Anda di halaman 1dari 3

Solo, Legenda dan Budaya Jawa

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Solo, Legenda dan Budaya Jawa", Klik
untuk baca: https://regional.kompas.com/read/2018/09/17/18512431/solo-legenda-dan-budaya-
jawa?page=all.

Editor : Amir Sodikin

Kompascom+ baca berita tanpa iklan: https://kmp.im/plus6


Download aplikasi: https://kmp.im/app6

KOMPAS.com - Jelang tengah malam 1 Suro, iring-iringan tujuh ekor kebo bule Kiai Slamet
keluar dari gerbang timur Kori Kamandungan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Lima
orang “semut ireng” mengiringi sambil menyebar ketela untuk dimakan oleh kerbau-kerbau itu.
Ketujuh kerbau itu berada di urutan pertama sebagai pembuka jalan arak-arakan pusaka keraton
mengelilingi kota Solo. Di belakang mereka, para abdi dalem yang terdiri dari beberapa
perempuan keluar dari pintu utama Kori Kamandungan dengan membawa sesaji untuk diberikan
kepada ketujuh kerbau tersebut. Berikutnya, puluhan abdi dalem, kerabat keraton, dan keluarga
keraton keluar dari pintu utama membawa 17 pusaka keraton. Masyarakat antusias memadati
kawasan keraton siap berebut sisa makanan dan minuman kerbau, bahkan berusaha meraih
kotoran kerbau (tlethong). Kirab malam 1 Suro merupakan salah satu tradisi keraton Surakarta
yang digelar rutin setiap tahun. Dikenal sebagai kota budaya, Surakarta yang lebih populer
dengan sebutan Solo, kental dengan tradisi, adat dan budaya Jawa yang mengakar hingga kini.
Baca juga: Di Balik Makna Peringatan 1 Suro bagi Masyarakat Jawa... Kota Solo merupakan
kota kuno yang dibangun oleh Pakoe Boewono II. Riwayat kota ini tidak lepas dari sejarah
Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang merupakan penerus Kerajaan Mataram Islam.
Menengok sejarah terbentuknya kota Solo, erat kaitannya dengan peristiwa berkobarnya
pemberontakan Sunan Kuning tahun 1742. Peristiwa yang dikenal dengan sebutan “Geger
Pecinan” itu terjadi pada masa pemerintahan Raja Kartasura, Sunan Pakoe Boewono II.
Pemberontakan itu akhirnya dapat ditumpas dengan bantuan VOC Belanda dan Keraton
Kartasura dapat direbut kembali. Namun bangunan keraton hancur lebur, sehingga perlu mencari
lokasi ibu kota untuk membangun keraton yang baru. Raja Keraton Kasunanan Surakarta
Hadiningrat, SISKS Paku Buwono XIII, Hangabehi dan permaisurinya, KRAy Pradapaningsih
mengikuti Kirab Agung di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (5/5/2018). Lihat Foto Raja Keraton
Kasunanan Surakarta Hadiningrat, SISKS Paku Buwono XIII, Hangabehi dan permaisurinya,
KRAy Pradapaningsih mengikuti Kirab Agung di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (5/5/2018).
(KOMPAS.com/Labib Zamani) Berjarak sekitar 20 kilometer ke arah tenggara dari Kartasura,
ditemukan tempat yang cocok untuk membangun keraton baru yaitu di Desa Sala di tepi sungai
Bengawan Sala. Desa Sala dan sekitarnya mulai ramai dan berubah menjadi sebuah kota sejak 20
Februari 1745, yaitu sejak berpindahnya pusat pemerintahan Mataram dari keraton Kartasura ke
Sala. Nama “Surakarta” diberikan bagi pusat pemerintahan baru itu, yang kemudian dikenal
dengan nama Keraton Surakarta Hadiningrat. Kehadiran dua nama, Solo dan Surakarta menjadi
keunikan bagi kota tua ini. Ada beberapa cerita dibalik dua nama itu. Konon Kota Solo awalnya
dibentuk oleh masyarakat kuli (dalam Bahasa Jawa: soroh bau dan pemimpinnya disebut Ki-
