Anda di halaman 1dari 18

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Laparatomi
Laparatomi merupakan pembedahan perut, membuka selaput perut dengan
operasi yang dilakukan untuk memeriksa organ-organ perut dan membantu
diagnosis masalah termasuk menyembuhkan penyakit-penyakit pada perut
(Mansjoer, 2007). Laparatomi merupakan jenis operasi bedah mayor yang
dilakukan di daerah abdomen dengan melakukan penyayatan pada lapisan-
lapisan dinding abdomen untuk mendapatkan bagian organ abdomen yang
mengalami masalah (perdarahan, perforasi, kanker, dan obstruksi).
(Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
2.1.1 Jenis Laparatomi
Pembedahan laparatomi menurut (Jitowiyono, 2010)
2.1.1.1 Midline incision, yaitu sayatan ke tepi dari garis tengah
abdomen
2.1.1.2 Paramedian, yaitu sedikit ke tepi dari garis tengah (± 2,5 cm),
panjang (12,5 cm)
2.1.1.3 Transverse upper abdomen incision, yaitu insisi di bagian atas,
misalnya pembedahan colesistotomy dan splenektomy.
2.1.1.4 Transverse lower abdomen incision, yaitu insisi melintang di
bawah ± 4cm diatas anterior spinal iliaka, misalnya: operasi
appendictomy.
2.1.2 Indikasi
Menurut (Jitowiyono, 2010) ada beberapa indikasi laparatomi yaitu:
2.1.2.1 Trauma abdomen (tumpul/ tajam) / ruptur hepar.
2.1.2.2 Peritonitis
2.1.2.3 Perdarahan saluran pencernaan
2.1.2.4 Sumbatan pada usus halus dan usus besar
2.1.2.5 Adanya masa pada abdomen.

7
8

2.1.3 Proses Penyembuhan Luka Post Laparatomi


Kozier, Erb, Berman & Snyder (2010) menjelaskan bahwa proses
penyembuhan luka terbagi atas tiga fase: inflamasi, proliferasi, dan
maturasi atau remodeling.
2.1.3.1 Fase Inflamasi
Fase inflamasi dimulai segera setelah cedera dan berlangsung
selama 3 sampai 6 hari. Dua proses utama yang terjadi selama
fase ini: hemotasis dan fagositosis.
Hemostasis (penghentian perdarahan) akibat dari
vasokonstriksi pembuluh darah besar pada area yang terkena,
retraksi (penarikan kembali) pembuluh darah yang cedera,
deposisi fibrin (jaringan ikat), dan pembentukan bekuan darah
pada area tersebut. Bekuan darah yang terbentuk dari platelet
darah memberikan matriks fibrin yang membentuk kerangka
untuk perbaikan sel. Keropeng juga dapat terbentuk pada
permukaan luka. Keropeng yang mengandung bekuan darah
dan jaringan mati juga membantu hemostasis dan menghambat
kontaminasi mikroorganisme pada luka. Pada bagian bawah
keropeng ini, sel epitel akan bergerak menuju luka dari tepi
luka. Sel epitel berfungsi sebagai barier antara tubuh dan
lingkungan untuk mencegah masuknya mikroorganisme.
Fase inflamasi juga meliputi respon vaskular dan seluler yang
bertujuan membuang semua zat asing dan jaringan yang rusak
dan mati. Aliran darah ke area luka meningkat, membawa
oksigen dan zat gizi yang dibutuhkan dalam proses
penyembuhan luka. Akibatnya, area luka terlihat kemerahan
dan bengkak.
Selama perpindahan sel, leukosit (terutama, netrofil) akan
bergerak masuk ke dalam ruang interstisial. Makrofag yang
berasal dari monosit darah akan menggantikan semua leukosit
ini dalam 24 jam setelah cedera. Kemudian, semua makrofag
9

