Anda di halaman 1dari 26

RESPON STRES TERHADAP TRAUMA DAN PEMBEDAHAN

J.P Desborough
Departemen Anestesi. Rumah Sakit Umum Epsom, Jalan Dorking, Epsom KT18
7EG, UK
Br. J. Anaesth 2000; 85:109-17
Kata Kunci: Pembedahan, hormon, kortisol; sistem saraf simpatis,
katekolamin, teknik anestesi, epidural

Respon stres merupakan sebutan atas perubahan hormon dan juga


metabolisme yang menyertai luka ataupun trauma. Respon ini merupakan bagian
dari reaksi sistemik terhadap perlukaan yang memperlihatkan efek yang luas
meliputi bidang endokrin, imunologi dan hematologi (tabel 1). Respon terhadap
operasi telah menjadi perhatian dari ilmuan sejak beberapa tahun. Pada tahun
1932, Cuthberson menjelaskan secara detail respon metabolik dari empat pasien
yang mengalami perlukaan pada tungkai bawah.10 Ia mencatat dan menghitung
waktu yang dibutuhkan perubahan tersebut. Istilah “ebb” dan “flow” pertama kali
diperkenalkan untuk menyebutkan penurunan awal dan peningkatan yang
selanjutnya terjadi terhadap aktivitas metabolik. Penjelasan tentang Fase “ebb”
berdasarkan percobaan terhadap hewan dan perkiraan peningkatan laju
metabolisme pada fase “flow” yang berlebihan. Deskripsi ini telah digunakan
secara luas, namun masih terus diperbaharui29 namun tidak mengubah
pemahaman terhadap istilah ini.
Setelah memperhatikan respon stres terhadap perlukaan yang tidak
disengaja, perhatian kemudian difokuskan terhadap trauma pembedahan, dan
respon terhadap semua jenis pembedahan telah dilaporkan. Setelah itu, fokus
penelitian dilakukan terhadap kemampuan dari agen anestesi dan blok saraf dalam
mempengaruhi respon endokrin. Meskipun terlihat respon stres perlu dibentuk
untuk tetap bertahan terhadap perlukaan dengan cara mengkatabolisme cadangan
energi tubuh, hal ini kemudian diperdebatkan dalam praktek operasi saat ini.
Usaha yang besar telah dilakukan untuk menghambat respon stres terhadap
operasi dan mengevaluasi hasil akhirnya. Secara khusus keuntungan potensial dari

1|Page
anestesi regional pada hasil akhir operasi masih dalam penelitian. Selama 10
tahun terakhir, peran dari sitokin dalam respon terhadap operasi, interaksi antara
sistem imunologi dan neuroendokrin, telah menjadi subjek penelitian. Ulasan ini
menjelaskan tentang perubahan endokrin dan metabolik yang terjadi selama
operasi, dan efek dari regimen anestesi dan analgetik.

Tabel 1. Respon sistemik terhadap operasi

Aktivasi sistem saraf simpatis


“Respon Stres” Endokrin
- Sekresi hormon pituitari
- Resistensi Insulin
Perubahan imunologi dan hematologi
- Produksi sitokin
- Reaksi fase akut
- Neutrofil leukositosis
- Proliferasi limfosit

Respon Endokrin Terhadap Operasi


Respon stres terhadap operasi memiliki ciri adanya peningkatan dari
sekresi hormon piituitari dan juga aktivasi dari sistem saraf simpatis. Perubahan
dari sekresi ptuitari memiliki efek sekunder terhadap organ target (Tabel 2).
Sebagai contoh, pelepasan dari hormon kortikotrofin menstimulasi sekresi kortisol
dari korteks adrenal. Arginin vasopressin disekresikan dari pituitari posterior dan
memiliki efek terhadap ginjal. Di pankreas, glukagon dilepaskan dan sekresi
insulin berkurang. Secara keseluruhan efek metabolik dari perubahan hormon
meningkatkan katabolisme dengan menggerakkan substrat untuk menyediakan
energi, dan mekanisme untuk menyimpan garam dan air serta menjaga volume
cairan dan homeostasis kardiovaskuler.

2|Page
Tabel 2. Prinsip respon hormonal terhadap pembedahan, ACTH, Adrenocorticotrophic Hormone
(corticotrophin); AVP, Arginine Vasopressin, FSH, Folicle-Stimulating Hormone; LH. Leuteinizing Hormone;
TSH, Thyroid Stimulating Hormone. Berdasarkan Desborough dan Hall 13

Kelenjar Endokrin Hormon Perubahan Sekresi


Pituitari Anterior ACTH Meningkat
Hormon Pertumbuhan Meningkat
TSH Dapat meningkat maupun menurun
FSH dan LH Dapat meningkat maupun menurun
Pituitari Posterior AVP Meningkat
Korteks Adrenal Kortisol Meningkat
Aldosteron Meningkat
Pankreas Insulin Seringkali berkurang
Glukagon Biasanya meningkat sedikit
Tiroid Tiroksin, Menurun
Triiodotironin

Respon Simpatoadrenal
Aktivasi hipotalamus dari sistem saraf simpatis menghasilkan peningkatan
dari sekresi katekolamin yang dihasilkan dari medulla adrenal dan pelepasan dari
norepinefrin yang berasal dari ujung saraf presinaps. Norepinefrin merupakan
neurotransmitter utama, namun juga ada ditemukan kebocoran dari norepinefrin
ujung saraf masuk kedalam sirkulasi. Peningkatan aktivitas simpatik
menghasilkan efek kardiovaskuler yang telah dikenal baik berupa takikardi dan
juga hipertensi. Sebagai tambahan, fungsi beberapa organ, termasuk hati, pankreas
dan ginjal dipengaruhi secara langsung oleh stimulasi simpatis eferen dan/atau
katekolamin yang beredar dalam darah.
Aksis Hipotalamus-pituitari-adrenal
1. Pituitari Anterior
Sekresi hormon pituitari anterior distimulasi oleh Hipotalamic
releasing factors.32 Pituitari mensitesis kortikotropin atau
Adrenocorticotrophic hormone (ACTH) sebagai bagian dari molekul
precursor yang lebih besar, pro-opiomelanocortin. Prekursor ini

3|Page
dimetabolisme dalam pituitari menjadi ACTH, β-endorfin, dan precursor
N-terminal. Hormon pertumbuhan dan prolaktin juga disekresikan dalam
jumlah yang meningkat sebagai respon pituitari terhadap stimulus operasi.
Konsentrasi dari hormon pituitari anterior lain seperti Thyroid- Stimulating
Hormone (TSH) Follicle-Stimulating Hormone (FSH) dan Leuteinizing
hormone (LH) tidak meningkat secara nyata dalam operasi.

2. Pituitari posterior
Pituitari posterior menghasilkan arginin vasopressin yang memiliki
peran utama sebagai hormon antidiuretik. Selain itu juga berperan dalam
bidang endokrin, yakni bersama-sama dengan corticotrophin releasing
factor menstimulasi sekresi dari pro-opiomelanocortin dari pituitari
anterior.

Kortikotrofin
Kortikotrofin (ACTH) merupakan peptide dengan 39 asama amino yang
diproduksi di pituitari dari suatu molekul yang lebih besar pro-opiomelanocortin.
ACTH memicu korteks adrenal mengeluarkan glukokortikoid sehingga terjadi
peningkatan jumlah kortisol yang beredar dalam darah. Operasi merupakan
activator yang paling poten dari sekresi ACTH dan kortisol, dan juga peningkatan
kedua hormon tersebut dapat diukur dalam menit pertama dari pembedahan.

