Anda di halaman 1dari 10

Vol. 3(2) Mei 2019, pp.

236-245
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA ISSN : 2597-6885 (online)

PELAKSANAAN KEWAJIBAN MEMFASILITASI PEMBANGUNAN KEBUN


MASYARAKAT SEKITAR OLEH PERUSAHAAN PERKEBUNAN
(Suatu Penelitian pada PT. Karya Tanah Subur di Kabupaten Aceh Barat)

THE IMPLEMENTATION OF OBLIGATION TO FASILITATE


THE ESTABLISHMENT OF THE LOCAL COMMUNITIES FARM
BY PALM OIL COMPANY
(A Research Conducted on Karya Tanah Subur., Ltd in The West Aceh District)

Muhammad Supriadi
Mahasiswa FH Unsyiah
Pineung, Syiah Kuala, Banda Aceh
e-mail : supriadi.insancita8@gmail.com

Abdurrahman
Dosen FH Unsyiah
Darussalam, Banda Aceh

Abstrak – Kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah 20% dari luas lahan
yang diusahakan diatur dalam Pasal 58 ayat (1) UU. No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, berdasarkan
ketentuan peralihan yang terdapat pada Pasal 114 ayat (2) kewajiban ini juga berlaku bagi perusahaan yang
sudah beroperasi sebelum undang-undang tersebut berlaku. Namun kenyataannya PT. KTS memfasilitasi
pembangunan kebun masyarakat melalui program CSR dengan pola Income Generating Activities, sehingga
belum sesuai dengan ketentuan wajib 20% yang dimaksud. Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan pelaksanaan
program CSR dengan pola IGA, alasan-alasan pelaksanaannya belum maksimal, dan status program tersebut
setelah berlaku ketentuan wajib 20%. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris. Hasil penelitian
menunjukkan pelaksanaan program CSR dengan pola IGA belum maksimal. Alasan-alasan program tersebut
belum maksimal yaitu tidak adanya lahan satu hamparan, kurangnya sumber daya manusia, kelompok tani
kurang solid, dan program tersebut pernah gagal. Status program tersebut setelah berlaku ketentuan wajib 20%
adalah program tersebut masih dapat dipertahankan bagi perusahaan lama seperti PT. KTS.
Kata Kunci: kewajiban, tanggung jawab sosial perusahaan, pembangunan kebun, masyarakat sekitar.

Abstract - The obligation to facilitate the establishment of the local communities farm at least 20% of the total
area of land cultivated in Article 58 paragraph (1) of the Law. No. 39 of 2014 concerning Plantations, based on
the transitional provisions contained in Article 114 paragraph (2) this obligation also applies to companies that
have been operating before the law comes into force. But in reality PT. KTS facilitates the establishment of local
communities farm through CSR programs with the pattern of Income Generating Activities, so it is not in
accordance with the mandatory 20% requirement. The purpose of this study is to explain the implementation of
CSR programs with the IGA pattern, the reasons for the implementation have not been maximized, and the
status of the program after the 20% mandatory provisions apply. The research method used is empirical
juridical. The results showed that the implementation of CSR programs with IGA patterns had not been
maximized. The reasons for the program have not been maximized, namely the absence of a single stretch of
land, lack of human resources, lack of solid farmer groups, and the program has failed. The status of the
program after the 20% mandatory requirement applies is that the program can still be maintained for old
companies such as PT. KTS.
Keywords: Obligation, Corporate Social Responsibility, Farm Establishment, Local Communities,

PENDAHULUAN
Kegiatan usaha perkebunan merupakan suatu usaha yang membutuhkan tanah yang
sangat luas, sehingga tidak mengherankan jika usaha perkebunan ini dalam terminologi

236
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol.3, No.2 Mei 2019 237
Muhammad Supriadi, Abdurrahman

