Anda di halaman 1dari 32

BAB III

DASAR TEORI

3.1 Pengertian Rekayasa Geoteknik


Rekayasa geoteknik, sesuai dengan namanya, merupakan aplikasi rekayasa
teknologi yang diterapkan kepada bumi (Holtz, 1981). Dalam mempelajari
geoteknik selalu akan berhungan dengan material alam, baik dari permukaan
maupun dari dalam bumi, dalam bentuk tanah dan batuan. Untuk keperluan teknik,
tanah dapat diartikan sebagai lepasan aglomerasi mineral, material organik, dan
sedimen dengan cairan dan gas yang mengisi rongga (Das, 2002), sedangkan
batuan adalah kumpuulan dari bermacam-macam mineral yang kompak (Giani,
1992). Dalam disiplin ilmu yang lain, definisi dari kegua rekayasa geoteknik
digunakan definisi yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam geoteknik, hal-hal
terpenting dalam mempelajari material tersebut adalah memahami bagaimana
perilaku masing- masing material.

3.2 Karakteristik Rekayasa Geoteknik


Dalam rekayasa geoteknik, kita akan banyak berhubungan dengan hasil-hasil
empiris, yang disebabkan oleh perilaku alamiah dari material tanah dan batuan.
Kedua material tersebut mengandung banyak varialbel, bahkan dalam jarak
beberapa milimeter saja dapat memiliki karakteristik material yang berbeda. Dapat
dikatakan tanah dan batuan merupakan material yang sangat heterogen. Sifat
materialnya sangat bervariasi dari satu lokasi ke lokasi lain. Di sisi lain, kedua
material ini tidaklah bersifat isotropik, melainkan memiliki sifat material yang
tidak sama pada semua arah (anisotropik). Berbeda dengan ilmu mekanika lain
yang menganut hukum tegangan-regangan yang linier, dalam rekayasa geoteknik
material awalnya diasumsikan mengikuti hukum tegangan-regangan linier, tetapi
diperlukan tambahan koreksi empiris agar hasil yang diperoleh mendekati keadaan

22
sebenarnya (Holtz dan Kovacs, 1981). Hal ini menjadi rekayasa geoteknik sebagai
ilmu yang menarik.
Lebih jauh lagi, perilaku material tanah dan batuan dikontrol oleh adanya
kekar, sesar, serta bidang diskontinu lainya. Selain itu masih ada pengaruh air,
getaran, dan panas. Kerena keadaan alamia dari tanah dan batuan, data yang
diperoleh, baik uji lapangan maupun uji laboratorium, sangat penting pada
rekayasa geoteknik. Namun hasil uji dan metode analisis yang disederhanakan
tidak dapat menghitung secara pasti karakteristik material yang sesungguhnya
dalam hal ini hanya dapat mendekati karakteristik yang sebenernya. Rekayasa
geoteknik yang baik bergantun pada keputusan dan pengalaman orang yang
merancang (engineering judgement). Selain itu faktor-faktor lain seperti
keekonomian dan keselamatan merupakan hal yang sangat penting dalam
merancang lereng. Dengan memiliki pemahaman rekayasa geoteknik yang baik,
seseorang akan dapat membuat desain lereng tambang yang aman dan ekonomis,
melakukan pemantauan (Monitoring) terhadap lereng, mengevaluasi desain lereng
tambang, dan menganalisis serta mengambil keputusan yang tepat terkait kondisi
lereng yang ada di lapangan.
3.3 Definisi Tanah dan Batuan
a. Kerak bumi secara garis besar disusun oleh material batuan dan tanah.
Batuan adalah material kerak bumi yang terdiri dari mineral penyusun yang
berstekstur dan berstruktur, agregat mineral penyusun batuan tersebut
diikat oleh gaya kohesif yang permanen dan kuat (Zakaria, 2010).
Sedangkan tanah merupakan material hasil lapukan dari batuan dengan
susunan mineral penyusun baik dengan atau tanpa material organik.
Menurut Sowers & Sowers (1967, dalam Zakaria,2010), tanah dan batuan
memiliki sifat tertentu yakni:
b. Batuan bersifat padu (Kompak), memiliki nilai qu (UCS, unconfined
compressive strength) lebih besar dari 200 psi atau 14 kg/cm2 atau 1,38

23
Mpa, bila material tersebut terdiri dari satu butir, maka ukurannya lebih
besar dari ukuran butir bongkah atau boulder (≥ 256 mm).
c. Tanah bersifat urai atau lepas (loose) dan lunak, memiliki nilai qu (UCS,
unconfined compressive strength) kurang dari 200 psi atau 1,38 Mpa,
ukuran butir kurang dari 256 mm (bongkah).

3.3.1 Klasifikasi Mekanika Tanah dan Batuan


Hoek & Bray (1977), membuat pengelompokkan daya tahan penetrasi
massa tanah maupun batuan berdasarkan nilai perbandingan UCS (unconfined
compressive strength) dari hasil pengeboran, yang dijelaskan pada tabel 1
Tabel 3.1 Klasifikasi batuan dan tanah berdasarkan USCS

UCS
Penamaan Identifikasi di lapangan
(Mpa)

VERY SOFT
Mudah ditekan dan dibentuk dengan menggunakan jari ≤ 0,04
SOIL

SOFT SOIL Dapat ditekan dan dibentuk dengan tekanan jari yang kuat 0,04- 0,08

FIRM SOIL Sangat sulit untuk ditekan dan dibentuk oleh jari 0,08- 0,15

Tidak dapat ditekan dan dibentuk oleh jari, membutuhkan alat bantu tangan
STIFF SOIL 0,15- 0,6
untuk penggalina

VERY STIFF Sangat keras, sulit untuk dipindahkan atau diambil dengan bmenggunakan alat
0,6- 1
SOIL bantu tangan, membutuhkan sekop pnematik untuk penggalian

VERY WEAK Dapat hancur dengan pukulan bagian tajam dari alat bantu geologi, dapat
1,0- 25
ROCK dipotong dengan menggunakan pisau

MODERATELY Potongan dangkal atau kikisan dengan menggunakan pisau akan sulit, titik
25- 50
WEAK ROCK indentasi yang dalam dapat terbentuk akibat pukulan yang kuat

24
3.4 Lereng
Berdasarkan G.P. Giani (1992), lereng terbagi menjadi du yaitu lereng alami
dan lereng buatan. Varnes (1978, dalam Giani, 1992) membagi lereng alami
menjadi dua bagian yaitu lereng aktif dan lereng tidak aktif. Sementara lereng
buatan oleh Chowdury (1978, dalam Giani, 1992) dibagi menjadi tiga yaitu lereng
ekskavasi, lereng dalam atau tanggul dan waste slope.

