Program Studi S1, Jurusan Seni Patung, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia
Denpasar, Jln. Nusa Indah, Denpasar, 80235, Indonesia
E-mail : udik.kroda@facebook.com
Abstrak
Rerajahan adalah realitas berasal dari tulisan dan gambaran, yang dipergunakan sebagai media
komunikasi yang bersifat gaib. Rerajahan memiliki dua sifat yaitu bersifat positif biasanya dipakai oleh
masyarakat untuk perlindungan atau menjaga diri dari pengaruh negatif lingkungan sekitar. Sedangkan
yang bersifat negatif lebih banyak dimanfaatkan ke pengiwa termasuk ilmu pengeleakan (ilmu hitam).
Keindahan gerak garis, bentuk yang aneh dan kadang kala tidak masuk akal serta dihiasi dengan aksara
suci di beberapa sudut pada gambar rerajahan penolak bala menimbulkan sugesti imajinatif bagi
pencipta untuk mengolah menjadi bentuk – bentuk seni patung dimana dalam perwujudannya
berdasarkan pertimbangan unsur-unsur seni rupa. Di dalam memvisualisasikan keindahan rerajahan
kedalam wujud karya tiga dimensional, pencipta menyederhanakan bentuk objek yang mengarah
kepada keindahan modern. Dalam hal ini, pencipta memainkan garis untuk menciptakan komposisi
ruang dan bidang dengan menambahkan permainan tekstur pada area tertentu. Sehingga nantinya
tercipta bentuk figur baru tanpa terlepas dari kesan rerajahan yang ingin diwujudkan kedalam bentuk
karya patung figuratif.
Abstract
Rerajahan is reality derived from the writings and images, which is used as a medium of
communication that is supernatural. Rerajahan has two properties that are positive are usually used by
people for protection or keeping away from the negative influence of the surrounding environment.
Whereas the more negative is used to pengiwa including science pengeleakan (black magic). Beauty
line motion, bizarre shapes and sometimes unreasonable and decorated with holy script in some corners
on images rerajahan repellent reinforcements for creator imaginative suggestibility raises to process a
form - a form of sculpture where the realization is based on consideration of the elements of art. In the
form of visualizing the beauty rerajahan into three-dimensional works, creator simplifies object shapes
that lead to the modern beauty. In this case, the creator of a line to create a composition play space and
play areas by adding texture in certain areas. So that created a new form of figures without rerajahan
regardless of the impression to be created in the form of works of figurative sculpture.
I. PENDAHULUAN
1
Pendapat umum menyebutkan bahwa Bali sangat menarik dikarenakan oleh keindahan
alam, kesenian serta kebudayaannya. Oleh karena itu orang menyebutnya Pulau Dewata.
Selain terkenal dengan kesenian dan keindahan alam, di Bali banyak terdapat simbol-simbol,
diantaranya adalah rerajahan. Dengan keyakinan tersebut, simbol-simbol dibuat dan
dipadukan dengan mantra atau ilmu gaib sehingga terwujudlah sebuah rerajahan. Menurut
Watra (2008 : 88), rerajahan adalah realitas berasal dari tulisan atau gambaran, yang
dipergunakan sebagai media komunikasi yang bersifat gaib.
Fungsi dan manfaat rerajahan dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali adalah
sebagai :
1. Rerajahan sebagai sarana upakara dalam upacara yadnya (Taksu 2008: 13) antara
lain:
a. Manusa Yadnya, pemakaian rerajahan ini dimulai sejak mengubur ari-ari sang
bayi, yang dirajah adalah batu tempat mengubur ari-ari, buah kelapa, lontar,
tujuannya untuk menjaga si bayi dari pengaruh buruk. Setelah itu dilanjutkan
dengan upacara pawetonan yakni upacara turun ke tanah, yang dirajah adalah
paso (tempat penampungan air dari bahan tanah) saat napak ke pertiwi (saat turun
ke tanah) berupa gambar bedawang. Diteruskan ke upacara raja swala, sampai ke
potong gigi juga dirajah berupa gambar Sanghyang Semara Ratih yang disebut
sebagai rerajahan mudra. Pada upacara potong gigi yang dirajah adalah tulang
punggung, lidah, bahu yang bertujuan untuk rasa aman sekaligus sebagai kekuatan
penetralisir dari pengaruh buruk.
b. Dewa Yadnya, untuk upacara Dewa Yadnya ini yang paling dominan
menggunakan rerajahan baik aksara suci maupun gambaran. Yang berupa tulisan
atau huruf yakni triaksara, dasaksara dan dasa bayu, sedangkan yang berupa
gambar yakni gambar Acintya, Ghana, senjata Nawa Sanga. Dalam upacara
Tawur memakai rerajahan Yamaraja. Pada upacara pemlaspas atau pemakuhan
menggunakan ulap-ulap.