hukum agraria merupakan kategori penggunaan hak atas tanah dengan pola Hak Guna Usaha
(HGU).1
Menurut Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), yang dimaksud dengan HGU adalah hak untuk
mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu sebagaimana
tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 (selanjutnya disebut PP Nomor 40 Tahun 1996) tentang
HGU, HGB dan Hak Pakai Atas Tanah menambahkan guna perusahaan perkebunan.2
Penyelenggaraan usaha perkebunan diatur dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun
2014 tentang Perkebunan (selanjutnya disebut UU Perkebunan). Dalam UU perkebunan
terdapat aturan yang mengatur kewajiban perusahaan perkebunan untuk memfasilitasi
pembangunan kebun masyarakat sekitar yaitu paling rendah seluas 20% (dua puluh
perseratus) dari total luas kebun yang diusahakan oleh perusahaan. Hal ini terdapat dalam
Pasal 58 ayat (1) UU Perkebunan yang menyatakan bahwa:
Perusahaan perkebunan yang memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) atau Izin Usaha
Perkebunan untuk Budidaya (IUP-B) wajib memfasilitasi pembangunan kebun
masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% (dua puluh perseratus) dari total luas
areal kebun yang diusahakan oleh Perusahaan Perkebunan.
Pasal 16 ayat (2) Qanun Aceh No. 6 tahun 2012 tentang Perkebunan menyatakan bahwa:
Perusahaan perkebunan yang mengembangkan budidaya perkebunan wajib
menfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar yang layak sesuai dengan
standar prosedur paling kurang 30 (tiga puluh) persen dari luas areal yang diusahakan
atau memberikan porsi 30 (tiga puluh) persen dari saham kepada pihak mitra
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1).
Bagi perusahaan perkebunan yang sudah beroperasi sebelum UU Perkebunan
diundangkan, berlaku ketentuan peralihan yang terdapat pada Pasal 114 ayat (2) UU
Perkebunan yang menyatakan, “Perusahaan Perkebunan yang telah melakukan Usaha
Perkebunan dan telah memiliki izin Usaha Perkebunan yang tidak sesuai dengan ketentuan
Undang-undang ini diberi waktu paling lama 5 (lima) tahun untuk melaksanakan penyesuaian
sejak Undang-undang ini berlaku”.

1
Supriadi, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010. hlm.
544.
2
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2009. hlm. 99.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol.3, No.2 Mei 2019 238
Muhammad Supriadi, Abdurrahman

Berdasarkan data awal yang diperoleh dengan cara mengamati lingkungan sekitar
perkebunan, mewawancarai Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Humas), informasi dari
media online dan referensi lain terkait PT. Karya Tanah Subur (selanjutnya disebut PT. KTS)
didapatkan fakta bahwa, PT. KTS merupakan salah satu Perusahaan Perkebunan Kelapa
Sawit di Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh yang diberikan HGU berdasarkan SK.
Mendagri No. SK.:2/HGU/DA/85 tanggal 5 Januari 1985 dan Sertifikat HGU No. 248
tanggal 21 Maret 1988.3 Serta sudah memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) sebelum
diundangkannya UU Perkebunan.
Luas lahan HGU yang dikelola oleh perusahaan tersebut seluas 4.500 Hektar, selama
ini perusahaan memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat melalui pengembangan
program CSR dengan pola Income Gerating Activities, hal ini tentunya belum sesuai dengan
ketentuan wajib 20% yang dimaksud.
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Untuk mengetahui pelaksanaan CSR memfasilitasi pembangunan kebun
masyarakat sekitar oleh PT. KTS.
2. Untuk mengetahui alasan-alasan pelaksanaan CSR tersebut belum maksimal.
3. Untuk mengetahui status CSR tersebut setelah berlakunya ketentuan wajib
memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah seluas 20%.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat yuridis empiris, dengan
pendekatan kualitatif. Dalam penelitian ini digunakan data primer dan data sekunder,
selanjutnya data yang telah didapatkan dianalisa dengan metode deskriptif analisis.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Dalam UU perkebunan terdapat aturan yang mengatur kewajiban perusahaan
perkebunan untuk memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar yaitu paling rendah
seluas 20% (dua puluh perseratus) dari total luas kebun yang diusahakan oleh perusahaan.
Bahkan dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2012 tentang Perkebunan dalam Pasal 16 ayat
(2) dijelaskan bahwa kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar yaitu
paling rendah seluas 30% (tiga puluh perseratus) dari luas areal kebun yang diusahakan.

