Anda di halaman 1dari 9

ISSN 2715-2618

MAKNA SIMBOLIK DAN WUJUD ESTETIK NAGA DALAM


KEBUDAYAAN JAWA PADA SENGKALAN DWI NAGA RASA
TUNGGAL DAN DWI NAGA RASA WANI DI KERATON
YOGYAKARTA

Ceptian Suryana
Fakultas Pascasarjana Program Studi Magister Desain
Universitas Komputer Indonesia
Jl. Dago (Ir. H. Djuanda) 160-162, Bandung, 40132
e-mail: ceptian.suryana@gmail.com

Received: n/a Revised: n/a Accepted: n/a Published: 2018-09-14


Editor: Abay D Subarna Reviewer: n/a

Abstract. This study examines the symbolic meaning and the aesthetic form of the dragon
contained in the visual form of the stretch of the Dwi Naga Rasa Tunggal and Dwi Naga Rasa
Wani. The method used in this research is descriptive qualitative. The symbolic meaning is
examined through the basic patterns of Javanese society that influence Javanese society in
constructing artifacts. After that, the aesthetic form is analyzed through indicators of color, shape,
size and proportion. Based on the analysis, the shapes of the dragons on the three parts have the
same meaning to each other, namely the representation of the Javanese way of thinking, as a 'rice
field' society. From the basic pattern seen in the ornamental ornament as well as the shape and
position of the dragon on the ladder, the Javanese community's relationship with his Lord can be
found, in the form of hopes for fertility in agriculture, safety, and blessing in life. When viewed
from its overall shape, the shape of the dragon in these three parts also has similarities in the
shape of the headdress, head shape and body shape.

Keywords: Aesthaetic; Dragon; Javanese; Symbolic; Sengkalan.

Abstrak. Sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa Wani merupakan sengkalan
yang berbentuk naga, yang tedapat di Keraton Yogyakarta. Sengkalan merupakan sistem simbolik
pada kebudayaan Jawa yang berfungsi sebagai tanda tahun suatu peristiwa penting. Sengkalan
Dwi Naga Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa Wani bernilai tahun sama yaitu 1682 Saka (1756
M), yang merupakan waktu dibangunnya Keraton Yogyakarta. Penelitian ini mengkaji tentang
makna simbolik dan wujud estetik naga yang terdapat pada bentuk visual sengkalan Dwi Naga
Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa Wani. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif kualitatif. Makna simbolik diteliti melalui pola dasar masyarakat Jawa yang
mempengaruhi masyarakat Jawa dalam membangun artefak. Setelah itu, wujud estetik dianalisis
melalui indikator warna, bentuk, ukuran dan proporsi. Berdasarkan analisis, bentuk naga pada
ketiga sengkalan tersebut memiliki kesamaan makna satu sama lain, yaitu representasi dari cara
berpikir Jawa, sebagai masyarakat ‘sawah’. Dari pola dasar yang tampak pada ornamen hias
maupun bentuk dan posisi naga pada sengkalan tersebut, dapat ditemukan hubungan masyarakat
Jawa dengan Tuhannya, berupa harapan akan kesuburan dalam pertanian, keselamatan, dan
keberkahan dalam hidup. Jika ditinjau dari bentuknya secara keseluruhan, bentuk naga pada tiga
sengkalan ini juga memiliki kesamaan pada bagian bentuk hiasan kepala, bentuk kepala dan
bentuk tubuh.

Kata kunci: Estetik; Jawa; Naga; Simbolik; Sengkalan.

