Anda di halaman 1dari 23

BAB I :

Pendahuluan
Kondisi Indonesia dalam peredaran narkotika sudah pada tingkat yang
menghawatirkan. Sebanyak 13 tempat produksi ekstasi, dua di antarany a
berlokasi di jawa Barat. Hasil Survey Badan Narkotika Nasional (BNN) bekerja
sama dengan Universitas Indonesia terhadap pelajar dan mahasiswa, diperoleh
data bahwa anak usia tujuh tahun sudah mulai mengkonsumsi narkoba jenis
inhalan, pada usia delapan tahun menggunakan ganja dan pada usia 10 tahun
sudah menggunakan narkoba dengan jenis yang bervariasi, yaitu pil penenang,
ganja dan morfin. Dari tingkat pendidikan, kelompok yang paling banyak
mengkonsumsi narkoba adalah kalangan mahasiswa (9,9 %), SLTA (4,8 %), dan
SLTP (1,4 %).

Persentase di atas hanyalah sekelumit dari permasalahan narkoba yang


jumlah sebenarnya diperkirakan beberapa kali lipat. Masalah narkoba merupakan
fenomena gunung es yang hanya tampil sedikit di permukaan, sementara bagian
masalah terbesar tersembunyi di bawah permukaan. Oleh karena itu, walaupun
jumlah kasus tindak pidana narkoba masih sedikit dibandingkan dengan jumlah
penduduk Indonesia, namun persentase peningkatannya tidak bisa dianggap biasa.

Untuk mewujudkan masyarakat yang bebas narkoba bukanlah hal yang


mudah karena penanganan tidak bisa hanya dilakukan secara parsial, tapi harus
menyeluruh, multidimensi dan melibatkan berbagai unsur pemerintah maupun
masyarakat. Upaya penanggulangan tidak hanya ditekankan pada aspek represif,
kuratif dan rehabilitatif, tapi aspek preventif pun harus mendapat perhatian sama.
Apalagi bila mengingat bahwa dalam hitungan di atas kertas baru sebagian kecil
warga masyarakat yang terjerumus sebagai pengguna narkoba, sebagian besar lagi
sebenarnya masih bisa diselamatkan.
BAB II :
ISI
 Membangun remaja bebas narkoba menuju keluarga dan bangsa
berketahanan
Persoalan kenakalan remaja di negara kita beberapa tahun belakangan ini
telah memasuki titik kritis. Selain frekuensi dan intensitasnya terus meningkat,
kenakalan remaja saat ini sudah mengarah pada perbuatan yang melanggar norma,
hukum, dan agama. Betapa sering kita sekarang ini dikejutkan oleh berita-berita
kenakalan remaja yang sudah kelewat batas. Ada anak-anak yang tega membunuh
ayah kandungnya gara-gara tidak mau membelikan sepeda motor. Ada pula yang
dengan sadis mencederai atau menganiaya teman sekolahnya hanya sekedar untuk
meminta sejumlah uang. Bahkan tidak sedikit yang berani kurang ajar menipu,
mencuri atau merampok karena ingin hidup enak dan foya-foya tanpa mau bekerja
keras. Belum lagi banyaknya remaja yang sudah memiliki kebiasaan buruk seperti
merokok, minum-minuman keras, berjudi, berkelahi, membuat keonaran, merusak
serta melakukan seks bebas dan mengkonsumsi narkoba.

Peristiwa makin banyaknya penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar


saat ini benar-benar telah menggelisahkan masyarakat dan keluarga-keluarga di
Indonesia. Betapa tidak, meskipun belum ada penelitian yang pasti berapa banyak
remaja pengguna narkoba, namun dengan melihat kenyataan di lapangan bahwa
semakin banyak remaja kita yang terlibat kasus narkoba menjadi indikasi betapa
besarnya pengaruh narkoba dalam kehidupan yang terjadi di kalangan remaja kita
ibarat fenomena gunung es dimana kasus yang terlihat hanya sebagian kecil saja,
sementara kejadian yang sebenarnya sudah begitu banyak.

Hasil Survai Badan Narkoba Nasional (BNN) tahun 2005 terhadap 13.710
responden di kalangan pelajar dan mahasiswa menunjukkan penyalahgunaan
narkoba usia termuda 7 tahun dan rata-rata pada usia 10 tahun. Survai dari BNN
ini memperkuat hasil penelitian Prof. Dr. Dadang Hawari pada tahun 1991 yang
menyatakan bahwa 97% pemakai narkoba adalah para remaja.
Di DIY sendiri kasus peredaran narkoba sudah begitu marak. Dinas Sosial
Propinsi DIY hingga akhir tahun 2004 menemukan 5.561 orang pengguna
narkoba. Di tahun 2005 saja, Polda DIY menangani 181 perkara narkoba, yang
meliputi 85 perkara psikotropika dan 96 narkoba, dengan 210 tersangka (201
orang laki-laki dan 9 orang perempuan). Yang mengerikan, dari kasus itu 28% di
antara mereka yang terlibat adalah remaja berusia 17 – 24 tahun. Menurut dr. Inu
Wicaksono dari RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta telah menjadi kota nomor dua
penyebaran narkoba di Indonesia setelah Jakarta.

Khusus di Kabupaten Kulon Progo, berdasarkan data Sat Narkoba Polres


Kulon Progo, dapat diketahui bahwa pada tahun 2007 terdapat 1 kasus narkoba.
Namun hasil patroli minum-minuman keras pada bulan Maret 2008 telah
menemukan 11 kasus anak minum-minuman keras yang kemungkinan besar juga
terlibat dalam penyalahgunaan obatobatan terlarang.

 Bahaya Laten Narkoba dan Hancurnya Ketahanan Keluarga dan


Bangsa
Mau tidak mau kita harus mengakui, narkoba akan menjadi bahaya laten
bagi remaja kita dan masa depan keluarga, masyarakat dan bangsa bila tidak
segera dicari caracara penanggulangan yang efektif dan efisien. Ada dua alasan
mendasar hal itu bisa terjadi.

Pertama, karena narkoba dapat merusak kesehatan remaja kita. Remaja


yang kecanduan narkoba akan mengalami kemunduran fungsi organ tubuh dan
system kekebalannya. Daya pikir sangat berkurang, kehilangan minat / semangat
untuk melakukan mengikuti pelajaran sehingga prestasi belajarnya akan terus
menurun. Bahkan bila tingkatannya sudah sangat tinggi, bila mereka berumah
tangga kelak keturunannya bias menjadi anak idiot ataupun perkembangan
jiwanya terbelakang, mendekati debil dan embisil karena sistem sarafnya
terganggu.
Kedua, penyalahgunaan narkoba telah menyeret remaja pada perbuatan
buruk lainnya tanpa memikirkan dampaknya lebih jauh. Karena terdorong oleh
kenikmatan yang sebenarnya semu sebagai efek sesaat penggunaan narkoba
segera setelah merasuk ke tubuhnya, sang remaja akan terus berupaya
mendapatkan barang tersebut bagaimanapun caranya. Tidak peduli harus menipu,
mencuri, mengompas, merampok atau bahkan dengan membunuh sekalipun.
Bahkan untuk remaja putri akan dengan mudah menyerahkan keperawanan dan
tubuhnya untuk “disantap” pria hidung belang atau teman sejawatnya sekedar
guna mendapatkan barang haram tersebut.

Semuanya itu jelas akan memburamkan masa depan keluarga, masyarakat,


dan bangsa termasuk masa depan remaja itu sendiri. Logika yang dapat ditarik
sangat sederhana. Remaja yang menyalahgunakan narkoba sudah menjadi
generasi yang rusak dan sulit dibenahi. Tubuhnya tidak lagi fit dan fresh untuk
belajar dan bekerja membantu orangtua, sementara mentalnya telah dikotori oleh
niat-niat buruk untuk mencari cara mendapatkan barang yang sudah membuatnya
kecanduan. Bila sudah demikian, apa yang dapat diharapkan dari mereka? Sudah
produktifitasnya rendah, kemampuan berpikirnya lemah, masih ditambah
perilakunya liar tanpa kendali. Apalagi mengindahkan nilai moral, etika hukum
dan agama. Artinya, mereka tidak dapat diharapkan lagi menjadi generasi penerus
bangsa yang berkualitas yang mampu mengangkat harkat diri, keluarga,
masyarakat dan bangsanya ke arah yang lebih baik. Khusus dalam lingkungan
keluarga, remaja pengguna narkoba akan memporakporandakan ketahanan
keluarga yang dengan susah payah dibangun oleh kedua orang tuanya. Keluarga
menjadi tidak lagi mampu mencapai ketenangan hidup, komunikasi antar anggota
keluarga terganggu, tumbuh rasa was-was serta kondisi ekonomi yang morat-
marit karena ulah sang anak. Belum lagi timbulnya rasa saling curiga saat terjadi
peristiwa kehilangan uang / barang karena dicuri oleh anaknya yang telah
kecanduan narkoba. Atau munculnya sikap saling menyalahkan, menyesal atau
bahkan bersumpah serapah melihat perilaku anaknya yang bak binatang karena
tanpa perasaan. Disini bisa dibayangkan betapa pedih dan perih hati orang tua
yang akan mengganggu perasaan dan aktifitas sehari-hari, sehingga bisa pula
diramalkan betapa fungsi keagamaan, sosial budaya, cinta kasih dan melindungi
serta fungsi pendidikan dalam keluarga akan menjadi luntur dan sirna. Sementara
pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut secara baik menjadi pilar utama untuk dapat
membangun keluarga berketahanan sebagai syarat pokok untuk dapat menjadi
keluarga yang berkualitas.

Sementara kita pun tahu bahwa betapapun kecil kontribusinya, ketahanan


keluarga akan mempengaruhi ketahanan bangsa. Karena sebuah negara terdiri dari
kumpulankumpulan keluarga yang membentuk lingkungan masyarakat dan
lingkungan kewilayahan yang menjadi bagian dari negara dimaksud. Jadi bila
keluarga-keluarga sebagai institusi terkecil dalam masyarakat ketahanannya
hancur akibat remajanya banyak yang menggunakan narkoba, ketahanan bangsa
pun akan hancur pula tanpa menunggu waktu lama.

 Remaja Bebas Narkoba


Perlu dimengerti bahwa sebenarnya narkoba yang merupakan akronim dari
narkotika dan obat-obatan terlarang sebenarnya bukan merupakan hal baru dalam
dunia medis. Narkotika merupakan zat atau tanaman / bukan tanaman baik sintetis
maupun semi sintetis yang dapat mengakibatkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan
dapat menimbulkan ketergantungan (UU No 22 tahun 1997). Sementara obat-
obatan terlarang (psikotropika) yang dimaksud adalah zat atau obat, baik alamiah
maupun sintetik bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh
selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
aktifitas mental dan perilaku (UU No 5 Tahun 1997).
Narkoba bila digunakan pada takaran tertentu menurut resep dokter akan
memberikan resep kesegaran dan dapat menghilangkan rasa sakit pada pasien.
Namun apabila dikonsumsi secara berlebihan yang dalam hal ini diistilahkan
dengan penyalahgunaan, akan menimbulkan berbagai efek negatif sebagaimana
telah dipaparkan di muka.

Itu pun baru sebagian kecil dari bahaya narkoba. Sebab secara detil,
pecandu narkoba akan mengalami penderitaan lahir batin yang luar biasa. Mulai
dari mata nerocos, hidung meler-meler, mual-mual sampai muntah, diare, tulang
dan sendi nyeri, tidak bias tidur serta tidak doyan makan, selalu curiga, mudah
emosi, hingga selalu gelisah, kacau dan sering mengalami halusinasi penglihatan.
Penderitaan ini masih harus ditambah dengan adanya rasa hampa, depresi, ingin
mati, tekanan darah meningkat sampai bias stroke.

Dengan mengingat segala efek negatif penyalahgunaan narkoba tersebut,


sudah selayaknya remaja-remaja di Indonesia dibebaskan dari narkoba. Karena
dampaknya sungguh-sungguh tidak sepadan dengan manfaat yang diperoleh.
Kita tahu bahwa remaja adalah generasi muda harapan bangsa. Mereka yang akan
mewarisi tanah air kita berikut segala potensi sumber dayanya. Hal ini berarti
remaja suka tidak suka dan mau tidak mau harus siap memikul tanggung jawab
yang tidak ringan namun mulia tersebut. Sehingga mereka harus dibebaskan dari
narkoba yang nyata-nyata memiliki efek merusak.

Upaya membangun remaja bebas narkoba menjadi semakin penting untuk


saat ini, karena kita telah memasuki era millenium tiga yang penuh persaingan
akibat kehidupan yang mengglobal. Dunia sekarang ini tidak lagi disekat oleh
ruang dan waktu. Berkat kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, semua
orang dapat mengakses segala informasi dari belahan bumi lain. Dengan
diterapkannya pasar bebas, maka bangsa-bangsa
yang memiliki SDM majulah yang mampu bersaing. Apa makna dari semuanya
itu?
Bangsa kita akan terus terjebak dalam kemiskinan, keterbelakangan, dan
tanpa harapan masa depan bila generasi remajanya banyak yang terbelenggu oleh
narkoba. Sehingga upaya mewujudkan remaja bebas narkoba menjadi upaya
strategis yang tidak bias ditawarkan ataupun ditunda.

 Tiga Langkah Penting


Membangun remaja yang bebas dari penyalahgunaan narkoba harus
didasarkan pada pencermatan terhadap karakteristik pengguna narkoba sekaligus
tindakan yang melatarbelakanginya.

Menurut analisis Dr. Graham Blaine (psikiater), penyebab seseorang


mengkonsumsi narkoba tidak hanya berasal dari keinginan individu itu sendiri
akan tetapi juga berasal dari lingkungan sekitarnya. Selanjutnya dari beberapa
studi yang pernah dilakukan, karakteristik pengguna narkoba biasanya adalah
remaja-remaja kita yang “bermasalah”. Bermasalah disini artinya memiliki beban
mental/kejiwaan yang menurut mereka sangat berat dan sulit untuk ditanggung.

Misalnya terlalu sering dimarahi orang tua, tidak disukai lingkungan,


merasa bersalah karena orang tuanya bercerai, tidak mendapat kasih sayang,
prestasi belajar jelek, merasa diremehkan teman yang membuat sakit hati, merasa
kurang percaya diri, dan sebagainya. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri
diantara sekian banyak pengguna narkoba juga disebabkan keinginan yang besar
remaja itu sendiri untuk mencobanya setelah mendapat desakan atau tawaran dari
teman dekat, pacar atau mungkin orang yang tak dikenal. Keinginan yang besar
ini sedikit banyak dipengaruhi oleh sedikitnya pengetahuan mereka tentang
narkoba, serta sedikitnya yang diterima ataupun pengaruh tayangan televisi yang
kurang mendidik.

Oleh karena itu, menurut hemat penulis ada tiga langkah penting untuk
membangun remaja masa depan yang bebas narkoba.
Pertama, dalam lingkungan keluarga, orang tua berkewajiban memberikan kasih
sayang yang cukup terhadap para remajanya. Mereka tidak boleh cepat marah dan
main pukul tatkala sang remaja melakukan kesalahan baik dalam tutur kata, sikap
maupun perbuatannya, tanpa diberi kesempatan untuk membela diri. Sebaliknya
orang tua harus bersikap demokratis terhadap anaknya. Anak harus diposisikan
sebagai insan yang juga membutuhkan penghargaan dan perhatian. Tidak cukup
hanya diperhatikan kebutuhan fisiknya, tetapi juga kebutuhan psikisnya. Sehingga
komunikasi yang hangat antara orang tua dan anak-anaknya menjadi langkah
utama yang jitu untuk menjalin hubungan yang harmonis agar sang remaja
menjadi tenteram dan nyaman tinggal di rumah. Jadi mereka tidak membutuhkan
pelampiasan atau pelarian di luar rumah tatkala menghadapi persoalan yang rumit.

Kedua, dalam lingkungan sekolah, pihak sekolah berkewajiban memberikan


informasi yang benar dan lengkap tentang narkoba sebagai bentuk antisipasi
terhadap informasi serba sedikit namun salah tentang narkoba yang selama ini
diterima dari pihak lain. Pihak sekolah juga perlu mengembangkan kegiatan yang
berhubungan dengan penanggulangan narkoba dalam rangka mencegah dan
mengatasi meluasnya penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar, seperti
melakukan pembinaan dan pengawasan secara rutin terhadap siswa baik dengan
melibatkan pihak lain (kepolisian, komite sekolah, orang tua), menggiatkan
kegiatan ekstra kurikuler yang bermanfaat, serta mengembangkan suasana yang
nyaman dan aman bagi remaja untuk belajar. Di samping itu pihak sekolah perlu
berupaya keras “mensterilkan” lingkungan sekolah dari peredaran dan
penyalahgunaan narkoba, dengan tidak membolehkan sembarang orang memasuki
lingkungan sekolah tanpa kepentingan yang jelas dan mencurigakan.

