Anda di halaman 1dari 147

46

Kajian Fiskal Regional Tahunan


(Annual Regional Fiscal Report)
Provinsi Kepulauan Riau
Tahun 2016
Kata Pengantar
Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah, kita panjatkan kepada Allah SWT
atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kita dapat menyelesaikan Kajian
Fiskal Regional Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2016 dengan baik.
Kajian Fiskal Regional diterbitkan oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau berdasarkan Peraturan Direktorat Jenderal
Perbendaharaan Nomor 30/PB/2013 dan Surat Edaran Direktorat Jenderal
Perbendaharaan Nomor SE-43/PB/2014 sebagai sarana untuk membangun komunikasi
dua arah dalam pertukaran data dan informasi baik dengan stakeholders internal
maupun eksternal.
Dengan demikian, diharapkan para pemangku kepentingan dalam hal ini
Pemerintah Daerah, Satuan Kerja Pemerintah Pusat, pelaku usaha, serta akademisi di
lingkup Provinsi Kepulauan Riau dapat memperoleh masukan dalam merumuskan
kebijakan pengembangan ekonomi daerah, sehingga bisa memberikan manfaat untuk
pembangunan daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di masa mendatang.
Adapun beberapa aspek yang menjadi bahasan utama dalam kajian adalah
perkembangan ekonomi regional, perkembangan keuangan pemerintah pusat dan
daerah, keunggulan dan potensi daerah, serta tantangan fiskal yang dihadapi daerah.
Dalam penyusunan Kajian Fiskal Regional Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2016
ini kami banyak memperoleh dukungan dari Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan
Riau, Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kepulauan Riau, dan Seluruh Pemerintah
Daerah Lingkup Provinsi Kepulauan Riau. Oleh karena itu, kami menyampaikan
apresiasi yang sebesar-besarnya kepada semua pihak, semoga kerjasama yang telah
terjalin selama ini dapat lebih ditingkatkan di masa yang akan datang.
Kami menyadari penyusunan Kajian Fiskal Regional ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dalam meningkatkan kualitas
Kajian Fiskal Regional ini agar dapat memberikan manfaat yang optimal, terutama untuk
kemakmuran masyarakat Kepulauan Riau.

Tanjungpinang, 2 Maret 2017


Plh. Kepala Kantor

Taufiq Widyantoro
NIP 197204041997031001

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


i
TIM PENYUSUN
KAJIAN FISKAL REGIONAL
PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN 2016

KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI


KEPULAUAN RIAU

Penanggungjawab:
Kepala Kanwil DItjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau
Didyk Choiroel

Ketua
Kepala Bidang PPA II
Taufiq Widyantoro

Wakil Ketua:
Haryando Anil

Penulis:
Muhamad Ameer Noor
Didi Setyopurwanto

Desain Cover dan Layout:


Dhika Habibi Zakaria

Kontributor:
Jaruli Simanullang
Mas Nursanto
Seti Gautama Adi Nugroho

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


ii
Ringkasan Eksekutif
TUJUAN KAJIAN FISKAL REGIONAL PROVINSI KEPULAUAN RIAU
KFR Kepri disusun untuk memberikan rekomendasi dan feedback atas “KFR memberikan
rekomendasi dan
kebijakan fiskal pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam lingkup Kepri. Dengan feedback atas
kebijakan fiskal.
menggambarkan interaksi antara APBN, APBD, serta kondisi perekonomian dan sosial
Dengan informasi
di lingkup Provinsi Kepulauan Riau, KFR Kepri diharapkan dapat memberikan informasi yang lengkap
diharapkan informed
yang komprehensif dan objektif agar pengambil kebijakan dapat mengambil informed judgement dapat
judgement untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat, khususnya di Kepri. diambil”

PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN DAN PEMBANGUNAN REGIONAL


Dari empat target ekonomi di Kepri tahun 2016, hanya inflasi yang berhasil “Realisasi
pertumbuhan
mencapai target 4±1% dengan realisasi 3,53%. Sementara itu, realisasi pertumbuhan ekonomi, TPT, dan
ekonomi hanya 5,03% dari target RKP 5,8-6,3% dan RPJMD 5,7%. Realisasi tingkat tingkat kemiskinan di
Kepri meleset dari
pengangguran masih 7,69% dari target RKP 4,8% dan RPJMD 6,2%. Realisasi tingkat target”
kemiskinan masih 5,84% dari target RKP 4,6% dan RPJMD 5,53%. Pemda perlu
mempertimbangkan untuk merevisi target RPJMD mengingat deviasi yang cukup tinggi. “Kinerja sektor
dominan yang belum
Perekonomian Kepri memiliki karakteristik yang didominasi sektor industri membaik menjadi
(37,33%) dari free trade zone Batam, sektor konstruksi (17,94%) dari investasi dan penyebab turunnya
performa ekonomi
pembangunan infrastruktur, serta sektor pertambangan (15,28%) dari migas di Natuna Kepri di tahun 2016”
dan Kepulauan Anambas. Performa yang kurang baik tersebut disebabkan oleh
performa sektor industri dan sektor pertambangan yang belum membaik di tengah-
tengah iklim investasi yang kurang kondusif dan gejolak harga migas. Namun demikian,
kesejahteraan masyarakat Kepri jauh di atas rata-rata nasional dengan pendapatan per
kapita lebih dari dua kali lipat dan IPM lebih tinggi 420 basis poin.

PERKEMBANGAN FISKAL REGIONAL


Sepanjang tahun 2016, realisasi penerimaan pemerintah pusat dan daerah di “penerimaan agregat
meningkat didorong
Kepri meningkat 24,89% (YoY) menjadi Rp.18,70 triliun. Peningkatan didorong oleh oleh penerimaan
transfer Pemda.
penerimaan Pemda (+49,29%) karena penguatan desentralisasi fiskal yang
Sementara itu,
meningkatkan penerimaan transfer hingga Rp.2,51 triliun. Sementera itu, penerimaan perubahan struktur
ekonomi menggerus
pusat hanya meningkat 1,61% (YoY) walaupun Tax Amnesty menyumbang Rp.1,03 basis pajak pusat”
triliun, karena basis pajak Kepri tergerus perubahan struktur ekonomi. Untuk itu, otoritas
perpajakan perlu segera menjaring potensi baru dari struktur ekonomi yang berubah.
Di sisi belanja, realisasi tahun 2016 mencapai Rp.15,85 triliun, meningkat 5,31% “belanja agregat
meningkat didorong
(YoY) dan mencapai 88,98% dari target. Dari sisi pemerintah pusat, realisasi menurun oleh Pemda”

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


iii
-4,03% (YoY) menjadi Rp.5,39 triliun karena kebijakan penghematan anggaran di
semester II sebagai antisipasi melesetnya taret penerimaan. Di sisi Pemda, belanja
meningkat 10,86% (YoY), didorong oleh peningkatan kapasitas fiskal pemda.

“Pemerintah perlu Rasio belanja pembangunan manusia dan rasio belanja pendukung sektor
meningkatkan porsi ekonomi unggulan di Kepri relatif masih rendah dibandingkan rata-rata nasional. Selain
belanja infrastruktur
untuk itu, terjadi penurunan porsi belanja modal sebesar 398 basis poin (YoY) menjadi 21,82%
mempertahankan di tahun 2016. Mengingat semakin ketatnya kompetisi wilayah industri di ASEAN,
daya Tarik investasi”
pemerintah perlu memperbaiki pola alokasi belanjanya di Kepri dengan meningkatkan
porsi belanja modal (infrastruktur) untuk mempertahankan daya tarik investasi.
“Tarif, beban Perkembangan negatif ditunjukkan oleh BLU dan BLUD. Dari sisi BLU, BP
operasional, dan
kualitas layanan Batam sebagai satu-satunya BLU di Kepri mengalami penurunan PNBP di tengah-
RSUD perlu tengah wacana kenaikan UWTO. Di sisi BLUD, RSUD lingkup Kepri mencetak laporan
dievaluasi”
laba/rugi negatif. Untuk menghindari terbebaninya APBD dan tidak tercapainya tujuan
peningkatan layanan BLUD, Pemda perlu mengevaluasi kinerja operasional RSUD baik
dari sisi kesesuaian tarif, beban operasional, dan kualitas layanan.
“PDAM Tirta Kepri Penerusan pinjaman tahun 2016 mengarah pada kebijakan penghapusan utang
sebaiknya
memanfaatkan PDAM Tirta Kepri yang diperkirakan menurunkan Debt to Equity Ratio (DER) dan Debt
momentum to Income (DTI) hingga 38.474 dan 8.000 basis poin. Untuk itu, PDAM sebaiknya segera
penghapusan utang
untuk ekspansi” mencari investor untuk melakukan ekspansi usaha mengingat akses air minum baru
mencapai 72% dari target tahun 2019 sebesar 100%.
“Skema KUR sektoral Penyaluran KUR tahun 2016 masih didominasi oleh sektor perdagangan
dengan kuota perlu
segera diselesaikan” (69,98%). Pemerintah pusat sebaiknya segera menyelesaikan skema KUR sektoral
dengan kuota masing-masing untuk mendorong sektor produktif seperti perikanan,
pertanian, pariwisata, dan industri.

SEKTOR DAN SUBSEKTOR UNGGULAN


Dilihat dari analisis overlay (BPS, 2016) dan analisis SWOT, sektor dan
subsektor ekonomi yang potensial untuk dikembangkan di Kepri meliputi:
“Sektor listrik dan 1. Sektor listrik dan gas dengan menggunakan energi surya dan gas. Pemanfaatan
gas dapat
memanfaatkan kedua energi tersebut masih minim dibandingkan batu bara dan minyak bumi.
energy surya di
khatulistiwa dan
a. Tenaga surya: potensi optimal tenaga surya di daerah khatulistiwa dan
cadangan gas yang kelebihan sistem off-gridnya dapat dimanfaatkan untuk listrik wilayah kepulauan.
melimpah”
Untuk pengembangan tenaga surya, pemerintah dapat menggandeng produsen
solar cell untuk memanfaatkan insentif fiskal di FTZ, membuat Perda minimal
alokasi belanja elektrifikasi solar cell dan masterplan sumber energi di Kepri.
b. Gas: Kepri merupakan wilayah dengan cadangan gas terbesar. Untuk
meningkatkan produksi gas dan mencukupi kebutuhan energy di Kepri,

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


iv
sebaiknya momentum perbaikan harga gas dan skema baru (gross split) segera
dimanfaatkan untuk menggaet lebih banyak investor.
2. Sektor konstruksi, khususnya bangunan sipil didorong dengan meningkatkan “Sektor konstruksi
bangunan sipil perlu
belanja modal. Pemda dapat membuat Perda minimal alokasi infrastruktur (Seperti didorong dengan
konsep 20% anggaran pendidikan) dan mengajukan proposal infrastruktur strategis belanja
infrastruktur”
pada BAPPENAS. Fokus pembangunan dapat diarahkan ke infrastruktur FTZ.
3. Subsektor industri (logam dasar dan Information Communication Technology): “Subsektor industi
a. Pemerintah mendesain wilayah industri khusus industri logam dasar dan/atau dapat dikembangkan
dengan membentuk
ICT di wilayah Kepri dalam bentuk KEK atau FTZ (terdapat insentif fiskal). kawasan khusus,
pusat riset, pelatihan
b. Dari sisi riset dan SDM, perlu dikembangkan Technology Center atau pusat riset vokasional, serta
yang didukung oleh akademisi dari universitas serta pemberian latihan kerja sama dengan
leading companies”
vokasional bertema industri logam dasar dan ICT dari dinas tenaga kerja.
c. BKPM/BPMD bersikap proaktif dengan mengajukan proposal kerja sama ke
perusahaan ternama untuk merintis industri dan melatih SDM (Seperti
Investment Promotion Agency Costa Rica yang mengajukan proposal kerja
sama dan berhasil membujuk Intel untuk membangun industri IT di negaranya)
4. Subsektor angkutan laut dapat didukung dengan pembangunan infrastruktur “Subsektorangkutan
laut dapat
pelabuhan yang kompetitif, serta penguatan industri pengolahan dan pariwisata dikembangkan
yang akan menciptakan demand bagi angkutan laut. Selain itu, wilayah kepulauan dengan infrastruktur,
penciptaan demand”
subsidi dan
terpencil perlu diberi subsidi untuk membantu meningkatkan interkonektivitas.
5. Subsektor penyediaan akomodasi dapat didorong dengan promosi yang tepat “Pariwisata dapat
didorong dengan
sasaran (tidak menciptakan opportunity cost dengan provinsi lain), pengembangan kerja sama promosi
jalur laut ke Natuna dan Anambas, serta menggandeng Singapura dan Malaysia dan konservasi”
untuk konservasi wilayah perairan selat malaka yang sebagai jalur perdagangan
internasional tersibuk ke-2 dunia, alamnya rawan tercemar lalu lintas kapal.

TANTANGAN FISKAL REGIONAL


Di lingkup Provinsi Kepulauan Riau, tantangan fiskal dan mitigasinya meliputi:
1. Analisis spasial menunjukkan bahwa pemerintah pusat terus mengalami defisit cash “PencatatanPNBP
SDA perlu diperbaiki
flow di Kepri yang artinya, Kepri yang merupakan salah satu Provinsi kaya di untuk keperluan
Indonesia malah menerima cross-subsidy. Namun demikian, kebijakan saat ini analisis spasial”
mencatatkan PNBP SDA sebagai penerimaan di pusat (Jakarta) kurang fair. Untuk
analisis spasial yang lebih fair, sebaiknya dilakukan perbaikan pencatatan PNBP
SDA (dicatatkan ke masing-masing daerah penghasil).
2. Terdapat indikasi bahwa perkembangan fiskal di Kepri tidak linear dengan “Kualitas belanja
perlu diperbaiki
perkembangan kesejahteraan. Oleh karena itu, pemerintah harus mengevaluasi
kualitas penggunaan anggarannya karena hal tersebut mengindikasikan terjadinya kesejahteraan”
untuk mendorong

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


v
infektifitas. Evaluasi tersebut meliputi tataran perencanaan program dan kegiatan
maupun implementasinya. Evaluasi sebaiknya dilaksanakan segera mengingat
opportunity cost dari penggunaan anggaran yang tidak berkualitas akan terus
terakumulasi dari tahun ke tahun.
“Percepatan 3. Terdapat urgensi percepatan pelaksanaan anggaran untuk mengoptimalkan
pelaksanaan manfaat dari belanja pemerintah yang selama ini menumpuk di akhir tahun.
anggaran dengan
sistem reward and Direktorat Jenderal Perbendaharaan dapat mengusulkan rencana dan realisasi
punishment dan
penyamaan visi pelaksanaan anggaran sebagai IKU pejabat perbendaharaan Satker dan
diperlukan untuk mengkaitkannya langsung dengan Reward and Punishment bagi pejabat
mengoptimalkan
manfaat dari belanja” perbendaharaan. Selain itu, diperlukan penyamaan visi bahwa percepatan
pelaksanan anggaran dapat diartikan sebagai percepatan penyaluran kembali pajak
kepada masyarakat dan percepatan penggunaan dana dari penarikan utang
sehingga memang selayaknya dilaksanakan.
“Penggunaan dana 4. Peningkatan dana desa yang tidak diiringi dengan perbaikan tingkat kemiskinan di
desa untuk BUMDes
dengan spesialisasi desa mengindikasikan perlunya optimalisasi penggunaan dana desa. Konsep One
produk dapat Village One Product dapat menjadi alternatif untuk mengoptimalkan dana desa
mengentaskan
kemiskinan di desa” melalui pembentukan BUMDes. BUMDes dapat diarahkan untuk menjadi supplier
kebutuhan souvenir di daerah wisata, pengelola tempat pelelangan ikan, atau
supplier komponen dan bahan baku industri. Untuk kerja sama dengan pengusaha,
Pemkab dapat bertindak proaktif untuk menjadi mediator antara keduanya.
“Pusat logistik dan 5. Urgensi pembangunan infrastruktur di Provinsi Kepulauan Riau untuk peningkatan
koordinasi yang lebih
intensif diperlukan iklim investasi mengalami kendala supply alat dan bahan konstruksi, serta sengketa
untuk mengatasi
lahan. Untuk mengatasinya diperlukan pembangunan pusat logistik dengan
mempercepat

infrastruktur”
pembangunan memanfaatkan fasilitas Pusat Logistik Berikat (PLB), serta koordinasi yang lebih
intensif antara Satker penanggungjawab pembangunan infrastruktur, Badan
Pertanahan Nasional), dan Pemda.
“Optimalisasi 6. Terdapat risiko fiskal Pemda dari volatilitas harga migas dan ketergantungan akan
penerimaan dan
struktur belanja yang dana transfer. Untuk itu, Pemda perlu mengoptimalisasi sektor-sektor penerimaan
produktif akan yang potensial dan mengoptimalkan struktur belanjanya untuk belanja produktif
menciptakan
ketahanan fiskal” yang akan menciptakan sumber penerimaan baru di masa depan.
“Peningkatan 7. Terjadi paradoks antara peningkatan kapasitas fiskal BP Batam (melalui kenaikan
pungutan BP Batam
UWTO) dengan perkembangan industri di Kepri yang lesu. Untuk itu, BP Batam
perlu disertai
assessment yang perlu membuat Regulatory Impact Assessment yang mengakomodir kondisi
komprehensif dan
ekonomi terkini, menaikkan UWTO secara progresif agar tidak menimbulkan
belanja”
perbaikan struktur
economic shock, serta memperbanyak porsi infrastruktur dalam struktur belanjanya
untuk menjamin dampak positif dari peningkatan kapasitas fiskal lebih besar dari
opportunity cost yang ditimbulkan bagi pengusaha.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


vi
Daftar Isi
KATA PENGANTAR ----------------------------------------------------------------------------I
TIM PENYUSUN ------------------------------------------------------------------------------- II
RINGKASAN EKSEKUTIF ------------------------------------------------------------------- III
DAFTAR ISI ----------------------------------------------------------------------------------- VII
DAFTAR GAMBAR ----------------------------------------------------------------------------- X
DAFTAR TABEL ----------------------------------------------------------------------------- XIII
BABI PENDAHULUAN-------------------------------------------------------------------------- 1
1.1. LATAR BELAKANG --------------------------------------------------------------------------------------------1
1.2. TUJUAN ----------------------------------------------------------------------------------------------------------1
1.3. RUANG LINGKUP ----------------------------------------------------------------------------------------------2
1.4. DATA -------------------------------------------------------------------------------------------------------------2
1.5. METODE PENELITIAN ----------------------------------------------------------------------------------------2
1.6. SISTEMATIKA PENULISAN ----------------------------------------------------------------------------------3
BABII PERKEMBANGAN DAN ANALISIS EKONOMI REGIONAL ---------------------- 5
2.1. INDIKATOR MAKROEKONOMI FUNDAMENTAL -----------------------------------------------------5
2.1.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ----------------------------------------------------------5
2.1.2 Suku Bunga-------------------------------------------------------------------------------------------------9
2.1.3 Inflasi --------------------------------------------------------------------------------------------------------9
2.1.4 Nilai Tukar ------------------------------------------------------------------------------------------------ 10
2.2. INDIKATOR PEMBANGUNAN ---------------------------------------------------------------------------- 11
2.2.1. Indeks Pembangunan Manusia --------------------------------------------------------------------- 11
2.2.2. Kemiskinan ----------------------------------------------------------------------------------------------- 12
2.2.3. Ketimpangan -------------------------------------------------------------------------------------------- 13
2.2.4. Kondisi Ketenagakerjaan ----------------------------------------------------------------------------- 13
BABIIIPERKEMBANGANDANANALISISPELAKSANAANAPBN --------------------------------- 15
3.1. APBN TINGKAT PROVINSI KEPULAUAN RIAU ------------------------------------------------------ 15
3.2. PENDAPATAN PEMERINTAH PUSAT ------------------------------------------------------------------ 16
3.2.1. Penerimaan Perpajakan ------------------------------------------------------------------------------ 16
3.2.2. Penerimaan Negara Bukan Pajak ------------------------------------------------------------------ 18
3.2.3. Pendapatan Hibah ------------------------------------------------------------------------------------- 18
3.2.4. Analisis Sensitivitas Pendapatan Pemerintah Pusat ------------------------------------------ 19
3.3. BELANJA PEMERINTAH PUSAT-------------------------------------------------------------------------- 19
3.3.1. Belanja Pemerintah Pusat Berdasarkan Organisasi ------------------------------------------- 19
3.3.2. Belanja Pemerintah Pusat Berdasarkan Fungsi ------------------------------------------------ 20
3.3.3. Belanja Pemerintah Pusat Berdasarkan Jenis Belanja ---------------------------------------- 21
3.3.4. Analisis Kapasitas dan Efisiensi Fiskal Pemerintah Pusat ------------------------------------ 22
3.3.5. Analisis Belanja Pemerintah Pusat Untuk Pembangunan Manusia ----------------------- 23

