Anda di halaman 1dari 19

Makalah

Stigma Siswa yang Tidak Unggul dalam


Bidang Matematis sama dengan Tidak Cerdas

Dosen Pembimbing : Dra. Anita Damayantie, M.H.


Mata kuliah : Sosiologi Pendidikan
Disusun oleh : Meli Purnamasari (1916011006)

Universitas Lampung
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Sosiologi
2020/2021
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan rahmatnya
saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Stigma Siswa yang Tidak
Unggul dalam Bidang Matematis sama dengan Tidak Cerdas” saya banyak
mendapatkan wawasan dan ilmu selama proses pengerjaan makalah ini. Makalah
ini di susun berdasarkan referensi dari internet, buku dan jurnal. Penulisan makalah
ini juga tidak bermaksud untuk memojokkan suatu pihak tetapi makalah ini
berusaha menguraikan suatu permasalahan pendidikan yang ada di Indonesia.

Untuk itu dalam kesempatan ini, saya mengucapkan banyak terimakasih kepada
semua pihak yang telah membantu saya dalam penyusunan makalah ini. Tidak lupa,
saya mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang membaca makalah dan
besar harapan saya selaku penulis agar makalah yang disusun ini bisa bermanfaat
bagi pembaca.

Prabumulih, 19 Oktober 2020

Penulis

i
Daftar Isi

Kata Pengantar ..................................................................................... i


Daftar Isi ................................................................................................ ii
BAB 1 Pendahulan
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 2
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 4
1.3 Tujuan .............................................................................................. 4
1.4 Manfaat ............................................................................................. 5
BAB II Pembahasan
2.1 Pengertian Kecerdasan ...................................................................... 6
2.2 Jenis-jenis kecerdasan ....................................................................... 7
2.3 Sistem Pendidikan di Indonesia ........................................................ 11
2.4 Pola Pengajaran yang tepat ............................................................... 14
BAB III Penutup
3.1 Kesimpulan ....................................................................................... 15
3.2 Saran .................................................................................................. 16
Daftar Pustaka

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Pendidikan pada zaman sekarang sudah menjadi suatu kebutuhan, bukan
lagi seperti pada zaman dahulu dimana hanya kaum pria yang diwajibkan
menuntut ilmu, dengan sejarah yang panjang hak untuk mendapatkan
pendidikan yang layak telah diperjuangkan hingga akhirnya siapapun
berhak mendapatkan pendidikan yang layak tak terbatas oleh gender.

Tentu bukan rahasia umum lagi bahwa salah satu indikator kemajuan suatu
negara adalah sistem pendidikan yang baik. Lalu bagaimana sistem
pendidikan di Indonesia? dilansir dari portal media online kompas.com
Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD)
mencatat, peringkat Programme for International Student Assessment
(PISA) Indonesia berdasarkan survei tahun 2018 berada dalam urutan
bawah.

Menurut pengamat pendidikan Budi Trikorayanto, setidaknya ada tiga


masalah yang masih membelenggu pendidikan Indonesia:
A. Kualitas pengajar
Kompetensi guru di Indonesia masih berada di tingkat yang sangat rendah.
Padahal Budi menilai, untuk menghasilkan murid-murid cerdas diperlukan
sumber-sumber pengajar yang kompeten.
2. Sistem pendidikan yang membelenggu
Di era pendidikan 4.0, seharusnya guru tidak lagi menjadi ‘narasumber’
utama dalam sistem pembelajaran, melainkan sebagai pendamping,
penyemangat dan fasilitator. Artinya, bila sistem pendidikan 4.0 ingin
berhasil, maka anak-anak murid kini harus diedukasi untuk menjadi lebih
aktif.

2
3. Lembaga pendidikan perlu pembenahan
Budi menekankan perlunya meningkatkan kualitas lembaga pendidikan
yang mencetak guru-guru berkualitas di masa depan.