tersebut menghancurkan mikroorganisme dan debris sel


melalui sebuah proses yang dikenal sebagai fagositosis.
Makrofag juga mensekresi faktor angiogenesis (AGF), yang
memicu pembentukan epitel pada pembuluh darah akhir yang
cedera. Jaringan mikrosirkulasi yang terjadi dapat
mempertahankan proses penyembuhan dan luka selama
kehidupanya. Respon inflamasi ini sangat penting dalam
proses penyembuhan dan tindakan yang dapat mengganggu
proses inflamasi, seperti obat steroid dapat meningkatkan
risiko pada proses penyembuhan luka.
2.1.3.2 Fase Poliferasi
Fase poliferasi, fase kedua dalam proses penyembuhan, terjadi
pada hari ke 3 atau ke 4 sampai hari ke 21 setelah cedera.
Fibroblas (sel jaringan ikat) yang bermigrasi ke luka dalam 24
jam setelah cedera mulai mensintesis kolagen. Kolagen
merupakan zat protein berwarna keputihan yang dapat
meningkatkan kekuatan regangan pada luka. Saat jumlah
kolagen bertambah, semakin meningkat pula kekuatan luka,
sehingga kemungkinan luka untuk terbuka semakin berkurang.
Apabila luka telah dijahit, “jembatan penyembuhan” akan
terlihat di bawah garis jahitan yang utuh. Kolagen yang baru
seringkali dapat terlihat pada luka yang tidak mengalami
penyatuan.
Pembuluh darah kapiler akan tumbuh melewati luka dan
meningkatkan aliran darah. Fibroblas bergerak dari aliran
darah ke dalam luka dan menyimpan benang-benang fibrin
dalam luka. Saat jaringan pembuluh darah kapiler terbentuk,
jaringan akan terlihat merah cerah. Jaringan ini disebut dengan
jaringan granulasi, yang rapuh dan mudah berdarah. Apabila
tepi luka tidak merapat, area tersebut akan terisi oleh jaringan
granulasi. Saat jaringan granulasi matang, sel epitel yang
10

berasal dari bagian tepi luka akan bergerak masuk ke area


jaringan granulasi yang telah matang dan kemudian
berproliferasi diatas lapisan jaringan ikat ini untuk mengisi
daerah luka. Apabila proses epitelisasi tidak dapat menutup
area luka, area luka akan tertutup dengan plasma sel yang
kering dan sel-sel mati. Area ini disebut eskar. Pada awalnya,
luka yang sembuh melalui penyembuhan sekunder
menghasilkan drainase luka bercampur darah (serosanguineus).
Setelah itu, apabila sel epitel tidak menutup area luka, area
tersebut akan tertutup oleh jaringan abu-abu yang tebal dan
mengandung benang-benang fibrin yang pada akhirnya
berubah menjadi jaringan perut kaku.
2.1.3.3 Fase Maturasi
Fase maturasi mulai terjadi sekitar hari ke 21 dan dapat
berlangsung selama 1 sampai 2 tahun setelah cedera luka.
Kemudian fibroblas terus mensintesis kolagen. Serat-serat
kolagen tersebut, yang pada awalnya memiliki bentuk yang
tidak beraturan akan berubah menjadi struktur jaringan yang
teratur. Selama proses maturasi jaringan, luka akan mengalami
pembaruan bentuk dan kontraksi. Jaringan perut akan menjadi
lebih kuat, namun area yang sedang mengalami perbaikan
tidak akan menjadi kuat seperti jaringan asalnya. Pada
beberapa individu, terutama individu yang berkulit gelap, pada
area luka akan muncul kolagen dalam jumlah yang tidak
normal. Kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya jaringan
parut yang hipertrofik, atau keloid.
11

2.2 Konsep Nyeri


2.2.1 Definisi Nyeri
Nyeri adalah salah satu pertahanan tubuh yang menandakan adanya
masalah, jika tidak ditangani membahayakan fisiologis dan psikologis
bagi kesehatan (Kozier, Erb, Berman , & Snyder, 2010). International
Association for The Study of Pain atau IASP mendefinisikan nyeri
sebagai “suatu sensori subyektif dan pengalaman emosional yang tidak
menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual atau
potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian di mana terjadi
kerusakan” (Potter & Perry, 2006).
2.2.2 Fisiologi Nyeri
Price dan Wilson (2006) menjelaskan bahwa proses fisiologik nyeri
terjadi antara stimulus cedera jaringan dan pengalaman subyektif nyeri.
Terdapat empat proses tersendiri: transduksi, transmisi, modulasi, dan
persepsi. Transduksi nyeri adalah proses rangsangan yang mengganggu
sehingga menimbulkan aktivitas listrik di reseptor nyeri. Transmisi
nyeri melibatkan proses penyaluran impuls nyeri dari tempat transduksi
melewati saraf perifer sampai ke terminal di medula spinalis dan
jaringan neuron-neuron pemancar yang naik dari medula spinalis ke
otak. Modulasi nyeri melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf
desendens dari otak yang dapat mempengaruhi transmisi nyeri setinggi
medula spinalis. Modulasi juga melibatkan faktor-faktor kimiawi yang
menimbulkan atau meningkatkan aktivitas di reseptor nyeri aferen
primer. Akhirnya, persepsi nyeri adalah pengalaman subyektif nyeri
yang bagaimanapun juga dihasilkan oleh aktivitas transmisi oleh saraf.
2.2.3 Klasifikasi Nyeri
Menurut Mubarak dan Chayatin (2008) ada beberapa klasifikasi nyeri
yaitu:
12