Publisher: Universitas Komputer Indonesia


Copyright: The Author(s) 2018 DOI: 10.34010/artic.2018.2.2526.83-91
- 83 -
Suryana, C., Makna Simbolik dan …

1. PENDAHULUAN
Sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa Wani memiliki nilai tahun 1682
Saka (Jawa) atau 1756 Masehi, yang merupakan tahun dimana keraton Yogyakarta
dibangun. Sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal berbentuk dua ekor naga yang saling
membelakangi, dan ekornya saling melilit yang terdapat di Regol Kemagangan dan
Gadungmlati. Sedangkan sengkalan Dwi Naga Rasa Wani berbentuk dua ekor naga yang
sama-sama menghadap arah selatan, yang terdapat di Regol Kemagangan.
Naga merupakan makhluk mitologi yang terdapat hampir ada pada kebudayaan besar di
dunia, termasuk Indonesia. Terdapat perbedaan yang signifikan antara budaya Barat dan
Timur terhadap naga. Dalam kebudayaan Barat, naga diidentikan dengan simbol
kejahatan, cenderung merusak, dan dianggap sebagai musuh yang harus dihancurkan.
Sedangkan dalam kebudayaan Timur, seperti Cina, naga merupakan simbol dari unsur
kebaikan dan keberuntungan. Sama halnya dengan budaya Timur lainnya, di Indonesia
naga memiliki posisi yang baik dalam kebudayaannya.
Kebudayaan Jawa merupakan kebudayaan di Indonesia yang paling banyak
menggunakan motif naga dalam artefaknya. Naga pada sengkalan Dwi Naga Rasa
Tunggal dan Dwi Naga Rasa Wani merupakan salah satu contoh penggunaan naga pada
artefak kebudayaan Jawa sebagai simbol. Sebagai masyarakat yang bergelut dengan
mitos dan simbol, masyarakat Jawa memiliki pola dasar yang disebut sebagai pola dasar
masyarakat ‘sawah’. Pola dasar ini mempengaruhi mereka dalam bertingkah laku,
termasuk dalam membuat artefak budaya. Sehingga artefak budaya yang dibuat oleh
masyarakat Jawa termasuk sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa Wani
dapat diteliti maknanya melalui pola dasar tersebut.

2. METODE
Penelitian ini mengkaji makna simbolik dan wujud estetik naga dari sengkalan Dwi Naga
Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa Wani dengan menggunakan pendekatan analisis
deskriptif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Makna
simbolik dianalisis melalui keterhubungannya artefak dengan pola dasar masyarakat
Jawa, yaitu masyarakat ‘sawah’. Setelah itu, wujud estetik juga dianalisis dengan
melibatkan aspek-aspek yang berhubungan dengan masyarakat Jawa dan artefak
sengkalan.

2.1 Sengkalan
Sengkalan adalah sawijining angka taun kang dilam-bangaké kanthi ukara, gambar
utawa ornamen tinamtu atau “angka taun yang dilambangkan dengan kalimat, gambar
atau ornamen tertentu” (Suwito, dalam Macaryus, 2007:190). Terdapat dua macam
sengkalan yaitu, sengkalan lamba dan sengkalan memet. Sengkalan lamba berbentuk
rangkaian kata yang menjadi kalimat, sedangkan sengkalan memet berbentuk gambar
atau ornamen. Berdasarkan jenis tahun yang digunakan, sengkalan juga terbagi menjadi
suryasengkala dan candrasengkala. Suryasengkala adalah sengkalan yang didasarkan
kepada perhitungan tahun matahari, dan candrasengkala adalah sengkalan yang
didasarkan kepada tahun bulan.
Sengkalan memiliki kemungkinan diformulasikan dalam bentuk gambar, patung, atau
ornamen. Bentuk tersebut disebut sengkalan memet. Salah satu fungsi sengkalan adalah
untuk mewakili waktu kejadian penting. Gambar dan ornamen sengkalan biasanya

Publisher: Universitas Komputer Indonesia


Copyright: The Author(s) 2018 DOI: 10.34010/artic.2018.2.2526.83-91
- 84 -
ISSN 2715-2618

memiliki nama berupa rangkaian kata. Rangkaian kata yang dimaksud selalu
mengandung kata-kata yang memiliki nilai angka. Nilai angka tersebut ditata secara linear
untuk mendapatkan angka tahun yang dikehendaki. Penataan kata tersebut kemudian
disusun secara terbalik dengan penataan angka tahun yang dimaksud.