Berbicara mengenai pengajar nampaknya peran pengajar dalam


membangun pendidikan di Indonsia perlu menjadi sorotan, karena pengajar
adalah orang yang terjun langsung dalam membimbing, membina dan
mendidik siswa. Tentu sangat di perlukan para pengajar yang profesional di
bidangnya, namun juga mampu menjadi pengajar yang membantu
membangun karakter pada diri siswa.
“Anak-anak yang kita anggap istimewa adalah anak-anak dengan
kecerdasan yang tidak diapresiasi budaya kita. Rasyid dan Dani punya
kecerdasan visual yang menakjubkan, tetapi sekolah-sekolah kita
mengabaikannya.” Jalaludin Rahmat, dalam pengantar untuk Thmoas R.
Hoerr, Buku Kerja Multiple Intellegences.

Kutipan tersebut tentu rasanya sangat mengena di hati kita dan nyatanya
Indonesia sampai saat ini masih memiliki permasalahan dengan hal ini,
jelas kita ketahui bahwa setiap manusia memiliki minat dan bakat yang
berbeda serta kecerdasan yang berbeda. Sayangnya seringkali kita lihat
praktek di lapangan bahwa kebanyakan guru melakukan diskriminasi
terhadap siswa, diskriminasi disini dalam hal pemberian label bahwa
mereka yang tidak pandai dalam pelajaran menghitung adalah anak yang
tidak cerdas. Padahal jika seseorang tak pandai dalam pelajaran menghitung
belum tentu ia tidak pandai dalam pelajaran lain.

Labeling, stereotip dan separation juga tidak terlepas dari adanya


diskriminasi. Diskriminasi adalah elemen behavioral yang merujuk pada
perilaku yang merugikan individu karena individu tersebut merupakan
anggota kelompok tertentu (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Adanya

3
diskriminasi ini maka siswa akan merasa dibedakan akibat dari label yang
diberikan kepada kelompoknya.1

Namun kebanyakan para guru secara tidak sadar terus menekan agar para
siswa tersebut harus pandai dalam pelajaran-pelajaran itu, menyampingkan
bahwa itu bukanlah minat siswanya. Sehingga terkadang meskipun siswa
tersebut pandai dalam bidang seni, olahraga maupun bahasa hal itu tidak
menjadi seistimewa mereka yang hebat dalam bidang matematis yang
kemudian membuat para siswa tertekan dan menganggap dirinya sendiri
bodoh, yang membuat munculnya istilah IPA lebih superior dari IPS
ataupun bahasa. Padahal sama saja, setiap bidang memiliki keahlian dan ke
khasannya masing-masing.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu kecerdasan?
2. Apa saja jenis-jenis kecerdasan?
3. Bagaimana sistem pendidikan di Indonesia?
4. Bagaimana pola pengajaran yang tepat?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa definisi dari kecerdasan
2. Mengetahui jenis-jenis kecerdasan
3. Mengetahui sistem pendidikan yang ada di Indonesia
4. Mengetahui bagaimana pola pengajaran yang tepat bagi siswa

1
Ni Wayan Yuli Anggreni dan Yohanes Kartika Herdiyanto. (2017). PENGARUH STIGMA
TERHADAP SELF ESTEEM PADA REMAJA PEREMPUAN YANG MENGIKUTI
EKTRAKURIKULER TARI BALI DI SMAN 2 DENPASAR . Jurnal Psikologi Udayana,
Vol. 4, No.1, hal 211.

4
1.4 Manfaat Penulisan
Makalah ini ditulis dengan harapan memberikan manfaat:
1. Menambah karya tentang permasalahan pendidikan di Indonesia
2. Dapat di gunakan bagi orang-orang yang memerlukan pembahasan
seputar permasalahan pendidikan di Indonesia

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Apa itu kecerdasan?


Berbicara tentang kecerdasan, yang pertama kali terlintas di benak kita tentulah
berkenaan dengan kemampuan kognisi seseorang. Kecerdasan atau inteligensi
memang sering diartikan sebagai kemampuan memahami sesuatu dan
kemampuan berpendapat, di mana semakin cerdas seseorang maka semakin
cepat ia memahami suatu permasalahan dan semakin cepat pula mengambil
langkah penyelesaian terhadap permasalahan tersebut (Mustaqim 2004: 104).2

