ANTIDEPRESSAN
Mengingat luasnya gangguan dimana obat antidepressant dapat efektif untuknya,
istilah antidepressant telah menjadi tidak sesuai (tabel 19-1). Efektivitas spectrum
2
luas dari antidepressant tidaklah termasuk patofisiologi yang umum, namun lebih
menggambarkan bermacam peran dari neurotransmitter monoamine pada sisitem
nervus manusia.
Antidepressant secara logis diklasifikasikan berdasarkan struktur kimianya dan efek
neurofarmakologis akutnya (tabel 19-2). Mekanisme tepat dari kerja antidepressant
tidak diketahui, namun tampaknya obat ini bekerja dengan mengubah neurotransmisi
noradrenergic dan/atau neurotransmisi serotoninergik (lihat tabel 19-2). Hal ini
memberi kesan bahwa antidepressant bekerja dengan meningkatkan jumlah
norepinefrin dan serotonin pada sinaps. Namun demikian, observasi yang paling
penting yang tidak dijelaskan oleh hipotesis ini adalah bagian waktudari peningkatan
klinis. Blockade reuptake neurobiologist atau inhibisi monoamine oksidase (MAO)
(perlu untuk memecah norepinefrin bebas dan serotonin) terjadi secara cepat setelah
pemberian terapi antidepressant, namun peningkatan klinis secara khas tidak terjadi
selama 2 sampai 4 minggu. Mungkin perubahan adaptif termasuk down-regulasi dari
reseptor neurotransmitter dibutuhkan sebelum tampak bukti dari peningkatan klinis.
terhadap satu macam obat atau gagal untuk mentoleransi satu obat mungkin dapat
berespon baik dengan SSRIs lain. Standar praktik menyuruk untuk mencoba berbagai
SSRIs sebelum berganti ke golongan obat yang lain.
Ada banyak bukti bahwa reseptor serotonin terlibat dalam etiologi dari anxietas.
Inhibisi yang kuat pada reuptake serotonin tamoaknya dibutuhkan untuk pengobatan
gangguan obsesif kompulsif yang efektif. Jika dibandingkan dengan antidepressant
tryciclic, SSRIs yang memiliki sifat antikolinergik yang lebih kecil, tidak
menyebabkan hipotensi postural ataupun penundaan konduksi impuls jantung, dan
juga tidak tampak berefek besar terhadap ambang kejang. Mungkin keuntungan yang
paling penting dari SSRIs disbanding dengan antidepressant tryciclic adalah
keamanannya ketika diminum melebihi dosis (Buckley dan McManus, 2002).
Pengecualian mungkin ada pada venlafaxine yang serupa dengan antidepressant
berkenaan dengan risiko-terkait overdosis dan efek samping prokonvulsan dan efek
samping jantungnya (Whyte, 2003). Efek samping yang umum dari SSRIs antara lain
insomnia, agitasi, sakit kepala, mual dan diare. Penyebab utama kegagalan terapi
dengan SSRIs adalah disfungsi seksual yang diinduksi obat ini (ejakulasi lambat,
anorgasmia, libido menurun) (Hirschfeld, 1999).
Penghentian tiba-tiba SSRIs dengan waktu paruh eliminasi yang pendek (paroxetine,
venlafaxine) dapat dikaitkan dengan kepeningan, parestesi, myalgia, iritabilitas,
insomnia, dan gangguan visual. Pengurangan bertahap SSRIs sebelum penghentian
sangat dianjurkan khususnya untuk obat-obat dengan waktu paruh eliminasi yang
pendek (Coupland dkk., 1996).
Pada bulan September 2004, Food and Drug Administration merekomendasikan suatu
peringatan “kotak hitam” untuk obat antidepressan baru, utamnya SSRIs (Newman,
2004). Peringatan ini didasarkan pada bukti bahwa kecenderungan untuk bunuh diri
pada anak-anak dan dewasa lebih meningkat pada mereka yang diterapi dengan
SSRIs. Namun demikian, risiko tersebut sangat kecil dan banyak pasien mendapatkan
manfaat dari terapi dengan SSRIs yang menekankan perlunya terapi ini.
4
TABEL 19-1.
PENGGUNAAN KLINIS OBAT-OBAT ANTIDEPRESSAN
depresi unipoler dan bipolar
gangguan panic
fobia sosial
sindroma stress pasca trauma
nyeri neuropatik
profilaksis migraine
gangguan obsesif-kompulsif
bulimia
gangguan hiperaktivitas deficit atensi (ADHD) anak-anak
TABEL 19-2.
PERBANDINGAN FARMAKOLOGIS OBAT-OBAT ANTIDEPRESSAN
potensi sedative potensi hipotensi ortostatik
antikolinergik
selective serotonin
reuptake inhibitor
fluoxetin + + +
sertraline + + +
fluvoxamine + + +
citalopram + + +
escitalopram + + +
bupropion + + +
venlafaxine + + dapat menyebabkan hipertensi pada
beberapa individu
5
Fluoxetin
6
Fluoxetin adalah SSRIs yang pertama diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun
1988 (Cram, 1994). Obat ini umumnya diberikan sekali per hari pada pagi hari untuk
menurunkan risiko insomnia. Karena fluoxetin memiliki waktu paruh eliminasi yang
memanjang (1 sampai 3 hari untuk pemberian akut dan 4 sampai 6 hari untuk
pemberian kronis), obat ini dapat diminum tiap hari. Metabolit aktifnya,
norfluoxetine, memiliki waktu paruh eliminasi selama 4 sampai 16 hari. Efek
terapetik yang dihasilkan oleh fluoxetine biasanya terjadi dalam 2 sampai 4 minggu.
Karena waktu paruh eliminasi obat ini yang panjang, peningkatan dosis sering
dibatasi sampai tidak lebih dari sekali tiap 4 minggu.
Efek Samping
Efek samping utama dari fluoxetine adalah mual, anorexia, insomnia, disfungsi
sexual, agitasi, dan kegelisahan neuromuskuler yang menyerupai akathisia.
Penekanan nafsu makan yang dikaitkan dengan terapi fluoxetine dapat membantu
pasien mengurangi berat badan (Glodstein dkk., 1994). Seperti antdepressan tricyclic,
fluoxetin dapat menjadi analgesic yang efektif untuk pengobatan nyeri kronis yang
mungkin berhubungan dengan arthritis rheumatoid (Rani dkk., 1996). Fluoxetine
tidak menyebabkan hipotensi dan perubahan pada konduksi impuls jantung
tampaknya jarang terjadi. Bradikardia yang mengakibatkan sinkop telah dilaporkan
kadang terjadi pada pasien usia lanjut (Gram, 1994). Karena waktu paruh
eliminasinya yang panjang, fluoxetine harus dihentikan 5 minggu sebelum permulaan
terapi dengan MAO inhibitor. Waktu paruh eliminasi fluoxetine yang lama
tampaknya mencegah gejala withdrawal yang diinduksi oleh penghentian mendadak
obat ini. Overdosis obat ini sendiri tanpa obat lain tidak dihubungkan dengan risiko
kardiovaskuler dan toksisitas SSP.
Interaksi Obat
7
Diantara SSRIs, fluoxetine adalah inhibitor enzim sitokrom P-450 yang paling poten.
Akibatnya, obat ini dapat meningkatkan konsentrasi plasma obat-obat yang
klirensnya bergantung pada metabolisme hepar. Sebagai contoh, penambahan
fluoxetine pada pengobatan antidepressant tricyclic dapat mengakibatkan peningkatan
konsentrasi plasma obat tricyclic sampai dua – lima kali lipat. Obat neuroleptik dapat
menginhibisi metabolisme fluoxetine atau vice versa. Berbagai obat antidisritmia
jantung dan juga beberapa antagonis beta-adrenergik dapat dimetabolismeoleh system
enzim yang sama yang diinhibisi oleh fluoxetine, yang menghasilkan potensiasi dari
efek pbat-obat ini. MAO inhibitor yang dikombinasikan dengan fluoxetine dapat
menyebabkan perkembangan sindroma serotonin yang ditandai dengan anxietas,
kegelisahan, menggigil, ataxia dan insomnia (Gram, 1994). Kombinasi fluoxetine dan
lithium atau carbamazepine juga dapat memprovokasi syndrome yang dapat berakibat
fatal ini.
Sertraline
Sertraline adalah SSRIs kedua yang diperkenalkan di Amerika Serikat dan memiliki
spectrum keampuhan yang sama dengan fluoxetine. Obat ini memiliki waktu paruh
eliminasi yang lebih pendek (25 jam) dan merupakan inhibitor enzim mikrosomal
hepar yang kurang poten dibanding fluoxetine. Metabolit aktif yang potensial
memiliki waktu paruh eliminasi selama 60 sampai 70 jam.
Dibandingkan fluoxetine, sertraline dapat menyebabkan gejala gastrointestinal yang
lebih banyak (mual, diare) namun mungkin lebih tidak menyebabkan insomnia dan
agitasi. Periode penghentian yang direkomendasikan sebelum pemulaian MAO
inhibitor adalah 14 hari.
Paroxetine
Paroxetine adalah SSRIs ketiga yang diperkenalkan di Amerika Serikat dan memiliki
keampuhan yang sama dengan fluoxetine. Obat ini memiliki waktu paruh eliminasi
yang relative pendek (24 jam), dan tidak memiliki metabolit aktif. Efek sampingnya
8
menyerupai dengan SSRIs yang lain dengan pengecualian efek sedasinya yang lebih
sering terjadi. Kadar paroxetine dalam air susu lebih tinggi daripada kadarnya pada
pasien yang menerima fluoxetine atau sertraline. Paroxetine menghasilkan inhibisi
yang lebih rendah pada enzim sitoplasmik P-450 hepar daripada fluoxetine.