Gambar 1 : Gambar ulap-ulap pada sanggah Gambar 2 : Gambar senjata Dewata Nawa
kemulan I Wayan Watra (2008 : 56) Sanga Ngurah Nala (1993 : 106)
Foto : Udik Putra, 2012 Foto : Udik Putra, 2012
I Wayan Watra (2008 : 4) menjelaskan ulap-ulap adalah selembar kain putih
dengan ukuran tertentu yang dirajah sebagai sarana upakara, berfungsi untuk
menyucikan bangunan rumah dan bangunan Pura, secara spiritual bermakna
memohon keselamatan kepada Tuhan / Ida Sang Hyang Widhi. Menurut Watra
(2008 : 36-37) bentuk ulap-ulap secara simbolik dapat dikelompokkan menjadi
empat yaitu:
2
Berbentuk manusia dengan berbagai keahliannya, seperti bertangan empat,
delapan atau dua belas, berkaki tiga, bermata tiga dan lain-lain.
Bentuk binatang, misalnya wujud Barong Ket di Bali merupakan simbol Sang
Hyang Siva, Barong Bangkung adalah simbol Dewa Visnu, dan lain-lain.
Bentuk separo manusia dan separo binatang, diantaranya Ganesa, putra Sang
Hyang Siva yang lahir dari Dewi Uma.
Bentuk benda-benda atau huruf tertentu, misalnya matahari atau cakram
(roda) simbol Sang Hyang Surya, bulan simbol Dewi Candra.
c. Pitra Yadnya, untuk upacara pitra yadnya ada beberapa rerajahan yang digunakan
saat upacara berlangsung, seperti saat sewa wedana (ngaben) sampai atma wedana
(memukur, maligya). Atma wedana menggunakan rerajahan kajang yang sesuai
dengan fungsinya selain itu diisi dengan aksara Ongkara pada daun bringin dan
buluh.
Gambar 3 : Rerajahan Kajang Brahmana I Wayan Watra (2008 : 124). Foto: Udik Putra 2012
Rerajahan kajang adalah suratan atau gambaran, tanda-tanda yang mengandung
kekuatan gaib sebagai selimut kebesaran orang yang meninggal. Rerajahan kajang
dibuat untuk memberi tanda bakti, tanda cinta dari keluarga-keluarga dekat (I
Wayan Watra 2008 : 89).
d. Bhuta Yadnya, pada upacara ini menggunakan rerajahan Yamaraja untuk upacara
tawur sesuai dengan tingkatannya nista, madya dan utama. Rerajahan yang dipakai
berupa gambar Dewata Nawa Sanga.
Gambar 4, 5 & 6 : Rerajahan Dewa Iswara, Dewa Brahma dan Dewa Wisnu I Gede Jaman
(1999 : 46-52). Foto: Udik Putra 2012
3
e Rsi Yadnya, rerajahan dipakai untuk pawintenan gede untuk para pemangku pura
(orang yang disucikan) maupun kepada umat yang membutuhkan. Untuk para wiku
dan sulinggih (orang yang disucikan) rerajahan dipakai pada saat upacara medwijati
2. Rerajahan sebagai sarana usada / pengobatan (Ngurah Nala 1993 : 138-149)
antara lain:
a. Ratuning Usada adalah kitab atau lontar usada (pengobatan) menguraikan tentang
cara mendiagnosis dan terapi penyakit antara lain adalah penyakit panas, dingin
(aserep), sakit perut, missing (mencret) dll.