3
Ilyas Ismail, Konsepsi Hak Garap Atas Tanah, Citapustaka Media Perintis, Bandung, 2011. hlm. 150.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol.3, No.2 Mei 2019 239
Muhammad Supriadi, Abdurrahman

Kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar sebagaimana telah


diuraikan di atas hanya dibebankan kepada perusahaan perkebunan yang memiliki IUP atau
IUP-B saja. Ada 3 jenis izin usaha perkebunan yaitu:
1. Izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUP-B) diberikan kepada pelaku usaha dengan
luasan 25 hektar atau lebih;
2. Izin Usaha Perkebunan Pengolahan (IUP-P) diberikan kepada pelaku usaha dengan
minimal kapasitas pengolahan tertentu, seperti untuk tebu lebih dari 1.000 TCD,
kelapa sawit lebih dari 5 ton per jam;
3. Izin Usaha Perkebunan (IUP) diberikan untuk usaha budidaya yang harus
terintegrasi dengan unit pengolahannya, seperti kelapa sawit dengan luasan 1.000
hektar atau lebih, tebu dengan luasan 2.000 hektar atau lebih.4
PT. KTS sudah mulai melaksanakan CSR memfasilitasi pembangunan kebun
masyarakat sekitar yang disebut dengan program Income Generating Activities (IGA), namun
dalam kenyataannya pelaksanaan CSR tersebut belum maksimal jika ditinjau dari segi target
pembangunan kebun plasma yang disepakati bersama oleh PT. KTS dengan Dinas Kehutanan
dan Perkebunan Kabupaten Aceh Barat dan belum sesuai dengan ketentuan UU Perkebunan
yang menghendaki 20% dari luasan kebun yang diusahakan.
Hendi Widjajanto mengatakan bahwa PT. KTS tidak berkewajiban melaksanakan
pembangunan kebun masyarakat paling rendah 20%. Tetapi menurut Sofyan, Kepala Seksi
Pengolahan Hasil Pertanian Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Barat berpendapat
bahwa “kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar adalah hal yang
bersifat opsional, artinya ini merupakan suatu pilihan yang dapat dipilih oleh PT. KTS,
apakah mereka mau melakukannya atau meninggalkannya. Hal ini pun tidak dapat
dipaksakan pelaksanaannya oleh pemerintah kabupaten karena tidak tegasnya ketentuan
hukum yang mengatur hal tersebut.”5
Keterangan diatas berbeda dengan keterangan dari Husni selaku Kepala Seksi
Pendaftaran Hak atas Tanah Kantor Wilayah BPN Aceh yang mengatakan bahwa
“pelaksanaan pembangunan kebun masyarakat sekitar oleh perusahaan pemegang hak guna
usaha merupakan sebuah kewajiban, meskipun perusahaan itu telah menjalankan bentuk

4
Direktorat Jenderal Perkebunan, Permasalahan Pengelolaan Perkebunan, disampaikan pada Acara
Monev Gerakan Nasional Penyelamatan SDA sektor Kehutanan dan Perkebunan, Tanggal 10 Juni 2015 di
Gorontalo.
5
Sofyan, Kepala Seksi Pengolahan Hasil Pertanian Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Aceh
Barat, Wawancara, 18 Januari 2017.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol.3, No.2 Mei 2019 240
Muhammad Supriadi, Abdurrahman

tanggung jawab sosial lainnya. Karena pelaksanaan memfasilitasi pembangunan kebun


masyarakat sekitar yang telah dilakukan oleh perusahaan pemegang hak guna usaha
merupakan suatu syarat yang akan dipertimbangkan oleh BPN dalam pengajuan
perpanjangan HGU selanjutnya.”6
Menurut data yang diperoleh dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Aceh
Barat, pada tahun 2016 dari 174,14 Hektar yang ditargetkan di gampong Lek-Lek, kecamatan
Panton Reu baru terealisasi 37,00 Hektar per-tanggal 31 Oktober 2016.7 Atau berdasarkan
data yang diperoleh dari Keuchik gampong Lek-lek, per-tanggal 7 Desember 2016 yang
sudah ditanam sebanyak 6.049 bibit, dengan kata lain luas lahan yang sudah ditanam yaitu 48
Hektare.8
Kriteria masyarakat yang difasilitasi oleh PT. KTS untuk menjalankan program CSR
di kabupaten Aceh Barat yaitu;9
1. Masyarakat yang tingkat ekonominya di bawah rata-rata.
2. Petani yang memang memiliki lahan di sekitar perkebunan namun tidak memiliki
modal untuk membangun kebunnya.
3. Untuk masyarakat yang tingkat ekonominya di bawah rata-rata dan tidak memiliki
lahan diberlakukan program IGA Non-Sawit untuk peningkatan ekonomi masyarakat,
misalnya peternakan atau perikanan.
Namun kenyataannya masih terdapat peserta yang tidak sesuai dengan kriteria yang
telah ditentukan, dalam data yang diperoleh tercantum nama seorang keuchik sebagai
penerima bantuan bibit kelapa sawit program IGA. Sejalan juga dengan yang dikemukakan
oleh Jamaluddin, bahwa masih ada orang yang tidak berhak menjadi salah seorang penerima
manfaat karena kedekatannya dengan pejabat tertentu.10
Murtaleb Umar mengatakan bahwa “terdapat juga praktik penerimaan yang tidak
sesuai dengan ketentuan, dimana ada penerima bantuan bibit kelapa sawit yang menerima
lebih dari satu kali, dengan menggunakan identitas yang berbeda (identitas orang lain).

