Anda di halaman 1dari 19

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Keraton Solo

Keraton Surakarta atau lengkapnya dalam bahasa Jawa disebut Karaton

Surakarta Hadiningrat adalah istana Kasunanan Surakarta. Keraton ini

didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono II (Sunan PB II) pada tahun 1744

sebagai pengganti Istana/Keraton Kartasura yang porak-poranda akibat Geger

Pecinan1743. Istana terakhir Kerajaan Mataram didirikan di desa Sala (Solo),

sebuah pelabuhan kecil di tepi barat Bengawan (sungai) Beton/Sala. Setelah

resmi istana Kerajaan Mataram selesai dibangun, nama desa itu diubah menjadi

Surakarta Hadiningrat. Istana ini pula menjadi saksi bisu penyerahan

kedaulatan Kerajaan Mataram oleh Sunan PB II kepada VOC pada tahun 1749.

Gambar 2.1Keraton Solo

5
Setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755, keraton ini kemudian dijadikan istana

resmi bagi Kasunanan Surakarta. Kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi

sebagai tempat tinggal sunan dan rumah tangga istananya yang masih

menjalankan tradisi kerajaan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan

salah satu objek wisata di Kota Solo. Sebagian kompleks keraton merupakan

museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kasunanan, termasuk berbagai

pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi

bangunannya, keraton ini merupakan salah satu contoh arsitektur istana Jawa

tradisional yang terbaik.

Tetapi akhir-akhir ini media baik itu elektronik maupun cetak

memberitakan soal gonjang ganjing di Keraton Surakarta lantaran masalah

konflik internal, dikutip dari Harian Solo pos Tgl 27 Mei 2013 Penyebab

diduga lantaran kemelut internal Keraton yang tak kunjung selesai. dari tulisan

ini tentu patut kita sayangkan.

Hubbur riyasah (cinta kekuasaan) adalah salah satu syahwat yang

sering menimpa manusia. Bagi orang yang terkena penyakit ini, kekuasaan,

jabatan dan segala yang mengiringinya berupa popularitas dan ketenaran

merupakan tujuan hidupnya. Berkenaan dengan bahaya cinta kekuasaan ini

Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam telah bersabda yang diriwayatkan oleh

Ka'ab bib Malik Radhiallaahu anhu ,

6
"Dua ekor serigala yang dilepas kepada seekor domba tidak lebih parah

kerusakannya bagi domba itu, bila dibandingkan ketamakan seseorang

terhadap harta dan kedudukan dalam merusak agamanya." (dikeluarkan oleh

at-Tirmidzi dan mengatakan, "hadits hasan shahih")

Al-Hafidz Ibnu Rajab tatkala menjelaskan hadits ini mengatakan,

"Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam memberitahukan bahwa ketamakan

seseorang terhadap harta dan kedudukan akan merusak agamanya, dan

kerusakan itu tidak lebih kecil daripada kerusakan akibat keberingasan dua

serigala terhadap seekor domba. Bisa jadi sepadan atau mungkin lebih besar.

Ini mengisyarat kan bahwa tidak akan selamat agama seseorang jika dia tamak

terhadap harta dan kedudukan dunia, kecuali sangat sedikit (yang bisa selamat

darinya). Sebagaimana pula halnya seekor domba tidak akan selamat dari

keberingasan dua ekor serigala yang sedang lapar, kecuali sangat sedikit sekali.

Perumpamaan yang agung ini mengandung peringatan yang keras

tentang keburukan sikap rakus terhadap harta dan kedudukan dunia, hingga

beliau mengatakan, "Adapun tamaknya seseorang terhadap kedudukan maka

itu lebih membinasa kan daripada ketamakannya terhadap harta. Karena ambisi

mencari kedudukan, kekuasaan dan kemuliaan dunia untuk mengungguli

(merasa tinggi) di atas sekalian manusia lebih berbahaya bagi seseorang

daripada ambisi terhadap harta. Menahan diri dari hal tersebut sangatlah lebih

sulit, karena untuk mencari kedudukan dan kekuasaan biasanya seseorang rela

mengorbankan harta yang amat banyak." (Syarah hadits, ma dzi'baani jaai'aani

hal 7,13 secara ringkas)