2.2.3.1 Nyeri Perifer


Nyeri ini ada tiga macam yaitu:
a. Nyeri superfisial
Nyeri superfisial adalah nyeri yang muncul akibat
rangsangan pada kulit dan mukosa. Nyeri berlangsung
sebentar dan terlokalisasi. Nyeri biasanya terasa sebagai
sensasi yang tajam. Contoh penyebab nyeri superfisial
adalah jarum suntik dan luka potong kecil/ laserasi (Potter
& Perry, 2006).
b. Nyeri viseral
Nyeri viseral adalah nyeri yang muncul akibat stimulus dari
reseptor nyeri di rongga abdomen, cranium dan toraks.
bersifat difus dan dapat menyebar ke beberapa arah. Durasi
bervariasi tetapi biasanya berlangsung lebih lama daripada
nyeri superfisial. Nyeri dapat terasa tajam, tumpul atau unik
tergantung organ yang terlibat (Potter & Perry, 2006).
c. Nyeri Alih(referred)
Nyeri alih adalah nyeri yang dirasakan pada daerah lain
yang jauh dari penyebab nyeri. Contoh dari penyebab nyeri
alih adalah infark miokard yang menyebabkan nyeri alih ke
rahang, lengan kiri dan bahu kiri (Potter & Perry, 2006).
2.2.3.2 Nyeri Sentral
Nyeri yang muncul akibat stimulasi pada medulla spinalis,
batang otak dan thalamus.
2.2.3.3 Nyeri Psikogenik
a. Nyeri Akut
Nyeri akut adalah pengalaman sensori dan emosional yang
tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan
jaringan yang actual atau potensial atau digambarkan dalam
hal kerusakan sedemikian rupa. Gejala yang terjadi tiba –
13

tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan


akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi
(NANDA,2015).
b. Nyeri kronis
Nyeri kronis adalah pengalaman sensorik dan emosional
yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan
jaringan yang aktual atau potensial atau digambarkan dalam
hal kerusakan sedemikian rupa. Gejala yang terjadi yaitu
timbul secara tiba – tiba atau lambat dengan intensitas dari
ringan hingga berat, terjadi secara konstan atau berulang
tanpa akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan
berlangsung >3 bulan. (NANDA,2015).

2.2.4 Pengkajian Nyeri


Individu yang mengalami nyeri adalah sumber informasi terbaik untuk
menggambarkan nyeri yang dialami (Mohamad, sudarti, & fauziah,
2010). Beberapa hal yang dikaji untuk menggambarkan nyeri seseorang
antara lain :
2.2.4.1 Riwayat Nyeri
Pengingat PQRST
a. P : Provokasi (penyebab terjadinya nyeri)
Tenaga kesehatan harus mengkaji faktor penyebab
terjadinya nyeri pada klien, bagian tubuh mana yang terasa
nyeri termasuk menghubungkan antara nyeri dan faktor
psikologis. Karena terkadang nyeri itu bisa muncul tidak
karena luka tetapi karena faktor psikologisnya.
b. Q : Quality
Kualitas nyeri yaitu ungkapan subyektif yang diungkapkan
oleh klien dan mendeskripsikan nyeri dengan kalimat
seperti ditusuk, disayat, ditekan, sakit nyeri atau superfisial
atau bahkan digencet.
14