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


vii
3.3.6. Analisis Belanja Pemerintah Pusat Pendukung Sektor dan Subsektor Ekonomi
Unggulan ------------------------------------------------------------------------------------------------- 24
3.3.7. Analisis Pengaruh Belanja Pemerintah Pusat Terhadap Indikator Ekonomi ----------- 25
3.4. TRANSFER KE DAERAH ------------------------------------------------------------------------------------ 28
3.5. PENGELOLAAN BADAN LAYANAN UMUM PUSAT ------------------------------------------------ 29
3.5.1. Profil dan Jenis Layanan Satuan Kerja Badan Layanan Umum ----------------------------- 29
3.5.2. Analisis Kemandirian Badan Layanan Umum --------------------------------------------------- 30
3.5.3. Potensi Satker PNBP Menjadi Satker BLU ------------------------------------------------------- 30
3.6. PENGELOLAAN MANAJEMEN INVESTASI ------------------------------------------------------------ 31
3.6.1. Penerusan Pinjaman ---------------------------------------------------------------------------------- 31
3.6.2. Kredit Program ----------------------------------------------------------------------------------------- 32
BABIV PERKEMBANGAN DAN ANALISIS PELAKSANAAN APBD---------------------------- 35
4.1. APBD LINGKUP PROVINSI KEPULAUAN RIAU ------------------------------------------------------ 35
4.2. PENDAPATAN PEMERINTAH DAERAH --------------------------------------------------------------- 36
4.2.1. Penerimaan Pemerintah Daerah Berdasarkan Jenis------------------------------------------ 36
4.2.2. Analisis Kesehatan Penerimaan APBD Agregat ------------------------------------------------ 37
4.2.3. Analisis Sensitivitas Pendapatan Pemda --------------------------------------------------------- 37
4.3. BELANJA PEMERINTAH DAERAH----------------------------------------------------------------------- 38
4.3.1. Belanja Pemerintah Daerah Berdasarkan Urusan --------------------------------------------- 38
4.3.2. Belanja Pemerintah Daerah Berdasarkan Fungsi ---------------------------------------------- 39
4.3.3. Belanja Pemerintah Daerah Berdasarkan Jenis Belanja ------------------------------------- 39
4.4. PENGELOLAAN BADAN LAYANAN UMUM DAERAH --------------------------------------------- 40
4.4.1. Profil dan Jenis Layanan Satuan Kerja Badan Layanan Umum Daerah ------------------ 40
4.4.2. Perkembangan Pengelolaan Aset Badan Layanan Umum Daerah ------------------------ 41
4.4.3. Analisis Legal Badan Layanan Umum Daerah -------------------------------------------------- 41
4.5. PENGELOLAAN INVESTASI DAERAH ------------------------------------------------------------------ 41
4.5.1. Bentuk Investasi Daerah ----------------------------------------------------------------------------- 41
4.5.2. Profil dan Jenis BUMD -------------------------------------------------------------------------------- 42
4.6. DEFISIT DAN PEMBIAYAAN PEMERINTAH DAERAH ---------------------------------------------- 42
4.6.1. Perkembangan Defisit APBD ------------------------------------------------------------------------ 42
4.6.2. Pembiayaan Daerah ----------------------------------------------------------------------------------- 43
4.7. ANALISIS APBD LAINNYA -------------------------------------------------------------------------------- 43
4.7.1. Analisis Horizontal dan Vertikal -------------------------------------------------------------------- 43
4.7.2. Analisis Kesehatan Fiskal Daerah Dengan Ten Point Test ----------------------------------- 46
BABV KEUNGGULAN DAN POTENSI EKONOMI REGIONAL ------------------------- 53
5.1 SEKTOR UNGGULAN DAN POTENSIAL DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU BERDASARKAN
ANALISIS LQ, MRP, DAN SS-EM ------------------------------------------------------------------------ 53
5.2 ANALISIS SWOT KONDISI PROVINSI KEPULAUAN RIAU----------------------------------------- 55
5.1.1 Kekuatan (Strengths) Provinsi Kepulauan Riau ------------------------------------------------ 56
5.1.2 Kelemahan (Weaknesses) Provinsi Kepulauan Riau ------------------------------------------ 59
5.1.3 Peluang (Opportunities) Provinsi Kepulauan Riau --------------------------------------------- 60
5.1.4 Ancaman (Threats) Provinsi Kepulauan Riau --------------------------------------------------- 63

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


viii
5.3 SEKTOR POTENSIAL DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU --------------------------------------------- 64
5.3.1. Sektor Listrik dan Gas --------------------------------------------------------------------------------- 64
5.3.2. Sektor Konstruksi --------------------------------------------------------------------------------------- 66
5.4 SUB SEKTOR POTENSIAL DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU -------------------------------------- 67
5.4.1. Subsektor Industri Logam Dasar (Sektor Industri Pengolahan) ---------------------------- 68
5.4.2. Subsektor Industri Komputer, Barang Elektronik, dan Optik (Sektor Industri
Pengolahan) --------------------------------------------------------------------------------------------- 68
5.4.3. Subsektor Angkutan Laut (Sektor Transportasi dan Pergudangan) ----------------------- 70
5.4.4. Subsektor Penyediaan Akomodasi (Sektor Penyediaan Akomodasi dan Makan
Minum) ---------------------------------------------------------------------------------------------------- 70
5.5 ANOMALI SEKTOR POTENSIAL DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU ----------------------------- 71
BABVI ANALISIS TANTANGAN FISKAL REGIONAL ----------------------------------- 73
6.1. DEFISIT CASH FLOW PEMERINTAH PUSAT DI KEPRI ---------------------------------------------- 73
6.2. LINEARITAS PERKEMBANGAN INDIKATOR KESEJAHTERAAN DARI PERKEMBANGAN
FISKAL REGIONAL ------------------------------------------------------------------------------------------- 76
6.3. URGENSI PERCEPATAN PELAKSANAAN ANGGARAN --------------------------------------------- 79
6.4. OPTIMALISASI MANFAAT DANA DESA --------------------------------------------------------------- 81
6.5. URGENSI PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU ----------- 82
6.6. KETERGANTUNGAN FISKAL PEMDA TERHADAP DANA TRANSFER DAN VOLATILITAS
HARGA MIGAS ----------------------------------------------------------------------------------------------- 87
6.7. PARADOKS PERTUMBUHAN INDUSTRI DI KEPRI DAN PENINGKATAN KAPASITAS
FISKAL BP BATAM ------------------------------------------------------------------------------------------ 91
BABVII PENUTUP ----------------------------------------------------------------------------- 93
7.1 KESIMPULAN ------------------------------------------------------------------------------------------------- 93
7.2 REKOMENDASI ---------------------------------------------------------------------------------------------- 96
DAFTAR PUSTAKA ---------------------------------------------------------------------------- A
DAFTAR ISTILAH ------------------------------------------------------------------------------ E

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


ix
Daftar Gambar
GAMBAR I-1 HUBUNGAN ANTARA EKONOMI DENGAN FISKAL ---------------------------------------- 3
GAMBAR II-1 PERTUMBUHAN PDRB KEPULAUAN RIAU DAN INDONESIA------------------------- 5
GAMBAR II-2 PERKEMBANGAN PDRB PER KAPITA KEPULAUAN RIAU ----------------------------- 8
GAMBAR II-3 PERKEMBANGAN SUKU BUNGA KREDIT ----------------------------------------------------- 9
GAMBAR II-4 PERKEMBANGAN INFLASI (YOY) ----------------------------------------------------------------- 9
GAMBAR II-5 SCATTER PLOT HUBUNGAN INFLASI DAN TINGKAT PENGANGGURAN
TERBUKA (PHILLIPS CURVE) -------------------------------------------------------------------------------------- 10
GAMBAR II-6 PERGERAKAN MATA UANG TIGA MITRA DAGANG TERBESAR KEPRI
TERHADAP RUPIAH TAHUN 2016 ------------------------------------------------------------------------------- 10
GAMBAR II-7 EKSPOR IMPOR KEPRI TAHUN 2016 -------------------------------------------------------------- 11
GAMBAR II-8 HEAD COUNT INDEX OF POVERTY (HCI-P0) ------------------------------------------------ 12
GAMBAR II-9 INDEKS KEPARAHAN KEMISKINAN (P2)----------------------------------------------------- 13
GAMBAR II-10 INDEKS KEDALAMAN KEMISKINAN (P1) -------------------------------------------------- 13
GAMBAR II-11 PERKEMBANGAN GINI RATIO ------------------------------------------------------------------ 13
GAMBAR II-12 PERKEMBANGAN TENAGA KERJA INDUSTRI & INFORMAL --------------------- 14
GAMBAR II-13 SCATTER PLOT HUBUNGAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT
PENGANGGURAN (OKUN’S LAW) ------------------------------------------------------------------------------ 14
GAMBAR III-1 PERKEMBANGAN CAPAIAN PENDAPATAN DAN BELANJA APBN DI
KEPRI ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 16
GAMBAR III-2 PERKEMBANGAN TAX TO GRDP RATIO KEPRI ------------------------------------------- 17
GAMBAR III-3 SCATTER PLOT SENSITIVITAS PENERIMAAN PEMERINTAH PUSAT DI
KEPRI ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 19
GAMBAR III-4 SIKLUS PEREKONOMIAN DAN FISKAL ------------------------------------------------------ 25
GAMBAR III-5 PENGUJIAN EKONOMETRI BELANJA APBN TERHADAP PDRB
KABUPATEN/KOTA LINGKUP KEPRI ------------------------------------------------------------------------ 26
GAMBAR III-6 PENGUJIAN EKONOMETRI BELANJA APBN TERHADAP PENYERAPAN
TENAGA KERJA LINGKUP KEPRI ------------------------------------------------------------------------------ 27
GAMBAR IV-1 PERKEMBANGAN CAPAIAN PENDAPATAN DAN BELANJA APBD DI
KEPRI ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 36
GAMBAR IV-2 SCATTER PLOT SENSITIVITAS PENERIMAAN PEMDA -------------------------------- 37
GAMBAR IV-3 PERKEMBANGAN PORSI REALISASI PENDAPATAN DAN BELANJA APBD DI
KEPRI ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 44
GAMBAR IV-4 INDIKATOR PENDAPATAN DAERAH PER KAPITA DI PROVINSI KEPULAUAN
RIAU------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 47
GAMBAR IV-5 INDIKATOR KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH DI PROVINSI KEPULAUAN
RIAU ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 47
GAMBAR IV-6 INDIKATOR RUANG FISKAL DAERAH DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU ---- 48

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


x
GAMBAR IV-7 INDIKATOR PENINGKATAN PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH DI PROVINSI
KEPULAUAN RIAU------------------------------------------------------------------------------------------------------- 48
GAMBAR IV-8 INDIKATOR KEMAMPUAN MENDANAI BELANJA DAERAH DI PROVINSI KEPULAUAN
RIAU-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 49
GAMBAR IV-9 INDIKATOR BELANJA MODAL DAERAH DI WILAYAH PROVINSI KEPULAUAN
RIAU ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 50
GAMBAR IV-10 INDIKATOR BELANJA PEGAWAI TIDAK LANGSUNG DI PROVINSI
KEPULAUAN RIAU ----------------------------------------------------------------------------------------------------- 50
GAMBAR IV-11 INDIKATOR OPTIMALISASI SILPA DAERAH DI PROVINSI KEPULAUAN
RIAU ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 51
GAMBAR IV-12 INDIKATOR KEMAMPUAN PEMBAYARAN POKOK HUTANG DAN BUNGA
DAERAH DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU------------------------------------------------------------------- 51
GAMBAR IV-13 SKOR KESEHATAN KEUANGAN DAERAH DI PROVINSI
KEPULAUAN RIAU ---------------------------------------------------------------------------------------------------- 52
GAMBAR V-1 MATRIKS SWOT PROVINSI KEPULAUAN RIAU -------------------------------------------- 55
GAMBAR V-2 CADANGAN GAS DI INDONESIA ------------------------------------------------------------------ 57
GAMBAR V-3 POTENSI PERIKANAN DI INDONESIA ----------------------------------------------------------- 57
GAMBAR V-4 POTENSI TENAGA SURYA BERDASARKAN GARIS KHATULISTIWA ------------- 58
GAMBAR V-5 JUMLAH WISMAN DI KEPRI DAN KONTRIBUSI KABUPATEN/KOTA ---------------- 58
GAMBAR V-6 KONEKTIVITAS ANTARWILAYAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU ---------------- 59
GAMBAR V-7 POHON INDUSTRI KAPAL ---------------------------------------------------------------------------- 60
GAMBAR V-8 JALUR PERDAGANGAN SELAT MALAKA ----------------------------------------------------- 61
GAMBAR V-9 PERBANDINGAN PDB/PDRB PER KAPITA SIJORI TAHUN 2013 -------------------- 62
GAMBAR V-10 INDUSTRI PRIORITAS DALAM PP 14/2015 -------------------------------------------------- 62
GAMBAR V-11 TARGET DIVERSIFIKASI SUMBER ENERGI LISTRIK INDONESIA---------------------- 66
GAMBAR V-12 NILAI KONSTRUKSI MENURUT BIDANG DAN PERKEMBANGAN ALOKASI
INFRASTRUKTUR ----------------------------------------------------------------------------------------------------- 66
GAMBAR V-13 INDEKS INFRASTRUKTUR FISIK --------------------------------------------------------------- 67
GAMBAR V-14 PERBANDINGAN EKSPOR/IMPOR ICT TERHADAP TOTAL EKSPOR/IMPOR
INDONESIA --------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 69
GAMBAR V-15 KONTRIBUSI WISMAN BERDASARKAN NEGARA DI PROVINSI KEPULAUAN
RIAU DAN BALI TAHUN 2014 ------------------------------------------------------------------------------------ 71
GAMBAR V-16 REALISASI APBN SUBFUNGSI PERIKANAN DAN PORSINYA TERHADAP
FUNGSI EKONOMI ---------------------------------------------------------------------------------------------------- 72
GAMBAR VI-1 CASH FLOW PEMERINTAH PUSAT DI KEPRI TAHUN 2016 -------------------------- 73
GAMBAR VI-2 PERKEMBANGAN CASH FLOW PEMERINTAH PUSAT DI KEPRI ------------------ 73
GAMBAR VI-3 KONDISI KESEJAHTERAAN DAN FISKAL DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU 76
GAMBAR VI-4 PERBANDINGAN PENINGKATAN/PENURUNAN INDIKATOR
KESEJAHTERAAN DAN FISKAL DI KEPRI ------------------------------------------------------------------ 77

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


xi
GAMBAR VI-5 PENGUJIAN EKONOMETRI FGS TERHADAP EMPLOYMENT ------------------------ 79
GAMBAR VI-6 :POTENSI PENERAPAN PERCEPATAN PELAKSANAAN ANGGARAN
TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI -------------------------------------------------------------------- 80
GAMBAR VI-7 PERKEMBANGAN KONDISI KEMISKINAN DESA DI KEPRI ------------------------- 81
GAMBAR VI-8 PERKEMBANGAN PROPORSI FDI/PMA PER NEGARA YANG MASUK KE
WILAYAH ASEAN ----------------------------------------------------------------------------------------------------- 84
GAMBAR VI-9 SEBARAN ALOKASI BELANJA INFRASTRUKTUR DI PROVINSI KEPULAUAN
RIAU TAUN 2016 ------------------------------------------------------------------------------------------------------- 85
GAMBAR VI-10 SEBARAN ALOKASI BELANJA INFRASTRUKTUR DI PROVINSI
KEPULAUAN RIAU TAUN 2016 ---------------------------------------------------------------------------------- 86
GAMBAR VI-11 PERKEMBANGAN HARGA MINYAK (BRENT) DAN GAS (HENRY HUB)
DUNIA ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 88
GAMBAR VI-12 PERGESERAN STRUKTUR DANA TRANSFER DI KEPULAUAN RIAU --------- 88
GAMBAR VI-13 RASIO DANA TRANSFER TERHADAP PENERIMAAN PEMDA TA 2016 ------- 89
GAMBAR VI-14 15 LOKASI SENTRA KP TERPADU DI PULAU KECIL DAN KAWASAN
PERBATASAN ----------------------------------------------------------------------------------------------------------- 90
GAMBAR VI-15 KINERJA PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA
SEKTOR INDUSTRI --------------------------------------------------------------------------------------------------- 92

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


xii
Daftar Tabel
TABEL II-1 PDRB ADHK MENURUT LAPANGAN USAHA PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN
DASAR 2010 ....................................................................................................................................... 7
TABEL II-2 PERTUMBUHAN PDRB MENURUT PENGGUNAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU
TAHUN DASAR 2010 ........................................................................................................................ 8
TABEL II-3 PERKEMBANGAN IPM PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERIODE TAHUN 2010-
2015.................................................................................................................................................. 11
TABEL II-4 INDIKATOR KETENAGAKERJAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU ............................. 13
TABEL III-1 PERKEMBANGAN PAGU DAN REALISASI APBN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU . 15
TABEL III-2 PERKEMBANGAN PENERIMAAN PERPAJAKAN PEMERINTAH PUSAT DI PROVINSI
KEPULAUAN RIAU ......................................................................................................................... 17
TABEL III-3 PERKEMBANGAN PNBP PEMERINTAH PUSAT DI KEPRI BERDASARKAN
JENIS .............................................................................................................................................. 18
TABEL III-4 PENERIMAAN HIBAH PEMERINTAH PUSAT DI KEPRI BERDASARKAN
SUMBER ........................................................................................................................................ 19
TABEL III-5 PERKEMBANGAN BELANJA APBN, 10 BAGIAN ANGGARAN TERBESAR TA
2014-2016 ........................................................................................................................................ 20
TABEL III-6 PERKEMBANGAN BELANJA APBN DI KEPRI BERDASARKAN FUNGSI ............................ 21
TABEL III-7 PERKEMBANGAN BELANJA APBN DI KEPRI BERDASARKAN JENIS BELANJA . 22
TABEL III-8 INDIKATOR KAPASITAS DAN EFISIENSI BELANJA PEMERINTAH PUSAT TAHUN
2016................................................................................................................................................... 22
TABEL III-9 RASIO BELANJA PEMERINTAH PUSAT UNTUK PEMBANGUNAN MANUSIA ...... 23
TABEL III-10 RASIO BELANJA PEMERINTAH PUSAT PENDUKUNG SEKTOR DAN
SUBSEKTOR EKONOMI UNGGULAN ....................................................................................... 24
TABEL III-11 PERKEMBANGAN DANA PERIMBANGAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU .... 28
TABEL III-12 PROFIL BP BATAM ........................................................................................................... 29
TABEL III-13 KEMANDIRIAN SATKER BLU DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU ........................ 30
TABEL III-14 SATUAN KERJA PNBP YANG BERPOTENSI MENJADI BLU ...................................... 31
TABEL III-15 PROFIL PENERUSAN PINJAMAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU ................... 31
TABEL III-16 SIMULASI DAMPAK PENGHAPUSAN UTANG TERHADAP KEUANGAN PDAM
TIRTA KEPRI ................................................................................................................................. 32
TABEL III-17 PENYALURAN KUR DI KEPRI BERDASARKAN SKEMA DAN BANK ................. 33
TABEL III-18 PENYALURAN KUR DI KEPRI BERDASARKAN WILAYAH
KABUPATEN/KOTA ..................................................................................................................... 34
TABEL III-19 PENYALURAN KUR DI KEPRI BERDASARKAN SEKTOR ..................................... 34
TABEL IV-1 PERKEMBANGAN APBD LINGKUP PROVINSI KEPULAUAN RIAU ...................... 35
TABEL IV-2 PERKEMBANGAN PENDAPATAN PEMDA LINGKUP KEPRI ..................................... 36

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


xiii
TABEL IV-3 INDIKATOR KESEHATAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH DI PROVINSI
KEPULAUAN RIAU ...................................................................................................................... 37
TABEL IV-4 PERKEMBANGAN BELANJA APBD BERDASARKAN JENIS URUSAN ................. 38
TABEL IV-5 PERKEMBANGAN BELANJA APBD BERDASARKAN FUNGSI .............................. 39
TABEL IV-6 PERKEMBANGAN BELANJA APBD BERDASARKAN JENIS BELANJA ................ 40
TABEL IV-7 PROFIL SATUAN KERJA BLUD DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU......................................... 40
TABEL IV-8 PERKEMBANGAN PENGELOLAAN ASET BADAN LAYANAN UMUM
DAERAH ......................................................................................................................................... 41
TABEL IV-9 INVESTASI DAERAH DI KEPRI .................................................................................... 42
TABEL IV-10 BUMD DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU.................................................................. 42
TABEL IV-11 RASIO DEFISIT APBD DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU ...................................... 42
TABEL IV-12 KESEIMBANGAN PRIMER APBD DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU ............................... 43
TABEL IV-13 ANALISIS HORIZONTAL REALISASI APBD KEPRI TA 2016 ................................. 44
TABEL IV-14 ANALISIS VERTIKAL REALISASI PENDAPATAN APBD 2016 DI PROVINSI KEPULAUAN
RIAU................................................................................................................................................. 45
TABEL IV-15 ANALISIS VERTIKAL REALISASI BELANJA APBD 2016 DI PROVINSI KEPULAUAN
RIAU ................................................................................................................................................ 45
TABEL IV-16 REKAPITULASI SKOR KESEHATAN KEUANGAN DAERAH DI PROVINSI KEPULAUAN
RIAU................................................................................................................................................. 51
TABEL V-1 HASIL ANALISIS POTENSI EKONOMI PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN
2009-2015 ........................................................................................................................................ 54
TABEL V-2 PERBANDINGAN KINERJA PELABUHAN TRANSSHIPMENT DI JALUR
PERDAGANGAN SELAT MALAKA TAHUN 2015 ..................................................................... 61
TABEL V-3 WILAYAH SEGITIGA SIJORI/IMS-GT ............................................................................. 61
TABEL V-4 KAPASITAS LISTRIK TERPASANG LINGKUP KEPRI BERDASARKAN JENIS DAN
PENYEDIA ENERGI ....................................................................................................................... 65
TABEL VI-1 ESTIMASI PERKEMBANGAN SURPLUS/DEFISIT RIIL CASH FLOW PEMERINTAH
PUSAT DI KEPRI ............................................................................................................................ 75
TABEL VI-2 SIMULASI PENCIPTAAN LAPANGAN KERJA DARI POLA PROCYLICAL VS
COUNTERCYCLICAL ................................................................................................................... 80
TABEL VI-3 PENGGUNAAN DANA DESA TAHUN 2016 DI KEPRI ............................................... 81
TABEL VI-4 NILAI FOREIGN DIRECT INVESTMENT (FDI) KE NEGARA-NEGARA ASEAN ...... 83
TABEL VI-5 PERKEMBANGAN ALOKASI BELANJA INFRASTRUKTUR PEMERINTAH
PUSAT ............................................................................................................................................. 85

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


xiv
BAB I Pendahuluan
Kajian Fiskal Regional digunakan untuk
menganalisis kondisi perekonomian,
kebijakan fiskal pemerintah, potensi
ekonomi regional dan tantangan fiskal
daerah, serta memberikan rekomendasi
kebijakan atas hasil analisis tersebut.