7
2.1.1 Sejarah Keraton Solo

Kota Solo (Surakarta) merupakan sebuah kota tua yang berumur lebih dari

260 tahun yang sarat dengan peristiwa sejarah bagi bangsa Indonesia. Sebut saja

peristiwa lahirnya Serikat Islam pada 1911, di mana saat itu reaksi wong Solo

bergolak atas campur tangan ekonomi kolonial. Kemudian, peristiwa

pemberontakan faham komunis yang dipimpin Haji Mizbah yang bisa menguasai

kereta api pada 1924.

Gambar 2.2 Gerbang Keraton Solo

Dalam konteks Kota Solo, kelahiran kota ini sendiri merupakan peristiwa

sejarah yang ditandai perpindahan keraton dari Kartasura ke Desa Sala. Pemilihan

lokasi dibangunnya Keraton Surakarta sendiri bermakna bagi eksistensi kerajaan.

Konsep ‘kutaraja’ yang dikelilingi benteng Baluwarti dihadirkan di lokasi yang

awalnya pusat perdagangan Bengawan Solo, mengingat di sana ada pertemuan

sejumlah sungai yang waktu itu merupakan sarana transportasi perdagangan.

Awalnya, lokasi dibangunnya keraton berupa kedung, dan merupakan

pertemuan sejumlah sungai. Ada Sungai Batangan yang bertemu dengan Sungai

8
Tempuran. Lalu, Sungai Laweyan atau Banaran yang bertemu dengan Sungai

Batangan. Sementara dari arah selatan ada Sungai Wingko dan dari utara ada

Sungai Pepe.

Beberapa kitab Jawa, baik dalam Babad Giyanti (1916, I), Babad

Kartasura Pacinan (1940), maupun Babad Tanah Jawi (1941), kisah perpindahan

Keraton dari Kartasura ke Surakarta hampir seragam. Ketika Sunan Paku Buwono

II (1726–1749) kembali dari Ponorogo, (1742), ia menyaksikan kehancuran

bangunan istana. Rusaknya bangunan istana itu disebabkan ulah dari para

pemberontak Cina. Bagi Sunan, keadaan tersebut mendorong niatnya untuk

membangun sebuah istana yang baru.

Kemudian, ia mengusulkan kepada para para punggawa kerajaan untuk

membangun sebuah istana baru. Patih R Ad Pringgalaya dan beberapa bangsawan

diajak berembug tentang rencana itu. Paku Buwono II berkeinginan membangun

istana baru di tempat yang baru. Ia menghendaki, istana yang baru itu berada di

sebelah timur istana lama, dekat dengan sungai Bengawan Sala. Hal ini dilakukan

di samping untuk menjauhi pengaruh para pemberontak yang mungkin masih

bersembunyi di kartasura, juga untuk menghapus kenangan buruk kehancuran

istana Kartasura.

Akhirnya, Sunan mengutus utusan yang terdiri dari ahli negara, pujangga

dan ahli kebatinan untuk mencari tempat yang cocok bagi pembangunan istana

baru. Utusan itu terdiri dari Mayor Hohendorp, Adipati Pringgalaya, dan Adipati

Sindurejo (masing-masing sebagai Patih Jawi ’Patih Luar’ dan Patih Lebet ‘Patih

Dalam’),serta beberapa orang bupati.

9
Utusan itu diikuti juga oleh abdi dalem ahli nujum, Kyai T

Hanggawangsa, RT Mangkuyuda, dan RT Puspanegara. Singkat cerita, mereka

mendapatkan tiga tempat yang dianggap cocok untuk dibangun istana, yaitu Desa

Kadipala, Desa Sala, dan Desa Sana Sewu.