c. R : Region
Untuk mengkaji lokasi nyerinya, tenaga kesehatan meminta
klien untuk menyebutkan bagian mana saja yang dirasakan
tidak nyaman. Untuk mengetahui lokasi yang spesifik
tenaga kesehatan meminta klien untuk menunjukkan nyeri
yang paling hebat.
d. S : Severe
Untuk mengetahui dimana tingkat keparahan nyeri, hal ini
yang paling subyektif dirasakan oleh penderita, karena akan
diminta bagaimana kualitas nyeri, kualitas nyeri ini bisa
digambarkan melalui skala nyeri.
e. T : Time
Yang harus dilakukan dalam pengkajian waktu adalah
awitan, durasi, dan rangkaian nyeri yang dialami. Perlu
ditanyakan kapan mulai muncul adanya nyeri, berapa lama
nyeri itu muncul dan seberapa sering untuk kambuh.
2.2.5 Skala Nyeri
2.2.5.1 Menggunakan Numeric Rating Scale
Penilaian skala ini dapat digunakan sebagai alat untuk
pendeskripsian. Pada skala ini klien menilai nyeri dengan
menggunakan angka 0-10. Skala yang paling efektif digunakan
untuk mengkaji intensitas nyeri.

Gambar 2.1 Numerik rating scale


2.2.5.2 Wong dan Baker “ Skala nyeri wajah “
Untuk skala wajah biasanya digunakan untuk anak- anak yang
berusian dibawah 7 tahun. Skala tersebut terdiri dari 6 wajah
kartun mulai dari wajah tersenyum (tidak sakit) sampai
15

meningkatnya wajah yang tidak bahagia, kepada kesedihan


yang amat sangat, wajah menangis (nyeri sangat hebat).

Gambar 2.2 skala nyeri wajah


2.2.6 Penatalaksanaan nyeri
Penatalaksanaan nyeri dikelompokkan menjadi dua:
2.2.6.1 Penatalaksanaan farmakologi
Penatalaksanaan nyeri farmakologi mencakup penggunaan
opioid (narkotik), obat- obatan anti inflamasi nonopioid/
nonsteroid (NSAIDS), dan analgesik penyerta atau koanalgesik
(Kozier, Erb, Berman, & Snyder 2010).
2.2.6.2 Penatalaksanaan nonfarmakologi
Penatalaksanaan nyeri nonfarmakologi terdiri dari beberapa
strategi penatalaksanaan fisik dan kognitif perilaku intervensi
fisik mencakup stimulasi kutaneus, imobilisasi, stimulasi saraf
elektrik transkutan (TENS), tehnik relaksasi, hipnosis,
massage, distraksi akupresur & aromaterapi (Kozier, Erb,
Berman & Snyder). Berikut uraian penatalaksanaan
nonfarmakologi diantaranya sebagai berikut:
a. Stimulasi kutaneus
Stimulasi ini dapat memberikan perhatian nyeri sementara
yang afektif. Stimulasi kutaneus mendistraksi klien dan
memfokuskan perhatian pada stimulus taktil, mengalihkan
dari sensasi menyakitkan, sehingga mengurangi persepsi
nyeri.
16

b. Imobilisasi
Membatasi pergerakan pada bagian tubuh yang
menyakitkan, dapat membantu mengatasi episode nyeri
akut. Imobilisasi berkepanjangan dapat menyebabkan
kontraktur pada sendi, atrofi sendi dan masalah
kardiovaskular.
c. TENS (Stimulasi Saraf Elekktrik Transkutaneus) TENS
(Stimulasi Saraf Elekktrik Transkutaneus) adalah sebuah
metode pemberian stimulasi elektrik bervoltase rendah
secara langsung ke area nyeri yang telah teridentifikasi, ke
titik akupreasur, di dsepanjang area saraf tepi yang
mensarafi area nyeri atau di sepanjang kolumna spinalis.
d. Relaksasi
Relaksasi dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan
ketegangan otot yang menunjang nyeri. Tehnik relaksasi
yang sederhana terdiri atas nafas abdomen dengan frekuensi
lambat, berirama. Pasien dapat memejamkan mata dan
bernapas dengan perlahan dan nyaman.
e. Hipnosis
Hipnosis dapat membantu mengubah persepsi nyeri melalui
pengaruh sugesti positif. Suatu pendekatan holistik,
hipnosis menggunakan sugesti diri dankesan tentang
perasaan yang rileks dan damai.
f. Massage
Massage adalah tindakan kenyamanan yang dapat
membantu relaksasi, menurunkan ketegangan otot, dan
dapat meringankan ansietas karena kontak fisik yang
menyampaikan perhatian.
g. Distraksi
Distraksi menjauhkan perhatian seseorang dari rasa nyeri
dan mengurangi persepsi rasa nyeri. Dalam beberapa
17