1.1. LATAR BELAKANG


Berdasarkan amanat UUD 1945, Negara bertanggung jawab mensejahterakan
seluruh warganya. Untuk menuju masyarakat yang sejahtera, pemerintah
melaksanakan kebijakan publik untuk membantu mengoptimalkan pertumbuhan
ekonomi. Kebijakan publik dengan instrumen fiskal (kebijakan fiskal) dilakukan dengan
mempengaruhi penerimaan dan belanja negara. Dengan adanya keberagaman antar
daerah di Indonesia maka kebijakan fiskal akan lebih tepat jika berdasarkan kekhasan
dan potensi daerah masing-masing.
Mengacu pada Perdirjen Perbendaharaan Nomor PER-30/PB/2013 tentang
Pedoman Pembinaan Pelaksanaan Anggaran Daerah oleh Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Perbendaharaan dan Surat Edaran Dirjen Perbendaharaan Nomor SE-
43/PB/2014 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Kajian Fiskal Regional, Kajian Fiskal
Regional (KFR) dibuat untuk memberikan rekomendasi dan feedback atas kebijakan
fiskal pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam lingkup Provinsi Kepulauan Riau.

1.2. TUJUAN
Secara lebih spesifik, tujuan-tujuan yang ingin dicapai dari penyusunan Kajian
Fiskal Regional antara lain:
1. Mendukung pencapaian tujuan makroekonomi seperti pertumbuhan ekonomi,
penciptaan lapangan kerja, pengendalian inflasi, pengentasan kemiskinan,
pemerataan pendapatan, dan pengelolaan fiskal yang berkesinambungan.
2. Mendukung pencapaian fungsi APBN dan APBD terkait alokasi, distribusi, dan
stabilisasi dengan menyediakan analisis, evaluasi, informasi, dan rekomendasi
untuk penyusunan kebijakan fiskal.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


1
3. Agar informasi yang terkandung dalam Kajian Fiskal Regional dapat dimanfaatkan
oleh para pemangku kepentingan seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah,
akademisi, mahasiswa, investor dan masyarakat pada umumnya.

1.3. RUANG LINGKUP


Dalam rangka pencapaian tujuan penyusunan Kajian Fiskal Regional bagi
stakeholders, Kajian Fiskal Regional menggambarkan interaksi antara fiskal dengan
perekonomian di tingkat regional. Oleh karena itu, ruang lingkup pembahasan dalam
Kajian Fiskal Regional meliputi perkembangan ekonomi, perkembangan APBN dan
APBD, keunggulan dan potensi ekonomi, tantangan fiskal, serta kesimpulan dan
rekomendasi atas kondisi tersebut. Dalam Kajian Fiskal Regional ini, fokus pembahasan
adalah pada lingkup Provinsi Kepulauan Riau.

1.4. DATA
Data-data yang digunakan untuk kajian fiskal regional meliputi data
perekonomian, fiskal, dan data lainnya yang relevan. Berdasarkan jenis dan sumbernya,
data tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Data primer dari Kementerian Keuangan dan yang diperoleh secara langsung
melalui wawancara dan pelaksanaan focus group discussion.
2. Data sekunder dari Badan Pusat Statistik, Pemda Lingkup Kepri, Bank Indonesia,
BP Batam, PDAM Tirta Kepri, Bloomberg, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Perhubungan, Department of Statistics Malaysia, Statistics
Singapore, World Bank, Kementerian ESDM, Dewan Energi Nasional, Political and
Economic Risk Consultancy, PLN, Dewan Energi Nasional, ASEAN Secreatariat,
U.S. Energy Information Administration, dan Thompson Reuters.

1.5. METODE PENELITIAN


Penulisan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dalam
menggambarkan interaksi antara fiskal dengan perekonomian di Provinsi Kepulauan Riau.
Metode analisis yang digunakan dalam penulisan Kajian Fiskal Regional antara lain:
1. Analisis data primer (field research), yaitu analisis kuantitatif dan kualitatif dengan
cara melakukan pengumpulan data dan informasi dari internal Kementerian
Keuangan dan stakeholders eksternal.
2. Analisis data sekunder (desk research), yaitu analisis kuantitatif dan kualitatif
menggunakan basis data ataupun informasi yang telah tersedia.
3. Analisis tracking (tracking analysis)/trend analysis dengan penelususan data yang
bersifat umum kepada yang lebih bersifat khusus.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


2
4. Analisis data persentase perkomponen, yaitu suatu teknis analisis yang dilakukan
dengan membandingkan antar suatu pos terhadap totalnya dalam suatu laporan
5. Analisis rasio, yaitu teknis analisis yang dilakukan dengan membandingkan pos
yang satu dengan pos yang lain dalam satu laporan yang sama. Rasio yang
diperoleh kemudian dibandingkan dengan rasio laporan periode yang berlainan.
6. Analisis ekonometrika dengan regresi adalah analisis untuk mengetahui hubungan
ekonomi dengan mengkaitkan data antar variable.
7. Analisis Overlay atas model rasio pertumbuhan (MRP), location quotient (LQ), dan
shift-share modifikasi estaban marquillas adalah analisis untuk mengidentifikasi
sektor dan subsektor ekonomi unggulan yang potensial untuk dikembangkan.
8. Analisis SWOT adalah teknis analisis yang dalam kajian ini digunakan untuk
mengevaluasi kekuatan (Strengths), kelemahan (weaknesses), peluang
(opportunities), dan ancaman (threats) yang dimililiki oleh Provinsi Kepulauan Riau.

1.6. SISTEMATIKA PENULISAN


Kajian ini menggambarkan interaksi antara fiskal dengan ekonomi. Fiskal di
Provinsi Kepulauan Riau merupakan dampak pelaksanaan kebijakan pemerintah baik
pusat maupun daerah yang tentunya direncanakan berdasarkan kondisi makro
ekonominya. Melihat interaksi keduanya, dapat kita lihat potensi ekonomi yang terdapat
di Provinsi Kepulauan Riau dan juga tantangan yang dihadapi pemerintah di daerah
Provinsi Kepulauan Riau itu sendiri.

Gambar I-1 Hubungan antara Ekonomi dengan Fiskal

PEREKONOMIAN REGIONAL

Tantangan Potensi
Fiskal Ekonomi
Daerah Regional

Sumber: 7seasons.wordpress.com (diolah)

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


3
Kajian disajikan dalam tujuh bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan sebagai acuan pelaksanaan kajian. Bab ini berisi mekanisme
penelitian secara berurutan dari latar belakang, tujuan, ruang lingkup, data yang
digunakan, metode penelitian, dan ditutup dengan sistematika penulisan.

Bab II Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional menjelaskan perkembangan


ekonomi terkini Provinsi Kepulauan Riau yang mencakup indikator
makroekonomi fundamental (Produk domestik regional bruto/PDRB, suku
bunga, tingkat inflasi, nilai tukar dan data ekspor impor yang terkait) dan indikator
pembangunan (Indeks pembangunan manusia/IPM atau human development
index/HDI, tingkat kemiskinan, ketimpangan, dan ketenagakerjaan).

Bab III Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBN memaparkan gambaran


fiskal di Provinsi Kepulauan Riau yang bersumber dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN). Gambaran tersebut berupa APBN dalam bentuk I
account, pendapatan dan belanja, transfer ke daerah, pengelolaan Badan
Layanan Umum (BLU), dan pengelolaan manajemen investasi pusat.

Bab IV Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBD memaparkan gambaran


fiskal di Provinsi Kepulauan Riau yang bersumber dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD). Gambaran tersebut berupa APBD dalam bentuk I
account, pendapatan dan belanja, pengelolaan Badan Layanan Umum Daerah
(BLUD), pengelolaan investasi daerah, defisit dan pembiayaan pemerintah
daerah, serta analisis keuangan daerah.

Bab V Keunggulan dan Potensi Ekonomi Regional menggambarkan keunggulan


yang dimiliki Provinsi Kepulauan Riau. Gambaran tersebut dijelaskan
idenftifikasi sektor dan subsektor unggulan yang potensial untuk dikembangkan
dengan menggunakan analisis Overlay atas MRP, LQ, dan SS, serta analisis
Strengths, Weaknesses, Opportunities, dan Threats (SWOT).

Bab VI Analisis Tantangan Fiskal Regional menganalisa tantangan fiskal yang


meliputi defisit cash flow, linearitas perkembangan fiskal dan kesejahteraan,
urgensi percepatan pelaksanaan anggaran, optimalisasi dana desa, urgensi
pembangunan infrastruktur, ketergantungan fiskal pemda terhadap dana
transfer dan volatilitas harga migas, serta paradoks pertumbuhan industri dan
peningkatan kapasitas fiskal BP Batam.

Bab VII Penutup memberikan kesimpulan dan rekomendasi berdasarkan pembahasan


pada bab-bab sebelumnya.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


4
BAB II Perkembangan DAN
ANALISIS Ekonomi Regional
Pencapaian Sasaran Pembangunan RKP dan RPJMD
Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2016
Indikator Ekonomi Capaian Target RKP Target RPJMD
Pertumbuhan
5,03 5,80-6,30 5,70
Ekonomi (%)
Inflasi (%) 3,53 4,00 ± 1 6±1
Pengangguran (%) 7,69 4,80 6,20
Kemiskinan (%) 5,84 4,60 5,53

2.1. INDIKATOR MAKROEKONOMI FUNDAMENTAL

2.1.1. Produk Domestik Gambar II-1 Pertumbuhan PDRB Kepulauan Riau


dan Indonesia (yoy)
Regional Bruto (PDRB)
Pada tahun 2016, Produk
Domestik Regional Bruto Atas
Dasar Harga Konstan (PDRB
ADHK) Provinsi Kepulauan Riau
(Kepri) mencapai Rp.169,92 triliun,
bertumbuh 5,03% dibandingkan
tahun 2015. Pertumbuhan tersebut
menunjukkan bahwa pertumbuhan
ekonomi Provinsi Kepulauan Riau Sumber: BPS (Pusat dan Kepri)

masih lebih baik dibandingkan pertumbuhan nasional (5,02%).


Namun demikian, terdapat tren yang mengkhawatirkan dimana pertumbuhan “Pertumbuhan
Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Kepulauan Riau tahun 2016 mengalami perlambatan ekonomi Kepri masih
melambat di saat
hingga 98 basis poin, perlambatan yang terbesar pada Kepri sejak tahun 2012. Padahal, pertumbuhan
nasional sudah
di saat yang sama, pertumbuhan ekonomi nasional sudah memasuki fase rebound
memasuki fase
dengan percepatan di tahun 2016 sebesar 23 basis poin, sejalan dengan tren rebound”
perekonomian global yang mulai membaik. Sejalan dengan kondisi tersebut, dalam
perbandingan pertumbuhan ekonomi seluruh provinsi di Indonesia, pertumbuhan
Provinsi Kepulauan Riau mengalami penurunan dari urutan 12 di tahun 2015 menjadi
urutan 25 di tahun 2016 (dari 34 Provinsi).

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


5
“Realisasi Dikaitkan dengan target kinerja pemerintah, pertumbuhan 5,03% tersebut juga
pertumbuhan menandakan bahwa target pertumbuhan ekonomi Kepri gagal tercapai. Pemerintah
ekonomi Kepri
melenceng dari Pusat dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2016 menargetkan pertumbuhan
target Pemerintah
Pusat (RKP) maupun
sebesar 5,80 – 6,30% sedangkan Pemerintah Daerah dalam Rencana Pembangunan

Daerah (RPJMD)”
target Pemerintah Jangka Menengah Daerah (RPJMD) menargetkan pertumbuhan sebesar 5,70%.
Dihitung dengan Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB), nilai PDRB Kepri mencapai
Rp.216,58 triliun. Nilai PDRB ADHB tersebut menyumbang 7,77% terhadap PDRB
Pulau Sumatera, sedangkan PDRB Pulau Sumatera sendiri menyumbang 22,03%
terhadap perekonomian Indonesia.

“Perlambatan Kinerja perekonomian Kepri yang kurang baik pada tahun 2016 antara lain
pertumbuhan disebabkan kerentanan Kepri terhadap pengaruh perekonomian global yang baru
ekonomi Kepri
didorong oleh membaik di semester akhir 2016 dan menurunnya iklim investasi di Kepri. Lokasi Kepri
ketergantungan
pada jalur perdagangan internasional mendorong karakteristik sebagian besar industri
terhadap ekonomi

iklim investasi”
global dan penurunan di Kepri menjadi bagian dari supply chain produksi sehingga Kepri lebih rentan terhadap
kondisi perekonomian global dibandingkan Indonesia sendiri. Turunnya iklim investasi
di Kepri antara lain disebabkan oleh tingkat upah yang sempat melonjak hingga 45,51%
di tahun 2013, dualisme otoritas BP Batam dan Pemda, perombakan BP Batam dan
pembentukan KEK Batam yang tertunda, wacana kenaikan tarif Uang Wajib Tahunan
Otorita (UWTO) yang cukup signifikan, serta persaingan penawaran daerah investasi
yang kompetitif dari negara-negara di Asia Tenggara lainnya.

2.1.1.1. PDRB Sisi Penawaran

“Sektor Industri Dilihat dari sisi penawaran, seluruh sektor mengalami pertumbuhan positif di
Pengolahan yang tahun 2016 dengan pertumbuhan tertinggi diraih oleh sektor Perdagangan yang
memiliki porsi
terbesar dalam bertumbuh hingga 9,54% dan pertumbuhan terendah diduduki oleh sektor Industri
perekonomian Kepri Pengolahan (3,36%). Alasan perlambatan pertumbuhan ekonomi Kepri sebagaimana
mencetak
pertumbuhan dikemukakan sebelumnya menjadi penyebab utama rendahnya pertumbuhan sektor

2016”
terlambat di tahun Industri Pengolahan.
Namun demikian, karena porsinya yang besar dalam ekonomi Kepri (37,75%;
PDRB ADHK), sektor Industri Pengolahan tetap menjadi penyumbang tertinggi
pertumbuhan ekonomi. Dari 5,03% pertumbuhan ekonomi yang dicetak Kepri, 129 basis
poin berasal dari pertumbuhan sektor Industri Pengolahan. sektor Pertambangan dan
Penggalian menjadi penyumbang terbesar kedua dengan kontribusi sebesar 98 basis
poin, didorong oleh perbaikan harga komoditas di pasar dunia pada paruh kedua tahun
2016. Di posisi ketiga, sektor konstruksi yang sempat lesu di awal tahun 2016,
mengalami rebound di pertengahan tahun dan menyumbang 77 poin. Sektor
perdagangan yang porsi ekonominya relatif kecil (7,89%; PDRB ADHK) mencetak rekor
yang mengejutkan dengan turut berkontribusi 72 poin.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


6
Tabel II-1 PDRB ADHK Menurut Lapangan Usaha Provinsi Kepulauan Riau Tahun Dasar 2010
Lapangan Usaha Porsi dalam Struktur Ekonomi (%) Pertumbuhan (C to C,%)
2013 2014 2015 2016 2013 2014 2015 2016
1. Pertanian 3,64 3,68 3,67 3,67 4,29 7,56 5,78 5,08
2. Pertambangan dan 16,11 15,90 16,39 16,53 3,26 5,24 9,22 5,96
Penggalian
3. Industri Pengolahan 38,74 38,50 38,36 37,75 8,17 5,95 5,61 3,36
4. Pengadaan Listrik, Gas 0,88 0,91 0,90 0,93 7,24 9,68 5,60 8,75
5. Pengadaan Air 0,13 0,13 0,12 0,12 4,02 2,03 2,85 5,26
6. Konstruksi 17,34 17,74 17,32 17,23 9,98 9,04 3,53 4,47
7. Perdagangan 7,25 7,38 7,57 7,89 9,79 8,51 8,66 9,54
8. Transportasi dan 2,71 2,69 2,68 2,73 7,57 5,97 5,62 6,92
Pergudangan
9. Penyedia Akomodasi 1,94 1,94 1,94 1,94 7,72 6,64 5,63 5,20
10. Informasi dan Komunikasi 2,09 2,10 2,08 2,13 6,45 7,04 5,00 7,40
11. Jasa Keuangan 2,73 2,71 2,63 2,65 6,07 5,79 3,00 5,79
12. Real Estate 1,54 1,53 1,51 1,50 5,67 6,39 4,24 4,40
13. Jasa Perusahaan 0,01 0,01 0,01 0,01 7,36 2,02 2,77 6,18
14. Adm.Pemerintahan, dan 2,21 2,15 2,18 2,22 4,72 4,01 7,50 6,88
Jaminan Sosial
15. Jasa Pendidikan 1,33 1,30 1,30 1,35 3,07 4,27 6,15 8,85
16. Jasa Kesehatan dan 0,91 0,90 0,91 0,90 1,68 4,84 7,15 4,45
Kegiatan Sosial
17. Jasa Lainnya 0,43 0,42 0,43 0,44 0,72 4,16 6,55 8,08
Agregat 100 100 100 100 7,21 6,60 6,01 5,03
Sumber: BPS Kepri (diolah)

Indikasi lesunya sektor Industri Pengolahan di tahun 2016 juga didukung oleh “Sejalan dengan
data penyerapan tenaga kerja sektor Industri Pengolahan Lingkup Kepri dari BPS. rendahnya
pertumbuhan output
Dalam waktu satu tahun, tenaga kerja sektor industri menurun tajam -30,51% dari 207 sektor Industri
Pengolahan, tenaga
ribu menjadi 144 ribu. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat ± 63 ribu tenaga kerja
kerja di sektor
sektor Industri Pengolahan yang kehilangan pekerjaannya pada tahun 2016. Jumlah tersebut mengalami
yang besar tersebut juga merepresentasikan 6,73% dari jumlah angkatan kerja di Kepri signifikan”
penurunan yang

(6,73%). Usaha-usaha stakeholders dalam mengembalikan gairah investasi di Kepri


dan melakukan diversifikasi perekonomian diharapkan dapat mendorong kembali
perekonomian Kepri di tahun 2017 baik dari sektor Industri Pengolahan, maupun sektor-
sektor potensial seperti pariwisata dan perikanan.

