Anda di halaman 1dari 9

BAB I

LATAR BELAKANG

Pajak merupakan pendapatan negara yang paling utama dan memiliki


peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya dalam
pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Pajak merupakan sumber penerimaan
negara yang sangat potensial. Penerimaan dari hasil pajak digunakan untuk
membiayai pengeluaran yang berkaitan dengan pembangunan yang dilakukan
pemerintah untuk kebutuhan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu pajak
merupakan iuran wajib yang dipungut dari Warga Negara Indonesia yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang- Undang. Disamping untuk meningkatkan
penerimaan negara, pajak juga bertujuan untuk menumbuhkan dan membina
kesadaran serta tanggungjawab negara karena pada dasarnya pembayaran pajak
merupakan perwujudan pengabdian dan peran serta warga negara dalam
membiaya keperluan pembangunan nasional.

Salah satu jenis pajak yang paling potensial adalah pajak pajak
penghasilan (PPh). Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap
subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun
pajak. Salah satu pajak penghasilan tersebut adalah PPh pasal 23. Menurut
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, PPh pasal 23
adalah pajak yang dilakukan pemotong atas penghasilan yang dibayarkan,
disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya yang
diperoleh dari modal, penyerahan jasa atau penyelenggara kegiatan selain yang
telah dipotong sebagaima maksud dalam pasal 21. PPh pasal 23 dipotong atas
subjek pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap.

Objek PPh pasal 23 yaitu Deviden, Bunga (termasuk premium, diskonto,


dan imbalan karena jaminan pengembalian utang), Royalti, Hadiah (Penghargaan,
bonus dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana
yang dimaksud dalam pasal 21), sewa dan penghasilan lain sehubung dengan
penggunaan harta (kecuali sewa tanah dan/atau bangunan), dan imbalan sehubung

1
dengan jasa teknik, jasa manajemen dan jasa lainnya selain jasa yang telah
dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 21.

Namun pada Artikel ini akan membahas khusus PPh pasal 23 atas
Deviden.

Pada dasarnya pemotongan PPh Pasal 23 sering terjadi kesalahan dalam


proses perhitungan yang dapat mengakibatkan kekurangan atas jumlah pajak yang
seharusnya disetor ke negara. Kekurangan tersebut dapat mengakibatkan kerugian
baik bagi wajib pajak dikarenakan adanya sanksi dari kantor pajak maupun bagi
negara karena berkurangnya penerimaan dari sektor pajak.

2
BAB II

PEMBAHASAN

Pajak dividen adalah pemotongan atau pemungutan pajak atas laba yang
diterima oleh pemegang saham, pemegang polis asuransi, atau anggota koperasi
yang mendapatkan bagian hasil usaha. Mengacu pada Undang-Undang Republik
Indonesia No. 36 tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, pasal 4 ayat 1 (g) tentang objek
pajak adalah penghasilan, dan salah satu di antaranya adalah dividen: Dividen,
dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.

Tarif PPh 23 atas dividen dikenakan sebesar 15% dari jumlah bruto.
Namun apabila Wajib Pajak Badan yang memperoleh penghasilan atas dividen
tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) maka tarif yang dikenakan
100% lebih tinggi yaitu dikenakan tarif sebesar 30%.

Menurut Undang-undang Nomor 11 tahun 2020 tentang cipta kerja kluster


kemudahan berusaha bidang perpajakan pasal 111 pasal 4 ayat (3) huruf f angka 1
disebutkan bahwa deviden yang dikenakan PPh pasal 23 dengan tarif 15% adalah
atas deviden yang diterima oleh wajib pajak badan dalam negeri dengan
kepemilikan saham < 25 %.

Namun, UU PPh memberikan pengecualian atas dividen tertentu yang


tidak termasuk objek pajak penghasilan, yang dikecualikan dari objek pajak
adalah dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan
usaha milik daerah dari penyertaan modal negara (PMN) pada badan usaha yang
didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:

1. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan

3
2. Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik
daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang
memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari
jumlah modal yang disetor.