(Sumber : Saptono, 2006)


Gambar 3.1 Geometri lereng tambang terbuka

Tiga komponen utama pada lereng tambang terbuka dapat dilihat pada
Gambar 2 pertama adalah overall slope angle dari bagian crest sampai toe,
termasuk semua ramps dan benchs. Bagian ini mungkin mengandung lereng
landai pada bagian yang lemah, surficial materials, dan lereng yang lebih
curam pada batuan yang lebih kuat. Sudut lereng ada kemungkinan lebih
bervariasi untuk mengakomodasi perbedaan kondisi geologi dan tata gunan
jalan (ramps). Kedua adalah inter ramps angle lereng, berada diantara setiap

25
ramp yang bergantung pada jumlah ramps dan lebarnya. Ketiga adalah
Bench face angle tunggal yang bergantung pada jarak vertikal antar benches
atau jumlah benches dan lebar dari benches (Wyllie and Mah, 2005).

3.5 Masalah Kestabilan Lereng


Di dalam operasi penambangan, masalah kestabilan lereng akan ditemukan
pada penggalian tambang terbuka (open pit dan open cut), tempat penimbunan
material buangan (tailing disposal), penimbunan bijih (Stockyard), bendungan,
infrastruktur lainnya seperti jalan, fondasi jembatan, dan lereng di sekitar fasilitas
seperti perumahan (suryartono,2003). Jika lereng yang terbentuk sebagai akibat
dari proses penambangan (Pit slope) dan yang merupakan saranan penunjang
operasi penambangan (bendungan, jalan, dan lain-lain) itu tidak stabil, kegiatan
produksi akan terganggu dan mengakibatkan tidak sinambungan produksi. Oleh
karena itu, analisis kemantapan lereng, baik pada tahap perancangan maupun tahap
penambangan dan pasca tambanga, merupakan suatu bagian yang penting dan
harus dilakukan untuk mencegah terjadinya gangguan-gangguan terhadap
kelancaran produksi serta becana fatal yang akan berakibat pada keselamatan
pekerjaan dan peralatan (Harries dkk., 2009)
Dilihat dari jenis material penyusunnya, terdapat dua macam lereng, yaitu
lereng tanah dan lereng batuan, walaupun kenyataan yang dijumpai pada lereng
tambang selalu merupakan gabungan dari material tanah dan batuan. Dalam
analisis dan penentuan jenis tindakan pengamanannya, lereng tanah tidak dapat
disamakan dengan lereng batuan karena parameter material dan jenis penyebab
longsor pada kedua material pembentuk lereng tersebut sangat jauh berbeda
(Romana, 1993).
Kestabilan lereng dipengaruh oleh faktor geometri lereng, karakteristik fisik
dan mekanik material pembentuk lereng, air (hidrologi dan hidrogeologi), struktur
bidang lemah batuan (lokasi, arah, frekuensi, karakteristik mekanik), tegangan
alamiah dalam massa batuan, konsentrasi tegangan lokal, getaran (alamiah :

26
gempa; dan perbuatan manusia: efek peledakan, efek lalu lalang alat-alat berat),
iklim, hasil perbuatan pekerja tambang, serta pengaruh termik (Moshab, 1997).
Kenyataan di lapangan memang memperlihatkan bahwa masalah tidakstabilan
lereng yang timbul dapat diakibatkan oleh faktor-faktor tersebut. Oleh karena itu,
faktor-faktor ini perlu mendapatkan perhatian agar kondisi lereng dapat dijaga
kestabilannya.
Dalam keadaan alamiah, tanah dan batuan umumnya berada dalam keadaan
seimbang terhadap gaya-gaya yang bekerja padanya, baik gaya dari dalam maupun
dari luar. Jika tanah dan batuan mengalami perubahan keseimbangan akibat
pengangkatan, penurunan, penggalian, penimbunan, erosi, atau aktivitas lain, tanah
dan batuan tersebut secara alamiah akan berusaha untuk mencapai keseimbangan
beban, terutama dalam bentuk perpindahan dengan besaran tertentu sampai kepada
bentuk longsoran atau gerakan-gerakan lain, sampai tercapai keseimbangan.
Pada tanah dan batuan dalam keadaan alamiah bekerja atara lain tegangan-
tegangan dan tekanan air pori. Kedua hal tersebut mempunyai peranan penting
dalam membentuk kestabilan lereng. Sedangkan tanah dan batuan sendiri
mempunyai sifat-sifat fisik dan mekanik asli tertentu seperti sudut gesek dalam
(Angle of internal friction –Φ), kohesi (c), kuat tekan, kuat tarik, Modulus
elastisitas, nisbah Poisson, dan Bobot isi (y) serta sifat fisik dan mekanik lainnya
yang sangat berperan dalam menentukan kekuatan tanah dan batuan dan juga
mempengaruhi kestabilan lereng (Hoek and Bray, 1981). Sifat-sifat tersebut
tidaklah statis, tetapi perlu dimaknai secara dinamis, baik sebagai fungsi letak
(kedalaman) maupun fungsi kemantapan lereng harus diketahi dengan pasti sistem
tegangan yang bekerja pada tanah dan batuan dan juga sifat-sifat fisik dan mekanik
material pembentuknya serta posisi dan kedalaman lereng. Dengan pengetahuan
dan data tersebut kemuadian dilakukan analisis perilaku tanah dan batuan apabila
dilakukan penggalian atau penimbunan. Baru kemudian bisa ditentukan geometri
dari lereng yang diizinkan atau menambahkan cara-cara lain yang berguna untuk
membantu agar lereng tersebut menjadi stabil.

27
Tiga pendekatan utama dari analisis kestabilan lereng adalah pendekatan
mekanika batuan, mekanika tanah, dan pendekatan yang memakai kombinasi
keduanya. Beberapa metode analisis kemantapan yang digunakan atau lain metode
analitik, metode grafik, metode stereonet, metode keseimbangan batas, metode
numerik (metode elemen hingga, elemen diskrit, elemen batas dan lain-lain),
metode probalistik, teori blok maupun sistem pada seta metode pemodelan fisik
(laboratorium).
Dalam menentukan kestabilan lereng dikenal istilah faktor keamanan (Safety
factor). Seperti diketahi, kestabilan suatu lereng mempunyai manfaat yang besar
sekali, baik dari segi keselamatan kerja maupun segi ekonimi. Masalahnya adalah
bagaimana melakuan optimasi rancangan lereng dengan mempertimbangkan
kedua hal tersebut. Oleh karena itu, para tenaga ahli diharapkan sudah mulai
terlibat sejak tahap rancangan awal, yaitu mulai dari tahap pegumpulan data,
penyelidikan geoteknik sampai tahap konstruksi, dan diharapkan pula bahwa para
tenaga ahli tersebut mengerti permasalahan yang dihadapi dan keputusan apa yang
diambil. Adapun tahap-tahap suatu studi kemantapan lereng secara umum alah
tahapan studi topografi dan geologi umum, studi struktur massa batuan, studi
karakteristik fisik dan geomekanik, studi kondisi hidrologi dan hidrogeologi,
permodelan perhitungan kemantapan lereng, serta perbaikan kemantapan lereng
yang antara lain berupa perkuatan lereng dan pemantauan kemantapan lereng.

3.6 Klasifikasi Gerakan Massa tanah dan batuan


Beberapa hal lain yang perlu diketahi, dipelajari, dan dimengerti sebelumnya
agar dapat merancang lereng tambang yang baik dalah klasifikasi gerakan massa
tanah dan batuan, metode penambangan terbuka diterapkan, dan rancangan teknik
secara umum.
Gerakan tanah menurut M.M. Purbo Hadiwidjoyo (1992) dapat didefisinikan
sebagai berpindahnya massa tanah dan batuan pada arah tegak, mendatar, atau

28
miring dari kedudukanya semula. Jenis gerakan tanah dan batuan dapat
diklasifikasikan sebagai berikut.

a. Longsoran (sliding)
Disebut longsoran jika tanah dan batuan yang bergerak itu seakan-akan
dengan tiba-tiba meluncur kebawah.
b. Runtuhan (falling)
Disebut runtuhan jika gerakan tanah dan batuan ibarat jatuh bebas, seperti
massa batuan pada dinding yang curam (mendekat tegak) yang tiba-tiba
jatuh.
c. Nendatan (Slump)
Disebut nendatan jika tanah dan batuan yang berupa massa yang belum
terlepas dari ikatannya bergerak menuruni lereng dalam jarak yang pendek,
jadi seakan-akan masih merupakan gumpalan-gumpalan besar.
d. Amblesan (Subsidence)
Amblesan merupakan suatu permukaan tanah dan batuan yang tiba-tiba
bergerak tunun dengan kecepatan lambat sampai agak cepat.
e. Rayapan(Creep)
Rayapan adalah gerakan massa tanah dan batuan secara perlahan lahan.
f. Aliran (Flow)
Aliran merupakan gerakan massa tanah dan abtuan yang sudah bercampur
dengan air dan tertransportasikan ke tempat lain.
g. Gerakan Kompleks (Complex movement)
Gerakan tanah dan batuan yang merupakan gabunan lebih atau sama
dengan gua gerakan tanah dan abatuan yang disebutkan sebelummnya
sehingga sulit diidentifikasi sebagai salah satu jenis gerakan yang telah
didefinisikan sebelumnya.

29
3.7 Longsoran Busur (Circular Failure)
Longsoran jenis ini banyak terjadi pada lereng tanah dan batuan lapuk atau
sangat terkekarkan dan di lereng-lereng timbunan. Bentuk bidang gelincir pada
longsoran busur, sesuai dengan namanya, akan menyerupai busur bila
digambarkan pada penampang melintang. Longsoran ini juga sering terjadi jika
ukuran fragmen tanah atau massa batuan sangat kecil dibandingkan dengan ukuran
lereng. Oleh karena itu, lereng yang tersusun dari material pasir, lanau atau
partikel lain yang ukurannya lebih kecil memiliki kemungkinan besar untuk
mengalami longsoran busur.

3.7.1 Longsoran (sliding)


Istilah yang paling banyak digunakan untuk gerakan tanah dan batan yang
terjadi pada lereng-lereng alamiah adalah longsoran dalam arti yang luas. Agar
pengertian longsoran dapat diperjelas, Coates (1970) dan Hasen (1984) membuat
daftar beberapa faktor penting yang telah disetujui di antara 28 penulis yang telah
menyumbangkan pikiranya untuk subjek ini. Daftar ini sangat menarik saat kita
mencoba memutuskan elemen apa yang menyusun suatu longsoran dan gerakan
mana yang dapat atau tidak didefinisikan ke dalam kategori longsoran.
Daftar tersebut adalah sebagai berikut.
a. Longsoran mewakili satu kategori dan suatu fenomena termasuk di
dalamnya arah umum dari pergerakan tanah dan batuan
b. Gravitasi adalah gaya utama yang terlibat.
c. Gerakan harus cukup cepat kerena rayapan (creep) begitu lambat
untuk dikategorikan sebagai longsoran.
d. Gerakan dapat berupa keruntuhan (Falling), longsoran/ luncuran
(Sliding), dan aliran (Flow).
e. Bidang atau daerah gerakan tidak sama dengan patahan.
f. Gerakan akan mengarah ke bawah dan menghasilkan bidang bebas,
jadi subsidence tidak termasuk.

30
g. Material yang tetap di tempat mempunyai batas yang jelas dan
biasanya melibatkan hanya bagian terbatas dari punggung lereng.
h. Material yang tetap di tempat dapat meliputi sebagai

3.7.2 Longsoran atau luncuran dalam arti yang sebernarnya


Pada umumnya longsoran atau luncuran terjadi pada suatu material yang
rapuh. Gerakan ini terjadi sepanjang satu atau beberapa bidang luncuran. Gerakan
ini bisa berupa rotasi atau translasi yang tergantung pada keadaan material serta
strukturnya. Jika gerakannya merupakan rotasi, biasanya akan menghasilkan
longsoran busur atau lingkaran. Tetapi jika gerakan ini merupakan translasi, akan
menghasilkan longsoran bidang, Gabungan kedua gerakan ini akan menghasilkan
longsoran bidang dan busur. Jenis gerakan ini yang paling banyak terjadi, seperti
yang terjadi di desa Sukasari, Bogor Timur, pada tanggal 22 november 1992 yang
memakan korban sembilan orang meninggal. Juga di desa Cikalong, Tasikmalaya,
yang terjadi pada tanggal 11 Oktober 1992 dan memakan korban 56 orang
meninggal ( M.M Purbo Hadiwidjoyo).
a. Runtuhan (Falling)
Runtuhan dapat terjadi akibat adanya bidang-bidang diskontinu pada suatu
lereng yang relatif tegak, pada rayapan dari lapisan lunak (misalnya marl) atau
gulingan blok seperti runtuhan.
b. Nedatan (Slump)
Slump, Atau dikenal juga sebagai nedatan (KBBI, 2015), Merupakan
gerakan yang terputus-putus atau tersendat-sendat dari massa tanah dan batuan ke
arah bawah dalam jarak yang relatif pendek, melaluo bidang lengkung dengan
kecepatan ekstrem lambat sampai agak cepat (Moderate). Sesuatu dengan
prosesnya yang terputus-putus nedatan mempunyai lebih dari satu bidang longsor
yang kurang lebih sejajar atau searah satu sama lain.
c. Amblesan (Subsidence)

31
Amblesan atau subsidence merupakan proses penurunan muka tanah yang
terjadi secara alamiah karena konsolidasi pada laposan tanah dangkal dan lapisan
tanah lunak, ataupun karena punuruan tekanan air tanah pada sistem akuiger
dibawahnya akibat pengaruh kegiatan manusia di atas pemukaan dan pengambilan
air tanah. Amblesan juga dapat terjadi pada pemukaan di atas suatu tambang
bawah tanah.
d. Rayapan (Creep)
Rayapan adalah gerakan yang kontiny dan relatif lambat, sehingga kita tidak
dapat melihat dengan jelas bidang rayapan. Contoh daerah pelanggan jenis
gerakan ini adalah pangadengan di Cianjur Selatan di sana daerah yang bergerak
mencakup sekitar 100 kilometer, Selain itu juga di daerah Ciamis Utara dan Banjar
negara di Jawah Tengah (M.M. Purbo Hadiwidjoyo,1992).
e. Aliran (Flow)
Gerakan ini berasosiasi dengan transportasi material oleh air atau udara dan
dipicu oleh gerakan longsoran sebelumnya. Kecepatan gerakan bisa sangat tinggi.

3.8 Pemicu dan pemacu Gerakan massa Tanah dan Batuan


Menurut definisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014), pemicu berarti
hal-hal yang menggerakkan sesuatu yang berakibat membahayakan, Sedangkan
pemacu bisa difefinisikan sebagai hal-hal yang diberikan pada sesuatu sehingga
menyebabkan perubahan.
Kedua istilah “pemicu” dan “pemacu” gerakan tanah dan batuan ini di pakai
oleh M.M. Purbo Hadiwidjoyo (1992). Pemicu yang dimaksud misalnya adalah
gempa bumi. Salah satu contoh gerakan tanah yang diduga kuat dipicu oleh gempa
bumi di Cianjur Selatan pada 13 Desember 1924, Walaupun pusat gempanya tidak
berada di Jawa Barat. Selain itu, Hujan juga dapat menjadi pemicu terjadinya
gerakan tanah, seperti yang terjadi di jalan antara Sibolga dan Medan bulan
Januari 1993.

32
Selain terkena pemicu, gerakan massa tanah tanah dan batuan dapat juga
dipacu. Misalnya saja, Lereng yang semula tahan terhadapa gerakan, karena
kakinya (toe) dipotong, untuk jalan atau untuk perumahan, akhirnya memiliki
kecenderungan lebih besar untuk bergerak.
Selanjutnya Terzaghi (1950) dan Brunsden (1979) menyatakan kurang tepat
jika mengklasifikasikan penyebab gerakan massa tanah dan batuan karena akan
sulit mendeteksinya jika peristiwa tersebut sudah berlangsung beberapa lama.
Sebagai gambaran, kedua penulis ini hanya mengklasifikasikan penyebab gerakan
massa tanah dan batuan sebagai penyebab eksternal, internal, dan kombinasi
keduanya
Secara umum, di daerah tropis seperti Indonesia, penyebab utama longsoran
lereng adalah air, baik tekanan air dalam rekahan, alterasi mineral, maupun erosi
dari lapisan lunak (Hantz,1988). Selanjutnya penyebab utama lainnya diperkirakan
karena adanya kekar yang mengalami pelapukan. Dari uraian di atas dapat
disumpulkan penyebab dari longsoran dapat dikategorikan dalam tiga faktor, yakni
:geometri, hidraulik, dan mekanik. Namun jangan dilupakan masih ada faktor lain
yang tidak dibahas di sini, yaitu faktor termik yang akan di terjemahkan ke dalam
faktor mekanik.

3.9 Kondisi Air tanah


Air adalah faktor yang paling penting dalam kebanyakan masalah stabilitas
lereng. Pengetahuan tentang kondisi air tanah sangat penting untuk analisis dan
desain lereng. Bab ini menjelaskan aliran air tanah dalam tanah, dan metode
dimana pengaruh curah hujan pada kondisi air tanah dapat diperhatikan dalam
keberlangsungan operasi penambangan. Model tanah-air dasar yang ada di alam
dijelaskan sebelum membahas aliran air tanah di tanah. Distribusi tekanan
hidrostatik ini juga ada di dalam air pori yang mengelilingi partikel tanah pada
Gambar 4 b atau pada kedalaman Hw di bawah tingkat air tanah pada Gambar 4.

33
Zona air dalam massa tanah yang memiliki tabel air dapat dibagi menjadi zona
jenuh di bawah permukaan air, dan zona kapiler di atas permukaan air (Gambar 3).
Di atas permukaan air, rongga udara meningkat seiring jarak muka air meningkat.
Zona kapiler tidak jenuh. Air di zona ini diadakan di tempat oleh daya tarik kapiler
dan diberikan kekuatan stabilisasi yang relatif besar pada struktur tanah (yang
disebut tekanan pori negatif atau hisap tanah). Zona kapiler bisa mencapai
ketinggian yang cukup tinggi di atas permukaan air di tanah berbutir halus.
Air bawah permukaan terdiri dari zona jenuh dan tak jenuh, yang masing-
masing dibagi menjadi beberapa komponen.
a. Menghasilkan tekanan pori, baik positif maupun negatif, yang
mengubah kondisi stress

(Sumber : Dunn et al., 1980.)

(A) (B)

Gambar 3.2 Tekanan hidrostatik. (A) air. (b) Air yang mengelilingi partikel-partikel
tanah. (Dunn et al., 1980.)
b. Mengubah kerapatan massa material yang membentuk lereng
c. Mengembangkan erosi internal dan eksternal
d. Mengubah konstituen mineral dari bahan yang membentuk lereng

3.9.1 Pemantauan Air Tanah

34
Kegiatan pemantauan air tanah perlu dilakukan guna mengetahui level muka air
tanah dalam lereng tambang dan timbunan. Data ini diambil secara periodik untuk
mengetahi fluktuasi air tanah pada musim kemarau, musim hujan, dan pada saat lereng
dalam kondisi kritis. Kegiatan pemantauan air tanah ini harus diikuti dengan kegiatan
pemantauan curah hujan.
Kegiatan pemantauan air tanah dapat dilakukan dengan mengunakan metode umum
seperti sumur observasi, piezometer, electrical dip meter serta pengamatan visual
terhadapa rembesan air.

3.9.2 Sumur Observasi


Ini adalah suatu istilah yang diberikan pada suatu lubang bor yang terlah
dikonstruksi sedemikian rupa sehingga air tanah pada level-level tertentu atau
keseluruhan dapat masuk ke dalamnya dan fluktuasinya dapat diamati. Dari Sumur
observasi ini juga dilakukan uji pemompaan (Pumping Test) Sehingga parameter
hidrolik seperti K (Koefisien permeabilitas), Qmax dan Qopt (Debit maksimum
dan debit optimum), dan T (transmibilitas) akuifer setempat dapat terukur.
Kebanyakan Sumur observasi ini digunakan pada saat Investigasi lapangan.

(Sumber : Dunn et al., 1980.)

Gambar 3.3 Sumur Observasi.