2.1.1.2. PDRB Sisi Permintaan


Dari sisi permintaan, tingginya ketergantungan Kepri akan kondisi dari luar “Keunikan kondisi
terlihat dari komponen ekspor, impor baik luar negeri maupun antar wilayah yang sangat ekonomi Kepri
terlihat dari
tinggi. Porsi ekspor luar negeri, impor luar negeri, ekspor antar wilayah, dan impor antar komponen ekspor dan
impor yang nilainya
wilayah di Kepri secara berturut-turut mencapai 89,98%, 75,79%, 74,00%, dan 79,92%.
hampir menyetarai
Walaupun secara net ekspor hanya berporsi 8,27%, nilai ekspor dan impor secara PDRB Kepri sendiri”
terpisah yang hampir setara dengan nilai PDRB kepri tersebut mencerminkan derasnya
arus barang intermediary. Ketika kondisi perekonomian di luar kurang baik, tentu
permintaan barang-barang intermediary tersebut akan menurun dan menciptakan efek

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


7
domino terhadap sektor lainnya. Keunikan karakteristik Kepri tersebut antara lain
disebabkan oleh lokasi Kepri pada pintu gerbang perdagangan internasional,
pemberlakuan Free Trade Zone Batam, Bintan, Karimun (BBK), serta kedekatan
dengan salah satu financial centre terbesar di dunia (Singapura).

Tabel II-2 Pertumbuhan PDRB Menurut Penggunaan Provinsi Kepulauan Riau Tahun Dasar 2010
Pertumbuhan Sumber Distribusi
Sumber Penggunaan/Pengeluaran 2016 (C to C) Pertumbuhan 2016
1. Konsumsi Rumah Tangga 6,82% 2,51 40,15%
2. Konsumsi LNPRT -1,88% -0,00 0,24%
3. Konsumsi Pemerintah 4,82% 0,26 6,69%
4. Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto 2,44% 0,95 44,30%
5. Perubahan Inventori -38,95% -0,18 0,34%
6. Ekspor Barang dan Jasa Luar Negeri 0,03% 0,02 89,98%
7. Impor Barang dan Jasa Luar Negeri -2,76% 1,93 75,79%
8. Ekspor Barang dan Jasa Antar Wilayah 9,11% 74,00%
-0,47
9. Impor Barang dan Jasa Antar Wilayah 10,07% 79,92%
PDRB 5,03% 5,03 100%
Sumber: BPS Kepri (diolah)

“Berbeda dengan Dilihat dari sumber pertumbuhannya, kontributor utama pertumbuhan ekonomi
kondisi ekonomi Kepri di tahun 2016 adalah konsumsi rumah tangga (251 basis poin), penurunan impor
nasional yang
didominasi oleh luar negeri (193 basis poin), dan pembentukan modal tetap bruto (95 basis poin). Dilihat
konsumsi rumah
dari distribusi (dengan menggabungkan ekspor dan impor menjadi net ekspor),
tangga, ekonomi
Kepri lebih banyak perekonomian Kepri masih didominasi oleh investasi (pembentukan modal tetap bruto)
disumbang dari
investasi” dan konsumi (rumah tangga) dengan porsi masing-masing 44,30% dan 40,15%
walaupun pertumbuhan keduanya mengalami perlambatan.
Perekonomian tahun 2017 diharapkan dapat memasuki fase rebound dengan
dorongan dari sisi konsumsi dan investasi. Dari sisi konsumsi, optimisme konsumen
mulai terlihat dari perkiraan Indeks Tendensi Konsumen (ITK) triwulan I 2017 oleh BPS.
ITK meningkat menjadi 105,24 dari 100,86 pada triwulan sebelumnya. Dari sisi
investasi, apabila pemerintah dapat mempercepat perombakan BP Batam dan
pembentukan KEK Batam, maka gairah investasi di Kepri dapat kembali membaik.

2.1.1.3. PDRB Per Kapita Gambar II-2 Perkembangan PDRB Per


Kapita Kepulauan Riau (Jutaan Rupiah)
“Pendapatan PDRB per kapita atau rata-rata
masyarakat Kepri pendapatan penduduk di Kepri pada tahun
lebih besar 2 kali lipat
dibandingkan rata- 2016 meningkat 6,54% menjadi 109,77 juta
rata nasional” rupiah. Dengan nilai lebih dari 2 kali lipat
PDRB per kapita nasional, kemakmuran
penduduk Kepri dari segi ekonomi dapat
*Data Kepri diestimasi dengan data penduduk yang ada
dikatakan jauh di atas rata-rata nasional. Sumber: BPS (Pusat & Kepri)

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


8
Hal tersebut menunjukkan bahwa lokasi Kepri yang strategis, didukung dengan
pemberian insentif fiskal melalui penetapan Free Trade Zone Batam, Bintan, Karimun
(BBK) telah memberikan kelebihan sendiri bagi perkembangan perekonomian Kepri.

Gambar II-3 Perkembangan Suku Bunga Kredit 2.1.2 Suku Bunga


Sepanjang tahun 2016, “Pemangkasan suku
Bank Indonesia (BI) dengan bunga acuan dan
implementasi BI 7RRR
kebijakan moneternya berusaha diharapkan dapat
membantu
untuk mendorong kembali
memberikan stimulus

perekonomian”
perekonomian yang sedang lesu. bagi kondisi
Kebijakan ekspansif tersebut
tercermin dalam BI Rate yang
dipangkas hingga 100 poin menjadi
*) Suku Bunga Bank Umum
Sumber: Bank Indonesia 6,50% per Juli 2016. Untuk
mendorong transmisi kebijakan moneter, BI juga memperkenalkan suku bunga acuan
baru, yakni 7 Day Reverse Repo Rate (BI 7RRR), yang mulai berlaku di bulan agustus.
Sampai dengan akhir tahun 2016, BI kembali melonggarkan kebijakan moneter dengan
memangkas 50 basis poin BI 7RRR dari 5,25% menjadi 4,75%.
Sejalan dengan kebijakan tersebut, pihak perbankan juga sudah mulai
menurunkan suku bunga dengan rata-rata penurunan sebesar 77 basis poin sepanjang
tahun 2016 untuk kredit modal kerja, investasi, dan konsumsi (Bank Umum). Walaupun
tidak sebesar pemangkasan dari BI, penurunan yang terjadi di tengah kenaikan Non
Performing Loans (NPL) dinilai cukup baik.
Pada tahun 2017, konsolidasi kredit macet pada perbankan dan transmisi
kebijakan moneter dari BI semakin menunjukkan hasilnya sehingga dapat membantu
memulihkan pertumbuhan ekonomi.

Gambar II-4 Perkembangan Inflasi (YoY) 2.1.3 Inflasi


Inflasi tahun 2016 di Provinsi “Inflasi di Kepri
Kepulauan Riau tercatat sebesar tercatat lebih tinggi
dibandingkan
3,53% dengan kontribusi 86% nasional
namun
masih dalam batas
target inflasi 4 ± 1%”
berasal dari Kota Batam (inflasi
3,61%) dan 14% dari Kota
Tanjungpinang (inflasi 3,06%).
Angka tersebut lebih tinggi 51 basis
poin dari nasional (3,02%), namun
Sumber: BPS (Pusat & Kepri)
masih sesuai dengan target inflasi

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


9
pemerintah, yakni 4±1%. Pencapaian inflasi di Kepri juga jauh lebih baik dibandingkan
inflasi tahun 2014 dan tahun 2015 yang masing-masing tercatat 7,59% dan 4,40%.

“Inflasi komponen Dilihat dari kelompok pengeluarannya, inflasi terbesar di Kepri terjadi pada
tembakau yang tinggi kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan, serta kelompok makanan jadi,

cukai”
didorong kenaikan
minuman, rokok, dan tembakau dengan kenaikan masing-masing 5,09% dan 4,56%.
Pada kelompok pertama, inflasi didorong oleh komponen transportasi yang meningkat
hingga 5,95%. Pada kelompok kedua, inflasi didorong oleh komponen tembakau dan
minuman beralkohol yang melonjak hingga 11,09% akibat kenaikan cukai.

“Phillips Curve Dikaitkan dengan teori ekonom, Gambar II-5 Scatter Plot Hubungan Inflasi dan Tingkat
dengan data Kepri A.W. Phillips, yang menjelaskan Pengangguran Terbuka (Phillips Curve)
mengindikasikan
terjadinya trade-off mengenai hubungan terbalik antara 20%
inflasi dengan
pengangguran”
tingkat pengangguran dan inflasi dalam 15% y = -0,35x + 0,0754
Phillips Curve, data perbandingan 10%
TPT

hubungan kedua indikator tersebut di 5%


Kepri memiliki tren yang cukup linear 0%
5% 6% 7% 8%
sebagaimana tercermin pada kurva di Inflasi
samping. Sehingga, dapat disimpulkan Sumber: BPS Kepri (diolah)

bahwa penurunan inflasi di Kepri terindikasi menghasilkan trade-off dengan


peningkatan tingkat pengangguran. Adapun koefisien -0,35 mengindikasikan bahwa
setiap peningkatan inflasi sebesar 1%, TPT akan menurun 0,35% dan sebaliknya.
Gambar II-6 Pergerakan Mata Uang Tiga Mitra Dagang Terbesar Kepri
2.1.4 Nilai Tukar terhadap Rupiah Tahun 2016

“Singapura, China, Singapura, China, Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
dan Malaysia dan Malaysia merupakan Rp11.000 Rp3.500
merupakan mitra
dagang terbesar mitra dagang terbesar
Rp10.500 Rp3.000
mencapai 56,78%”
Kepri dengan porsi
Provinsi Kepulauan Riau
Rp10.000 Rp2.500
dengan gabungan porsi
ketiganya mencapai Rp9.500 Rp2.000
56,78% dari total nilai
Rp9.000 Rp1.500
perdagangan di Kepri. Nilai SGD (LHS) MYR (RHS)
CNY (RHS) Linear (SGD (LHS))
tukar rupiah terhadap Linear (MYR (RHS)) Linear (CNY (RHS))
ketiga mata uang dari Sumber: Bank Indonesia (diolah)
negara tersebut cenderung menguat pada tahun 2016, sebagaimana tercermin dari
garis tren linear masing-masing mata uang yang menurun pada grafik dibawah.
“IDR menguat Sepanjang tahun 2016 nilai tukar Rupiah Indonesia (IDR) terhadap Dollar
terhadap SGD, CNY, Singapura (SGD), Ringgit Malaysia (MYR), dan Renminbi China (CNY) terapresiasi
dan MYR sepanjang
2016 masing-masing 4,71%, 6,78% dan 9,37%. Hal tersebut menunjukkan bahwa di tengah-

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


10
tengah gejolak dari terpilihnya Donal Trump sebagai Presiden AS dan wacana kenaikan
Federal Fund Rate, performa perekonomian Indonesia di mata investor lebih baik
dibandingkan dengan negara lain. Selain itu, penguatan terhadap Renminbi juga
dipengaruhi kebijakan devaluasi mata uang Bank Sentral China pada tahun 2016
Pelemahan mata uang akan menstimulus ekspor dan menurunkan impor
sehingga mengurangi defisit perdagangan (meningkatkan surplus), menguatnya mata
uang akan menekan ekspor dan merangsang impor yang kemudian diikuti nilai mata
uang akan bergerak kembali sebagai penyesuaian. Hal tersebut merupakan gambaran
umum korelasi antara perdagangan antar negara dan nilai tukar.
Data ekspor impor Kepri tahun
Gambar II-7 Ekspor Impor Kepri Tahun 2016 “Net ekspor Kepri
2016 menunjukkan bahwa terhadap Singapura
935,96 Dalam Jutaan USD beresiko menurun
perdagangan dengan Singapura China 477,81 sedangkan defisit
Impor
ekspor Kepri
menghasilkan surplus sebesar 2.295,26 Ekspor
581,46 terhadap China dan
Malaysia 397,29
juta USD, sedangkan perdagangan Malysia berpotensi
menipis”
dengan Malaysia dan China 2.916,1
Singapura
menimbulkan defisit, masing-masing 2 5.210,38

sebesar 184,17 dan 458,15 juta USD. - 2.000 4.000 6.000


Dikaitkan dengan korelasi antara Sumber: BPS Kepri (diolah)
perdagangan lintas negara dan nilai tukar, penguatan terhadap SGD beresiko
menurunkan net ekspor yang dihasilkan sedangkan penguatan terhadap MYR dan CNY
berpotensi memperkecil defisit perdagangan pada periode berikutnya.

2.2. INDIKATOR PEMBANGUNAN

2.2.1. Indeks Pembangunan Manusia

Tabel II-3 Perkembangan IPM Provinsi Kepulauan Riau Periode Tahun 2010-2015
Indeks Pembangunan Manusia Pertumbuhan
Wilayah
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2014-2015 2010-2015
Kabupaten Bintan 69,87 70,47 71,01 71,31 71,65 71,92 0,38% 2,93%
Kabupaten Karimun 66,40 66,82 67,67 68,52 68,72 69,21 0,71% 4,23%
Kabupaten Natuna 66,29 67,76 68,80 70,06 70,06 70,87 1,16% 6,91%
Kabupaten Lingga 57,36 58,51 59,38 60,13 60,75 61,28 0,87% 6,83%
Kabupaten Kepulauan Anambas 63,03 63,71 64,32 64,86 65,12 65,86 1,14% 4,49%
Kota Batam 76,98 77,82 78,39 78,65 79,13 79,34 0,27% 3,07%
Kota Tanjungpinang 73,76 74,86 75,91 76,70 77,29 77,57 0,36% 5,17%
Provinsi Kepulauan Riau 71,13 71,61 72,36 73,02 73,40 73,75 0,48% 3,68%
Indonesia 66,53 67,09 67,70 68,31 68,90 69,55 0,94% 4,54%
Sumber: BPS Kepri
Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terakhir (tahun 2015)
menunjukkan bahwa , terdapat 3 Kabupaten/Kota yang memiliki IPM di bawah Nasional
yakni Kabupaten Karimun, Kabupaten Lingga, dan Kabupaten Kepulauan Anambas.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


11
Dari ketiga Kabupaten tersebut, Lingga memiliki IPM terendah (61,28) sedangkan
Karimun (69,21) hanya terpaut 34 basis poin dibandingkan dengan nasional (69,55).
Kabupaten Natuna menunjukkan pertumbuhan IPM tertinggi (6,91%) selama
periode tahun 2010 sampai 2015. Dari pertumbuhan yang tinggi tersebut, IPM Natuna
yang masih 24 basis poin di bawah IPM Nasional pada tahun 2010, Berhasil menungguli
IPM Nasional hingga 132 basis poin pada tahun 2015.

“IPM Kepri menduduki Kepri dengan IPM sebesar 73,75 merupakan Provinsi dengan IPM ke-empat
peringkat 4 Nasional” tertinggi di Indonesia, dua peringkat di atas Riau, induk daerah sebelum pemekaran,

dengan IPM 70,84. Hal tersebut mengindikasikan keberhasilan percepatan


pembangunan di Kepri, khususnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
Gambar II-8 Head Count Index of Poverty (HCI-P0) Provinsi
2.2.2. Kemiskinan 13%
“HCI-P0 Kepri relatif Persentase penduduk
10%
baik namun meleset miskin atau head count index of
dari target RPJMD” 7%
poverty (HCI-P0) di Kepri per
September 2016 sebesar 5,84%, 4%

Sep-14
Mar-15
Sep-15
Mar-11
Sep-11
Mar-12
Sep-12
Mar-13
Sep-13
Mar-14

Mar-16
Sep-16
menurun 14 basis poin
Perkotaan Perdesaan
dibandingkan Maret 2016. Kep.Riau Nasional
Penurunan tersebut menguatkan Sumber: BPS (Pusat & Kepri)

tren HCI-P0 di Kepri yang telah menurun 156 basis poin sejak Maret 2011. Di tingkat
nasional, HCI-P0 mendapat ranking 7 dari 34 provinsi. Bahkan, persentase di Kepri lebih
rendah 486 basis poin dibandingkan angka Nasional (10,70%).
Namun demikian, pencapaian tersebut masih terpaut 31 basis poin dari target
pada RPJMD (5,53%). Hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah harus berkerja
lebih keras untuk dapat mencapai target tahun 2017 (5,28%).
Berdasarkan pembagian wilayahnya, Perdesaan di Kepri terus mengalami
peningkatan persentase penduduk miskin dari tahun ke tahun di saat persentase
penduduk miskin di Perkotaan terus menurun. Meningkatnya kemiskinan di perdesaan
tersebut menunjukkan bahwa peningkatan Dana Desa hingga 124,46% di tahun 2016
masih harus dioptimalkan kembali untuk pemberdayaan perekonomian masyarakat.

“Rokok menjadi Dilihat dari komponen penyumbang kemiskinan di Perdesaan, Rokok menjadi
kontributor utama kontributor utama dengan porsi 19,73% terhadap garis kemiskinan. Hal ini bertepatan
garis kemiskinan di
perdesaan” dengan kebijakan peningkatan cukai rokok yang terjadi di tahun 2016. Untuk mencegah
permasalahan lebih lanjut, baik dari segi ekonomi maupun kesehatan masyarakat, unit-
unit pemerintah terkait harus menggiatkan sosialisasi anti rokok di perdesaaan.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


12
Gambar II-10 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Gambar II-9 Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
2,2 0,6
1,6 0,4
1,0 0,2
0,4 0,0

Mar-11

Mar-12

Mar-13

Mar-14

Mar-15

Mar-16
Sep-14
Sep-11

Sep-12

Sep-13

Sep-15

Sep-16
Mar-14
Mar-11

Mar-12

Mar-13

Mar-15

Mar-16
Sep-11

Sep-12

Sep-13

Sep-14

Sep-15

Sep-16
Perkotaan Perdesaan Kep.Riau Nasional
Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau

Dilihat dari Indeks P1 dan P2, kondisi kemiskinan di Kepri juga lebih baik “Kedalaman
dibandingkan nasional. Per September 2016, P1 Kepri sebesar 0,890 saat P1 nasional kemiskinan dan
keparahan
sebesar 1,740, sedangkan P2 Kepri sebesar 0,147 saat P2 nasional sebesar 0,440. kemiskinan di Kepri
Selisih antara P1 Kepri dan P1 Nasional menunjukkan bahwa jarak antara relatif rendah”
pengeluaran penduduk miskin dan garis kemiskinan di Kepri relatif lebih dekat,
sedangkan selisih P2 menunjukkan bahwa ketimpangan pengeluaran antar penduduk
miskin di Kepri relatif lebih tipis. Dengan kondisi tersebut strategi penanggulangan
kemiskinan di Kepri dapat difokuskan pada pemerataan kue ekonomi untuk daerah
miskin karena penduduk miskinnya sendiri sudah hampir keluar dari jurang kemiskinan.

Gambar II-11 Perkembangan Gini Ratio


2.2.3. Ketimpangan
0,5
Koefisien gini (gini ratio) di
0,4
Kepulauan Riau meningkat 2,94% per
0,3
Maret 2016. Pada periode yang sama,
0,2
koefisien gini nasional berhasil Mar-13 Sep-13 Mar-14 Sep-14 Mar-15 Sep-15 Mar-16
diturunkan -1,24%. Namun demikian, gini Perkotaan Perdesaan
Kep.Riau Nasional
ratio Kepri (0,350) masih di kategori Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau
sedang, sedangkan gini ratio Nasional (0,397) sudah mendekati kategori tinggi, “Gini ratio Kepri
sehingga menunjukkan bahwa kesenjangan pendapatan di Kepri masih lebih baik. sudah mencapai
target RPJMD,
Dikaitkan dengan RPJMD, gini ratio Kepri sudah melewati target baik tahun 2016 (0,40), bahkan hingga akhir
periode target (tahun
maupun akhir periode RPJMD (0,36). Untuk itu, ke depannya pemerintah perlu menjaga 2021)”
agar pertumbuhan ekonomi Kepri tetap merata agar gini ratio tetap terjaga.

2.2.4. Kondisi Ketenagakerjaan


Perkembangan penyerapan tenaga kerja (TK) di Kepri menunjukkan tren yang “TPT dalam tren
memburuk dimana Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), meningkat 243 basis poin menurun walaupun
sedikit membaik
dari Februari 2014 menjadi 7,69% pada Agustus 2016. Perkembangan tersebut juga dalam 1 semester
terakhir)
menyebabkan TPT Kepri yang sebelumnya lebih baik, menjadi lebih buruk
dibandingkan TPT Nasional sejak Agustus 2014.