Berdasarkan PP No. 94 Tahun 2010 dalam penjelasan pasal 15 ayat 3


dijelaskan bahwa saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang
Pajak Penghasilan adalah pada saat pembayaran, saat disediakan untuk
dibayarkan (seperti dividen)

Yang dimaksud dengan "saat disediakan untuk dibayarkan":

1. Untuk perusahaan yang tidak go public, adalah saat dibukukan sebagai utang
dividen yang akan dibayarkan, yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan
atau ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Tahunan. Demikian pula apabila perusahaan yang bersangkutan dalam tahun
berjalan membagikan dividen sementara (dividen interim), maka Pajak
Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan terutang pada saat
diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Direksi atau pemegang saham sesuai
dengan Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan.
2. Untuk perusahaan yang go public, adalah pada tanggal penentuan kepemilikan
pemegang saham yang berhak atas dividen (recording date). Dengan perkataan
lain pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana diatur dalam
Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan baru dapat dilakukan setelah para
pemegang saham yang berhak "menerima atau memperoleh" dividen tersebut
diketahui, meskipun dividen tersebut belum diterima secara tunai.

Contoh Kasus Perhitungan Pph Pasal 23 Atas Deviden

Contoh Kasus 1

Pada 17 Juli 2018, PT Jati Mulia membagikan dividen melalui Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS), dan melakukan pembayaran dividen tunai kepada PT

4
Abdi Luhur sebesar Rp 250.000.000 yang melakukan penyertaan modal sebesar
20%.

Karena tarif PPh 23 atau besaran PPh 23 untuk dividen adalah 15%, maka
perhitungannya adalah:

PPh 23 = Tarif PPh 23 x Pembayaran Dividen

= 15% x  Rp 250.000.000

= Rp 37.500.000

Saat terutang: akhir bulan dilakukan pembayaran, yakni pada 31 Juli 2018

Saat penyetoran: dilakukan paling lambat 17 Agustus 2018

Contoh Kasus 2

PT Nirwana (tidak terdaftar di Bursa Efek Indonesia) pada tanggal 4 Mei 2014
mengumumkan pembagian dividen dalam Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS). Pada tanggal 13 Agustus 2014 perusahaan membagikan dividen tunai
kepada para pemegang sahamnya, yang mana dividen tersebut berasal dari
cadangan laba yang ditahan. Total jumlah dividen yang dibagikan adalah sebesar
Rp 1.500.000.000,-. Susunan pemegang saham beserta prosentase kepemilikan
sahamnya adalah sbb :

Pemegang Saham % Kepemilikan


Saham
PT Wisma Prasanthi (ber-NPWP) 31%
PT Jaya Selalu (ber-NPWP) 24%
CV Mawar Melati (Tidak Ber-NPWP) 14%
Tuan Budi Luhur (ber-NPWP) 11%
PT Dharma Kerti (Tidak ber-NPWP) 30%

5
Dari data tabel di atas, berikut perhitungan PPh Pasal 23 yang harus dipotong PT
Niwana.

Pemegang % Jumlah Deviden Yang PPh pasal 23


Saham Kepemilikan Diterima
Saham
PT Wisma 31% (31% x Rp 1.500.000.000) Tidak terutang PPh pasal
Prasanthi = Rp 465.000.000 23 karena kepemilikan >
(ber-NPWP) 25 %
PT Jaya 24% (24% x Rp 1.500.000.000) 15% x Rp 360.000.000 =
Selalu (ber- = Rp 360.000.000 Rp 54.000.000
NPWP)
CV Mawar 14% (14% x Rp 1.500.000.000) 15% x 200% x
Melati = Rp 210.000.000 Rp210.000.000 =
(Tidak Ber- Rp 63.000.000
NPWP)
Tuan Budi 11% (11% x Rp 1.500.000.000) Tidak terutang PPh pasal
Luhur (ber- = Rp 165.000.000 23 karena orang pribadi
NPWP) bukan subjek PPh pasal
23
PT Dharma 30% (30% x Rp 1.500.000.000) Tidak terutang PPh pasal
Kerti (Tidak = Rp 450.000.000 23 karena kepemilikan >
ber-NPWP) 25 %