Hormon Pertumbuhan
Hormon Pertumbuhan merupakan suatu protein dengan rantai asam amino
191 yang dihasilkan oleh pituitari anterior (13). Pelepasan dari hormon ini
dipengaruhi oleh faktor pelepas hormon pertumbuhan, yang dihasilkan oleh
hipotalamus. Hormon pertumbuhan ini disebut juga sebagai somatotrofin,
memiliki peran dalam mengatur pertumbuhan, terutama dalam masa perinatal dan
anak-anak. Banyak kerja dari hormon ini dilakukan oleh suatu hormon protein
yang kecil disebut faktor pertumbuhan menyerupai insulin (IGFs), terkhususu
IGF-1 yang diproduksi di hati, otot dan jaringan lain dan berespon terhadap

4|Page
stimulasi dari hormon pertumbuhan. Sebagai tambahan dalam peran untuk
mengatur pertumbuhan, hormon pertumbuhan juga memiliki banyak efek terhadap
metabolisme. Hormon ini menstimulasi sintesis protein dan menghambat
pemecahan protein, mengakibatkan terjadinya lipolisis (pemecahan trigliserida
menjadi asam lemak dan gliserol) serta memiliki efek anti insulin. Hal ini
mengakibatkan hormon pertumbuhan menghambat pengambilan glukosa dan
penggunaannya oleh sel, dan membebaskan glukosa untuk digunakan oleh neuron
dalam situasi dimana glukosa kurang. Faktor pertumbuhan juga menstimulasi
glikogenolisis di hati. Jumlah sekresi hormon pertumbuhan ini meningkat sesuai
dengan derajat beratnya perlukaan baik dalam operasi maupun trauma.

β endorfin dan prolaktin


β-endorfin merupakan suatu peptide opioid dengan 31 rantai asam amino
yang diproduksi dari molekul prekursor proopiomelanocortin. Peningkatan
konsentrasi dari Β-endorfin di sirkulasi setelah operasi mencerminkan
peningkatan sekresi dari hormon pituitari. Hormon ini tidak memiliki aktvitas
metabolik yang berarti.
Prolaktin merupakan hormon protein dengan 191 asam amino dan struktur yang
menyerupai hormon pertumbuhan. Sekresi dari prolaktin juga meningkat sebagai
bagian dari respon stress terhadap operasi dan juga meningkat selama olahraga.
Hormon ini sedikit memiliki efek terhadap aktivitas metabolik. Produksi prolaktin
meningkat selama kehamilan dan menstimulasi sekresi susu dari payudara.

Kortisol
Sekresi kortisol dari korteks adrenal meningkat dengan cepat setelah
pembedahan dimulai, sebagai akibat dari stimulasi oleh ACTH. Peningkatan
konsetrasi kortisol dapat mencapai maksimal >1.500 nmol/liter dari sekitar 400
nmol/liter dalam 4 hinga 6 jam, bergantung seberapa berat trauma akibat
pembedahan.38 Respon kortisol ini dapat dimodifikasi dengan intervensi
anestesi.(lihat dibawah)

5|Page
Dalam keadaan normal, mekanisme umpan balik berperan sehingga
peningkatan dari konsentrasi kortisol yang beredar dalam darah menghambat
pelepasan dari ACTH lebih lanjut. Namun mekanisme ini terlihat tidak efektif
setelah pembedahan, dimana kedua konsentrasi hormon tersebut masih tetap
tinggi.
Kortisol memiliki efek metabolik yang kompleks, mempengaruhi
karbohidrat, lemak dan protein. Kortisol memicu terjadinya pemecahan protein
dan glukoneogenesis di hati. Glukosa yang digunakan di sel dihambat, sehingga
terjadi peningkatan glukosa darah. Kortisol juga berperan dalam lipolisis yang
meningkatkan produksi prekursor glukoneogenesis yang berasal dari trigliserida
yang dipecah menjadi asam lemak dan gliserol.
Kortisol juga memiliki efek glukokortikoid yang lain, yakni adanya hubungan
dengan proses anti inflamansi. Kortikosteroid menghambat akumulasi makrofag
dan neutrofil ke area inflamasi dan mampu menghambat sintesis mediator
inflamasi, terkhusus prostaglandin.

Insulin dan glucagon


Insulin merupakan kunci dari hormon anabolik.13 Merupakan suatu
polipeptida dengan dua rantai (21 dan 30 asam amino) yang dihubungkan dengan
ikatan disulfide. Insulin disintesis dan disekresikan oleh sel β pankreas. Hormon
ini dilepaskan setelah ada asupan makanan, ketika terjadi peningkatan dari
glukosa darah dan juga konsentrasi asam amino. Insulin juga meningkatkan
pengambilan glukosa ke otot dan jaringan adipose dan juga mengubah glukosa
menjadi glikogen dan trigliserida. Hormon ini juga menstimulasi pembentukan
glikogen dari glukosa di hati. Katabolisme protein dan juga lipolisis dihambat
dengan insulin.
Konsentrasi insulin dapat menurun setelah induksi anestesi dan selama
pembedahan terjadi kegagalan dari sekresi insulin untuk menyeimbangi respon
katabolik dan hiperglikemik. Hal ini mungkin diakibatkan sebagian akibat adanya
inhibisi α-adrenergik terhadap sekresi sel β. Sebagai tambahan, juga ditemukan

6|Page
adanya kegagalan dalam respon sel terhadap insulin yang disebut sebagai
resistensi insulin yang terjadi pada masa perioperatif.
Glukagon diproduksi oleh sel α pancreas. Hormon ini memicu terjadinya
glikogenolisis di hati. Hormon ini juga meningkatkan glukoneogenesis dari asam
amino dalam hati dan memiliki aktivitas lipolitik. Meskipun terjadi peningkatan
dari konsentrasi glucagon selama pembedahan, hal ini bukan merupakan
penyumbang terbesar dari kondisi hiperglikemik.

Hormon tiroid.
Tiroksin (T4) dan tri-iodotironin (T3) disekresikan kedalam sirkulasi dari
kelenjar tiroid yang mendapatkan pengaruh dari Thyroid Stimulating Hormone
(TSH). Adanya T3 terbalik dalam jumlah kecil dan inaktif disebut rT3 diproduksi
juga di tiroid. T3 dibentuk dari jaringan dan kemudian mengalami
monodeiodonisasi T4. T3 lebih aktif secara metabolik sebanyak tiga hingga lima
kali dibandingkan T4. Hormon ini berikatan secara luas pada protein target,
albumin, prealbumin dengan tempat perlekatan tiroksin, dan globulin pengikat
tiroid (TBG). Hormon tiroid yang beredar bebas dalam darah aktif dalam proses
metabolism. Konsentrasi yang sangat rendah dari T3 dan T4 yang bebas dalam
darah berada dalam keseimbangan dengan hormon yang berikatan dengan plasma
dan jaringan.15
Hormon tiroid menstimulasi penggunaan oksigen dari hampir semua
jaringan yang aktif secara metabolik dalam tubuh, terkecuali otak, limpa dan
bagian anterior dari kelenjar pituitari. Sebagai akibat dari aktivitas hormon tiroid,
laju metabolisme dan juga kebutuhan oksigen meningkat. Prinsip lain dari hormon
tiroid yakni dengan meningkatkan absorbsi karbohidrat dari saluran cerna yntuk
menstimulasi baik sistem saraf sentral maupun perifer dan dalam jangka panjang
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan.
Terdapat hubungan yang dekat antara aktivitas hormon tiroid dan
katekolamin. Dalam arti yang umum, epinefrin dan norepinefrin meningkatkan
laju metabolisme dan menstimulasi sistem saraf. Hormon tiroid meningkatkan