Peningkatan efek antikoagulasi warfarin mencerminkan adanya kompetisi pada
tempat ikatan protein. Periode washout yang direkomendasikan sebelum memulai
terapi MAO inhibitor adalah 14 hari.
Fluvoxamine
Fluvoxamine adalah obat yang efektif untuk manajemen gangguan obsesif-kompulsif.
Disamping itu, obat ini mungkin juga memiliki spectrum kemanjuran terapetik yang
sama dengan obat-obat golongan SSRIs yang lain. Efek samping yang paling sering
karena obat ini adalah mual, muntah (kemungkinan frekuensinya lebih banyak
disbanding golongan SSRIs yang lain), sakit kepala, sedasi, insomnia, dan disfungsi
sexual. Walaupun obat ini memiliki efe inhibisi yang lebih lemah terhadap enzim
sitoplamik hepar P-450 daripada SSRIs lain, fluvoxamine tetap masih dapat
menyebabkan interaksi obat yang bernilai signifikan secara klinis.
Bupropion
Buproprion, yang secara struktur berhubungan dengan amfetamin, adalah obat yang
efektif untuk mengobati depresi mayor, yang menghasilkan perbaikan dalam 2
sampai 4 minggu. Disamping itu, bupropion juga efektif untuk penghentian merokok.
Mekanisme kerja bupropion masih belum jelas namun mungkin meliputi reuptake
dopamine dan norepinefrin. Obat ini tidak menginhibisi MAO. Bupropion berkaitan
dengan insidensi kejang yang lebih besar (kira-kira 0.4%) dibandingkan obat
antidepressant lain (Johnston dkk., 1991). Beberapa pasien mengalami efek seperti
stimulasi pada awal terapi. Seperti halnya SSRIs lain, bupropion tidak memiliki efek
antikolinergik, tidak menyebabkan hipotensi postural dan kurang berefek secara
signifikan pada konduksi impuls jantung. Tidak seperti SSRIs, bupropion tidak
9
Venlafaxine
Venlafaxine dipercaya memiliki profil kemanjuran yang sama dengan obat
antidepressant tricyclic namun memiliki profil efek samping yang lebih bagus.
Seperti halnya antidepressant tricyclic, obat ini menginhibisi reuptake norepinefrin
dan serotonin dan dapat meningkatkan potensi kerja dopamine pada system saraf
pusat (SSP). Tidak seperti antidepressan tricyclic, venlafaxine tidak menghasilkan
efek antikolinergik maupun hipotensi postural. Efek sampingnya meliputi insomnia,
sedasi dan mual. Pada dosis yang tinggi, terjadi peningkatan tekanan darah diastole
yang meskipun ringan namun persisten pada 5% sampai 7% pasien. Venlafaxine
dimetabolisme oleh enzim sitokrom P-450 hepar dan juga bekerja sebagai inhibitor
lemah dari enzim ini. Waktu paruh eliminasinya 5 jam dan menjadi metabolit aktif
selama 11 jam. Venlafaxine tidak boleh dikombinasikan dengan inhibitor MAO dan
periode washout yang direkomendasikan adalah selama 14 hari.
Trazodone
Trazodone menginhibisi reuptake serotonin dan juga dapat bekerja sebagai agonis
serotonin melalui metabolit aktifnya. Walaupun obat ini efektif untuk manajemen
depresi, kemanjuran terbaiknya mungkin adalah untuk mengatasi insomnia yang
diinduksi oleh SSRIs atau bupropion. Efek samping utama dari trazodone meliputi
sedasi, hipotensi ortostatik, mual dan muntah. Priapismus dapat terjadi pada laki-laki.
Obat ini kurang berfek pada konduksi impuls jantung namun kadang-kadang
dihubungkan dengan timbulnya disritmia kordis. Waktu paruh eliminasi dari obat ini
singkat (3 sampai 9 jam), dan toksisitasnya yang berkaitan dengan overdosis masih
lebih rendah jika dibandingkan dengan overdosis yang menyertai antidepressant
10
Nefazodone
Nefazodone secara kimia berhubungan dengan trazodone namun dengan sifat
pengeblok alfa-adrenergik yang lebih kecil. Seperti halnya trazodone, obat ini
menginhibisi reuptake serotonin dan norepinefrin. Risiko sedasi dan priapismus
mungkin lebih kecil dibandingkan pada pasien yang diterapi dengan trazodone. Efek
samping utamanya adalah, mual, mulut kering, dan sedasi. Hipotensi ortostatik dapat
pula terjadi. Inhibisi sitokrom P-450 yang diinduksi nefazodone
Menyebabkan peningkatan konsentrasi plasma dari benzodiazepine, antihistamin,
dan penggunaan protease inhibitor pada pengobatan infeksi HIV. Kombinasi terapi
dengan inhibitor MAO tidak direkomendasikan.
antidepresan tricyclic dan tetracyclic lebih dianjurkan selama periode 4 minggu untuk
menghindari risiko withdrawal syndrome (menggigil, pilek, nyeri otot). Gejala-gejala
ini telah dihubungkan dengan supersensitivitas terhadap system saraf kolinergik.
Mekanisme Kerja
antidepressan tricyclic bekerja pada berbagai transporter dan berbagai reseptor,
namun efek antidepressannya tampaknya dihasilkan oleh pengeblokan reuptake
(uptake) serotonin dan/atau noerpinefrin pada ujung sinaps, yang karenanya akan
meningkatkan availabilitas neurotransmitter ini. Obat ini dapat dikategorikan ke
dalam amine tersier, yang menginhibisi baik reuptake serotonin maupun norepinefrin
(amytriptiline, imipramine, clomipramine) dan amine sekunder, yang utamanya
menghambat reuptake norepinefrin (desipramine, nortryptiline). Walaupun efek ini
beronset cepat, perkembangan efek antidepressant terapetik entah mengapa tertunda
selama 2 sampai 3 minggu. Karena alasan ini, ada keraguan apakah efek
antidepressant tersebut adalah benar-benar karena akumulasi amine biogenic di otak
atau bukan. Terlebih lagi, beberapa obat tanpa efek uptake pada amine biogenic
ternyata juga efektif sebagai antidepressan. Tampaknya potensiasi dari
neurotransmitter monoaminergik di otak hanyalah sebuah peristiwa awal dalam suatu
kompleks peristiwa kaskade yang akhirnya menghasilkan efek antidepressant.
13
Bahkan, pemberian kronis obat ini dihubungkan dengan (a) penurunan sensitivitas
reseptor beta1 dan serotonin2 post-sinaps dan reseptor alfa1 pra-sinaps, dan (b)
peningkatan sensitivitas reseptor alfa1 post-sinaps.
Farmakokinertik
antidepressan tricyclic terabsorbsi secara efisien dari traktus gastrointestinal setelah
pemberian per oral yang menggambarkan kelaarutannya yang tinggi dalam lemak.
Konsentrasi plasma puncak tercapai dalam waktu 2 sampai 8 jam setelah pemberian
per oral. Konsentrasi terapetik plasma (obat induk dengan metabolit demetilasi yang
aktif secara farmakologis) sebesar 100 sampai 300 ng/mL, sedangkan toksisitasnya
berkisar pada kadar > 500 ng/mL. antidepressan tricyclic secara kuat terikat pada
plasma dan protein jaringan yang jika dikombinasikan dengan kelarutannya yang
tinggi dalam lemak akan menghasilkan volume distribusi yang besar (mencapai 50
liter/kg) untuk obat ini. Waktu paruh eliminasi yang panjang (17 sampai 30 jam) dan
konsentrasi terapetik plasma yang lebar membuat interval dosis satu kali per hari
sudah efektif.
Mekanisme
antidepressan tricyclic dikoksidasi oleh enzim mikrosomal hepar dengan konjugasi
setelahnya dengan asam glukuronat. Variasi individual dalam kecepatan metabolisme
antar pasien berkisar antara 10 sampai 30 kali. Metabolisme lebih lambat pada pasien
usia lanjut. Eliminasi antidepressan tricyclic berlangsung selama beberapa hari
dengan ekskresi membutuhkan waktu 1 minggu atau lebih lama lagi.
Imipramine dimetabolisme menjadi senyawa aktif desiramine. Kedua senyawa aktif
ini diinaktivasi dengan oksidasi oleh metabolit hydroxyl dan oleh konjugasi dengan
asam glukuronat. Nortryptiline yang merupakan metabolit ter-demetilasi yang aktif
secara farmakologis dari imipramine dan amytriptiline dapat terakumulasi sampai
level yang melebihi prekursornya. Doxepin juga akan dikonversi menjadi metabolit
aktif nordoxepin oleh demetilasi.
14
Efek Samping
Efek samping antidepressant tricyclic sering terjadi, paling sering bermanifestasi
sebagai (a) efek antikolinergik, (b) efek kardiovaskuler dan (c) efek SSP (lihat tabel
19-2). Variasi individual yag menyolok pada insidensi dan tipe efek samping
mungkin terkait dengan konsentrasi plasma antidepressant tricyclic dan metabolit
aktifnya.