35
3.9.3 Piezometer
Piezometer mirip dengan sumur observasi, tetapi ukurannya lebih kecil dan
cenderung digunakan hanyak untuk memantau air di level-level tertentu yang
selanjutnya digunakan sebagai sumur pengamatan. Piezometer ini digunakan
untuk mengukur ketinggian muka air tanah dan juga dapat dikembangkan untuk
mengukur tekanan air pori bila dilengkapi dengan instrumen tertentu.
Piezometer merupakan lubang vertikal yang umumnya diameter 5 cm
(Gambar 5). Lubang tersebut dibuat dengan pengeboran open hole/cutting dengan
ujung atas yang terbuka . Lubang ini dilapisi dengan pipa agar air dari samping
tidak memenuhi lubang.
Piezometer bekerja dengan memanfaatkan sensor yang terdapat pada ujung
kabel. Kabel ini kemudian dimasukkan ke dalam sumur observasi untuk mengukur
ketinggian muka air tanahnya. Sensor akan berbunyi saat menyentuh air sehingga
dapat diketahui tinggian muka air tanah di area tersebut

(Sumber : ebook geoteknik tambang.)

Gambar 3.4 Piezometer

36
3.9.4 Dip Meter
Jenis di meter yang sering digunakan adalah jenis electrical dip meter.
Instrumen ini terdiri dari 2 kabel konduktor yang dilengkapi ukuran satuan
panjang dan pada ujung bahwanya terdapat tabung baja yang berfungsi sekaligus
sebagai pemberat sirkuit yang terpasang di dalam gulungan kabel tersebut akan
aktif bila probe menyentuh air.

(Sumber : ebook geoteknik tambang.)


Gambar 3.5 Dip Meter

3.10 Prinsip Dasar Analisi Kestabilan Lereng


Kestabilan lereng, baik lereng alamia maupun lereng buatan (buatan
manusia) serta lereng timbunan, dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat
dinyatakan secara sederhana sebagai gaya-gaya penahan dan gaya-gaya penggerak
yang bertanggung jawab terhadap kestabilan lereng tersebut. Pada kondisi gaya
penahan (terhadap longsoran) lebih besar dari gaya penggerak, lereng tersebut
akan berada dalam kondisi yang stabil (aman), Namun apabila gaya penahan lebih
kecil dari gaya penggeraknya, lereng tersebut tidak tabil dan akan terhadi
longsoran. Sebenernya, longsoran merupakan suatu proses alami yang terjadi
untuk mendapatkan kondisi kestabilan lereng yang gaya penggeraknya.

37
Untuk menyatakan tingkat kestabilan suatu lereng, dikenal istilah Faktor
Keamanan (Safety Faktor). Faktor keamanan diperlukan untuk mengetahi
kemantapan suatu lereng untuk mencegah bahaya longsoran di waktu-waktu yang
akan datang.
W
α S

W sin α
τ φ
W cos α tan φ W cos α

(sumber : Romana 1993)


Gambar 3.6 Faktor Keamanan sederhana

Dari Gambar 7 dapat dilihat bahwa gaya yang bekerja pada suatu lereng
adalah gaya berat, kemudian dihasilkan gaya penggerak dan gaya penahan. Untuk
menjaga agar benda dilereng tidak jatuh (failure), diperlukan perhitungan terhadap
kemiringan sesuai dengan faktor keamanan yang diinginkan.
Secara mekanik sederhanan, Faktor Keamanan (FK) dapat dirumuskan
sebagai berikut :

F
FK= ¿
F∗¿ ......................................................................................................... (3.1)

Dimana : Fk= Faktor keamanan lereng

F = Gaya penahan, berupa resultan gaya-gaya yang


membuat lereng tetap mantap.

F* = Gaya penggerak, berupa resultan gaya-gaya yang


menyebabkan lereng longsor

38
Apabila nilai FK untuk suatu lereng >1,0 (gaya penahan > gaya penggerak),
lereng tersebut berada dalam kondi stabil. Namun, apabila harga F < 1,0 (gaya
penahan < gaya penggerak), lereng tersebut berada dalam kondisi tidak stabil dan
mungkin akaan terjadi longsoran pada lereng tersebut.
Untuk mendapatkan, serta mengatur informasi mengenai kestabilan lereng,
pada pembahasan selanjutnya akan diberikan penjelasan mengenai analisis
kestabilan lereng, metode-metode untuk menjaga ke stabilan lereng, pemantauan
lereng tersebut serta studi kasus, baik untuk lereng tambang yang aktif maupun
untuk lereng tambang yang aktif maupun untuk lereng tambang final.

(Sumber : hoek dan bray, 1981.)

Gambar 3.7 Pengaruh air tanah terhadap kuat geser bidang lemah
Pengaruh air tanah terhadap kestabilan lereng terletak pada adanya tekanan
air pori yang akan mengurangi kekuatan geser, dan juga kandungan air tanah
meningkatkan berat batuan yang akan menjadi beban terhadap lereng.
3.11 Dewatering lereng
Salah satu ciri utama metode tambang terbuka adalah adanya pengaruh
iklim pada kegiatan penambangan. Elemen-elemen iklim tersebut antara lain:
hujan, panas (temperature), tekanan udara dan sebagainya, yang dapat
mempengaruhi kondisi tempat kerja, unjuk kerja alat dan kondisi pekerja, yang
selanjutnya dapat mempengaruhi produktifitas tambang. Air tambang memiliki
pengaruh besar terhadap produktifitas tambang. Oleh karena itu diperlukan
berbagai metode/cara untuk mengatur aliran air yang masuk ke dalam front kerja.

39
Pengendalian air tambang terbuka dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. Mine Drainage : merupakan upaya untuk mencegah masuk/mengalirnya air
ke areal front kerja. Hal ini umumnya untuk dilakukan untuk menangani
airtanah dan air yang berasal dari sumber air permukaan, misalnya : metode
pengalihan aliran air permukaan (river diversion, pembuatan paritan dsb)
b. Mine Dewatering : merupakan upaya untuk mengeluarkan air yang telah
masuk ke dalam tambang. Cara penanganannya dengan pembuatan sump
(sumuran tunda), system paritan, dan system pemompaan.

c. Tujuan dari dewatering


a Menjaga agar dasar galian tetap kering. Untuk mencapai tujuan
tersebut biasanya air tanah diturunkan dibawah dasar galian
b Mencegah erosi buluh. Pada galian tanah pasir (terutama pasir halus
dibawah muka air tanah) rembesan air kedalam galian dapat
mengakibatkan tergerusnya tanah pasir akibat aliran air
c Mencegah resiko sand boil. Pada saat dilaksanakan galian, maka
perbedaan elevasi air didalam dan diluar galian semakin tinggi
d Mencegah resiko terjadinya kegagalan upheave. Bila tekanan air
dibawah lapisan tanah lebih besar daripada berat lapisan tanah tersebut
maka lapisan tanah tersebut dapat terangkat atau mangalami failure
e Mencegah gaya uplift terhadap bangunan sebelum mencapai bobot
tertentu. Pada bangunan-bangunan yang memiliki basement, maka
pada saat bobot bangunan masih lebih kecil daripada gaya uplift dari
tekanan air, dewatering harus tetap dijalankan hingga bobot mati dari
bangunan melebihi gaya uplift tersebut.
f Mencegah rembesan
g Memperbaiki kestabilan tanah
h Mencegah pengembungan tanah
i Memperbaiki karakteristik dan kompaksi tanah terutama dasar