7|Page
jumlah dan juga afinitas reseptor β-adrenal di jantung, dan akhirnya meningkatkan
sensitifitas jantung terhadap kerja dari katekolamin.
Konsentrasi dari T3 total dan yang bebas berkurang setelah pembedahan
dan kemudian kembali ke keadaan normal setelah beberapa hari. Konsentrasi TSH
menurun dalam 2 jam pertama dan kembali ke jumlah sebelum dioperasi. Alasan
dari perubahan ini masih tetap belum jelas, namun dapat dipengaruhi dengan
adanya hubungan yang kuat antara hormon tiroid, katekolamin dan kortisol.
Steroid dari luar menghambat T3, sehingga kondisi hiperkortisolemia setelah
pembedahan dapat juga menekan konsentrasi T3.11

Gonadotrofin
Gonadotrofin, LH dan FSH disekresikan dari pituitari anterior. FSH
bertanggung jawab atas pengembangan dari folikel ovarium pada wanita. Pada
pria, FSH menjaga epitel dari saluran sperm.
LH menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan dari sel Leydig yang
terdapat dalam testis dan memproduksi testosterone. Pada wanita, LH
menfasilitasi maturasi dari folikel ovariu dan sekresi dari estrogen. Hormon ini
juga menstimulasi pembentukan korpus luteum dari folikel setelah mengalami
ovulasi.
Testosteron merupakan produk yang berasal dari kolesterol dan dihasilkan
oleh sel Leydig pada testis. Testosteron ini memiliki mekanisme umpan balik
negatif terhadap sekresi LH dari pituitari anterior. Testosteron memiliki efek yang
penting terhadap anabolisme protein dan pertumbuhan. Sebagai tambahan dari
perannya dalam perkembangan dan mempertahankan karakteristik seksual
sekunder dari pria.
Perubahan yang signifikan dari gonadotrofin setelah pembedahan
membutuhkan penelitian lebih lanjut. Konsentrasi testosterone menurun selama
beberapa hari, sementara konsetrasi LH memperlihatkan perubahan yang
bervariasi.51 Pada subjek wanita, konsentrasi estradiol menurun hingga 5 hari
setelah operasi.50

8|Page
Perubahan Metabolik Sebagai Respon Terhadap Endokrin
Efek akhir dari respon endokrin terhadap pembedahan adalah terjadinya
peningkatan sekresi dari hormon katabolik. Hal ini mendorong dibutuhkannya
bahan makanan untuk dikatabolisme seperti karbohidrat, lemak dan protein.
Dalam istilah yang baru, terlihat bahwa respon stres muncul akibat adanya
mekanisme untuk bertahan hidup yang memungkinkan hewan yang terluka untuk
mempertahankan diri mereka hingga lukanya tersebut sembuh. Dengan
menggunakan cadangan energi tubuh dan menjaga air dan garam, hewan memiliki
kesempatan bertahan hidup tanpa makanan hingga penyembuhan dan perbaikan
telah selesai. Dalam ilmu bedah dan anestesi, masih dipertanyakan apakah respon
stres ini dibutuhkan tubuh.

Metabolisme Karbohidrat
Konsentrasi glukosa darah meningkat setelah pembedahan dimulai.
Hormon kortisol dan katekolamin memungkinkan produksi glukosa sebagai hasil
akhir dari peningkatan glikogenolisis dan glukoneogenesis dalam hati. Sebagai
tambahan, penggunaan glukosa di perifer juga berkurang.
Konsentrasi glukosa darah berhubungan dengan seberapa berat perlukaan
akibat pembedahan; perubahan konsentrasi ini juga diikuti oleh peningkatan
katekolamin, Pada pembedahan jantung, konsentrasi glukosa darah dapat
meningkat hingga 10-12 mmol/liter dan tetap meningkat selama lebih dari 24 jam
postoperasi. Perubahan ini kurang bermakna pada pembedahan minor.
Mekanisme yang umum dipakai untuk menjaga homeostasis glukosa tidak
efektif dalam periode perioperatif. Hiperglikemia dapat bertahan dikarenakan
hormon katabolik yang meningkatkan glukosa dan juga adanya kekurangan secara
relatif jumlah insulin dan terjadi resistensi insulin di perifer tubuh.
Pada subjek diabetes, sudah diketahui bahwa kontrol glukosa darah yang
kurang dikaitkan dengan peningkatan dari komplikasi diabetes, yang dapat
47
dicegah dengan kontrol ketat dari glukosa darah (Lihat makalah dari Halls).
Resiko dari hiperglikemia yang berkepanjangan masih belum diketahui secara
pasti, meskipun adanya kemungkinan terjadi infeksi pada luka dan gangguan pada

9|Page
penyembuhan luka. Suatu studi menemukan terjadi peningkatan infeksi luka dan
mediastinitis pada pasien diabetes dan non-diabetes yang memiliki konsentrasi
glukosa >200mg/dl setelah pembedahan jantung.

Metabolisme Protein
Katabolisme dari protein distimulasi oleh peningkatan dari konsentrasi
kortisol. Katabolisme protein terutama berasal dari otot skelet yang dipecah,
namun protein dari otot visceral juga dikatabolisme untuk melepaskan asam
amino pembentuknya. Asam amino dapat dikatabolisme lebih lanjut untuk energi
atau digunakan di hati untuk membentuk protein baru, yakni berupa protein fase
akut. Hati juga mengkonversi asam amino menjadi substrat yang lain, baik
glukosa, asam lemak, dan benda keton. Katabolisme protein menghasilkan
penurunan berat badan yang nyata dan pengecilan otot pada pasien yang telah
mengalami pembedahan mayor dan luka akibat trauma. Kehilangan protein dapat
diukur secara tidak langsung dengan melihat peningkatan ekskresi nitrogen yang
terkandung dalam urin.
Saat ini penyediaan suplemen nutrisi terhadap pasien yang sakit berat dan
menjalani bedah mayor telah menjadi perhatian. Beberapa nutrisi dapat
memberikan efek yang menguntungkan terhadap status imun pada pasien yang
mengalami stres. Glutamin, arginin, glisin, asam lemak rantai tak jenuh ganda,
dan nukleosida telah diteliti secara luas.44 Glutamin dan arginin merupakan asam
amino semi esensial yang melipatgandakan fungsi termasuk juga stimulasi dari
aktivitas imun. Penelitian terhadap pasien yang mendapatkan nutrisi enteral yang
disuplementasi dengan arginin ataupun glisin setelah bedah mayor memiliki
keuntungan berupa penyembuhan yang lebih cepat terhadap parameter imunitas,
komplikasi infeksi yang lebih sedikit, dan waktu perawatan yang lebih singkat.