keadaan, distraksi dapat membuat klien benar- benar tidak


menyadari rasa nyeri.
h. Akupresure
Akupresure dikembangkan dari sistem penyembuhan
akupuntur cina kuno. Terapis menekankan jari pada titik-
titik yang berhubungan dengan banyak titik yang digunakan
dalam akupuntur.
i. Aromaterapi
Aromaterapi yaitu terapi komplementer yang menggunakan
minyak esensial dari bau harum tumbuhan untuk
mengurangi masalah kesehatan dan memperbaiki kualitas
hidup.
2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri
Menurut Potter dan Perry (2009) ada beberapa faktor yang mempengaruhi
nyeri seseorang yaitu :
2.3.1 Usia
Kategori usia menurut Depkes RI (2009) balita 0-5 tahun, anak-anak 6-
11 tahun, remaja awal 12-16 tahun, remaja akhir 17-25, dewasa awal
26-35 tahun, dewasa akhir 36-45 tahun, lansia awal 46-55 tahun, lansia
akhir 56-65 tahun, dan manula 65 tahun keatas.
Usia merupakan variabel yang penting yang mempengaruhi nyeri,
khususnya pada anak – anak dan lansia. Perbedaan perkembangan yang
ditemukan diantara kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana
anak dan lansia bereaksi terhadap nyeri. Anak- anak kecil yang belum
dapat mengucapkan kata-kata juga mengalami kesulitan untuk
mengungkapkan secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada orang
tua atau petugas kesehatan.
Washington, Gibson dan Helme (2000) menemukan bahwa orang tua
membutuhkan intensitas lebih tinggi dari rangsangan nyeri
dibandingkan orang usia muda. Li, Green-wald dan Gennis (2001)
menemukan bahwa nyeri pada lansia pasien merupakan bagian dari
18

proses penuaan. Pasien usia lanjut melaporkan nyeri kurang signifikan


dibandingkan pasien yang lebih muda.
Biasanya pada orang dewasa melaporkan nyeri jika sudah patologis dan
mengalami kerusakan fungsi dan pada umumnya lansia menganggap
nyeri sebagai komponen alamiah dari proses penuaan dan dapat
diabaikan atau tidak ditangani oleh petugas kesehatan. Di lain pihak,
normalnya kondisi nyeri hebat pada dewasa muda dapat dirasakan
sebagai keluhan ringan pada dewasa tua. Orang dewasa tua mengalami
perubahan neurofisiologi dan mungkin mengalami penurunan persepsi
sensori stimulus serta peningkatan ambang nyeri, lansia mempunyai
metabolisme yang lebih lambat dan rasio lemak tubuh terhadap massa
otot lebih besar dibanding individu berusia lebih muda, oleh karenanya
analgesik dosis kecil mungkin cukup untuk menghilangkan nyeri pada
lansia. ((Le Mone & Burke, 2008 dikutip dalam Ramananda, 2015).
Orang tua membutuhkan intensitas lebih tinggi dari rangsangan nyeri
dibandingkan orang usia muda. Pada pasien dewasa tua menganggap
bahwa nyeri merupakan komponen alamiah yang harus mereka terima
dari respon penuaan, sehingga keluhan sering diabaikan. Biasanya
kondisi nyeri hebat pada dewasa muda dapat dirasakan sebagai keluhan
ringan pada dewasa tua. ( Prawani, 2008 dikutip dalam I Putu Artha
Wijaya dkk 2018))
2.3.2 Kelemahan
Kelemahan meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan penurunan
kemampuan untuk mengatasi masalah. Apabila kelemahan terjadi
sepanjang waktu istirahat, persepsi terhadap nyeri akan lebih besar.
2.3.3 Gen
Informasi genetik yang diturunkan dari orang tua memungkinkan
adanya peningkatan atau penurunan sensitivitas seseorang terhadap
nyeri. Genetik mempunyai kemungkinan untuk dapat menentukan
ambang batas nyeri seseorang atau tolenransi seseorang terhadap nyeri.
19