Ketiga, dalam lingkungan masyarakat, para tokoh agama, tokoh masyarakat,


perangkat pemerintahan di semua tingkatan mulai dari Presiden, Gubernur,
Bupati, Camat, Lurah, Dukuh, hingga Pak RT dan Pak RW perlu bersikap tegas
dan konsisten terhadap upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba di
lingkungannya masing-masing yang didukung penuh oleh pihak keamanan dan
kepolisian. Mereka perlu terus-menerus memberi penyadaran pada seluruh warga
masyarakat akan bahaya mengkonsumsi narkoba tanpa indikasi medik dan
pengawasan ketat dari dokter dalam rangka penyembuhan.

Khusus para tokoh masyarakat dan tokoh agama tidak boleh mengenal
lelah dan bosan menanamkan norma-norma dan kebiasaan yang baik sebagai
warga masyarakat, baik dalam hubungannya dengan sesama manusia maupun
dengan Tuhannya.

Melalui ketiga langkah penting tersebut, dapat dipastikan akan mampu


membangun remaja bebas narkoba di masa depan. Agar hasilnya lebih efektif
pihak pemerintah perlu mencanangkan gerakan bebas narkoba dengan berbagai
kegiatan yang menarik dan bernilai pesan tinggi seperti menyelenggarakan pentas
seni, pengajian akbar, lomba karya tulis, talkshow, dan sebagainya. Disamping
mensosialisasikan UU No 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan UU No 5 Tahun
1997 tentang Psikotropika secara luas dan berjenjang.

Tindakan lain yang tidak kalah pentingnya adalah meminimalisir kegiatan


yang bias bersinggungan dengan peredaran narkoba seperti membabat habis
kegiatan pornografi dan pornoaksi, club malam atau tempat dansa yang menyalahi
prosedur perijinan, salon plus, atau tempat-tempat pelacuran/perjudian yang
secara langsung maupun tidak langsung akan memberi jalan terhadap maraknya
peredaran narkoba.

 Peran perguruan tinggi dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba


Selaku penyelenggara pendidikan, penelitian dan pengabdian pada
masyarakat,perguruan tinggi memiliki kompetensi melakukan berbagai
perubahanyang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia
bagi pencapaian kesejahteraan massyarakat.
Bila dilihat dari sudutperubahan sosial, kompetensi ini menempatkan
perguruan tinggi sebagai Agen Perubahan (Agent of change) dan sebagai salah
satu saluran perubahan social dengan berbagai peranyang mengiringinya.
Pencegahan penyalahgunaan narkoba salah satu upaya untuk mengatasi masalah
sosial yang dapat ditangani peiguruan tinggi melalui ketiga fungsinya itu.

 Karakteristik Penyalahgunaan Narkoba


Prevalensi penyalahguna narkoba saat ini sudah mencapai 3.256.000 jiwa
dengan estimasi 1,5% penduduk Indonesia adalah penyalahguna narkoba.
Maraknya peredaran narkoba di Indonesia merugikan keuangan negara sebesar
Rp. 12 triliun setiap tahunnya. Data yang diperoleh dari BNN menyebutkan
15.000 orang meninggal akibat penyalahgunaan narkoba. Dari jumlah tersebut,
dapat diambil kesimpulan bahwa 40 nyawa per hari harus melayang akibat
narkoba.

Di sisi lain, data nasional dari Badan Narkotika Nasional RI yang


diperbaharui pada tanggal 20 Januari 2008 oleh Tim Data Puslitbang dan Info
BNN menunjukkan hal-hal sebagai berikut :

Berdasarkan jumlah kasus diketahui adanya peningkatan tindak pidana


narkoba di Indonesia setiap tahun. Peningkatan paling tinggi terjadi pada tahun
2005 (93.3 %), kemudian pada tahun 2006 peningkatan kasus menurun menjadi
6.8 % dan pada tahun 2006 meningkat lagi menjadi 19.4 % Rata-rata peningkatan
selama kurun waktu 2001 2007 adalah 29.29 % atau sekitar 11.000 orang.
Berdasarkan rata-rata data tersebut diperkirakan pada tahun 2008 ini juga akan
bertambah sekitar 11.000 orang. Jumlah ini kemungkinan lebih besar bila melihat
data dari tahun 2001 2007, hanya dua kali terjadi jumlah peningkatan yang lebih
kecil dari tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2004 (17.8 %) setelah sebelumnya,
pada tahun 2003 terjadi peningkatan sebesar 90.3 %, dan pada tahun 2006 sebesar
6.8 % setelah sebelumnya (tahun 2005) terjadi peningkatan sebesar 93.3 %.
Usia pengguna sebanyak 92.16 % berusia antara 20 - > 29 tahun, dengan
rincian : usia 20 24 sebesar 25.25 %, usia 25 29 sebesar 26.16 % dan usia > 29
tahun sebesar 40.75 %. Sementara yang berusia < 16 tahun berjumlah 0.51 % dan
yang berusia 16 19 tahun berjumlah 7.32 %.
Latar belakang pendidikan pengguna yang paling tinggi, 62.33 %
berpendidikan SLTA, 23.39 % berpendidikan SLTP, 10.3 % berpendidikan SD
dan 3.98 % berpendidikan perguruan tinggi. Bila didasarkan pada data usia, maka
pengguna yang berpendidikan SD, SLTP maupun SLTA tidak selalu berada
dalam usia remaja, tapi justru cenderung di luar usia remaja, yaitu usia 20 tahun
ke atas.
Latar belakang pekerjaan , jumlah terbanyak terdapat pada karyawan swasta (39.6
%), menyusul pengangguran (23,28 %), buruh (18.091 %) dan Wiraswasta (14.06
%) . Pelajar hanya menunjukkan angka 2.17 % dan mahasiswa sebesar 2.61 %.
Serta petani sebesar 1.85 %. Jumlah yang dikategorikan kecil disandang oleh Polri
& TNI sebesar 0.72 % dan PNS sebesar 0.55 % penyalahgunaan narkoba 99.58 %
adalah warga negara Indonesia.

Data di atas menunjukkan bahwa penyalahguna narkoba ternyata berasal


dari berbagai usia, berbagai jenis pekerjaan maupun latar belakang pendidikan.
Pengguna terbanyak ternyata lebih banyak berasal dari usia 20 tahun ke atas dan
sudah bekerja maupun pengangguran. Jumlah pengguna yang berusia kurang dari
20 tahun dan berstatus pelajar jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan kelompok
di atas. Ini mengandung arti bahwa usia 20 tahun ke atas sangat perlu diwaspadai
karena ternyata merupakan penyumbang paling utama bagi angka peningkatan
kasus penyalahgunaan narkoba. Ini juga berarti bahwa upaya pencegahan tidak
hanya dilakukan pada usia remaja saja, tapi usia 20 tahun ke atas justru harus
mendapat perhatian lebih banyak.

Hasil penelitian yang dilakukan LPPM Universitas Islam Nusantara di Kota


Bandung pada tahun 2007 menunjukkan basil yang tidak jauh berbeda dengan
data kasus di atas.
Penyalahguna narkoba terletak antara usia 25 sampai dengan 79 tahun, dan
yang paling menonjol terdapat pada interval usia 24 54 tahun, yaitu sebesar 9.95
%. Dilihat dari sudut pendidikan, tersebar dari jenjang SD hingga S1, dan seluruh
jumlah yang sangat menonjol berlatar belakang pendidikan SLTA. Pekerjaan
responden penyalahgunaan narkoba yang jumlahnya menonjol bekerja sebagai
karyawan swasta. Sementara itu responden yang tidak bekerja menunjukkan
angka kecil (0.86%)

Bila data di atas dikaitkan dengan program pencegahan, maka upaya


pencegahan penyalahgunaan narkoba sebaiknya dilakukan tidak hanya pada
pelajar dan mahasiswa, tapi juga terhadap seluruh lapisan masyarakat tanpa
memandang usia, jenis kelamin, pendidikan maupun pekerjaan. Hal ini diperkuat
pula dengan berbagai kasus yang dipublikasikan dimedia massa, bahwa korban
penyalahgunaan terdiri dari anak-anak, remaja, dewasa, orang tua, ibu rumah
tangga, pejabat, aparat kepolisian, pengusaha dan lain-lain.

 Upaya Pencegahan Narkoba


Aspek preventif harus mendapat perhatian mengingat bahwa dalam
hitungan di atas kertas baru sebagian kecil warga masyarakat yang terjerumus
sebagai pengguna narkoba, sebagian besar lagi sebenarnya masih bisa
diselamatkan.

Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba yang selama ini dilakukan melalui


program pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap
Narkotika (P4GN), yaitu mencegah terjadinya penyalahgunaan narkoba dengan
meningkatkan kapasitas kelembagaan lintas bidang terkait, meningkatkan kualitas
individu aparat, serta menumbuhkan kesadaran, kepedulian dan peran serta aktif
seluruh komponen masyarakat melalui lembaga swadaya masyarakat (LSM),
lembaga keagamaan, organisasi kemasyarakatan, tokoh masyarakat, pelajar,
mahasiswa dan pemuda, pekerja, serta lembaga-lembaga lainnya yang ada di
masyarakat. (Pendidikan, Kesehatan sosial, Sosial-Akhlak, Sosial-pemuda & Olah
Raga, Ekonomi-TenagaKerja). Strategi pencegahan meliputi strategi pre-emtif
(Prevensi Tidak Langsung), merupakan pencegahan tidak langsung yaitu,
menghilangkan atau mengurangi faktor-faktor yang mendorong timbulnya
kesempatan atau peluang untuk melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkoba, dengan menciptakan kesadaran, kepedulian, kewaspadaan, dan daya
tangkal masyarakat dan terbina kondisi, prilaku dan hidup sehat tanpa narkoba.
Strategi Nasional Usaha Promotif dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan
pembinaan dan pengembangan lingkungan masyarakat bebas narkoba, pembinaan
dan pengembangan pola hidup sehat, beriman, kegiatan positif, produktif,
konstruktif dan kreatif.

Strategi nasional untuk komunikasi, Informasi dan Pendidikan


Pencegahan. Pencegahan penyalahgunaan narkoba terutama diarahkan kepada
generasi muda (anak, remaja, pelajar, pemuda, dan mahasiswa). Penyalahgunaan
sebagai basil interaksi individu yang kompleks dengan berbagai elemen dari
lingkungannya, terutama dengan orang tua, sekolah, lingkungan masyarakat dan
remaja pemuda lainnya. Oleh karena itu, Strategi Informasi dan Pendidikan
Pencegahan dilaksanakan melalui 7 (Tujuh) jalur yaitu : (a) Keluarga, dengan
sasaran orang tua, anak, pemuda, remaja dan anggota keluarga lainnya;
(b) Pendidikan, sekolah maupun luar sekolah dengan kelompok sasaran
gurutenaga pendidikan dan peserta didik warga belajar baik secara kurikuler
maupun ekstrakurikuler; (c) Lembaga keagamaan, dengan sasaran pemuka-
pemuka agama dan umatnya; (d) Organisasi social kemasyarakatan, dengan
sasaran remaja/pemuda dan masyarakat; (e) Organisasi Wilayah Pemukiman
(LKMD, RT,RW), dengan sasaran warga terutama pemuka masyarakat dan
remaja setempat; (f) Unit-unit kerja, dengan sasaran Pimpinan, Karyawan dan
keluargannya; (g) Media massa, baik elektronik, cetak dan Media Interpersonal
(Talk show dan dialog interaktif), dengan sasaran luas maupun individu.
Strategi Nasional untuk Golongan Beresiko Tinggi. Strategi ini disiapkan
khusus untuk remaja pemuda yang beresiko tinggi, yaitu mereka yang mempunyai
banyak masalah, yang dengan edukasi preventif saja tidak cukup karena tidak
menyentuh permasalahan yang mereka alami. Pada umumnya masalah-masalah
tersebut, menyangkut kehidupan keluarga putus sekolah, putus pacar, kehamilan
di luar nikah, tekanan kelompok sebaya (peer group), gelandangan dan anak
terlantar, dan lain-lain.

 Peran Perguruan Tinggi

1. Perguruan Tinggi Sebagai Agen Perubahan


Dalam pasal 20 ayat 2Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang
Pendidikan Nasional dan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999
tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 3 Ayat (1) dinyatakan bahwa Perguruan Tinggi
berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat. Pada pasal-pasal berikutnya dinyatakan bahwa pendidikan tinggi
merupakan kegiatan dalam upaya menghasilkan manusia terdidik.

Penelitian merupakan kegiatan telaah taat kaidah dalam upaya untuk


menemukan kebenaran dan/atau menyelesaikan masalah dalam ilmu pengetahuan,
teknologi, dan/atau kesenian. Pengabdian kepada masyarakat merupakan kegiatan
yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dalam upaya memberikan sumbangan
demi kemajuan masyarakat. Dengan demikian tujuan pendidikan tinggi adalah
untuk menghasilkan manusia terdidik yang memiliki kemampuan akademik
dan/atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian,
namun juga mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi
dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf
kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
Dalam hubungannya dengan perubahan sosial, ketiga kewajiban perguruan
tinggi tersebut yang biasa juga disebut Tri Dharma Perguruan Tinggi, merupakan
media untuk mewujudkan perubahan sosial. Dalam hal ini perubahan sosial
diartikan sebagai "modifikasi-modifikasi" yang terjadi dalam pola-pola kehidupan
manusia, karena sebab-sebab intern maupun ekstern (Samuel Koenig dalam
Soekanto, 1990: 337). Perubahan sosial diartikan pula sebagai segala perubahan-
perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat,
yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan
pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat (Soemardjan,
1982: 379).

Perguruan Tinggi sebagai organisasi pendidikan, merupakan salah satu


saluran perubahan sosial dan kebudayaan disamping organisasi politik, organisasi
keagamaan, organisasi ekonomi dan organisasi hukum. Saluran-saluran tersebut
berfungsi agar sesuatu perubahan dikenal, diterima, diakui serta dipergunakan
oleh khalayak ramai dan mengalami proses pelembagaan.

Bentuk perubahan sosial yang dilakukan perguruan tinggi merupakan


perubahan yang dikehendaki (intended change) atau perubahan yang direncanakan
(planned change) karena pencapaian perubahannya telah direncanakan terlebih
dahulu oleh pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan pendidikan, penelitian
maupun pengabdian kepada masyarakat.

Dalam hal ini perguruan tinggi dapat berperan sebagai agen perubahan
(agent of change) yang berupaya membimbing atau mendampingi masyarakat
untuk memperbaiki atau meningkatkan berbagai aspek yang mempengaruhi
sistem sosial sosialnya ke arah yang lebih positif, termasuk di dalamnya nilai-
nilai, sikap dan pola perilaku di antara kelompokkelompok masyarakat. Dalam
melaksanakan perubahan tersebut, agen perubahan langsung terkait dalam
tekanan-tekanan untuk melakukan perubahan, bahkan mungkin menyiapkan
pula perubahan-perubahan pada lembaga kemasyarakatan lainnya.
2. Peran Perguruan Tinggi dalam Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba
Dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba, perguruan tinggi berperan
selaku agen perubahan yang melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan
pengetahuan dan sikap masyarakat tentang bahaya penyalahgunaan Narkoba;
meningkatkan keterampilan masyarakat untuk melakukan pencegahan terhadap
penyalahgunaan Narkoba; meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mencegah
penyalahgunaan Narkoba.

Sebagai agen perubahan, perguruan tinggi sekurang-kurangnya memiliki


tiga peran, yaitu selaku sumber ilmu pengetahuan, kontributor, serta
implementator. Sebagai sumber ilmu pengetahuan, di lingkungan perguruan tinggi
terdapat manusia terdidik yang memiliki kemampuan akademik untuk
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan teknologi serta mengembangkan
dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut. Peran sebagai
kontributor, artinya perguruan tinggi menyumbangkan kemampuannya itu untuk
meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat. Terakhir, peran selaku
implementator, perguruan tinggi memiliki kemampuan dan kewenangan untuk
menerapkan langsung ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut dalam kehidupan
masyarakat.

Dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba, peran-peran ini dapat


dipertegas lagi, yaitu paling sedikit sebagai konseptor, inovator, evaluator,
fasilitator, dan advokat. Peran sebagai konseptor terlihat dalam berbagai aktivitas
ilmiah yang dihasilkan menunjukkan kemampuan dalam mengaitkan konsep, teori
dengan kebutuhan saat ini maupun untuk kebutuhan masa yang akan datang.
Dalam hal ini perguruan tinggi mampu melakukan berbagai kajian dan penelitian
untuk menyusun apa yang diperlukan masyarakat saat ini dan di masa yang akan
dalam menghadapi perkembangan penyalahgunaan narkoba yang semakin
meningkat jumlah dan variasi penggunanya dari tahun ke tahun.
Peran sebagai inovator menunjuk pada kemampuan perguruan tinggi untuk
memunculkan gagasan-gagasan baru yang diperlukan saat menyusun
konsepkonsep yang diperlukan untuk kebutuhan masyarakat saat ini maupun saat
yang akan datang dalam melakukan pencegahan terhadap penyalahgunaan
narkoba. Gagasangagasan baru ini bisa muncul sebagai basil kajian, penelitian dan
pengembangan atau pendampingan kepada masyarakat.

Peran sebagai evaluator tampak dalam kegiatan penelitian, terutama


penelitian terapan yang dikaitkan dengan berbagai masalah sosial ataupun dampak
pembangunan. Melalui kajian maupun penelitian ini perguruan tinggi dapat
melakukan analisis dan evaluasi terhadap berbagai masalah sosial yang berkaitan
dengan bahaya penyalahgunaan narkoba atau dampak upaya-upaya yang pernah
dilakukan untuk melakukan penanggulangan bahaya penyalahgunaan narkoba.
Hasilnya dapat merupakan bahan masukan bagi perguruan tinggi itu sendiri
maupun pihak-pihak terkait dalam menyusun berbagai program pencegahan
penyalahgunaan narkoba.

Peran sebagai fasilitator bertujuan untuk membantu masyarakat agar


mampu menangani tekanan situasional atau transisional yang terjadi di
lingkungannya antara lain melalui pengidentifikasian dan mendorong kekuatan-
kekuatan personal dan aset-aset sosial yang dapat digunakan untuk melakukan
pencegahan, membantu masyarakat untuk menetapkan tujuan pencegahan
penyalahgunaan narkoba dan cara-cara pencapaiannya . Perguruan tinggi
memfasilitasi atau memungkinkan masyarakat agar mampu melakukan perubahan
yang telah ditetapkan dan disepakati bersama.

Peran sebagai advokat atau pembela yang cenderung mengarah pada


advokasi kelas (class advocacy) yang membela kepentingan masyarakat agar
dapat terhindar dari penyalahgunaan narkoba. Dalam hal ini perguruan tinggi
dapat melakukan upaya-upaya untuk mendorong pihak-pihak terkait agar setiap
kelompok masyarakat mendapat pelayanan yang sama dalam upaya pencegahan,
mendorong para pembuat keputusan untuk peka terhadap kondisi-kondisi dan
situasi yang dapat memberi peluang penyalahgunaan narkoba di masyarakat,
mendorong pihak-pihak terkait agar mendukung partisipasi masyarakat dalam
pencegahan penyalahgunaan narkoba, dan lain-lain.

 Bentuk kegiatan pencegahan narkoba


Dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba, hubungan antara pendidikan,
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat atau Tri Dharma Perguruan Tinggi,
dapat dilakukan secara optimal melalui kegiatan yang saling mendukung. Dalam
gambar berikut ini dapat dilihat kegiatan yang dapat dilakukan ketiganya sehingga
masing-masing dapat melaksanakan kegiatan secara optimal dan hasilnya pun
diharapkan akan optimal.

Hubungan Kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam Pencegahan


Penyalahgunaan Narkoba Pada gambar di atas terlihat bahwa dalam kegiatan
pendidikan, materi pencegahan penyalahgunaan narkoba dapat diintegrasikan ke
dalam materi perkuliahan yang memiliki relevansi dengan penyalahgunaan
narkoba. Misalnya, Fakultas Hukum memasukkan materi narkoba dalam materi
perkuliahan Hukum Pidana. Pada Program Studi Pendidikan Luar Sekolah
diintegrasikan dalam materi perkuliahan Kependudukan dan Masalah Sosial.

Dalam pembahasan ataupun diskusi materi perkuliahan tersebut dapat


muncul berbagai pertanyaan terhadap fenomena yang terjadi saat ini dan
pemecahannya melalui konsep, teori maupun peraturan hukum yang ada. Hal ini
dapat mendorong dosen maupun mahasiswa untuk melakukan penelaahan lebih
jauh secara empirik melalui penelitian atau melalui kajian-kajian ilmiah.

Penelitian atau kajian ilmiah tersebut dapat dikaitkan dengan berbagai


aspek penyalahgunaan narkoba dan dapat dilakukan oleh dosen maupun
mahasiswa. Misalnya penelitian tentang dampak ekonomi penderita HIV/Aids,
atau penyalahgunaan narkoba di lingkungan pendidikan, atau penerapan UU
narkotika. Selanjutnya, hasil penelitian atau kajian dapat dipublikasikan melalui
berbagai media yang ada di kampus maupun di luar kampus. Misalnya
dipublikasikan melalui jurnal ilmiah, majalah populer, seminar, blog, seminar,
talk show, lokakarya, dan lain-lain. Publikasi hasil penelitian maupun kajian ini
pun dapat menjadi bahan pengayaan materi perkuliahan yang akan memunculkan
pertanyaan-pertanyaan baru lagi untuk ditindaklanjuti penelitian atau kajian-kajian
lainnya.

Disamping itu, hasil penelitian yang memungkinkan untuk diterapkan,


dapat ditindaklanjuti dengan kegiatan pengabdian kepada masyarakat dalam
bentuk sosialisasi, pelatihan, pengembangan, konsultasi, publikasi dan lain-lain.
Kegiatan sosialisasi ditujukan untuk memberikan informasi tentang berbagai
aspek yang berkaitan dengan penyalahgunaan narkoba. Melalui kegiatan ini
diharapkan pihak yang menjadi sasaran sosialisasi memiliki informasi yang benar
tentang bahaya penyalahgunaan narkoba dari berbagai aspek, seperti aspek fisik,
psikologis, hukum, ekonomi dan sosial serta penyebarannya. Kegiatan ini bisa
dilakukan terhadap mahasiswa baru, warga masyarakat, mitra perguruan tinggi
maupu. komunitas tertentu seperti siswa-siswi SMA. Disamping itu kegiatan ini
pun dapat menjadi titik tolak mahasiswa untuk merintis pembentukan Unit
Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang berkaitan dengan pencegahan penyalahgunaan
narkoba.
Kegiatan pelatihan ditujukan bagi para dosen, mahasiswa ataupun anggota
kelompokkelompok dalam masyarakat, misalnya tokoh agama, tokoh pemuda,
siswa sekolah, dan lainlain, yang bersedia melakukan kegiatan pencegahan
penyalahgunaan narkoba, baik sebagai penyelenggara maupun penyampai materi.
Kegiatan pelatihan juga bisa ditujukan untuk para calon peneliti atau penulis
artikel ilmiah yang akan dilibatkan dalam penelitian atau penulisan artikel tentang
narkoba. Pelatihan diperlukan agar peneliti memahami karakteristik pengguna,
penyebaran maupun upaya-upaya pencegahan yang telah dilakukan di masyarakat.
Kegiatan pelatihan lainnya bisa dikembangkan sesuai kebutuhan yang diperlukan
dalam kegiatan pencegahan, misalnya pelatihan parenting skill, peer learning dan
lain-lain.

Kegiatan pengembangan ditujukan untuk mengembangkan berbagai model


pencegahan ataupun model-model yang mendukung upaya-upaya pencegahan.
Model-model ini merupakan produk kegiatan penelitian yang sudah diujicobakan
dan sudah siap untuk diterapkan di masyarakat. nKegiatan pendampingan
dilakukan terhadap mitra kerja perguruan tinggi yang ingin menerapkan upaya
pencegahan penyalahgunaan narkoba di lingkungannya namun masih memerukan
dukungan, misalnya dukungan secara konseptual maupun teknis atau
dukungandukungan lainnya.

Kegiatan KKN atau Kuliah Kerja Nyata yang melibatkan sejumlah


mahasiswa dari berbagai fakultas, dapat menjadi media untuk kegiatan sosialisasi
pencegahan yang bersifat antar disiplin ilmu. Materi sosialisasi akan lebih variatif
dan dapat dikemas dalam bentuk yang menarik melalui aktivitas seni, olahraga,
pengaaan/ceramah agama, atau bentuk-bentuk lainnya.
BAB III :
Kesimpulan Dan Penutup
 Kesimpulan
Remaja adalah generasi penerus bangsa yang akan menentukan masa
depan keluarga, masyarakat dan negera. Sebagai generasi penerus, remaja harus
memiliki motivasi kuat untuk belajar dan terus belajar agar kelak akan mampu
menjadi generasi yang tidak saja sehat, cerdas dan terampil, tetapi juga bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkepribadian, dan menjunjung tinggi nilai-nilai
luhur budaya bangsa. Sementara dalam lingkungan keluarga akan memberi
dukungan positif membangun keluarga yang harmonis dan berketahanan. Oleh
karena itu, membangun remaja yang bebas narkoba menjadi tuntutan yang tidak
bisa ditunda dan ditawar-tawar.

Membangun remaja bebas narkoba hendaknya dilakukan dengan


mengintegrasikan tiga langkah penting, yakni melalui upaya pencegahan dalam
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat serta
melalui gerakan bebas narkoba yang dicanangkan pemerintah untuk
diimplementasikan di semua tingkatan masyarakat. Pihak pemerintah juga perlu
mensosialisasikan UU No 22 tahun 1997 dan UU No 5 Tahun 1997 secara luas
berikut sanksinya dan berupaya keras agar kegiatan/aktivitas yang memberi
peluang terhadap peredaran narkoba dapat dihilangkan atau ditekan seminimal
mungkin.
 Penutup
Kegiatan perguruan tinggi dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba
bukanlah kegiatan mengada-ada melainkan kegiatan yang terkait erat dengan
kewajiban perguruan tinggi itu sendiri selaku penyelenggara pendidikan,
penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Dalam menjalankan kewajibannya itu
perguruan tinggi tidak bisa melepaskan diri dari berbagai aspek yang berkembang
atau menjadi masalah sosial di lingkungan masyarakatnya.

Peran perguruan tinggi sebagai sumber ilmu pengetahuan, kontributor dan


implementator dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat lebih dipertegas
lagi dengan perannya selaku agen perubahan, yaitu sebagai konseptor, inovator,
evaluator, fasilitator, dan advokat. Melalui peran-peran inilah, berbagai bentuk
pencegahan penyalahgunaan narkoba diwujudkan oleh dosen, mahasiswa maupun
kelompok-kelompok masyarakat dampingan perguruan tinggi. Melalui peran ini
juga perguruan tinggi dapat menunjukkan bahwa keberadaannya bukanlah'menara
gading' yang tidak terjangkau masyarakat namun sebagai agen perubahan (agent
of change) yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Hanafi, A. (1985). Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Surabaya: Usaha Nasional.


Kartika, Ikka, (2007), Pengembangan Model Pendataan dan Pemetaan Berbasis
Masyarakat untuk Pencegahan Narkoba di Jawa Barat, Bandung: LPPM UNINUS
dengan Badan Narkotika Propinsi Jawa Barat
Puslitbang & Info Lakhar BNN (2007), Kumpulan Hasil-Hasil
PenelitianPenyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba di indonesia tahun
20032006, Jakarta Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia.
Soekanto, Soeyono, (1990), Sosiologi Suatu Pengantar, Edisi Keempat, Jakarta
PT Raja Grafindo Persada.
Soemardjan, Selo (1982), Perubahan Sosial di Yogyakarta, Yogyakarta : Gajah
Mada University Press.

Anda mungkin juga menyukai