4
b. Rerajahan Wija Aksara bersal dari tulisan yang umum dikenal adalah Ongkara,
Dasa Aksara (sa, ba, ta, a, i, na, ma, si, wa, ya) dan Dasa Bayu (i, ha, ka, sa, ma, ra,
la, wa, ya, ung) yang mampu melindungi diri dari segala mara bahaya, asal
manusia itu sendiri berada dalam keadaan bersih (Ngurah Nala 1993 : 263).
Gambar 10: Rerajahan Dasa Aksara dan Dasa Bayu Ngurah Nala (1993 :
263)
c. Rerajahan Penolak Bala adalah sebagai sarana pencegahan penyakit dan niat jahat
dari orang lain berbentuk berajahan yang di gambar atau di grafir kemudian di
tanam, di bungkus, di gantung dll disertai sesajen dan mantra sesuai dengan
petunjuk
5
c. Pengeleakan (ilmu hitam) tergolong aji wegig. Aji berarti ilmu, wegig berarti ugig /
begig yaitu suatu sifat yang suka mengganggu orang lain (Mantra & Segatri 2000 :
7) rerajahan yang dipakai bergambar rangda, kera dsb.
Dari beberapa jenis, bentuk dan gambar rerajahan yang telah di ulas sebelumnya,
pencipta tertarik dengan rerajahan penolak bala sebagai sumber imajinasi untuk
memunculkan ide-ide berupa bentuk-bentuk rerajahan kedalam karya tiga dimensi.
Keindahan gerak garis, bentuk yang aneh dan kadang kala tidak masuk akal serta dihiasi
dengan aksara suci di beberapa sudut pada gambar rerajahan penolak bala inilah
menimbulkan sugesti imajinatif yang mendorong pencipta untuk mengolah menjadi bentuk –
bentuk seni patung, dimana dalam perwujudannya berdasarkan pertimbangan rasa gubahan
pribadi dengan memasukkan unsur-unsur seni rupa yang disusun secara harmonis sehingga
menjadi karya tiga dimensional yang memiliki nilai keindahan.
6
b. Bagi lembaga ISI Denpasar dapat menambah keanekaragaman dalam pengungkapan ide, daya
cipta dan kreasi.
c. Bagi masyarakat khususnya pencipta seni akan menjadikan bahan apresiasi, serta masyarakat
pada umumnya.
Gambar rerajahan penolak bala yang akan di imajinasikan ke dalam seni patung :
Gambar 13 & 14: Gambar Rerajahan Penulak Sarva Mrana I Gede Jaman (1999 : 57 & 169).
Foto : Udik Putra, 2012
2.2 Improvisasi
Improvisasi adalah pengembangan dari eksplorasi yang mengembangkan data yang
sudah terkumpul sehingga menjadi ide yang akan diwujudkan ke bentuk tigadimensional
dengan eksperimen. Eksperimen merupakan percobaan yang bersistem dan berencana.
Percobaan yang dimaksud sebagai proses penyeleksian ide, ide yang sudah melalui tahapan
7
eksplorasi, kemudian dilanjutkan pada tahap percobaan. Dalam proses ini sangat diperlukan
eksperimen-eksperimen baik yang menyangkut bahan, teknik dan finishing.
Pada tahap ini adalah kelanjutan dari tahap eksplorasi dimana setelah melakukan
pengamatan pada objek, terlebih dahulu diawali dengan pembuatan sket dua dimensional.
Pembuatan sket ini adalah bertujuan untuk memvisualisasikan bayangan-bayangan atau reka-
reka ide yang didapat pada eksplorasi. Dengan garis inilah ide-ide tersebut terus diolah
sampai mendekati bentuk yang sesuai, tentunya dengan tidak mengabaikan komposisi dan
kesatuan bentuk. Sket-sket ini nantinya banyak memberikan alternatif bentuk yang bisa
dipilih untuk diwujudkan menjadi karya patung.
Gambar sketsa-sketsa karya :
Gambar16: Sketsa karya I yang berjudul Gambar17: Sketsa karya II yang berjudu
”penulak sarwa mrana”. ”kala sungsang”
Foto : Udik Putra, 2012
Setelah melakukan percobaan-percobaan dengan sket dua dimensional, pencipta
lanjutkan dengan membuat maket atau miniatur. Maket ini pencipta buat dengan bahan lunak
/ plastisin, disamping karena harganya relatif murah juga mudah untuk dibentuk. Dengan
dibuatnya maket ini tentunya akan memudahkan dalam pembentukan pada karya patung.