Setelah diadakan musyawarah, para utusan akhirnya memilih Desa Sala

sebagai calon tunggal untuk tempat pembangunan istana baru, dan keputusan ini

kemudian disampaikan kepada Sunan di Kartasura. Setelah Sunan menerima

laporan dari para utusan tersebut, kemudian memerintahkan beberapa orang abdi

dalem untuk meninjau dan memastikan tempat itu. Utusan itu adalah Panembahan

Wijil, Abdi Dalem Suranata, Kyai Ageng Khalifah Buyut, Mas Pangulu Fakih

Ibrahim, dan Pujangga istana RT Tirtawiguna (Tus Pajang, 1940:19-21).

Sesampainya di desa Sala, utusan tersebut menemukan suatu tempat yang

tanahnya berbau harum, maka disebut Desa Talangwangi (tala=tanah;

wangi=harum), terletak di sebelah barat laut desa Sala (sekarang menjadi

kampung Gremet). Setelah tempat tersebut diukur untuk calon lokasi istana,

ternyata kurang luas, maka selanjutnya para utusan melakukan “samadhi”

(bertapa) untuk memperoleh ilham (“wisik”) tentang cocok atau tidaknya tempat

tersebut dijadikan pusat istana. Mereka kemudian bertapa di Kedhung Kol

(termasuk kampung Yasadipuran sekarang).

Setelah beberapa hari bertapa, mereka memperoleh ilham bahwa desa Sala

sudah ditakdirkan oleh Tuhan menjadi pusat kerajaan baru yang besar dan

bertahan lama (Praja agung kang langgeng). Ilham tersebut selanjutnya

10
memberitahukan agar para utusan menemukan Kyai Gede Sala (sesepuh desa

Sala). Orang itulah yang mengetahui ‘sejarah’ dan cikal bakal desa Sala . Perlu

diketahui, bahwa nama Kyai Gede Sala berbeda dengan Bekel Ki Gede Sala,

seorang bekel yang menepalai desa Sala pada jman Pajang. Sedang Kyai Gede

Sala adalah orang yang mengepalai desa Sala pada jaman kerajaan Mataram

Kartasura (Pawarti Surakarta, 1939:6-7).

Selanjutnya Kyai Gede Sala menceritakan tentang desa Sala sebagai

berikut. Ketika jaman Pajang, salah seorang putera Tumenggung Mayang, Abdi

Dalem kerajaan Pajang, bernama Raden Pabelan, dibunuh di dalam istana, sebaba

ketahuan bermain asmara dengan puteri Sekar Kedaton atau Ratu Hemas, puteri

Sultan Hadiwijaya, raja Pajang (Atmodarminto, 1955:83; Almanak Cahya

Mataram, 1921:53; Dirjosubrata, 1928:75-76). Selanjutnya mayat raden Pabelan

dihanyutkan (dilarung) di sungai Lawiyan (sungai Braja), hanyut dan akhirnya

terdampar di pinggir sungai dekat Desa Sala. Bekel Kyai Sala yang saat itu

sebagai penguasa Dsa Sala, pagi hari ketika ia pergi kesungai melihat mayat.

Kemudian mayat itu didorong ke tengah sungai agar hanyut. Memang benar,

mayat itu hanyut dibawa arus air sungai Braja.

Pagi berikutnya, kyai Gede Sala sangat heran karena kembali menemukan

mayat tersebut sudah di tempatnya semula. Sekali lagi mayat itu dihanyutkan ke

sungai. Namun anehnya, pagi berikutnya peristiwa sebelumnya berulang lagi.

Mayat itu kembali ke tempat semula, sehingga Kyai Gede Sala menjadi sangat

heran. Akhirnya ia maneges, minta petunjuk Tuhan Yang Maha Kuasa atas

peristiwa itu. Setelah tiga hari tiga malam bertapa, Kyai Gede Sala mendapat

11
ilham atau petunjuk. Ketika sedang bertapa, seakan-akan ia bermimpi bertemu

dengan seorang pemuda gagah. Pemuda itu mengatakan, bahwa dialah yang

menjadi mayat itu dan mohon dengan hormat kepada Kyai Gede Sala agar dia

dikuburkan di situ.