Efek Antikolinergik
Efek antikolinergik dari antidepressant tricyclic sangat jelas khususnya pada dosis
yang tinggi. Amytriptiline menyebabkan insidensi efek antikolinergik terbesar (mulut
kering, pandangan kabur, takikardi, retensi urin, perlambatan poengosongan lambung,
ileus), sedangkan desipramine menghasilkan efek serupa yang lebih ringan (lihat
tabel 19-2). Delirium antikolinergik dapat timbul pada pasien usia lanjut bahkan pada
dosis terapetik obat ini. Toksisitas antikolinergik yang serius mungkin
menggambarkan akibat dari polifarmasi dengan lebih dari satu obat antikolinergik
( preparat over-the counter untuk mengobati diare atau insomnia). Pasien usia lanjut
memiliki sensitivitas yang lebih besar terhadap efek antikolinergik dan reseptor lain
jika dibandingkan dengan pasien yang lebih muda yang diterapi dengan
antidepressant tricyclic.
Efek Kardiovaskuler
Hipotensi ortostatik dan peningkatan ringan pada heart rate adalah efek samping
kardiovaskuler yang paling sering timbul dari antidepressant tricyclic, kemungkinan
menggambarkan inhibisi reuptake norepinefrin yang diinduksi-obat ke dalam ujung
saraf presinaps. Hipotensi ortostatik dapat menjadi sangat berbahaya pada pasien usia
lanjut, yang berada pada risiko yang tinggi untuk terjadinya fraktur jika mereka
terjatuh. Risiko hipotensi selama anestesi umum pada pasien yang diterapi dengan
antidepressant tricyclic cukup rendah namun pernah dilaporkan terjadi (Malan dkk.,
15
kejang atau bagi pasien yang menerima obat-obatan yang dapat menyebabkan kejang.
Anak-anak tampaknya lebih rentan mengalami efek penginduksi-kejang dari
antidepressant tricyclic ini. Pengobatan dengan antidepressant tricyclic dapat
meningkatkan efek stimulasi SSP dari enflurane. Kelemahan dan kelelahan adalah
tanda dari efek SSP dan dapat menggambarkan kondisi yang terlihat pada pasien
yang diterapi dengan phenotiazine. Reaksi ekstrapiramidal jarang terjadi, walaupun
tremor halus timbul pada kira-kira 10% dari pasien, khususnya pasien usia lanjut.
Karena toksisitasnya terhadap jantung, kecenderungannya untuk menyebabkan
kejang, dan sifat depresinya pada SSP, antidepressan tricyclic dapat berakibat fatal
jika diminum melebihi dosis. Kombinasi antidepressan tricyclic dan inhibitor MAO
dapat menyebabkan toksisitas pada SSP yang bermanifestasi sebagai hipertermia,
kejang dan koma.
Interaksi Obat
Efek antikolinergik dan sifat pengeblokan uptake katekolamin dari antidepressant
tricyclic adalah yang paling bertanggung jawab atas interaksi obat ini. Interaksi obat
yang jelas antara lain dengan (a) simpatomimetik, (b) anestesi inhalasi, (c)
antikolinergik, (d) antihiopertensif dan (e) opioid. Ikatan antidepressant tricyclic
dengan albumin plasma dapat diturunkan dengan kompetisi dari obat lain antara lain
phenytoin, aspirin, dan scopolamine.
Simpatomimetik
Respon tekanan darah sistemik terhadap pemberian simpatomimetik pada pasien yang
diterapi dengan antidepressant tricyclic sangat kompleks dan tidak dapat terprediksi.
Bahkan ditambahkannya epinefrin ke dalam larutan anestesi yang digunakan untuk
menghasilkan anestesi epidural dan anestesi spinal telah dipertanyakan kembali
(Boakes dkk., 1973). Diperkirakan bahwa simpatomimetik bekerja secara tidak
langsung untuk menghasilkan respons tekanan yang berlebihan berkenaan dengan
17
Antikolinergik
18
Karena efek samping antikolinergik dari obat ini dapat bersifat aditif, penggunaan
obat antikolinergik yang aktif secara sentral untuk medikasi praoperasi pada pasien
yang diterapi dengan antidepressant tricyclic dapat meningkatkan kecenderungan
delirium postoperative dan kebingungan (sindroma antikolinergik sentral) (lihat bab
10). Glycopyrolate secara teori lebih jarang menimbulkan interaksi obat tipe ini pada
pasien yang diterapi dengan antidepressant tricyclic.
Antihipertensif
Rebound hipertensi setelah penghentian mendadak dari clonidine dapat ditonjolkan
dan diperpanjang oleh terapi antidepressant tricyclic yang menyertainya (Stiff dan
Harris, 1983). Secara masuk akal, peningkatan konsentrasi plasma katekolamin dapat
berlangsung selama periode yang panjang dengan adanya antidepressant tricyclic
yang menghambat uptake lembali norepinefrin menuju akhiran saraf simpatik.
Opioid
Pada binatang, antidepressant tricyclic menambah efek analgesic dan efek ventilasi
dari opioid. Demikian juga, efek sedative dan efek depressan dari barbiturate
ditingkatkan pada binatang. Jika respon ini juga terjadi pada pasien, bisa diprediksi
bahwa dosis obat ini harus diturunkan untuk menghindari efek depressan yang
berlebihan atau yang berkepanjangan.
Toleransi
Toleransi terhadap efek antikolinergik (mulut kering, penglihatan kabur, takikardi)
dan hipotensi ortostatik timbul selama terapi kronis dengan antidepressant tricyclic.
Sebaliknya, toleransi terhadap efek yang diinginkan sering gagal muncul.
Penghentian mendadak dosis tinggi antidepressant tricyclic dapat dihubungkan
dengan withdrawal syndrome yang ringan yang ditandai dengan malaise, menggigil,
pilek, dan nyeri otot rangka.
19
Overdosis
Overdosis antidepressant tricyclic dapat mengancam jiwa, karena progresi dari
keadaan waspada sampai keadaan tak berespon bisa sangat cepat (Frommer dkk.,
1987). Depresi miokard yang berat dan disritmia kordis vantrikuler adalah peristiwa
parah yang paling sering terjadi.
Tanda-tanda dari overdosis antidepressant tricyclic antara lain agitasi, dan kejang
yang diikuti dengan koma, depresi ventilasi, hipotensi, hipotermia, dan bukti yang
nyata efek antikolinergik termasuk mydriasis, kulit kering memerah, retensi urin, dan
takikardi. Kompleks QRS pada EKG dapat memanjang sampai > 100 ms. Bahkan,
kecenderungan terjadi kejang dan disritmia ventrikuler meningkat saat durasi
kompleks QRS >100 ms (Boehnert dan Lovejoy, 1985). Sebaliknya, konsentrasi
plasma antidepressant tricyclic tidak bisa digunakan untuk memprediksi
kecenderungan terjadainya kejang ataupun disritmia kordis (Boehnert dan Lovejoy,
1985).
Fase pingsan karena overdosis antidepressant tricyclic berlangsung 24 sampai 72 jam.
Bahkan setelah semua fase ini dilewati, risiko disritmia kordis yang mengancam jiwa
tetap bertahan selama 10 hari yang mengharuskan pengawasan yang kontinyu EKG
pasien ini.
Pengobatan overdosis antidepressant tricyclic yang mengancam jiwa diatur kea rah
manajemen SSP dan toksisitas jantung (tabel 19-3) (Frommer dkk., 1987). Koma
biasanya pulih dalam 24 jam namun seringkali cukup parah sehingga membutuhkan
dukungan jalan nafas invasive. Efek ekstrapiramidal dan sindroma otak organic
biasanya hanya membutuhkan terapi suportif, walaupun penggunaan bijaksana
physostigmine 0.5 sampai 2 mg intravena (IV) dapat diindikasikan untuk mengobati
psikosis antikolinergik.
Kejang dapat mendahului terjadinya cardiac arrest dan harus segera diterapi dengan
cepat dengan diazepam. Setelah penekanan awal aktivitas kejang dengan diazepam,
mungkin dibutuhkan pemertahanan efek dengan menggunakan obat long-acting
seperti phenytoin. Asidosis yang berkaitan denga akktivitas kejang dapat
20
meningkatkan fraksi tak terikat dari antidepressant tricyclic secara tiba-tiba pada
sirkulasi dan menjadi predisposisi terjadinya disritmia kordis. Dalam hal ini,
alkalinisasi plasma (pH >7.45) baik dengan pemberian sodium bikarbonat intravena
maupun dengan membuat paru pasien hiperventilasi untuk sementara dapat
membalikkan kardiotoksisitas yang diinduksi obat ini. Lidocain dan phenytoin dapat
digunakan setelahnya untuk mempertahanka supresi disritmia ventrikuler jantung.
Hipotensi dapat disebabkan karena vasodilatasi langsung yang diinduksi oleh obat
antidepressant tricyclic, blockade alfa-adrenergik, ataupun depresi miokard. Pasien
yang tetap dalam keadaan hipotensif walaupun sudah dilakukan pergantian cairan
intravaskuler dan alkalinisasi plasma, mungkin membutuhkan dukungan tekanan
darah sistemik dengan menggunakan simpatomimetik, inotropik atau bahkan
keduanya.
Pengosongan lambung mungkin sangat berguna pada awal terapi, namun cara ini
paling aman dilakukan dengan sebuaah cuffed tracheal tube yang sudah tersedia di
tempat. Carchoal terkativasi secara signifikan menyerap obat melalui traktus
gastrointestinal (“dialysis intestinal”). Sebaliknya, ikatan protein dari antideperssan
tricyclic yang besar meniadakan nilai terapetik dari hemodialisis atau dieresis yang
diinduksi obat.
TABEL 19-3.