Metabolisme Lemak
Sebagai hasil dari perubahan hormonal pada saat pembedahan, lemak yang
tersimpan sebagai trigliserida diubah oleh lipolisis menjadi gliserol dan asam
lemak. Aktivitas lipolitik distimulasikan oleh kortisol, katekolamin dan hormon

10 | P a g e
pertumbuhan serta dihambat dengan adanya insulin. Hasil akhirnya adalah
peningkatan mobilisasi dari trigliserida, meskipun konsentrasi gliserol dan asam
lemak dalam plasma mungkin tidak terlalu terpengaruh, gliserol yang dihasilkan
dari lipolisis merupakan substrat dari glukoneogenesis di hati. Asam lemak masuk
kedalam "kolam" dimana dapat terjadi oksidasi di hati dan di otot, kemudian
diubah menjadi badan keton atau dire-esterifikasi.

Metabolisme Air dan Elektrolit


Perubahan dari hormon terjadi yang berespon terhadap pembedahan
sehingga mempengaruhi metabolisme air dan garam. Perubahan ini mendukung
usaha menjaga volume cairan tetap adekuat. Arginin vasopressin yang dilepaskan
dari pituitari posterior, mendukung terjadinya retensi air dan memproduksi urin
pekat dengan mekanisme langsung pada ginjal. Peningkatan sekresi vasopresin
terus berlangsung selama 3-5 hari, tergantung seberapa berat luka akibat
pembedahan dan munculnya komplikasi.
Renin disekresikan dari sel juxtaglomerular ginjal, sebagian sebagai akibat
dari aktivasi simpatis eferen. Renin memicu produksi angiotensin II. Angiotensin
ini memiliki beberapa efek penting, diantaranya menstimulasi pelepasan
aldosteron dari korteks adrenal, yang kemudian meningkatkan reabsorbsi air dan
Na dari tubulus distal ginjal.11

Aktivasi dari Respon Stres


Respon endokrin diaktivasi oleh impuls neuron aferen yang berasal dari
tempat perlukaan. Impuls ini berjalan bersama serabut saraf sensorik melalui akar
dorsal dari batang otak, kemudian dari batang otak menuju medulla untuk
mengaktivasi hipotalamus.
Pada tahun 1950, dipikirkan bahwa adanya suatu “Hormon Luka” yang
dihasilkan pada jaringan yang rusak yang kemudian mengaktivasi aksis pituitari-
adrenal. Dalam percobaan klasik, Egdahl menunjukkan peran dari sistem saraf
terhadap aktivasi dari respon stres.16 Ia mempelajari respon dari korteks adrenal
yang berespon terhadap luka pada tungkai anjing yang masih diinervasi dan juga

11 | P a g e
yang telah dideinervasi. Sampel darah kemudian dikumpulkan dari vena adrenal
untuk mengukur konsentrasi kortikosteroid adrenal. Pada hewan dengan nervus
ischiadicus yang masih intak, perlukaan pada saat pembedahan terhadap tungkai
menghasilkan peningkatan segera dari konsentrasi hormon adrenal yang diambil
dari sampel vena adrenal. Jika saraf kemudian dipotong, terjadi penurunan yang
cepat dari respon hormonal. Pada hewan yang nervus ischiadicusnya telah
dipotong sebelum operasi atau luka bakar, tidak terjadi peningkatan pada hormon
adrenal setelah trauma. Percobaan ini tidak memberikan bukti yang cukup bahwa
substrat lokal dilepaskan setelah perlukaan yang kemudian mestimulasi aksis
pituitari-adrenal. Ide bahwa terdapat substansi lokal yang mempengaruhi
perubahan yang berkaitan dengan pembedahan semakin berkembang setelah
adanya penemuan tentang sitokin.

Sitokin
Sitokin merupakan suatu protein dengan berat molekul rendah yang
termasuk juga didalamnya interleukin dan interferon. Sitokin ini diproduksi oleh
leukosit yang teraktivasi, fibroblast dan juga sel endotel sebagai respon awal
terhadap kerusakan jaringan dan memiliki peran penting dalam memediasi
imunitas dan inflamasi.42 Sitokin bekerja pada permukaan reseptor pada banyak
sel target dan efeknya dihasilkan dengan mempengaruhi sintesis protein dalam
sel-sel tersebut. Penjelasan tentan sitokin dan aktivasinya sebagai respon terhadap
pembedahan telah sering dijelaskan.19,42 Efek stimulasi kronis dari sitokin, sebagai
contoh pada sepsis telah sering dibahas.6
Sitokin memiliki peran penting dalam respon inflamasi terhadap trauma
dan pembedahan. Sitokin memiliki efek lokal dengan memediasi dan menjaga
respon inflamasi pada kerusakan jaringan dan juga memicu perubahan sistemik
yang dapat terjadi. Setelah pembedahan mayor, sitokin yang utama dilepaskan
adalah Interleukin-1 (IL-1) tumor necrosis factor (TNF), dan IL-6. Reaksi
awalnya berupa pelepasan IL-1 dan TNFα dari makrofag dan juga monosit pada
jaringan yang rusak. Pelepasan ini menstimulasi produksi dan pelepasan sitokin

12 | P a g e
yang lebih banyak lagi, yakni sitokin IL-6, sitokin yang bertanggung jawab dalam
memicu perubahan sistemik yang dikenal sebagai reaksi fase akut. 42

Interleukin-6
Merupakan protein dengan berat 26kDa. Konsentrasi sitokin yang beredar
dalam darah normalnya sangat rendah dan mungkin tidak terdeteksi. Dalam 30-60
menit setelah mulainya pembedahan, konsentrasi IL-6 mulai meningkat;
perubahan konsentrasi ini menjadi signifikan setelah 2-4 jam. Produksi sitokin
mencerminkan derajat trauma jaringan, jadi pelepasan sitokin paling rendah pada
prosedur yang paling sedikit menimbulkan trauma dan minimal invasif, contohnya
pada pembedahan laparoskopi. Peningkatan paling tinggi dari IL-6 terjadi pada
prosedur mayor seperti penggantian sendi, pembedahan vaskular dan kolorektal.
Setelah pembedahan ini, konsentrasi sitokin maksimal dalam 24 jam dan tetap
meningkat selama 48-72 jam pasca operasi.

Respon Fase Akut


Setelah kerusakan jaringan, terjadi beberapa perubahan yang distimulasi
oleh sitokin, khususnya IL-6. Hal inilah yang dikenal sebagai “Reaksi fase akut”.
Salah satu dari perubahan yang nampak adalah produksi protein fase akut oleh
hati (tabel 3). Protein ini bertugas sebagai mediator inflamasi, antiproteinase, dan
memperbaiki jaringan. Protein yang termasuk dalam kelompok ini adalah C-
Reactive Protein (CRP), fibrinogen, α2-makroglobulin dan antiprotease lainnya.
Peningkatan dari konsentrasi serum CRP mengikuti perubahan dari IL-6. Produksi
dari protein lain dari hati, sebagai contoh albumin dan transferin berkurang dalam
respon fase akut ini. Konsentrasi kation yang beredar dalam darah contohnya zink
dan besi juga berkurang, yang diakibatkan juga karena produksi dari protein
pengangkut yang juga berkurang.42

13 | P a g e
Tabel 3. Gejala respon fase akut, C, C-Reactive Protein.Berdasarkan Sheeran dan Hall 42

Demam
Granulositosis
Produksi dari protein fase akut di hati
 CRP
 Fibrinogen
 α2-makroglobulin
Perubahan konsentrasi serum dari protein transport
 Peningkatan Ceruloplasmin
 Penurunan transferrin, albumin, dan α2-makroglobulin
Perubahan dari konsentrasi kation divalent serum
 Tembaga meningkat
 Zink dan besi menurun