Di dalam buku Mengenal Kecerdasan Manusia dengan penyunting Desi Arimei


Putri, disebutkan beberapa pendapat ahli mengenai kecerdasan:
1. Anita E. Woolfolk
Mengemukakan bahwa kecerdasan atau intelegensi, yaitu sebuah kemapuan
untuk belajar, untuk beradaptasi dengan situasi baru atau lingkungan yang ada
di sekitarnya pada umumnya.
2. C.P Chaplin
Mendefinisikan kecerdasan atau intelegensi sebagai suatu kemampuan yang
dimiliki manusia di dalam menghadapi dan menyesuaikan diri secara tepat dan
efektif.
3. Gardner
Menyatakan definisi kecerdasan atau intelegensi sebagai suatu kumpulan
kemampuan atau keterampilan yang dapat ditumbuhkembangkan
4. Gregory
Menurut Gregory kecerdasan atau intelegensi, yaitu sebuah kemampuan atau
keterampilan untuk memecahkan masalah atau menciptkan produk yang
bernilai.

2
Syarifah. ( Desember 2019). KONSEP KECERDASAN MAJEMUK HOWARD
GARDNER . Jurnal Ilmiah Sustainable , Vol. 2 No. 2, hal 155.

6
Berdasarakan definisi-definisi yang di berikan oleh parah ahli mengenai
kecerdasaan dapat di tarik kesimpulan bahwa kecerdasan adalah suatu
kemampuan yang dimiliki manusia untuk beradaptasi terhadap lingkungan,
memecahkan permasalahan serta membuat inovasi dan menciptakan suatu
hal yang bernilai.

2.2 Jenis- Jenis Kecerdasan


Seorang psikolog perkembangan dan ahli pendidikan Howard Gardner dari Harvard
University memiliki pendapat bahwa tidak ada manusia yang tidak cerdas sehingga
beliau juga menentang anggapan “cerdas” dari sisi IQ (intelectual quotion), yang
menurutnya hanya mengacu pada tiga jenis kecerdasan, yakni logiko-matematik,
linguistik, dan spasial.Sehingga kemudian membuat Howard Gardner
memunculkan istilah multiple intelegences, yang dalam perkembangan selanjutnya
dikembangkan menjadi sebuah teori melalui penelitan yang rumit.

Di dalam modul Hakikat Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences) yang ditulis


oleh Tadkiroatun Musfiroh, M.Hum. menurut Howard Gardner, multiple
intelligences memiliki karakteristik konsep yang berbeda dengan karakteristik
konsep kecerdasan terdahulu. Karakteristik yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Semua inteligensi itu berbeda-beda, tetapi semuanya sederajat. Dalam pengertian
ini, tidak ada inteligensi yang lebih baik atau lebih penting dari inteligensi yang lain
(Gardner, 1993; Hine; 2003; Armstrong, 1993; 1996).
2. Semua kecerdasan dimiliki manusia dalam kadar yang tidak persis sama. Semua
kecerdasan dapat dieksplorasi, ditumbuhkan, dan dikembangkan secara optimal.
3. Terdapat banyak indikator kecerdasan dalam tiap-tiap kecerdasan. Dengan
latihan, seseorang dapat membangun kekuatan kecerdasan yang dimiliki dan
menipiskan kelemahan-kelemahan.
4. Semua kecerdasan yang berbeda-beda tersebut akan saling bekerja sama untuk
mewujudkan aktivitas yang diperbuat manusia. Satu kegiatan mungkin
memerlukan lebih dari satu kecerdasan, dan satu kecerdasan dapat digunakan dalam
berbagai bidang (Gardner, 1993: 37–38).

7
5. Semua jenis kecerdasan tersebut ditemukan di seluruh atau semua lintas
kebudayaan di seluruh dunia dan kelompok usia (Gardner, 1993: Armstrong,
2004:10–13).
6. Tahap-tahap alami dari setiap kecerdasan dimulai dengan kemampuan membuat
pola dasar. Kecerdasan musik, misalnya ditandai dengan kemampuan membedakan
tinggi rendah nada. Sementara kecerdasan spasial dimulai dengan kemampuan
pengaturan tiga dimensi.
7. Saat seseorang dewasa, kecerdasan diekspresikan melalui rentang pengejaran
profesi dan hobi. Kecerdasan logika-matematika yang dimulai sebagai kemampuan
membuat pola dasar pada masa balita, berkembang menjadi penguasaan simbolik
pada masa anak-anak, dan akhirnya mencapai kematangan ekspresi dalam wujud
profesi sebagai ahli matematika, akuntan, atau ilmuwan.
8. Ada kemungkinan seorang anak berada pada kondisi “berisiko” sehingga apabila
mereka tidak memperoleh bantuan khusus, mereka akan mengalami kegagalan
dalam tugas-tugas tertentu yang melibatkan kecerdasan tersebut (Gardner, 1993:
27−29).