TERAPI FARMAKOLOGIS DARI OVERDOSIS ANTIDEPRESSAN
TRICYCLIC
Gejala Terapi
Kejang Diazepam
Sodium bikarbonat
Phenytoin
Disritmia jantung ventrikuler Sodium bikarbonat
Lidocain
21
Phenytoin
Blokade Jantung Isoproterenol
Hipotensi larutan kristaloid atau koloid
Sodium bikarbonat
Simpatomimetik
Inotropik
TABEL 19-4.
PEMBATASAN DIET BAGI PASIEN YANG DITERAPI DENGAN
MONOAMINE OXIDASE INHIBITOR
Makanan Pantangan
keju
hati
kacang Fava
alpukat
chianti wine
Obat Pantangan
antidepressant tricyclic
fluoxetine
obat flu atau obat alergi
dekongestan nasal
obat simpatomimetik
opioid (khususnya meperidine)
Mekanisme Kerja
Inhibitor MAO bekerja dengan membentuk suatu kompleks yang stabil dan
ireversibel dengan enzim MAO, khususnya dengan MAO neuronal serebral (Stack
dkk., 1988). Hasilnya, jumlah neurotransmitter (norepinefrin) yang tersedian untuk
dilepaskan dari neruron SSP meningkat. Namun demikian efek ini tidaklah terbatas
hanya pada otak, dan konsentrasi norepinefrin juga meningkat di system saraf
simpatis. Karena inhibitor MAO menyebabkan inhibisi enzim yang reversible,
efeknya diperpanjang karena sintesis enzim ini yang baru adalah termasuk proses
yang lambat.
Karena lokasinya yang berada padaa membrane mitokondria bagian luar, pada saraf
MAO hanya dapat men-deminasi substrat yang bebas di dalam sitoplasma dan tidak
dapat meningkatkan akses terhadap substrat ketika substrat itu telah terikat pada
tempat penyimpanannya di vesikel. Hasilnya, konsentrasi monoamine pada
sitoplasma tetap dipertahankan pada level yang rendah.
Efek Samping
24
Efek samping serius yang paling sering terjadi dari inhibitor MAO adalah hipotensi
ortostatik, yang mungkin lebih jelas pada pasien usia lanjut. Hipotensi ortostatik
mungkin menggambarkan suatu akumulasi dari neurotransmitter salah yakni
octopamine pada sitoplasma dari akhiran saraf simpatis postganglioner. Pelepasan
vasokonstriktor yang kurang poten sebagai respon terhadap impuls saraf ini adalah
penjelasan yang paling mungkin untuk menerangkan hipotensi ortostatik dan juga
efek antihipertensif yang telah dihubungkan dengan terapi inhibitor MAO secara
kronis.
Phenelzine mempunyai efek samping yang mirip dengan antikolinergik dan dapat
mengakibatkan sedasi pada beberapa pasien. Tranylcypromine tidak memilki efek
damping antikolinergik namun memiliki efek stimulansia ringan yang dapat
menyebabkan insomnia. Impotensi dan anorgasmia adalah efek samping dari
inhibitor MAO. Beberapa pasien mengeluh mengalami parestesia yang mungkin
berespon terhadap terapi pyridoxine. Peningkatan berat badan adalah efek samping
yang umum dari terapi inhibitor MAO. Hepatitis adalah komplikasi yang jarang
terjadi dari terapi inhibitor MAO. Efek inhibitor MAO pada elektroensefalogram
(EEG) adalah minimal dan tidak seperti efek kejang, yang kontras dengan
antidepressant tricyclic. Juga yang sangat kontras dengan antidepressant tricyclic
adalah kegagalan inhibitor MAO untuk menghasilkan disritmia kordis (Wong dkk.,
1980).
25
Gambar 19-3. Dua bentuk enzim monoamine oksidase (MAO-A dan MAO-B)
memperlihatkan selektivitas substrat.
Pembatasan Diet
Enzim MAO yang terdapat pada hepar, traktus gastrointestinal, ginjal dan paru
tampaknya mempunyai fungsi proteksi untuk men-deaminasi monoamine dalam
sirkulasi. Dalam keadaan tertentu, enzim ini tampak membentuk pertahanan awal
untuk melawan monoamine yang diabsorbsi dari makanan, seperti tiramine dan beta-
phenylethanolamine, yang akan menghasilkan respon simpatomimetik indirect dan
akan menimbulkan hipertensi. MAO-A ditemukan pda traktus gastrointestinal dan
hepar, dimana dia bekerja untuk memetabolisme amine bioaktif seperti tiramine,
inhibitor MAO yang digunakan di Amerika Serikat sebagai antidepressant
menginhibisi MAO-A dan MAO-B secara nonselektif. Selegiline, yang digunakan
untuk mengobati penyakit Parkinson, secara selektif menginhibisi MAO-B dan pasien
tidak perlu untuk menjalani diet bebas tiramin. Namun demikian, pada dosis tinggi
(30 mg/hari), bahkan selegiline pun menjadi inhibitor MAO yang nonselektif, yang
membuat pencegahan pola makan tetap dibutuhkan (lihat tabel 19-4).
26
Karena pasien yang diterapi dengan inhibitor MAO tidak dapat memetabolisme
tiramin dan monoamine lain dalam makanan, senyawa ini dapat memasuki sirkulasi
sistemik dan daimbil oleh akhiran saraf dari system saraf simpatis. Pengambilan
(uptake) ini dapat menimbulkan pengeluaran besar katekolamin endogen dan
menghasilkan krisis hiperadrenergik yang ditandai oleh hipertensi, hiperpireksi, dan
peristiwa vaskuler otak. Oleh karena itu pasien dengan terapi inhibitor MAO harus
diberi instruksi untuk segera melaporkan onset dari sakit kepala yang berat, mual,
muntah atau nyeri dada. Hipertensi yang timbul menyerupai hipertensi yang terjadi
dari pelepasan ketekolamin dari pheochromocytoma. Terapi hipertensi adalah dengan
vasodilator perifer seperti nitroprusside (lihat bab 16). Disritmia kordis yang tetap
bertahan setelah pengontrolan tekanan darah sistemik diterapi dengan lidocain atau
antagonis beta-adrenergik.
Interaksi Obat
Disamping berinteraksi dengan makanan, inhibitor MAO dapat juga beriteraksi
dengan opioid, obat simpatomimetik, antidepressant tricyclic, dan SSRIs. Interaksi ini
dapat menyebabkan hipertensi, eksitasi SSP, delirium, kejang, dan kematian. Pada
binatang, kebutuhan anestetik untuk anestesi volatile meningkat, kemungkinan
menggambarkan akumulasi norepinefrin pada SSP.
diterapi dengan inhibitor MAO telah mengalami reaksi eksitatori sebagai respons
terhadap meperidine. Ada bukti bahwa toksisitas meperidine hanya meningkat ketika
MAO-A dan MAO-B sama-sama diinhibisi (Wells dan Bjorksten, 1994). Derivate
meperidine (fentanyl, sufentanil. Alfentanil) telah dihubungkan dengan reaksi
merugikakan pada pasien yang diterapi dengan inhibitor MAO, walaupun
insidensinya tampak lebih sedikit daripada dengan meperidine (Insler dkk., 1994).
Morfin tidak menginhibisi uptake serotonin, namun efek opioidnya dapat dipotensiasi
dengan adanya inhibitor MAO.
Overdosis
Overdosis inhibitor MAO digambarkan dengan tanda aktivitas system saraf simpatis
yang berlebihan (takikardi, hipertermia, midriasis), kejang, dan koma. Terapi suportif
merupakan terapi tambahan selain pengosongan lambung. Dantrolene telah
disarankan sebagai terapi untuk kekakuan otot rangka dan gejala hipermetabolisme
yang terkait setelah overdosis inhibitor MAO (Kaplan dkk., 1986).
28
Manajemen Anestesia
Dahulu, biasanya direkomendasikan untuk menghentikan inhibitor MAO 2 sampai 3
minggu sebelum operasi elektif bedasarkan pertimbangan bahwa instabilitas dan SSP
yang mengancam jiwa dapat terjadi selama pemberian anestesi dan selama operasi
dengan adanya obat ini. Peraturan penghentian obat ini tampaknya lebih berdasarkan
anekdot dan respons isolasi bukannya penelitian ilmiah yang terkontrol. Lagipula,
penghentian terapi yang efektif dapat berpotensi untuk menempatkan pasien pada
risiko dari gangguan psikiatrik mereka. Sekarang telah berkembang pengetahuan
bahwa anestesi dapat secara aman diberikan pada kebanyakan pasien yang diterapi
dengan inhibitor MAO secara kronis (Wells dan Bjorksten, 1989). Saat anesthesia
diberikan kepada pasien yang diterapi dengan inhibitor MAO, haruslah tetap hati-hati
untuk mempertimbangkan interaksi obat tertentu dan jika mungkin, untuk
menghindari obat-obat tertentu (Stack dkk., 1988; Wells dan Bjorksten, 1989).
ANXIOLITIK
Benzodiazepine
Benzodiazepine (lihat bab 5) biasa digunakan secara klinis sebagai anxiolitik,
sedative, antikonvulsan, dan muscle relaxant. Obat ini tampaknya menghasilkan efek
tersebut dengan memfasilitasi kerja asam gamma-aminobutirat (GABA),
neurotransmitter inhibitor utama pada system saraf.