6
Husni, Kepala Seksi Pendaftaran Hak atas Tanah Kantor Wilayah BPN Aceh, Wawancara, 22 Juli 2019.
7
Said Mahjali, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Aceh Barat, Dokumentasi, 23
Januari 2017.
8
Usman D, Keuchik Gampong Lek-lek Kecamatan Panton Reu, Dokumen, 24 Januari 2017.
9
Ibid.
10
Jamaluddin, Masyarakat Gampong Lek-lek Kecamatan Panton Reu, Wawancara, 24 Januari 2017.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol.3, No.2 Mei 2019 241
Muhammad Supriadi, Abdurrahman

Padahal masih banyak masyarakat lainnya yang berada disekitar perusahaan yang belum
menerima bantuan bibit dari PT. KTS.”11
Adapun dalam menjalankan program CSR tersebut pihak PT. KTS melakukan
tahapan-tahapan sebagai berikut;12
1. Social Mapping (Pemetaan Sosial)
Social Mapping atau pemetaan sosial yang dimaksud yaitu pemetaan kondisi sosial
ekonomi masyarakat, hal ini dilakukan dengan tujuan agar dalam pemberian bantuan
tidak salah sasaran dan apa yang diberikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang
ada di sekitar perusahaan.
2. Penyusunan Langkah Episipi
Pada tahapan ini PT. KTS sebagai anak perusahaan PT. Astra Agro Lestari, Tbk. perlu
menyusun rencana awal seperti menentukan program apa yang akan dilakukan yaitu
program IGA atau program IGA Non-sawit, berapa luas lahan yang akan dibangun
kebun dan berapa banyak dana yang dibutuhkan.
3. Pengajuan ke Management Pusat
Setelah penyusunan langkah episipi dilakukan, selanjutnya program tersebut diajukan
ke manajemen pusat untuk mendapatkan dana yang dibutuhkan dalam pelaksanaan
program.
4. Perundingan dan sosialisasi program dengan aparatur gampong seperti keuchik dan
tuha peut gampong. Hal ini dilakukan untuk memperkenalkan program tersebut
kepada aparatur gampong dan untuk memperoleh informasi calon petani IGA di
gampong tersebut.
5. Sosialisasi kepada calon petani IGA.
6. Perjanjian atau Memorandum of Understanding (MoU) antara Perusahaan dan Calon
petani IGA.
7. Serah terima bibit dan penanaman.
8. Penyuluhan dan pembinaan petani IGA (melalui mandor pendampingan dan kepala
kebun PT. KTS).

11
Murtaleb Umar, Masyarakat Gampong Padang Sikabu Kecamatan Kaway XVI, Wawancara, 24 Januari
2017.
12
Ibid.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol.3, No.2 Mei 2019 242
Muhammad Supriadi, Abdurrahman

Berdasarkan penelitian dalam pelaksanaan CSR memfasilitasi pembangunan kebun


masyarakat sekitar oleh PT. KTS terdapat kendala-kendala yang menyebabkan program ini
berjalan belum maksimal, adapun kendala-kendalanya sebagai berikut:
1. Tidak adanya lahan satu hamparan
Lahan yang diajukan oleh petani untuk pelaksanaan program IGA terletak di beberapa
tempat yang berbeda dan relatif jauh dari satu lahan ke lahan yang lain, sehingga
program ini tidak efektif baik dari segi pelaksanaan maupun dalam hal pengawasan
yang dilakukan oleh perusahaan.13
2. Kurangnya Sumber Daya Manusia.
Kebun plasma IGA yang dibangun oleh PT. KTS terletak di beberapa gampong pada
empat kecamatan di kabupaten Aceh Barat, yaitu kecamatan Kaway XVI, kecamatan
Panton Reu, kecamatan Bubon dan kecamatan Woyla. Kebun-kebun tersebut hanya
dibawahi oleh dua orang mandor pendamping yang ditugaskan oleh perusahaan.
Sehingga penyuluhan, pembinaan dan pengawasan terhadap kebun-kebun tersebut
tidak maksimal. Sudirman, salah seorang mandor pendamping mengaku sedikit
kesulitan menghadapi petani IGA dengan keluhan yang beragam.14
3. Kurangnya perhatian perusahaan terhadap masyarakat.
Kurangnya perhatian perusahaan kepada masyarakat sekitar dalam pembelian hasil
panen perkebunan menyebabkan beberapa petani menjual hasil panennya kepada
pihak lain. Hal ini tentu merugikan perusahaan itu sendiri dan menghambat
pengembangan program IGA.15
Syarifuddin H. Abu, mengatakan bahwa kurangnya perhatian terutama dalam hal
menampung keluhan petani dan lemahnya pengawasan oleh perusahaan terhadap
kelompok tani menyebabkan adanya petani yang menjual hasil panennya kepada agen
(pengepul).16
Sulaiman selaku petani mengaku bahwa besarnya biaya perawatan kebun, dan
kebutuhan rumah tangga membuat petani lebih memilih untuk menjual hasil panen