Gambar Maket:
8
2.3 Bahan dan Alat
2.3.1 Bahan
Dalam pembuatan karya Tugas Akhir ini pencipta menggunakan beberapa bahan yaitu :
- Besi - Kawat tali
- Kawat strimin - Pasir
- Semen - Serbuk batu padas
- Pigman serbuk - Air secukupnya
2.3.2 Alat
Adapun alat-alat yang pencipta gunakan dalam proses berkarya yaitu :
- Tang - Faser
- Cetok - Gunting
- Ember - Amplas
- Kuas
9
IV. WUJUD KARYA
Karya I
Gambar 83.
10
sedangkan mrana adalah penyakit atau mara bahaya. Jadi penulak sarwa mrada dapat
diartikan sebagai penolakan terhadap segala macam mara bahaya dan penyakit.
Aspek Fisikoplastis
Karya ini diwujudkan berdiri dengan figur lidah dibuat menjulur panjang ke bawah
yang keluar dari lubang yang memenuhi lingkar kepala. Dua buah senjata gada juga
divisualisasikan dengan bentuk lekukan yang berulang dan di setiap ujungnya terdapat tiga
buah tanduk perlambang sinar suci atau aura kekuatan dari rerajahan tersebut. Karya ini
terbuat dari bahan beton bertulang, dengan campuran luluh pasir dan semen ditambah sedikit
perep (pewarna untuk adonan luluh) warna hitam, sedangkan tahap finising memoleskan
semir sepatu hitam di seluruh permukaan patung selanjutnya dilapisi dengan campuran tanah
taro dan lem putih, setelah kering kemudian di amplas. Kesengajaan memilih penyelesaian
tersebut bertujuan untuk memunculkan kesan batu alam pada karya ini.
Manfaat penciptaan karya ini bagi pencipta adalah memenuhi hasrat untuk
melahirkan karya yang unik, kreatif dan imajinatif dengan mengambil ide dari kearifan lokal
masyarakat Bali yaitu rerajahan, tanpa merusak estetika tradisinya. Sementara manfaat bagi
masyarakat penikmat seni adalah dapat menikmati hasil karya seni dengan kritikan dan
masukan yang membangun untuk proses berkarya pencipta kedepannya.
11
Karya II
Gambar 84.
12
Aspek Fisikoplastis
Karya ini diwujudkan dengan kepala terdapat di bagian bawah dengan memunculkan
karakter hidung dan bola mata yang mendelik berupa cembungan setengah lingkaran. Dua
buah bulatan besar di atas kepala melambangkan pantat disertai dengan bentuk kaki yang
dibuat menyambung untuk mendapatkan kesatuan dan kontruksi patung. Sementara di bagian
atas patung muncul tiga buah ujung yang runcing seperti tanduk melambangkan aura atau
sinar suci dari rerajahan tersebut. Sementara dibagian tertentu pencipta menambahkan aksara
suci dengan bentuk yang bergelombang seolah – olah muncul dari dalam patung bertujuan
untuk memunculkan kesan magis dari karya ini. Karya yang berjudul kala sungsang ini
terbuat dari bahan beton bertulang dengan penyelesaian memakai adonan luluh serbuk batu
padas campur semen dengan finising di amplas dan di tekstur halus menggunakan gergaji
besi secara merata dan terakhir dilapisi lem putih cair untuk mengikat debu dari bahan
tersebut.
V. KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
1. Bentuk-bentuk gambar rerajahan penolak bala dengan berbagai estetikanya
merupakan ranah yang sangat menarik dijadikan sumber imajinasi dalam
penciptaan karya-karya patung, dalam hal ini berwujud patung figuratif.
2. Wujud patung figuratif yang diciptakan merupakan hasil dari imajinasi
melalui pertimbangan unsur dan struktur seni rupa.
5.2 Saran
Bagi masyarakat penikmat seni khususnya generasi muda hendaknya lebih kreatif
lagi dalam menggali sebuah imajinasi dari kearifan lokal masyarakat Bali, yang akan
diwujudkan menjadi sebuah karya seni patung.
13
14