2.2 Sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa Wani
Sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa Wani memiliki nilai tahun yang
sama, yaitu 1682 tahun Jawa, atau 1756 Masehi yang mewakili tahun dimana berdirinya
Keraton Yogyakarta (Tabel 1). Menurut Sunaryo, tahun 1682 Jawa (1756 M), adalah
tahun dimana telah diadakannya palihan nagari melalui perjanjian Giyanti pada tahun
1755 M (2003:8). Palihan nagari merupakan pacahnya kerajaan Mataram menjadi
kesultanan Yogyakarta, dan kasunanan Surakarta.

Tabel 1 Nilai angka sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal & Dwi Naga Rasa Wani

Sengkalan I Dwi Naga Rasa Tunggal


Sengkalan II Dwi Naga Rasa Wani
Nilai Tahun 2 8 6 1
Tahun 1682

Gambar 1 Dwi Naga Rasa Tunggal Pada Regol Kemagangan Dilihat Dari Arah Selatan

Sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal salah satunya berada di Regol Kemagangan (Gambar
1 dan 2). Sengkalan ini menjadi penghias pada baturana (rana = tirai; batu = dinding
bata) dinding penyekat atau pembatas, yang membatasi halaman pusat keraton dengan
bagian halaman Kemagangan di sebelah selatan.

Gambar 2 Sengkalan Dwi Naga Rasa Wani Tampak Samping


(Sumber: Dokumen Pribadi, 2016)

Publisher: Universitas Komputer Indonesia


Copyright: The Author(s) 2018 DOI: 10.34010/artic.2018.2.2526.83-91
- 85 -
Suryana, C., Makna Simbolik dan …

Sengkalan Dwi Naga Rasa Wani hanya terdapat di Regol Kemagangan, berada pada
serambi sebelah selatan sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal. Sengkalan Dwi Naga Rasa
Wani menjadi hiasan pada bagian atas dinding sama halnya seperti sengkalan Dwi Naga
Rasa Tunggal, namun dinding yang dimaksud bukan baturana atau tirai dinding. Dinding
ini berada di kanan dan kiri pada jalur perbatasan antara halaman pusat keraton, dan area
Kemagangan. Naga pada sengkalan Dwi Naga Rasa Wani ditempatkan secara terpisah,
pada dinding kiri dan kanan, dengan posisi naga menghadap ke arah Bangsal
Kemagangan (arah selatan).

Gambar 3 Sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal Pada Regol Gadungmlati Dilihat Dari Arah Utara
(Sumber: Dokumen Pribadi, 2016)

Sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal pada Regol Gadungmlati juga memiliki posisi yang
sama dengan sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal pada Regol Kemagangan, yaitu menjadi
penghias dinding baturana (Gambar 3). Dinding pada Regol Gadungmlati ini menjadi
pembatas antara area Kemagangan dengan area Kemandungan selatan. Sama halnya
dengan sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal pada Regol Kemagangan, sepasang naga yang
saling membelakangi itu, ekornya saling melilit satu sama lain. Bagian ekor juga lebih
tinggi daripada kepala, sehingga memperlihatkan posisi naga yang sedang melandai
menurun sambil meliuk.
Secara keseluruhan, dari sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa Wani
di Regol Kemagangan, dan juga Dwi Naga Rasa Tunggal di Regol Gadungmlati memiliki
kesamaan kelengkapan aksesoris yang digunakan. Selain itu, bentuk dasar naga pada
ketiga sengkalan ini juga sama, dan memiliki kesamaan dengan aksesoris yang digunakan
wayang.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN


Menurut Hoop (1949:208) naga dalam kebudayaan Jawa dihubungkan dengan air.
Beberapa kebudayaan di Indonesia juga menghubungkan ular dengan air dan dunia
bawah karena masyarakat primodial cenderung melihat darimana ular muncul, atau biasa
ditemukan. Dalam kebudayaan Jawa, ular juga menjadi simbol kesuburan/keberkahan.
Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa konsep artefak yang berbentuk naga, selalu
ditujukan untuk meminta keberkahan atau kesuburan.
Sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal yang ada di Regol Kemagangan dan Gadungmlati
berbentuk dua ekor naga yang saling membelakangi, dan ekornya saling melilit.
Melilitnya ekor kedua naga tersebut adalah simbol perkawinan, atau menyatunya dua
menjadi satu. Hal ini juga dapat dilihat dari struktur kalimat sengkalan, Dwi Naga Rasa
Tunggal yang berarti menyatunya dua rasa menjadi satu, yang berkonotasi bersetubuh
(wawancara KRT Purwodiningrat, 2016). Hal ini biasa disebut sebagai dualisme

Publisher: Universitas Komputer Indonesia


Copyright: The Author(s) 2018 DOI: 10.34010/artic.2018.2.2526.83-91
- 86 -
ISSN 2715-2618

dwitunggal (satu adalah dua, dua adalah satu). Perkawinan memang sudah menjadi salah
satu aspek yang menjadi pola dasar masyarakat Jawa. Menurut Sumardjo (2014:24),
masyarakat Jawa sebagai masyarakat sawah mengenal motif perkawinan atau harmoni.
Posisi naga pada ketiga sengkalan tersebut tampak melandai turun. Hal ini dapat dilihat
dari posisi ekor yang lebih tinggi daripada badannya. Jika dihubungkan dengan konsep
dualistik tentang arah yang dianut oleh masyarakat Jawa, maka posisi naga pada
sengkalan tersebut dapat mengartikan turunnya daya transenden ke imanen/duniawi, atau
rohani ke materi (wawancara Sumardjo, 2016). Dalam konteks masyarakat Jawa sebagai
masyarakat sawah, maka ini dapat dimaknai sebagai adanya keberkahan, berupa
kesuburan yang diberikan oleh Tuhan/dewa kepada dunia atau manusia.
Dua naga pada sengkalan Dwi Naga Rasa Wani tidak diidentifikasi sebagai naga jantan
dan betina. Bentuk sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal menghadap selatan dan tata letak
area dimana sengkalan Dwi Naga Rasa Wani berada menggambarkan sifat aman atau
menciptakan rasa aman (wawancara Sumardjo, 2016). Hal ini sejalan dengan pendapat
KH Purwodiningrat, bahwa sengkalan Dwi Naga Rasa Wani berfungsi sebagai penjaga,
dan kata ‘wani’ merupakan simbol keberanian (wawancara KH Purwodiningrat, 2016).
Ketiga sengkalan ini memiliki atribut yang sama. Ditinjau dari bagian hiasan kepala
seperti mahkota, jamang, sumping dan lainnya, juga dapat ditemukan makna simbolik.
Dalam konteks Jawa, mahkota sangat berkaitan dengan raja, yang dipercaya sebagai
titisan dewa (Sachari, 2005:77). Dalam hal ini, mahkota menjadi semacam pembeda
antara naga dengan ular biasa. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa naga merupakan
raja dari segala jenis ular, memiliki intelektualitas, dan keistimewaan lainnya. Ornamen
pada bagian jamang dan sumping mengandung motif spiral yang juga memiliki makna
simbolik.

Gambar 4 Asal-muasal Bentuk Motif Spiral


(Sumber: Jakob Sumardjo, 2016)

Bentuk dasar yang membangun motif spiral tersebut adalah lingkaran dan persegi
Panjang (Gambar 4 dan 5). Lingkaran, yang merupakan simbol perempuan dan juga
simbol transenden, dan persegi panjang yang berdiri, merupakan simbol laki-laki, dan
juga simbol imanen. Motif spiral tersebut merupakan bentuk harmoni, yang memiliki pola
dasar yang menggabungkan pasangan laki-laki-perempuan, dan transenden-imanen
(wawancara Sumardjo, 2016). Bentuk spiral seperti ini juga dikenal dalam istilah
universal dengan nama mystic spiral, yang juga berbicara tentang konsep yang sama
tentang hubungan transenden-imanen (wawancara Subarna, 2016).