Interaksi antara Sistem Imunitas dan Sistem Neuro-Endokrin


Sitokin IL-1 dan IL-6 dapat menstimulasi sekresi dari ACTH yang berasal
dari sel pituitari yang diisolasi secara in vitro. Pada pasien yang telah mejalani
pembedahan, sitokin dapat meningkatkan sekresi ACTH dan juga secara tidak
langsung meningkatkan pelepasan kortisol. Mekanisme umpan balik negatif juga
mengakibatkan glukokortikoid menghambat pelepasan dari produksi sitokin.
Respon kortisol terhadap pembedahan sudah cukup untuk menurunkan
konsentrasi IL-6. 20

Pembedahan Minimal Invasif


Pembedahan laparoskopi menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih
sedikit dibandingkan prosedur konvensional, sehingga peningkatan konsentrasi
dari penanda inflamasi biokimia seperti IL-6 dan protein fase akut, CRP tidaklah
21
tinggi. Respon stres klasik (katekolamin, kortisol, dan glukosa) dari
pembedahan abdomen seperti kolesistektomi, tidak berkurang banyak dengan
mengurangi trauma pembedahan. Hal ini menunjukkan bahwa stimulus dari
respon stres berasal juga dari serabut saraf aferen baik visceral maupun peritoneal,

14 | P a g e
sebagai tambahan selain dari dinding abdomen. Anestesi memiliki efek yang
minimal terhadap respon sitokin dalam pembedahan karena tidak dapat
mempengaruhi trauma jaringan. Meskipun anestesi regional menghambat respon
stres terhadap pembedahan, sitokin tidak mempengaruhi produksi sitokin.
Pemberian analgetik termasuk steroid dosis tinggi menunjukkan terjadi penurunan
dari konsentrasi IL-6 dan respon fase akut dikarenakan adanya interaksi antara
glukokortikoid dengan sitokin.41 Teknik ini juga disertai dengan efek samping
yang tidak diharapkan, termasuk kerusakan lebih lanjut dari luka.

Efek Anestesi Terhadap Respon Stres Pada Pembedahan


Anestesi Umum
1. Opioid
Telah diketahui selama bertahun-tahun opioid menghambat sekresi
dari hormon pada hipotalamus dan pituitari. McDonald dan rekannya
menunjukkan efek supresi dengan dosis terapi dari morfin pada aksis
33
hipotalamus-pituitari manusia. Morfin menekan pelepasan dari
kortikotrofin, dan selanjutnya pelepasan kortisol baik dalam keadaam
normal maupun sebagai respon stres, namun kelenjar adrenal juga
diketahui berespon terhadap ACTH eksogen yang diberikan. Efek inhibisi
dari morfin terjadi pada level hipotalamus.
Dalam pembedahan jantung, efek dari morfin dan opioid lainnya
dalam respon stres terhadap pembedahan telah didokumentasikan. Dosis
morfin yang besar (4mg/kg) menghambat sekresi dari faktor pertumbuhan
dan menghambat pelepasan kortisol hingga bypass kardiopulmonar
berlangsung (CPB). Fentanyl (50-100 μg/kg), sufentanil (20μg/jam) dan
alfentanil (1,4mg/kg) menghambat sekresi hormon pituitari hingga CPB.
Setelah CPB, perubahan fisiologis dari tubuh sangat drastis sehingga
respon hipotalamus dan pituitari tidak dapat dihambat sepenuhnya dengan
opioid. Opioid dosis tinggi dapat berujung pada depresi nafas setelah
pembedahan, sehingga pasien membutuhkan bantuan dari ventilator
setelah operasi berlangsung.

15 | P a g e
Pada pembedahan abdomen bagian bawah, fentanyl 50 μg/kg dapat
menghambat produksi hormon pertumbuhan,kortisol dan perubahan
glikemik yang terjadi pada pembedahan pelvis.18 Dalam penelitian ini,
opioid diberikan pada saat induksi anestesi. Ketika fentanyl 50μg/kg
diberikan 60 menit setelah mulainya pembedahan pelvis, tidak ditemukan
5
efek signifikan dari respon endokrin yang telah terbentuk. pemberian
fentanyl sebanyak 15 μg/kg cukup untuk menghambat respon kortisol dan
glukosa terhadap pembedahan abdomen bagian bawah. 26
Pada pembedahan abdomen bagian atas, opioid sistemik relatif
tidak efektif dalam mencegah respon stres terhadap pembedahan. Fentanyl
100 μg/kg menghentikan perubahan hormonal setelah kolesistektomi,
namun teknik ini berakibat depresi nafas yang membutuhkan bantuan
ventilator dalam periode post-operasi.

2. Etomidate dan benzodiazepin


Agen penginduksi anestesi etomidat merupakan imidazole yang
mengalami karboksilasi dan menghambat proses produksi dari steroid pada
korteks adrenal dengan cara inhibisi reversible dari enzim 11β-hidroksilase
dan enzim pemotong rantai samping kolesterol. Sintesis dari aldosteron
maupun kortisol kemudian dihambat. Dosis induksi tunggal dari obat ini
48
akan menghambat produksi dari hormon selama 6-12 jam, dan dengan
infuse selama 1-2 jam menghambat sintesis kortisol hingga 24 jam 37. Pada
pasien yang sehat, tidak ditemukan efek samping kardiovaskular seperti
pada saat infus dalam pembedahan pelvis, sehingga efek dari
penghambatan kortisol ini hanya berupa penurunan respon glikemik.35
Penggunaan etomidate dengan cara infus sebagai bagian dari sedasi
intravena pada pasien sakit kritis diketahui meningkatkan angka
mortalitas.27 Dengan demikian, obat ini tidak lagi direkomendasikan
sebagai sedasi jangka panjang. Suatu studi terbaru telah meneliti fungsi
adrenokortikal pada pasien sakit kritis setelah induksi anestesi dengan
etomidat maupun thiopental.3 Konsentrasi kortisol sebelum diinduksi

16 | P a g e
diukur dan juga dilakukan tes stimulasi singkat ACTH dalam 24 jam untuk
menilai fungsi dari kelenjar adrenal. Konsentrasi kortisol sebelum induksi
anestesi tinggi, dengan mengesampingkan penelitian lain tentang fungsi
adrenal pada pasien kritis. Pasien yang mendapatkan etomidat cenderung
memiliki respon kortisol yang lebih rendah terhadap stimulasi ACTH
dibandingkan dengan grup kontrol berupa thiopental. Meskipun penilaian
terhadap fungsi adrenokortikal pada pasien sakit kritis menggunakan
konsentrasi kortisol tunggal dan tes stimulasi ACTH merupakan
kontroversi yang hebat, penelitian ini mendukung bahwa etomidate
menganggu sintesis kortisol pada pasien ini.
Midazolam, merupakan salah satu jenis benzodiazepine yang
memiliki rantai imidazole sebagai tambahan pada struktur dasar
benzodiazepine, mempengaruhi respon kortisol baik pada pembedahan
9,14
abdomen perifer maupun atas. Midazolam dan diazepam keduanya
menghambat produksi kortisol dari sel adrenokortikal in vitro. Crozier dan
rekannya menunjukkan subjek yang menghasilkan kortisol sebagai respon
terhadap ACTH eksogen, yang kemudian mendukung tempat kerja dari
benzodiazepin yakni pada level hipotalamus-pituitari, dimana efek
penghambatan langsung dari produksi steroid tidak dapat disingkirkan.