Kemudian selanjutnya Gardner disebutkan dalam buku “Metode mengajar multiple


intelegences” karya Julia Jasmine yang diterjemahkan oleh Purwanto membagi
kecerdasan ke dalam 7 jenis:
1. Kecerdasan linguistik
Kecerdasan linguistik mewujudkan dirinya dalam kata-kata baik dalam tulisan
maupun lisan. Orang yang memiliki kecerdasan ini juga memiliki keterampilan
auditori(berkaitan dengan pendengaran) yang sangat tinggi dan mereka belajar
melalui mendengar. Mereka gemar membaca, menulis dan berbicara juga suka
bercengkrama dengan kata-kata.
2. Kecerdasan logis matematika
Kecerdasan logis-matematis berhubungan dengan dan mencakup kemampuan
ilmiah. Inilah jenis keceerdasan yang dikaji dan didokumentasikan oleh Piaget,
yakni jenis kecerdasan yang sering dicirikan sebagai pemikiran kritis dan di
gunakan sebagai bagian dari metode ilmiah. Orang dengan kecerdasan ini
gemar bekerja dengan data:

8
mengumpulkan dan mengorganisasi, menganalisis serta menginterpretasikan,
menyimpulkan kemudian meramalkan.

3. Kecerdasan spasial
Orang yang memiliki kecerdasan ini cenderungberpikir dalam atau dengan
gambar dan cenderung mudah belajr melalui sajian-sajian visual seperti film,
gambar, video, dan peragaan yang menggunkan model dan slaid. Mereka gemar
menggambar, melukis atau mengukir gagasan-gagasan yang ada di kepala dan
sering menyajikan suasana serta perasaan hatinya melalui seni.
4. Kecerdasan musikal
Orang yang memiliki kecerdasan musikal sangat peka terhadap suara atau
bunyi, lingkungan juga musik. Mereka sering bernyanyi, bersiul atau
bersenandung atau mendengarkan lagu ketika melakukan aktivitas lain. Mereka
bernyanyi dengan memakai kunci nada yang tepat dan mampu mengingat serta
secara vokal dapat mereproduksi melodi.
5. Kecerdasan kinestik
Orang yang memiliki kecerdasan jenis ini memproses informasi melalui sensai
yang di rasakan badan mereka. Mereka tak suka diam dan ingin bergerak terus,
mengerjakan sesuatu dengan tangan atau kakinya dan berusaha menyentuh
orang yang diajak bicara.
6. Kecerdasan interpersonal
Orang yang memiliki kecerdasan ini menyukai dan menikmati bekerja secara
berkelompok(bekerja kelompok),belajar sambil berinteraksi dan bekerja sama,
juga kerap senang bertindak sebagai penengah atau mediator dalam perselisihan
dan pertikaian baik di sekolah maupun di rumah.
7. Kecerdasan intrapersonal
Kecerdasan intra personal tercermin dalam kesadaran mendalam akan perasaan
batin. Inilah kecerdasan yang memungkinkan seseorang memahami diri sendiri,
kemampuan dan pilihannya sendiri. Orang dengan kecerdasan intrapersonal
tinggi pada umumnya mandiri, tak tergantung orang lain dan yakin dengan
pendapat diri yang kuat tentang hal-hal yang kontroversial.