Publisher: Universitas Komputer Indonesia


Copyright: The Author(s) 2018 DOI: 10.34010/artic.2018.2.2526.83-91
- 87 -
Suryana, C., Makna Simbolik dan …

Gambar 5 Bentuk Spiral Pada Jamang Sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal (Regol Kemagangan)
(Sumber: Dokumen Pribadi, 2016)

Pada ketiga sengkalan ini, terdapat perbedaan arah motif spiral antara kedua naga. Arah
ornamen yang mengikuti jarum jam itu bermakna naiknya sifat materi ke rohani, atau
naiknya sifat imanen ke transenden (wawancara Sumardjo, 2016). Dalam konteks
masyarakat Jawa yang merupakan masyarakat sawah, berarti pemujaan manusia terhadap
apa yang disembahnya (Tuhan/Dewa). Sedangkan arah ornamen yang melawan arah
jarum jam, memiliki makna turunnya sifat rohaniah ke materi, atau turunnya sifat
transenden ke imanen. Dalam konteks masyarakat Jawa, berarti apa yang disembah oleh
masyarakat Jawa (Tuhan/Dewa) memberikan berkah kepada masyarakat Jawa. Berkah
ini dapat berbentuk kesuburan dalam pertanian, kesempurnaan dalam menjalani
kehidupan, dan hal positif lainnya yang merupakan pencapaian utama bagi masyarakat
dalam hidup. Motif spiral ini juga terdapat pada bagian hiasan sumping pada ketiga
sengkalan dengan makna yang sama.

Gambar 6 Hiasan Garuda Mungkur


(Sumber: Dokumen Pribadi, 2016)

Garuda mungkur yang mengambil bentuk burung, yang merupakan simbol atau
representasi langit, atau dunia atas, bersatu dengan naga yang merupakan simbol dunia
bawah (Gambar 6). Hal ini sejalan dengan pendapat Waterson (1989:55), hubungan
antara naga dan burung rangkong (simbol dunia atas dalam budaya Ngaju, Dayak)
digunakan sebagai representasi kesatuan kosmos. Artinya, ketika adanya perkawinan
antara dunia atas dan dunia bawah, maka akan melahirkan dunia tengah, dimana manusia
hidup, atau kehidupan itu sendiri.
Jika ujung ketiga sengkalan ini dilihat dari arah atas, maka akan berbentuk lingkaran yang
dikelilingi empat bentuk segitiga secara seimbang. Empat segitiga tersebut tampak
memusat kearah tengah. Bentuk visual seperti ini merupakan representasi dari konsep
dalam masyarakat Jawa yaitu, keblat papat limo pancer atau mancapat kalimo pancer.
Konsep ini merupakan konsep mandala pada zaman Hindu-Jawa. Namun konsep
pembagian lima ini sudah ada sebelum adanya pengaruh Hindu dalam kebudayaan Jawa
(Gambar 7).

Gambar 7 Konsep Mandala


(Sumber: Dokumen Pribadi, 2016)

Publisher: Universitas Komputer Indonesia


Copyright: The Author(s) 2018 DOI: 10.34010/artic.2018.2.2526.83-91
- 88 -
ISSN 2715-2618