Soloh atau Ki-Solo atau Ki-Sala) yang berada di Bandar Nusupan. Baca juga: Naik Kereta
Garuda Kencana, Raja Keraton Surakarta Sebar Koin ke Warga Mereka tinggal di tepi sungai
Bengawan Solo, di dekat pelabuhan tempat mereka bekerja untuk majikannya yang ada di
Kadipaten Pajang (1530-an), sehingga membentuk permukiman tepian sungai. Dalam
"Surakarta: Perkembangan Kota Sebagai Akibat Pengaruh Perubahan Sosial Pada Bekas Ibukota
Kerajaan di Jawa” dari Jurnal Lanskap Indonesia I Vol 2 No 2 Tahun 2010 disebutkan, daerah
yang digunakan sebagai pusat pemerintahan baru kerajaan Mataram ini disebut Sala, karena di
sana hidup seorang tokoh masyarakat yang bijaksana bernama Ki Gede Sala. Selain itu, desa ini
banyak ditumbuhi pohon sala, yang diduga sejenis pohon salam. Sejak saat itu Desa Sala
berubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Kota ini pun menjadi pusat pemerintahan Kerajaan
Mataram. Adanya Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 menyebabkan Mataram terpecah.
Dalam buku Babad Giyanti, Sejarah Pembagian Kerajaan Jawa oleh Dr Purwadi MHum,
Perjanjian Giyanti atau “Palihan Nagari” merupakan bentuk kesepakatan pihak VOC Belanda
dengan pihak Mataram yang diwakili oleh Pakubuwana III dan kelompok Mangkubumi, yang
sejak itu berganti gelar Sultan Hamengku Buwono I. Perjanjian itu berisi kesepakatan
“membelah dua Negara Mataram” separuh tetap dikuasai oleh Paku Buwono III dengan ibu kota
Surakarta, dan lainnya dikuasai oleh Sultan Hamengku Buwono I dengan wilayahnya
Yogyakarta. Hasil perjanjian itu lahirlah dua kerajaan yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat
dan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat atau Negari Agung. Keraton Kasunanan Surakarta
Hadiningkrat hingga kini masih berdiri megah di tengah kota Solo. Keraton yang telah menjadi
ikon kota Solo itu masih menyiratkan kemegahan bangunannya yang menyimpan warisan sebuah
Kerajaan Mataram Jawa yang pernah berjaya berabad-abad silam. Baca juga: Kerbau Bule
Pusaka Keraton Surakarta Mati Ditombak Tak hanya bangunannya, budaya Jawa yang kental
dengan adat-istiadat leluhur masih tetap terjaga dan lestari, serta masih dapat dijumpai di kota
ini. Kota budaya yang di tahun 2018 telah berusia 273 tahun ini tetap mempertahankan dan
melestarikan tradisi, adat, dan budaya Jawa yang telah mengakar. Sejak abad ke-19 kota ini telah
mendorong berkembangnya berbagai literatur berbahasa Jawa, pakaian, tarian, arsitektur,
makanan, dan beragam hasil budaya yang tetap mampu dijaga. Tak salah jika kemudian kota
yang mengusung slogan The Spirit of Java ini disebut sebagai pusat pengembangan tradisi Jawa.
Potret kemakmuran dan kejayaan kerajaan Mataram tempo dulu masih dapat dijumpai dalam
tradisi seni dan budaya yang kerap ditampilkan dalam event pariwisata Kota Solo. Kota ini
mampu memanfaatkan dan mengembangkan aset warisan budaya menjadi obyek wisata. Untuk
memperkenalkan dan membangkitkan suasana kejayaan masa lalu, berbagai tradisi adat dan
budaya ditampilkan dalam bentuk seni. Gunungan kakung dan putri dalam prosesi grebeg besar
di Keraton Surakarta Hadiningrat. Lihat Foto Gunungan kakung dan putri dalam prosesi grebeg
besar di Keraton Surakarta Hadiningrat. (KOMPAS.com/Silvita Agmasari) Upacara ritual
keraton yang sakral kerap ditampilkan dan mampu menarik masyarakat Solo untuk mengikuti
jalannya prosesi ritual tersebut. Salah satunya adalah upacara Kirab Tradisi Agung Keraton