13
Ibid
14
Sudirman, Mandor Pendamping Program IGA PT. KTS, Wawancara, 24 Januari 2107
15
Adelina, Op. Cit.
16
Syarifuddin H. Abu, Keuchik Gampong Keuramat Kecamatan Kaway XVI, Wawancara, 25 Januari
2017
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol.3, No.2 Mei 2019 243
Muhammad Supriadi, Abdurrahman

perkebunannya kepada para agen (pengepul) untuk menghindari pemotongan yang


dilakukan oleh perusahaan.17
4. Program IGA pernah mengalami kegagalan.
Program IGA 2006-2007 gagal sehingga perusahaan mengalami kerugian. Adapun
penyebab kegagalan tersebut yaitu, ada petani IGA yang telah meninggal dunia, ada
yang kebunnya dijual ke pihak lain, dan adapula yang kebunnya dirusak hama. 18
Menurut Hamidi selaku mantan kepala pembibitan PT. KTS, hal ini terjadi karena
pada saat itu perusahaan hanya menentukan fotocopy KTP, kartu keluarga, dan surat
keterangan keuchik sebagai persyaratan dapat diberikan bibit untuk masyarakat. 19
5. Tidak tegasnya aturan hukum yang mengatur.
Aturan hukum pelaksanaan memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar
diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, namun
menurut Ahmad Mangga Barani selaku Ketua Forum Pengembangan Perkebunan
Strategis Berkelanjutan (FP2SB) “aturan ini masih menimbulkan beberapa kendala
dan permasalahan dalam pelaksanaannya karena masih ada ketidakpastian hukum,
kerancuan dan multitafsir bagi para perusahaan, gubernur, dan bupati/walikota serta
pemangku kepentingan lainnya.”
Kondisi tersebut disebabkan antara lain, pengaturan dalam regulasi dan/atau kebijakan
yang satu dengan lainnya masih inkonsisten, mekanisme pelaksanaannya belum diatur
secara jelas dan tegas, dan perhitungan 20% masih belum jelas, sehingga belum
terdapat kesatuan pengaturan dan penafsiran, yakni apakah perhitungannya
berdasarkan dari luasan areal berdasarkan IUP atau HGU atau areal tertanam.”20
Kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar 20% (plasma) bagi
perusahaan PT. KTS sebagai perusahaan lama merupakan kewajiban yang bersifat opsional
atau tidak mutlak wajib, PT. KTS dapat melakukan bantuan-bantuan lainnya yang Non-
plasma seperti di bidang peternakan atau perikanan. Artinya yang dilakukan tidak mesti
pembangunan kebun plasma, bantuan-bantuan lain juga bisa dengan syarat masyarakat

17
Sulaiman, Masyarakat Gampong Keuramat Kecamatan Kaway XVI, Wawancara, 26 Januari 2017.
18
Ibid.
19
Hamidi, Mantan Kepala Pembibitan PT. KTS, Wawancara, 25 Januari 2017.
20
Ahmad Mangga Barani, Ketua FP2SB, Wawancara, 25 Januari 2017.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol.3, No.2 Mei 2019 244
Muhammad Supriadi, Abdurrahman