2.3.4 Fungsi neurologis


Faktor yang dapat mengganggu atau mempengaruhi penerimaan atau
persepsi nyeri yang normal.
2.3.5 Perhatian
Tingkatan dimana klien memfokuskan perhatianya terhadap nyeri yang
dirasakan mempengaruhi persepsi nyeri. Fatmawati (2011) Perhatian
yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat. Sedangkan
upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respon nyeri yang
menurun. Konsep ini merupakan salah satu konsep yang perawat
terapkan di berbagai terapi untuk menghilangkan nyeri, seperti
relaksasi, teknik imajinasi terbimbing (guided imaginary) dan mesase,
dengan memfokuskan perhatian dan konsentrasi klien pada stimulus
yang lain, misalnya pengalihan pada distraksi.
2.3.6 Dukungan Keluarga Dan Sosial
Meski nyeri masih terasa, tetapi kehadiran keluarga atau teman dekat
untuk dukungan, bantuan, atau perlindungan. Individu dan kelompok
sosiobudaya yang berbeda memiliki harapan yang berbeda tentang
orang tempat mereka menumpahkan keluhan mereka tentang nyeri.
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota
keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan, atau
perlindungan. Walaupun nyeri tetap klien rasakan, kehadiran orang
yang dicintai klien akan meminimalkan kesepian dan ketakutan.
Apabila tidak ada keluarga dan teman, seringkali pengalaman nyeri
membuat klien semakin tertekan. Kehadiran orangtua sangat penting
bagi anak-anak yang sedang mengalami nyeri.
Widjanarko (2012) menyatakan bahwa kehadiran dan sikap orang-
orang terdekat sangat berpengaruh untuk dapat memberikan dukungan,
bantuan, perlindungan, dan meminimalkan ketakutan akibat nyeri yang
dirasakan.
Menurut Friedman, dalam setiadi (2006) jenis dukungan keluarga ada
empat yaitu :
20

2.3.6.1 Dukungan emosional yaitu keluarga sebagai sebuah tempat


yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta
membantu pengusaan emosi.
2.3.6.2 Dukungan instrumental yaitu kelurga merupakan sumber
pertolongan yang praktis dan konkrit.
2.3.6.3 Dukungan informasional yaitu keluarga berfungsi sebagai
sebuah kolektor dan desiminator (penyebar informasi)
2.3.6.4 Dukungan penilaian yaitu keluarga bertindak sebagai sebuah
umpan baik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah
dan sebagai sumber dan fasilitator identitas keluarga.
Menurut House (Smet, 1994), dalam setiadi (2008) setiap bentuk
dukungan sosial keluarga mempunyai ciri-ciri antara lain :
a. Informatif yaitu bantuan informasi yang disediakan agar dapat
digunakan oleh seseorang dalam menanggulangi persoalan-persoalan
yang dihadapi, meliputi pemberian nasihat, pengarahan, ide-ide,
informasi yang dibutuhkan dan informasi ini dapat disampaikan
kepada orang lain yang mungkin menghadapi persoalan yang sama.
b. Perhatian emosional, setiap orang pasti membutuhkan bantuan afeksi
dari orang lain, dukungan ini berupa dukungan simpatik dan empati,
cinta, kepercayaan, dan penghargaan. Dengan demikian seseorang
yang menghadapi persoalan merasa dirinya tidak menanggung
bebean sendiri tetapi masih ada orang lain yang memperhatikan, mau
mendengar segala keluhannya, bersimpati dan empati terhadap
persoalan yang dihadapi atau bahkan mau membantu memecahkan
masalah yang sedang dihadapinya.
c. Bantuan instrumental, bantuan dalam bentuk ini bertujuan untuk
mempermudah seseorang dalam melakukan aktifitasnya berkaitan
dengan persoalan yang dihadapinya atau menolong secara langsung
kesulitan yang dihadapi misalnya dengan menyediakan peralatan
lengkap dan memadai bagi penderita, menyediakan obat-obat yang
dibutuhkan dan lain-lain.
21