Efektivitas benzodiazepine, dikombinasikan dengan tingginya frekuensi anxietas dan
insomnia pada populasi dewasa, telah mengarahkan obat ini untuk digunakan secara
luas. beberapa pasien yang menerima benzodiazepine dengan indikasi yang valid
ternyata menyalahgunakan obat ini atau menjadai kecanduan. Benzodiazepine
memiliki kecenderungan yang lebih ringan untuk menimbulkan toleransi, memiliki
potensi penyalahgunaan yang lebih kecil, dan memiliki batas keamanan yang lebar
jika diminum melebihi dosis. Riwayat penyalahgunaan alcohol atau substansi yang
lain adalah kontraindikasi relative untuk menggunakan benzodiazepine untuk
mengobati anxietasnya.
Saat benzodiazepine digunakan untuk mengatasi anxietas situasional atau anxietas
general, dosis rendah diazepam (2 sampai 5 mg tiga kali sehari) secara khas dipilih
untuk meminimalkan sedasi. Sedasi yang berhubungan dengan pemberian
benzodiazepine untuk mengatasi anxietas biasanya reda dalam 2 minggu. Untuk
terapi jangka pendek anxietas situasional atau terapi jangka panjang gangguan
anxietas general, hampir selalu dibutuhkan dosis total harian diazepam > 30 mg atau
yang setara dengannya. untuk terapi gangguan panic, benzodiazepine short-acting
dengan potensi tinggi (alprazolam) mempunyai catatan kemanjuran yang paling
30
Buspirone
Buspirone adalah nonbenzodiazepine yang efektif untuk mengobati gangguan
anxietas general (onset efek anxiolitik sampai beberapa hari) namun tidak bisa untuk
gangguan panic. Obat ini adalah agonis parsial pada reseptor serotonin, menghasilkan
penurunan pergantian serotonin dan efek anxiolitik. Buspirone tidak memiliki efek
langsung pada reseptor GABA sehingga dia tidak menyebabkan reaktivitas-silang
dengan benzodiazepine, barbiturate maupun alcohol. Buspirone kurang berefek
sedative, antikonvulsan dan efek muscle relaxant seperti yang dimiliki
benzodiazepine. Absorbsinya dari traktus gastrointestinal adalah 100%, namun
metabolisme lintas pertamanya oleh hepar yang besar menjadikan bioavailabilitsnya
turun menjadi 4%. Waktu paruh eliminasinya 2 sampai 11 jam. Buspirone tidak
menyebabkan ketergantungan dan tidak terlalu toksik jika diberikan melebihi dosis.
Kerugian utama dari obat ini adalah lambatnya onset efek (1 sampai 2 minggu), yang
dapat ditafsirkan sebagai ketidakefektifan oleh pasien yang mengalami anxietas akut.
LITHIUM
Lithium dipilih sebagai drug of choice untuk mengobati gangguan bipolar. Obat ini
memiliki banyak efek neurobiologik, namun belum diketahui komponen yang mana
yang dibutuhkan untuk keampuhan obat ini dalam mengobati gangguan bipolar (Price
dan Heninger, 1994). Salah satu mekanisme yang mungkin adalah kemampuan
lithium untuk menginhibisi system second-messenger yang menjalarkan sinyal dari
31
Farmakokinetik
Lithium didistrubusikan ke seluruh cairan tubuh dan hampir seluruhnya
disekskresikan melalui ginjal. Seperti sodium, lithium disaring oleh glomerolus dan
direabsorbsi oleh tubulus proximal ginjal dan bukan oleh tubulus distal. Jadi, ekskresi
ginjalnya tidak ditingkatkan oleh diuretic thiazide yang bekerja secara selektif pada
tubulus distal ginjal. Pada kenyataannya, karena rebsorpsi lithium dan sodium oleh
tubulus proximal bersifat kompetitif, maka penurunan sodium yang disebabkan oleh
dehidrasi, turunnya intake sodium, dan karena diuretic loop dan thiazide dapat
meningkatkan rebsorpsi lithium oleh tubulus proximal ginjal, yang menghasilkan
peningkatan konsentrasi lithium plasma sebesar 50%. Diuretic hemat potassium
(triamterene, spironolactone) tidak memfasilitasi reabsorpsi lithium dan dapat
meningkatkan ekskresinya. Obat antiinflamasi non steroid dapat menyebabkan
peningkatan yang mencolok pada konsentrasi plasma lithium dengan mengubah
aliran darah ke ginjal.
Penggunaan lithium yang aman dan efektif dapat diawasi hanya dengan mengukur
konsentrasi plasmanya. Jendela terapi untuk mania akut adalah 1 sampai 1.2
mEq/liter, dengan rata-rata dosis oral 900 sampai 1800 mg per hari. Konsentrasi
lithium plasma harus diukur sekitar 12 jam setelah dosis oral terakhir. Karena waktu
paruh eliminasinya sekitar 24 jam dan waktu untuk tercapainya kadar tunak adalah
32
empat sampai lima kalinya waktu paruh eliminasi, maka konsentrasi plasmanya harus
diukur tidak lebih cepat dari 5 hari setelah perubahan dosis, kecuali jika dicurigai
terjadi toksisitas. Pada pasien usia lanjut dan pasien dengan penyakit ginjal, waktu
paruh eliminasi lithium diperpanjang, waktu untuk penyeimbangan dapat tertunda
sampai 7 hari atau lebih. Jika dicurigai ada toksisitas, lithium harus ditahan dan
konsentrasi plasma harus segera ditentukan, dengan mempertimbangkan waktu yang
telah berlalu sejak dosis terakhir.
Efek Samping
Efek samping serius yang paling sering timbul karena lithium terjadi pada ginjal,
yang bermanifestasi sebagai polidipsia dan poliuria. Kira-kira 20% pasien yang
diterapi lithium mengekskresikan > 3 liter urin per hari, yang mencerminkan suatu
gangguan pada kemampuan pemekatan ginjal karena efek inhibisi lithium pada
formasi adenosine monofosfat intraseluler pada tubulus ginjal. Diuretic hemat
potassium, amiloride, sangat efektif untuk menurunkan volume urin tanpa
mempengaruhi konsentrasi plasma lithium maupun potasium. Sangat dianjurkan
untuk mengevaluasi fungsi ginjal dengan mengukur blood urea nitrogen atau
kreatinin plasma setiap 6 bulan.
Perubahan pada EKG yang ditandai dengan pendataran atau inverse gelombang T
terjadi pada beberapa pasien yang diterapi dengan lithium, namun tampaknya tidak
ada hubungannya secara klinis. Perubahan ini reversible dalam 2 minggu setelah
penghentian lithium. Gangguan konduksi jantung yang diinduksi lithium yang
signifikan secara klinis jarang terjadi, walaupun telah ditemukan adanya disfungsi
nodus sinoatrial dan pengeblokan nodus sinoatrial. Pasien dengan disfungsi nodus
sinoatrial sebelumnya (sick sinus syndrome) mungkin harus diterapi dengan lithium
hanya jika mereka terpasang pacemaker jantung.
Hipotiroidisme timbul pada sekitar 5% pasien yang diterapi dengan lithium dan lebih
sering timbul pada wanita disbanding laki-laki. Karena alasan ini, sangat dianjurkan
33
pengukuran kadar TSH setiap 6 bulan. Jika perlu, terapi levotiroxine dapat dimulai
tnapa menghentikan lithium.
Toksisitas dermatologis dari lithium yang sangat penting pada klinis antara lain
jerawat dan eksaserbasi psoriasis atau onset baru psoriasis. Pasien mungkin mengeluh
mengalami gangguan memori dan perlambatan kognitif. Tremor pada tangan timbul
pada 25% sampai 50% pasien dan menghilang seiring waktu dan sebagai respon
terhadap penurunan dosis lithium atau karena terapi dengan antagonis beta-
adrenergik. Kadang-kadang lithium dapat menyebabkan efek ekstrapiramidal.
Hubungan sedasi dengan terapi lithium menunjukkan bahwa kebutuhan anestetik
untuk obat injeksi dan inhalasi dapat diturunkan. Konsentrasi plasma yang
tinggidapat menunda pemulihan dari efek depresi SSP dari barbiturate (Maninisto dan
Saarnivaara, 1976). Repon terhadap obat-obat pengeblok neuromuskuler yang
terdepolarisasi maupun yang nondepolarisasi dapat diperpanjang dengan adanya
lithium (Hill dkk., 1977).
TABEL 19-5.
INTERAKSI OBAT DENGAN LITHIUM
obat interaksi
diuretic thiazide peningkatan konsentrasi lithium plasma
sebagai hasil dari penurunan klirens
ginjal
furosemide biasanya tidak mengalami perubahan
pada konsentrasi lithium plasma
NSAIDs peningkatan konsentrasi lithium plasma
sebagai hasil dari penurunan klirens
ginjal (kecuali aspirin dan sulindac)
ACE inhibitor dapat meningkatkan konsentrasi lithium
34
plasma
obat-obat neuroleptik lithium dapat mengeksaserbasi gejala
ekstrapiramidal atau meningkatkan risiko
sindroma neuroleptik maligna
obat-obat antikonvulsan (carbamazepine) penggunaan bersamaan denga lithium
dapat mengakibatkan neurotoksisitas
aditif
antagonis beta-adrenergik menurunkan tremor yang diinduksi
lithium
obat-obat pengeblok neuromuskuler lithium dapat memperpanjang durasi
kerjanya
adekuat, ekskresi lithium dapat sedikit ditingkatkan dengan diuretic osmotic dan
pemberian sodium bikarbonat IV.
TABEL 19-6.
