Anda di halaman 1dari 13

USU Law Journal, Vol.6.No.

1 (Januari 2018) 109 - 121

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PRAKTEK PUNGUTAN LIAR


DI JALAN RAYA OLEH MASYARAKAT DIKAITKAN DENGAN PERATURAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2 TAHUN 2012
(STUDI KASUS DI POLRES LANGKAT)

Mulya Hakim Solichin


Alvi Syahrin, Mahmud Mulyadi, M.Ekaputra

hakimmedi@yahoo.com

ABSTRACT

The crime rate at Polres Langkat have been increasing every year. The practice of
thuggery such as illegal levies on the highway is one of several factors that cause this
increase of the incidence. The action of Polres Langkat against the practice of illegal
levies on the highway is applying the Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP),
Undang Undang, 2009 No. 22 about road traffic and transportation, the implementation
is related to Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) 2012, No.2 about the adjustment of
the criminal acts limit and the amount of penalties in KUHP. This research was
conducted with empirical juridical approach applying secondary and primary data. The
descriptive analysis method is used in this research through secondary and primary data.
At least there 3 obstacles occurred in the effort of the Polres Langkat Those are law
enforcement officials, legislation and legal culture of the Langkat district, while the legal
impact on the community of the practice of illegal levies is still considered justified.
Based on the results of this research it is suggested that the law enforcement officials
must understand. The aplicaion of the next PERMA law correctly. The cooperation work
among the law inforcement officials, the the goverment and the community should play
an active role through supervision, mental, and moral education to give effect detterent
so that it can change the mentality of the offender to be better in their attitude.

Keywords: Police Roles, Illegal Levies on Highways, legal policies, Crime Justice System.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tindak kriminal merupakan persoalan yang tidak asing lagi. Angka kriminalitas dari tahun ke
tahun mengalami kenaikan dengan berbagai macam faktor yang melatarbelakanginya. Pada Polres
Langkat terdapat 2.707 kasus kriminal dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun. Berdasarkan data Kriminal
yang terdiri dari data semua kejahatan dan narkoba yang terjadi di Polres Langkat, bahwa
menunjukkan terjadinya kenaikan jumlah tindak pidana yang terjadi di wilayah hukum Polres
Langkat, mulai dari tahun 2015 dengan jumlah 927 perkara, kemudian di tahun 2016 terjadi
peningkatan dengan jumlah 992 perkara dan pada tahun 2017 sampai dengan tertanggal 4 Oktober
2017, belum akhir tahun telah menunjukkan jumlah perkara yang tinggi yaitu 788 perkara.
Persoalan ekonomi dan moral merupakan sebagian contoh masalah yang dihadapi bangsa
Indonesia pada saat ini. Kemiskinan, pengangguran menambah keterpurukan kondisi bangsa ini,
mengakibatkan timbulnya banyak kejahatan yang terjadi. Faktor ekonomi merupakan masalah
yang sangat sentral dalam menimbulkan kejahatan, karena banyak orang mengambil jalan pintas
dengan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang. Setiap warga Negara Indonesia dapat
dikatakan menyalahi aturan, apabila melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan
harus ada kepastian hukum bagi pelaku tindak pidana tersebut. Kepastian hukum yang dimaksud,
haruslah memiliki indikator dalam setiap perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana.
Tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memiliki
batasan-batasan tersendiri untuk membedakan antara tindak pidana yang satu dengan yang lain.
Salah satu tindak pidana yang terjadi diantaranya berkaitan dengan praktek-praktek premanisme
yang dilakukan oleh preman. Preman merupakan kelompok masyarakat kriminal, mereka berada dan
tumbuh di dalam masyarakat karena rasa takut yang diciptakan dari penampilan secara fisik juga dari
kebiasaan-kebiasaan mereka menggantungkan kesehariannya pada tindakan-tindakan negatif seperti
percaloan, pemerasan, pemaksaan dan pencurian yang berlangsung secara cepat dan spontan.1 Sedangkan
premanisme adalah perilaku yang meresahkan serta dapat mengganggu keamanan dan ketertiban
masyarakat. Aksi-aksi premanisme dewasa ini semakin meningkat setelah ada beberapa bagian dari

1 Rahmawati, L. 2002. Pengaruh Perkembangan Bidang Industri Terhadap Premanisme (Studi

Sosio Kriminologi). Jurnal Penelitian Hukum Universitas Singaperbangsa. Hlm.14

109
USU Law Journal, Vol.6.No.1 (Januari 2018) 109 - 121

anggota masyarakat yang tidak mampu merasakan kesejahteraan ekonomi seperti anggota masyarakat
lainnya. Sebagian besar mereka yang melakukan premanisme itu, diantaranya tidak memiliki pekerjaan
dan tidak memiliki keterampilan yang memadai, sehingga mencari jalan pintas dengan cara memalak,
memeras, merampok, dan mengintimidasi.
Fenomena preman di Indonesia mulai berkembang pada saat ekonomi semakin sulit dan
angka pengangguran semakin tinggi. Akibatnya kelompok masyarakat pada usia kerja mulai
mencari cara untuk mendapatkan penghasilan, biasanya melalui pemerasan dalam bentuk
penyediaan jasa yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Preman sangat identik dengan dunia kriminal
dan kekerasan, karena memang kegiatan preman tidak lepas dari kedua hal tersebut. Sebagai
contoh preman di terminal bus yang memungut pungutan liar dari sopir-sopir yang apabila ditolak
akan berpengaruh terhadap keselamatan sopir dan kendaraannya yang melewati terminal,
kemudian preman yang ada di pasar yang memungut pungutan liar dari lapak-lapak kaki lima, yang
bila ditolak akan berpengaruh terhadap dirusaknya lapak yang bersangkutan, selanjutnya preman
berkedok sebagai tukang parkir di ATM, toko, dll, yang berpura-pura menaruh karcis atau tanpa
karcis pada kendaraan bermotor yang diparkir dan preman yang berperan sebagai Polisi-
polisi cepek (pengatur lalu lintas palsu), yang justu sering membuat kemacetan.
Tindakan atau praktek preman dalam melakuan pungutan liar tersebut, secara tidak
langsung telah melakukan perbuatan penipuan ringan dan penggelapan ringan kepada masyarakat
dan daerah dengan cara menipu identitas selaku tukang parkir resmi dan mengambil dana-dana
hasil pungutan liar, diantaranya dana hasil pemungutan parkir, dana hasil pungutan polisi-polisi
cepek, dana hasil pungutan dari lapak-lapak kaki lima di pasar, dana hasil pungutan di terminal-
terminal bis, dan dana hasil pungutan sebagai derek liar di Jalan Tol, yang kesemuanya seharusnya
disetorkan kepada pemerintah sebagai dana kas daerah, namun dalam kenyataannya digunakan
untuk keuntungan pribadi maupun golongan tertentu, dengan alasan bahwa hasil pungutan
tersebut nilainya rata-rata berkisar antara Rp. 4.000,00 (empat ribu rupiah) sampai dengan Rp.
70.000,00 (tujuh puluh ribu rupiah).
Preman di Indonesia makin lama makin sukar diberantas, karena faktor ekonomi yang
semakin memburuk dan kolusi antar preman dan petugas keamanan setempat dengan mekanisme
berbagi setoran2. Meskipun premanisme merupakan akibat langsung dari kemiskinan dan
pengangguran, tidak berarti premanisme dibiarkan tumbuh subur dan berkembang 3. Dari beberapa
contoh tersebut di atas bahwa praktek-praktek premanisme berupa pungutan liar yang dilakukan
oleh masyarakat.
Pungutan liar yang dilakukan oleh masyarakat ini berakibat kepada kelangsungan hidup
bermasyarakat, diantaranya bagi para pengusaha dan masyarakat pengguna jalan. Adanya
pungutan liar, mengakibatkan kerugian bagi para pengusaha, sehingga para pengusaha harus
mencari akal dengan menekan ongkos (sebagai biaya operasional usahanya). Bagi masyarakat
pengguna jalan keberadaan pungutan liar yang dilakukan oleh masyarakat, disamping
menimbulkan kerugian secara materiil, juga menimbulkan rasa ketidaknyamanan dan tidak aman
dalam perjalanan.
Praktek-praktek pungutan liar yang dilakukan oleh masyarakat di wilayah hukum Polres
Langkat Sumatera Utara merupakan salah satu jenis kejahatan konvensional yang sulit diberantas
secara total. Faktor kejahatan ini muncul meningkat secara berkelanjutan sangat erat kaitannya
dengan faktor hukum dan non hukum seperti faktor ekonomi, sosial, dan faktor internal dari sisi
diri pelaku sendiri. Pada tahun 2015-2017 terdapat 140 kasus premanisme khususnya praktek
pungutan liar yang terjadi di wilayah hukum Polres Langkat, yang terdiri dari periode tahun 2015
berjumlah 21 perkara, periode tahun 2016 berjumlah 32 perkara, dan tahun 2017 berjumlah 86
perkara.
Selama ini dinas Perhubungan, aparat penengak hukum dan pemerintah daerah di wilayah
hukum Polres Langkat, berjalan sendiri-sendiri dalam upaya penegakan hukum untuk memerangi
pungutan liar yang dilakukan oleh masyarakat. Tidak ada gerakan serentak dan serius untuk
memeranginya. Pungutan liar yang selanjutnya disingkat Pungli, sebagaimana kejahatan-kejahatan
yang lain, pada umumnya merupakan kejahatan terhadap norma-norma hukum yang harus
ditafsirkan atau patut diperhitungkan sebagai perbuatan yang sangat merugikan bagi pihak korban.
Hal ini tidak boleh dibiarkan terus berlanjut tanpa adanya suatu penyelesaian hukum atas praktek
pungutan liar tersebut. Oleh karenanya, setiap tindak pidana yang dilakukan oleh siapapun harus
ditindak secara tegas tanpa memandang status, walaupun pelakunya adalah aparat hukum sendiri.
Permasalahan lain terhadap adanya pungutan liar di jalan raya yang dilakukan oleh
masyarakat tersebut tidak bisa maksimal dilakukan penindakan, mengingat dalam prakteknya
penerapan hukum yang telah dipengaruhi dengan peraturan lain selain KUH Pidana yang dinilai
berdasarkan jumlah kerugiannya atau berdasarkan nilai barang atau jumlah uang yang menjadi

2 https://id.wikipedia.org/wiki/Premanisme, di akses pada tanggal 15 Mei 2017.


3 Hadiman, Polri Siap Memberantas Aksi Premanisme dan Mengamankan Pemilu 2009, (Jakarta:
Badan Kerjasama Sosial Usaha Pembinaan Warga Tama “Bersama”, 2009), hlm. 15

110
USU Law Journal, Vol.6.No.1 (Januari 2018) 109 - 121

objek perkara. Dalam hal ini tindak pidana juga harus dapat menjawab perkara-perkara yang
berkaitan dengan premanisme yang terjadi ditengah-tengah masyarakat.
Kepolisian dalam hal ini berkaitan dengan fungsi dan perannya sebagai pemelihara
kamtibmas, penegak hukum, pelindung, pengayom, dan pelayanan masyarakat, mempunyai peran
yang sangat besar dalam upaya penanggulangan premanisme dan diharapkan mampu mengambil
tindakan yang tepat dalam menyikapi masalah premanisme yang ada dan terjadi di dalam
masyarakat. Salah satu bentuk dari kegiatan premanisme adalah melakukan delik pemerasan atau
pengancaman sesuai dengan pasal 368 KUH Pidana (Kitab Undang Undang Hukum Pidana). Delik
pemerasan atau pengancaman tersebut, diantaranya banyak terjadi berupa tindakan pungutan liar
di jalan raya yang dilakukan oleh masyarakat.
Di tengah pesimisme akan keadilan dalam penegakan hukum, Mahkamah Agung Republik
Indonesia (MA RI) menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) nomor 2 Tahun 2012
tentang Penyesuaian Batas Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUH Pidana. Isi
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) nomor 2 Tahun 2012 mengatur pasal-pasal dalam KUH
Pidana yaitu Pasal 364, Pasal 373, Pasal 379, Pasal 384, Pasal 407 dan Pasal 482 KUH Pidana,
secara jelas menyebut sebuah perkara bisa dikategorikan tindak pidana ringan (tipiring), jika
menyangkut nilai kerugian di bawah Rp 250,00 (dua ratus lima puluh rupiah) dibaca menjadi Rp.
2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Perlakuan terhadap pelakunya tidak dapat ditahan
dan harus diadili dengan acara pemeriksaan cepat, sedangkan dengan nilai sekecil itu,
sesungguhnya KUHP tidak pernah membatasi kategori tindak pidana yang dapat diproses di
pengadilan4.
Perma tersebut, sebenarnya hanya berlaku dalam lingkungan kekuasaan Mahkamah
Agung RI dan peradilan yang berada di bawahnya. Peraturan Mahkamah Agung nomor 2 Tahun
2012 tersebut, tidak mengikat kepada Penyidik maupun Jaksa Penuntut Umum. Oleh karena itu,
Penyidik dan Jaksa Penuntut Umum semestinya tetap dapat menerapkan pasal-pasal KUH Pidana
dalam melaksanakan tugas-tugas yang menjadi lingkup kewenangan Penyidik dan Jaksa Penuntut
Umum.
Perma nomor 2 Tahun 2012 tidak dimaksudkan untuk menjadikan semua tindak pidana
yang nilai objeknya dibawah Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) menjadi tindak
pidana ringan. Penyidik dan Jaksa Penuntut Umum harus memahami unsur-unsur pasal yang
dikenakan dan fakta-fakta yang terjadi. Suatu tindak pidana (misalnya pencurian) meskipun nilai
objeknya tidak mencapai Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah), tetapi perbuatan
tersebut mengandung unsur perbuatan yang berulang, atau menjadi pencaharian pelaku atau
terjadi pengrusakan barang, maka tindakan tersebut sudah merupakan delik, sehingga tidak bisa
dikategorikan sebagai tindak pidana ringan.
Perma nomor 2 Tahun 2012 bila ditinjau secara akademik keilmuan hukum, tidak sesuai dengan
kaidah-kaidah hirarkhi perundang-undangan di Indonesia. Perma nomor 2 Tahun 2012 tersebut telah
mengubah nilai yang ditetapkan dalam KUH Pidana yang kedudukannya lebih tinggi dari Peraturan
Mahkamah Agung RI. Mengingat bahwa KUH Pidana kedudukannya adalah sebagai undang-undang,
maka perubahan KUH Pidana semestinya dengan peraturan yang setingkat yakni undang-undang atau
peraturan pemerintah pengganti undang-undang bukan dalam bentuk Peraturaan Mahkamah Agung yang
hirarkhinya lebih rendah dari undang-undang atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang5.
Perma nomor 2 tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan
Jumlah Denda Dalam KUHP, bila dikaitkan dengan penegakan hukum tindak pidana terhadap
praktek punguntan liar, ada keterkaitan kadang ada juga yang dikait-kaitkan, sebagai contoh
preman yang melakukan aksinya di terminal bus yang memungut pungutan liar dari sopir-sopir,
kemudian preman yang ada di pasar yang memungut pungutan liar dari lapak-lapak kaki lima,
preman berkedok sebagai tukang parkir di ATM, toko, dll, yang biasanya langsung mengambil
barang-barang penumpang dan memasukkan ke bagasi taksi, preman yang menjadi derek Liar
di jalan tol, preman yang berperan sebagai Polisi-polisi cepek (pengatur lalu lintas palsu), yang
apabila dilihat kaitannya yaitu bahwa secara tidak langsung pelaku-pelaku pungutan liar tersebut
telah melakukan penipuan ringan dan penggelapan ringan terhadap masyarakat dan pemerintah,
perbuatan tersebut termasuk ke dalam Pasal 379 KUH Pidana dan Pasal 373 KUH Pidana, namun
apabila perkaranya cenderung ke arah pemerasan dengan barang-bukti hasil pemungutan berkisar
antara Rp. 4.000,00 (empat ribu rupiah) sampai dengan Rp. 70.000,00 (tujuh puluh ribu rupiah),
maka Penyidik dan Jaksa Penuntut Umum selalu dikaitkan dengan Peraturan Mahkamah Agung RI
yang kerugiannya hanya berpatokan pada nilai yang ada dibawah Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima
ratus ribu rupiah), padahal sebenarnya bisa diproses sesuai dengan mekanisme proses penanganan
tindak pidana pada umumnya, yaitu setelah dari penyidik dikirim berkas perkaranya kepada Jaksa

4http://m.suaramerdeka.com, oleh Agus Riewanto,”Pembatasan Tipiring dan Revisi KUH Pidana”,

di akses pada tanggal 15 Mei 2017.


5 Ningrum N.S, dkk, Prosiding Seminar Nasional Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan

Jumlah Denda dalam KUH Pidana, (Medan-Indonesia: USU press, 2013), hlm. 49-51

111
USU Law Journal, Vol.6.No.1 (Januari 2018) 109 - 121

Penuntut Umum, sedangkan terhadap pelaku pungutan liar yang mengatur jalan di persipangan
selain dapat di jerat dengan KUHP, juga dapat dijerat dengan Undang-Undang nomor 22 tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya.
Apabila pelaku pungutan liar melakukan secara berulang-ulang atau dijadikan mata
pencaharian oleh pelaku pungutan liar, maka diproses penangananannya tidak lagi diproses
dengan cara tindak pidana ringan, melainkan diproses melalui mekanisme penanganan tindak
pidana umum yaitu setelah di berkas perkara pengiriman dari Penyidik ke Jaksa Penuntut Umum.
Perbedaan pendapat tersebut menyebabkan perlakukan terhadap perkara premanisme,
khususnya praktek pungutan liar yang terjadi di wilayah hukum Polres Langkat menerapkan
tindakan Diskresi Kepolisian yaitu dengan melakukan pembinaan terhadap para pelaku dengan
harapan dapat memberi tindakan sebagai efek jera untuk tidak melakukan kembali, dan sebagai
gambaran data di wilayah hukum Polres Langkat. Di Indonesia yang termasuk dalam struktur
hukum adalah struktur institusi-institusi penegakan hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan
Pengadilan6. Dari ketiga struktur, Kepolisianlah yang merupakan struktur yang terdepan dan
menyentuh secara langsung lapisan masyarakat.

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka yang menjadi rumusan masalah dalam
penelitian ini sebagai berikut, yaitu :
1. Bagaimana penegakan hukum oleh Polres Langkat terhadap praktek pungutan liar di jalan
raya yang dilakukan oleh masyarakat?
2. Bagaimana hambatan dalam penegakan hukum terhadap praktek pungutan liar di jalan
raya dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung nomor 2 Tahun 2012?
3. Bagaimana dampak hukum praktek pungutan liar di jalan raya yang dilakukan oleh
masyarakat dikaitkan dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung nomor 2 Tahun 2012 di
wilayah hukum Polres Langkat?

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui penegakan hukum oleh Polres Langkat terhadap praktek pungutan liar
di jalan raya yang dilakukan oleh masyarakat.
2. Untuk mengetahui hambatan dalam penegakan hukum terhadap praktek pungutan liar di
jalan raya dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012.
3. Untuk mengetahui dampak hukum praktek pungutan liar di Jalan raya yang dilakukan
oleh masyarakat dikaitkan dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung nomor 2 Tahun
2012 di wilayah hukum Polres Langkat.

Manfaat Penelitian
Dalam penelitian tentunya sangat diharapkan adanya manfaat dan kegunaan yang dapat
diambil. Manfaat yang didapat dari penelitian tersebut, adalah :
1. Bermanfaat membuka wawasan dan paradigma berfikir dalam memahami dan
menganalisis permasalahan penegakan hukum terhadap ketentuan hukum pidana yang
mengatur larangan praktek pungutan liar oleh masyarakat di wilayah hukum Polres
Langkat, menambah wawasan dan memberikan kontribusi bagi ilmu pengetahuan hukum.
2. Untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Pasca Sarjana Ilmu
Hukum di Universitas Negeri Sumatera Utara.
3. Untuk memberi sumbangsih pengetahuan dan pikiran dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya.

KERANGKA TEORI
Dalam membahas permasalahan, teori yang digunakan pada penulisan tesis ini adalah
teori penal policy (kebijakan hukum pidana), legal system menurut teori Lawrence M. Friedman
dan teori penegakan hukum. Menurut Marc Ancel menyatakan, bahwa “modern criminal science”
terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu; “criminology”, “criminal law”, “penal policy”. Marc
Ancel juga pernah mengemukakan mengenai kebijakan hukum pidana “penal policy” sebagaimana
yang dikutif oleh Barda Nawawi Arief, bahwa “penal policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang
mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih
baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga

6 Ahmad Ali, Keterpurukan Hukum Di Indonesia Penyebab Dan Solusinya, Cetakan Kedua, (Ciawi-

Bogor: Ghlmia Indonesia, 2005), hlm. 1

112
USU Law Journal, Vol.6.No.1 (Januari 2018) 109 - 121

kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau
pelaksana putusan pengadilan7.
Pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan/politik hukum pidana
(penal policy) dan kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana)
juga menentukan masalah perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan sanksi apa
yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.8
Legal system menurut teori Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efektif dan
berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni struktur hukum
(struktur of law), substansi hukum (substance of the law) dan budaya hukum (legal culture).
Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum, substansi hukum meliputi perangkat
perundang-undangan dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut
dalam suatu masyarakat.9
Berdasarkan uraian tersebut di atas, proses penindakan dengan dikaitkan penerapan
Peraturan Mahkamah Agung RI dapat dipengaruhi oleh adanya kebijakan hukum (penal policy)
dan sistem hukum (legal system) yaitu mulai dari struktur hukum, substansi hukum serta budaya
hukum, diantaranya terhadap praktek pungutan liar. Praktek pungutan liar ditinjau dari hukum
pidana bagi pelaku pungutan liar harus mentaati peraturan pidana, belum pernah didengar adanya
tindak pidana pungli atau delik pungli. Sesungguhnya, pungutan liar adalah sebutan semua bentuk
pungutan yang tidak resmi, yang tidak mempunyai landasan hukum.
Penegakan hukum pada dasarnya melibatkan seluruh warga Indonesia, tetapi dalam
pelaksanaannya hanya dilakukan oleh penegak hukum. Hukum dan penegakan hukum merupakan
sebagian faktor yang tidak bisa diabaikan. Jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya
penegakan hukum yang diharapkan.10 Plato beranggapan bahwa hukum itu suatu keharusan dan
penting bagi masyarakat.11 Plato menyebutkan ada tiga kekuatan sosial yang mempengaruhi
stabilitas suatu negara. Tiga kekuatan sosial itu adalah penegak hukum, kaum intelektual, dan
kaum interpreneur (pengusaha).12 Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi
manfaat dan berdaya guna (utility) bagi masyarakat. Masyarakat mengharapkan adanya penegakan
hukum untuk mencapai suatu keadilan.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Penegakan Hukum Oleh Polres Langkat Terhadap Praktek Pungutan Liar Di Jalan
Raya yang Dilakukan Oleh Masyarakat
Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan
hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi
kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil
yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai proses kegiatan yang
meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam rangka pencapaian tujuan adalah keharusan
untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai suatu sistem peradilan pidana.13 Begitu juga
terhadap praktek pungutan liar. Praktek pungutan liar tersebut perlu dilakukan penegakkan
hukum, karena dapat berdampak terhadap kehidupan bermasyarakat.
Berdasarkan ketentuan KUHP pada umumnya sudah mengatur beberapa pidana yang
pantas diberikan bagi pelaku pungutan liar diantaranya yakni Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang
pemerasan dan pengancaman. Selain Pasal 368 KUHP juga dapat dijerat dengan Pasal 379 KUHP
dan Pasal 373 KUHP dengan melihat dari nilai barang atau uang yang menjadi objek perkaranya.
Sedangkan apabila dilihat dari aturan Lalu lintas, terhadap pelaku pungutan liar dapat dijerat
dengan Pasal 200 dan Pasal 275 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya.
Berdasarkan upaya hukum yang dilakukan Polres Langkat terhadap pelaku pungutan liar,
tidak memberikan akibat hukum (efek jera) untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya, sehingga
terjadi peningkatan akan praktek pungutan liar yang dilakukan oleh masyarakat. Hal yang

7 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti (Bandung,

2010), hlm : 21.


8 http://www.suduthukum.com. ›hukum pidana, “kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)”, diakses

pada tanggal 27 Juli 2017.


9 http://zenhadianto.blogspot.co.id>2014/01,“Teori System Hukum Lawrence M. Friedman”, diakses

pada tanggal 27 Juli 2017.


10 Soerjono Soekanto, Op.cit., hlm 2
11 Plato, Op. cit., hlm 143.
12Sanoesi, Almanak Kepolisian Republik Indonesia,Berdasarkan Kadislitbang Polri No. Pol.

B/394/IX/Dislitbang, (Jakarta: PT Dutarindo, 1987), hlm 342.


13 Mardjono Reksodipuro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana Kumpulan Karangan Buku

Kedua, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia,
Jakarta, 1997.

113
USU Law Journal, Vol.6.No.1 (Januari 2018) 109 - 121

mengakibatkan tingginya klasifikasi tindak pidana ringan berupa praktek pungutan liar di wilayah
hukum Polres Langkat tersebut adalah:14 Pada hakekatnya meskipun telah dilakukan proses hukum
serta pembinaan terhadap pelaku tindak pidana ringan berupa pungutan liar di wilayah hukum
Polres Langkat tidak memberikan timbul efek jera pada pelaku pungutan liar; Apabila di proses
pelaku tindak pidana ringan berupa pungutan liar pada dasarnya pelaku sering lari pada saat
proses pemeriksaan dan pada proses persidangan dilakukan pelaku sering tidak hadir dalam
persidangan; Pelaku tindak pidana pungutan liar kerap sekali kembali lagi untuk melakukan tindak
pidana ringan berupa pungutan liar; Pungutan liar berulang-ulang dilakukan oleh pelaku tindak
pidana ringan, karena ada pembenaran dalam pola pikir pelaku bahwa tindakan pungutan liar
merupakan perbuatan yang bener dan sah untuk dilakukan; Pungutan liar berulang-ulang
dilakukan pelaku tindak pidana terhadap praktek pungutan liar, karena pelaku tidak punya
kemampuan atau jiwa untuk bersaing/bertanding untuk hidup dalam lingkungan masyarakat.
Pelaku merasa bahwa tindakan pungutan liar merupakan cara yang instan dan mudah dilakukan
untuk mendapatkan uang; Terhadap pelaku pungutan liar itu sendiri, secara tidak langsung
menanamkan terhadap dirinya untuk tidak memiliki jiwa/daya pejuang atau jiwa/daya bersaing
untuk menghadapi sulitnya hidup.
Dalam hal penegakan hukum terhadap kasus yang mengacu pada Perma nomor 2 Tahun
2012 tentang penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP, maka
dalam menerima pelimpahan perkara pencurian, penipuan, penggelapan, penadahan Ketua
Pengadilan wajib memperhatikan nilai barang atau uang yang menjadi objek perkara. Jika nilai
barang atau uang tersebut tidak lebih dari Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah),
maka Ketua Pengadilan segera menetapkan hakim tunggal untuk memeriksa dan mengadili serta
memutus perkara. Pada praktek pungutan liar, terhadap pelaku pungutan liar tidak dilakukan
penahanan, dan perkara pungutan liar dalam penindakannya mengacu pada Perma tersebut.
Setelah dilakukan pembinaan, preman-preman tersebut dilepaskan, tanpa memikirkan apa
manfaat mereka ditangkap dan apa efeknya bagi preman-preman tersebut. Setelah dilepaskan, preman-
preman tersebut bisa saja akan mengulangi kembali perbuatannya mengingat tidak ada sistim untuk
melakukan pengawasan secara ketat dan sistim pendataan yang terintegrasi dengan wilayah lainnya
terhadap mereka yang telah dilakukan pembinaan oleh Kepolisian, dan tidak menutup kemungkinan akan
ditangkap kembali di daerah lain untuk melakukan kegiatan yang serupa, dan apabila sudah ditangkap
diperlakukan hal yang serupa yaitu dilakukan pembinaan serta diharuskan membuat pernyataan, setelah
itu dilepaskan kembali.
Polres Langkat dalam penindakan terhadap praktek pungutan liar tidak dilakukan melalui
mekanisme acara pemeriksaan cepat sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 205 s.d Pasal 210
KUHAP, melainkan melalui proses diskresi kepolisian dalam hal ini terhadap pelaku pungutan liar
dilakukan pembinaan sesuai dengan yang diatur dalam pasal 18 Undang-Undang nomor 2 tahun
2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Banyaknya kasus premanisme di wilayah hukum
Polres Langkat pada tahun 2015-2017 dapat dilihat melalui tabel 1, 2 dan 3, sebagai berikut:

Tabel 1
Data Kasus Premanisme (Pungutan Liar) dan Pola Penindakan
Pada Polres Langkat Tahun 2015
BARANG TINDAKAN
JUMLAH JUMLAH
NO. PERIODE BUKTI TERHADAP
PERKARA PELAKU
(RANGE Rp) PELAKU
1 JAN-MAR 4 4 orang 10.000- PEMBINAAN
40.000
2 APRIL-JUNI 6 6 orang 7.000-25.000 PEMBINAAN
3 JULI-SEPT 6 6 orang 9.000-25.000 PEMBINAAN
4 OKT-DES 5 5 orang 15.000-51.000 PEMBINAAN
JUMLAH 21 21orang
Sumber: Data di Polres Langkat Tahun 2015

14Berdasarkan hasil wawancara dengan Kasat Reskrim Polres Langkat pada tanggal 13 September
2017

114
USU Law Journal, Vol.6.No.1 (Januari 2018) 109 - 121

Tabel 2
Data Kasus Premanisme (Pungutan Liar) Dan Pola Penindakan
Pada Polres Langkat
Tahun 2016
BARANG TINDAKAN
JUMLAH JUMLAH
NO. PERIODE BUKTI THDP
PERKARA PELAKU
(RANGE Rp) PELAKU
1 JAN-MAR 3 3 orang 14.000-40.000 PEMBINAAN
2 APRIL-JUNI 10 10 orang 7.000-44.000 PEMBINAAN
3 JULI-SEPT 14 14 orang 8.000-35.000 PEMBINAAN
4 OKT-DES 5 5 orang 5.000-10.000 PEMBINAAN
JUMLAH 32 32 orang
Sumber: Data di Polres Langkat Tahun 2016

Tabel 3
Data Kasus Premanisme (Pungutan Liar) Dan Pola Penindakan
Pada Polres Langkat Tahun 2017
(Sampai Dengan Tanggal 4 Oktober 2017)
BARANG TINDAKAN
JUMLAH JUMLAH
NO. PERIODE BUKTI THDP
PERKARA PELAKU
(RANGE Rp) PELAKU
1 JAN-MAR 18 18 orang 5.000-21.000 PEMBINAAN
2 APRIL-JUNI 46 50 orang 2.000-70.000 PEMBINAAN
3 JULI-SEPT 18 18 orang 2.000-30.000 PEMBINAAN
4 OKT-DES 4 4 orang 5.000-10.000 PEMBINAAN
JUMLAH 86 90 orang
Sumber: Data di Polres Langkat Tahun 2017

Tujuan diberikan pembinaan kepada pelaku pungutan liar tersebut, dengan harapan agar
pelaku tidak mengulangi lagi perbuatannya kembali untuk melakukan pemungutan uang dari
pengguna jalan baik melalui sarana perparkiran dipertokoan, ATM dan lain-lain, pengaturan
dipersimpangan maupun pungutan liar pada tempat atau sarana umum lainnya dengan cara-cara
yang tidak baik, diantaranya tidak merampas hak orang lain serta mengganggu keamanan maupun
kenyamanan bagi pengguna jalan lain, disamping itu menghilangkan jiwa peminta-minta untuk
mendapatkan uang tanpa dilakukan dengan kerja keras.15

Hambatan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Praktek Pungutan Liar Di Jalan Raya
Dengan Adanya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 Tentang
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP

1. Hambatan Dari Sisi Aparat Penegak Hukum


Apabila dilihat dari sisi Aparat penegak hukum, terdapat kendala yang dihadapinya, yaitu
diantaranya:
a. Masih banyak Aparat penegak hukum yang masih kurang memahami Perma Nomor 2
Tahun 2012 yang dikeluarkan oleh Kehakiman. Sebagai contoh bahwa terhadap praktek
premanisme diantaranya praktek pemungutan liar, masih terbatas atau berpatokan pada
nilai barang atau uang yang menjadi objek perkara hasil dari pungutan liar rata-rata
dibawah Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah), tidak melihat kadang
perbuatan pungutan liar tersebut dilakukan dengan ancaman kekerasan atau merupakan
kegiatan yang berulang dan menjadi mata pencahariannya.
b. Apabila proses penegakan hukum terhadap praktek pungutan liar dijalankan sesuai dengan
aturannya yaitu melalui mekanisme proses acara pemeriksaan cepat yang diatur dalam Pasal
205 s.d Pasal 210 KUHAP, maka prosesnya memerlukan waktu yang lama, disamping
apabila terjadi pelakunya lari karena tidak dapat dilakukan penahanan, sehingga pada saat
proses menghadirkan pelaku di persidangan, menjadi kendala tersendiri mengingat
terbatasnya personel yang ada serta terbatasnya waktu dalam melakukan proses
penindakan.
c. Masih terbatasnya mekanisme pengawasan bagi pelaku-pelaku yang sudah diberikan
pembinaan, menyebabkan setelah diberikan pembinaan dan dikembalikan ke masyarakat

15Berdasarkan Klasifikasi Perkara Pungutan liar Tahun 2016 Polres Langkat dari Kasat Reskrim

tanggal 13 September 2017.

115
USU Law Journal, Vol.6.No.1 (Januari 2018) 109 - 121

kembali, tidak lagi termonitor mengenai dampak dari pemberian pembinaan itu sendiri.
Pengawasan itu sendiri belum maksimal baik yang dilakukan oleh Polres Langkat maupun
oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Langkat, walaupun di beberapa tempat sudah dipasang
alat CCTV untuk memonitor kegiatan masyarakat di tempat tersebut, disebabkan
pemasangan CCTV itu sendiri hanya terbatas di beberapa titik dan tidak menjaungkau ke
seluruh wilayah, serta layar monitornya hanya berada di Dinas Perhubungan Kabupaten
Langkat.
d. Terbatasnya pendataan terkait dengan pelaku pungutan liar dan datanya tidak terintegrasi
antara satu wilayah dengan wilayah lain baik ditingkat Polsek maupun tingkat Polres.
e. Masih terbatas koordinasi antar Polsek maupun antar Polres dalam perkara praktek
pungutan liar di Jalan raya, sehingga tidak terdata, dan masih dianggap belum penting
dalam melakukan koordinasi.
f. Dari segi biaya atau anggaran perkara dalam penanganan perkara, bahwa terhadap peroses
penanganan suatu perkara, Negara memberikan anggaran sangat terbatas dalam satu
perkara, sedangkan terhadap penanganan kasus pungutan liar dilihat dari segi anggaran
tidak sebanding dengan nilai barang atau uang yang menjadi objek perkara yang merupakan
hasil dari pungutan liar tersebut, dan lebih besar biaya penanganan perkara bila
dibandingkan dengan nilai barang atau besaran uang yang menjadi objek perkaranya.
g. Pendataan yang dilakukan antara Polres Langkat dan Polres yang lainnya tidak terdata
secara sistematis dan online.

2. Hambatan Dari Sisi Perundang-Undangan


Hambatan dari sisi perundang-undangan dapat dilihat dari sisi hierarki peraturan
perundang-undangan bahwa Perma nomor 2 Tahun 2012 tidak sesuai dengan kaidan-kaidah
hirarkhi perundang-undangan, Perma tersebut telah mengubah nilai-nilai yang ditetapkan oleh
KUHP, sehingga seolah-olah kedudukan Peraturan Mahkamah Agung lebih tinggi dari KUHP.
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan bahwa pasal 7 Undang Undang nomor 12 tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengenai jenis dan hirarkhie
perundang-undangan, bahwa KUHP termasuk ke dalam urutan ke 3 (tiga) setelah Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR), sedangkan mengenai legitimasi Perma ada terdapat dalam ketentuan Pasal 8
Undang Undang nomor 12 tahun 2011, bahwa Perma berada diluar dari jenis dan khirarkie
perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 Undang Undang nomor 12 tahun 2011.
Bahwa penerapan Perma tersebut hanya berlaku di lingkungan hakim atau pengadilan,
namun dalam prakteknya dapat berdampak terhadap aparat penegak hukum lainnya, sehingga
menyebabkan timbul permasalahan tersendiri dalam penerapan hukum lainnya.
Hambatan lain dilihat dari perundang-undangan bahwa belum maksimal dalam
penerapan hukum lainnya terhadap pelaku pungutan liar diantaranya dengan dijerat Undang-
Undang nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, selain itu belum
adanya sanksi hukuman yang berat serta membuat efek jera bagi pelaku pungutan liar, seperti
sanksi hukuman cambuk dan/atau sanksi hukuman wajib mengerjakan pekerjaan sosial dalam
kurun waktu tertentu. Terhadap pelaku pungutan liar di jalan hanya diterapkan pembinaan
dengan melibatkan Koramil setempat dan Marinir Tangkahan Alagan Pangkalan Brandan, tidak
diproses hukum melalui mekanisme pengadilan baik dijerat dengan KUHP maupun Undang-
Undang nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya.16

3. Hambatan Dilihat Dari Budaya Hukum


Hambatan dalam penegakan hukum dikaitkan dengan adanya Perma tersebut,
berdasarkan budaya hukum yaitu dari sisi masyarakat, masih banyak masyarakat yang kurang
memahami tentang hukum, sehingga menimbulkan banyak masyarakat yang kurang sadar akan
hukum. Hal ini yang mengakibatkan masih banyak masyarakat yang belum memahami mengenai
premanisme khususnya mengenai praktek pungutan liar, sehingga banyak masyarakat yang
dibiarkan praktek pungutan liar itu sendiri berkembang. Selain tidak memahami mengenai
hukum, masyarakat banyak yang merasa ketakutan untuk melawan terhadap praktek premanisme
khususnya pungutan liar yang dilakukan oleh masyarakat. Pada saat dilakukan penindakan
terhadap pelaku pungutan liar di persimpangan jalan, pihak masyarakat hanya melihat saja,
kadang ada juga yang berusaha membantu untuk meloloskan diri dari pelaku tersebut.17
Masyarakat masih memikirkan keselamatan akan dirinya dan belum ada rasa persatuan
untuk melawan praktek premanisme itu sendiri (khususnya pungutan liar), serta masih
menganggap bahwa keamanan masih merupakan tanggung jawab dari aparat penegak hukum

16 Berdasarkan hasil wawancara Kasat Reskrim Polres Langkat dan Kasat Sabhara Polres Langkat

pada tanggal 13 September 2017.


17 Berdasarkan hasil wawancara Kapolsek Tanjung Pura pada tanggal 13 September 2017.

116
USU Law Journal, Vol.6.No.1 (Januari 2018) 109 - 121

saja, bukan merupakan tanggung jawab dari semua elemen/lapisan masyarakat, selain dari aparat
penegak hukum itu sendiri.
Disisi lain hambatan terjadinya praktek pungutan liar tersebut, pelaku banyak
diuntungkan, mengingat perlakukan terhadap pelaku itu sendiri tidak maksimal, karena
terbatasnya pengawasan yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait khususnya bagi pelaku yang
sudah diberikan pembinaan, tidak dapat dilakukan penahanan, dan lain sebagainya, sehingga
masih banyak celah bagi pelaku untuk tetap melakukan praktek pungutan liar. Pelaku dalam
melakukan praktek pungutan liar, berusaha untuk berpindah-pindah tempat, sehingga
menyulitkan bagi aparat khususnya Polisi untuk mengkelompokkan, terhadap pelaku yang baru
melakukan ataupun pelaku yang sudah berulang-ulang melakukan praktek pungutan liar atau
sudah menjadi mata pencahariannya. Pengkatagorian tersebut merupakan hal yang sangat
penting mengingat ada perlakuan khusus bagi pelaku dalam praktek pungutan liarnya sudah
dilakukan berulang-ulang atau sudah menjadi mata pencahariannya. Perlakuan khusus terhadap
pelaku tersebut tidak dapat diberlakukan lagi Perma nomor 2 tahun 2012, melainkan dapat
diterapkan proses pemidanaan sebagaimana proses terhadap pidana lainnya. Bahwa terhadap
pelaku pungutan liar yang sudah diamankan tidak dapat dilakukan penahanan mengingat uang
hasil pemungutan relatif kecil, dibawah seratus ribu dan dana hasil pemungutan tersebut
digunakan untuk digunakan sendiri atau diserahkan sebagian ke pimpinan ormas setempat
sebagai preman.18
Terhadap pelaku pungutan liar dapat dijerat dengan tindak pidana penipuan ringan,
tindak pidana penggelapan ringan. Selain dapat dijerat dengan KUHP juga dapat dijerat dengan
Undang-Undang nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya. Jika korban
merupakan pelaku bisnis yang pada hakikatnya menghendaki adanya efisiensi waktu dan biaya
yang minim, sedang adanya aturan dan prosedur birokrasi yang panjang merupakan hambatan
dalam menjalankan usahanya tersebut. Untuk korban pungutan liar seperti supir bus, masih
mementingkan efisiensi waktu dan keamanan. Jika supir bus tidak memberikan uang, maka ia
akan diancam tidak bisa melanjutkan perjalanan sehingga tidak tepat waktu sampai ke daerah
tujuan.
Disamping masyarakat kurangnya kesadaran terhadap hukum dan adanya rasa takut
untuk melawan pelaku pungutan liar, korbanpun tidak bersedia untuk melaporkan akan adanya
kejadian pemungutan liar yang menimpa pada dirinya, karena masih ada sebagian beranggapan
bahwa apabila melapor terhadap praktek pungutan liar kepada pihak Kepolisian, maka terhadap
keamanan dirinya ataupun jiwanya akan terancam, selain itu ada anggapan lain bahwa apabila
melaporkan atas kejadian yang menimpa dirinya, maka akan banyak membuang waktunya dalam
mencari keuntungan (bisnis) dan ada juga beranggapan harus mengeluarkan biaya lagi, sedangkan
masyarakat itu sendiri menuntut Polri untuk melakukan penindakan dan memproses terhadap
praktek premanisme sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan masyarakat tidak pernah berfikir
terhadap kendala yang dihadapi polisi dalam menindak lanjuti proses praktek pungutan liar sesuai
ketentuan yang berlaku, disebabkan kesulitan dalam melakukan pemeriksaan terhadap pelapor.
Selain bahwa pelapor itu sendiri tidak mau melaporkan akan kejadian yang dialaminya dan sulit
untuk bekerjasama dengan polisi. Bahwa Polri sulit untuk menindaklanjuti terhadap pelaku
pungutan liar, karena para korban tidak mau melaporkan ke Kepolisian, selain takut apabila di
proses, pihak pelaku akan membalas dan apabila di proses akan menyita waktu dari korban serta
secara tidak langsung akan mengganggu usaha korban itu sendiri.19
Alasan bagi pelaku tetap melakukan praktek pungutan liar, diantaranya disebabkan
karena adanya desakan faktor ekonomi untuk bertahan hidup dan praktek pungutan liar tersebut
dianggap merupakan cara termudah untuk mendapatkan uang. Terkadang yang menjadi alasan
lain sebagai dasar pelaku untuk tetap melakukan praktek pungutan liar tersebut, bahwa pelaku
dituntut untuk menyetorkan sebagian hasil pungutannya kepada oknum tertentu sehingga secara
tidak langsung pelaku tersebut merasa aman dan terlindungi oleh oknum tersebut untuk tetap
melakukan praktek pungutan liar.20

Dampak Hukum Praktek Pungutan Liar Di Jalan Raya Dikaitkan Dengan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 Di Wilayah Hukum Polres Langkat
1. Dampak Hukum Kepada Masyarakat Terhadap Praktek Pungutan Liar Di Jalan
Raya Dikaitkan Dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012
Dampak hukum terhadap masyarakat dengan adanya praktek pungutan liar bahwa dalam
kehidupan sehari-hari, masyarakat banyak membiarkan terjadinya praktek pungutan liar,
masyarakat takut akan bertindak terhadap praktek pungutan liar, serta menganggap bahwa

18 Berdasarkan hasil wawancara dengan Kanit Reskrim Polsek Tanjung Pura, Kanit Pidana Umum

Reskrim Polres Langkat.


19 Berdasarkan hasil wawancara dari Kasat Reskrim Polres Langkat pada tanggal 13 September 2017.
20 Berdasarkan hasil wawancara dari Kasat Reskrim Polres Langkat pada tanggal 13 September 2017.

117
USU Law Journal, Vol.6.No.1 (Januari 2018) 109 - 121

praktek pungutan liar tersebut merupakan tanggung jawab Polisi saja dalam melakukan
penindakannya, dan bukan merupakan tanggung jawab bersama dari seluruh elemen masyarakat.
Disamping itu masyarakat yang menjadi korban tidak mau melapor, apalagi diperiksa, sehingga
praktek-praktek pungutan liar menjadi marak dan terus berkembang serta menimbulkan wacana
bahwa pungutan liar tersebut dianggap suatu pembenaran. Pihak Satuan Reskrim Polres Langkat
sulit menindak pelaku pungutan liar disebabkan pada saat melakukan penindakan atau
penangkapan, masyarakat membantu meloloskan pelaku tersebut.21.

