Anda di halaman 1dari 4

Ketulusan Itu Nyata

Tema : Kehidupan

Judul : Ketulusan itu Nyata

Pemeran :  Nia  Nafila


 Diva  Shabilla (Bian)

SINOPSIS
Diva sudah lama bersahabat dengan Nia. Sehari-hari mereka menghabiskan waktu
bersama. Suatu hari, terjadi perdebatan panjang yang terjadi antara keduanya, hingga
membuat Diva membenci Nia. Sementara itu Nafila, teman sekelas mereka yang
kemudian membantu Diva dan Nia bersahabat kembali.

DIALOG
Nia berulang kali melirik Diva di bangku sebelahnya. Tapi perempuan yang
diliriknya itu sama sekali tak menengok ke arahnya, meskipun jelas-jelas Diva juga sedang
tidak memperhatikan guru di depan kelas. Sudah seminggu ini, Nia didiamkan. Nia
mencoba mencari cara untuk berkomunikasi dengan Diva.

Nia : “Div, Divaa, ssst.”

Diva masih tak menoleh.

Nia memainkan pensil di tangannya, sambil terus berpikir mencari cara bagaimana agar
Diva mau menanggapinya.

Sementara itu, di bangku belakang Nia, Nafila memperhatikannya. Ia tahu apa yang
terjadi diantara mereka. Tapi ia diam saja. Lama-kelamaan, ia kasihan juga dengan Nia.
Akhirnya saat jam istirahat tiba, Nafila menghampiri Nia.

Nafila : “Sebenarnya apa yang terjadi, kenapa Diva nggak mau menanggapi loe?”

Nia : “Terjadi kesalahpahaman diantara kita. Dia mengira, gue suka sama Bian,
cowok anak kelas sebelah yang jadi incarannya.”

Nafila : “Loe yakin ini salah paham? Apa yang membuat loe yakin kalo loe tidak
salah?”
Nia : “Memang, gue sering ngobrol sama Bian. Tapi gue sama sekali nggak
bermaksud memiliki hati sama cowok itu. Eh, si Bian malah nyatain cinta ke gue. Gue
nggak punya kesempatan buat menjelaskan ini pada Diva.”

Nafila : “Lalu sekarang, apa yang terjadi antara loe sama Bian?

Nia : “Nggak terjadi apa-apa lah. Kita nggak jadian juga.”

Nafila : “Maksud gue, apa kalian masih sering berhubungan? Jadinya si Diva masih
marah?”

Nia : “Masih sih. Masa karena ini gue harus menghindari Bian? Lagipula gue
juga nggak ngapa-ngapain. Jalan berdua aja nggak pernah. Cuman ngobrol di sekolah
doang.”

Nafila : “Yaelaaa bro, sementara ini mendingan loe jauhin Bian dulu. Ini demi
kebaikan antara loe sama Diva. Ngejauhin bukan berarti hilang kontak kan? Cari alasan
apa kek buat ngehindar. Loe juga bisa jelasin masalah loe ini sama si Bian. Biar Bian yang
jelasin ke Diva.”

Nia : “Ha? Gila loe, trus menurut loe, Diva nggak makin marah kalo tahu gue
cerita tentang perasaannya sama Bian?”

Nafila : “Oiya juga ya... tapi yang paling penting sekarang, loe musti jauhin Bian
dulu. Titik. Udeh, pura-pura perhatikan guru dulu, biar dikira murid teladan.”

Nia : “Ah, muka dua loe. Oke thanks nasehat loe.”

Hari-hari berikutnya, Nia mengikuti saran Nafila. Ia sebisa mungkin menjauhi Bian
dengan berbagai alasan. Tindakan itupun sering diperhatikan Diva. Tapi Diva sama sekali
tidak peduli.

Nia : “Gimane nih, kayaknya rencana gue nggak berhasil.”

Nafila : “Sabaaar.”

Nia : “Gue nggak nerima nasihat sabar. Bantu gue cari cara lain.”

Nafila : “Oke oke bilang terus terang aja sama Diva. Gue yakin dia maafin loe. Kalo
dia nggak mau dengerin loe, kirimin dia kertas pesan kayak gini aja.”

Nia : “Gue coba dulu.”