Konsep mandala yang tergambar di ujung ekor ketiga sengkalan ini sebenarnya terkait
dengan makna dari konsep visual yang ada pada hiasan kepala, yaitu harmonis, dan
keseimbangan. Dalam konsep mandala ini juga memuat konsep adanya daya transenden-
imanen atau rohani-materi. Hal ini tidak lain adalah, hubungan masyarakat Jawa dengan
Tuhan atau dewa yang dipercayainya terkait dengan aktivitas mereka dalam memuji,
mensyukuri, dan juga berdoa dan berharap akan keberkahan, kesuburan, dan keselamatan
dalam hidupnya.
Warna badan naga pada sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal di Regol Kemagangan dan
Gadungmlati didominasi oleh warna hijau kebiruan atau lebih dikenal dengan nama hijau
toska. Warna hijau menurut Sachari, merupakan lambang dari ketentraman dan
kedamaian (Sachari, 2005:76). Jika dihubungkan dengan konsep sengkalan Dwi Naga
Rasa Tunggal, yang merupakan dua naga yang sedang bersetubuh, maka rasa damai dan
tentram sangat erat kaitannya. Dalam wawancara dengan Prof. Jakob Sumardjo, warna
hijau erat kaitannya dengan warna air (wawancara Sumardjo, 2016).
Sengkalan Dwi Naga Rasa Wani didominasi oleh warna merah pada bagian tubuh, wajah
dan mahkota. Warna merah, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya merupakan simbol
dari keberanian. Hal ini sangat sesuai dengan konsep sengkalan yang dapat dilihat dari
kata ‘wani’ yang berarti berani. Selain itu, sengkalan ini juga berbentuk naga yang tampak
siaga, yang melahirkan rasa aman (wawancara Sumardjo, 2016). Konteksnya adalah,
penjagaan terhadap berbagai ancaman yang datang berupa gangguan, masalah kehidupan,
musuh, roh jahat dan sebagainya.
Ketiga sengkalan ini dapat diteliti melalui wujud estetiknya. Berikut adalah analisis
wujud estetik melalui indikator warna, bentuk, ukuran dan proporsi:
1. Warna
Sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal di Regol Kemagangan didominasi oleh warna
hijau kebiruan atau dikenal dengan warna hijau toska. Warna ini terdapat pada bagian
badan naga, badan burung pada hiasan garuda mungkur, jamang, dan sumping. Selain
itu, terdapat juga warna emas yang ditempatkan pada tepi-tepi bentuk seperti tepi sisik
pada bagian badan, tepi pada hiasan sumping, yang berfungsi untuk memperjelas
bentuk. Warna emas juga digunakan untuk warna gigi, hiasan jamang dan nyamat.
Begitu juga dengan sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal di Regol Gadungmlati,
memiliki kesamaan warna dengan sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal di Regol
Kemagangan, hanya saja terdapat perbedaan pada penerapan warna dan intensitasnya.
Berbeda dengan sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal, sengkalan Dwi Naga Rasa Wani
ini didominasi oleh warna merah. Warna merah ini memenuhi bagian badan, wajah
dan mahkota. Selain itu, warna-warna lain seperti warna putih, biru toska, dan emas
juga melengkapi visualisasi naga pada sengkalan ini.
Ketiga sengkalan ini sempat mengalami perubahan penggunaan warna, yang
mencakup perubahan jenis warna, intensitas, dan penempatannya. Hal ini
memperlihatkan bahwa tidak ada pakem atau ketentuan yang mutlak tentang warna
pada ketiga sengkalan ini.
2. Bentuk
Ketiga sengkalan ini memiliki banyak kesamaan ditinjau dari bentuknya.
Perbedaanya pun tidak terlalu signifikan, dan hanya terletak pada bagian-bagian
tertentu seperti motif hiasnya. Begitu juga setiap pasang naga pada ketiga sengkalan
ini memiliki perbedaan walaupun hanya pada motif hiasnya.