9
Selanjutnya di dalam modul Hakikat Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences)
yang ditulis oleh Tadkiroatun Musfiroh, M.Hum disebutkan bahwa pada bukunya
Frame of The Mind (1983) Howard Gardner pada awalnya menemukan tujuh
kecerdasan. Setelah itu, berdasarkan kriteria kecerdasan di atas, Gardner
menemukan kecerdasan yang ke-8, yakni naturalis. Dan terakhir Howard Gardner
memunculkan adanya kecerdasan yang ke-9, yaitu kecerdasan eksistensial.
8. Kecerdasan Naturalis
Kecerdasan ini ditandai dengan keahlian membedakan anggota-anggota suatu
spesies, mengenali eksistensi spesies lain, dan memetakan hubungan antara
beberapa spesies, baik secara formal maupun informal. Seseorang yang optimal
kecerdasan naturalisnya cenderung menyukai dan efektif dalam menganalisis
persamaan dan perbedaan, menyukai tumbuhan dan hewan, mengklasifikasi
flora dan fauna, mengoleksi flora dan fauna, menemukan pola dalam alam,
mengidentifikasi pola dalam alam, melihat sesuatu dalam alam secara detil,
meramal cuaca, menjaga lingkungan, mengenali berbagai spesies, dan
memahami ketergantungan pada lingkungan
9. Kecerdasan Eksistensial
Kecerdasan eksistensial ditandai dengan kemampuan berpikir sesuatu yang
hakiki, menyangkut eksistensi berbagai hal, termasuk kehidupankematian,
kebaikan-kejahatan. Eksistensial muncul dalam bentuk pemikiran dan
perenungan. Seseorang yang cerdas secara eksistensial cenderung
mempertanyakan hakikat kehidupan, mencari inti dari setiap permasalahan,
merenungkan berbagai hal atau peristiwa yang dialami, memikirkan hikmah
atau makna di balik peristiwa atau masalah, dan mengkaji ulang setiap pendapat
dan pemikiran. Orang yang cerdas secara eksistensial cenderung berani
menyatakan keyakinan dan memperjuangkan kebenaran, mampu menempatkan
keberadaan sesuatu dalam bingkai yang lebih luas, selalu mempertanyakan
kebenaran suatu pernyataan/kejadian, memiliki pengalaman yang mendalam
tentang cinta pada sesama dan seni, mampu menempatkan diri dalam kosmis
yang luas, serta memiliki kemampuan merasakan, memimpikan, dan
merencanakan hal-hal yang besar.

10
2.3 Sistem Pendidikan di Indonesia
Sistem pendidikan di Indonesia dalam pelaksanaannya diatur dalam UNDANG-
UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL. Berdasarkan undang undang tersebut jalur
pendidikan di Indonesia di bagi menjadi 3 yaitu:
1. Pendidikan informal
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. No. 20 Tahun 2003. Bab I
pasal 1 ayat 13 bahwa pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan
lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Dari pengertian tersebut ada
dua hal yang menjadi sentranya pendidikan informal, pertama keluarga, kedua
lingkungan.3
2. Pendidikan nonformal
Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan diluar pendidikan formal yang dapat
dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Oleh Abu Ahmadi (1992: 64)
dijelaskan lembaga pendidikan nonformal adalah semua bentuk pendidikan yang
dilaksanakan dengan sengaja, tertib dan terencana diluar kegiatan lembaga
sekolah.4
3. Pendidikan formal
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang
terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Oleh
Hadari Nawawi (1993: 220) mengelompokkan pendidikan ini kepada lembaga
pendidikan yang kegiatannya dilaksanakan dengan sengaja, berencana, sistematis
dalam rangka membantu peserta didik dalam mengembangkan potensinya agar
mampu menjalankan kekhalifahnnya5.

Lalu yang menjadi fokus perhatian dalam makalah ini adalah pola pengajaran pada
sistem pendidikan yang di berikan pada pendidikan formal. Umumnya tentu kita
ketahui bahwa kebanyakan di sekolah-sekolah di Indonesia secara tidak sengaja

3
Darlis, A. (Januari-Juni 2017 ). HAKIKAT PENDIDIKAN ISLAM: TELAAH ANTARA
HUBUNGAN PENDIDIKAN INFORMAL, NON FORMAL DAN FORMAL . JURNAL
TARBIYAH, Vol. XXIV, No. 1. Hal 86.
4
Ibid, hal 91.
5
Ibid, hal 94.