Namun sayang, sebelum sempat menanyakan tempat asal dan namanya,

pemuda itu telah raib/menghilang. Akhirnya Kyai Gede Sala menuruti permintaan

pemuda tersebut, dan mayatnya dimakamkan di dekat desa Sala. Karena namanya

tidak diketahui, maka mayat itu desebut Kyai Bathang (bathang=mayat).

Sedangkan tempat makamnya disebut Bathangan (makam itu sekarang berada di

kawasan Beteng Plaza, Kelurahan Kedung Lumbu). Dengan adanya Kyai Bathang

itu, desa Sala semakin raharja (Sala=raharja_, kehidupan rakyatnya serba

kecukupan dan tenang tenteram (Roorda, 1901:861).

Demikian cerita singkat Kyai Gede Sala. Kuburan itu terletak di tepi rawa

yang dalam dan lebar. Keadaan ini kemudian oleh para utusan dilapokan kepada

Sunan di Kartasura.

Sesudah Sunan Paku Buwana II menerima laporan, maka segera

memerintahkan kepada Kyai Tohjaya dan Kyai Yasadipura (I), serta RT.

Padmagara, untuk mengupayakan agar desa Sala dapat dibangun istana baru.

Ketigautusan tersebut kemudian pergi ke desa Sala. Sesampainya di desa Sala,

mereka berjalan mengelilingi rawa-rawa yang ada disekeliling desa Sala.

Akhirnya, mereka dapat menemukan sumber Tirta Amerta Kamandanu

(air kehidupan, sumber mata air). Hal itu dilaporkan kepada Sunan, dan kemudian

12
Sunan memutuskan bahwa desa Sala-lah yang akan dijadikan pusat istana baru.

Sunan segera memerintahkan agar pembangunan istana segera dimulai. Atas

perintah Sunan, seluruh Abdi Dalem dan Sentana dalem membagi tugas: Abdi

Dalem mancanegara Wetan dan Kilen dimintai balok-balok kayu, jumlahnya

tergantung pada luas wilayahnya. Balok-balok kayu tersebut selanjutnya

dimasukkan ke dalam rawa di desa Sala sampai penuh. Meskipun demikian belum

dapat menyumbat mata air rawa tersebut, bahkan airnya semakin deras.

Sanadyan kelebetana sela utawi balok ingkang ageng-ageng ngantos

pinten-pinten ewu, meksa mboten saget pampet, malah toya saya ageng

ambalaber pindha samodra.(Tus Pajang, 1940:24-25). (Walaupun diberi batu

ataupun balok-balik kayu yang besar-besar sampai beribu-ribu banyaknya,

terpaksa tidak dapat tertutup, bahkan keluarnya air semakin besar dan menyeruap

bagaikan samudra).

Bahkan lebih mengherankan lagi, dari sumber air tersebut keluar berbagai

jenis ikan yang biasa hidup di air laut (teri pethek, dsb). Menyaksikan kejadian

itu, Panembahan Wijil dan Kyai Yasadipura bertapa selama tujuh hari tujuh

malam tanpa makan dan tidur. Akhirnya pada malam hari Anggara Kasih (Selasa

Kliwon) Kyai Yasadipura mendapatkan ilham sebagai berikut: He kang padha

mangun pujabrata, wruhanira, telenging rawa iki ora bisa pampet amarga dadi

tembusaning samodra kidul. Ewadene yen sira ngudi pampete, kang dadi

saranane, tambaken Gong Kyai Sekar Dlima godhong lumbu, lawan sirah

13
tledhek, cendhol mata uwong, ing kono bisa pampet ponang teleng. Ananging ing

tembe kedhung nora mili nora pampet, langgeng toyanya tan kena pinampet ing

salawas-lawase (Pawarti Surakarta, 1939:7). (Hai, kalian yang bertapa,

ketahuilah, bahwa pusat rawa ini tidak dapat ditutup, sebab menjadi tembusannya

Lautan Selatan. Namun demikian bila kalian ingin menyumbatnya gunakan cara:

gunakan Gong Kyai Sekar Delima, daun lumbu (talas), dan kepala ronggeng,

cendol mata orang, disitulah pasti berhenti keluarnya mata air. Akan tetapi besok

kenghung itu tidak akan mengalir, tetapi juga tidak berhenti mengeluarkan air,

kekal tidak dapat disumbat selama-lamanya).