GEJALA DAN TANDA TOKSISITAS LITHIUM
Efek Toksik Konsentrasi Lithium Gejala dan Tanda
Plasma (mEq/liter)
Ringan 1-1.5 letargi
iritabilitas
kelemahan oto rangka
tremor
bicara tak jelas
mual
Sedang 1.6-2.5 kebingungan
mengantuk
kegelisahan
gaya berjalan yang goyah
tremor kasar
disartria
fasikulasi otot rangka
36
muntah
Berat >2.5 gangguan kesadaran (koma)
delirium
ataxia
gejala ekstrapiramidal
kejang
gangguan fungsi ginjal
TABEL 19-7.
PERBANDINGAN FARMAKOLOGIS DARI OBAT-OBAT ANTIPSIKOTIK (NEUROLEPTIK)
Golongan dan Obat Potensi Potensi Potensi Potensi
Sedatif Antikolinergik Hipotensi Ekstrapiramidal
Ortostatik
Phenothiazine
Chlorpromazine +++ ++ +++ +
38
Farmakokinetik
Phenothiazine dan thioxanthene sering menunjukkan pola absorpsi yang aneh dan tak
terprediksi setelah pemberian oral. Obat-obat ini memiliki kelarutan lemak yang
tinggi dan terakumulasi dalam jaringan yang memiliki perfusi baik seperti otak.
Lintasan melalui plasenta dan akumulasi obat pada janin dapat saja terjadi. Ikatan
protein yang kuat dalam plasma dan jaringan telah membatasi efektivitas
hemodialisis dalam menghilangkan obat ini.
Metabolisme
Metabolisme phenothiazine dan thioxanthene utamanya dilakukan dengan oksidasi
dalam hepar yang diikuti dengan konjugasi. Kebanyakan metabolit aksidatif bersifat
inaktif secara farmakologis, dengan pengecualian untuk 7-hydroxychlorpromazine.
Metabolit terutama tampak pada urin dan yang lebih sedikit di empedu. Waktu paruh
eliminasi yang khas dari obat ini adalah 10 sampai 20 jam, yang memungkinkan
interval dosis satu kali sehari. Waktu paruh eliminasi dapat diperpanjang pada janin
dan pada orang tua, yang telah kemampuannya untuk memetabolisme obat ini telah
menurun.
Efek Samping
Dengan clozapine sebagai pengecualian, penggunaan kronis phenothiazine dan
thioxanthene dapat berkomplikasi pada efek yang serius, yang kebanyakan
mencerminkan blockade reseptor dopamine yang diinduksi obat tersebut, khususnya
pada otak depan (Baldessarini dan Frankenburg, 1991). Meskipun umumnya timbul
efek samping, obat ini memiliki batas keamanan yang lebar dan overdosisnya jarang
fatal.
Efek Ekstrapiramidal
40
Tardive dyskinesia dapat timbul pada 20% pasien yang menerima obat antipsikotik
selama > 1 tahun. Hanya clozapine yang tidak dikaitkan sebagai penyebab efek
samping yang potensial menjadi permanen ini. Pasien usia lanjut dan wanita pada
semua umur tampaknya lebih rentan mengalami tardive dyskinesia. Manifestasi
tardive dyskinesia antara lain pergerakan involunter yang abnormal yang dapat
mempengaruhi lidah, otot wajah dan leher, ekstremitas atas dan bawah, otot-otot
truncus, dan kadang-kadang juga berpengaruh pada otot-otot pernafasan dan otot-otot
menelan. Tardive dyskinesia jarang sembuh, dan tidak ada terapinya. Peningkatan
secara kompensasi pada fungsi aktivitas dopamine dalam ganglia basalis mungkin
bertanggung jawab atas timbulnya tardive dyskinesia.
Reaksi distonik akut terjadi pada sekitar 2% dari pasien yang diterapi dan paling
sering terjadi pada 72 jam pertama terapi. Reaksi distonik paling sering terjadi pada
laki-laki muda dan pada pasien yang meminum antipsikosis potensi tinggi. Kekakuan
otot rangka akut dan kram dapat juga terjadi, biasanya pada otot-otor leher, lidah,
wajah dan punggung. Kasus oposthotonus dan oculogyric dapat pula timbul. Onset
mendadak dari distress repiratori pada pasien dengan neuroleptik dapat
menggambarkan dyskinesia laring (laryngospasme) (Koek dan Pi, 1989). Distonia
akut secara dramatis berespon dengan diphenhydramine 25 sampai 50 mg IV. Efek
samping ekstrapiramidal seperti tremor, “wajah bertopeng”, dan kekakuan otot
rangka dapat timbul, khususnya pada pasien lanjut usia. Pasien dengan akatisia yang
diinduksi antipsikotik sering tampak gelisah (ketidakmampuan untuk mentoleransi
inaktivitas), yang mungkin dirancukan dengan gangguan psikotik yang mendasarinya.
Efek Kardiovaskuler
Pemberian chlorpromazine IV menyebabkan penurunan tekanan darah yang
diakibatkan oleh (a) depresi reflex vasomotor yang diperantarai oleh hypothalamus
atau batang otak, (b) blockade alfa-adrenergik perifer, (c) efek relaksan langsung
pada otot polos vaskuler, dan (d) depresi langsung pada jantung. Risperidone adalah
obat antipsikotik yang telah dihubungkan dengan hipotensi sistemik yang berlebihan
41
selama anestesi spinal, mungkin menggambarkan blockade alfa yang diinduksi oleh
risperidone (Williams dan Hepner, 2004). Blockade alfa-adrenergik yang dihasilkan
chlorpromazine cukup untuk menumpulkan atau mencegah efek penekanan dari
epinefrin. Miosis yang dapat diprediksika terjadinya juga disebabkan karena blockade
alfa-adrenergik. Efek antidisritmia kordis dari chlorpromazine dapat menggambarkan
aktivitas anestesi local yang poten dari obat ini. Obat ini biasanya tidak menyebabkan
disritmia kordis. Kadang-kadang obat-obat antipsikotik dapat memanjangkan interval
QTc pada EKG dan oleh karena itu menjadi predisposisi untuk timbulnya takikardi
ventrikuler (Kriwisky dkk., 1990). Thioridazine dan pimozide adalah pengeblok
kalsium yang poten, yang dapat berkontribusi pada toksisitas jantung, termasuk
pemanjangan interval QTc pada EKG.
Pemberian per oral obat ini dihubungkan dengan efek penurunan tekanan darah
sistemik yang kurang nyata. Toleransi terahadap efek hipotensif memang terjadi
setelah beberapa minggu terapi. Namun demikian, beberapa bagian dari hipotensi
ortostatik dapat menetap selama durasi terapi.
Mortalitasnya 20% sampai 30%, dengan penyebab kematian tersering adalah karena
gagal nafas, gagal jantung dan/atau disritmia, gagal ginjal, dan thromboemboli.
Penyebab dari sindroma neuroleptik maligna belum diketahui dan akibatnya,
pengobatannya masih berupa empiris dan termasuk pengukuran suportif dan
pemberian muscle relaxant direct-acting dantrolene dan agonis dopamine,
bromocriptin atau amantadine (Rosenberg dan Green, 1989). Kemanjuran agonis
dopamine yang telah dilaporkan dalam pengobatan kekakuan otot rangka dan juga
pencegahan onset sindroma dengan penghentian mendadak terapi levodopa
menunjukkan peran dari pengeblokan reseptor dopamine dalam timbulnya sindroma
ini (Granato dkk., 1983).
Hipertermia maligna yang dihubungkan dengan dengan anestesi dan juga sindroma
antikolinergik sentral dapat menyerupai Sindroma neuroleptik maligna (Guze dan
Baxter, 1985). Sisi perbedaannya adalah kemampuan muscle relaxant nondepolarisasi
untuk menghasilkan paralisis flaccid pada pasien yang mengalami Sindroma
neuroleptik maligna namun tidak terjadi pada pasien yang mengalami hipertermia
maligna (Sangal dan Dimitrijevic, 1985).
Efek Endokrin
Kadar prolaktin meningkat sebagai akibat dari blockade reseptor dopamine dan
hilangnya inhibisi normal sekresi prolaktin. Galaktorrhea dan ginekomastia dapat
menyertai sekresi prolaktin yang berlebihan. Amenorrhea mungkin terjadi namun
jarang menjadi komplikasi. Penurunan sekresi kortikosteroid mungkin dikarenakan
pengurangan pengeluaran corticotrophin dari kelenjar pituitary anterior.
Chlorpromazine dapat mengganggu toleransi glukosa dan pengeluaran insulin pada
beberapa pasien. Efek hypothalamus dapat bermaanifestasi sebagai penambahan berat
badan dan kadang-kadang sebagai abnormalitas termoregulasi.
Sedasi
43
Efek Antiemetik
Efek antiemetic dari obat-obat antipsikotik menggambarkan interaksinya dengan
reseptor dopaminergik pada zona pemicu kemoreseptor pada medulla (lihat bab 26).
Obat ini sepertinya paling efektif untuk mencegah mual dan mutah yang diinduksi
opioid. Perphenazine 5 mg IV telah sama efektif dengan ondansetron 4 mg IV dan
droperidol 1.25 mg IV, untuk pencegahan muntah postoperative setelah operasi
ginekologik (Desilva dkk., 1995). Tidak seperti obat antiemetic lain, perphenazine
tidak dikaitkan dengan efek samping seperti sedasi atau hipotensi, yang membuat
derivate penothiazine sangat berguna sebagai antiemetic profilaksis yang murah.