Kasunanan Surakarta yang digelar pada 5 Mei 2018. Kirab itu digelar sebagai peringatan ke-14
tahun naiknya Hangabehi ke tahta sebagai Pakoe Boewono XIII atau disebut Tingalan
Jumenengan Dalem Ke-14 Sampeyan Dalem Ingkang Susuhunan Kanjeng Sunan (SISKS) Pakoe
Boewono XIII. Dalam kirab itu, enam ekor kuda menarik Kereta Kiai Garuda Kencana yang
membawa Raja Keraton Surakarta Pakoe Boewono XIII Hangabehi dan permaisurinya, KRAy
Pradapaningsih. Pusaka kereta kencana buatan tahun 1836 itu berangkat dari depan Sasono
Setinggil menuju keluar keraton untuk berkeliling Kota Solo. Di acara Kirab Agung itu Raja
Solo, Pakoe Boewono XIII bersama keluarga menyapa warga Solo dan menyebar koin atau udik-
udik. Masyarakat kota Solo menyambut dengan antusias Kirab Agung yang menempuh rute
sepanjang 4 kilometer. Baca juga: Ketika Warga Berebut Berkah Gunungan Garebek Maulid
Keraton Surakarta Acara ritual adat lainnya adalah “Grebeg Maulud” atau biasa disebut
“Sekaten”, yaitu perayaan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Di acara
ini selalu ada tabuhan gamelan Pusaka Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari, upacara
Jamasan (membersihkan) Meriam Pusaka Kyai Setomi, serta pemberian sedekah Raja berupa
gunungan di Masjid Agung. Dua gunungan berupa tumpeng raksasa yang disebut Gunungan
Jaler dan Gunungan Estiakan diarak dari Keraton Surakarta menuju Masjid Agung. Gunungan
ini didoakan sebelum dibagikan ke masyarakat. Kirab malam 1 Suro sampai sekarang selalu
menjadi momentum yang paling meriah. Di acara ini, Keraton Surakarta rutin menggelar ritual
Jamas dan Kirab Pusaka Keraton. Dari rangkaian acara ritual itu, yang paling ditunggu warga
Solo adalah arak-arakan kebo bule Kyai Slamet. Tampilnya kebo bule Kyai Slamet dalam kirab
ini sebagai perpaduan antara legenda dan sage (cerita rakyat yang mendewakan binatang).
Mengutip dari laman situs web Kepustakaan Keraton Nusantara disebutkan bahwa sosok kerbau
dihadirkan dalam kirab dan diikuti oleh para abdi dalem dan rakyat, sebagai simbol legitimasi
keraton atas rakyatnya yang sebagian besar petani. Peran kebo bule Kyai Slamet adalah sebagai
simbol kekuatan yang secara praktis digunakan sebagai alat pengolah pertanian, sumber mata
pencaharian hidup bagi orang-orang Jawa. Simbol kebo bule Kyai Slamet adalah sebuah visi raja
yang secara harfiah merupakan visi Keraton Surakarta yang ingin mewujudkan keselamatan,
kemakmuran, dan rasa aman bagi masyarakatnya. Solo kaya dengan simbol dan ritual budaya.
Segala upacara adat, ritual adat, prosesi adat tradisi, dan ritual keagamaan kerap digelar dalam
berbagai moment. Nuansa sejarah dan budaya telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam
kehidupan masyarakat kota ini. Solo memang identik dengan legenda dan budaya Jawa. (MG
Retno Setyowati/Litbang Kompas) Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari
dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik
link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih
dulu di ponsel.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Solo, Legenda dan Budaya Jawa", Klik
untuk baca: https://regional.kompas.com/read/2018/09/17/18512431/solo-legenda-dan-budaya-
jawa?page=all.

Editor : Amir Sodikin

Kompascom+ baca berita tanpa iklan: https://kmp.im/plus6


Download aplikasi: https://kmp.im/app6

Anda mungkin juga menyukai