Penerimaan ilham tersebut terjadi pada hari Anggara Kasih (Selasa

Kliwon) tanggal 28 Sapar, Jimawal 1669 (1743 Masehi) (Yasadipura II, 1916: 17-

18). Segala kejadian tersebut kemudian dilaporkan kepada Sunan di Kartasura.

Sunan sangat kagum mendengar laporan tersebut dan setelah berpikir keras

akhirnya Sunan bersabda: Tledhek iku tegese ringgit saleksa. Dene Gong Sekar

Dlima tegese gangsa, lambe iku tegese uni. Dadi watake bebasan kerasan. Gong

Sekar Delima, dadi sekaring lathi, ingkang anggambaraken mula bukane nguni

iku Kyai Gede Sala. Saka panimbang iku udanegarane kabener anampi sesirah

tledhek arta kehe saleksa ringgit (cendhol mata uwonng), mangka liruning kang

dadi wulu wetuning desa tekan ing sarawa-rawa pisan (Pawarti Surakarta,

1939:8). “Tledhek” berarti sepuluh ribu ringgit. Gong Sekar Delima berarti

“gangsa”, bibir atau ujar (perkataan). Jadi bersifat perumpamaan. Gong Sekar

Delima menjadi buah bibir yang menggambarkan asal mula/cikal bakal (desa)

14
yaitu Kyai Gede Sala. Atas pertimbangan itu sepantasnya menerima ganti uang

sebanyak sepuluh ribu ringgit. Sebagai ganti rugi penghasilan desa beserta rawa-

rawanya.

Demikian akhirnya Kyai Gede Sala memperoleh ganti rugi sebesar

sepuluh ribu ringgit (saleksa ringgit) dari Sunan. Selanjutnya Kyai Gede Sala

bertapa di makam Kyai Bathang. Di dalam bertapa itu Kyai Gede Sala

memperoleh “Sekar Delima Seta” (putih) dan daun lumbu (sejenis daun talas).

Kedua barang tersebut dimasukkan ke dalam sumber mata air (Tirta Amerta

Kamandanu). Sesudah itu dilakukan kerja bhakti (gugur gunung) menutup rawa.

Akhirnya pekerjaan itu selesai dengan cepat. Penghuninya dipindahkan dan

dimukimkan kembali di tempat lain (“wong cilik ing desa Sala kinen ngalih

marang ing desa Iyan sami”). Kemudian pembangunan dimulai dengan menguruk

tanah yang tidak rata dan dibuat gambar awal dengan mengukur panjang dan

lebarnya (“ingkur amba dawane”). Puluhan ribu (leksan) buruh bekerja di proyek

pembangunan itu. Dinding-dinding pertama dibangun dari bambu karena

waktunya mendesak. Adapun desain umumnya mencontoh model Karaton

Kartasura (“anelad Kartasura”) (Lombard, III: 109).

Mengapa pilihan jatuh di Desa Sala, ada beberapa alasan yang dapat

diajukan, baik dilihat secara wadhag atau fisik-geografis maupun alasan magis-

religius. Desa Sala letaknya dekat dengan Bengawan Sala, yang sejak lama

mempunyai arti penting dalam hubungan sosial, ekonomi, politik, dan militer

antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.

15
Sebuah sumber menyebutkan, Bengawan Sala atau atau Bengawan

Semanggi mempunyai 44 bandar (Fery Charter abad ke-14), salah satunya

bernama Wulayu atau Wuluyu atau sama dengan desa Semanggi (bandar ke-44).

Dalam Serat Wicara Keras disebutkan, Bengawan Sala sebagai Bengawannya

orang Semanggi (bandingkan dengan Babad Tanah Jawi).