merasa terbantu. Hal ini sesuai dengan arahan pemerintah daerah dan kesepakatan perusahaan
dengan pemerintah daerah.21
Bagi perusahaan perkebunan yang mulai beroperasi di atas tahun 2008, kewajiban
memfasilitasi kebun masyarakat sekitar minimal 20% mutlak wajib dilakukan, namun tentu
dengan mempertimbangkan adanya ketersediaan lahan. Apabila tidak adanya ketersediaan
lahan maka dialihkan dengan bantuan lainnya dengan syarat ketentuan kewajiban tersebut
dapat teratasi.
Perusahaan PT. KTS sendiri juga sudah mulai melaksanakannya, walaupun yang
dilakukan bukan dalam bentuk wajib plasma 20%, melainkan dalam bentuk Program
Peningkatan Pendapatan Masyarakat atau CSR-IGA. Adapun perbedaan antara pola plasma
20% dengan pola CSR-IGA yaitu pola plasma 20% pelaksanaannya menggunakan dana dari
pihak ke tiga (perbankan), dalam pelaksanaannya perusahaan sebagai perkebunan inti
melakukan pendampingan terhadap pekebun plasma mulai dari penanaman sampai tanaman
tersebut menghasilkan.
Sedangkan pola CSR-IGA dalam pelaksanaannya tidak menggunakan dana pihak ke
tiga (perbankan), melainkan menggunakan dana CSR perusahaan itu sendiri yang dikreditkan
kepada masyarakat untuk biaya pembangunan kebunnya. Pola CSR-IGA biasanya tidak
semaksimal pola plasma 20% karna pelaksanaannya berdasarkan kesepakatan bersama antara
perusahaan dengan masyarakat dan pemerintah daerah, baik dari segi luasnya maupun
fasilitas yang diberikan. Sedangkan pola plasma 20% lahan yang harus difasilitasi
pembangunan kebunnya ditetapkan oleh pemerintah daerah.
Pada prinsipnya dana CSR merupakan dana habis yaitu dana yang dikeluarkan secara
cuma-cuma oleh perusahaan sebagai bentuk tanggung jawab sosial, namun dalam
pelaksanaan CSR-IGA ini yang dilakukan adalah berbayar (pola kredit), seharusnya jika
memang dana CSR yang dipakai maka harus diberikan secara cuma-cuma atau dengan kata
lain dalam bentuk pola Hibah.22

KESIMPULAN
PT. KTS sudah mulai memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar melalui
program CSR dengan pola Income Generating Activities (IGA), namun pelaksanaannya

21
Sofyan, Kepala Seksi Pengolahan Hasil Pertanian , Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Aceh
Barat, Wawancara, 18 Januari 2017.
22
Ibid.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol.3, No.2 Mei 2019 245
Muhammad Supriadi, Abdurrahman

belum maksimal. Secara keseluruhan kebun yang sudah difasilitasi pembangunannya oleh
PT. KTS yaitu seluas 403 Ha, di mana 318 Ha yang ditanami pada tahun 2006-2007
mengalami kegagalan. Sedangkan pada tahun 2016 dari 174,14 Ha yang ditargetkan baru
terlaksana 85 Ha.
Adapun kendala-kendala yang menyebabkan pelaksanaan program CSR-IGA tersebut
belum maksimal diantaranya adalah tidak adanya lahan satu hamparan sehingga pelaksanaan
dan pengawasan tidak efektif, kurangnya sumber daya manusia yang ditugaskan oleh
perusahaan sebagai mandor pendamping, kelompok tani yang dibentuk oleh perusahaan
kurang solid sehingga ada yang menjual hasil panen ke pihak lain, serta program CSR-IGA
pernah mengalami kegagalan pada 2006 sehingga mengalami kerugian.
Kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakan sekitar seluas 20%
sebagaimana diatur dalam UU Perkebunan, bagi perusahaan lama seperti PT. KTS
merupakan kewajiban yang bersifat opsional karena kurang tegasnya aturan yang ada.
Ketentuan tersebut hanya diwajibkan bagi perusahaan yang mulai beroperasi pada tahun 2008
ke atas.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, 2016, “Perkebunan KTS Pertahankan CSR Pola IGA - Antara News Aceh”,
http://aceh.antaranews.com/berita/29919/perkebunan-kts-pertahankan-csr-pola-iga,
diakses 03 Mei 2016

Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015, “Permasalahan Pengelolaan Perkebunan”, pidato


Acara Monev Gerakan Nasional Penyelamatan SDA sektor Kehutanan dan
Perkebunan, 2015, Gorontalo.

Ilyas Ismail, 2011, “Konsepsi Hak Garap Atas Tanah”, Citapustaka Media Perintis, Bandung.

Supriadi, 2010, “Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia”, Sinar Grafika,
Jakarta.

Urip Santoso, 2009, “Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah”, Kencana, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai