Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH KIMIA FORENSIK

DNA SEBAGAI BARANG BUKTI

Disusun Oleh:
Haidar Sitie Rafidah
2006615010

Dosen Pembimbing:
Prof. Drs. Ridla Bakri, M.Phil., PhD.

PASCASARJANA DEPARTEMEN KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS INDONESIA
2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................................. i
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................................. 1
1.2. Tujuan ........................................................................................................................... 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................ 2
2.1. DNA (Deoxyribonucleic Acid) ...................................................................................... 2
2.2. Uji Tes DNA .................................................................................................................. 2
2.3. Metode Tes DNA .......................................................................................................... 4
2.3.1. Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP).................................... 4
2.3.2. Short Tandem Repeats (STR) Analysis ........................................................... 4
2.3.3. Mitochondrial DNA Analysis ............................................................................ 5
2.3.4. Y-Chromosome Analysis ................................................................................... 6
BAB III. PEMBAHASAN ....................................................................................................... 8
3.1. DNA Fingerprinting ..................................................................................................... 8
3.2. Aplikasi DNA Fingerprinting sebagai Bukti Kasus Kejahatan ............................. 10
BAB IV. PENUTUP ............................................................................................................... 12
4.1. Kesimpulan ................................................................................................................. 12
4.2. Saran ........................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 13

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Identifikasi DNA dan fungsinya sebagai alat bantu penyelesaian kasus kriminalitas di
dunia telah berkembang pesat. Profil DNA atau sidik jari DNA telah digunakan pertama kali
pada kasus kriminal tahun 1988 yaitu pembunuhan berantai dua gadis remaja oleh Colin
Pitcfork di Leicestershire, Inggris (Holmes, 1994). Umumnya, dalam dunia ilmu forensik
digunakan dua jenis marka genetik yaitu DNA mitokondria dan DNA inti (Hurst et al., 2009).
Namun, sifat DNA mitokondria memiliki kelemahan karena materi genetik hanya berasal dari
ibu, sedangkan DNA inti memiliki cakupan yang lebih luas karena mataeri genetik berasal dari
kedua orang tua (ayah dan ibu). DNA mitokondria dapat dijadikan marka genetik untuk tes
DNA karena memiliki keunikan dari pola pewarisan DNA dan mempunyai hubungan
kekerabatan secara maternal (Budowle et al. 2003).
Metode tes DNA umumnya menggunakan teknik elektroforesis DNA, dimana metode ini
telah dikembangkan untuk menganalisis kasus kejahatan yaitu metode DNA fingerprinting.
DNA fingerprint pada setiap individu mempunyai sifat yang unik dan berbeda-beda. Oleh
karena itu, DNA fingerprinting merupakan metode yang sangat akurat dalam menentukan
individu yang berbeda-beda (Roewer, 2013). DNA fingerprinting dalam pemeriksaan
didasarkan atas bagian intron DNA. Metode analisis lainnya untuk menentukan DNA yaitu
Variable Number of Tandem Repeats (VNTR), dimana penggunaannya diwariskan dari
orangtua menurut hukum Mendel, sehingga untuk mengetahui garis keturunan dapat dilacak
selain melalui orangtua yaitu dengan anak atau saudara kandung.
Aplikasi DNA fingerprinting telah diterapkan pada kasus kejahatan seperti kasus
pembunuhan dan pemerkosaan. Penggunaan DNA fingerprinting dalam kasus kejahatan
berguna untuk mengungkap pelaku berdasarkan sidik jari DNA, cairan sperma, darah, dan
bukti lainnya yang berasal dari ayah, ibu, saudara kandung, saksi, dan terdakwa.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui prinsip kerja DNA fingerprinting berdasarkan metode uji tes DNA yang
digunakan.
2. Mengetahui kasus-kasus criminal yang berkaitan dengan pengujian menggunakan DNA
fingerprinting.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DNA (Deoxyribonucleic Acid)


DNA (Deoxyribonucleic acid) merupakan polimer asam nukleat yang tersusun secara
sistematis dan dapat membawa informasi genetik yang diturunkan kepada keturunannya.
Informasi genetik disusun dalam bentuk kodon yang berupa tiga pasang basa nukelotida
(Travers & Muskhelishvili, 2015).