d. Bantuan penilaian yaitu suatu bentuk penghargaan yang diberikan


seseorang kepada pihak lain berdasarkan kondisi sebenarnya dari
penderita. Penilaian ini bisa positif dan negatif yang mana
pengaruhnya sangta berarti bagi seseorang berkaitan dengan
dukungan sosial keluarga maka penilaian yang sangat membantu
adalah penilaian yang positif.
2.3.7 Mekanisme Koping
Mekanisme koping memengaruhi kemampuan untuk mengatasi nyeri.
Seseorang yang memiliki kontrol terhadap situasi internal merasa
bahwa mereka dapat mengonrol kejadian- kejadian dan akibat yang
terjadi dalam hidup mereka, seperti Nyeri. Klien seringkali menemukan
berbagai cara untuk mengembangkan koping terhadap efek fisik dan
psikologis nyeri.
Seseorang yang mengontrol nyeri dengan lokus internal merasa bahwa
diri mereka sendiri mempunyai kemampuan untuk mengatasi nyeri.
Sebaliknya, seseorang yang mengontrol nyeri dengan lokus eksternal
lebuh merasa bahwa faktor-faktor lain di dalam hidupnya seperti
perawat merupakan orang yang bertanggung jawab terhadap nyeri yang
dirasakan. Oleh karena itu, koping pasien sangat penting untuk
diperhatikan ( Potter & Perry, 2009)
Ekowati (2012) menyatakan bahwa Sumber koping individu
diantaranya komunikasi dengan keluarga, atau melakukan latihan atau
menyanyi mampu mengatasi nyeri.
Koping adalah respon individu terhadap situasi yang mengancam
dirinya baik fisik maupun psikologik. Setiap individu, dalam
menghadapi masalah yang sama, termasuk masalah nyeri, akan
berbeda-beda dalam menggunakan kopingya. (Rasmun, 2012 dikutip
dalam Nurhafizah dan Erniyati (2012))
Berhasil atau tidaknya strategi koping yang digunakan pasien dapat
mempengaruhi intensitas nyeri yang dirasakannya. Setiap individu
dalam menghadapi masalah akan selalu bereaksi positif atau negatif,
22

perbedaan ini akan mempengaruhi dalam penilaian mekanisme koping


yang digunakan seorang pasien dalam menghadapi masalah nyeri yang
dialaminya (Kemp, 2010 dikutip dalam I Putu Artha wijaya (2018))

Koping berdasarkan penggolongan dibagi menjadi dua ( stuart dan


sundeen, dalam Anggun C, 2012) yaitu : mekanisme koping adaptif dan
mekanisme koping maladaptif.
2.3.7.1 Mekanisme adaptif
Mekanisme koping adaptif adalah mekanisme koping yang
mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan
mencapai tujuan. Kategorinya adalah berbicara dengan orang
lain, memecahkan secara efektif, teknik relaksasi, latihan
seimbang dan aktivitas konstruktif.
2.3.7.2 Mekanisme maladaptif
Mekanisme koping maladaptif adalah mekanisme koping yang
menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan,
menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan.
Kategorinya adalah makan berlebihan/tidak makan, bekerja
berlebihan, menghindar. Koping dapat diidentifikasi melalui
respon, manisfestasi ( tanda dan gejala) dan pertanyaan klien.

Mekanisme koping berdasarkan pengolonganya dibagi menjadi


2 yaitu:
a. Mekanisme koping Adaptif
Adalah mekanisme yang mendukung fungsi
integrasipertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan.
Kategorinya adalah: berbicara dengan orang lain,
memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi,
latihan keseimbangan dan aktifitas konstruktif.
b. Mekanisme koping Maladaptif
23

Adalah mekanisme coping yang menghambat fungsi


integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi
dan cendrung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah:
makan berlebihan atau bekerja berlebihan serta
menghindar. ( Rohmawati, Diah Octa Nur, 2013).
2.4 Kerangka Konsep

Variabel independen

1. Usia
2. Mekanisme koping
3. Dukungan
keluarga Variabel dependen

Nyeri

4. Kelemahan
5. Gen
6. Fungsi neurologis
7. Perhatian

Skema 2.1 kerangka konsep

Ket :
Diteliti
Tidak diteliti
24

2.5 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1. Ada hubungan usia dengan penurunan tingkat nyeri pasien post
Laparatomi di ruang bedah RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh
Banjarmasin.
2. Ada hubungan dukungan keluarga dengan penurunan tingkat nyeri pasien
post Laparatomi di ruang bedah RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh
Banjarmasin.
3. Ada hubungan mekanisme koping penurunan tingkat nyeri pasien post
Laparatomi di ruang bedah RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh
Banjarmasin.

Anda mungkin juga menyukai