Alasan lainnya, di desa Sala cukup tenaga kerja untuk membuat Karaton

karena dikelilingi oleh desa Semanggi, Baturana, dan Babudan (dua desa yang

terakhir merupakan tempat Abdi Dalem pembuat babud permadani pada jaman

Kartasura). Desa Sala sendiri zaman Padjang dibawah bekel Kyai Sala. Alasan

politis juga dapat dimasukkan, terutama dalam menjaga kepentingan VOC. Untuk

mengawasi Mataram maka VOC membangun benteng di pusat kota Mataram

yang mudah dijangkau dari Semarang sebagai pintu gerbang ke pedalaman.

Sementara itu terdapat sejumlah alasan magis-religius seperti berikut ini.

Pertama, desa Sala terletak di dekat tempuran, yaitu bertemunya Sungai Pepe dan

Bengawan Sala. Tempuran merupakan tempat magis dan sakral. Dismping itu,

kata Sala atau Qala dihubungkan dengan bangunan suci. Kata itu berarti ruangan

atau bangsal besar dan telah disebut-sebut dalam OJO no. XLIII (920) dengan

istilah Kahyunan. Di Qala tedapat sekolah Prahunan (sekarang kampung praon) di

dekat muara Sungai Pepe, yang artinya bangunan suci di Hemad (I Hemad atau

Ing Hemad, Ing Gemad = Gremet). “Ning peken ri hemad”, artinya di pasar

ngGremet, tempat dilakukan upacara penyumpahan mendirikan tempat swatantra

perdikan di Sala.

16
Pembangunan Karaton segera dimulai setelah rawa-rawa berhasil

dikeringkan dan tempatnya dibersihkan. Untuk mengurug Karaton, tanahnya

diambil dari desa Talawangi. (dalam sebuah sumber lain disebutkan, “hawit iku

pada kalebu hing jangka, sak mangsa-mangsa ndandani Kadaton bakal njupuk

hurug lemah Kadipala (Tetedakan sangking Buk Ha: Ga, Sana Pustaka). Jadi

tanah Talawangi dan tanah Sala kedua-duanya dipakai untuk pembangunan

Karaton. Karaton telah berdiri meskipun belum dipagari batu dan baru dari bambu

(jaro bethek). Sirnaning Resi Rasa Tunggal (1670) menandai saat pengerjaan

Karaton selesai, meskipun nampak tergesa-gesa. (heriyono)

BEREBUT TAHTA KERAJAAN

Pasca Sunan Pakubuwono XII ‘mangkat’ beberapa waktu lalu (11 Juni

2004), terjadi perebutan kekuasaan ‘siapa yang berhak menjadi raja’. Peristiwa

perebutan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunegoro Sudibyo

Raja Putra Narendra Mataran VIII atau disingkat Paku Buwono XIII, membuat

kalangan kerajaan terpecah menjadi dua bagian, yakni antara pendukung Kanjeng

Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi dan KGPH Tedjowulan.

Keduanya merasa mempunyai hak untuk menduduki tahta kerajaan.

Peristiwa ini secara tidak langsung mengingatkan masyarakat Indonesia dengan

‘sejarah kelam’ yang terjadi pada 1755 lampau. Saat itu, terjadi peristiwa

Perjanjian Giyanti yang memecah Dinasti Kerajaan Mataram menjadi dua bagian,

yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta

Hadiningrat.

17
Dahulu, perpecahan (perebutan kekuasaan) selalu dikaitkan dengan politik

memecah belah atau devide et impera penjajah Belanda yang ingin menancapkan

kekuasaan di Tanah Jawa. Namun, saat ini sulit dipungkiri, perpecahan didorong

nafsu berkuasa para elit Kasunanan Surakarta.

Menurut beberapa kalangan, rebutan tahta ini sebenarnya tak akan terjadi

kalau saja Paku Buwono XII mengangkat permaisuri. Sehingga, secara langsung

putra mahkota adalah anak sulung dari permaisuri. Namun, semasa hidupnya,

Paku Buwono XII hanya memiliki garwa ampil atau selir dengan 37 anak.