11
lebih mensuperiorkan siswa-siswa yang unggul dalam pelajaran matematis.
Sehingga tanpa sadar menjadi pemicunya tumbuh gap-gap antara siswa. Kadang
kala kita juga mendapati banyak siswa yang terpaksa masuk ke jurusan IPA hanya
karena gengsi semata bukan dari minat dalam dirinya. Mereka beranggapan bahwa
jika mereka masuk ke dalam jurusan itu maka mereka akan di cap keren dan pintar.
Padahal sebenarnya mereka sama sekali tidak merasa nyaman. Selain itu orang-
orang juga berpendapat bahwa kecerdasan di tentukan oleh skor IQ.

Menurut Thomas R. Hoerr (2007: 9-10), tes tersebut hanya mengukur kecerdasan
secara sempit karena hanya menekankan pada kecerdasan linguistik dan matematis-
logis (akademis). Walaupun tes standar yang terfokus pada kecerdasan akademis
tersebut dapat memperkirakan keberhasilan anak di sekolah, namun tidak bisa
memperkirakan keberhasilan seseorang di dunia nyata, karena keberhasilan di
dunia nyata saat ini mencakup lebih dari sekedar kecakapan linguistik dan
matematis-logis. Dengan demikian, ada kecerdasan lain yang mempunyai pengaruh
lebih besar terhadap keberhasilan seseorang. Hal ini mendorong para ahli psikologi
untuk melakukan penelitian lebih lanjut yang akhirnya menemukan dua kecerdasan
lain di samping kecerdasan intelektual, yaitu kecerdasan emosional (EQ) dan
kecerdasan spiritual (SQ). 6

Anggapan berlebihan terhadap kemampuan IQ dalam menentukan keberhasilan


seseorang nampaknya masih mendominasi pembelajaran dan pendidikan di
sekolah. Salah satunya nampak dari metode yang digunakan para guru ketika
menyampaikan pelajaran. Menurut Paul Suparno (2008: 6), guru seringkali
mengajar dengan pendekatan yang rasional dengan logika-matematika yang lebih
sesuai dengan kecerdasan matematis-logis dan menjelaskan semua pelajaran
dengan model ceramah dan cerita yang lebih sesuai dengan kecerdasan linguistik.
Metode pembelajaran seperti ini hanya menguntungkan bagi anak-anak yang
memiliki kecerdasan matematis-logis dan linguistik saja, sementara siswa yang

6
Syarifah. ( Desember 2019). KONSEP KECERDASAN MAJEMUK HOWARD
GARDNER . Jurnal Ilmiah Sustainable , Vol. 2 No. 2, hal 177.

12
tidak memiliki kecerdasan-kecerdasan tersebut cenderung merasa bosan, tidak
mengerti, terasing, dan merasa tidak pernah diperhatikan serta diajar di sekolah oleh
gurunya. Hal ini menurut Abdul Munir Mulkhan (2002: 80) karena model
pembelajaran di sekolah yang menyimpang dan melanggar nilai-nilai dasar
kemanusiaan bagi setiap siswa, salah satunya adalah penggunaan metode
pembelajaran yang tidak sesuai dengan kecerdasan yang menonjol pada siswa.7

Maka terkadang siswa-siswa yang merasa tidak pandai dalam matematis


menganggap dirinya sendiri bodoh, yang kemudian membuat para siswa tersebut
tertekan akan ketidakmampuannya itu. Padahal mungkin dia memiliki kecerdasan
lain namun hal itu tertutupi oleh ketidakmampuannya di bidang matematis. Pola
pengajaran seperti ini sudah menjamur dan menset pemikiran bahwa “orang yang
pintar matematis pasti sukses, pasti pintar dll”.

Indonesia sampai saat ini masih menghadapi persoalan ini. Sudah sangat
melekatnya stigma tentang kecerdasan dan keberhasilan di ukur dari kemampuan
matematis membuat siswa kurang leluasa untuk berekspresi dan berkreasi. Hal ini
tentu merupakan dampak yang buruk bagi proses perkembangan para siswa dalam
menuju kesuksesannya dalam meraih impian mereka.

Pola pengajaran seperti itu harus di hilangkan, penanaman nilai moral juga
pembentukan karakter tidak kalah penting dibandingkan akademis saja. Sepatutnya
pengajar membimbing siswa-siswa untuk mengembangkan bakatnya. Gagal dalam
suatu hal bukan berarti akan gagal untuk semuanya. Dengan catatan disini siswa
tersebut telah mengikuti proses pembelajaran dengan benar, selanjutnya jika
kemampuan siswa tidak seperti yang di inginkan maka tidak harus menekannya
menjadi seperti siswa lain yang memang memiliki kecerdasan di sana, Berdasarkan
teori multiple intelegences yang telah di bahas diatas kita ketahui bahwa kecerdasan
sendiri di bagi ke dalam 9 jenis, yang masing-masingnya memiliki keahliannya
masing-masing. Teori ini juga mematahkan jika anak yang memiliki kemampuan
matematis saja yang cerdas.

7
ibid

13
2.4 . Pola Pembelajaran yang tepat
Berdasarkan pembahasan-pembahasan di atas bisa di tarik bahwa pola
pembelajaran yang di berikan oleh pengajar di sekolah terasa kurang pas rasanya
jika hanya menekan pada bidang matematis. Telah di paparkan dan di bahas di atas
bahwa dalam teori multiple intelegence terdapat sembilan kecerdasan yang
memiliki kehebatan tersendiri.

Di dalam buku Sekolahnya Manusia karya Munif Chatib beliau menekankan bahwa
konsep Multiple Intelegences sangat tepat jika di terapkan dalam pendidikan di
Indonesia. Pada konsep Multiple Intelegences beliau menekankan the best process
bukan the best input. Beliau memberikan contoh pada SMP Yayasan Islam Malik
Ibrahim yang berani beda dalam penerimaan siswa baru, di mana semua calon
siswa yang lebih awal mendaftar akan di terima tak peduli apakah nilai ujian
nasional SD nya jeblok asal masih sesuai kapasitas tentu akan di terima, dan
kemudian para siswa akan melakukan suatu tes dengan alat riset bernama Multiple
Intelegence Research(IMR), yang hasilnya kemudian akan di gunakan oleh guru
untuk mempelajari gaya belajar masing-masing siswa.

Beliau juga menyebutkan dalam penerapan konsep multiple intelegences ini


tidaklah mudah, di butuhkan para pengajar yang mau terus belajar, aktif serta gigih
dalam strategi ini, menurutnya siswa yang terkadang tidak mengerti akan pelajaran
yang di jelaskan bukannya bodoh tapi cara penyampaian yang tidak sesuai dengan
kecerdasannya. Sehingga konsep multiple intelegences mungkin sangat ideal di
terapkan di Indonesia di mana pola pengajaran di berikan sesuai dengan jenis
kecerdasan siswa. Para siswa akan tetap bisa memahami pelajaran tetapi dengan
gayanya masing-masing dan tentu tidak tertekan.

14
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pendidikan di era sekarang sudah menjadi suatu kebutuhan, tidak lagi
seperti zaman dahalu dimana pendidikan sangat terbatas hanya untuk kaum
laki-laki saja, sekarang siapapun tak terbatas gender berhak mendapatkan
pendidikan yang layak. Bahkan kelayakan pendidikan di jadikan salahsatu
indikator majunya suatu negara.

Sistem pendidikan di Indonesia sendiri diatur dalam UNDANG-UNDANG


REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003, yang mana dalam
peraturan ini membagi jalur pendidikan menjadi 3 jalur yaitu , formal,
informal dan nonformal. Fokus perhatian disini adalah pendidikan jalur
formal dimana pada sekolah-sekolah formal menjamurnya stigma bahwa
siswa yang tidak cerdas matematis bukanlah siswa yang cerdas padahal
stigma tersebut salah.

Pola pengajaran yang diberikan serta sistem sekolah yang kerapkali secara
tidak sengaja membuat gap-gap antara siswa. Terkadang memaksa siswa
harus pintar dalam bidang matematis dan jika siswa tidak pintar dalam
bidang itu maka ia di cap bodoh. Tentu saja pola pengajaran seperti harus
dihilangkan. Seorang psikolog perkembangan dan ahli pendidikan Howard
Gardner dari Harvard University memiliki pendapat bahwa tidak ada
manusia yang tidak cerdas, beliau juga menentang bahwa score IQ menjadi
tolak ukur kesuksesan siswa. Sehingga munculah istilah multiple
intelegences yang kemudian berkembang menjadi sebuah teori dengan
penelitian dan riset yang panjang.