Perphenazine 70 µg/kg IV menurunkan insidensi muntah pada anak-anak selama 24
jam pertama setelah tonsilektomi (Splinter dan Roberts, 1997). Aktivitas
dopaminergik SSP dari phenothiazine yang menghasilkan efek antiemetiknya juga
bisa menyebabkan gejala ekstrapiramidal. Gejala-gejala ini jarang terjadi dan mudah
diterapi dengan benztropine.
Ikterus Obstruktif
Ikterus obstruktif yang digolongkan sebagai reaksi alergi timbul secara jarang pada 2
sampai 4 minggu setelah pemberian phenothiazine atau thioxanthene. Bahkan, ada
rekurensi yang cepat dari ikterus jika obat yang bersangkutan, biasanya
chlorpromazine, diberikan lagi. Jika ikterus tidak ditemukan pada bulan pertama
pengobatan, ikterus ini cenderung tidak timbul di kemudian hari.
Hipotermia
44
Sebuah efek dari chlorpromazine pada hypothalamus adalah yang paling bertanggung
jawab atas efek poikilotermik dari obat ini. Di masa lalu, efek ini digunakan untuk
memfasilitasi produksi hipertermia saat operasi.
Ambang Kejang
Banyak obat antipsikotik yang menurunkan ambang kejang dan menghasilkan pola
pada EEG yang mirip dengan gangguan kejang. Chlorpromazine menyebabkan
perlambatan pola EEG dengan beberapa peningkatan pada aktivitas letupan dan
spiking. Potensial bangkitan sensoris sering turun amplitudonya dan ada peningkatan
pada latensi.
Interaksi Obat
Efek depresi ventilasi dari opioid sepertinya ditingkatkan oleh obat-obat antipsikotik.
Demikian juga efek miotik dan sedative dari opiod ditingkatkan dan kerja analgesic
juga tampaknya dipotensiasi. Obat-obat ini dapat bercampur dengan kerja dari
dopamine yang diberikan secara eksogen dan efek alcohol juga ditingkatkan.
Clozapine
Clozapine adalah satu-satunya obat antipsikotik yang tidak menyebabkan tardive
dyskinesia atau efek samping ekstrapiramidal (Baldessarini dan Frankenburg, 1991).
Diantara efek samping yang paling sering terjadi adalah sedasi, mual dan muntah, dan
hipotensi ortostatik. Salvias berlebih, khususnya selama tidur, sering terjadi namun
ini adalah efek yang berlawanan dan tidak bisa dijelaskan dari obat antikolinergik
yang kuat ini. Manifestasi lain dari efek parasimpatolitik adalah sinus takikardi ringan
45
Butyrophenone
Butyrophenone, seperti droperidol dan haloperidol, secara struktur dan efek
farmakologisnya mirip dengan phenothiazine dan thioxanthene (gb. 19-5).
Butyrophenone dapat menurunkan anxietas yang menyertai psikosis. Sebaliknya,
butyrophenone kurang efektif melawan anxiets seperti yang ada pada periode
praoperasi.
46
Farmakokinetik
Pada pasien yang dianestesi dengan nitrous oxide-fentanyl, waktu paruh wlinisai dari
droperidol adalah 104 menit, klirensnya 14.1 mL/kg per menit, dan volume
distribusinya adalah 2.14 liter/kg (Fischer dkk., 1986). Klirens tubuh total droperidol
47
mirip dengan aliran darah hepar (bergantung perfusi), yang menekankan pentingnya
metabolisme hepar daripada aktivitas enzim hepar (bergantung kapasitas) dalam
eliminasi obat ini. Dengan pertimbangan ini, akumulasi potensial dari droperidol
lebih sering terjadi ketika aliran darah hepar diturunkan daripada dengan perubahan
pada aktivitas enzim hepar. Waktu paruh eliminasi yang pendek tidak konsisten
dengan efek SSP yang memanjang dari droperidol, yang dapat menggambarkan
penguraian yang lamban obat ini dari resptor atau retensi droperidol pada otak.
Droperidol dimetabolisme dalam hepar, dengan ekskresi maksimal metabolit terjadi
selama 24 jam pertama.
Efek Samping
Efek samping butyrophenone mirip dengan efek samping phenothiazine dan
thioxaanthene.
Sistem Saraf Pusat
Efek tenang yang terlihat dari droperidol dapat menutupi sebuah kekhawatiran
operasi yang sangat besar. Respon disforik ini diturunkan dari penggunaan droperidol
pada periode praoperasi, khususnya sebagai medikasi praoperasi (Lee dan Yeakel,
1975). Akathisia (seringkali berupa perasaan kegelisahan pada kaki) dapat menyertai
pemberian droperidol sebagai medikasi praoperasi (Ward, 1989). Sebagai antagonis
dopamine, droperidol menimbulkan reaksi ekstrapiramidal pada sekitar 1% pasien
(Rivera, 1975; Wiklund dan Ngai, 1971). Karena alasan ini, droperidol tidak boleh
diberikan pada pasien yang pada saat bersamaan juga diterapi untuk penyakit
Parkinson. Distonia laring akut (laringospasme) adalah reksi ekstrapiramidal yang
jarnag terjadi pada butyrophenone (Koek dan Pi, 1989). Pemberian diphenhydramine
IV adalah terapi efektif untuk reaksi ekstrapiramidal yang diinduksi oleh droperidol.
Droperidol adalah sebuah vasokonstriktor serebral yang menyebabkan penurunan
pada aliran darah otak, namun kecepatan metabolisme oksigen otak tidak terlalu
diubah. Kegagalan dalam menurunkan kecepatan metabolisme walaupun aliran darah
otak yang menurun dapat menjadi hal yang tidak diinginkan pada pasien dengan
48
penyakit vaskuler serebral. RAAS tidak terdepresi, dan irama alfa menetap pada
EEG. Droperidol tidak menyebabkan amnesia dan juga tidak memiliki kerja
antikonvulsan.
Efek Kardiovaskuler
Droperidol dapar menurunkan tekanan darah sistemik sebagai akibat dari kerjanya di
SSP dan melalui blockade alfa-adrenergik perifer (Whitwam dan Russell, 1971).
Penurunan pada tekanan darah biasanya hanya minimal, walaupun kadang-kadang
pasien dpat mengalami hipotensi yang nyata. Resistensi vaskuler sistemik dan
pulmoner hanya turun sedikit dan transien. Kontraktilitas miokard tidak diubah oleh
droperidol.
Hypertension telah dilaporkan timbul pada pasien dengan pheochromocytoma setelah
pemberian droperidol (Bittar, 1979; Sumikawa dan Amakata, 1977). Respon tekanan
darah sistemik menggambarkan penglepasan katekolamin yang diinduksi droperidol
dari medulla adrenal dan juga inhibisi uptake katekolamin ke dalam granula
chromaffin (gb. 19-6) (Sumikawa dkk., 1985).
Droperidol adalah antidisritmia jantung dan pelindung terhadap disritmia yang
diinduksi epinefrin (Bertolo dkk., 1972). Mekanisme efek disritmia jantung belum
diketahui namun dapat menggambarkan blockade reseptor alfa-adrenergik pada
miokardium, stabilisasi membrane eksitabel dari sel jantung oleh efek anestesi local
dari droperidol, dan penurunan tekanan tekanan darah sistemik yang menurunkan
kecenderungan disritmia jantung yang tergantung-tekanan. Dosis besar droperidol,
0.2 sampai 0.6 mg/kg IV, menurunkan konduksi impuls jantung sepanjang jalur
aksesoris yang bertanggung jawab atas takidisritmia yang terjadi pada pasien dengan
sindroma Wolff-Parkinson (gb. 19-7) (Gomez-Arnau dkk., 1983).
49
Gambar. 19-6. Efflux Katekolamin (mean ± SE) dari medulla adrenal anjing yang
diperfusi, ditingkatkan oleh droepridol. Jumlah percobaan diindikasikan oleh angka
dalam tanda kurung.
kemmpuan untuk menginhibisi enzim P-450 dan menunda metabolisme obat kedua
yang dapat memanjangkan QTc antara lain calcium channel blocker, obat antifungi,
SSRIs, antibiotic macrolide dan quinolone, obat antiretroviral, dan amiodarone.
Droperidol dapat memanjangkan interval QTc pada EKG (Drolet dkk., 1999; Habib
dan Gan, 2003; Reilly dkk., 2000; Scudri, 2003). Walaupun efek pemanjangan QTc
berpuncak pada 2 sampai 3 menit setelah pemberian droperidol IV, efek tersebut
dapat menetap sampai beberapa jam.
Kasus-kasus pemanjangan QTc dan/atau torsades de ponites telah terejadi pada
pasien yang menerima droperidol pada dosis (1.25 sampai 2.5 mg) dan juga dosis
(0.625 sampai 1.25 mg) di bawah dosis yang diterima oleh FDA (Habib dan Gan,
2003). Beberapa dari respon ini timbul pada pasien tanpa adanya factor risiko yang
diketahui dan beberapa ternyata berakibat fatal. Namun demikian, ada banyak factor
perancu pada kasus ini yang membuatnya tidak mungkin ditentukan secara tepat
penyebab kejadian-kejadian jantung yang merugikan (Habib dan Gan, 2003). Sejak
droperidol diakui pada tahun 1970, belum pernah ditemukan satu pun laporan kasus
dimana droperidol pada dosis yang digunakan untuk manajemen mual dan muntah
postoperative dihubungkan dengan pemanjgan interval QTc, disritmia kordis atau
cardiac arrest (Gan dkk., 2002, Gan, 2004). Walaupun dosis kecil droperidol
sekalipun (<1.25 mg IV) dapat menyebabkan pemanjangan interval QTc,
pemanjangan ini diperkirakan tidak signifikan secara klinis (Zhang dkk., 2004;
White, 2004).