Sejarawan Sumanto dalam suatu kesempatan mengatakan, alasan Paku Buwono

XII tidak berpermaisuri bisa jadi karena Kasunanan Surakarta lebih berfungsi

sebagai wilayah kebudayaan. Di luar kompleks keraton, kekuasaan raja tidaklah

dominan.

KGPH Hangabehi adalah putra tertua Paku Buwono XII dari selir ketiga

Gusti Raden Ayu (GRAy) Pradapaningrum. Karena itulah, Hangabehi merasa

dirinyalah yang berhak memangku tahta kerajaan. Sementara itu, keluarnya Surat

Keputusan Nomor Kep/01/2003 dari tiga pengageng, yakni Pengageng Parentah

Keraton, Pengageng Putrasentana, dan Pengageng Parentah Kaputren,

mengangkat KGPH Tedjowulan sebagai penerus tahta kerajaan Keraton

Surakarta.

18
Menurut versi KGPH Hangabehi, kapasitasnya sebagai putra lelaki tertua,

berhak menjadi pengganti Paku Buwono XII. Karena menurut pandangan pihak

Hangabehi, jika tidak ada putra mahkota atau putra yang ditunjuk secara langsung

oleh raja pendahulu, maka putra lelaki tertualah yang berhak menjadi raja.

Di sisi lain KGPH Tedjowulan juga menganggap memiliki hak yang sama,

karena telah diangkat oleh tiga pengageng Keraton. Menurut pandangan pihak

Tedjowulan, bila tidak ada putra mahkota, maka tiga lembaga resmi keraton inilah

yang berhak menentukan pengganti raja.

2.1.2 Asal Usul Nama Keraton Solo

Keraton berasal dari kata “rat” mendapat awalan “ka” atau “ke” dan

akhiran “an” mempunyai arti tempat tinggal ratu1, pusat pemerintahan ratu, atau

ibu kota kerajaan. Sedangkan kerajaan berasal dari kata “raj” mendapat awalan

“ke” atau “ka” dan mendapat akhiran “an” mempunyai arti tempat tinggal raja

yang erat hubungannya dengan daerah atau wilayah kekuasaan raja.2 Menurut

Darsiti Soeratman arti keraton memiliki beberapa makna, antara lain yang pertama

negara atau kerajaan dan yang kedua yaitu pekarangan raja, meliputi wilayah di

dalam cepuri (tembok yang mengelilingi halaman). Pada intinya Darsiti

Soeratman menyebutkan bahwa keraton yaitu ruang lingkup tempat kediaman

raja. Salah satu keraton yang masih ada di Indonesia adalah Keraton Surakarta

Hadiningrat.4 Keraton Surakarta didirikan oleh Ingkang Sinuhun.

19
Kanjeng Susuhunan Paku Buwana II5 pada Rabu, 17 Februari 1745

sebagai pengganti Keraton Kartasura yang telah hancur karena serangan dari

pemberontak. Sejarah dari tanggal berdirinya Keraton Surakarta diambil dari

kepindahan Keraton Surakarta ke Desa Solo.

Sejarah berdirinya Keraton Surakarta tidak dapat dipisahkan dengan

sejarah Keraton Mataram. Keraton Mataram awal mula berdiri di Kotagede pada

tahun 1585 yang kemudian hancur karena serangan dari Trunojoyo kemudian

dipindahkan di Kartasura pada tahun 1677. Akibat adanya pemberontakan

dilakukan oleh orang-orang Cina berkulit kuning yang menginginkan kedudukan

di Keraton Kartasura.7 Perpindahan keraton dari Kartasura ke Surakarta dilakukan

oleh Paku Buwana II dengan sengkalan: Kombuling Pudya Kapyarsihing Nata

atau 1670 Jawa atau 17 Februari 1745 Masehi.