40
j Pengeringan lubang galian
k Mengurangi tekanan lateral

3.11.1 Metode dewatering


1. Open pumping
Metode ini masih dianggap sebagai teknik yang umum diterima dimana
kolektor digunakan untuk mengumpulkan air permukaan (khususnya air hujan)
dan rembesan dari tepi galian. Tentu saja posisi kolektor akan mengikuti terus
elevasi galian. Fungsi kolektor adalah untuk membuang air keluar galian, metode
open pumping dipilih bila :
a Karakteristik dari tanah merupakan tanah padat, bergradasi baik dan
berkohesi
b Debit rembesan air tidak besar
c Sumur / selokan untuk pemompaan tidak mengganggu atau merugikan
pada tanah / bangunan yang akan dilaksanakan
2. Predrainage
Prinsip metode predrainage adalah menurunkan muka air terlebih dahulu
sebelum pekerjaan galian dimulai. Metode predrainage dipilih, bila :
a Karakteristik dari tanah merupakan tanah lepas, berbutir seragam, cadas
lunak dengan banyak celah
b Debit rembesan cukup besar dan tersedia saluran pembuangan air
c Slope tanah sensitif terhadap erosi atau mudah terjadi rotary slide
d Tidak mempunyai efek mengganggu bangunan disekitarnya.
I. Ada 2 sistem predrainage, yaitu :
a Single Stage Predrainage
b Multi Stage Predrainage
II. Ada 2 jenis metode dewatering predrainage, yaitu :
a Well Points
b Pompa Dalam (Submersible Pump)

41
3. Cut Off
Prinsip metode cut off adalah memotong aliran bidang air tanah melalui
cara mengurung daerah galian dengan dinding. Metode ini perlu
memperhitungkan dalamnya “D” tertentu agar tidak terjadi rembesan air masuk
ke dalam daerah galian.
I. Dinding cut off dapat menggunakan :
a Stell sheet pile (tidak dipakai sebagai struktur dinding permanen)
b Concrete diaphragma wall (sebagai struktur dinding permanen)
c Concrete secant pile (dapat dipakai sebagai dinding permanen)
II. Metode cut off dipilih, bila :
a Kondisi sama dengan pemilihan predrainage
b Dinding cut off difungsikan juga sebagai penahan tanah atau sebagai
dinding basement
c Penurunan MAT akan mengganggu / merugikan lingkungan
sekitarnya.

3.12 Program GeoStudio 2012


GEO-SLOPE Office merupakan sebuah paket aplikasi yang digunakan
untuk pemodelan gepteknik dan geo-lingkungan. Didalam software ini terdapat
SLOPE/W, SEEP/W, SIGMA/W, QUAKE/W, TEMP/W, dan CITRAN/W yang
sifatnya teringrasi sehingga memungkinkan untuk menggunakan satu produk ke
dalam produk yang lain. Fitur yang kuat memperluas jenis masalah yang dapat
dianalisis dan memberikan flksibilitas untuk memperoleh modul seperti yang
dibutuhkan untuk proyek yang berbeda. Berikut ini merupakan produk program
GeoStudio 2012 yang dapat digunakan untuk pemodelan geoteknik dan geo-
lingkungan :

42
1. SLOPE/W adalah produk perangkat lunak untuk meghitung faktor keaman
tanah dan kemiringan. Dengan produk ini, kita bisa menganalisis masalah baik
secara sederhana maupun kompleks dengan berbagai permukaan yang miring,
kondisi tekanan pori-air, sifat tanah dan beban terkonsentrasi. Kita dapat
menggunakan elemen tekanan pori air yang terbatas, tegangan statis, atau
tekanan dinamik pada analisis kestabilan lereng.
2. SEEP/W adalah salah satu software yang digunakan untuk menganalisis
rembesan air tanah, masalah kelebihan disipasi tekanan pori-air. Dengan
produk ini, kita bisa mempertimbangkan analisis mulai dari masalah tingkat
kejenuhan yang tetap sampai yang tidak jenh, tergantung dari masalah itu
terjadi.
3. SIGMA/W adalah produk yang dipakai untuk menganalisis tekanan geoteknik
dan masalah-masalah deformasi. Dengan software ini, kita dapat
mempertimbangkan analisis mulai dari masalah deformasi sederhana hingga
masalah tekanan-efektif lanjutan secara bertahap dengan menggunakan model
konstitutif tanah seperti linier-elastis, aniostropik linier-elastis, nonlinier-elastis
(hiperbolik), elastic-plastik atau Cam-clay.
4. QUAKE/W merupakan salah satu perangkat lunak yang digunakan untuk
menganalisis gerakan dinamis dari struktur bumi hingga menyebabkan gempa
bumi. Produk ini sangat cocok untuk menganalisis perilaku dinamis dari
bendungan timbunan tanah, tanah dan kemiringan batuan, daerah disekitar
tanah horizontal dengan potensi tekanan pori-air yang berlebih akibat gempa
bumi.
5. TEMP/W merupakan salah satu software yang digunakan menganalisis
masalah panas bumi. Selain itu, produk ini bisa menganalisis masalah
konduksi tingkat panas yang tetap. Kita dapat mengontrol tingkat dimana
panas diserap atau dibebaskan selama fase perubahan. Kondisi batas termal
dapat ditentukan dari memasukkan data iklim dan kondisi batas untuk
termosyphons dan pipa pembekuan.

43
6. CTRAN/W adalah salah satu perangkat lunak yang penggunaannya
berhubungan dengan SEEP/W untuk pemodelan transportasi
kontaminasi.Produk ini dapat menganalisa masalah yang sederhana seperti
pergerakan partikel dalam gerakan air atau serumit menganalisis proses yang
melibatkan difusi, disperse, adsorpsi, peluruhan radioaktif dan perbedaan
massa jenis.
7. VADOSE/W adalah satu satu software yang berhubungan dengan lingkungan,
permukaan tanah, zona vadose dan daerah air tanah lokal. Sofware ini dapat
menganalisa masalah fluks seperti :
a. Rancangan dan memonitor performa satu atau lebih lapisan yang menutupi
tambang dan fasilitas limbah rumah.
b. Menentukan iklmim yang mengontrol distrubusi tekanan pori-air pada
lereng untuk digunakan dalam analisis stabilitas.
c. Menentukan infiltrasi, evaporasi dan transpirasi dari proyek-proyek
pertanian atau irigasi.
8. Seep3D digunakan untuk pemodelan 3D dari air tanah yang jenuh atau tidak
jenuh. Dengan menggunakan Seep3D, kita dapat memperluas analisis aliran air
tanah regional dengan menyertakan geometri struktur tertentu seperti waduk
dan bendungan, hambatan arus cut off, rembesan saluran air atau sumur,
gabungan aliran dari samping dan bawah lereng dan infiltrasi serta aliran
dalam sistem penghalang limbah.

3.12.1 Entry and exit specification


Salah satu kesulitan dengan metode Grid dan Radius yang bersejarah adalah
bahwa sulit untuk memvisualisasikan luasan dan / atau jangkauan permukaan slip
percobaan. Keterbatasan ini dapat diatasi dengan menentukan lokasi di mana
permukaan slip uji kemungkinan akan memasuki permukaan tanah dan di mana
mereka akan keluar. Teknik ini disebut metode Masuk dan Keluar dalam SLOPE /
W. Pada Gambar 8, ada dua garis tebal (merah) di sepanjang permukaan tanah. Ini

44
adalah area di mana permukaan slip akan masuk dan keluar. Jumlah entri dan jalan
keluar dapat ditentukan sebagai jumlah kenaikan sepanjang dua garis ini.

(sumber : Geostudio 2012)

Gambar 3.8 Masuk dan keluar area untuk membentuk permukaan slip
percobaan.
Di belakang layar, SLOPE / W menghubungkan titik di sepanjang area
masuk dengan titik di sepanjang area keluar untuk membentuk garis. Pada titik
tengah garis penghubung ini, SLOPE / W membuat garis tegak lurus. Titik-titik
radius di sepanjang garis tegak lurus dibuat untuk membentuk titik ketiga yang
diperlukan dari sebuah lingkaran (Gambar 8).
Titik radius ini bersama dengan titik masuk dan keluar digunakan untuk
membentuk persamaan lingkaran.
SLOPE / W mengontrol lokasi dari titik-titik radius ini sehingga lingkaran
tidak akan menjadi garis lurus (jari-jari tak terbatas), dan sudut masuk dari
lingkaran slip pada puncak tidak akan lebih besar dari 90 derajat (melemahkan
lingkaran selip). Persamaan lingkaran memberikan pusat dan jari-jari lingkaran,
permukaan slip percobaan kemudian ditangani dengan cara yang sama seperti
metode Grid dan Radius konvensional dan sebagai hasilnya, metode Masuk dan
Keluar adalah variasi dari Grid dan Radius metode. Jumlah penambahan radius
juga merupakan variabel yang ditentukan.

45
Entry points

Exit points
Radius points

(sumber : Geostudio 2012)

Gambar 3.9 Sekama dari permukaan slip masuk dan keluar

Gambar 11 menunujukkan semua permukaan slip yang valid ketika


penambahan entri, kenaikan keluar dan penambahan radius ditetapan sama dengan
5. Sebanyak 216 (6x6x6) Permukaan slip dihasilkan. Permukaan slip kritis adalah
area yang diarsir lebih gelap.

(sumber : Geostudio 2012)

Gambar 3.10 Tampilan semua permukaan slip kritis yang valid

Dalam SLOPE / W, permukaan slip yang dihasilkan dari Entry dan Exit
zones dapat dikontrol dengan spesifikasi radius 4 titik dengan cara yang sama
seperti metode Gird dan Radius Gambar 11. Radius yang ditentukan akan
memaksa permukaan slip yang dihasilkan bersinggungan dengan garis radius.
Gambar 10 Dalam kasus radius dua titik, semua permukaan slip akan melewati

46
zona radius yang ditentukan. Dalam kasus radius titik tunggal, semua permukaan
slip akan dipaksa melewati titik radius.

Gambar 3.11 Permukaan masuk dan keluar dengan spesifikasi radius

Gambar 3.12 Tampilan semua permukaan slip kritis yang valid dengan
spesifikasi radius

Spesifikasi radius dalam metode Masuk dan Keluar dapat berguna dalam
situasi di mana permukaan slip dikendalikan oleh tempat tidur dari bahan yang
lebih lemah, atau lapisan material yang tak tertembus (batuan dasar).

47
Perhatikan bahwa meskipun SLOPE / W memposting tanpa batasan ke
lokasi Zona Masuk dan Keluar, disarankan bahwa zona Masuk dan Keluar harus
ditentukan secara hati-hati di lokasi di mana permukaan slip kritis diharapkan pada
siang hari. Mendefinisikan Zona Masuk dan Keluar yang besar di permukaan
tanah secara membabi buta dapat menyebabkan banyak permukaan slip yang tidak
mungkin dan dapat kehilangan permukaan slip kritis yang nyata.

3.12.2 Optimization
Semua metode tradisional untuk membentuk permukaan slip percobaan
mengubah seluruh permukaan slip. Penelitian terbaru telah mengeksplorasi
kemungkinan secara bertahap mengubah hanya bagian dari permukaan slip
(Greco, 1996; Malkawi, Hassan dan Sarma, 2001). Variasi teknik yang
dipublikasikan telah diimplementasikan dalam SLOPE / W. Setelah menemukan
permukaan slip kritis dengan salah satu metode yang lebih tradisional, teknik
segmental baru diterapkan untuk mengoptimalkan solusi.
Langkah pertama dalam proses optimasi adalah membagi permukaan slip
menjadi beberapa segmen garis lurus. Permukaan slip pada intinya menjadi seperti
permukaan slip yang Ditentukan Sepenuhnya. Selanjutnya, titik akhir dari segmen
garis dipindahkan untuk menyelidiki kemungkinan faktor keamanan yang lebih
rendah. Prosesnya dimulai dengan titik di mana permukaan slip masuk ke
permukaan tanah. Titik ini dipindahkan ke belakang dan maju secara acak di
sepanjang permukaan tanah sampai faktor keamanan terendah ditemukan.
Selanjutnya, penyesuaian dilakukan ke titik berikutnya di sepanjang permukaan
slip hingga lagi-lagi faktor keamanan terendah ditemukan. Proses ini diulang
untuk semua titik di sepanjang permukaan slip. Selanjutnya, segmen garis
permukaan slip terpanjang dibagi menjadi dua bagian dan titik baru dimasukkan
ke tengah. Proses ini berulang-ulang hingga perubahan dalam faktor keamanan
yang dihitung berada dalam toleransi yang ditentukan atau hingga proses mencapai
batas yang ditentukan (misalnya, jumlah maksimum percobaan pengoptimalan).

48
Gambar 14 menyajikan permukaan slip yang dioptimalkan relatif terhadap
permukaan slip sirkular tradisional dari kemiringan sederhana. Bahan di atas
jempol kaki agak lebih kuat dari tanah di bawah elevasi kaki di contoh ini. Faktor
keamanan untuk permukaan slip melingkar ini adalah 1.280, sedangkan untuk
kasus yang dioptimalkan faktor keamanan adalah 1.240. Yang menarik adalah
pengamatan bahwa ada permukaan slip lain yang mengarah ke faktor keamanan
yang lebih rendah daripada yang diperoleh untuk permukaan slip melingkar yang
diasumsikan.

Gambar 3.13 Permukaan slip tradisional (Kiri) dan Dioptimalkan (Kanan)

Elemen kunci dalam prosedur optimasi adalah teknik yang digunakan untuk
memindahkan titik akhir segmen garis. SLOPE / W memindahkan titik-titik dalam
area pencarian elips menggunakan prosedur berjalan acak statistik berdasarkan
metode Monte Carlo. Ini dapat diilustrasikan secara grafis pada Gambar 14.

Movement along
ground surface

Movement along
ground surface

Point movement areas

Gambar 3.14 Area gerakan titik dalam prosedur optimasi

49
Seperti yang sudah jelas, optimisasi adalah prosedur iteratif dan akibatnya
beberapa batasan dan kontrol diperlukan. Kontrol ini termasuk mendefinisikan
toleransi ketika membandingkan faktor keamanan, jumlah maksimum percobaan
pengoptimalan, dan jumlah segmen garis. Parameter pengendali ini dijelaskan
dalam bantuan online.

Solusi dalam Gambar 3.14 dibahas pada bagian tentang metode Blok.
Solusi optimal disajikan pada Gambar 3.14. Faktor keamanan blok adalah 1.744
sedangkan faktor keamanan yang dioptimalkan adalah 1.609.

Gambar 3.15 Slip permukaan saat menggunakan metode Blok

Gambar 3.16 Selipkan permukaan saat metode Block dioptimalkan

Dua contoh di atas yang dibahas di sini menggambarkan bahwa


permukaan slip memang ada yang memiliki faktor keamanan yang lebih rendah
daripada slip percobaan yang dapat dibuat oleh parameter geometrik yang
diasumsikan. Ini adalah daya tarik teknik pengoptimalan. Selain itu, bentuk yang
dioptimalkan, tanpa sudut tajam, secara intuitif lebih realistis.

Gambar 3.16 menunjukkan perbedaan slip yang sepenuhnya ditentukan


dan permukaan slip setelah optimasi untuk geometri dengan lapisan tipis yang
lemah. Permukaan slip yang sepenuhnya ditentukan tidak mengikuti lapisan yang

50
lemah dan menghasilkan faktor keamanan 1.2, tetapi proses yang dioptimalkan
mampu menemukan lapisan yang lemah dan menemukan faktor keamanan yang
lebih kecil 0,96. Proses Optimisasi menarik dalam bahwa permukaan slip
percobaan didasarkan pada sifat-sifat tanah sampai batas tertentu. Teknik ini akan
bias ke arah lapisan yang lemah atau arah yang lemah untuk kekuatan anisotropik.

Gambar 3.17 Permukaan slip yang ditentukan sepenuhnya (Kiri) setelah


pengoptimalan (Kanan)

Prosedur Optimasi agak tergantung pada posisi permukaan slip awal.


Alasan utama untuk ini adalah area pencarian elips yang tersedia selama prosedur
random walk. Karena area pencarian elips didasarkan pada permukaan slip awal,
tidak sulit untuk memahami bahwa permukaan slip yang dioptimalkan akhir dapat
dibatasi oleh seleksi yang buruk dari permukaan slip awal.

Dalam contoh yang memiliki lapisan tipis yang lemah, tergantung pada
posisi awal dari permukaan slip, proses optimasi mungkin tidak dapat menemukan
permukaan slip kritis sepanjang lapisan yang lemah (Gambar 8.15).

Dalam SLOPE / W, permukaan slip kritis dari pencarian biasa selalu


digunakan sebagai permukaan slip awal dalam proses optimasi. Dalam banyak
kasus, faktor keamanan yang lebih kecil dapat diperoleh setelah pengoptimalan.

51
Gambar 3.18 Permukaan slip yang ditentukan sepenuhnya (Kiri) setelah
pengoptimalan (Kanan)

Harap dicatat bahwa selama tahap optimasi, poin dalam area pencarian elips
dapat bergerak ke segala arah dalam upaya untuk menemukan permukaan slip
dengan faktor keamanan yang lebih rendah. Dalam kondisi normal, permukaan
slip dioptimalkan akhir adalah "cembung" dalam bentuk seperti yang ditunjukkan
pada Kesalahan! Sumber referensi tidak ditemukan. Namun, dalam beberapa
kondisi dengan beban eksternal yang tinggi dan variasi kekuatan material yang
besar, permukaan slip akhir yang dioptimalkan dapat mengambil bentuk "cekung"
yang aneh. Permukaan slip cekung dapat memberikan faktor keamanan yang lebih
rendah secara matematis, tetapi bentuk cekung mungkin tidak dapat diterima
secara fisik. Dengan kata lain, Anda harus menilai validitas solusi yang
dioptimalkan tidak hanya berdasarkan faktor keamanan tetapi juga berdasarkan
bentuk permukaan slip. SLOPE / W memberi Anda opsi untuk menentukan sudut-
sudut cekung maksimum yang diizinkan untuk hulu (sisi mengemudi) dan
downsteam (sisi yang berlawanan).

3.12.3 Metode Analisis Geoslope


a) Morgenstern-Price Method
Metode Morgenstern-Price memenuhi keseimbangan gaya dan momen
dan menggunakan fungsi kekuatan interslice yang dipilih. SLOPE / W
menggunakan metode pencarian (dapat dipilih pada tab Advanced)
untuk menemukan nilai lambda yang menghasilkan faktor keamanan
yang sama untuk kedua momen dan kekuatan kesetimbangan. Dalam
kasus-kasus ketika tidak ada faktor keamanan yang umum dapat
ditemukan, solusinya dianggap sebagai tidak terkonvergensi.
b) Spencer Method
Metode Spencer memenuhi keseimbangan gaya dan momen dan terbatas
pada fungsi gaya interslice konstan. SLOPE / W menggunakan metode

52
pencarian (dapat dipilih pada tab Advanced) untuk menemukan nilai
lambda yang menghasilkan faktor keamanan yang sama untuk kedua
momen dan kekuatan kesetimbangan. Dalam kasus-kasus ketika tidak
ada faktor keamanan yang umum dapat ditemukan, solusinya dianggap
sebagai tidak terkonvergensi.
c) Bishop Method
Metode Bishop mempertimbangkan gaya normal tetapi bukan gaya
geser di antara irisan. Metode Bishop hanya memenuhi momen
ekuilibrium.
d) Janbu Method
Metode Janbu mempertimbangkan gaya normal tetapi bukan gaya geser
di antara irisan. Metode Janbu hanya memenuhi kesetimbangan gaya.
Faktor keamanan Janbu tidak termasuk faktor koreksi empiris Janbu,
untuk. Faktor koreksi harus diterapkan secara manual.

53

Anda mungkin juga menyukai