Berdasarkan laporan ini sebuah “kotak hitam peringatan” telah ditambahkan pada
kemasan droperidol. Peringatan ini meliputi syarat bahwa semua pasien harus
menjalani EKG 12-lead sebelum pemberian droperidol untuk menentukan jika ada
pemanjangan interval QTc (> 440 msec untuk laki-laki dan > 450 msec untuk
perempuan). Ketika dipilih terapi dengan droperidol, pengawasan EKG harus
dilakukan sebelum pemberian droperidol dan dilanjutkan selama 2 sampai 3 jam.
Selanjutnya, droperidol harus diberikan dengan hati-hati pada pasien yang mungkin
memiliki risiko timbulnya sindroma pemanjangan QTc (gagal jantung kongestif,
52
bradikardi, hipokalemi, usia lanjut, pemberian bersama obat lain yang diketahui dapat
memperpanjang interval QTc). Kematian mendadak selama terapi dengan haloperidol
telah dikaitkan dengan pemanjangan interval QTc pada EKG yang diinduksi oleh
obat (Kriwisky dkk., 1990).
Saat mempertimbangkan efek obat pada interval QTc, sangat penting untuk
mengenali bahwa adalah hal yang sulit untuk mengukur interval ini dengan tepat
(Gan, 2004). Ada ketidaktepatan yang lekat dalam mengidentifikasi akhir dari
gelombang T dan variasi onset dari kompleks QRS pada beberapa lead EKG yang
memberikan nilai QT yang berbeda, tergantung pada lead yang dipilih untuk
pengukuran. Bahkan kecepatan kertas dan sensitivitasnya dapat mempengaruhi
pengukuran QT. Teknik pengukuran QTc otomatis telah dinyatakan lebih tidak akurat
pada psien jantung daripada kontrol orang sehat. Bahkan, kalkulasi interval QTc
terasa ambigu karena ada banyak formula yang berbeda dan tiap formula
menghasilkan hasil yang berbeda pula.
Ventilasi
Ventilasi istirahat dan respon ventilasi terhadap karbondioksida tidak diubah oleh
droperidol (Soroker dkk., 1978). Selanjutnya, droperidol yang diberikan IV
menambah respon ventilasi yang ditimbulkan oleh hypoxemia arteri, kemungkinan
dengan mengeblok kerja neurotransmitter inhibisi dopamine pada badan karotis (gb.
19-8). (Ward, 1984). Karena alasan ini, droperidol dapat menjadi medikasi praoperasi
yang dapat diterima pada pasien dengan penyakit paru obastruktif kronis yang
tergantung pada badan karotis untuk mencegah hipoventilasi.
53
Penggunaan Klinis
Penggunaan klinis droperidol
utamanya dibatasi pada produksi
neuroleptanalgesia dan sebagai
antiemetic.
Neuroleptanalgesia
Droperidol dikombinasikan dengan
fentanyl diberikan untuk
menghasilkan neuroleptanalgesia.
Kombinasi yang tersedia secara
komersil droperidol dengan fentanyl
50:1 dikenal sebagai Innovar.
Kombinasi obat yang menetap ini
dikaitkan dengan peningkatan depresi ventilasi seperti yang dibandingkan dengan
obat-obat tunggal lain (Harper dkk., 1976). Droperidol tidak meningkatkan analgesia
yang dihasilkan oleh fentanyl namun labih memperpanjang durasi kerjanya.
Hipotensi ortostatik dan disforia cenderung lebih sering terjadi setelah pemberian
Innovar jika dibandingkan dengan fentanyl sendiri.
Neuroleptanalgesia ditandai dengan imobilitas seperti-kerasukan (katalepsi) pada
pasien yang terlihat tenang yang terdisosiasi dan bersikap indifferent terhadap
lingkungan sekitar. Analgesianya hebat, sehingga memunkinkan bermacam prosedur
diagnostic dan operasi minor seperti bronkoskopi dan sistoskopi. Kerugian dari
neuroleptanalgesia adalah depresi SSP yang memanjang dan kegagalan untuk
mendepresi respon system saraf simpatik terhadap stimulasi rasa sakit yang dapat
diprediksi.
Mekanisme dimana droperidol menghasilkan anestesi belum diketahui namun
sepertinya melibatkan inhibisi transmisi sinaptik oleh channel ion bergerbang-ligand.
54
Antiemetic
Droperidol adalah agen antiemetic yang kuat sebagai hasil dari inhibisi reseptor
dopamine pada zona pemicu kemoreseptor di medulla (lihat bab 26). Disamping
kotak hitam peringatan, ada satu pertanyaan apakah dosis anestetik kecil (1.25 mg
atau kurang) mengakibatkan risiko pemanjangan interval QTc pada EKG (Habib dan
Gan, 2003). Selama hamoir tiga decade, droperidol 0.625 sampai 1.25 mg IV telah
diterima secar luas sebagai terapi lini pertama yang aman dan murah untuk
manajemen mual dan muntah postoperative (Henzi dkk., 2000; White, 2002).
Penggunaan droperidol 1.25 mg IV dikaitkan dengan efektivitas yang lebih besar,
biaya yang lebih murah dan kepuasan pasien yang sama dengan 0.625 mg droperidol
IV atau andansetron 4 mg IV (Hill dkk., 2000). Droperidol (1.25 mg) sama efektifnya
sengan dexamethasone (4 mg) dan andansetron (4 mg) dalam menurunkan insidensi
mual dan muntah postoperative sampai sekitar 26% ketika diberikan sebagi
profilaksis praoperatif (Apfel dkk., 2004). Muntah yang diinduksi labyrinthine
(mabuk gerak) tidak dipengaruhi oleh droperidol.
CANNABIS
Cannabis adalah larutan alcohol dari lebih dari 400 senyawa derivate dari tanaman
Cannabis sativa. Cannabis telah digunakan selama ribuan tahun dan menjadi obat
terlarang yang paling sering digunakan di dunia. Cannabioid yang paling melimpah
55
Farmakokinetik
Cannabinoid mengalami metabolisme lintas pertama hepar setelah pemberian per oral
sehingga hanya 10% sampai 20% dari dosis yang diminum yang mencapai sirkulasi
sistemik. Metabolisme ini menghasilkan jumlah metabolit aktif yang banyak yakni
11-hydroxy-delta-9-tetrahydrocannabinol yang sama aktifnya senyawa induknya
(D9THC) dan memiliki waktu paru yang memanjang. Efek klinis puncak setelah
pemberian oral tercapai setelah 1 sampai 2 jam dan durasi kerjanya adalah 4 sampai 6
jam. Sebaliknya, pemberian inhalasi menghasilkan onset kerja hanya dalam beberapa
detik.
Toksisitas
Euphoria dan perasaan rileks timbul pada konsentrasi cannabinoid plasma sekitar 3
ng/mL dan ini dapat dihasilkan dengan 2 sampai 3 mg D9THC. Intoksikasi akut dapat
menyebabkan perubahan persepsi, distorsi waktu, intensifikasi pengalaman sensorik
normal, penurunan waktu reaksi, skill motorik yang jelek, peningkatan nafsu makan,
gangguan aktivitas berskill, takikardi, dan hipotensi. Perhatian terbesar adalah
timbulnya toksisitas jangka panjang dan timbulnya ketergantungan fisik. Cannabis
erring dicampur dengan tembakau untuk membuatnya lebih efisien dibakar. Material
yang ada pada asap cannabis adalah karsinogenik. Inhalasi kronis cannabis dikaitkan
56
dengan peningkatan insidensi penyakit paru obstruktif kronis dan karsinoma paru dan
laring. Penggunaan terus-menerus cannabis dapat dikaitkan dengan penurunan
potensi reproduktif dan penurunan produksi testosterone.
Penggunaan Klinis
D9THC sering digunakan untuk terapi jangka panjang mual, muantah, kakeksia dan
manajemen nyeri kronis (Deusch dkk., 2004). Penelitian ilmiah untuk
mengkonfirmasi kemanjuran cannabis masih minim dan bukti yang bersifat anekdot
sering diungkapkan untuk mendukung penggunaan klinis. Peran dari system
cannabinoid endogen belum sepenuhnya dimengerti namun ada bukti yang
menunjukkan bahwa system ini terlibat dalam analgesia,kognisi, nafsu
makan,muntah, bronkodilasi, inflamasi, dan kontrol imun (Smith, 2000). Cannabinoid
sangat larut dalam lemak dan adanya reseptor CB1 pada medulla spinalis
menunjukkan kemanjuran analgesic yang potensial jika ditempatkan pada spasium
epidural atau intrathecal. Walaupun penggunaan cannabis sebagai analgesia
menimbulkan potensi ketergantungan psikis dan fisik, namun risiko tersebut
dirasakan lebih ringan dibanding efek samping tidak menyenankan yang dihubungkan
dengan opioid. D9THC murni mungkin efektif sebagai terapi mual dan muntah yang
dionduksi kemoterapi dan D9THC adalah perangsang nafsu makan untuk pasien
dengan penyakit terminal. Kelegaan spasme otot rangka pada pasien dengan multiple
sclerosis telah terlihat. Penggunaan D9THC dapat dikaitkan dengan peningkatan
risiko infark miokard dan tromboangilitis obliterans, kemungkinan menggambarkan
aktivasi platelet yang diinduksi D9THC (Deusch dkk., 2004).
57