Gambar 1. Struktur DNA (Watson & Crick, 1953)


Secara struktural, DNA merupakan polimer nukleotida, dimana setiap nukelotida tersusun
dari gula deoksiribosa, fosfat, dan basa. Polimer tersebut membentuk struktur dua untai heliks
ganda yang disatukan oleh ikatan hidrogen antara basa-basa yang ada. Pada DNA, terdapat
empat jenis basa yaitu adenin (A), sitosin (C), guanin (G), dan timin (T). Adenin membentuk
dua ikatan hidrogen dengan timin, sedangkan guanin akan membentuk tiga ikatan hidrogen
dengan sitosin. Kombinasi jumlah dan susunan yang terbentuk antara ikatan-ikatan basa ini
memungkinkan setiap indvidu memiliki blueprint genetik yang spesifik dibandingkan
organisme lain (Travers & Muskhelishvili, 2015).

2.2 Uji Tes DNA


DNA pada makhluk hidup dapat ditemukan pada inti sel (nukleus), mitokondria, dan
klorofil. Pada manusia, DNA ditemukan pada inti sel dan mitokondria. DNA pada nukleus
berbentuk linear dan memiliki jumlah pasang basa sekitar tiga juta, sedangkan DNA yang
berada di mitokondria (mtDNA) berbentuk sirkuler dan memiliki jumlah pasang basa lebih
sedikit yaitu sekitar 160.000. Namun, apabila terjadi mutasi pada DNA mitokondria, dapat

2
terjadi kerusakan pada sistem yang peka terhadap kebutuhan energi seperti sistem saraf dan
otot (Travers & Muskhelishvili, 2015). DNA mitokondria pada manusia memiliki sejumlah
sifat genetik khas yang membedakannya dari DNA inti. Perbedaan DNA inti dan DNA
mitokondria disajikan pada Tabel 1. sebagai berikut.

Tabel 1. Perbedaan DNA inti dan DNA mitokondria


DNA inti DNA mitokondria
Ukuran genom 3.000.000 bp 16.569 bp
Kopi per sel 2 (masing-masing 1 dari tiap induk) >1000
Struktur Linier Sirkuler
Diwariskan dari Ayah dan Ibu Ibu
Keunikan Unik untuk tiap individu Tidak sepenuhnya
(kecuali kembar identik)
Tingkat mutase Rendah 5-10 kali DNA inti

Pada mamalia, DNA mitokondria hanya diturunkan melalui jalur ibu tanpa rekombinasi.
DNA mitokondria pada sel anak seluruhnya disumbangkan oleh ibu, dimana sperma sama
sekali tidak berkontribusi (Cambell et al., 2002). Keunikan sistem pewarisan yang menarik ini
telah dimanfaatkan dalam berbagai bidang seperti hubungan kekerabatan, studi evolusi dan
migrasi global manusia modern, bidang forensik, dan identifikasi penyakit genetik (Wallace et
al., 1997). Perbedaan DNA inti dan DNA mitokondria dapat dilihat pada Gambar 2. DNA inti
memiliki 3,2 juta pasangan basa yang berlokasi di nucleus, sedangkan DNA mitokondria
memiliki 16.569 pasangan basa yang berlokasi di mitokondria (Haupts et al., 2021).