3. Klonidin
Klonidin merupakan obat antihipertensi yang bekerja secara sentral
dengan mengaktifkan reseptor α2-adrenergik.1 Klonidin menjaga stabilitas
hemodinamik melalui aktivitas simpatolitik, dan juga menurunkan
kebutuhan obat-obat anestesi dan analgetik, serta menyebabkan sedasi.
Dengan menurunkan respon simpatoadrenal dan kardiovaskular yang
muncul akibat stimuli pembedahan nosiseptif, α2 agonis menghambat
respon stress yang dimediasi oleh sistem saraf simpatis.

17 | P a g e
Anestesi Regional
Analgesi epidural ekstensif dengan menggunakan agen anestesi lokal
dapat mencegah respon endokrin dan metabolik terhadap pembedahan pada
panggul dan ekstremitas bawah. Blok epidural berlangsung dari segmen
dermatom T4 hingga S5, yang dibuat sebelum mulainya pembedahan, dapat
mencegah peningkatan dari kortisol dan konsentrasi glukosa sebagai akibat dari
17
histerektomi. Baik input aferen dari lokasi operasi menuju pusat sistem saraf
dan aksis hipotalamus-pituitari dan juga neuron autonom eferen menuju ke hati
dan medulla adrenal telah diblok. Akibatnya respon adrenokortikal dan glikemik
terhadap pembedahan dihilangkan. Blokade neuronal yang kurang ekstensif
mungkin tidak dapat meniadakan sepenuhnya perubahan metabolik dan hormonal.
Pada pembedahan abdomen bagian atas dan thorax, tidak dimungkinkan
mencegah respon hormon pituitari secara lengkap, meskipun dengan blockade
anestesi epidural ekstensif. Dalam studi yang dilakukan Bromage dan rekannya,
blok epidural diatas dari dermatom C6 menghambat perubahan glikemik namun
tidak menghambat peningkatan konsentrasi kortisol sebagai respon dari
pembedahan abdomen atas dan thorax.7 Penelitian lain mendukung penemuan ini.
Banyak pendapat mencoba menjelaskan kegagalan untuk menghilangkan respon
stress pada penelitian ini. Beberapa pendapat ini berpusat pada tidak adekuatnya
atau tidak sempurnanya blok neuron simpatis dan aferen somatic yang kemudian
memungkinkan aktivasi dari pituitari dan selanjutnya melepaskan kortisol dari
korteks adrenal dibawah pengaruh ACTH, dilain pihak, blokade eferen dari saraf
yang menuju medulla adrenal dan hati menghambat respon glikemik. Percobaan
dilakukan untuk meningkatkan blok aferen diantaranya, blockade nervus vagus,
blok nervus splancnicus, ataupun lokal anestesi intraperitoneal terus menerus,
namun tidak ada teknik yang berhasil secara konsisten menghilangkan respon
stress terhadap pembedahan abdomen atas dan thorax.

Bedah Jantung
Anestesi epidural thoraks telah sukses digunakan dalam menangani pasien
yang menjalani pembedahan coronary artery bypass 28,46 Peneliti telah memeriksa

18 | P a g e
efek dari analgesi epidural thoraks dalam hubungan dengan sekresi neuroendokrin
dan juga variabel fisiologis. Dimungkinkan untuk mencegah perubahan pada
respon katekolamin saat CPB dan selama 24 jam setelah memulai pembedahan
jantung menggunakan analgesi epidural yang dikombinasikan dengan anestesi
umum.36 Hal ini tidak dapat dicapai hanya dengan menggunakan opioid saja.
Respon kortisol dalam CPB dapat juga dihilangkan dengan menggunakan analgesi
epidural thoraks, meskipun beberapa penelitian memberikan hasil yang berbeda-
beda.
Meskipun tidak ada hubungan langsung antara adanya respon hormon dan
metabolik serta hasil akhir post-operasi, penggunaan analgesi epidural thoraks
dalam pembedahan jantung dapat memperlihatkan keuntungan dalam
meningkatkan fungsi organ. Analgesi epidural thoraks menyediakan analgesi yang
dalam, menghindari penggunaan opioid sistemik dan meningkatkan fungsi paru
pasca-operasi.28 Selain itu, juga menurunkan insiden komplikasi trombotik dengan
menurunkan kecenderungan mengalami hiperkoagulabilitas pada periode pasca-
operasi.45
Protein kontraktil otot jantung, troponin T, merupakan biomarker yang
sangat spesifik terhadap kerusakan otot miokardium. Pengukuran konsentrasi
serum dari protein ini dapat digunakan untuk menilai ischemi miokardium.
Penelitian terakhir menunjukkan anestesi epidural thoraks dan anestesi umum
pada pembedahan jantung menjaga respon simpatis miokardium dan dikaitkan
juga dengan penurunan dari kerusakan miokardium yang ditentukan dengan
rendahnya pelepasan dari troponin T.30 Pada pasien, analgesi epidural thoraks
telah digunakan untuk mengobati angina refrakter. Efek simpatolitik dari blokade
aferen dan eferen simpatis dapat meningkatkan keseimbangan oksigen dan
konsumsinya. Penggunaan anestesi epidural thoraks pada pasien dengan penyakit
jantung telah dijadikan sebagai subjek penelitian terbaru.
Selain efek positif dari anestesi epidural thoraks, terdapat beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam blok saraf pada pasien yang telah diberikan
antikoagulan karena peningkatan resiko pembentukan hematoma. Panduan
prosedural dapat digunakan untuk meminimalisir resiko dan komplikasi

19 | P a g e
neurologis.3 Anestesi epidural thorax bukanlah tanpa adanya efek samping,
diantaranya kemungkinan blok epidural ini menyebar hingga ke cranial. Hal ini
mengakibatkan tangannya melemah dan apnea dapat terjadi jika diafragma terlibat
dan menghambat saraf C3-C5. Mencoba menggerakkan tangan digunakan untuk
mengetahui penyebaran ke kepala dari anestesi epidural thoraks.2

Respon Stres dan Hasil Pembedahan


Saat ini banyak penelitian berpusat dalam memodifikasi respon stres
dengan tetap memperhatikan efek menguntungkan dari hasil pembedahan.
Seberapa jauh respon tersebut dimodifikasi bergantung pada teknik analgetik yang
digunakan. Penghambatan respon stres terjadi paling baik menggunakan blockade
saraf dengan anestesi lokal. Dengan demikian, perhatian ditujukan pada efek dari
anestesi regional dan bahan analgetiknya, terkhusus blockade epidural dengan
agen anestesi lokal. Beberapa penelitian terpisah memperlihatkan penyediaan
analgetik dengan menggunakan blockade saraf berujung pada perbaikan variabel
fisiologis pada sistem organ spesifik. Intervensi tunggal seringkali tidak
memberikan keuntungan pada morbilitas dan mortalitas dikarenakan insiden dari
komplikasi serius setelah pembedahan pada umumnya rendah, dan pasien yang
diteliti jumlahnya masih kurang. Suatu meta-analisis telah dilakukan untuk
menunjukkan efek menguntungkan dari analgesi regional terhadap hasil dari
pembedahan.

Efek Menguntungkan dari Analgesi Regional


1. Komplikasi Tromboembolik
Telah diketahui secara meluas teknik analgetik regional
menurunkan insiden terjadinya komplikasi tromboemboli dalam
31
pembedahan pelvis dan ekstremitas bawah. Pada prosedur pembedahan
abdomen bagian atas, tidak terdapat keuntungan yang berarti dalam
insiden tromboemboli.

20 | P a g e
2. Fungsi Paru
Meskipun dapat diasumsikan bahwa analgesia yang baik dengan
teknik regional seharunya menurunkan komplikasi paru, peningkatan hasil
akhir dari paru-paru belum ditunjukkan secara tegas. Dalam suatu
penelitian, fungsi paru ditunjukkan meningkat, dan meta analisis
menunjukkan bahwa peberian anestesi lokal epidural secara terus-menerus
menurunkan insiden komplikasi paru, dimana teknik lain, termasuk
penggunaan opioid sistemik maupun epidural kurang efektif. 4
3. Komplikasi Jantung
Analgesia regional sangat efektif dalam menjaga respon
kardiovaskular terhadap pembedahan yang terjadi karena aktivasi simpatis.
Masih belum dapat dipastikan apakah teknik blokade neuron lebih
menguntungkan dalam hal tingkat morbiditas dan hasil akhir pembedahan
dibandingkan metode pereda nyeri lain. 22,31
4. Fungsi Gastrointestinal
Analgesia epidural secara terus menerus pada level thoraks
menurunkan kejadian ileus paralitik setelah prosedur abdomen.43
Penggunaan analgesia lokal, ataupun kombinasi lokal dan opioid lebih
efektif dibandingkan pemberian opioid sistemik maupun epidural dalam
mencegah ileus. Pencegahan ileus memungkinkan nutrisi enteral diberikan
sehingga dapata mengurangi resiko komplikasi infeksi. 22
Selain bukti bahwa analgesi regional memiliki efek yang
memnguntungkan pada fungsi organ, perbaikan dari morbiditas pasca-
operasi dan waktu perawatan dirumah sakit belum ditunjukkan secara jelas.
Hal ini sedikit mengecewakan dalam padangan adanya pelayanan nyeri
akut yang meluas dan membutuhkan waktu dan sumber daya. Analgesia
yang terkontrol pada pasien telah umum dikenal dan diterima banyak
pasien namun memiliki efek yang minimal untuk hasil akhir operasi.

21 | P a g e
Pemulihan Setelah Pembedahan
Banyak faktor selain regimen analgesik mempengaruhi pemulihan dari
pembedahan mayor dan kemampuan pasien untuk kembali ke rumah dan bekerja.
8
Teknik pembedahan memiliki peran yang penting; prosedur laparoskopi
dikaitkan dengan penyembuhan yang cepat dan kepulangan dari rumah sakit yang
lebih awal. Faktor lain yang juga penting, adalah harapan dari pasien dan juga
perawat dan staf medis. Kebiasaan dan perubahan subjektif sebagai bagian dari
respon terhadap pembedahan. Perasaan malaise dan kelelahan pasca-operasi
memiliki pengaruh yang kuat dalam penyembuhan dari pembedahan dan kembali
beraktivitas. Salmon dan Hall membuat suatu teori kelelahan pasca-operasi yang
40
mencerminkan mekanisme psikologis dan kultural serta perubahan fisiologis.
Kelelahan pasca-operasi merupakan masalah kompleks dan multifaktorial. Dan
dapat dikurangi dengan beberapa cara termasuk dengan pembedahan minimal
invasif dan menghindari gangguan tidur. Pendekatan intesif mungkin sangat
menghabiskan sumber daya personal namun memberikan hasil pemulangan yang
lebih cepat dari rumah sakit.22
Kehlet menyarankan suatu pendekatan multimodal yang mempercepat
penyembuhan pasca-operasi.21 Sebagai tambahan dari penghilang rasa sakit yang
memungkinkan fungsi normal, elemen lain pada pasien harus diperhatikan.
Penggunaan dari prosedur yang minimal invasif, termasuk prosedur dengan
bantuan laparoskopi, dapat menurunkan efek kerusakan jaringan. Mual dan
muntah pasca-operasi dan ileus paralitik harus dihindari dan pemberian makanan
enteral dan oral diberikan. Mobilisasi dini harus diyakinkan pada pasien dan
dilengkapi dengan analgesia yang baik serta penghindaran pipa dan juga drainase.
Pengembalian ke fungsi normal harus diyakinkan.

Kesimpulan
Respon stres terhadap pembedahan meliputi berbagai perubahan hormonal
yang dipicu oleh aktivasi neuronal dari aksis hipotalamus-pituitari-adrenal. Efek
metabolik secara keseluruhan adalah katabolisme dari cadangan energi tubuh.
Secara umum, besarnya dan lamanya respon sebanding dengan kerusakan akibat

22 | P a g e
pembedahan dan munculnya komplikasi seperti sepsis. Perubahan lain yang
terjadi setelah pembedahan, berupa peningkatan produksi sitokin yang dipicu oleh
kerusakan dari jaringan.
Anestesi regional dengan agen anestesi lokal menghambat respon stres
terhadap pembedahan dan juga dapat mempengaruhi hasil akhir pasca-operasi
dengan efek menguntungkan bagi fungsi organ.

23 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
1 Aantaa R, Scheinin M. Alpha2‐adrenergic agents in anaesthesia. Acta
Anaesthesiol Scand 1993; 37: 1–16
2 Abd Elrazek E, Scott NB, Vohra A. An epidural scoring scale for arm
movements [ESSAM] in patients receiving high thoracic epidural analgesia
for coronary artery bypass grafting. Anaesthesia 1999; 54: 1097–109
3 Absolom A, Pledger D, Kong A. Adrenocortical function in critically ill
patients 24 h after a single dose of etomidate. Anaesthesia 1999; 54: 861–7
4 Ballantyne JC, Carr DB, deFerranti S. The comparative effects of
postoperative analgesic therapies on pulmonary outcome: cumulative
meta‐analyses of randomized, controlled trials. Anesth Analg 1998; 86:
598–612
5 Bent JM, Paterson JL, Mashiter K, Hall GM. Effects of high‐dose fentanyl
anaesthesia on the established metabolic and endocrine response to surgery.
Anaesthesia 1978; 39: 19–23
6 Blackwell TS, Christman JW. Sepsis and cytokines: current status. Br J
Anaesth 1996; 77: 110–17
7 Bromage PR, Shibata HR, Willoughby HW. Influence of prolonged
epidural blockade on blood sugar and cortisol responses to operations upon
the upper part of the abdomen and thorax. Surg Gynaecol Obstetr 1971; 21:
330–35
8 Chumbley GM, Hall GM. Recovery after major surgery: does the
anaesthetic make any difference? Br J Anaesth 1997; 78: 347–8
9 Crozier TA, Beck D, Schlager M, Wuttke W, Kettler D. Endocrinological
changes following etomidate, midazolam or methohexital for minor surgery.
Anesthesiology 1987; 66: 628–35
10 Cuthbertson DP. Observations on the disturbance of metabolism produced
by injury to the limbs. Q J Med 1932; 1: 233–46
11 Desborough JP. Physiological responses to surgery and trauma. In:
Hemmings HC Jr, Hopkins PM, eds. Foundations of Anaesthesia. London:
Mosby, 1999: 713–20
12 Desborough JP, Hall GM. Modification of the hormonal and metabolic
response to surgery by narcotics and general anaesthesia. Clin
Anaesthesiol 1989; 3: 317–34
13 Desborough JP, Hall GM. Endocrine response to surgery. In: Kaufman L.
Anaesthesia Review, Vol. 10. Edinburgh: Churchill Livingstone, 1993;
131–48
14 Desborough JP, Hall GM, Hart GR, Burrin JM. Midazolam modifies
pancreatic and anterior pituitary hormone secretion after upper abdominal
surgery. Br J Anaesth 1991; 67: 390–96
15 Edwards R. Thyroid and parathyroid disease. Int Anesthesiol Clin 1997; 35:
63–83
16 Egdahl RH. Pituitary–adrenal response following trauma to the isolated leg.
Surgery 1959; 6: 9–21