Tabel II-4 Indikator Ketenagakerjaan Provinsi Kepulauan Riau

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


13
Indikator 02/2014 08/2014 02/2015 08/2015 02/2016 08/2016
Angkatan Kerja Kepri (jiwa) 892.035 878.415 895.443 891.988 912.904 931.435
TPAK Kepri (%) 67,83% 65,95% 66,16% 65,07% 65,58% 65,93%
TPT Kepri (%) 5,26% 6,69% 9,05% 6,20% 9,03% 7,69%
TPT Nasional (%) 5,70% 5,94% 5,81% 6,18% 5,50% 5,61%
Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau

“Tenaga kerja sektor Gambar II-12 Perkembangan Tenaga Kerja Industri Memburuknya TPT di Kepri
industri yang & Informal (dalam ribuan orang) disebabkan oleh buruknya kinerja sektor
merupakan 350
Kontributor utama Industri Informal Industri akibat tingkat upah yang sempat
ekonomi Kepri 300 Expon.(Industri) Expon.(Informal) melonjak 45,51% tahun 2013, dualisme
menurun dan mulai
terserap oleh sektor 250 otoritas BP Batam dan Pemda,
informal”
200 pembentukan KEK Batam yang tertunda,
150 wacana kenaikan UWTO, serta kompetisi

100 daerah investasi dari negara tetangga.


Feb-15 Aug-15 Feb-16 Aug-16 Dampaknya tercermin dari penurunan TK
Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau sektor industri hingga 63 ribu orang -atau
30,51% dalam satu tahun terakhir. Di saat yang sama, TK sektor informal, yang
diperkirakan menjadi penyerap excess tenaga kerja meningkat hingga 23,63%.

“Target TPT dalam Capaian TPT tahun 2016 Gambar II-13 Scatter Plot Hubungan Pertumbuhan
RPJMD meleset. meleset 119 basis poin dari target Ekonomi dan Tingkat Pengangguran (Okun’s Law)
Pemerintah perlu
meningkatkan 6,50% pada RPJMD. Hal ini terjadi 8%
Δ Perubahan Pertumbuhan

pertumbuhan untuk
bersamaan dengan melambatnya y = -0,5917x + 0,0017
mencapai target TPT 6%
di tahun-tahun pertumbuhan perekonomian Kepri.
berikutnya”
Ekonomi YoY

4%
Arthur Melvin Okun dalam
Okun’s Law atau Okun’s Rule of Thumb 2%

mempelajari bahwa terdapat hubungan 0%


negatif antara pertumbuhan ekonomi -2%
dengan tingkat pengangguran. Ketika -3% -1% 1% 3%
Δ Perubahan TPT
tingkat pengangguran meningkat,
Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau (Diolah)
pertumbuhan ekonomi melambat. IMF
(2014) dalam “Do Forecasters Believe in Okun’s Law? An Assessment of
Unemployment and Output Forecasts” menyimpulkan hal yang sama dengan
membandingkan data perubahan pertumbuhan ekonomi dengan perubahan tingkat
pengangguran. Data di Kepri sendiri menunjukkan hal yang serupa sebagaimana
tercermin dari garis linear dan koefisien -0,5917 pada grafik di atas. Koefisien tersebut
mengindikasikan bahwa setiap penurunan TPT sebesar 1%, akan terjadi percepatan
pertumbuhan ekonomi sebesar 0,5917%. Sebaliknya, ketika TPT meningkat 1%,
pertumbuhan ekonomi akan melambat 0,5917%.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


14
BAB III Perkembangan DAN
ANALISIS Pelaksanaan APBN
Pendapatan pemerintah pusat hanya mampu meningkat
1,61% di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi,
penurunan iklim investasi Kepri, penurunan harga
komoditas, dan ketidakstabilan perekonomian global.
Di sisi lain, belanja pemerintah pusat menurun -4,03% akibat
penghematan anggaran. Namun demikian, pengeluaran
total meningkat 16,48% akibat penguatan desentralisasi
fiskal yang mendorong peningkatan dana transfer.

3.1. APBN TINGKAT PROVINSI KEPULAUAN RIAU


Dalam rangka memajukan kesejahteraan umum Indonesia, Pemerintah Pusat
merancang rencana pembangunan nasional baik dalam jangka panjang (Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional/RPJPN), jangka menengah (Rencana
Pembangunan Jangka Mengenah Nasional/RPJMN), maupun jangka pendek (Rencana
Kerja Pemerintah/RKP). Untuk merealisasikan rencana tersebut, pemerintah
menuangkan program dan kegiatan yang akan diselenggarakan ke dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahunan. APBN memuat alokasi belanja yang
diperlukan untuk melaksanakan program berikut sumber pendapatan dan pembiayaan
yang akan digunakan. Oleh karena itu, realisasi APBN merupakan proxy kinerja
Pemerintah Pusat dalam melaksanakan pembangunan.
Secara umum, nominal alokasi dan realisasi APBN di Kepri dalam tren ”Alokasi dan realisasi
meningkat pada periode tahun 2014-2016. Namun demikian, peningkatan realisasi APBN di Kepri dalam
tren meningkat”
belanja jauh melebihi realisasi pendapatan sehingga defisit anggaran juga meningkat.

Tabel III-1 Perkembangan Pagu dan Realisasi APBN di Provinsi Kepulauan Riau (dalam miliaran Rupiah)
2014 2015 2016
Uraian
Pagu Realisasi Pagu Realisasi Pagu Realisasi
A.Pendapatan 7.323,12 7.673,22 9.631,50 7.663,84 9.864,58 7.787,57
Penerimaan Pajak 6.206,10 6.528,07 8.328,22 6.259,21 8.637,51 6.386,29
Penerimaan Negara Bukan
1.084,35 1.114,61 1.067,37 1.278,22 1.171,21 1.376,66
Pajak (PNBP)
Hibah 32,67 30,54 235,91 126,41 55,86 24,62
B.Belanja Negara 12.861,33 11.603,44 12.375,65 11.540,25 14.543,04 13.442,23
Belanja Pemerintah Pusat 4.724,99 4.196,08 6.482,28 5.612,25 6.287,49 5.385,82
Transfer ke Daerah 8.136,34 7.407,36 5.893,37 5.928,00 8.255,55 8.056,41
C.Surplus (Defisit) (A-B) (5.538,21) (3.930,22) (2.744,15) (3.876,41) (4.678,46) (5.654,66)
Sumber: Monev PA dan OM SPAN DJPBN, DJP, dan DJBC Kemenkeu (diolah)

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


15
“Peningkatan target Dilihat dari persentase pencapaiannya, Gambar III-1 Perkembangan Capaian
dan kondisi
perekonomian realisasi pendapatan menurun drastis dari Pendapatan dan Belanja APBN di Kepri
menyebabkan 104,78% di tahun 2014 menjadi 78,94% di tahun
pencapaian
pendapatan anjlok 2016. Tingginya peningkatan target disertai kondisi
2.584 poin”

104,78%
perekonomian yang kurang mendukung menjadi

79,75%

90,22%
78,94%

93,25%

92,43%
penyebab utama penurunan tersebut.

“Penghematan Di sisi lain, persentase realisasi belanja


anggaran sedikit menurun (82 basis poin) dibandingkan
menyebabkan

2014 - Pendapatan
persentase realisasi tahun 2015 walaupun realisasi anggaran dan

2015 - Pendapatan

2016 - Pendapatan

2014 - Belanja

2015 - Belanja
menurun”

2016 - Belanja
belanja sedikit
lelang proyek di awal tahun 2016 sudah berjalan
baik. Hal tersebut disebabkan oleh adanya
penghematan anggaran belanja pada semester II
2016 sebagai antisipasi terhadap realisasi
Sumber: Monev PA dan OM SPAN DJPBN, DJP,
pendapatan yang diperkirakan meleset. dan DJBC Kemenkeu (diolah);

3.2. PENDAPATAN PEMERINTAH PUSAT


Pendapatan pemerintah pusat di Kepri Tahun 2016 hanya mampu meningkat
tipis (1,61%) dibandingkan tahun sebelumnya menjadi Rp.7,79 triliun, walaupun telah
didorong dengan program Tax Amnesty yang dijalankan sepanjang semester II 2016.
Penerimaan perpajakan masih menjadi kontributor utama dengan porsi 82,01%
terhadap pendapatan agregat.

“Tingginya Fenomena penerimaan pemerintah pusat yang stagnan walaupun


pertumbuhan perekonomian Kepri masih bertumbuh tinggi (5,03%) disebabkan oleh adanya
ekonomi di Kepri yang
tidak disertai dengan perubahan struktur ekonomi Kepri. Perubahan struktur ekonomi tersebut tercermin dari
peningkatan
stagnasi di kontributor utama ekonomi Kepri (industri, konstruksi, dan pertambangan)
pendapatan
pemerintah dan digantikan oleh pertumbuhan di sektor lainnya. Stagnasi di sektor ekonomi andalan
disebabkan oleh
adanya perubahan telah menggerus basis pajak yang ada. Di sisi lain, sektor ekonomi yang baru meningkat
struktur ekonomi” tidak dapat langsung menggantikan basis pajak yang hilang, khususnya ketika
peningkatan tersebut direpresentasikan oleh pelaku usaha baru yang belum terdata
atau masih mendapatkan grace period. Dalam konteks perekonomian Kepri, porsi
sektor informal, yang pada dasarnya sulit dijadikan basis pajak, juga meningkat tinggi.

3.2.1. Penerimaan Perpajakan


“Penerimaan Pada tahun 2016 penerimaan perpajakan pemerintah pusat di Kepri mencapai
Perpajakan Tahun
Rp.6,39 triliun Rupiah, meningkat tipis (2,03%) dari periode tahun sebelumnya. Berdasarkan
2016 meningkat
2,03% didorong oleh jenis pajaknya, Pajak Dalam Negeri menjadi kontributor positif dengan pertumbuhan

dan PBB”
peningkatan PPh,PPN,
2,34% dengan Pajak Penghasilan (PPh) yang meningkat Rp.167,40 miliar menjadi

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


16
komponen pendorong utamanya. Di sisi lain, Pajak Perdagangan Internasional (PPI)
menjadi kontributor negatif karena anjlok -10,82%. Penurunan PPI sejalan dengan nilai
ekspor kepri yang turun -9,59% ke angka 10,80 miliar US$ dan nilai impor yang juga
turun -8,72% menjadi 7,72 miliar US$ dibandingkan tahun sebelumnya di tengah-tengah
kondisi perekonomian global yang baru memasuki fase konsolidasi di akhir tahun.

Tabel III-2 Perkembangan Penerimaan Perpajakan Pemerintah Pusat di Provinsi Kepulauan Riau
(dalam miliaran Rupiah)
2014 2015 2016*
Jenis Pendapatan
Target Realisasi % Target Realisasi % Target Realisasi %
Pendapatan Pajak Dalam Negeri 5.108,21 5.497,34 107,62 7.860,46 5.900,01 75,06 8.271,14 6.037,90 73,00
Pajak Penghasilan (PPh) 4.304,78 4.652,33 108,07 6.627,69 5.079,42 76,64 6.898,52 5.246,81 76,06
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 748,55 763,41 101,99 1.088,50 710,77 65,30 1.190,41 741,95 62,33
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 2,49 29,20 1173,68 28,67 24,41 85,16 23,75 26,40 111,17
Cukai 5,08 5,97 117,42 19,43 22,53 115,94 7,23 11,34 156,87
Pajak Lainnya 47,31 46,43 98,14 96,17 62,88 65,39 151,23 11,39 7,53
Pendapatan Pajak
1.097,89 1.030,73 93,88 467,76 359,21 76,79 366,37 348,39 95,09
Perdagangan Internasional
Bea Masuk 651,83 660,34 101,30 467,72 359,17 76,79 365,80 346,74 94,79
Bea Keluar 446,05 370,39 83,04 0,03 0,03 96,19 0,57 1,65 291,88
Total Penerimaan Perpajakan 6.206,10 6.528,07 105,19% 8.328,22 6.259,21 75,16% 8.637,51 6.386,29 73,94%
Sumber: OM SPAN DJPBN, DJP, dan DJBC Kemenkeu (diolah)

Dilihat dari kinerja perpajakan, tax ratio atau rasio penerimaan perpajakan “Tax Ratio Kepri jauh
pemerintah pusat terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Provinsi di bawah rata-rata
nasional karena
Kepulauan Riau memang berada jauh di bawah tax ratio nasional sebesar ±11%. adanya
pemberlakuan Free
Trade Zone”
Rendahnya tax ratio di Provinsi Kepulauan Riau disebabkan oleh pemberian insentif
fiskal berupa pembebasan pajak, khususnya di area Free Trade Zone Batam.
Namun demikian, tax ratio penerimaan perpajakan di Provinsi Kepulauan Riau “Tax Ratio Kepri terus
juga terus mengalami penurunan. Pada tahun 2015 tax ratio penerimaan perpajakan menurun dengan
penurunan tertinggi
turun 47 basis poin dari 3,61% Gambar III-2 Perkembangan Tax to GRDP Ratio Kepri
komponen PPI”
terjadi pada
di tahun 2014. Di tahun 2016, 4%
rasio pajak kembali turun 19
basis poin menjadi 2,95%. 3%
Berdasarkan jenis
pajaknya, Pajak Perdagangan 2%
Internasional (PPI) mengalami
penurunan tax ratio terbesar
1%
selama periode tahun 2014-
2016 (41 basis poin). Hal
0%
tersebut juga sejalan dengan 2014 2015 2016
nominal peneriman PPI yang Total 3,61% 3,14% 2,95%
PPh 2,57% 2,55% 2,42%
anjlok. Pada periode yang
PPN 0,42% 0,36% 0,34%
sama, Pajak Penghasilan (PPh)
PPI 0,57% 0,18% 0,16%
dan Pajak Pertambahan Nilai Sumber: Monev PA DJPBN, DJP, DJBC Kemenkeu dan BPS Kepri (diolah);

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


17
(PPN) juga mengalami penurunan tax ratio dengan besaran masing-masing 15 basis
poin dan 8 basis poin secara berturut-turut.

3.2.2. Penerimaan Negara Bukan Pajak


“PNBP Jasa
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Pemerintah Pusat di Kepri pada tahun
mendorong kenaikan
7,70% pada PNBP 2016 mencapai Rp.1,31 triliun, meningkat 7,70% dibandingkan tahun 2015. PNBP Jasa
agregat di Kepri ”
menjadi pendorong utama kenaikan PNBP dengan kenaikan penerimaan mencapai
Rp.99,17 miliar atau 47,16% dari tahun sebelumnya. PNBP Jasa sendiri didominasi oleh
PNBP jasa bandar udara, kepelabuhanan dan kenavigasian (Rp.209,45 miliar), PNBP
surat keterangan, visa, paspor (Rp.47,87 miliar), PNBP SIM (Rp.10,95 miliar), PNBP
STNK (Rp.8,85 miliar) dan PNBP BPKB (Rp.6,80 miliar).
Di sisi lain, PNBP Badan Layanan Umum (BLU) yang memiliki porsi terbesar
dalam komposisi PNBP di Kepri (68,23%), mengalami penurunan -4,63% dibandingkan
tahun sebelumnya. PNBP BLU di Kepri sendiri disumbang oleh satu-satunya BLU di
lingkup Kepri, yakni Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam).

“Pertumbuhan PNBP Dilihat dari kinerjanya, rasio PNBP terhadap PDRB mengalami penurunan dari
tidak mampu 0,641% di tahun 2015 menjadi 0,636% di tahun 2016. Penurunan PNBP ratio tersebut
mengejar
pertumbuhan dapat diartikan bahwa peningkatan penerimaan PNBP Kepri belum mampu
ekonomi di Kepri ” mengimbangi kecepatan pertumbuhan ekonomi di Kepri.

Tabel III-3 Perkembangan PNBP Pemerintah Pusat di Kepri Berdasarkan Jenis (dalam miliaran rupiah)
Tahun 2015 Tahun 2016
Jenis PNBP
Realisasi Porsi PNBP Realisasi Porsi PNBP
1.Pendapatan dari Pengelolaan BMN 19,54 1,53% 12,15 0,88%
2.Pendapatan Iuran dan Denda 2,87 0,22% 3,55 0,26%
3.Pendapatan Lain-Lain 10,65 0,83% 49,07 3,56%
PNBP Umum 33,06 2,59% 64,77 4,70%
1.Pertambangan Umum - 0,00% - 0,00%
2.Kehutanan - 0,00% - 0,00%
3.Perikanan - 0,00% - 0,00%
4.Jasa 210,30 16,45% 309,46 22,48%
5.Kejaksaan dan Peradilan 7,38 0,58% 12,07 0,88%
6.Pendidikan 32,41 2,54% 39,67 2,88%
7.Pendapatan Gratifikasi 10,16 0,79% 11,38 0,83%
8.Badan Layanan Umum (BLU) 984,91 77,05% 939,30 68,23%
PNBP Fungsional 1.245,15 97,41% 1.311,89 95,30%
Sumber: OM SPAN DJPBN Kemenkeu (Diolah);

3.2.3. Pendapatan Hibah

“Pendapatan hibah Penerimaan hibah di Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2016 sebesar
tahun 2016 anjlok - Rp.24,62 miliar, anjlok -81,81% dibandingkan tahun 2015. Selisih komponen Hibah

ada pilkada ”
81,81% karena tidak
Langsung Dalam Negeri (HLD) hingga Rp.101,46 miliar menjadi penyebab penurunan
tersebut. Tingginya HLD di tahun 2015 disebabkan oleh adanya hibah untuk

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


18
penyelenggaraan Pilkada Gubernur dan 3 Bupati di Kepri, sedangkan di tahun 2016,
tidak terdapat penyelenggaraan Pilkada di wilayah Kepri.

Tabel III-4 Penerimaan Hibah Pemerintah Pusat di Kepri Berdasarkan Sumber (dalam miliaran Rupiah)
2014 2015 2016
Jenis Hibah
Realisasi Porsi Hibah Realisasi Porsi Hibah Realisasi Porsi Hibah
Hibah Luar Negeri (HLN) 1,42 4,64% 2,39 1,89% 2,06 8,37%
Hibah Langsung Dalam
27,70 90,72% 124,02 98,11% 22,56 91,63%
Negeri (HLD)
Hibah Langsung Luar
1,42 4,64% - 0,00% - 0,00%
Negeri (HLL)
Sumber: Monev PA DJPBN Kemenkeu (Diolah);

3.2.4. Analisis Sensitivitas Pendapatan Pemerintah Pusat


Selama beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi di Kepri telah
mengalami perlambatan. Hasil uji sensitivitas terhadap penerimaan Pemerintah Pusat
selama periode perlambatan tersebut menunjukkan hasil yang beragam.
Untuk penerimaan perpajakan, ditemui indikasi bahwa adanya hubungan yang “Setiap 1%
positif antara penurunan penerimaan dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi. perlambatan ekonomi

Dampak dari setiap 1% perlambatan pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan 2,7% ”


menurunkan pajak

mengurangi penerimaan perpajakan Gambar III-3 Scatter Plot Sensitivitas Penerimaan


Pemerintah Pusat di Kepri
hingga 2,6946%. Sebaliknya,
Pajak PNBP
Penerimaan Negara Bukan Pajak 45%
Δ Perubahan Penerimaan

y = -50,65x - 0,2979
(PNBP) malah bertumbuh di saat
25%
perekonomian mengalami
perlambatan. Sehingga, dapat 5%
y = 2,6946x + 0,0508
disimpulkan bahwa pada lingkup -15%
Kepri, penerimaan pajak relatif sensitif
-35%
terhadap kondisi perekonomian, -1,0% -0,9% -0,8% -0,7% -0,6% -0,5%
sedangkan PNBP relatif resilien Δ Perubahan Pertumbuhan Ekonomi
terhadap kondisi perekonomian. Sumber: BPS Kepri dan Kemenkeu (Diolah)

3.3. BELANJA PEMERINTAH PUSAT


Pada tahun 2016, alokasi belanja sebesar Rp.14,53 triliun di Kepri, meningkat “Lonjakan dana
pesat (17,51%) dibandingkan tahun 2016 karena dorongan dari peningkatan transfer ke transfer mendorong
kenaikan pengeluaran
daerah yang melonjak 40,08%. Sejalan dengan itu, realisasi belanja sebesar Rp.13,44 tahun 2016”
triliun juga mencerminkan peningkatan yang cukup signifikan (16,48%), didorong oleh
realisasi transfer ke daerah yang meningkat Rp.2,23 triliun rupiah.

3.3.1. Belanja Pemerintah Pusat Berdasarkan Organisasi


APBN di Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2016 dibagi ke dalam 46 Bagian
Anggaran (BA) yang terdiri dari 45 Kementerian/Lembaga Negara (K/L) dan 1 Bagian

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


19
Anggaran Bendahara Umum Negara (BA-BUN). Jumlah BA tersebut menurun dari 47
di tahun sebelumnya karena BA 020 (Kementerian ESDM) tidak lagi mendapat alokasi.