Setiap istirahat dan pulang sekolah, Nia selalu mengekori Diva. Ia merendahkan
harga dirinya, demi persahabatannya dengan Diva. Sekarang, Nia lebih mirip bodyguard
karena membuntuti Diva terus. Sampai suatu hari ketika mereka istirahat, Diva tidak
tahan lagi.

Diva : “Loe tu ngapain sih? Gue risih liatnya.”

Nia : “Gue mau ngejelasin ke loe.”

Diva : “Gue udah tahu semuanya.”

Nia menunduk. Ia berpikir, jika Diva sudah tahu semuanya, kenapa dia tetep nggak
mau maafin?

Nia : “Oke, gue minta maaf. Gue ngaku gue salah. Gue sering ngobrol sama
Bian, dan bikin loe sakit hati. Gue mohon sama loe Div, gue tulus temenan sama loe.”

Tapi Diva justru mengenyahkannya. Sama sekali tidak mengacuhkan permintaan


maaf Nia padanya. Sementara itu, Nia makin nggak paham sama sikap Diva. Ia kemudian
memutuskan sikap mengekornya. Karena sangat kekanakan dan konyol.

Suatu hari, Nia melihat Diva mengendap-endap di belakang gedung sekolah. Rupa-
rupanya ia akan membolos. Nia tak tahu, kenapa Diva membolos. Saat guru menanyakan,
Nia menjawab Diva izin pulang karena sakit perut.

Di hari lain, Nia juga melihat Diva mencontek teman sebangkunya saat ulangan
semester. Sang guru memergokinya, tapi lagi-lagi Nia membelanya. Nia bahkan juga
mengambilkan penghapus saat penghapus Diva jatuh. Hal-hal kecil selalu dilakukan Nia
untuk Diva. Seperti mempersilakan Diva masuk duluan ketika keduanya sama-sama
berada di depan pintu kelas. Nia juga memberikan jalan saat Diva akan berjalan
mendahuluinya.

Tidak ada rasa kesal dan benci pada Nia. Ia juga lebih memilih diam. Ia takut salah.
Maka ia hanya melakukan apa yang menurutnya baik dilakukan.

Suatu pagi, ketika Diva terlihat memasuki gerbang sekolah, Nafila mendekatinya.

Nafila : “Div, kau tidak lihat ketulusan Nia?”

Diva : “Maksud loe?”

Nafila : “Sebelumnya, gue minta maaf ikut campur urusan loe sama Nia. Tapi Nia
udah menceritakan semuanya padaku. Eits...jangan marah dulu. Dia hanya bingung
bagaimana cara menghadapimu. Aku berusaha membantunya, tapi selalu gagal. Lalu ia
melakukan caranya sendiri.”
Diva : “Apa memangnya yang dia lakukan?”

Nafila : “Kali ini dia tidak menceritakan padaku. Tapi aku melihatnya sendiri. Aku
rasa kau juga lebih tahu akan hal ini.”

Diva memiringkan kepala, pertanda tidak mengerti

Nafila : “Dia selalu nge-bela loe saat loe dapat masalah, seperti ketika loe bolos
tempo hari. Terus saat loe nyontek juga. Loe pasti juga liat cara dia memberikan jalan
buat loe, atau cara mempersilakan loe masuk duluan saat di pintu kelas.”

Diva terlihat berpikir sebentar, kemudian mengangguk pelan. Dengan bergegas, ia


belari ke dalam kelas.

Di dalam kelas, terlihat Nia membuka bukunya, mengerjakan PR. Diva datang
menghampirinya dan memberikan buku PR-nya.

Diva : “Cepat kerjakan.”

Nia mendongak, dan mendapati Diva melihat ke arahnya.

Diva : “Jangan banyak tanya saat gue sedang baik hati.”

Nia berdiri, dan memeluknya erat, dan tersenyum lebar.

Nia : “Gue nggak banyak tanya, tapi akan tetep cerewet kalo loe diem mulu gini. BTW
makasih ya, udah maafin gue.”

Diva : “Gue yang minta maaf, gue yang nggak liat ketulusan loe aja. Maafin gue
ya sob.”

Ketulusan selalu berbuah kebaikan. Ucapan harus diimbangi dengan perbuatan.


Karena orang hanya melihat perbuatan bukan perkataan.

Anda mungkin juga menyukai