Publisher: Universitas Komputer Indonesia


Copyright: The Author(s) 2018 DOI: 10.34010/artic.2018.2.2526.83-91
- 89 -
Suryana, C., Makna Simbolik dan …

Bentuk naga pada sengkalan ini memiliki banyak kesamaan dengan naga pada tokoh
wayang (Antaboga). Penggambaran seperti ini sangat berhubungan dengan konsep
simbolik dan cara berpikir abstrak yang dianut oleh masyarakat Jawa yang
mempengaruhi visual naga menjadi tampak imajinatif.
3. Ukuran
Ketiga sengkalan ini memiliki ukuran yang termasuk besar. Namun jika ketiga
sengkalan ini dibandingkan, maka sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal pada Regol
Gadungmlati memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil, dan motif yang lebih sederhana
dibandingkan dengan sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa Wani
di Regol Kemagangan.
4. Proporsi
Naga pada ketiga sengkalan ini memiliki proporsi yang seimbang jika dilihat dari
ukuran kepala dibandingkan dengan panjang, dan ukuran badannya. Ketiga sengkalan
ini juga memiliki proporsi yang cukup jika dibandingkan dengan dinding dimana
sengkalan tersebut berada. Selain itu, bentuk dinding menyesuaikan dengan bentuk
badan naga yang melandai turun, sehingga meminimalisir adanya ruang kosong pada
dinding tersebut dan sangat cocok ditempatkan sebagai hiasan.

4 KESIMPULAN
Pola dasar masyarakat Jawa sebagai masyarakat sawah dapat dilihat pada ketiga
sengkalan ini. Masyarakat Jawa mengenal motif perkawinan yang menghasilkan
harmoni. Bentuknya, biasa disebut sebagai pasangan dualistik, seperti arah utara-selatan,
timur-barat, kanan-kiri, laki-laki-perempuan, atas-bawah, transenden-imanen, dan
sebagainya. Ketiga sengkalan ini sebenarnya berbicara tentang perkawinan, harmoni atau
keseimbangan. Sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal yang berbentuk sepasang naga yang
saling melilit ekornya dapat diidentifikasi sebagai perkawinan dua entitas, yaitu sepasang
naga jantan dan betina, yang menjadi simbol laki-laki dan perempuan.
Posisi tubuh ketiga sengkalan ini tampak melandai turun. Hal ini disebabkan karena posisi
ekor lebih tinggi daripada badannya. Dalam kebudayaan Jawa, arah atas merupakan
simbol transenden, dan arah bawah merupakan simbol imanen. Posisi melandai turun
pada ketiga sengkalan ini dapat diartikan sebagai turunnya daya rohani ke materi, atau
turunnya daya transenden ke imanen. Artinya, Tuhan atau dewa yang mereka percayai
hadir diantara mereka, dengan membawa keberkahan, keselamatan, atau jika
dihubungkan dengan konteks masyarakat Jawa sebagai masyarakat sawah, maka Tuhan
memberikan kesuburan terhadap pertanian mereka, yang akan membawa kehidupan.
Gambaran sengkalan seperti ini merupakan bentuk harapan masyarakat Jawa terhadap
Tuhan atau dewa yang mereka percayai.
Secara keseluruhan, ornamen yang digunakan, serta bentuk naga antara sengkalan Dwi
Naga Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa Wani di Regol Kemagangan, dan Dwi Naga Rasa
Tunggal di Regol Gadungmlati memiliki kesamaan. Masing masing bagian memiliki
makna yang berhubungan dengan konsep hidup dan cara pandang masyarakat Jawa.
Motif spiral yang terkandung dalam ketiga sengkalan ini merupakan visualisasi dari
kombinasi bentuk transenden dan imanen, yang juga kombinasi laki-laki dan perempuan.
Antara naga jantan dan betina, arah lingkarnya selalu berbeda. Arah lingkar yang
mengikuti arah jarum jam berarti, naiknya sifat materi ke rohani, atau naiknya sifat
imanen ke transenden. Dalam konteks masyarakat Jawa yang merupakan masyarakat
sawah, berarti pemujaan manusia terhadap apa yang disembahnya (Tuhan/Dewa).
Sedangkan arah yang melawan arah jarum jam, memiliki makna turunnya sifat rohaniah