Paku Buwana II berhasil merebut kembali Keraton Kartasura dari kaum

pemberontak. Akibat dari peristiwa tersebut, Keraton Kartasura dalam keadaan

rusak sehingga membuat Paku Buwana II memindahkan ke Desa Solo dengan

berbagai pertimbangan. Keraton di Desa Solo itu diberi nama

2.1.3 Lokasi

Keraton Kasunan Surakarta terletak di pusat kota Solo, Kelurahan

Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta. Pembangunan keraton

dilakukan dari tahun 1743 hingga 1745. Konstruksi bangunan keraton

menggunakan bahan kayu jati yang diperoleh dari Alas Kethu di dekat kota

Wonogiri

20
2.1.4 Deskripsi Bangunan Keraton Solo

Arsitek keraton ini adalah Pangeran Mangkubumi, kerabat Susuhunan (raja

Solo) yang kelak memberontak dan berhasil mendirikan kesultanan Yogyakarta

dengan gelar Sultan Hamengku Buwana I. Jadi tidak mengherankan jika

bangunan kedua keraton memiliki banyak kesamaan. Setelah pembangunan

selesai, keraton baru yang diberi nama Keraton Surakarta Hadiningrat tersebut

resmi digunakan oleh raja pada tanggal 17 Februari 1745.

Gambar 2.3 Keraton Solo tampak depan

Bila ingin mengunjungi keratin ini, pengunjung harus mematuhi berbagai

peraturan seperti tidak memakai topi, kacamata hitam, celana pendek, sandal,

serta jaket. Bila sudah terlanjut bercelana pendek dapat meminjam kain bawahan

untuk digunakan selama mengelilingi kawasan keraton.

21
Mengunjungi keraton Solo dari arah depan bisa terlihat susunan kota lama

khas Jawa: sebuah bangunan keraton yang dikelilingi oleh alun-alun, Pasar

Klewer, dan Masjid Aung Surakarta. Memasuki bagian depan keraton, terdapat

bangunan Sasana Sumewa dan sebuah meriam berbahan perunggu bernama Kyai

Rancawara. Bangunan ini dulu digunakan sebagai tempat Pasewakan Agung,

yaitu pertemuan antara Raja dan para bawahannya. Di tempat ini pengunjung

masih bisa melihat Dhampar Kencana (singgasana raja) yang terletak di Siti

Hinggil Lor. Pengunjung tidak boleh menaiki area ini sebab tempat itu sangat

dihormati dan dianggap keramat.

Dari Siti Hinggil, pengunjung akan memasuki Kori Renteng, Kori Mangu,

dan Kori Brojonolo. Mereka yang melewati pintu-pintu ini diminta untuk

meneguhkan hati, membuang rasa ragu, dan memantapkan pikiran untuk selalu

waspada. Sesudah itu, pengunjung sampai di pelataran Kamandungan Lor,

kemudian Sri Manganti, dan akhirnya museum keraton bernama Museum Keraton

Surakarta Hadiningrat.

Dalam museum pengunjung dapat menyaksikan benda-benda peninggalan

Keraton Kasunanan Surakarta dan beberapa fragmen candi yang ditemukan di

Jawa Tengah. Koleksinya antara lain alat masak abdi dalem, senjata-senjata kuno

yang digunakan keluarga kerajaan, juga peralatan kesenian. Koleksi menarik lain

adalah kereta kencana, topi kebesaran Paku Buwana VI, Paku Buwana VII, serta

Paku Buwana X.

22
Selanjutnya pengunjung bisa ke Sasana Sewaka yang berada di samping

museum. Pada halaman Sasana Sewaka wisatawan harus melepaskan alas kaki

untuk berjalan di hamparan pasir halus yang diambil dari Gunung Merapi dan

Pantai Parangkusumo. Di sini, pengunjung dilarang mengambil atau membawa

pasir halus tersebut.

Gambar 2.4 Panggung Sanggabuana

Terakhir, ada menara yang disebut Panggung Sanggabuwana. Konon, menara

digunakan oleh Susuhunan untuk bersemedi dan bertemu Nyai Rara Kidul,

penguasa Pantai Selatan. Selain sebagai tempat semedi, menara ini juga berfungsi

sebagai menara pertahanan untuk mengontrol keadaan di sekeliling keraton.

23

Anda mungkin juga menyukai