2. Dampak Hukum Kepada Pelaku Terhadap Praktek Pungutan Liar Di Jalan Raya
Dikaitkan Dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012
Tidak dilakukannya penahanan terhadap pelaku pungutan liar, menyebabkan penindakan
tersebut tidak menimbulkan efek jera bagi para pelaku itu sendiri dan pelaku tersebut akan
mengulangi perbuatannya kembali, baik di lokasi dimana yang bersangkutan dilakukan
penangkapan ataupun di lokasi yang berlainan, selain itu bagi pelaku pungutan liar tersebut, telah
terbiasa dengan cara yang mudah untuk mendapatkan uang, tidak perlu melakukan pengorbanan
dan secara tidak langsung juga telah menimbulkan jiwa pemalas serta menghilangkan jiwa
petarung atau menghilangkan jiwa untuk bersaing terhadap sulitnya menghadapi hidup. Hasil
pemeriksaan pihak kepolisian sulitnya pembinaan dan pengawasan terhadap pelaku pungutan
liar, karena mereka sering berpindah-pindah lokasi sehingga sulit untuk diawasi dan mereka telah
terbiasa dengan mudahnya mendapatkan uang, pada akhirnya di dalam jiwa mereka terbentuk
jiwa pemalas dan tidak adanya daya juang.22

3. Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Pungutan Liar


Praktek pungutan liar telah diatur dalam KUHP dengan dikaitkan Perma nomor 2 Tahun
2012 serta diatur dalam Undang-Undang nomor 22 Tahun 2009, namun jika berdasarkan aturan
yang terdapat dalam Perma tersebut sepenuhnya belum terlaksana di lingkungan masyarakat. Hal
ini disebabkan masih terdapatnya ketidakseimbangan antara pelaksanaan Perma dengan
kehidupan dalam masyarakat, karena penindakan terhadap pelakunya belum sepenuhnya
memberikan kepastian dalam lingkungan masyarakat untuk tidak melakukan praktek pungutan
liar. Sejauh ini berdasarkan hasil pengamatan di lingkungan masyarakat wilayah hukum Polres
Langkat dalam penerapan Perma nomor 2 Tahun 2012 di lapangan belum memberikan kepastian
untuk mewujudkan peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi dan sampai saat ini
adanya Perma nomor 2 Tahun 2012 harus dilakukan perubahan demi terciptanya peraturan yang
dapat memberikan kepastian hukum pada masyarakat.
Untuk meningkatkan kinerja aparat penegak hukum dalam penindakan terhadap praktek
pungutan liar sehingga lebih maksimal maka perlu dilakukan cara-cara, diantaranya: memberikan
pengarahan dan sosialisasi lebih intensif serta optimal bagi masyarakat larangan tindak pidana
pungutan liar dalam lingkungan masyarakat; memberikan pengarahan dan sosialisasi lebih
intensif serta optimal bagi aparat penegak hukum Perma nomor 2 tahun 2012 tentang
Penyesuaian Batas Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP; perlu adanya
perubahan Perma nomor 2 tahun 2012 menjadi Perpu dengan mencantumkan sanksi hukuman
yang berat bagi pelaku pungutan liar serta sanksi hukuman tersebut dapat dijalankan secara
maksimal diantaranya berupa sanksi hukuman cambuk dan/atau sanksi hukuman wajib
mengerjakan pekerjaan sosial dengan kurun waktu tertentu; meningkatkan kerjasama dalam
memberantas praktek pungutan liar dengan memerankan CJS (Crime Justice System);
melaksanakan sidang di tempat khususnya bagi pelaku pungutan liar dengan dijerat Undang-
Undang nomor 22 Tahun 2009; meningkatkan efektifitas penegakan hukum melalui penerapan
hukum secara adil dan tanpa pandang bulu; meningkatkan etos kerja masyarakat dan
meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap penindakan praktek pungutan liar; mempersempit
dan mencegah ruang bagi masyarakat untuk melakukan praktek pungutan liar; menindak pelaku
pungutan liar secara maksimal baik melalui proses peradilan ataupun proses diskresi atau
pembinaan, secara mental maupun secara fisik yang bekerjasama dengan Pemerintah setempat
(Dinas sosial) dan TNI AD (Koramil) serta TNI AL (Marinir Tangkahan Alagan Pangkalan
Brandan), untuk memberikan solusi berupa pelatihan keterampilan/keahlian dan pekerjaan serta
pembinaan mental bagi pelaku pungutan liar secara terprogram.
Pada dasanya salah satu dapat mencegah dan mengurangi tindak pidana ringan pungutan
liar melalui sistem peradilan pidana yang efektif. Penegakan hukum melalui sistem peradilan
pidana tersebut bertujuan untuk mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan dan
menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah
ditegakkan dan terhadap pelaku yang bersalah dapat dipidana serta tidak mengulang lagi
kejahatannya.

21Berdasarkan hasil wawancara dari Kasat Reskrim Polres Langkat pada tanggal 13 September 2017.
22Berdasarkan hasil wawancara dari Kasat Reskrim Polres Langkat pada tanggal 13 September 2017.

118
USU Law Journal, Vol.6.No.1 (Januari 2018) 109 - 121

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Penegakan hukum oleh Polres Langkat terhadap praktek pungutan liar di jalan raya yang
dilakukan oleh preman dan masyarakat dengan diberikan pembinaan yang dilakukan oleh
Polres Langkat bekerjasama dengan Dinas Sosial, serta melibatkan TNI-AD (Koramil
setempat) dan TNI AL (Marinir Tangkahan Alagan Brandan), dengan harapan ada perbaikan
mulai dari mental maupun kemampuan yang dimiliki untuk mendapatkan pekerjaan.

2. Hambatan yang dihadapi dalam penegakan hukum terhadap praktek pungutan liar di jalan
raya dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian
Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP, adalah sebagai berikut:
a. Hambatan dari sisi aparat penegak hukum, bahwa terhadap aparat penegak hukum,
masih banyak yang kurang memahami akan Perma nomor 2 Tahun 2012, terbatasnya
waktu dan jumlah personil, terbatasnya mekanisme pengawasan terhadap pelaku yang
sudah menerima pembinaan, pendataan yang belum terintegrasi, masih terbatasnya
koordinasi dan dianggap masih belum terlalu penting serta tidak sebandingnya anggaran
penanganan perkara, berikut tidak tersedianya sistim data berbasis online.
b. Hambatan dari sisi perundang-undangan, bahwa sisi hierarki peraturan perundang-
undangan, Perma nomor 2 Tahun 2012 tidak sesuai dengan kaidah-kaidah hirarkhi
perundang-undangan, Perma tersebut telah mengubah nilai-nilai yang ditetapkan oleh
Undang-Undang KUHP, sehingga seolah olah kedudukan Perma lebih tinggi dari KUHP
dan belum maksimal menerapkan Undang-Undang nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan Raya, perlu adanya Perpu terhadap pungutan liar yang
dilakukan oleh masyarakat dengan pemberikan sanksi hukuman yang berat;
c. Hambatan berdasarkan budaya hukum, dari sisi masyarakat bahwa masih terbatasnya
kesadaran hukum serta tidak paham tindak pidana yang berkaitan dengan praktek
pungutan liar yang dilakukan oleh preman maupun masyarakat; tidak adanya kesadaran
masyarakat untuk melakukan pelaporan kepada Polri, cenderung masyarakat terdapat
rasa takut dan masih ada anggapan bahwa tanggung jawab terhadap praktek pungutan
liar tersebut hanya merupakan tanggung jawab Polisi, serta masih mengutamakan
kepentingan pribadi dari masyarakat; tidak ada rasa kompak dan bersatu untuk melawan
terhadap praktek pungutan liar, serta korban tidak mau melaporkan dan diperiksa
terkait dengan praktek pungutn liar. Sedangkan dari sisi pelaku, bahwa pelaku banyak
diuntungkan dengan adanya Perma, pelaku tidak dapat dilakukan penahanan, dan tidak
maksimal, serta bagi pelaku timbul jiwa pemalas dan tidak memiliki jiwa untuk berjuang.

3. Dampak Hukum Praktek Pungutan Liar Di Jalan Raya dikaitkan dengan Perma nomor 2
Tahun 2012 Di Wilayah Hukum Polres Langkat dalam pelaksanaannya dari sisi masyarakat,
bahwa terjadi pembiaran dan takut bertindak terhadap praktek pungutan liar serta
menganggap bahwa terhadap praktek pungutan liar tersebut merupakan tanggung jawab
Polisi, bukan merupakan tanggung jawab bersama, serta masyarakat yang menjadi korban
tidak mau lapor ataupun diperiksa, sehingga praktek-praktek pungutan liar menjadi marak
dan terus berkembang serta menimbulkan wacana bahwa pungutan liar tersebut dianggap
suatu pembenaran. Sedangkan dari sisi pelaku pungutan liar menyebabkan tidak
menimbulkan efek jera dan pelaku cenderung akan mengulangi perbuatannya kembali, pelaku
terbiasa dengan cara yang mudah untuk mendapatkan uang, tidak perlu melakukan
pengorbanan dan secara tidak langsung juga telah menimbulkan jiwa pemalas serta
menghilangkan jiwa petarung atau menghilangkan jiwa untuk bersaing. Dari kebijakan hukum
pidana, bahwa praktek pungutan liar telah diatur dalam KUHP dan Perma No. 2 tahun 2012
serta UU No. 22 Tahun 2009, pelaku pungutan liar dapat dilakukan penindakan sesuai dengan
ketentuan baik secara proses hukum maupun dapat dilakukan penindakan berdasarkan
pemberian pembinaan, adanya kinerja yang baik dan perbaikan kinerja dari aparat penegak
hukum serta terhadap Perma itu sendiri Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat merubah
dan mengganti dengan Perpu, karena Perma tersebut telah menimbulkan permasalahan dalam
proses penengakan hukum pada praktek pungutan liar yang dilakukan oleh masyarakat,
sehingga dalam pelaksanaannya antar Crime Justice System (CJS), akan harapan dan tujuan
pada sistim peradilan pidana, dapat terwujud dan menghilangkan anggapan masyarakat bahwa
praktek pungutan liar tersebut sebagai pembenaran serta bagi pelaku itu sendiri akan timbul
mental yang baik serta timbul jiwa untuk berjuang atau jiwa untuk berusaha.

119
USU Law Journal, Vol.6.No.1 (Januari 2018) 109 - 121

Saran
1. Bagi aparat penegak hukum agar memahami secara benar terkait dengan penerapan pasal-
pasal tindak pidana ringan dan peraturan lainnya, sehingga akan berdampak pada
penerapan Peraturan Mahkamah Agung nomor 2 Tahun 2012 tersebut, secara benar dan
tidak bertentangan dengan KUHP dan KUHAP, sehingga diharapkan bagi Kepolisian dapat
melaksanakan penegakan hukum sebagaimana mestinya terhadap pelaku pungutan liar.

2. Perlu adanya perubahan Perma menjadi Perundang-undangan pengganti dengan


mencantumkan sanksi hukuman yang berat pelaku pungutan liar berupa sanksi hukuman
cambuk dan/atau sanksi hukuman wajib mengerjakan pekerjaan sosial.

3. Bagi pelaku tindak pidana pungutan liar, apabila telah ditangkap pihak Kepolisian dapat
dilakukan penindakan baik dilakukan secara pembinaan terhadap mental maupun moral
dengan melibatkan Dinas Sosial dan TNI AD (koramil) serta TNI AL (Marinir Tangkahan
Alagan Brandan), maupun dapat dilakukan secara proses pengadilan, sehingga diharapkan
dapat memberikan efek jera dan dapat merubah mental pelaku menjadi lebih baik serta
pelaku dapat melakukan pekerjaan yang lebih baik dan tidak ada anggapan lagi dari
masyarakat bahwa praktek pungutan liar merupakan hal dianggap pembenaran.

DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Ahmad, Ali. 2005. Keterpurukan Hukum Di Indonesia Penyebab Dan Solusinya, Cetakan Kedua.
Ciawi-Bogor: Ghlmia Indonesia.
Ali, Zaenuddin. 2010. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafindo, 2010.
Dirdjosisworo, Soedjono. 1983. Penanggulangan Kejahatan (Crime Prevention), Alumni,
Bandung.
Efendy, Rusli. 1991. Teori Hukum. Ujung Pandang: Hasanuddin University Press.
Hadi, Utomo Warsito. 2005. Hukum Kepolisian Di Indonesia. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Hadiman. 2009. Polri Siap Memberantas Aksi Premanisme dan Mengamankan Pemilu 2009,
Jakarta: Badan Kerjasama Sosial Usaha Pembinaan Warga Tama “Bersama”.
Harahap, Yahya. 2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali). Jakarta: Sinar Grafika.
Ismawati, Esti. 2015. Pungutan Liar Yang Membudaya Di Indonesia. Jakarta
Kunarto. 1999. Kejahatan Berdimensi Baru. Jakarta: Cipta Manunggal.
Hanitijo, Ronny Soemitro. 1988. Metode Penelitian Hukum dan Jumetri. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Mahmud, Peter Marzuki.1987. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
Muladi dan Barda Nawawi Arief (III). 1998. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, cetakan ke II
Bandung; Alumni, 1998.
Nawawi, Barda Arief. 2010. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti.
Neta S. Pane. 2011. Model-Model Premanisme Modern. Presidium Indonesia Police
Salim, Erlis Septiana Nurbani. 2014. Penerapan Teori hukum Pada Penelitian Tesis dan Desertasi.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sanoesi. 1987. Almanak Kepolisian Republik Indonesia, Berdasarkan Kadislitbang Polri Nomor
Pol. B/394/IX/Dislitbang. Jakarta: PT Dutarindo.
Sahetapi, J.E. 1989. Bunga Rampai Viktimisasi. Bandung: Eresco.
Shant, Dellyana. 1988. Konsep Penegakan Hukum. Yogyakarta: Liberty.
Simongkir, J.C.T, Rudy T. Erwin dan Aj. T. Prasetyo. 2000. Kamus Hukum. Jakarta: Madjapahit.
Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:
Rajawali).
_________________. 2001. Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
Soemarjan, Selo. 1988. Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta: Djambatan.
Sunggono, Bambang. 2003. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Reksodipuro, Mardjono. 1997. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana Kumpulan Karangan
Buku Kedua, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi.
Jakarta: Universitas Indonesia.

B. WEBSITE
https://id.wikipedia.org/wiki/Premanisme, di akses pada tanggal 15 Mei 2017.
http://m.suaramerdeka.com, oleh Agus Riewanto,”Pembatasan Tipiring dan Revisi KUH Pidana”,
di akses pada tanggal 15 Mei 2017.
http://makalahkepolisiannegara.blogsplot.com, diakses pada tanggal 07 Juni 2017.

120
USU Law Journal, Vol.6.No.1 (Januari 2018) 109 - 121

http://www.suduthukum.com. hukum pidana, “kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)”, diakses


pada tanggal 27 Juli 2017.
http://zenhadianto.blogspot.co.id>2014/01, “Teori System Hukum Lawrence M. Friedman”,
diakses pada tanggal 27 Juli 2017.
https://pengertianmenurutparaahli.org›PENGERTIAN pungutan liar, diakses tanggal 5 Agustus
2017.
https://krisnaptik.com> hukum-Kepolisian, diakses tanggal 5 Agustus 2017.
http://www.kendariekspres.com, diakses tanggal 15 September 2017.
www.hukumonline.com, diakses tanggal 19 Oktober 2017.

C. Makalah, Jurnal, dan Artikel


Fransiska Novita Eleanora, “White Collar Crime Hukum dan Masyarakat”, Forum Ilmiah, Vol.10.
Nomor 2, Tahun 2013.
Ningrum, Mahmul Siregar, Mohammad Ekaputra, Agusmidah, Mahmud Mulyadi, Iqbal Asnawi.
2013. Prosiding Seminar Nasional Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan
Jumlah Denda dalam KUH Pidana. Medan-Indonesia: USU press.
Rahmawati, L. 2002. Pengaruh Perkembangan Bidang Industri Terhadap Premanisme (Studi
Sosio Kriminologi). Jurnal Penelitian Hukum Universitas Singaperbangsa.
Wahyu Rahmadhani, Penegakan Hukum Dalam Menanggulangi Pungutan Liar Terhadap
Pelayanan Publik, Fakultas Hukum, Universitas Sains Cut Nyak Dhien,Volume 12, Nomor 2,
Juli-Desember 2017, hlm.3.

D. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
TAP MPR nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Undang-Undang nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Undang-Undang nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-Undang nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
Undang-Undang nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya.
Peraturan Mahkamah Agung nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana
Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.
Peraturan Daerah Kabupaten Langkat nomor 7 Tahun 2005 tentang Restribusi Pelayanan Parkir.

121

Anda mungkin juga menyukai