Gardner membagi kecerdasan dalam multiple intelligences meliputi


kecerdasan verbal-lingustik (cerdas kata), kecerdasan logis-matematis
(cerdas angka), kecerdasan visual-spasial (cerdas gambar-warna),

15
kecerdasan musikal (cerdas musik-lagu), kecerdasan kinestetik (cerdas
gerak), kecerdasan interpersonal (cerdas sosial), kecerdasan intrapersonal
(cerdas diri), kecerdasan naturalis (cerdas alam), kecerdasan eksistensial
(cerdas hakikat). Setiap kecerdasan dalam multiple intelligences memiliki
indikator tertentu. Sehingga hal ini mematahkan stigma bahwa orang yang
tidak pandai matematis tidak cerdas.

Pola pembelajaran dengan konsep multiple intelegences mungkin sangat


ideal untuk di terapkan di Indonesia, dalam buku Sekolahnya Manusia karya
Munif Chatib, penulis menyebutkan bahwa terkadang ketika siswa tidak
mengerti suatu pelajaran bukan berarti dia bodoh tetapi cara penyampaian
yang tidak sesuai dengan kecerdasan siswa tersebut. Oleh karena itu
menurutnya konsep ini sangat idela untuk diterapkan meskipun pada
prakteknya dibutuhkan sinergi yang besar antara para pengajar untuk
menghasilkan suatu pola pengajaran yang sesuai dengan konsep ini,
diperlukannya pengajar yang aktif, mau belajar terus dan gigih.

3.2 Saran
Pendidikan seperti kita ketahui saat ini menjadi fokus perhatian yang sangat
penting, jika ingin membangun bangsa maka cerdaskanlah anak bangsanya.
Untuk itu mindset tentang kesuperioran siswa yang unggul dalam matematis
harus dihilangkan karena pada dasarnya setiap manusia memliki minat dan
bakatnya masing-masing, dan tidak ada manusia yang bodoh mereka pasti
memiliki kelebihan tersendiri.

Penghapusan mindset seperti ini harus dilakukan bukan hanya oleh siswa,
tetapi juga para pengajar yang berperan dalam membimbing siswa. Untuk
itu perlu dibenahinya lagi pola pengajaran yang diterapkan di sekolah, agar
tidak terjadinya diskriminasi dan semua siswa dapat berkembang dalam
meraih impian mereka sesuai dengan kecerdasan yang mereka miliki.

16
Daftar Pustaka

Agustina, I. (2018). Mengenal Kecerdasan Manusia. Sukoharjo:


grahaprintamaselaras.
Chatib, M. (2009). Sekolahnya Manusia. Jakarta: Mizandigitalpublishing.
Darlis, A. (Januari-Juni 2017 ). HAKIKAT PENDIDIKAN ISLAM: TELAAH
ANTARA HUBUNGAN PENDIDIKAN INFORMAL, NON FORMAL
DAN FORMAL . JURNAL TARBIYAH, Vol. XXIV, No. 1.
Jasmine, J. (2016). Metode Mengajar Multiple Intelegences. Bandung: Insan
Cendekia.
Kasih, Ayunanda Pininta. 2020. Nilai PISA Siswa Indonesia Rendah, Nadiem
Siapkan 5 Strategi Ini.
https://edukasi.kompas.com/read/2020/04/05/154418571/nilai-pisa-siswa-
indonesia-rendah-nadiem-siapkan-5-strategi-ini?page=all. (diakses tanggal 17
oktober 2020)
Musfiroh, Tadkiroatun. Modul Perkembangan Kecerdasan majemuk..
Ni Wayan Yuli Anggreni dan Yohanes Kartika Herdiyanto. (2017). PENGARUH
STIGMA TERHADAP SELF ESTEEM PADA REMAJA PEREMPUAN
YANG MENGIKUTI EKTRAKURIKULER TARI BALI DI SMAN 2
DENPASAR . Jurnal Psikologi Udayana, Vol. 4, No.1, 208-221.
Syarifah. ( Desember 2019). KONSEP KECERDASAN MAJEMUK HOWARD
GARDNER . Jurnal Ilmiah Sustainable , Vol. 2 No. 2, hal 154 - 175 .

17

Anda mungkin juga menyukai