Tabel III-5 Perkembangan Belanja APBN, 10 Bagian Anggaran Terbesar TA 2014-2016


(dalam miliar Rupiah)
2014 2015 2016
Bagian Anggaran
Pagu Realisasi Pagu Realisasi Pagu Realisasi
112 BP Batam 1.319,32 80,29% 1.247,28 81,42% 1.781,10 79,57%
033 Kementerian PU
PERA 649,77 98,67% 904,28 97,87% 947,56 84,48%
022 Kementerian
Perhubungan 419,43 86,51% 1.262,99 75,89% 684,08 89,48%
060 POLRI 356,28 99,98% 420,31 108,54% 542,85 93,13%
012 Kementerian
Pertahanan 263,23 96,47% 371,14 97,21% 416,04 95,58%
015 Kementerian
Keuangan 280,40 97,64% 340,40 95,02% 354,69 92,76%
025 Kementerian
Agama 222,53 88,04% 301,96 87,34% 254,08 89,59%
024 Kementerian
Kesehatan 136,09 86,04% 149,53 75,13% 163,99 68,97%
013 Kementerian
Hukum dan HAM 144,45 93,69% 132,42 90,92% 144,88 94,30%
042 Kementerian
Ristek dan Dikti - - 294,83 91,44% 127,96 93,59%
032 KKP 40,38 90,98% 66,74 84,44% 87,40 86,61%
Total 46 BA 4.724,99 88,81% 6.482,28 86,58% 6.287,49 85,66%
Sumber: Monev PA DJPBN Kemenkeu (Diolah)

“Perombakan direksi Alokasi belanja pada 10 pagu K/L terbesar di tahun 2016 mencapai Rp.5,50
diduga mendorong triliun dengan tingkat penyerapan 86,01%. Dari 10 K/L tersebut, alokasi BA 112 (BP

Batam”
lonjakan anggaran BP
Batam) mengalami peningkatan YoY tertinggi baik secara nominal (Rp.533,82 miliar)
maupun secara persentase (42,80%), setelah mengalami perombakan jajaran direksi di
awal tahun. Di sisi lain, BA 022 (Kementerian Perhubungan) dan BA 042 (Kementerian
Ristek dan Dikti) mengalami penurunan YoY terbesar, dengan persentase penurunan
masing-masing -45,84% dan -56,60%. Penurunan di BA 022 disebabkan oleh telah
terselesaikannya beberapa proyek pelabuhan di tahun 2015, sedangkan penurunan di
BA 042 disebabkan oleh terselesaikannya beberapa proyek renovasi sarana dan
prasarana kampus di tahun 2015.

3.3.2. Belanja Pemerintah Pusat Berdasarkan Fungsi


Belanja Pemerintah berdasarkan fungsi mengacu pada standar OECD tentang
Classification of The Functions of Government (COFOG). Klasifikasi data belanja ke
dalam fungsi-fungsi pemerintahan membantu organisasi pemerintah untuk
menganalisis kualitas belanja pemerintah dan mengevaluasi pencapaian sasaran fiskal.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


20
Tabel III-6 Perkembangan Belanja APBN di Kepri Berdasarkan Fungsi
(dalam miliaran Rupiah)
2014 2015 2016
Fungsi
Pagu Realisasi Pagu Realisasi Pagu Realisasi
01 Pelayanan Umum 1.233,19 92,12% 1.406,85 88,15% 638,31 88,29%
02 Pertahanan 263,23 96,47% 371,14 97,21% 416,04 95,58%
03 Ketertiban dan Keamanan 298,00 95,89% 452,71 94,59% 837,73 92,76%
04 Ekonomi 2.164,40 86,21% 3.153,77 86,51% 3.372,96 82,53%
05 Lingkungan Hidup 86,89 90,08% 96,05 81,43% 84,14 85,16%
06 Perumahan dan Fasum 167,01 95,30% 203,25 98,06% 278,56 82,60%
07 Kesehatan 114,32 86,27% 146,56 76,09% 199,32 71,39%
08 Pariwisata dan Budaya 0,50 95,56% 3,08 92,22% 5,49 86,82%
09 Agama 31,45 93,13% 53,17 82,96% 87,76 81,02%
10 Pendidikan 354,00 87,07% 582,97 91,39% 352,79 93,49%
11 Perlindungan Sosial 11,99 94,01% 12,73 96,26% 14,40 97,78%
Total 4.724,99 89,46% 6.482,28 88,53% 6.287,49 85,66%
Sumber: Monev PA DJPBN Kemenkeu (Diolah)

Prioritas utama pemerintah pusat untuk Kepri adalah pada bidang ekonomi “Share fungsi
sebagaimana tercermin dari share pagunya yang terus meningkat dari 45,81% di tahun ekonomi terus
meningkat sejalan
2014, 48,65% di tahun 2015, hingga 53,65% di tahun 2016. Di sisi lain, tren realisasi dengan
fungsi ekonomi masih belum sejalan sebagaimana tercermin dari penurunan pemrioritasan
pemerintah”
penyerapan hingga 398 basis poin di tahun 2016. Namun demikian, hal tersebut terjadi
di tengah-tengah kondisi penghematan anggaran tahun 2016. Fungsi ekonomi memiliki
komponen proyek yang banyak, ketika proyek-proyek belum dilelang sampai dengan
pertengahan tahun 2016 (berpotensi tidak terealisasi), pemerintah menjadikan proyek-
proyek tersebut sebagai sasaran penghematan.
Fungsi Perumahan dan Fasum mengalami penurunan penyerapan terbesar di “Penyerapan fungsi
tahun 2016 (1.546 basis poin). Penyebabnya adalah terdapat beberapa proyek bernilai perumahan dan
fasum anjlok 1.546
signifikan yang belum terselesaikan di akhir tahun 2016 seperti Bendungan Sei Gong basis poin”
yang terlambat dilelang dengan sisa pagu Rp.37,17 miliar, serta proyek sanitasi
anambas yang terkena permasalahan lahan dengan sisa pagu Rp.12,83 miliar.
Fungsi Pariwisata dan Budaya mendapatkan peningkatan alokasi YoY terbesar “Alokasi fungsi
secara persentase (78,18%) walaupun share-nya baru 0,04% dari pagu belanja pariwisata meroket
78,18%”
agregat. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pariwisata dan budaya sudah
mendapat perhatian lebih namun masih kurang terprioritaskan. Untuk merealisasikan
wacana diversifikasi sumber pertumbuhan ekonomi Kepri, diperlukan perhatian lebih
untuk menggali potensi pariwisata dan budaya di wilayah Kepri yang sangat besar.

3.3.3. Belanja Pemerintah Pusat Berdasarkan Jenis Belanja


Belanja pemerintah pusat di Kepri berdasarkan jenisnya terdiri dari belanja
pegawai, belanja barang, belanja modal, belanja bantuan sosial dan belanja lain-lain.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


21
Tabel III-7 Perkembangan Belanja APBN di Kepri Berdasarkan Jenis Belanja
(dalam miliaran Rupiah)
2014 2015 2016
Jenis Belanja
Pagu Realisasi Pagu Realisasi Pagu Realisasi
Belanja Pegawai 994,97 95,14% 1208,26 98,78% 1395,82 95,95%
Belanja Barang 2003,69 89,80% 2510,88 85,35% 2895,91 85,78%
Belanja Modal 1602,91 83,22% 2646,64 82,17% 1910,48 77,86%
Belanja Bantuan Sosial 123,42 94,20% 46,10 91,36% 6,30 98,70%
Belanja Lain-Lain - - 70,41 83,40% 78,99 87,04%
Total 4724,99 88,81% 6482,28 86,58% 6287,49 85,66%
Sumber: Monev PA DJPBN Kemenkeu (Diolah)

“Alokasi belanja Alokasi pagu belanja modal mengalami penurunan nominal YoY terbesar
modal dan bantuan (Rp.736,16 miliar), sedangkan belanja bantuan sosial mengalami penurunan
sosial menurun
tajam” persentase YoY tertinggi (-86,34%). Penurunan pagu belanja modal disebabkan oleh
terselesaikannya beberapa proyek infrastruktur di tahun 2015 dan tidak dianggarkan
kembali di tahun 2016. Penurunan pagu belanja bantuan sosial disebabkan oleh
kebijakan baru dimana Kementerian Pertanian, Kementerian PUPR, dan Kementerian
Pendidikan dan Budaya tidak lagi menyalurkan bantuan sosial.

3.3.4. Analisis Kapasitas dan Efisiensi Fiskal Pemerintah Pusat


Instrumen fiskal merupakan salah satu komponen terpenting bagi pemerintah
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Kapasitas fiskal dan
efisiensi penganggaran sangatlah penting untuk memaksimalkan belanja produktif.
Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukurnya adalah sebagai berikut.

Tabel III-8 Indikator Kapasitas dan Efisiensi Belanja Pemerintah Pusat Tahun 2016
(dalam miliaran Rupiah)
Uraian Provinsi Kepri Nasional
Rasio dana kelolaan belanja non pegawai 0,03 0,04
Rasio belanja modal APBN-APBD 0,85 0,83
Rasio belanja terhadap populasi Rp.3.186.766,19 Rp.5.126.308,36
Rasio belanja pegawai 0,22 0,26
Rasio belanja modal 0,30 0,21
Sumber: Monev PA & OM SPAN DJPBN, DJPK Kemenkeu, BPS Kepri & Pusat, dan Pemda Lingkup Kepri (Diolah)

“Alokasi anggaran Rasio dana kelolaan belanja non pegawai digunakan untuk mengukur beban
DK/TP/UB di Kepri Pemerintah Pusat dalam membiayai belanja non pegawai Pemda. Kecilnya rasio di atas
lebih efisien
dibandingkan rata- menunjukkan bahwa belanja non pegawai yang dikelola Pemda jauh lebih banyak
rata nasional” menggunakan APBD dibandingkan APBN (Kewenangan DK/TP/UB). Rasio di Kepri
(0,03) yang lebih kecil dari rasio tingkat nasional (0,04) juga menunjukkan bahwa
pengalokasian APBN dalam kewenangan DK/TP/UB di Kepri lebih efisien karena
Pemda relatif lebih banyak menggunakan dana APBD.
“Peranan belanja Rasio belanja modal APBN-APBD membandingkan peranan Pemerintah Pusat
modal Pemda
dominan di Kepri”
dan Pemda dalam mengalokasikan belanja modal. Nilai di bawah 1 menunjukkan
bahwa Pemda lebih banyak mengalokasikan belanja modal dibandingkan Pemerintah

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


22
Pusat, dan sebaliknya. Dari tabel di atas, arah kebijakan fiskal tahun 2016 untuk
memperkuat desentralisasi sudah terlihat dimana peranan Pemda dalam belanja modal
lebih besar baik di regional Kepri maupun di tingkat Nasional. Selain itu, dapat dilihat
pula bahwa peranan Pemda tingkat nasional (0,83) dalam belanja modal masih lebih
baik dibandingkan peranan Pemda di regional Kepri (0,85)
Rasio belanja terhadap populasi digunakan untuk melihat kapasitas pemerintah “Kapasitas fiskal
dalam membiayai layanan publik bagi masyarakat. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa pemerintah pusat di

kapasitas pemerintah pusat di regional Kepri (Rp.3,2 juta per orang) untuk membiayai dari-rata nasional”
Kepri lebih rendah

layanan publik masih lebih rendah dibandingkan rata-rata kapasitas pemerintah pusat
di tingkat nasional (Rp.5,1 juta per orang).
Rasio belanja pegawai digunakan untuk melihat efisiensi pemerintah pusat “Alokasi belanja
dalam mengalokasikan anggarannya. Semakin kecil rasionya, semakin efisien belanja pegawai di Kepri lebih

pemerintah karena porsi belanja pegawai yang merupakan belanja konsumtif semakin rata-rata nasional”
efisien dibandingkan

sedikit. Perbandingan rasio tersebut menunjukkan bahwa belanja pegawai di Kepri lebih
efisien karena hanya menghabiskan 22% dari total pagu APBN dibandingkan 26% dari
total pagu di tingkat nasional.
Rasio belanja modal digunakan untuk melihat pemanfaatan kapasitas “Alokasi belanja
pemerintah pusat dalam mengalokasikan anggarannya. Semakin besar rasionya, modal di Kepri lebih
baik dibandingkan
semakin baik pemanfaatan anggaran karena porsi belanja modal yang merupakan rata-rata nasional”
belanja modal semakin besar. Perbandingan rasio tersebut menunjukkan bahwa
belanja modal di Kepri lebih baik karena berporsi hingga 30% dari total pagu APBN
dibandingkan 21% dari total pagu di tingkat nasional.

3.3.5. Analisis Belanja Pemerintah Pusat Untuk Pembangunan Manusia


Dalam konteks pembangunan manusia, salah satu indikator utama yang
digunakan adalah Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan
Manusia (IPM). IPM sendiri merepresentasikan beberapa aspek yang menggambarkan
kesejahteraan masyarakat yakni ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Untuk
menganalisis pemrioritasan pemerintah pusat dalam meningkatkan IPM di Kepri,
beberapa kategori belanja pemerintah yang paling representatif, yakni belanja
infrastruktur (untuk ekonomi), belanja pendidikan, dan belanja kesehatan dibandingkan
dengan total pagu belanja APBN di Kepri.

Tabel III-9 Rasio Belanja Pemerintah Pusat Untuk Pembangunan Manusia


Uraian Provinsi Kepri Nasional
Rasio belanja infrastruktur 0,21 0,24
Rasio belanja pendidikan 0,06 0,11
Rasio belanja kesehatan 0,03 0,06
Sumber: Monev PA & OM SPAN DJPBN, DJPK Kemenkeu, BPS Kepri & Pusat, dan Pemda Lingkup Kepri (Diolah)

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


23
“Prioritas Sesuai dengan tema APBN 2016 “Mempercepat Pembangunan Infrastruktur
pembangunan Untuk Memperkuat Pondasi Pembangunan yang Berkualitas”, dari ketiga rasio belanja
manusia oleh
Pemerintah Pusat pembangunan, rasio belanja infrastruktur merupakan yang tertinggi (0,21 di tingkat

(infrastruktur)”
adalah jalur ekonomi
regional Kepri, 0,24 di tingkat nasional), disusul oleh belanja pendidikan dan belanja
kesehatan. Hal tersebut juga sejalan administrasi Kabinet Kerja yang mengalihkan
belanja tidak produktif (subsidi) menjadi belanja infrastruktur. Dalam konteks komparatif,
pemrioritasan anggaran pemerintah pusat di regional Kepri untuk kepentingan
pembangunan masih rendah dibandingkan dengan rata-rata nasional, sebagaimana
tercermin dari ketiga rasio belanja pembangunan manusia di Kepri yang lebih kecil.

3.3.6. Analisis Belanja Pemerintah Pusat Pendukung Sektor dan Subsektor


Ekonomi Unggulan
Analisis Sektor dan Subsektor unggulan di Kepri, yang akan dibahas secara
komprehensif pada Bab V, menunjukkan bahwa terdapat 2 Sektor dan 5 Subsektor
ekonomi unggulan di Kepri. Dikaitkan dengan belanja APBN yang mendukung sektor
dan subsektor ekonomi, dapat dibuat rasio belanja sektoral terhadap kontribusi sektor
kepada PDRB yang mencerminkan komitmen pemerintah pusat dalam
mengembangkan sektor dan subsektor tersebut. Rasio di atas angka 1 mengindikasikan
bahwa pemerintah pusat sudah memprioritaskan sektor tersebut dalam anggarannya.

Tabel III-10 Rasio Belanja Pemerintah Pusat Pendukung Sektor dan Subsektor Ekonomi Unggulan
Kategori Belanja Porsi (%) PDRB (Sektor) Porsi (%) Rasio
Belanja Infrastruktur 20,71 Sektor Konstruksi 17,94 1,155
Belanja Subfungsi Bahan
0,00 Sektor Listrik & Gas 1,14 0,000
Bakar dan Energi
Subsektor logam dasar dan subsektor
Belanja Subfungsi Industri 0,06 Industri elektronik (Sektor Industri 37,33 0,002
Pengolahan)
Belanja Fungsi Pariwisata 0,09 Subsektor Penyediaan Akomodasi 1,09 0,080
Belanja Kemaritiman
6,05 Subsektor Angkutan Laut 1,00 6,074
Bidang Perhubungan Laut
Belanja Kemaritiman
1,01 Subsektor Perikanan 2,36 0,428
Bidang Perikanan
Sumber: Monev PA & OM SPAN DJPBN dan BPS Kepri (Diolah)

“Dari 7 sektor dan


Dari rasio tersebut, terlihat bahwa pemrioritasan pemerintah baru terjadi pada
subsektor ekonom sektor konstruksi (1,155) dan subsektor angkutan laut (6,074), sedangkan untuk sektor
unggulan Kepri,
Hanya sektor dan subsektor lainnya yang memiliki rasio di bawah angka 1, masih memerlukan
konstruksi dan komitmen penganggaran lebih dari pemerintah. Namun demikian, sektor konstruksi dan
subsektor angkutan
laut yang subsektor angkutan laut tersebut memiliki peranan yang sangat penting dalam
mendapatkan
prioritas anggaran”
interkonektivitas wilayah kepulauan seperti di Kepri. Komitmen yang tinggi dalam dua
bidang tersebut berpotensi menciptakan akselerasi pertumbuhan ekonomi yang juga
akan berdampak terhadap sektor/subsektor ekonomi unggulan lainnya.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


24
Selain itu, perlu diperhatikan pula bahwa rasio tersebut baru mencerminkan
komitmen berupa anggaran yang terkait langsung dan tercatat dalam APBN saja. Di
luar itu, terdapat pembiayaan APBD, murni swasta atau Public Private Partnership
(PPP), serta regulasi yang mungkin sudah baik atau masih perlu perlu diperbaiki untuk
mendukung pengembangan sektor dan subsektor unggulan tersebut.

3.3.7. Analisis Pengaruh Belanja Pemerintah Pusat Terhadap Indikator


Ekonomi
Kebijakan fiskal memiliki hubungan saling mempengaruhi dengan
pembangunan perekonomian di daerah. Semakin baik perekonomian di suatu daerah,
semakin tinggi penerimaan yang akan didapat pemerintah. Semakin tinggi penerimaan,
semakin tinggi pula belanja pemerintah yang akan menjadi stimulus bagi perekonomian.

Gambar III-4 Siklus Perekonomian dan Fiskal

Sumber: Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau, Kajian Pengaruh Belanja Pemerintah Terhadap Perekonomian
Regional Provinsi Kepulauan Riau

Kondisi ideal dimana perekonomian dan fiskal saling mendorong satu sama lain ”Eksekusi belanja
tersebut pada kenyataannya tidak selalu terjadi. Pajak yang dikenakan pada yang lambat dan
banyaknya belanja
masyarakat akan menarik uang yang seharusnya beredar dalam perekonomian. konsumtif dapat
menciptakan
Semakin lama pajak tersebut tidak dikeluarkan kembali sebagai belanja pemerintah
opportunity cost yang

manfaatnya”
pada perekonomian, semakin tinggi opportunity cost dari situasi dimana uang tersebut lebih tinggi dari
tetap di tangan masyarakat. Timbulnya opportunity cost juga terjadi pada kondisi
dimana pajak yang ditarik dijadikan belanja pemerintah yang lebih banyak bersifat
konsumtif, alih-alih menjadi stimulus, yang terjadi hanya penundaan dan pergeseran
belanja konsumtif dari masyarakat ke pemerintah. Hal serupa juga berlaku untuk belanja
pemerintah yang dibiayai dari pembiayaan. Berdasarkan nilainya, stimulus yang
disuntikkan ke perekonomian akan bertambah dalam jangka pendek namun, dalam
jangka panjang timbul kewajiban untuk membayar denda dan pokok hutang. Oleh

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


25
karena itu, dalam kasus pembiayaan idealnya terdapat perhitungan yang matang untuk
memastikan bahwa stimulus yang dihasilkan dari pembiayaan lebih besar dari
kewajiban yang akan timbul dalam jangka panjang.
“Hasil regresi Dalam Kajian “Pengaruh Belanja Pemerintah Terhadap Perekonomian Regional
mengindikasikan Provinsi Kepulauan Riau”, Kanwil DJPBN Provinsi Kepri melakukan analisis regresi
ppsitif pada PDRB” antara Belanja APBN dengan PDRB dan antara Belanja APBN dengan Penyerapan
APBN berdampak

Tenaga Kerja. Analisis regresi dilakukan dengan menggunakan aplikasi Eviews 8.1 dan
bertujuan untuk melihat pengaruh belanja APBN terhadap indikator ekonomi. Hasil
regresi tersebut menunjukkan bahwa APBN memiliki efek multiplier 23,27 kali terhadap
PDRB Kepri namun tidak berdampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja.
Pada analisis regresi APBN per Kabupaten/Kota sebagai variabel independen
dan PDRB ADHB per Kabupaten/Kota sebagai variabel dependen, digunakan fixed
effect untuk mengakomodir heteroskedastisitas atau kondisi awal perekonomian setiap
Kabupaten/Kota yang berbeda. Hasil regresi tersebut adalah sebagai berikut.

Gambar III-5 Pengujian Ekonometri Belanja APBN terhadap PDRB Kabupaten/Kota lingkup Kepri
Dependent Variable: PDRB?
Method: Pooled Least Squares
Date: 01/08/16 Time: 13:51
Sample: 2010 2014
Included observations: 5
Cross-sections included: 7
Total pool (balanced) observations: 35

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

0 1,10E+13 1,27E+12 8,711141 0,0000


APBN 23,26708 2,674606 8,699255 0,0000
Fixed Effects (Cross)
ANAMBAS_-- 1,33E+12
BINTAN_-- -2,36E+12
KARIMUN_-- -9,77E+12
LINGGA_-- -1,02E+13
NATUNA_-- 5,19E+11
BATAM_-- 5,22E+13
TANJUNGPINANG_-- -3,17E+13

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0,986545 Mean dependent var 2,07E+13


Adjusted R-squared 0,983057 S.D. dependent var 2,78E+13
S.E. of regression 3,62E+12 Akaike info criterion 60,86816
Sum squared resid 3,53E+26 Schwarz criterion 61,22367
Log likelihood -1057,193 Hannan-Quinn criter. 60,99088
F-statistic 282,8185 Durbin-Watson stat 1,765794
Prob(F-statistic) 0,000000

Sumber: Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau, Kajian Pengaruh Belanja Pemerintah Terhadap Perekonomian
Regional Provinsi Kepulauan Riau

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


26
Dari hasil regresi tersebut, ditemukan koefisien variabel APBN sebesar 23,27. ”Kebijakan
fiskal
Koefisien tersebut mengindikasikan bahwa belanja pemerintah berdampak positif ekspansif dapat
mendorong
terhadap perekonomian Kepri (PDRB ADHB) dengan pengaruh sebesar Rp.23,27 dari pertumbuhan
ekonomi Kepri”
setiap 1 rupiah yang dibelanjakan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa untuk
meningkatkan pertumbuhan perekonomian Kepri, pemerintah pusat dapat menjadikan
kebijakan fiskal ekspansif sebagai alternatif. Tentunya, alokasi belanja tetap harus
diprioritaskan pada belanja produktif agar dampaknya menjadi maksimal.
Selanjutnya, untuk mengukur pengaruh belanja pemerintah terhadap tenaga
kerja dilakukan regresi dengan data Penyerapan Tenaga Kerja (PTK) per sektor
sebagai variabel dependen dan data APBN per output terkait sebagai variabel
independen. Analisis regresi menggunakan Fixed Effect dan White Cross-Section atau
Heteroscedasticity-Consistent Standard Errors untuk mengakomodir
heteroskedastisitas atau perbedaan mendasar pada masing-masing sektor . Hasil
regresi tersebut adalah sebagai berikut.

Gambar III-6 Pengujian Ekonometri Belanja APBN terhadap Penyerapan Tenaga Kerja lingkup Kepri
Dependent Variable: PTK?
Method: Pooled Least Squares
Date: 12/22/15 Time: 23:44
Sample: 2012/II 2015/I
Included observations: 6
Cross-sections included: 6
Total pool (balanced) observations: 36
White cross-section standard errors & covariance (no d.f. correction)

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

0 112973,7 4027,118 28,05324 0,0000


APBN? -3,69E-08 1,04E-08 -3,534828 0,0014
Fixed Effects (Cross)
_PERTANIAN-- -9233,845
_INDUSTRI-- 65227,54
_LISTRIK-- -106351,1
_KONSTRUKSI-- -31322,31
_PERDAGANGAN-- 127312,8
_TRANSPORTASI-- -45633,03

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0,923902 Mean dependent var 101951,4


Adjusted R-squared 0,908157 S.D. dependent var 71912,27
S.E. of regression 21793,40 Akaike info criterion 22,98927
Sum squared resid 1,38E+10 Schwarz criterion 23,29717
Log likelihood -406,8068 Hannan-Quinn criter. 23,09674
F-statistic 58,68115 Durbin-Watson stat 3,231251
Prob(F-statistic) 0,000000

Sumber: Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau, Kajian Pengaruh Belanja Pemerintah Terhadap Perekonomian
Regional Provinsi Kepulauan Riau

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


27
“Ketergantungan Hasil regresi tidak menunjukkan pengaruh yang positif dari belanja pemerintah
Kepri akan impor pusat terhadap penyerapan tenaga kerja. Hipotesis penyebab hasil yang tidak positif
bahan kebutuhan
dasar diduga tersebut adalah ketergantungan Provinsi Kepulauan Riau akan barang kebutuhan dasar
menyebabkan
seperti bahan makanan dan bahan bangunan sehingga penciptaan lapangan pekerjaan
berpindahnya
lapangan kerja ” dari belanja pemerintah banyak yang mengalir menjadi penciptaan lapangan pekerjaan
di wilayah lain. Ketergantungan tersebut dapat dilihat dari komponen net ekspor antar
wilayah di Kepri yang selalu mengalami defisit. Sebagai contoh, pada Triwulan III 2016
defisit tersebut sebesar -5,99 triliun rupiah atau sekitar 11,5% dari PDRB Provinsi
Kepulauan Riau. Untuk Bahan Makanan, ketergantungan tersebut tercermin juga dari
analisis BPS (2016) yang menunjukkan bahwa LQ subsektor Pertanian hanya 0,13.

3.4. TRANSFER KE DAERAH


“Transfer bertujuan Transfer ke pemerintah daerah dalam bentuk dana perimbangan merupakan
mengurangi
kesenjangan vertikal konsekuensi dari pelaksanaan desentralisasi dan pergeseran kebutuhan fiskal yang
dan horizontal ” mengikuti. Dana perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan antar-pemerintah daerah.

Tabel III-11 Perkembangan Dana Perimbangan di Provinsi Kepulauan Riau


(dalam miliaran Rupiah)
2014 2015 2016
Dana Perimbangan
Pagu Realisasi Pagu Realisasi Pagu Realisasi
Dana Bagi Hasil (DBH) 4.327,17 84,06% 1.948,39 103,54% 2.567,20 103,54%
Dana Alokasi Umum (DAU) 2.966,84 100,00% 2.778,88 100,00% 3.837,25 100,00%
DAK Fisik 277,90 100,00% 523,52 95,84% 957,91 80,17%
Dana Penyesuaian*) 564,43 93,05% 563,38 97,77% n/a n/a
Dana Insentif Daerah (DID) n/a n/a n/a n/a 60,41 100,00%
DAK Non Fisik n/a n/a n/a n/a 655,01 84,72%
Dana Desa n/a n/a 79,20 100,00% 177,77 100,00%
*) Pada tahun 2016 Dana Insentif Daerah dan DAK Non Fisik diklasifikasikan dengan kode 2 digit tersendiri, menggantikan dana
penyesuaian
Sumber: Monev PA Perbendaharaan (diolah)

“Penguatan Alokasi dana perimbangan untuk Kepri pada tahun 2016 mencapai Rp.8,26
desentralisasi triliun, melonjak hingga 40,08% dibandingkan tahun 2015. Lonjakan alokasi tersebut
alokasi transfer ”
mendorong lonjakan
sejalan dengan kebijakan fiskal tahun 2016 untuk meningkatkan derajat desentralisasi
dalam rangka pelaksanaan pembangunan dari pinggiran dan merata. Komponen utama
yang mendorong lonjakan tersebut adalah DAU dengan kenaikan Rp.1,06 triliun dan
DBH dengan kenaikan Rp.618,81 miliar.
Perbaikan harga migas sejak pertengahan tahun 2016, disertai dengan
implementasi skema bagi hasil baru dengan kontraktor migas yang baru, gross split,
diharapkan dapat meningkatkan kembali gairah sektor migas di Kepri mulai tahun 2017.
Meningkatnya kinerja sektor migas akan kembali meningkatkan kontribusi DBH dalam
komposisi dana transfer di Kepri. DBH sendiri berkontribusi 53,18% terhadap dana

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


28
transfer tahun 2014 dengan nominal alokasi yang mencapai Rp.4,33 triliun, namun
kontribusinya terus menurun akibat anjloknya harga migas sepanjang tahun 2015.

3.5. PENGELOLAAN BADAN LAYANAN UMUM PUSAT


Badan Layanan Umum (BLU) merupakan instansi pemerintah yang bertujuan ”Fleksibilitas
untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dengan fasilitas berupa fleksibilitas keuangan pada BLU
diharapkan dapat
dalam pengelolaan keuangan. Satuan kerja (Instansi Pemerintah) menjadi BLU ketika mendorong
peningkatan kualitas
layanan publik ”
menerapkan pola pengelolaan keuangan BLU (PPK-BLU) yaitu pola pengelolaan
keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan penerapan praktek bisnis
yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Di lingkup Kepri sendiri
hanya terdapat 1 entitas BLU yakni Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas
dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam).

3.5.1. Profil dan Jenis Layanan Satuan Kerja Badan Layanan Umum
BP Batam yang mulai resmi menerapkan PPK-BLU berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2011 tanggal 4 Februari 2011, merupakan BLU dengan
jenis layanan pengelola kawasan, bersifat non-sruktural/non-eselon, serta bertindak
sebagai regulator kawasan sekaligus sebagai operator.

Tabel III-12 Profil BP Batam (dalam miliaran Rupiah)


Tahun Nilai Aset Nilai Ekuitas Pagu RM Pagu PLN Pagu RMP Pagu BLU
2015 28.426,63 27.081,46 214,68 123,56 - 909,05
2016* 28.313.,51 26.934,93 146,78 164,44 11,02 1.458,86
Perubahan (%) (0,40%) (0,54%) (31,63%) 33,09% n/a 60,48%

Terlepas dari signifikansi kenaikan pagu anggaran BP Batam di tahun 2016 ”Nilai asset dan
*Data 2016 per Triwulan III; Sumber: Monev PA DJPBN Kemenkeu dan LK BP Batam (diolah)

ekuitas BP Batam
(42,80% atau Rp.533,81 miliar), nilai ekuitas BP Batam menurun -0,54%. Hal tersebut menurun karena
menunjukkan bahwa depresiasi asset BP Batam masih lebih besar dibandingkan rendahnya realisasi
belanja modal ”
realisasi belanja modalnya. Sejalan dengan kondisi tersebut, porsi belanja modal BP
Batam memang relatif kecil dibandingkan porsi belanja barangnya. Pagu belanja modal
BP Batam senilai Rp.623,62 miliar atau hanya berporsi 35,01% dari pagu agregat
sedangkan share pagu belanja barang mencapai 64,99%. Ketimpangan tersebut lebih
besar lagi dalam konteks realisasi dimana sampai akhir tahun 2016 realisasi belanja
modal hanya 59,45% sedangkan realisasi belanja barang mencapai 90,41%.
Dalam membiayai pagu belanja BLU-nya yang mencapai Rp.1,46 triliun, BP
memiliki layanan penghasil PNBP BLU yang sangat beragam, yakni:
a. Sembilan pelabuhan laut yang terdiri dari pelabuhan umum, terminal internasional,
terminal domestik dan beberapa pelabuhan khusus.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


29
b. Bandara Internasional Hang Nadim dengan pergerakan jumlah penumpang
mencapai 4,77 juta orang tahun 2014, dan frekuensi pergerakan pesawat udara
mencapai 39.797 kali setahun.
c. Pengelolaan air baku dan limbah.
d. Rumah sakit kelas B plus non pendidikan (Rumah Sakit Otorita Batam)
e. Pengelolaan lahan d areal pulau Batam dan lima pulau di sekitarnya berdasarkan
Keppres No.41 Tahun 1973 ditindaklanjuti dengan Kepmendagri No.43 Tahun 1977
dan Kepmen Agraria/Kepala BPN No.9-VIII Tahun 1993.
f. Pengelolaan industri pertanian terpadu sesuai Keputusan Ketua Otorita Batam No.
03/KPTS/KA/I/2003 dan persetujuan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi. Usaha yang dikelola meliputi Kawasan Industri Pertanian
Terpadu Sei Temiang (KIPTS) seluas 60-80 Ha, instalasi peternakan di Sei Temiang,
pusat hatchery di Tanjung Riau, pusat pengembangan budidaya dengan sistem
jaring apung di Pulau Galang, dan pusat diklat di Tanjung Riau.
g. Pelayanan hosting dan pelatihan bersertifikat pada IT Center.
h. Pengelolaan rumah susun di Sekupang, Muka Kuning, Batu Ampar dan Kabil.

3.5.2. Analisis Kemandirian Badan Layanan Umum


BLU ditujukan untuk menumbuhkan jiwa wiraswasta pada pemerintah
(enterprising the government). Oleh karenanya entitas BLU didorong untuk mandiri yang
dapat dilihat dari rasio pagu BLU terhadap pagu lainnya (RM, PLN, RMP, dsb)

Tabel III-13 Kemandirian Satker BLU di Provinsi Kepulauan Riau (dalam miliaran Rupiah)
2015 2016
Satuan Kerja
Pagu BLU % Pagu Lain % Pagu BLU % Pagu Lain %
BP Batam 909,05 72,88 338,24 27,12 1.458,86 81,91 322,24 18,09
Sumber: Monev PA DJPBN Kemenkeu (diolah)

“Tingkat kemandiran Dilihat dari alokasi pagu, tingkat kemandirian BP Batam di tahun 2016 meningkat
BP Batam meningkat
903 basis poin”
signifikan (903 basis poin) dari 72,88% menjadi 81,91%. Hal tersebut menjadi sentimen
positif di tengah perombakan jajaran direksi BP Batam dan rencana perombakan
sebagian wilayah Batam menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Industri. Dengan
kinerja pengelolaan keuangan yang lebih baik, BP Batam diharapkan dapat lebih aktif
menjadi motor perekonomian Kepri di tahun-tahun berikutnya.

3.5.3. Potensi Satker PNBP Menjadi Satker BLU

“3 satker pendidikan Per akhir tahun 2016 terdapat 5 satker yang berpotensi menerapkan PPK-BLU
dan 2 satker di lingkup Kepri. 3 satker bergerak di bidang layanan pendidikan yang memang secara
pelabuhan di Kepri
berpotensi menjadi proses bisnis sangat memungkinkan dibuat BLU. 2 Satker lainnya bergerak di bidang
BLU”
layanan ekonomi sub-bidang transportasi (pelabuhan) dengan kriteria porsi pagu PNBP
terakhir di atas 40%. Penerapan PPK-BLU pada pelabuhan juga sesuai dengan

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


30
kebijakan Kementerian Perhubungan saat ini dalam upayanya meningkatkan layanan
(Berita Satu, 2017).

Tabel III-14 Satuan Kerja PNBP yang Berpotensi menjadi BLU (dalam miliaran Rupiah)
Pagu 2015 Pagu 2016
Satuan Kerja Layanan Lain- Porsi Lain- Porsi
PNBP PNBP
nya PNBP nya PNBP
Politeknik Negeri Batam Pendidikan 16,21 124,97 11,48% 21,73 45,84 32,16%
Universitas Maritim Raja Ali Haji Pendidikan
14,61 139,05 9,51% 16,30 44,09 26,99%
(UMRAH)
Politeknik Kesehatan Tanjungpinang Pendidikan 3,28 6,36 34,00% 3,02 17,52 14,72%
Kantor Kesyahbandaran dan Ekonomi
12,52 2,56 83,00% 3,18 3,59 46,96%
Otoritas Pelabuhan Pulau Sambu (Transportasi)
Kantor Kesyahbandaran dan Ekonomi
Otoritas Pelabuhan Tanjung Balai (Transportasi) 5,34 50,06 9,65% 6,00 8,35 41,85%
Karimun
Sumber: Monev PA Perbendaharaan (diolah)

Porsi PNBP pada satker potensial dengan layanan pendidikan rata-rata “Hilangnya anggaran
proyek mendorong
meningkat di TA 2016 karena telah selesainya proyek pembangunan fasilitas kampus peningkatan porsi
dari Rupiah Murni di tahun 2015. Hal serupa juga terjadi pada KSOP Tanjung Balai PNBP”
Karimun dimana pagu belanja modal senilai Rp.45,35 miliar di tahun 2015 dihilangkan.

3.6. PENGELOLAAN MANAJEMEN INVESTASI


Investasi pemerintah di lingkup Provinsi Kepulauan Riau yang ditatausahakan
oleh Ditjen Perbendaharaan meliputi penerusan pinjaman dan kredit.

3.6.1. Penerusan Pinjaman


Penerusan pinjaman (Subsidiary Loan Agreement-SLA) merupakan pinjaman
yang diteruspinjamkan oleh Pemerintah kepada BUMN/ Pemerindah Daerah/BUMD.
Untuk lingkup Kepri, hanya terdapat satu Penerusan Pinjaman Dalam Negeri di Provinsi
dengan sumber dananya berasal dari Rekening Pembangunan Daerah (RPD).

Tabel III-15 Profil Penerusan Pinjaman di Provinsi Kepulauan Riau


Loan ID Nomor Pinjaman Debitur Hak Tagih Pemerintah
2071501 RDA-259/DP3/1996 (23 Mei 1996) PDAM Tirta Kepri 22,33 miliar rupiah
Sumber: SLIM DJPBN Kemenkeu

Pada tahun 2016, Pemerintah Pusat memutuskan untuk menghapus utang “Hutang PDAM Tirta
PDAM dalam rangka pencapaian sasaran 100% akses air bersih. PDAM Tirta Kepri Kepri dihapuskan
pada akhir tahun
termasuk salah satu PDAM yang berhasil menyelesaikan persyaratan administratifnya 2016”
sehingga per akhir tahun 2016, kewajiban pembayaran utang PDAM Tirta Kepri telah
dihapuskan dan pada tahun 2017 peresmian penutupan utang akan dilaksanakan.
Untuk mengukur dampak penghapusan utang tersebut terhadap kinerja PDAM,
digunakan dua indikator finansial yakni Debt to Equity Ratio (DER) atau Rasio Utang
Pada Ekuitas dan Debt to Income Ratio (DTI) atau Rasio Pembayaran Utang Pada

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


31
Pendapatan. DER digunakan untuk melihat leverage atau kebijakan pembiayaan
perusahaan dalam rangka ekspansi usaha. DTI digunakan untuk melihat kemampuan
sebuah perusahaan dalam melunasi hutang-hutangnya. Bagi investor, kedua indikator
finansial tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan ketika memutuskan untuk
berinvestasi atau tidak pada suatu perusahaan.

Tabel III-16 Simulasi Dampak Penghapusan Utang Terhadap Keuangan PDAM Tirta Kepri
Sebelum Setelah Perubahan
Indikator Finansial
Penghapusan (a) Penghapusan (b) (a-b)
Debt to Equity Ratio (DER) 436,74% <18,00% Berkurang 38.474 basis poin
Debt to Income Ratio (DTI) 81,00% <1,00% Berkurang 8.000 basis poin
Sumber: SLIM DJPBN Kemenkeu dan LK PDAM Tirta Kepri (diolah)

“Kondisi keuangan Hasil analisis finansial dengan menggunakan rasio utang pada ekuitas (DER)
PDAM Tirta Kepri dan rasio pembayaran utang pada pendapatan (DTI) PDAM Tirta Kepri sebelum
sebelum
penghapusan utang penghapusan utang menunjukkan bahwa:
tidak sehat” 1. Nilai DER terakhir sebelum penghapusan mencapai 436,74% sehingga dapat
diartikan bahwa utang PDAM 4 kali lebih besar dari asset bersihnya.
2. Nilai DTI rata-rata sebelum penghapusan mencapai 81,00% sehingga dapat
diartikan bahwa PDAM hanya memiliki sisa 19,00% dari pendapatan untuk dapat
berinvestasi pada peningkatan layanannya.
“Penghapusan utang Hasil simulasi dampak penghapusan utang terhadap keuangan PDAM Tirta
mendorong PDAM
Kepri menunjukkan bahwa:
TIrta Kepri menjadi
layak investasi” 1. Penurunan DER diperkirakan lebih dari 38.474 basis poin sehingga DER menjadi
kurang dari 18,00%. Hal ini membuka peluang bagi PDAM Tirta Kepri guna menarik
minat investor/lembaga pembiayaan untuk melaksanakan pengembangan usaha.
2. Penurunan DTI diperkirakan lebih dari 8.000 basis poin sehingga DTI menjadi
kurang dari 1,00%. Mengacu pada rata-rata pendapatan PDAM Tirta Kepri dalam
3 tahun terakhir, PDAM Tirta Kepri diperkirakan memiliki ekstra Rp.1,65 miliar per
tahun yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas layanannya.