Gambar 2. DNA inti dan DNA mitokondria pada manusia (Haupts et al., 2021)

3
2.3 Metode Tes DNA
2.3.1 Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)
RFLP merupakan teknik yang ditemukan oleh ilmuwan Inggris Alec Jeffreys pada tahun
1984 untuk penelitian penyakit keturunan dan kasus kriminal. Prinsip kerja RFLP
menggunakan pencernaan restriksi endonuklease untuk mengidentifikasi polimorfisme urutan
DNA dalam gen atau daerah DNA yang diinginkan (Williams, 1989). Saat menyelidiki
keluarga untuk pewarisan menggunakan RFLP, alikuot DNA genom dari masing-masing
anggota keluarga dicerna sampai selesai dengan enzim restriksi yang diketahui menghasilkan
polimorfisme yang diinginkan. Setelah fraksinasi ukuran pada gel agarosa, DNA ditransfer ke
membran dengan aksi kapiler dalam buffer tinggi garam. Gel pertama-tama diperlakukan
dengan NaOH untuk mendenaturasi DNA, kemudian setelah gel mengalami netralisasi, gel
ditempatkan di antara kertas saring yang direndam buffer dan selembar membran. DNA probe
berlabel dihibridisasi semalaman ke Southern blot. Blot dicuci di bawah kondisi yang
dirancang untuk menghilangkan semua probe yang tidak spesifik dan terkena film sinar-X.
Ukuran fragmen yang teridentifikasi berbeda antar individu dan dapat ditelusuri dari generasi
ke generasi. Prinsip kerja RFLP dapat dilihat pada Gambar 3 sebagai berikut (Jarcho, 2001).

Gambar 3. Prinsip kerja RFLP (Jarcho, 2001)


2.3.2 Short Tandem Repeats (STR) Analysis
STR merupakan daerah DNA dengan unit berulang yang panjangnya 2-6 pasang basa.
Jumlah pengulangan pada penanda STR sangat bervariasi antara individu. Penanda STR lebih
dapat digunakan dalam aplikasi ilmu forensik (Jeffreys et al., 1985). Dasar analisis STR yaitu
di antara 3 juta atau lebih basa DNA yang tidak mengkode protein merupakan daerah dengan
banyak salinan dari urutan pendek yang berulang dari basa, yang membentuk DNA backbone
(misalnya, TATT). Urutan tersebut berulang beberapa kali pada individu yang berbeda. Daerah
pengulangan tersebut dapat memberikan bukti statistik yang hampir tak terbantahkan tentang
identitas seseorang karena kemungkinan dua orang yang tidak berhubungan memiliki jumlah
4
urutan berulang yang sama di wilayah ini menjadi semakin kecil karena lebih banyak wilayah
yang dianalisis (El-Alfy & El-Hafez, 2012). Prinsip kerja STR dapat dilihat pada Gambar 4
sebagai berikut.

Gambar 4. Prinsip kerja STR (Sitnik et al., 2006)

2.3.3 Mitochondrial DNA Analysis


DNA mitokondria (mtDNA) pertama kali diidentifikasi dan diisolasi oleh Margit Nass
dan Sylvan Nass pada tahun 1963, yang mempelajari beberapa serat mitokondria menurut sifat
fiksasi, stabilisasi dan pewarnaannya (Nass & Nass, 1963). Namun, urutan lengkap mtDNA
pertama hanya diterbitkan dan ditetapkan sebagai mtDNA Cambridge Reference Sequence
(CRS) delapan belas tahun kemudian, pada tahun 1981 (Anderson et al., 1981).
DNA mitokondria (mtDNA) menyajikan beberapa karakteristik yang berguna untuk
studi forensik, terutama terkait dengan kurangnya rekombinasi, jumlah salinan yang tinggi, dan
pewarisan matrilineal. mtDNA ditulis berdasarkan urutan wilayah kontrol atau analisis sekuens
genomik penuh digunakan untuk menganalisis berbagai sampel forensik seperti tulang tua, gigi
dan rambut, serta sampel biologis lainnya di mana kandungan DNA rendah (Amorim, 2019).
Beberapa dekade terakhir, mtDNA telah terbukti menjadi alat yang efektif untuk
merekonstruksi asal ibu individu dan sampel peta geografis, tetapi juga memainkan peran kunci
dalam berbagai penyakit manusia. Karena warisan ibu dan kurangnya rekombinasi,
diferensiasinya hanya dihasilkan oleh akumulasi berurutan dari mutasi baru dari nenek moyang
perempuan yang membuat mtDNA menjadi register molekuler garis ibu. Selama ribuan tahun,
diferensiasi molekuler memunculkan kelompok mtDNA yang berbagi satu set varian (disebut
haplotipe) yang diperoleh dari nenek moyang perempuan yang sama. Meskipun seluruh
pendekatan genomik sekarang menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan asal usul dan
diversifikasi spesies, mtDNA terus menjadi sumber penting informasi untuk merekonstruksi
sejarah genetik populasi tertentu (Barbanera et al., 2020).

5
Pada dasarnya, mtDNA adalah molekul DNA untai ganda melingkar bebas histon lima
mm, dengan sekitar 16.569 pasangan basa dan bobot 107 Dalton (Taanman, 1999). Untaian
mtDNA memiliki kerapatan yang berbeda karena komposisi basa G+T yang berbeda. Untai
berat (H) mengkodekan lebih banyak informasi, dengan gen untuk dua rRNA (12S dan 16S),
dua belas polipeptida dan empat belas tRNA, sedangkan untai ringan (L) mengkodekan delapan
tRNA dan satu polipeptida. Semua 13 produk protein adalah bagian dari kompleks enzim yang
membentuk sistem fosforilasi oksidatif. Fitur karakteristik lain dari mtDNA adalah gen
intronless dan terbatas, atau bahkan tidak ada, urutan intergenik, kecuali dalam satu wilayah
regulasi. D-loop mitokondria adalah wilayah beruntai tiga yang ditemukan di wilayah non-
coding utama (NCR) dari banyak genom mitokondria, dan dibentuk oleh penggabungan stabil
dari untai DNA 680 basa ketiga yang dikenal sebagai DNA 7S (Kefi-Ben Atig et al., 2009).
Asal replikasi terletak di daerah non-coding atau D-loop, segmen 1.121 pasangan basa yang
terletak di antara posisi 16 024 dan 576, menurut penomoran CRS. Wilayah D-loop, juga
mencakup dua promotor transkripsi, satu untuk setiap untai. Posisi nukleotida dalam genom
mtDNA diberi nomor pada posisi sembarang pada untai H, yang berlanjut setelahnya dan di
sekitar molekul untuk kira-kira 16.569 pasangan basa (Gambar 5.) (Anderson et al., 1981).

Gambar 5. Genom DNA mitokondria (Anderson et al., 1981)


2.3.4 Y-Chromosome Analysis
Kromosom Y merupakan salah satu bagian yang terkecil pada manusia di sekitar 60
pasangan megabase (Mb). Kromosom Y adalah penentu jenis kelamin laki-laki dan merupakan
satu-satunya kromosom yang diturunkan langsung dari ayah ke anak laki-laki. Kromosom Y
terdiri dari wilayah khusus pria tanpa pasangan kromosom homolog dan dua wilayah
pseudoautosomal (PAR1 dan PAR2) (Navarro-Costa, 2012). Dalam serangkaian analisis
sitogenetik, Tiepolo dan Zuffardi menetapkan pada tahun 1976 bahwa daerah di lengan panjang
kromosom Y sangat penting untuk pembentukan sperma pada manusia, yang kemudian dikenal
sebagai faktor theazoospermia (Tiepolo dan Zuffardi, 1976).