Contoh kasus 3

PT Jati Karya, merupakan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang industri


baju dan beralamat di Jl. Wisnu Marga, Tabanan, Bali. PT Jati Karya telah
memiliki NPWP 01.111.444.8-061.000. Pada tanggal 10 Juli 2020, perusahaan
membayar dividen tunai kepada pemegang saham yang sebelumnya telah
diumumkan melalui RUPS. Berikut data yang diperlukan dalam pembayaran
dividen tunai.

Pemegang Saham NPWP % Dividen


Penyertaan
Modal
PT Mulia 01.589.365.8-039.000 26% Rp 150.000.000
PT Abadi 01.125.735.8-045.000 15% Rp 85.000.000

6
PT Senja 01.156.198.8-026.000 10% Rp 55.000.000
PT Mentari 01.754.125.8-039.000 18% Rp 70.000.000
CV Jaya Kerti 01.342.657.8-039.000 12% Rp 60.000.000
CV Bakti Rahayu 01.453.198.8-039.000 11% Rp 45.000.000
PT BNI (BUMN) 01.354.344.8-045.000 8% Rp 40.000.000

Dari data tabel di atas, berikut perhitungan PPh Pasal 23 yang harus dipotong PT
Jati Karya.

Pemegang % Dividen PPh Pasal 23 yang


Saham Penyertaan dipotong
Modal
PT Abadi 15% Rp85.000.000 15% x Rp 85.000.000 =
Rp 12.750.000
PT Senja 10% Rp55.000.000 15% x Rp 55.000.000 =
Rp 8.250.000
PT Mentari 18% Rp70.000.000 15% x Rp 70.000.000 =
Rp 10.500.000
CV Jaya Kerti 12% Rp60.000.000 15% x Rp 60.000.000 =
Rp 9.000.000
CV Bakti Rahayu 11% Rp45.000.000 15% x Rp 45.000.000 =
Rp 6.750.000
Jumlah Rp 315.000.000 Rp 47.250.000

Catatan: untuk PT Perkasa dikategorikan menjadi non-objek pajak sebab %


penyertaan modalnya lebih dari 25% dan untuk PT BNI (BUMN) juga merupakan
non-objek pajak karena merupakan badan usaha milik negara yang menjadi
pengecualian dari objek pajak.

7
BAB III

SIMPULAN

Salah satu objek PPh pasal 23 yaitu Deviden. Pajak dividen adalah
pemotongan atau pemungutan pajak atas laba yang diterima oleh pemegang
saham, pemegang polis asuransi, atau anggota koperasi yang mendapatkan bagian
hasil usaha.

Tarif PPh 23 atas dividen dikenakan sebesar 15% dari jumlah bruto.
Namun apabila Wajib Pajak Badan yang memperoleh penghasilan atas dividen
tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) maka tarif yang dikenakan
100% lebih tinggi yaitu dikenakan tarif sebesar 30%.

Menurut Undang-undang Nomor 11 tahun 2020 tentang cipta kerja kluster


kemudahan berusaha bidang perpajakan pasal 111 pasal 4 ayat (3) huruf f angka 1
disebutkan bahwa deviden yang dikenakan PPh pasal 23 dengan tarif 15% adalah
atas deviden yang diterima oleh wajib pajak badan dalam negeri dengan
kepemilikan saham < 25 %.

UU PPh memberikan pengecualian atas dividen tertentu yang tidak


termasuk objek pajak penghasilan, yang dikecualikan dari objek pajak adalah
dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha
milik daerah dari penyertaan modal negara (PMN) pada badan usaha yang
didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: Dividen berasal
dari cadangan laba yang ditahan; dan Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik
negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham

8
pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen)
dari jumlah modal yang disetor.

Anda mungkin juga menyukai