Publisher: Universitas Komputer Indonesia


Copyright: The Author(s) 2018 DOI: 10.34010/artic.2018.2.2526.83-91
- 90 -
ISSN 2715-2618

ke materi, atau turunnya sifat transenden ke imanen. Dalam konteks masyarakat Jawa,
berarti apa yang disembah oleh masyarakat Jawa (Tuhan/Dewa) memberikan berkah
kepada masyarakat Jawa. Berkah ini dapat berbentuk kesuburan dalam pertanian,
kesempurnaan dalam menjalani kehidupan, dan hal positif lainnya yang merupakan
pencapaian utama bagi masyarakat dalam hidup.
Motif lainnya adalah motif yang menggambarkan konsep mandala. Konsep ini
menjelaskan adanya daya transenden (rohani, ilahi, kedewaan) ke dunia imanen (materi,
duniawi, manusiawi) atau sebaliknya, membuat imanen menjadi transenden. Kombinasi
ini pada akhirnya melahirkan kehadiran daya transenden di dunia imanen. Hal ini tidak
lain adalah, hubungan masyarakat Jawa dengan Tuhan atau dewa yang dipercayainya
terkait dengan aktivitas mereka dalam memuji, mensyukuri, dan juga berdoa dan berharap
akan keberkahan, kesuburan, dan keselamatan dalam hidupnya.
Ditinjau dari aspek estetiknya, bentuk naga pada ketiga sengkalan yaitu, sengkalan Dwi
Naga Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa Wani di Regol Kemagangan, dan Dwi Naga Rasa
Tunggal di Regol Gadungmlati memiliki banyak kesamaan.
Warna sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa Wani di Regol
Kemagangan, dan juga sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal di Regol Gadungmlati
memiliki kelompok warna yang berkombinasi dengan baik, saling mengisi dan menjaga
kontras. Sehingga dapat dikatakan warna yang digunakan pada ketiga sengkalan ini
adalah kombinasi warna yang harmonis. Namun, karena ketiga sengkalan ini pernah
mengalami perubahan penggunaan corak warna, maka dapat dikatakan bahwa ketiga
sengkalan ini tidak memiliki pakem atau ketentuan mutlak dalam penggunaan warna.
Sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal di Regol Gadungmlati memiliki ukuran tubuh yang
lebih ramping dibandingkan sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa
Wani di Regol Kemagangan. Namun, ketiga sengkalan ini memiliki proporsi yang cukup
seimbang jika dilihat perbandingan antara ukuran kepala dengan panjang serta ukuran
badannya. Proporsi seimbang juga dapat dilihat jika naga dibandingkan dengan dinding
dimana sengkalan tersebut berada. Proporsi yang baik ini menjadikan ketiga sengkalan
yang berfungsi sebagai hiasan juga dapat berfungsi dengan baik.

5 DAFTAR PUSTAKA
Hoop, V. D. (1949). Indonesische Siermotieven. Ragam-ragam Perhiasan Indonesia.
Indonesian Ornamental Design. Jakarta (Batavia): Koninklijk Bataviaasche
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen
Macaryus, S. (2007). Sengkalan: Tinjauan Struktur Dan Isi. Tersedia di: http://usd.ac.id/
(10 Maret 2013).
Sachari, A. (2005). Pengantar Metodologi Penelitian Budaya Rupa. Bandung: Penerbit
Erlangga.
Sumardjo, Jakob. (2014). Estetika Paradoks. Bandung: Kelir
Sunaryo, A. (2003). Sengkalan Memet Dwi Naga Rasa Tunggal Dalam Kaman Semiotik.
Tersedia di: http://repository.stisitelkom.ac.id (29 Mei 2013).
Waterson, R. (1989). Hornbill, Naga and Cock in Sa’dan and Toraja Woodcarving
Motifs. Archipel 38. 53-73.

Publisher: Universitas Komputer Indonesia


Copyright: The Author(s) 2018 DOI: 10.34010/artic.2018.2.2526.83-91
- 91 -

Anda mungkin juga menyukai