6
Pengujian DNA kromosom Y penting untuk sejumlah aplikasi yang berbeda dari
genetika manusia termasuk pemeriksaan bukti forensik, pengujian ayah biologis, penyelidikan
sejarah, mempelajari pola migrasi manusia sepanjang sejarah, dan penelitian silsilah. Dalam
hal aplikasi forensik, ada keuntungan dan keterbatasan untuk pengujian kromosom Y; nilai
utama dari kromosom Y dalam pengujian DNA forensik adalah bahwa ia hanya ditemukan
pada laki-laki. Menggunakan PCR, spesifik-ChrY dapat meningkatkan kemungkinan
mendeteksi tingkat rendah DNA pelaku pada DNA korban wanita. Tes kromosom Y juga telah
digunakan untuk memverifikasi laki-laki yang kekurangan amelogenin Y. Fitur yang sama dari
kromosom Y yang memberikan keunggulan dalam pengujian forensik, yaitu kejantanan, juga
merupakan batasan terbesarnya. Mayoritas kromosom Y ditransfer langsung dari ayah ke anak
tanpa rekombinasi untuk mengacak gen mereka dan memberikan variasi genetik yang lebih
besar kepada generasi mendatang (Butler, 2012).

Gambar 6. Struktur diagram kromosom Y manusia (Court, 2021)


Kromosom Y manusia memiliki dua daerah pseudoautosomal (PARs) dengan lengan
pendek Yp dan lengan panjang Yq, dipisahkan oleh sentromer (Gambar 6). PAR, lengan
pendek dan bagian proksimal lengan panjang terdiri dari kromatin yang dikemas ringan yang
diperkaya dengan gen PAR1 dan PAR2, keduanya bergabung kembali dengan area pada
kromosom X; wilayah yang tersisa tidak bergabung kembali dan mengandung sekitar 70 gen
di wilayah khusus pria (MSY). Fakta menarik dalam DNA forensik ini adalah deteksi penanda
yang terkait dengan amelogenin (AMEL). Lokus memiliki dua gen homolog pada kromosom
X dan Y : AMELY yang mengkode protein dari proses demineralisasi email gigi dan memiliki
paralog pada kromosom X (AMELX). Intron pertama AMELX adalah enam pasangan basa
(bp) lebih pendek dan primer yang menargetkan kedua gen dimasukkan dalam banyak kit DNA
forensik untuk mengungkapkan jenis kelamin donor (Court, 2021).

7
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 DNA Fingerprinting


Teknik DNA fingerprinting menggunakan polimorfik yang sangat bervariasi daerah DNA
untuk mengidentifikasi individu dengan menyiapkan profil. Pembuatan profil DNA pertama
kali dijelaskan pada tahun 1985 oleh ahli genetika Inggris 'Sir Alec Jeffreys'. DNA hadir di
setiap sel berinti dan karena itu hadir di semua sel biologis bahan. Pembuatan profil DNA
adalah kemajuan paling penting di bidang Forensik Sains. Ini berfungsi sebagai alat forensik
yang kuat, bukan hanya karena tingkat yang tinggi diskriminasi antar individu, tetapi juga
karena dapat dilakukan dengan banyak sumber bahan biologis mis. darah, noda darah, air mani,
noda mani, jaringan, tulang, gigi, akar rambut, dan lain-lain (Kulkarni, 2011).
Stabilitas molekul DNA memungkinkan pengetikan genetik bahkan dari bahan yang
terdekomposisi dan/atau fosil. Oleh karena itu dapat diaplikasikan pada sebagian material yang
terfragmentasi dari korban perang, atau bahkan tulang dari individu mumi telah diuji untuk
mengidentifikasi orang melalui pengetikan. DNA Genetika adalah ilmu pewarisan, dimana
tubuh manusia terdiri dari sekitar sepuluh triliun sel masing-masing berisi nukleus (kecuali sel
darah merah); dengan benang halus seperti struktur yang disebut kromosom. Setiap kromosom
membawa sejumlah gen yang menentukan berbagai karakteristik individu seperti warna kulit,
tinggi badan, bentuk hidung, warna rambut, dll. Pada individu sehat yang normal, setiap sel
tubuh mengandung 46 kromosom (44 autosom dan 2 kromosom seks). Kromosom tersebut
berasal dari kromosom bersama dengan gen sel telur (dari ovarium) dari ibu dan sperma (dari
testis ayah) dibawa ke bayi yang baru lahir saat fertilisasi berlangsung. Kehidupan baru
mewarisi fisik, mental dan lainnya karakteristik normal dan abnormal dari kedua orang tua,
sehingga berbagi genetik sifat, disebut juga hukum waris (Kulkarni, 2011).
Kromosom terdiri dari asam nukleat kompleks (materi genetik) DNA) dan protein.
Molekul DNA mengandung informasi yang memungkinkan tubuh berfungsi dan memberi
setiap orang penampilan yang unik. James Watson dan Francis Crick merevolusi biologi
molekuler dan genetika dengan menemukan struktur DNA pada tahun 1953, cetak biru
individu, dan menerima hadiah Nobel pada tahun 1962 (Kulkarni, 2011).
Menurut Dr. Henry Lee, perpindahan DNA secara langsung dari individu ke individu lain
atau suatu objek dapat digunakan untuk menemukan tersangka tindak kejahatan. Jenis
perpindahan DNA secara langsung, meliputi:
1. DNA tersangka pada badan atau pakaian korban

8
2. DNA tersangka pada suatu objek
3. DNA tersangka pada lokasi
4. DNA korban pada badan atau pakaian tersangka
5. DNA korban pada suatu objek
6. DNA korban pada lokasi
7. DNA saksi pada korban atau tersangka
8. DNA saksi pada objek atau lokasi
Teknik DNA fingerprinting data dilihat pada Gambar 7 sebagai berikut

Gambar 7. Teknik analisis DNA fingerprinting (Housman, 1995)


Teknik DNA fingerprinting merupakan teknik yang paling banyak digunakan untuk
identifikasi forensik, dimana melibatkan teknik RFLP. Tes ini bertujuan di situs dalam DNA
manusia yang berbeda panjangnya karena mereka memiliki jumlah VNTR masing-masing
sekitar 20 sampai 40 basa pasangan panjang (Gambar 7). Di laboratorium forensik, DNA
dapat diekstraksi dari spesimen seperti air mani dari usap vagina, noda darah dari pakaian, atau
bahkan kulit bersarang di bawah kuku korban selama perjuangan dengan seorang penyerang.
DNA yang diisolasi dari spesifikasi forensik kemudian dibandingkan dengan yang berasal dari
darah sampel dari terdakwa. Meskipun DNA utuh telah diekstraksi dari sampel yang disimpan
di loker bukti selama bertahun-tahun, pertumbuhan mikroba yang berlebihan, yang dapat
9
mencemari DNA, dapat terjadi jika spesimen telah dipelihara di lingkungan yang lembab.
Untuk memvisualisasikan pola genetik sampel secara langsung, DNA pertama-tama harus
dicerna dengan restriksi endo nuklease, enzim yang memotong situs tertentu di dalam DNA,
memangkas wilayah VNTR menjadi fragmen-fragmen panjang yang berbeda. Sampel DNA
yang dicerna kemudian dipisahkan berdasarkan ukuran dan dipindahkan ke membrane nilon.
Dua untai DNA heliks ganda dipecah, memungkinkan DNA menyatu dengan probe radioaktif.
DNA yang difiksasi pada membran nilon dapat dianil berturut-turut dengan serangkaian
radioaktif probe, sebuah proses yang meningkatkan kemungkinan mendeteksi urutan VNTR
yang bervariasi dalam ukuran antara dua spesimen. Probe radioaktif diturunkan dari urutan
DNA yang tidak berulang langsung berdekatan dengan urutan VNTR, memungkinkan untuk
mengidentifikasi posisi "pita" VNTR tertentu dalam kumpulan fragmen DNA yang dicerna.
Korespondensi dalam posisi antara pita VNTR dari dua sampel merupakan kunci identifikasi
dalam sidik jari DNA (Housman, 1995).
Teknik ekstraksi DNA dijelaskan pada Gambar 8, dimana tahap pertama yaitu lysing yang
merupakan proses pemecahan sel sehingga DNA specimen dapat lisis ke luar sel. Tahap kedua
adalah filtering yaitu proses penyaringan atau pemisahan DNA specimen dengan bahan lain
seperti protein, lemak, atau karbohodrat. Tahap ketiga adalah binding yaitu proses pengikatan
DNA specimen sehingga terpisah dari zat pengotor lainnya. Tahap keempat adalah washing
yaitu proses pencucian DNA spesimen agar terpurifikasi. Tahap terakhir adalah eluting yaitu
roses resuspensi dengan penambahan larutan buffer sebagai pelarut dari materi DNA.

Gambar 8. Teknik Ekstraksi DNA

3.2 Aplikasi DNA Fingerprinting sebagai Bukti Kasus Kejahatan


Aplikasi DNA fingerprinting pada kasus kejahatan pemerkosaan contohnya yaitu pada
kasus seorang aktris cantik ditemukan meninggal di sebuah kamar hotel dengan tubuh setengah
telanjang. Polisi yang menyelidiki kasus tersebut menduga bahwa aktris tersebut mengalami
pemerkosaan kemudian dibunuh. Polisi kemudian mengambil sampel berupa ceceran sperma
disekitar vagina, darah korban, dan tanda bukti lainnya untuk diperiksa di laboratorium. Orang-

10
orang yang terlibat dan dicurigai sebagai salah satu pelaku pemerkosaan dan pembunuhan
diambil sampel darah yaitu teman pria korban yang sebelum kejadian sempat mengantar aktris
tersebut ke hotel dan pegawai hotel. Berikut adalah hasil analisis profile DNA (Gambar 9).

Gambar 9. Profile DNA kasus pemerkosaan


Berdasarkan hasil profile DNA tersebut, diketahui bahwa pada lajur 1 dan 6 merupakan
standar, lajur 3 merupakan korban pemerkosaan, lajur 4 dan 5 adalah terdakwa atau tersangka,
dan lajur 7 adalah hasil profile DNA semen yang diambil dari tubuh korban. Hasil analisis
DNA terlihat bahwa sidik jari DNA lajur 7 dan 4 memiliki kesesuaian garis pita DNA-nya.
Garis pita tersebut merupakan pita DNA dari sampel darah pegawai hotel (lajur 4) dan bukti
DNA sperma yang diambil dari vagina korban (lajur 7). Berdasarkan hasil analisis tersebut,
maka diketahui bahwa pelaku pembunuhan aktris cantik adalah pegawai hotel, sedangkan
teman lelaki korban tidak melakukan tindak kejahatan tersebut (lajur 5). Bukti tersebut sangat
kuat, sehingga pelaku tidak dapat mengelakkan diri dari tuduhan pembunuhan terhadap aktris
cantik tersebut.

11
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
• Teknik DNA fingerprinting menggunakan polimorfik yang sangat bervariasi daerah DNA
untuk mengidentifikasi individu dengan menyiapkan profil. Di laboratorium forensik,
DNA dapat diekstraksi dari spesimen seperti air mani dalam vagina, noda darah dari
pakaian, atau kulit bersarang di bawah kuku korban selama perjuangan dengan seorang
penyerang. DNA yang diisolasi dari spesifikasi forensik kemudian dibandingkan dengan
yang berasal dari darah sampel dari terdakwa.
• Aplikasi DNA fingerprinting pada kasus kejahatan pemerkosaan dapat mengungkap
pelaku kejahatan tersebut dengan menganalisis sampel darah korban, terdakwa, dan
sampel lainnya.
4.2 Saran
DNA fingerprinting sudah banyak digunakan dan diaplikasikan untuk bidang forensik
dalam mengungkap kasus kejahatan, alangkah baiknya jika proses tersebut dapat ditungkatkan
kembali, sehingga banyak kasus kejahatan yang terungkap.

12
DAFTAR PUSTAKA

Amorim A, Fernandes T, Taveira N. (2019). Mitochondrial DNA in human identification: a


review. PeerJ 7:e7314.

Anderson, S., Bankier, A., Barrell, B. et al. (1981). Sequence and organization of the human
mitochondrial genome. Nature 290, 457–465.

Atig, R. K. B., Hsouna, S., Beraud-Colomb, E., & Abdelhak, S. (2009). ADN mitochondrial:
propriétés et applications. Archives de l'Institut Pasteur de Tunis, 86(1-4), 3.

Barbanera Y, Arcioni F, Lancioni H, La Starza R, Cardinali I, Matteucci C, et al. (2020)


Comprehensive analysis of mitochondrial and nuclear DNA variations in patients affected
by hemoglobinopathies: A pilot study. PLoS ONE 15(10): e0240632.

Budowle B., Allard M. W., Wilson M. R., & Chakraborty R. (2003). Forensics and
mitochondrial DNA:applications, debates, and foundations. Annu Rev Genomics Hum
Genet 4:119- 141.
Butler, J. M. (2012). Y-Chromosome DNA Testing. Advanced Topics in Forensic DNA Typing,
371–403.

Cambell, dkk., 2002. Biologi (Edisi Kelima). Jakarta: Erlangga.

Court S. D. (2021). The Y chromosome and its use in forensic DNA analysis. Emerging topics
in life sciences, 5(3), 427–441.

El-Alfy, S. H., & Abd El-Hafez, A. F. (2012). Paternity testing and forensic DNA typing by
multiplex STR analysis using ABI PRISM 310 Genetic Analyzer. Journal of Genetic
Engineering and Biotechnology, 10(1), 101–112.

Haupts, A., Vogel, A., Foersch, S. et al. (2021). Comparative analysis of nuclear and
mitochondrial DNA from tissue and liquid biopsies of colorectal cancer patients. Sci
Rep 11, 16745.

Housman, D. E. (1995). DNA on Trial — The Molecular Basis of DNA Fingerprinting. New
England Journal of Medicine, 332(8), 534–535.

Jarcho J. (2001). Restriction fragment length polymorphism analysis. Curr Protoc Hum Genet.
Chapter 2:Unit 2.7.

13
Kulkarni, K. V. (2011). DNA Fingerprinting : A Modern tool in crime investigation. Annual
Conference of Medico Legal Association of Maharashta, 45-52.

Nass M. M. K., Nass, S. (1963). Intramitochondrial Fibers With DNA Characteristics : I.


Fixation And Electron Staining Reactions. J Cell Biol, 19 (3): 593–611.

Roewer L. (2013). DNA fingerprinting in forensics: past, present, future. Investigative


genetics, 4(1), 22.

Sitnik, R., Torres, M. A., Bacal, N. S., & Pinho, J. R. R. (2006). Using PCR for molecular
monitoring of post-transplantation chimerism. Einstein, 4(2):127-131.

Taanman, J.-W. (1999). The mitochondrial genome: structure, transcription, translation and
replication. Biochimica et Biophysica Acta (BBA) - Bioenergetics, 1410(2), 103–123.

Travers A. & Muskhelishvili G. (2015). DNA structure and function. FEBS J., 282(12):2279-
95.

Wallace, D.C., 1997: Miochondrial DNA in Again Disease. Scientific American. 22-2

Watson J.D. & Crick F.H.C. (1953). A Structure for Deoxyribose Nucleic Acid. Nature 171
4356:737–738.

Williams, R. C. (1989). Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP). Yearbook of


Physical Anthropology. 32:159-184.

14

Anda mungkin juga menyukai