24 | P a g e
17 Enquist A, Brandt MR, Fernandes A, Kehlet H. The blocking effect of
epidural analgesia on the adrenocortcial and hyperglycaemic responses to
surgery. Acta Anaesthesiol Scand 1977; 21: 330–35
18 Hall GM, Young C, Holdcroft A, Alaghband‐Zadeh J. Substrate
mobilisation during surgery. A comparison with halothane anaesthesia.
Anaesthesia 1978; 33: 924–30
19 Helmy SAK, Wahby MAM, El‐Nawaway M. The effect of anaesthesia and
surgery on plasma cytokine production. Anaesthesia 1999; 54: 733–8
20 Jameson P, Desborough JP, Bryant AE, Hall GM. The effect of cortisol
suppression on the interleukin‐6 and white cell responses to surgery. Acta
Anaesthesiol Scand 1997; 40: 123–6
21 Kehlet H. Multimodal approach to control postoperative pathophysiology
and rehabilitation. Br J Anaesth 1997; 78: 606–17
22 Kehlet H. Acute pain control and accelerated postoperative surgical
recovery. Surg Clin N Am 1999; 79: 431–43
23 Kehlet H, Mogensen T. Hospital stay of 2 days after open sigmoidectomy
with a multimodal rehabilitation programme. Br J Surg 1999; 86: 227–30
24 Klingstedt C, Giesecke K, Hamberger B, Janberg P‐O. High‐ and low‐dose
fentanyl anaesthesia, circulatory and catecholamine responses during
cholecystectomy. Br J Anaesth 1987; 59: 184–8
25 Lacoumenta S, Paterson JL, Myers MA, Hall GM. Effects of cortisol
suppression by etomidate on changes in circulating metabolites associated
with pelvic surgery. Acta Anaesthesiol Scand 1986; 30: 101–4
26 Lacoumenta S, Yeo TH, Burrin JM, Bloom SR, Paterson JL, Hall GM.
Fentanyl and the β‐endorphin, ACTH and glycoregulatory hormonal
responses to surgery. Br J Anaesth 1987; 59: 713–20
27 Ledingham IMA, Watt I. Influence of sedation on mortality in critically ill
patients. Lancet 1983; i: 1270
28 Liem TH, Hasenbos MAWM, Booij LHDJ, Gielen MJM. Coronary artery
bypass grafting using two different anaesthetic effects: Part 2:
Postoperative outcome. J Cardithorac Vasc Anesth 1992; 6: 156–61
29 Little RA, Girolami A. Trauma metabolism—ebb and flow revisited. Br J
Intensive Care 1999; 9: 142–6
30 Loick HM, Schmidt C, van Aken H et al. High thoracic epidural anesthesia,
but not clonidine, attenuates the perioperative stress response via
sympatholysis and reduces the release of troponin T in patients undergoing
coronary artery bypass grafting. Anesth Analg 1999; 88: 701–9
31 Lui S, Carpenter RL, Neal JM. Epidural anesthesia and analgesia. Their
role in postoperative outcome. Anesthesiology 1995; 82: 1474–506
32 Lyons FM and Meeran K. The physiology of the endocrine system. Int
Anesthesiol Clin 1997; 35: 1–21
33 McDonald RK, Evans FT, Weise VK et al. Effect of morphine and
nalorphine on plasma hydrocortisone levels in man. J Pharmacol Exp Ther
1959; 125: 241–7
34 Masterson GR, Mostafa SM. Adrenocortical function in critical illness. Br J
Anaesth 1998; 81: 308–10

25 | P a g e
35 Meissner A, Rolf N, Van Aken H. Thoracic epidural anesthesia and the
patient with heart disease: benefits, risks and controversies. Anesth Analg
1997; 85: 598–612
36 Moore CM, Cross MH, Desborough JP, Burrin JM, Macdonald IA, Hall
GM. Hormonal effects of thoracic extradural analgesia for cardiac surgery.
Br J Anaesth 1995; 75: 387–93
37 Moore RA, Allen MC, Wood PJ, Rees LH, Sear JW, Feldman D.
Peroperative endocrine effects of etomidate. Anaesthesia 1985; 40: 124–30
38 Nicholson G, Hall GM, Burrin JM. Peri‐operative steroid supplementation.
Anaesthesia 1998; 53: 1091–4
39 Rolf N, Mollhoff T. Epidural anaesthesia for patients undergoing coronary
artery bypass grafting. Curr Opin Anesthesiol 1997: 10: 17–20
40 Salmon P, Hall GM. A theory of postoperative fatigue. J R Soc Med 1997;
90: 661–4
41 Schulze S, Sommer P, Bigler D et al. Effect of combined prednisolone,
epidural analgesia, and indomethacin on the systemic response to surgery.
Arch Surg 1992; 127: 325–31
42 Sheeran P, Hall GM. Cytokines in anaesthesia. Br J Anaesth 1997; 78: 201–
19
43 Steinbrook RA. Epidural anesthesia and gastrointestinal motility. Anesth
Analg 1998; 86: 837–44
44 Tepaske R. Immunonutrition. Curr Opin Anaesthesiol 1997; 10: 86–91
45 Tuman KJ, McCarthy RJ, March R. Effects of epidural anesthesia and
analgesia on coagulation and outcome after major vascular surgery. Anesth
Analg 1991; 73: 696–704
46 Turfrey D, Ray D, Sutcliffe NP, Ramayya P, Kenny GNC, Scott NB.
Thoracic epidural anaesthesia for coronary artery bypass grafting. Effects
on postoperative complications. Anaesthesia 1997; 52: 1090–13
47 UKPDS group. Effect of intensive blood‐glucose control with
sulphonylureas or insulin compared with conventional treatment and risks
of complications in patients with type 2 diabetes. Lancet 1998; 352: 837–53
48 Wagner RL, White PF. Etomidate inhibits adrenocortical function in
surgical patients. Anesthesiology 1984; 61: 647–51
49 Wallace LK, Starr NJ, Leventhal MJ, Estafanous FG. Hyperglycaemia on
ICU admission after CABG is associated with increased risk of mediastinitis
or wound infection. Anesthesiology 1996; 85 (Suppl): A286
50 Wang C, Chan V, Yeung RT. Effects of surgical stress on pituitary
testicular function. Clin Endocrinol 1978; 9: 255–66
51 Woolf PD, Hamill RW, McDonald JV et al. Transient hypogonadotrophic
hypogonadism caused by ctitical illness. J Clin Endocrinol Metab 1985; 60:
444–450

26 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai