre
operasi dapt menimbulkan hipotensi yang mengancam kehidupan. Karena alsan ini, sangatlah
biasa memberikan suplemen kortikosteroid exogen ke pasien dengan alasan
mempertimbangkan resiko supresi aksis hipotalamus-hipofisis. Tidak ada bukti, tetapi
suplementasi kortikosteroid lebih dari kebutuhan normal yang disekresikan secara fisiologi
sangatlah penting dan bermanfaat pada masa intra operasi dan post operasi (stoelting, 1997).
Thyroid-stimulating hormon
TSH mempercepat semua langkah-langkah dalam pembentukan hormon tiroid, termasuk
inisiasi pengambilan (initial uptake) iodida kedalam glandula tiroid. Sebagai tambahan, TSH
menyebabkan proteolisis thyroglobulin dalam sel folikel tiroid, sehingga dihasilkan pelepasan
hormon tiroid ke dalam sirkulasi. Sekresi TSH berasal dari hipofisis anterior dibawah kontrol
thyrotropin-releasing hormon yang berasal dari hipotalamus sebgaiman mekanisme umpan
balik negatif yang berdasarkan konsentrasi hormon tiroid dalam darah. Hal yang sama pada
rangsangan sistem saraf simpatis dan kortikosteroid juga menurunkan sekresi TSH dan
penurunan ini disebabkan oleh aktivitas glandula tiroid. Thyrotropin-releasing hormon
tersebar luas dalam sistem saraf pusat dan berpotensi menyebabkan analeptic.
Perangsang jarak jauh aksi tiroid adalah antibodi immunoglobulin yang dapat
berikatan dengan reseptor pada sel tiroid. Pengikatan antibodi ini dimungkinkan karena efek
yang menyerupai TSH dan jumlah pada hipertiroid. Pasien dengan hipertiroid dapat
ditemukan Protein ini dalam jumlah yang dapat dideteksi dalam sirkulasi. Hipotiroid dengan
peningkatan konsentrasi TSH dalam darah mengindikasikan kerusakan primer pada glandula
tiroid dan usaha hipatalamus atau hipofisis anterior yang diindikasikan dengan konsentarsi
hormon TSH dan tiroid yang rendah dalam darah.
Hipofisis posterior
Hipofisis posterior disusun oleh sel-sel yang yang beraksi menyangga struktur serabut ujung
saraf terminal yang berasal dari nukleus supraopticus dan paraventricular di hipotalamus.
AVP disintesis di nukleus supraoptikus dan oxytocin di nukleus paraventricular. Hormon ini
disekresikan dalam granul-granul sepanjang axon yang menghubungkan nukleus di
hipotalamus dengan hipofisis posterior sebagai subsequent yang dikeluarkan untuk respon
yang sesuai

Arginin vasopressin
AVP bertanggung jawab dalam mempertahankan cairan tubuh dan pengaturan osmolaritas
cairan tubuh. Pelepasan AVP dipengaruhi oleh sejumlah faktor, terutama penurunan volume
darah (tabel 53-6). Stimulus rasa sakit dan perdarahan yang berhubungan dengan
pembedahan adalah kejadian yang potensial menyebabkan pelepasan AVP. Hidrasi dan
pemantapan volume darah sebelum induksi anestesi memfokuskan pada pertahanan output
urin, kemungkinan dengan mengendalikan pelepasan AVP yang berhubungan dengan
stimulasi rasa sakit atau kehilangan cairan sebelum pembedahan. Konsentrasi AVP dalam
darah sebagai respon akut penurunan volume cairan ekstraseluler mungkin cukup untuk
memaksa efek penekanan secara langsung pada arteriol dan mengkontribusikan pertahanan
tekanan darah sistemik. Pemberian morfin dan opioid lain pada keadaan ketidak adaaan
stimulasi rasa nyeri tidak menimbulkan pelepasan AVP. ethanol menghambat sekresi AVP.
Penurunan output urin dan retensi cairan disebabkan pelepasan AVP selama ventilasi tekanan
positif paru-paru lebih dimungkinkan oleh perubhan dari tekanan pengisisan jantung yang
menghalangi pelepasan hormon atrial natriuretic hormon (lihat bab 54).

AVP ditransportasikan dalam darah menuju ginjal, yang berdekatan dengan reseptor
pada sisi kapiler lapisan sel epitel pada tubulus distal dan tubulus colectivus di medula ginjal.
Hasil interkasi receptor-hormon ini adalah pembentukan cAMP dalam jumlah yang besar,
yang menyebabkan pori-pori pada membran sel terbuka sehingga permeabel terhadap air.
Florida sebgai hasil metabolisme enfluran dan sevofluran dipengaruhi secara normal oleh
respon reseptor terhadap AVP dan menghasilkan volume output urin encer yang tinggi.
Hipokalemi, hiperkalsemi, kortisol dan lithium juga dipengaruhi oleh respon ginjal terhadap
AVP
Diabetes insipudis terajdi ketika ada kerusakan neuron di dalam atau dekat denga
nukleus supraoptikus dan paraventikular di hipotalamus. Hal tersebut tidak akan terjadi jika
hipofisis anterior sendiri yang mengalami kerusakan, hal ini dikarenakan serabut saraf yang
melintasi tangkai hipofisis masih dapat melanjutkan sekresi AVP. Diabetes insipidus yang
berkembang sehubungan dengan pembedahan hipofisis khususnya karena trauma hipofisis
posterior biasanya hanya sementara saja.
Oxytocin
Peranan utama oxytocin adalah mengeluarkan air susu dari glandula laktasi mammae.
Mengenai ini, oxytocin menyebabkan kontraksi sel mioepitel yang mengelilingi alveolus
glandula mammae, sehingga air susu tersedia dan merespon penyususan. Sebagai tambahan,
oxytocin memaksa efek kontraksi uterus pada kehamilan dengan cara menurunkan ambang
depolarisasi otot polos uterus. Jumlah oxytocin yang besar menyebabkan pemberian tenaga
untuk kontraksi uterus yang diperlukan pada hemostasis post partum. Oxytocin hanya
memiliki 0,5%-1,0% dari aktivitas antidiuretik dari AVP dan dapat dilepaskan dengan tiba-
tiba dan bebas dari AVP.
Glandula thyroid
Glandula thyroid bertanggung jawab untuk mempertahankan level metabolisme jaringan
untuk mengoptimalkan fungsinya masing-masing (bennett-guerrero dkk, 1997). Hormon
utama yang disekresikan glandula thyroid adalah thyroxine (T4) dan triiodothyronine (T3)
(gambar 53-2). T4 adalah prohormon yang disintesis dari tyrosin dan mewakili 80% dari
produksi hormon tiroid tubuh. T3 adalah bentuk biologis yang paling aktif dari hormon tiroid
(lima kali dibanding T4) dan diproduksi secara langsung dari metabolismne tyrosin atau
konversi T4 pada jaringan perifer. Dua deiodase yang berbeda yang berlokasi di hati, ginjal,
dan sistem saraf pusat memetabolisme T4 dan T3 dalam bentuk yang tidak aktif. Waktu
paruh secara endogen atau eksogen T3 dan T4 berturut-turut adalah 1,5-7 hari. T3 dan T4
keduanya terikat kuat dengan protein, thyroid binding prealbumin dan thyroid binding
globulin, hanya 0,2% T3 dan 0,3% T4 yang tidak berikatan dan beredar bebas dalam sirkulasi
darah dan aktif secara farmakologi (Bennet-Gurerro, dkk, 1997). Suatu hal yang menarik
bahwa kehadiran iodine pada hormon tiroid tidak dibutuhkan dalam aktivitas biologi (lihat
gambar 53-2). Sebagai tambahan, glandula thyroid mensekresikan hormon calcitonin yang
penting dalam penggunaan ion kalsium. Konsentrasi T4 dalam darah adalah standar tes
skrining untuk mengetahui fungsi glandula tiroid.
Efek yang paling jelas dari hormon tiroid adalah meningkatkan penggunaan oksigen
permenit di hampir semua jaringan, otak adalah pengecualiannya. Kegagalan hormon tiroid
mengubah konsumsi oksigen permenit otak sejalan dengan perubahan minimal yang
disyaratkan anestesi (MAC) yang menyertai hipertiroid dan hipotiroid (Badab dan Eger,
1968). Perubahan kardiovaskular sering memberikan manifestasi klinis yang paling cepat
pada keadaan level hormon tiroid yang abnormal. Ketidakhadiran hormon glandula tiroid
menyebabkan konsumsi oksigen permenit menurun hingga mencapai 40% dari normal,
sebaliknya kelebihan hormon ini dapat meningkatkan konsumsi oksigen permenit hingga
100% dari keadaan normal. Hormon tiroid merangsang seluruh aspek metabolisme
karbohidrat dan memobilisasi asam lemak bebas. Walaupun aspek dikemudian menyebabkan
konsentrasi kolesterol dalam darah menurun yang dicerminkan dari stimulasi sintesis
reseptor low-density lipoprotein oleh hormon tiroid.
Secara anatomi, glandula tiroid terdiri dari dua lobus yang dihubungkan oleh sebuah
jembatan jaringan yang dikenal sebagai isthmus thyroid (gambar 53-3). Glandula tiroid
sangat kaya akan vaskularisasi dan menerima persarafan dari sistem serabut saraf otonom.
Secara struktural, glandula tiroid terdiri dari folikel yang multipel (acini) yang berisi koloid,
yang utamanya terdiri dari thyroglobulin. Hormon tiroid tersimpan dalam bentuk kombinasi
dengan thyroglobulin. Stimulasi protease oleh TSH menghasilkan pembelahan hormon dari
thyroglobulin dan kemudian dilepaskan ke dalam sirkulasi sistemik.
Mekanisme Aksi
Hormon tiroid memasuki sel dan T3 berikatan dengan reseptor di nukleus. T4 juga berikatan
dengan reseptor ini tetapi tidak kuat. T4 terutama bertindak sebagai prohormon untuk T3, hal
ini menekankan bahwa efek biologi T4 terutama menghasilkan konversi intraseluler T4
menjadi T3.
Suatu kepercayaan yang umum bahwa hormon tiroid dieksresikan paling banyak,
karena efek kontrol mereka terhadap sintesis protein. Kemungkinan ini mencerminkan
kemampuan hormon tiroid untuk mengaktivasi proses transkripsi DNA di inti sel,
menghasilkan bentuk sel protein yang baru, termasuk enzim. Efek simpatomimetik yang
mengikuti stimulasi hormon tiroid kebanyakan mencerminkan peningkatan jumlah dan
sensitivitas reseptor beta-adrenergik untuk merespon pelepasan T4 dan T3. Hal ini
dimaksudkan bahwa hormon tiroid memodulasi konversi receptor alfa-adrenergik menjadi
beta-adrenergik. Jumlah reseptor cardiac-kolinergik diturunkan oleh hormon tiroid, yang
sesuai dengan peningkatan denyut jantung diluar peningkatan cardiac output.
Peningkatan metabolisme yang dihasilkan hormon tiroid menyebabkan vasodilatasi
aliran darah di jaringan untuk membawa kebutuhan oksigen dan membawa hasil-hasil
metabolit dan panas. Sebagai hasilnya, cardiac output meningkat tetapi tekanan darah
sistemik tidak meningkat untuk mengimbangi dampak vasodilatasi perifer yang
meningkatkan aliran darah. Katabolisme protein yang berlebihan sehubungan dengan
peningkatan sekresi hormon tiroid mekanismenya diperkirakan karena sifat kelemahan otot
pada hipertiroid. Tremor halus otot yang mengiringi hipertiroid diperkirakan sehubungan
dengan peningkatan sensitivitas synaps saraf pada area medula spinalis yang mengontrol
tonus otot skelet. Diare mencerminkan peningkatan motilitas gastrointestinal yang mengikuti
kelebihan aktivitas glandula tiroid.
Kalsitonin
Kalsitonin, sebuah hormon polypeptida yang disekresikan glandula tiroid, menyebabkan
penurunan konsentrasi ion kalsium dalam darah. Efek ini dihubungkan dengan penurunan
aktivitas osteoklast dan peningkatan aktivitas osteoblast. Kalsitonin sangat penting pada
waktu awal setelah proses pencernaan makanan tinggi kalsium. Walaupun demikian,
tiroidektomi total dan ketidakhadiran calsitonin tidak dapat diukur pengaruhnya dalam
regulasi konsentrasi ion kalsium dalam darah, menekankan peranan hormon paratiroid yang
lebih dominan

Glandula paratiroid
Keempat glandula tiroid mensekresikan polipeptida amin dan asam yang merupakan hormon
paratiroid. Hormon ini betanggung jawab dalam pengaturan konsentrasi ion kalsiun dalam
darah. Skeresi hormon paratiroid berkebalikan dengan konsentrasi ion kalsium dalam darah.
Penurunan konsentrasi ion kalsium dalam darah dalam jumlah yang kecil adalah stimulasi
yang kuat untuk melepaskan hormon paratiroid. Secara keseluruhan, efek hormon paratiroid
adalah meningkatkan konsentrasi kalsium dalam darah dan menurunkan konsentrasi fosfat
dalam darah dengan aktivitasnya pada tulang, ginjal, dan saluran cerna. Efek yang paling
menonjol hormon paratiroid adalah untuk memacu mobilisasi kalsium dari tulang,
mencerminkan stimulasi aktivitas osteoklastik. Pada ginjal, hormon paratiroid meningkatkan
reabsorpsi ion kalsium pada tubulus ginjal dan menghambat reabsorpsi fosfat pada ginjal.
Hormon paratiroid nampaknya menggunakan efeknya pada sel target di tulang, tubulus
ginjal, dan saluran cerna dengan menstimulasi pembentukan cAMP. Sesungguhnya, sebagian
cAMP yang disintesis di ginjal dibuang melalui urin, dan pemeriksaannya membantu
mengukur aktivitas kelenjar paratiroid. Kemungkinan fungsi hormon paratiroid pada tulang
sama dengan kerjanya di ginjal dan saluran cerna dengan menyebabkan konversi vitamin D
menjadi bentuk aktifnya, yaitu 1,25-dihidroksikolekalsiferol.

KORTEKS ADRENAL
Dua kelas utama dari kortikosteroid adalah mineralokortikosteroid dan glukokortikoid. Selain
itu, korteks adrenal mensekresikan steroid seks. Prekursor dari semua kortikosteroid adalah
kolesterol. Mineralokortikoid mempengaruhi konsentrasi ion natrium dan kalium di dalam
plasma, sedangkan glukokortikoid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, lemak, dan
protein serta memiliki efek antiinflamasi. Lebih dari 30 kortikosteroid berbeda telah diisolasi
dari korteks adrenal, namun hanya dua utama yang penting: aldosteron, yaitu
mineralokortikoid, dan kortisol, yaitu glukokortikoid utama (Tabel 53.7). Kedua jenis
kortikosteroid ini tidak disimpan di dalam korteks adrenal, menekankan bahwa laju sintesis
menentukan konsentrasinya di dalam plasma. Secara anatomis, korteks adrenal dibagi
menjadi tiga zona, yaitu (a) zona glomerulosa yang mensekresikan mineralokortikoid, (b)
zona fasikulata yang mensekresikan glukokortikoid; dan (c) zona retikularis yang
mensekresikan androgen dan estrogen.

TABEL 53-7. EFEK FISIOLOGIS KORTIKOSTEROID ENDOGEN (mg)


Sekresi Retensi Efek Efek
harian Natrium* Glukokortikoid * antiinflamasi *
Aldosterone 0.125 3,000 0.3 Tidak signifikan
Desokskortikostero — 100 0 0
n
Kortisol 20 1 1 1
Korticosteron Minimal 15 0.35 0.3
Kortison Minimal 0.8 0.8 0.8
*
Relatif terhadap kortisol.

Mineralokortikoid: Aldosteron
Aldosteron terlibat sampai sekitar 95% aktivitas mineralokortikoid yang dihasilkan oleh
kortikosteroid. Desoksikortikosteron adalah mineralokortikoid alami lainnya, namun hanya
memiliki potensi meretensi ion natrium sebesar 3% dari aldosteron. Kortisol menginduksi
retensi ion natrium dan sekresi ion kalium, namun kurang efektif dibandingkan aldosteron.

Efek Fisiologis
Fungsi utama aldosteron adalah untuk mempertahankan volume cairan ekstraseluler dengan
memelihara natrium dan untuk mempertahankan konsentrasi kalium yang normal di dalam
plasma. Berdasarkan fungsi ini, maka aldosteron menyebabkan sekresi ion kalium dari
lapisan sel epitel tubulus ginjal pada tubulus ginjal distal dan duktus kolektivus. Sebagai
hasilnya, aldosteron menyebabkan natrium dipelihara di dalam cairan ekstraseluler,
sedangkan kalium diekskresikan ke dalam urin. Air mengikuti natrium sehingga volume
cairan ekstraseluler cenderung berubah sebanding dengan laju atau tingkat sekresi aldosteron.
Selain itu, dengan adanya sekresi aldosteron berlebihan, volume cairan ekstraseluler, curah
jantung, dan tekanan darah sistemik meningkat. Saat konsentrasi kalium di dalam plasma
menurun sekitar 50% akibat sekresi berlebihan dari aldosteron, kelemahan otot skeletal atau
bahkan paralisis atau kelumpuhan dapat terjadi, mencerminkan hiperpolarisasi saraf dan
membran sel otot, yang mencegah transmisi potensial aksi.
Aldosteron memiliki efek pada kelenjar keringat dan kelenjar ludah yang serupa dengan
efeknya terhadap tubulus ginjal. Sebagai contoh, aldosteron meningkatkan reabsorpsi natrium
dan sekresi kalium pada kelenjar keringat. Efek ini penting untuk memelihara natrium pada
lingkungan yang panas, atau saat salivasi berlebihan terjadi. Aldosteron juga memacu
reabsorpsi ion natrium pada saluran cerna.

Mekanisme Kerja
Aldosteron berdifusi menuju bagian dalam sel epitel tubulus ginjal, di mana aldosteron
menginduksi DNA untuk membentuk messenger RNA (mRNA) yang dibutuhkan untuk
transpor ion natrium dan kalium. Diduga bahwa mRNA ini adalah adenosin triphosphatase
(ATPase) spesifik yang mengkatalisis energi dari ATP sitoplasma untuk mekanisme transpor
ion natrium pada membran sel. Membutuhkan waktu 30 menit sebelum mRNA baru muncul
dan sekitar 45 menit sebelum tingkat transpor ion natrium mulai meningkat.

Regulasi Sekresi
Stimulus yang paling penting untuk sekresi aldosteron adalah peningkatan konsentrasi kalium
plasma. Sebagai contoh, peningkatan konsentrasi kalium plasma sebesar <1 mEq/liter akan
meningkatkan tingkat sekresi aldosteron sebesar tiga kali lipat. Peningkatan ini membentuk
sistem umpan balik negatif yang kuat yang mempertahankan konsentrasi kalium plasma pada
kisaran yang normal. Sistem renin-angiotensin juga determinan yang penting pada sekresi
aldosteron (lihat bab 22). Waktu paruh eliminasi aldosteron sekitar 20 menit, dengan hampir
90% dari hormon ini dibersihkan oleh hati dalam sekali melintas. Sekresi mineralokortikoid
tidak dipengaruhi kontrol utama dari ACTH. Dengan alasan ini, hipoaldosteronisme tidak
menyertai berkurangnya sekresi ACTH dari kelenjar hipofisis.

Glukokortikoid: Kortisol
Setidaknya 95% aktivitas glukokortikoid berasal dari sekresi kortisol. Selain itu, sejumlah
kecil aktivitas glukokortikoid yang disediakan oleh kortikosteron dan bahkan dalam jumlah
yang lebih kecil oleh kortison. Kortisol adalah salah satu dari sedikit hormon yang esensial
untuk kehidupan.
Efek Fisiologik
Efek fisiologis kortisol yang paling penting adalah (a) peningkatan glukoneogenesis, (b)
katabolisme protein, (c) mobilisasi asam lemak, (d) efek antiinflamasi. Kortisol dapat
meningkatkan fungsi jantung dengan meningkatkan jumlah atau respon reseptor beta-
adrenergik. Selain mempertahankan fungsi jantung dan mempertahankan tekanan darah
sistemik, kortisol mengijinkan terjadinya respon normal arteriol terhadap aktivitas konstriktif
dari katekolamin. Kortisol menghambat pembentukan tulang.

Perubahan Perkembangan
Konsentrasi kortisol dalam plasma meningkat secara progresif selama trimester akhir
kehamilan untuk mencapai konsentrasi puncak di dalam plasma saat aterm, yang mengijinkan
pematangan beberapa sistem yang penting untuk bertahan hidup saat onset atau dimulainya
kehidupan ekstrauterin. Sistem ini meliputi produksi surfaktan paru, pematangan berbagai
sistem enzim di hati, dan ekspresi phenylethanolamine N- methyltransferase, enzim yang
dibutuhkan untuk sintesis epinefrin dari norepinefrin.

Glukoneogenesis
Kortisol menstiumulasi glukoneogenesis oleh hati sebesar sepuluh kali lipat, yang terutama
mencerminkan mobilisasi asam amino dari ekstrahepatal dan menghantarkannya menuju hati
untuk dikonversi menjadi glukosa. Peningkatan tingkat laju glukoneogenesis ini, selain
penurunan yang moderat pada tingkat penggunaan glukosa yang disebabkan oleh kortisol,
juga menyebabkan peningkatan konsentrasi glukosa darah. Diabetes adrenal yang terjadi
responsif terhadap pemberian insulin.

Katabolisme Protein
Kortisol menurunkan simpanan protein pada hampir seluruh sel kecuali hepatosit,
mencerminkan mobilisasi asam aminno untuk glukoneogenesis. Dengan adanya kelebihan
kortisol yang dipertahankan, kelemahan otot skeletal dapat memberat.

Mobilisasi Asam Lemak


Kortisol memacu mobilisasi asam lemak dari jaringan adiposa dan memacu oksidasi asam
lemak di dalam sel. Kendati memiliki efek-efek seperti ini, jumlah kortisol yang berlebihan
menyebabkan penimbunan lemak di leher dan dada, menyebabkan bentuk batang tubuh
“seperti banteng”. Distribusi yang khas dari lemak ini mencerminkan penimbunan lemak
pada lokasi tersebut melebihi laju mobilisasinya.

Efek Antiinflamasi
Kortisol dalam jumlah besar memiliki efek antiinflamasi, yang mencerminkan
kemampuannya untuk menstabilisasi membran lisosomal dan menurunkan migrasi leukosit
menuju area yang mengalami inflamasi. Stabilisasi membran lisosomal menurunkan
pelepasan lisosom yang menyebabkan inflamasi. Efek antiinflamasi lain dari kortisol adalah
penurunan permeabilitas kapiler, yang mencegah berpindahnya plasma ke dalam jaringan.
Bahkan setelah keadaan inflamasi ditegakkan atau sudah terjadi, pemberian kortisol daoat
menurunkan manifestasinya. Efek kortisol ini penting dalam melemahkan inflamasi yang
berhubungan dengan keadaan penyakit seperti arthritis rhematoid dan glomerulonefritis akut.
Kortisol menurunkan jumlah eosinofil dan leukosit di dalam darah dalam beberapa menit
setelah pemberian. Selain itu, terjadi atrofi jaringan limfoid di seluruh tubuh, yang
menyebabkan penurunan produksi antibodi. Sebagai hasilnya, tingkat imunitas melawan
infeksi bakteri atau virus menjadi menurun, dan dapat memperberat infeksi yang terjadi.
Sebaliknya, kemampuan kortisol dalam menekan imunitas ini berguna dalam menurunkan
penolakan imunologis pada jaringan transplantasi.
Efek yang menguntungkan dari kortisol dalam pengobatan reaksi alergi mencerminkan
pencegahan respon inflamasi yang bertanggung jawab pada banyak efek yang mengancam
jiwa seperi edema laring. Kortisol juga dapat mempengaruhi kalur aktivasi komplemen dan
pembentukan mediator kimiawi yang berasal dari asam arakidonat, seperti leukotrien.
Namun, kortisol tidak mempengaruhi interaksi antigen-antibodi atau pelepasan histamin yang
berhubungan dengan reaksi alergi.

Mekanisme kerja
Kortisol menstimulasi sintesis mRNA yang tergantung DNA pada inti sel pada sel yang
responsif, yang menyebabkan sintesis enzim yang sesuai.

Regulasi sekresi
Stimulus yang paling penting untuk untuk sekresi kortisol (13 sampai 20 mg per hari) adalah
pelepasan ACTH dari hipofisis anterior (lihat tabel 53-5). Sekresi ACTH pada hipofisis
anterior ditentukan oleh dua neurohormon hipotalamus (pelepasan diurnal corticotropin-
releasing hormone dan AVP) yang bekerja secara sinergis. Kortisol dalam sirkulasi juga
menyebabkan efek umpan balik negatif langsing pada hipotalamus dan hipofisis anterior
untuk menurunkan pelepasan corticotropin-releasing hormone dan ACTH dari tempatnya.
Segera setelah pelepasannya dari kelenjar adrenal, kortisol terikat pada alfa-globulin,
transkortin (globulin pengikat kortisol). Konsentrasi kortisol dalam plasma pada wanita lebih
tinggi daripada laki-laki dengan peningkatan tambahan yang menyertai siklus menstruasi
sebelum ovulasi. Stress berhubungan dengan periode intraoperatif dapat menghambat
mekanisme kontrol umpan balik negatif yang normal, dan konsentrasi kortisol di dalam
plasma meningkat. Efek yang menguntungkan dari peningkatan kortisol di dalam plasma dan
hormon lain sebagai respon terhadap stimulus stres dapat berupa mobilisasi akut dari protein
seluler dan simpanan lemak untuk energi dan sintesis bahan lain, termasuk glukosa.
Kortisol disekresi dan dilepaskan oleh korteks adrenal dengan laju kecepatan basal sekitar
20 mg per hari. Sebagai respon terhadap stimulus stres maksimal (sepsis, luka bakar), output
kortisol meningkat sampai 150 mg per hari (Hume et al., 1962). Sehingga, jumlah ini harus
dicukupi saat menangani pasien yang megalami penurunan fungsi adrenal dan yang sedang
mengalami keadaan sakit akut atau yang menjalani operasi major. Konsentrasi puncak
kortisol di dalam plasma sebesar 8 sampai 25 µg/dL terjadi di pagi hari segera setelah
bangun. Perubahan konsentrasi kortisol dalam plasma yang diinduksi stres melebihi tonus
sirkadian dan bervariasi dalam onset, besarnya, dan durasinya tergantung intensitas tress yang
terjadi. Dalam sirkulasi sistemik, 805 sampai 90% kortisol terikat pada globulin spesifik yang
dikenal sebagai transkortin. Jumlah kortisol dalam bentuk tidak terikat yang memiliki efek
biologis adalah relatif kecil. Waktu paruh eliminasi kortisol sekitar 70 menit. degradasi
kortisol terjadi terutama di hati dengan pembentukan 17-hidroksikortikosteroid yang inaktif
yang terdapat di dalam urin. Kortisol juga difiltrasi di glomerulus dan dapat dieksresi melalui
urin dalam bentuk yang belum berubah.

Efek Anestesi dan Pembedahan


Konsentrasi kortisol plasma meningkat secara khas (dua sampai sepuluh kali lipat) setelah
induksi anestesi dan dalam periode postoperatif (Udelsman dan Chrousos, 1988). Sama
seperti tipe stres lain, pelepasan kortisol secara episodik tetap terjadi secara utuh namun
amplitudo pelepasan episodik ini meningkat. Peningkatan konsentrasi kortisol plasma yang
terjadi pada periode postoperatif mungin sebagian akibat refleks baroreseptor dan spinal yang
memberikan sinyal pada hipotalamus terhadap kerusakan jaringan yang berhubungan dengan
pembedahan. (Udelsman and Holbrook, 1994). Faktor lain yang mengaktivasi aksis
hipotalamus-hipofisis-adrenal untuk melepaskan kortisol meliputi mediator proinflamasi
yang dilepaskan oleh jaringan yang mengalami kerusakan dan adanya nyeri postoperatif.
Konsentrasi kortisol plasma secara khas kembali pada kadart normal dalam 24 jam
postoperatif namun tetap meningkat selama 72 jam tergantung beratnya trauma pembedahan.
Selain itu, gangguan irama sirkadian dapat berhubungan dengan kelelahan dan kelemahan
postoperatif. Kembalinya konsentrasi kortisol plasma menjadi normal setelah pembedahan
pada awalnya ditandai dengan peningkatan konsentrasi ACTH dan kortisol di dalam plasma
(konsisten dengan stimulasi pada hipotalamus yang diinduksi stres, yang dipertahankan)
diikuti oleh fase kedua di mana konsentrasi ACTH dalam plasma rendah dan peningkatan
konsentrasi kortisol plasma agaknya tidak tergantung pada aksis hipotalamus-hipofisis.
Terdapat kemungkinan bahwa pelepasan sitokin dari jaringan traumatik menstimulasi sintesis
kortisol secara langsung walaupun pada keadaan konsentrasi ACTH dalam plasma yang
rendah. Sebagai kemungkinan lain, peningkatan konsentrasi ACTH dalam plasma
sebelumnya dapat menstimulasi produksi reseptor ACTH dalam kelenjar adrenal yang
menyebabkan peningkatan produksi kortisol.
Konsentrasi kortisol plasma pada periode perioperatif menggambarkan respon yang
dibentuk untuk menyediakan proteksi selama dan sesudah operasi. Bukti yang mendukung
pada hewan adalah observasi bahwa hewan yang telah dilakukan adrenalektomi yang
menerima dosis kortisol subfisiologis mengalami ketidakstabilan hemodinamik dan
peningkatan mortalitas setelah tindakan operasi, sedangkan hewan yang diberikan dosis
kortisol fisiologis dan suprafisiologis tidak berbeda dengan hewan kontrol (Udelsman et al.,
1987).
Selain trauma operasi, pemilihan obat anestesi dan teknik anestesi dapat mempengaruhi
reposn hipotalamus-hipofisis-adrenal. Sebagai contoh, dosis opioid yang lebih besar dapat
memperlemah respon kortisol terhadap stimulasi operasi (Bovill et al., 1983; Sebel et al.,
1981). Anestetik inhalasi volatil menyebabkan supresi yang lebih kecil tehadap respon
endokrin yang diinduksi stres. Etomidat adalah unik atau khas di antara obat-obatan yang
diberikan untuk menginduksi anestesi dengan kemampuannya untuk menghambat sintesis
kortisol bahkan tanpda adanya stimulasi operasi (lihat bab 6). Efek anestesi regional pada
respon kortisol terhadap trauma operasi konsisten terhadap konsep bahwa mekanisme neural
yang menghubungkan daerah operasi dengan medula spinalis penting untuk pelepasan
kortisol yang diinduksi stres. Mekanisme ini juga konsisten dengan keadaan bahwa mediator
proinflamasi (sitokin) yang dilepaskan dari jaringan yang rusak mengaktivasi aksis
hipotalamus-hipofisis-adrenal. Peningkatan konsentrasi kortisol plasma yang nyata pada
periode postoperatif seringkali sebanding dengan efek berkurangnya anestesi regional.
Penekanan aksis hipotalamus-hipofisis sebagaimana yang diproduksi oelh pemberian
kortikosteroid yang kronis juga mencegah pelepasan kortisol sebagai respon terhadap simulus
stres.

KELENJAR REPRODUKSI
Pada kedua jenis kelamin, kelenjar reproduksi (testis dan ovarium) bertanggung jawab
terhadap produksi sel germinal dan hormon steroid seks.

Testis
Testis mensekresi hormon seks laki-laki, yang secara kolektif disebut androgen. Semua
androgen adalah bahan steroid yang dapat disintesis dari kolesterol. Testosteron adalah
androgen yang paling poten dan melimpah, yang bertanggung jawab pada perkembangan dan
mempertahankan karakteristik seksual laki-laki. Pertumbuhan otot skeletal adalah efek
anabolik dari testosteron pada laki-laki. Testosteron diproduksi di dalam testis hanya saat
stimulasi dari LH dan FSH dibutuhkanuntuk spermatogenesis. Pubertas terjadi saat produksi
testosteron meningkat secara cepat sebagai respon terhadap hypothalamic-releasing hormone
yang memacu pelepasan LH dan FSH. Hipertrofi mukosa laring yang menyertai sekresi
testosteron, menimbulkan perubahan karakteristik suara pada pubertas. Testosteron
meningkatkan sekresi kelenjar sebasea, yang menyebabkan timbulnya akne. Pertumbuhan
jenggot adalah manifestasi terakhir yang nampak pada pubertas. Produksi testosteronterus
berlanjut selama hidup, walaupun jumlah yang diproduksi menurun di atas usia 40 tahun
untuk menjadi sekitar seperlima kadar puncak pada usia 80 tahun.
Pada tempat kerja, testosteron yang bukan bentuk yang aktif dari hormon dikonversi pada
jaringan target menjadi bentuk yang lebih aktif yaitu dehidrotestosteron oleh enzim
reduktase. Dehidrotestosteron terikat pada reseptor protein sitoplasmik yang menyebabkan
peningkatan sintesis protein mRNA spesifik. Dengan tidak adanya enzim reduktase yang
cukup, genitalia eksrterna gagak mengalami perkembangan (pseudohermaphroditisme)
walaupun sekresi testosteron adekuat. Bagaimanapun juga tidak seluruh jaringan target, yang
memerlukan konversi testosteron menjadi dehidrotestosteron untuk aktivitasnya. Sebagai
contoh, efek testosteron pada otot skeletal dan sumsum tulang diperantarai oleh hormon
testosteron atau metabolit lain selain dehidrotestosteron.
Korteks adrenal juga mensekresikan androgen, namun efek hormon ini biasanya tidak
terlalu penting kecuali timbul tumor yang mensekresi hormon ini. Sebagai contoh, pada laki-
laki, sekitar 10% androgen diproduksi pada korteks adrenal. Jumlah ini yang tidak cukup
untuk mempertahankan spermatogenesis atau tanda seksual sekunder pada laki-laki dewasa.
Pada kondisi abnormal, seperti sindroma adrenogenital, korteks adrenal dapat mensekresi
steroid dalam jumlah besar dan prekursor androgenik.

Ovarium
Dua hormon ovarium, estrogen dan progestronm disekresi sebagai respon terhadap LH dan
FSH, yang dilepaskan dari hipofisis anterior sebagai respon terhadap hormon pelepas dari
hipotalamus. Pada wanita postpubertas, sekresi LH dan FSH yang sesuai dibutuhkan untuk
terjadinya menstruasi, kehamilan, dan laktasi. Sindroma Stein-Leventhal ditandai dengan
virilisasi yang disebabkan oleh sekresi androgen berlebihan oleh ovarium.

Estrogen
Estrogen bertanggung jawab pada perkembangan tanda-tanda seksual wanita. Pada wanita
yang tidak hamil, sbegaian besar estrogen berasal dari ovarium, walaupun dalam jumlah kecil
juga disekresi oleh korteks adrenal. Tiga macam estrogen yang paling penting adalah beta-
estradiol, estrone, dan estriol. Estrogen ini dikonjugasi di dalam hati menjadi metabolit
inaktif yang ditemukan di dalam urin.

Progesteron
Progesteron dibutuhkan untuk persiapan uterus untuk menghadapi kehamilan dan payudara
untuk laktasi. Hampir seluruh progesteron pada wanita yang tidak hamil disekresi oleh corpus
luteum selama fase luteal pada siklus mentruasi. Korteks adrenal membentuk sejumlah kecil
progesteron. Progesteron dimetabolisme menjadi pregnandiol, yang ditemukan di dalam urin,
yang menyediakan indeks yang penting untuk megetahui sekresi dan metabolisme hormon
ini.

Menstruasi
Durasi keseluruhan siklus menstruasi normal adalah 21 sampai 35 hari dan terdiri dari tiga
fase yaitu fase folikuler, ovulatosi, dan luteal. Fase folikuler dimulai dengan onset
perdaraham menstrual, mencerminkan penurunan konsentrasi progesteron di dalam plasma.
Setelah waktu yang bervariasi, fase folikuler diikuti dengan fase ovulasi yang berlangsung 1
sampai 3 hari dan puncaknya adalah ovulasi. Peningkatan temperatur tubuh (sekitar 0,5 0C)
yang menyertai ovulasi paling mungkin mencerminkan efek termogenik dari progesteron.
Fase luteal mengikuti ovulasi dan ditandai dengan perkembangan corpus luteum yang
mensekresi progesteron dan estrogen. Corpus luteum mengalami degenerasi setelah periode
yang cukup konstan selama 13 sampai 14 hari dan siklus menstruasi berulang.

Kehamilan
Selama kehamilan, plasenta membentuk estrogen, progesteron, gonadotropin korionik, dan
somatomammotropin korionik dalam jumlah yang besar. Gonadotropin korionik mencegah
involusi yang biasanya terjadi pada corpus luteum, yang akan menimbulkan onset perdarahan
menstruasi. Hormon plasental ini adalah hormon kunci pertama dalam kehamilan dan dapat
dideteksi dalam plasma maternal dalam 9 hari setelah konsepsi, sehingga merupakan dasar
tes kehamilan.
Setelah sekitar 12 minggu, plasenta mensekresi progesteron dan estrogen dalam jumlah
yang cukup untuk mempertahankan kehamilan dan corpus luteum mengalami involusi.
Somatomammotropin korionik memiliki efek metabolik yang penting, termasuk menurunkan
aktivitas insulin, yang membuat glukosa lebih tersedia bagi janin.
Peningkatan konsentrasi estrogen menyebabkan pembesaran payudara dan uterus,
sedangkan progesteron dibutuhkan untuk perkembangan sel desidual pada endometrium
uterus dan untuk menekan kontraksi uterus yang dapat menyebabkan abortus spontan.
Peningkatan konsentrasi progesteron dalam plasma dan efek yang berhubungan selama
kehamilan mungkin dapat menjelaskan penurunan kebutuhan anestesi (MAC) untuk agen
anestesi inhalasi volatil pada hewan yang sedang mengandung. Namun demikian, kebutuhan
agen anestesi pada hewan kembali ke angka atau kadar seperti pada keadaan tidak hamil
dalam 5 hari postpartum, sedangkan konsentrasi progesteron dalam plasma tetap meningkat,
yang menunjukkan bahwa penurunan MAC tidak dapat dipengaruhi seluruhnya oleh
progesteron (Strout and Nahrwold. 1981). Peningkatan konsentrasi progesteron dalam plasma
diduga merupakan stimulus untuk meningkatkan ventilasi alveolar yang menyertai
kehamilan. Mendekati aterm, ovarium mensekresi hormon yang disebut relaksin, yang
merelaksasikan ligamentum-ligamentum di pelvis sehingga sendi sakroiliaca menjadi lentur
dan simpisis pubis menjadi elastis.
Parturien dengan asma dapat mengalami perubahan yang tidak terprediksi pada reaktivitas
saluran napas. Eksaserbasi asma dapat mencerminkan bronkokonstriksi yang dipicu oleh
prostaglandin seri F, yang terdapat pada semua trimester kehamilan namun terutama selama
persalinan (lihat bab 20). Sebaliknya, prostaglandin seri E adalah bronkodilator dan dominan
selama trimester ketiga. Peranan kortikosteroid pada respon saluran napas masih
dipertanyakan, karena peningkatan konsentrasi kortisol dalam plasma yang berhubungan
dengan kehamilan diimbangi dengan peningkatan protein pembawa transcortin, dengan efek
akhir berupa kadar kortisol yang tersedia menjadi tidak berubah.

PANKREAS
Pankreas mensekresikan substansi pencernaan ke dalam duodenum serta empat macam
hormon (insulin, glukagon, somatostatin, peptida pankreas) yang disekresi oleh sel-sel pulau
Langerhans dan dilepaskan ke dalam sirkulasi sistemik. Somatostatin meregulasi sekresi sel-
sel pulau Langerhans, bekerja sebagai inhibitor yang kuat terhadap pelepasan insulin dan
glukagon. Hormon peptida ini sama dengan hormon penghambat pelepasan hornom
pertumbuhan yang disekresi oleh hipotalamus. Peran hormon peptida pankreas tidak
diketahui.
Pankreas mengandung 1 sampai 2 juta pulau kecil, yang berdasarkan karakteristik
pewarnaan dan morfologiny, diklasifikasikan menjadi sel alfa, beta, dan delta. Sel beta
jumlahnya sekitar 60% dari sel-sel pulau Langerhans dan merupakan tempat diproduksinya
insulin sebagai bagian preprohormon yang besar. Sel alfa terhitung sebesar 25% dari sel-sel
pulau Langerhans dan merupakan tempat untuk memproduksi glukagon. Setiap pulau
Langerhans menerima suplai darah yang banyak, seperti saluran cerna namun tidak seperti
organ endokrin lain, mengalirkannya ke dalam vena porta.

Insulin
Insulin adalah hormon anabolik yang memacu penyimpanan glukosa, asam lemak, dan
asam amino (gambar 53-4) (Berne et al., 2004). Jumlah insulin yang disekresikan tiap hari
kurang lebih ekuivalen dengan 40 unit. Di dalam sirkulasi sistemik, insulin memiliki waktu
paruh eliminasi sekitar 5 menit, dengan >80% didegradasi di dalam hati dan ginjal. Insulin
terikat pada protein reseptor di membran sel, menimbulkan aktivasi sistem transpor glukosa
(Gambar 53-5) (Ganong, 2003). Aktivasi natrium-kalium ATPase pada membran sel oleh
insulin menyebabkan pergerakan ion kalium ke dalam sel dan penurunan konsentrasi kalium
dalam plasma.

Regulasi sekresi
Kontrol utama sekresi insulin adalah melalui efek umpan balik negatif dari konsentrasi
glukosa darah pada pankreas (tabel 53-8). Pada hakekatnya tidak ada insulin yang disekresi
oleh pankreas saat kadar glukosa darah <50 mg/dL, dan stimulasi maksimal untuk pelepasan
insulin terjadi saat kadar glukosa darah >300 mg/dL. Sistem umpan balik ini menyediakan
respon yang cepat dan tepat untuk mempertahankan kadar glukosa darah dalam kisaran yang
sempit. Pankreas kaya akan inervasi dari sistem saraf otonom, dengan pelepasan insulin yang
terjadi sebagai respon terhadap stimulasi beta-adrenergik atau pelepasan asetilkolin.
Sebaliknya, stimulasi alfa-adrenergik atau blokade beta-adrenergik menyebabkan hambatan
dalam pelepasan insulin. Glukosa oral lebih efektif dari pada pemberian glukosa secara
intravena dalam memacu pelepasan insulin, yang menunjukkan adanya sinyal antisipatorik
dari saluran cerna kepada pankreas. Konsisten dengan hal ini terjadinya glikosuria setelah
pemberian glukosa intravena lebih sering daripada pemberian glukosa oral. Observasi ini
memiliki implikasi yang nyata untuk pemberian infus atau cairan intravena yang
mengandung glukosa selama periode perioperatif. Glukagon, HSG, dan kortikosteroid dapat
menyebabkan potensiasi stimulasi sekresi insulin yang diinduksi glukosa. Sekresi yang
diperpanjang dari hormon-hormon ini atau pemberiannya secara eksogen dapat menyebabkan
kelelahan sel beta pankreas dan menimbulkan diabetes mellitus. Sebenarnya, diabetes
mellitus sering terjadi pada pasien yang mengalami akromegali atau orang-orang yang
memiliki kecenderungan diabetes, yang diterapi dengan kortikosteroid.

Efek fisiologis
Insulin mendorong penggunaan karbohidrat sebagai energi serta mendepresi penggunaan
lemak dan asam amio. Sebagai contoh, insulin memfasilitasi penyimpanan lemak pada sel-sel
adiposa dengan menghambat enzim lipase, yang normalnya menyebabkan hidorlisis
trigliserida dalan sel lemak. Di dalam hati, insulin menghambat enzim yang dibutuhkan untuk
glukoneogenesis, sehingga memelihara simpanan asam amino.
Insulin memfasilitasi ambilan glukosa dan penyimpanannya di dalam hati oleh efeknya
pada enzim spesifik. Ambilan glukosa yang dipacu kedalam sel hati mencerminkan
peningkatan aktivitas glucokinase yang diinduksi insulin. Glocokinase adalah enzim yang
menyebabkan phosphorilasi awal pada glukosa setelah glukosa berdifusi ke dalam kepatosit.
Setelah terphosphorilasi, glukosa ditangkap dan tidak mampu berdifusi kembali melalui
membran sel. Penyimpanannya lebih lanjut lagi ditingkatkan oleh inhibisi enzim
phosphorilase yang diinduksi insulin, yang normalnya menyebabkan glikogen terpecah
menjadi glukosa. Efek akhir dari aktivitas insulin ini pada enzim adalah untuk meningkatkan
simpanan glikogen hati sampai maksimum sekitar 100 g. Biasanya, sekitar 60% glukosa
dalam makanan disimpan di dalam hati sebagai glikogen.

Gambar 53-4. Insulin menstimulasi ambilan glukosa dan asam amino jaringan , sedangkan
pelepasan asam lemak dihambat. Sebagai hasilnya, konsentrasi glukosa, asam lemak, asam
amino, dan asam keton menurun.
Gambar 53-5. Gambaran skematis pada reseptor insulin yang terdiri dari dua subunit alfa
dan dua subunit beta yang bersatu dengan ikatan disulfida (-S-S-). Insulin (INS) melekat pada
subunit alfa, yang memicu autophosphorilasi oleh bagian tirosin kinase (TYR) dari subunit
beta di dalam sel dan efek resultan dari insulin.
TABEL 53-9. REGULASI SEKRESI INSULIN
Stimulasi Inhibisi
Hiperglikemia Hipoglikemia
Agonis β -Adrenergik Antagonis β-
Adrenergik
Asetilkolin Agonis α-Adrenergik
Glukagon Somatostatin
Diazoxide
Diuretik thiazide
Anestetik volatile
Insulin

Otot skeletal yang dalam keadaan istirahat, sebagian besar tidak permiabel terhadap
glukosa kecuali dengan adanya insulin. Glukosa yang memasuki otot skelet di bawah
pengaruh insulin disimpan dalam bentuk glikogen yang sewaktu – waktu dapat diubah
menjadi energi. Meskipun demikian, jumlah glikogen yang disimpan dalam otot skelet lebih
sedikit dibandingkan yang disimpan di hepar. Lebih jauh lagi, glikogen di otot skeletal,
dibandingkan dengan yang tersimpan di hepar, tidak dapat diubah ke glukosa dan dilepaskan
ke sirkulasi sistemik. Hal ini terjadi karena kurangnya enzim glukosa pospatase, yang
berguna pada pemecahan glikogen. Latihan meningkatkan permeabilitas membran otot
skletal terhadap glukosa, dan mungkin menggambarkan pelepasan insulin oleh otot skeletal
itu sendiri atau vaskularisasinya.
Sel otak adalah sel yang unik dalam perbeabilitas membrannya terhadap glukosa,
tidak bergantung dengan keberadaan insulin. Karakteristik ini adalah penting karena sel otak
hanya menggunakan glukosa untuk sumber energi, dan ini menekankan pentingnya menjaga
kestabilan konsentrasi gula darah di atas tingkatan kritis, yaitu sekitar 50 mg/dl. Tentunya,
kekurangan insulin dapat menyebabkan penggunaan lemak guna mengkompensasi
kehilangan glukosa, kecuali pada sel otak.

Diabetes Mellitus
Diabetes melitus adalah penyakit metabolik yang dicirikan dengan hiperglikemi yang
disebabkan oleh defek sekresi insulin atau defek kerja / fungsi insulin itu sendiri.
Abnormalitas dari metabolisme lemak dan protein juga terdapat pada DM tetapi diagnosis
dari diabetes melitus adalah berdasarkan adanya hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia
kronik diasosiasikan dengan penurunan fungsi jangka panjang dari ginjal, mata, syaraf
otonom, jantung, pembuluh darah, dan mikrosirkulasi. Varietas dari diabetes melitus ialah
DM tipe 1 (insulin-dependent) atau tipe 2 (non-insulin dependent) dengan perbandingan 1 : 9
(Tabel 53-9). Meskipun pada diabetes yang belum berkomplikasi, pasien dengan penyakit
laten melepaskan insulin dalam jumlah kecil terhadap respon stimulasi glukosa.

Pada keadaan tidak adanya insulin yang cukup, ditandai dengan penurunan transport
glukosa yang melalui membran sel, yang meyebabkan hiperglikemia. Pembentukan glukosa
dari protein mengindikasikan glukosa yang di ekskresikan lebih banyak daripada intake oral.
Sebagian besar dari protein yang digunakan untuk pembentukan glukosa berasal dari otot
skeletal; kegilangan glukosa mungkin bermanifestasi pada kasus yang ekstrim contohnya
pada pengurangan masa otot. Peningkatan konsentrasi asam lemak bebas dalam plasma
pasien diabetes melitus menggambarkan kehilangan daya inhibisi insulin dari sistem enzim
lipase yang berakibat pada kenaikan asam lemak bebas. Hepar yang kekurangan insulin akan
menggunakan asam lemak untuk menghasilkan keton, yang dapat berfungsi sebagai cadangan
energi untuk otot skeletal dan otot jantung. Produksi dari keton menyebabkan keto-asidosis,
padahal eksresi dari anion ini akan menyebabkan gangguan elektrolit, khususnya
hipokalemia. Bagaimanapun juga, hipoglikemia mungkin tidak terlihat karena ion kalium
intraseluler digantikan ion ekstraseluler untuk usaha kompensasi asidosis.
Rendahnya konsentrasi insulin plasma, meskipun tidak adekuat untuk mencegah
hiperglikemia, mungkin cukup efektif untuk menghalangi lipolisis. Efek dari insulin ini
menjelaskan observasi yang sering dilakukan pada pasien dengan diabetes melitus yang
hiperglikemia akan ada tanpa adanya keton. Ketosis akan dapat dicegah dengaan secara terus
menerus memberikan glukosa dan insulin pada penderita diabetes. Hal in sangatlah penting
pada masa perioperatif

Glukagon
Glukagon adalah hormon katabolik yang berperasn untuk mobilisasi glukosa, asam lemak,
dan asam amino pada sirkulasi sistemik. Respon ini bertentangan dengan efek insulin, dua
hormon ini juga di sekresikan secara resiprokal (berlawanan). Prinsip dari stimulus untuk
sekresi glukagon ialah hipoglikemia. Glukagon dapatsecara tiba – tiba meningkatkan
konsentrasi gula darah dengn menstimulasi glikogenolisis pada hepar. Refleks aktivasi oleh
adenilat siklase oleh glukagon kemudian akan membentuk cAMP. Dalam hal ini, efek
metabolik glukagon pada hepar menyerupai produksi dari epinefrin. Tentunya, studi dari
mekanisme epinefrin dan glukagon tersebut digiring pada pengetahuan akan kerja cAMP
(Rall dan Sutherland, 1958). Glukagon juga menyebabkan hiperglikemia dengan
menstimulasi glukoneogenesis pada hepatosit. Efek lain dari glukagon seperti meningkatkan
kontraktilitas miokardial dan meningkatkan sekresi dari empedu hanya ada bila terdapat
paparan eksogen yang mengakibatkan konsentrasi dari hormon ini meningkat diatas level
yang normal (lihat Bab 13). Asam amino meningkatkan pelepasan dari glukagon dan dengan
demikian mencegah hipoglikemia yang akan terjadi pada kelebihan asupan makanan dengan
protein murni dan dihubungkan dengan stimulasi dari sekresi insulin. Glukagon mengalami
degradasi enzimatik menjadi metabolit inaktif pada hepar, ginjal dan sisi reseptor pada
membran sel. Waktu paruh glukagon adalah singkat – hanya 3-6 menit.

Anda mungkin juga menyukai