3.6.2. Kredit Program

“Kredit program Kredit program merupakan program pemerintah pusat untuk mempermudah
bertujuan akses pembiayaan bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang bertujuan
mempermudah
pembiayaan bagi untuk memajukan UMKM dan menciptakan resiliensi perekonomian Indonesia. Saat ini,
UMKM dan
menciptakan
pemerintah telah mengintegrasikan berbagai skema kredit program menjadi Kredit
resiliensi ekonomi” Usaha Rakyat (KUR) dengan sumber pendanaan dari Perbankan. Pemerintah
melakukan intervensi dengan mensubsidi bunga KUR sehingga bunga efektif yang
ditanggung oleh pelaku usaha dapat ditekan hingga 9%.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


32
Penyaluran KUR di Kepri pada tahun 2016 mencapai Rp.591,20 miliar dengan “Penyaluran KUR di
jumlah debitur yang menerima KUR mencapai 17.132 orang/badan. Angka tersebut Kepri melonjak”
menunjukkan bahwa penyaluran kredit melonjak 290,99% dan jumlah debitur melonjak
393,58% dibandingkan tahun 2015, sejalan dengan peningkatan target penyaluran.
Berdasarkan skemanya, KUR dapat dibagi menjadi KUR Mikro, KUR Ritel dan ”Skema KUR RItel dan
KUR Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Kur Ritel dan KUR Mikro mendominasi penyaluran KUR Mikro

KUR di Kepri tahun 2016 dengan porsi masing-masing bedasarkan nilai akad adalah penyaluran di Kepri”
mendominasi

46,79% dan 53,20%, sedangkan KUR TKI hanya berporsi 0,01%.


Penyaluran KUR TKI yang sangat rendah tersebut sangat disayangkan karena ”Permasalahan TKI
lokasi Provinsi Kepulauan Riau yang bertetangga dengan Singapura dan Malaysia, Ilegal menghambat
negara tujuan TKI, menunjukkan bahwa potensi TKI di Kepri sangat tinggi. Penyebab Kepri”
penyaluran KUR TKI di

rendahnya penyaluran KUR TKI disinyalir karena lokasi yang berdekatan tersebut
malah dimanfaatkan menjadi praktek TKI illegal. TKI illegal tidak terdaftar di instansi
pemerintah sehingga tidak dapat memanfaatkan KUR TKI. Permasalahan TKI illegal ini
memang telah lama menjadi permasalahan di Kepri (Batam Pos, 2017).
Berdasarkan Bank Penyalurnya, penyaluran KUR Mikro didominasi oleh Bank “BRI menjadi
Rakyat Indonesia (BRI) dengan porsi 93,05% dari total KUR Mikro tahun 2016. Pada penyalur utama KUR
Mikro, sedangkan
penyaluran KUR Ritel, Bank Rakyat Indonesia (BNI) dan Bank mandiri mendominasi penyalur utama KUR
dengan porsi masing-masing 51,56% dan 34,48% dari total KUR Ritel tahun 2016. Ritel adalah BNI”
Untuk penyaluran KUR TKI, 76,83% dari total nilai akad KUR TKI disalurkan oleh Bank
Sinarmas, sedangkan sisanya disalurkan oleh BRI. Selain empat Bank tersebut,
penyalur KUR lainnya di Kepri adalah Bank Pembangunan Daerah Riau kepri.
Tabel III-17 Penyaluran KUR di Kepri Berdasarkan Skema dan Bank (dalam miliaran rupiah)
Tahun 2015 Tahun 2016 Perubahan
No. Skema - Bank
Akad Debitur Akad Debitur Akad Debitur
1 Mikro - BRI 40,51 2.487 257,38 14.455 535,36% 481,22%
2 Mikro - Bank Mandiri 6,57 331 18,87 901 187,28% 172,21%
3 Mikro - Lainnya 0,20 7 0,35 19 79,28% 171,43%
4 Ritel - BNI 52,41 194 162,16 627 209,41% 223,20%
5 Ritel - Bank Mandiri 39,70 397 108,46 943 173,19% 137,53%
6 Ritel - Lainnya 11,82 55 43,89 180 271,35% 227,27%
7 TKI - - 0,08 7 n/a n/a
Total 151,20 3.471 591,20 17.132 290,99% 393,58%
Sumber: SIKP DJPBN Kemenkeu (Diolah)
Berdasarkan sektor ekonominya, penyaluran KUR di Kepri tahun 2016 “Fesibilitas sektor
perdagangan di mata
didominasi oleh sektor perdagangan dengan share 69,98% dari nilai akad total. Sektor bank penyalur
dengan share terbesar ke-2, 3, dan 4, yakni pertanian, akomodasi dan rumah makan, menjadikannya paling
dominan dalam
serta perikanan hanya mendapat share masing-masing 6,27%, 5,61%, dan 4,36%. penyaluran KUR”
Dikaitkan dengan sektor ekonomi yang ingin dikembangkan oleh pemerintah di Kepri,
yakni perikanan, pariwisata, dan pertanian, penyaluran KUR ini menjadi kurang tepat.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


33
Fenomena serupa juga terjadi di seluruh Indonesia karena pada dasarnya,
karakteristik dasar sektor perdagangan memang menjadikannya lebih fesibel di mata
perbankan. Untuk itu, pemerintah pusat telah mengakui penyaluran yang kurang tepat
sasaran tersebut dan mendesain skema KUR khusus sektor-sektor prioritas (The
Jakarta Post, 2017).
Untuk selanjutnya, Pemerintah Daerah juga diharapkan lebih aktif dalam
mendata calon debitur potensial yang sektor ekonominya ingin di prioritaskan di daerah
masing-masing ke dalam Sistem Informasi Kredit Program (SIKP). Pendaataan calon
debitur potensial pada SIKP akan membantu pihak perbankan agar penyaluran KUR
berjalan lebih efektif.
Tabel III-19 Penyaluran KUR di Kepri Berdasarkan Sektor
Tahun 2015 Tahun 2016 Perubahan
No. Sektor
Akad Debitur Akad Debitur Akad Debitur
1 Perdagangan 106,57 2.139 413,70 10.899 288,21% 409,54%
2 Pertanian 5,46 279 37,06 1.108 579,36% 297,13%
3 Akomodasi dan Rumah Makan 2,48 41 33,14 768 1239,00% 1773,17%
4 Perikanan 8,01 279 25,80 1.368 221,99% 390,32%
5 Real Estate, Sewa, Jasa 1,21 33 23,65 780 1849,11% 2263,64%
6 Jasa Kemasyarakatan 0,90 16 21,68 1.061 2314,79% 6531,25%
7 Lainnya 26,58 684 36,16 1.148 36,04% 67,84%
Total 151,20 3.471 591,20 17.132 290,99% 393,58%
Sumber: SIKP DJPBN Kemenkeu (Diolah)

“Penyaluran KUR Dilihat dari wilayah administrasi penyaluran KUR lingkup Provinsi Kepulauan
pada Kab./Kota di Riau di tahun 2016, penyebaran KUR relatif sudah merata apabila dibobot berdasarkan
Kepri relatif merata
dibandingkan dengan jumlah populasi di masing-masing wilayah. Secara nilai akad, Bintan, Karimun, Natuna,
porsi populasi
Lingga, Kepulauan Anambas, Batam dan Tanjungpinang masing-masing mendapatkan
masing-masing”
porsi 10,71% 11,79%, 3,11%, 3,23%, 3,01%, 52,15%, dan 15,99%. Secara jumlah
debitur, share masing-masing Kabupaten/Kota adalah 13,44%, 10,78%, 4,50%, 7,31%,
5,69%, 41,13% dan 17,16%. Sejalan dengan proporsi tersebut, share populasi
Kabupaten/Kota lingkup Provinsi Kepulauan Riau secara berturut-turut adalah 19,85%,
9,54%, 3,25%, 4,21%, 1,85%, 52,24%, dan 9,07%3
Tabel III-18 Penyaluran KUR di Kepri Berdasarkan Wilayah Kabupaten/Kota
Tahun 2015 Tahun 2016 Perubahan
No. Kabupaten/Kota
Akad Debitur Akad Debitur Akad Debitur
1 Kabupaten Bintan 13,07 504 63,30 2.303 384,35% 356,94%
2 Kabupaten Karimun 19,74 380 69,73 1.846 253,29% 385,79%
3 Kabupaten Natuna 4,83 183 18,40 771 281,18% 321,31%
4 Kabupaten Lingga 4,35 255 19,12 1.252 339,69% 390,98%
5 Kabupaten Kep. Anambas 2,86 169 17,82 974 523,98% 476,33%
6 Kota Batam 79,11 1.313 308,31 7.046 289,71% 436,63%
7 Kota Tanjungpinang 27,25 667 94,51 2.940 246,82% 340,78%
Total 151,20 3.471 591,20 17.132 290,99% 393,58%
Sumber: SIKP DJPBN Kemenkeu (Diolah)

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


34
BAB IV Perkembangan
dan analisis Pelaksanaan APBD
Ditinjau dari berbagai aspek, kesehatan keuangan
Pemerintah Daerah di lingkup Provinsi Kepri membaik
di tengah arus penguatan desentralisasi fiskal dari
Pemerintah Pusat. Namun demikian, efisiensi alokasi
belanja APBD masih perlu ditinjau. Porsi belanja
infrastruktur yang masih rendah dapat berakibat fatal
bagi pembangunan daerah kepulauan seperti Kepri
yang sangat membutuhkan interkonektivitas wilayah.

4.1. APBD LINGKUP PROVINSI KEPULAUAN RIAU


Implementasi otonomi daerah memberikan kewenangan bagi Pemda untuk
memajukan daerah dengan mengoptimalkan potensi dan keunikanyang dimiliki masing-
masing. Pemda merencanakan pembangunan daerah dalam jangka panjang (Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah/RPJPD), jangka menengah (Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah/RPJMD), dan jangka pendek (Rencana Kerja
Pemerintah Daerah/RKPD) dengan memperhatikan rencana pembangunan Pemerintah
Pusat. Untuk merealisasikan rencana tersebut, Pemda menuangkan program dan
kegiatan yang akan diselenggarakan ke dalam APBD. Oleh karena itu, realisasi APBD
merupakan proxy kinerja Pemda dalam melaksanakan pembangunan.
Pada lingkup Provinsi Kepulauan Riau, terdapat delapan APBD yang berasal “Pemda di Kepri
terdiri dari 1
dari Pemprov Kepri, Pemkab Bintan, Pemkab Karimun, Pemkab Natuna, Pemkab
dan 2 Pemkot”
Pemprov, 5 Pemkab,
Lingga, Pemkab Kepulauan Anambas. Pemkot Tanjungpinang dan Pemkot Batam.

Tabel IV-1 Perkembangan APBD Lingkup Provinsi Kepulauan Riau (dalam miliaran rupiah)
2014 2015 2016
Uraian
Pagu Realisasi Pagu Realisasi Pagu Realisasi
A.PENDAPATAN 11.139,45 10.602,53 10.694,79 7.309,89 11.409,21 10.913,23
PAD 2.232,04 2.563,05 2.670,28 1.681,21 2.812,79 2.614,48
Dana Perimbangan 7.571,91 6.882,11 7.016,19 4.999,74 7.723,24 7.509,69
LLPD yang Sah 1.335,50 1.157,74 1.008,31 405,54 873,17 789,06
B.BELANJA 12.750,14 11.420,30 11.362,78 9.442,47 11.530,21 10.468,32
Belanja Tidak Langsung 5.308,83 4.879,35 4.970,97 4.340,15 5.364,49 5.034,03
Belanja Langsung 7.441,31 6.541,66 7.441,31 5.940,40 6.165,72 5.434,29
C.SURPLUS(DEFISIT) A-B (1.610,69) (818,07) (667,99) (2.132,62) (121,01) 444,91
D.PEMBIAYAAN 1.550,75 597,35 539,65 80,41 9,91 68,92
Penerimaan Pembiayaan 1.667,35 707,46 570,08 106,26 149,57 93,25
Pengeluaran Pembiayaan 116,59 110,07 30,43 25,87 24,45 24,33
*Data pemerintah daerah bersifat sementara per 20 Februari 2017
Sumber: Pemda (diolah)

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


35
“Alokasi dan realisasi Secara umum, alokasi dan realisasi APBD
Gambar IV-1 Perkembangan Capaian
APBD meningkat di lingkup Kepri dalam tren membaik pada tahun Pendapatan dan Belanja APBD di Kepri
tahun 2016”
2016. Kebijakan penundaan DAU menjelang akhir
tahun telah menekan realisasi belanja sehingga
Pemda lingkup Kepri mengalami surplus anggaran

95,18%

95,65%

89,57%
setelah terus mengalami defisit sebelumnya.

68,35%

90,79%
83,10%
“Penguatan Capaian realisasi pendapatan tahun 2016
desentralisasi fiskal mencapai 95,65%, meningkat 47 basis poin
dan rebound harga
komoditas dibandingkan tahun 2014 dan mulai membaik sejak

2014 - Pendapatan

2015 - Pendapatan
mendorong

2016 - Pendapatan

2014 - Belanja
terkena commodity shock di tahun 2015. Faktor

2015 - Belanja

2016 - Belanja
peningkatan
penerimaan Pemda” yang menjadi pendorong perbaikan tersebut yakni
peningkatan derajat desentralisasi yang
meningkatkan penerimaan transfer dan harga
komoditas yang mulai membaik di paruh kedua Sumber: Pemda (diolah)

tahun 2016. Sejalan dengan perbaikan pendapatan, capaian belanja tahun 2016
meningkat 122 basis poin dibandingkan tahun 2014 walaupun sempat terkena dampak
penundaan DAU menjelang akhir tahun 2016.

4.2. PENDAPATAN PEMERINTAH DAERAH

4.2.1. Penerimaan Pemerintah Daerah Berdasarkan Jenis


“Realisasi Realisasi pendapatan APBD tahun 2016 melonjak hingga 49,29% dibandingkan
Pendapatan 2016 tahun sebelumnya. Lonjakan tersebut didorong oleh seluruh komponen penerimaan di
melonjak 49,29%”
tahun 2016 (PAD, Dana Perimbangan, dan LLPD).

Tabel IV-2 Perkembangan Pendapatan Pemda Lingkup Kepri (dalam miliaran rupiah)
2014 2015 2016
Pendapatan %Porsi
Pagu Realisasi % Pagu Realisasi % Pagu Realisasi %
Pendapatan Asli Daerah 2.232,04 2.563,05 114,83 2.670,28 1.681,21 62,96 2.812,79 2.614,48 92,95
Pajak Daerah 1.809,29 2.078,15 114,86 2.183,33 1.267,64 58,06 2.215,91 1.863,17 84,08
Retribusi Daerah 109,29 122,22 111,83 120,72 72,72 60,24 126,97 128,87 101,50
HPKD yang Dipisahkan 24,98 27,13 108,59 29,38 29,49 100,39 33,70 27,97 83,00
Lain-Lain PAD yang Sah 288,47 335,49 116,30 311,44 287,96 92,46 436,21 594,46 136,28
Dana Perimbangan 7.571,91 6.882,11 90,89 7.016,19 5.261,44 74,99 7.723,24 7.509,69 97,23
DBH 4.327,17 3.637,42 84,06 3.130,56 2.002,93 63,98 2.294,70 2.301,92 100,31
DAU 2.966,84 2.966,84 100,00 2.793,98 1.779,49 63,69 3.693,52 3.729,47 100,97
DAK 277,9 277,90 100,00 530,61 391,96 73,87 1.193,23 1.112,08 93,20
Dana Penyesuaian 564,43 525,20 93,05 561,04 464,77 82,84 541,78 366,22 67,60
LLPD 1.335,50 1.157,74 86,69 1.008,31 367,53 36,45 873,17 789,06 90,37
Hibah 31,76 26,82 84,46 48,5 28,07 57,87 42,11 3,51 8,32
Transfer Dari Provinsi 476,21 359,16 75,42 720,52 350,58 48,66 694,10 617,40 88,95
Lain-lain 263,11 246,53 93,70 239,29 87,68 36,64 136,96 168,15 122,77
Sumber: DJPK, Pemda di Kepulauan Riau, (diolah),*Rp.21,32 miliar

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


36
Secara persentase peningkatan, komponen Lain-Lain Pendapatan yang Sah “Penyaluran transfer
(LLPD) mengalami peningkatan tertinggi (114,69%), didorong oleh penyaluran transfer dari Pemprov
mendorong realisasi
dari Pemprov yang sempat tertunda di tahun 2015 karena defisit kas di Pemprov. Secara LLPD tahun 2016”
nominal, peningkatan tertinggi terjadi pada komponen dana perimbangan (Rp.2,25 triliun),
didorong oleh kebijakan penguatan desentralisasi dari pemerintah pusat.

4.2.2. Analisis Kesehatan Penerimaan APBD Agregat


Berdasarkan beberapa indikator, kesehatan keuangan Pemda di Kepri mulai “Kesehatan keuangan
membaik di tahun 2016 di tengah-tengah perbaikan harga komoditas dan penguatan APBD agregat
membaik di tahun
desentralisasi fiskal. Bahkan, perbaikan pada Pendapatan Daerah per Kapita dan 2016”
Keuangan Daerah bahkan sudah melampaui level tertinggi sebelumnya di tahun 2014.
Pendapatan Daerah per Kapita yang mencapai Rp.5,53 juta per orang
meningkat 0,03% dibandingkan tahun 2014. Artinya, kapasitas fiskal Pemda di Kepri
untuk melayani masyarakatnya kembali meningkat. Dari indikator ketergantungan
daerah, terjadi kenaikan 254 basis poin dibandingkan level tertinggi sebelumnya di
tahun 2014. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketergantungan daerah akan
pendapatan dari transfer pusat sudah berkurang di tahun 2016. Namun demikian, angka
24,98% tersebut menunjukkan bahwa Pemda baru bisa membiayai ¼ dari belanjanya
dengan pendapatan sendiri, sehingga masih memerlukan banyak peningkatan.

Tabel IV-3 Indikator Kesehatan Keuangan Pemerintah Daerah di Provinsi Kepulauan Riau
Pendapatan Daerah Kemandirian Ketergantungan
PAD terhadap PDRB
Per kapita Keuangan Daerah Daerah
Tahun
Pendapatan/Jumlah Pajak+Retribusi/
PAD/PDRB PAD/Pendapatan PAD/Belanja
Penduduk PDRB
2014 Rp5.529.772,12 1,40% 1,20% 24,17% 22,44%
2015 Rp3.704.902,92 0,83% 0,71% 23,00% 17,80%
2016 Rp5.531.288,94 1,21% 0,92% 23,96% 24,98%
Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau & Pemda (diolah)

4.2.3. Analisis Sensitivitas Gambar IV-2 Scatter Plot Sensitivitas Penerimaan Pemda
Pendapatan Pemda PAD Dana Perimbangan LLPD
120%
Δ Perubahan Penerimaan

“Pendapatan APBD
y = -368,8x - 2,4449
Berbeda dengan penerimaan
80%
cenderung lebih perpajakan pusat yang cenderung y = -65,292x - 0,0479
resilien dibandingkan 40%
APBN” melambat mengikuti tren
0% y = -138,9x - 0,927
pertumbuhan ekonomi yang juga
melambat, penerimaan Pemda di -40%

Kepri cenderung resilien terhadap -80%


-1,0% -0,9% -0,8% -0,7% -0,6% -0,5%
tren perlambatan pertumbuhan
Δ Perubahan Pertumbuhan Ekonomi
ekonomi. Hal tersebut terlihat pada
Sumber: BPS Kepri dan Pemda (Diolah)
dari tren ketiga jenis Penerimaan

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


37
Pemda pada scatter plot. Baik PAD, Dana Perimbangan, maupun LLPD memiliki
koefisien negatif yang artinya ketika pertumbuhan ekonomi melambat, penerimaan-
penerimaan tersebut malah meningkat.

4.3. BELANJA PEMERINTAH DAERAH

4.3.1. Belanja Pemerintah Daerah Berdasarkan Urusan


Belanja dalam APBD digunakan untuk membiayai Urusan wajib yang
merupakan urusan yang berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar warga negara, dan
urusan pilihan adalah urusan yang sesuai kekhasan dan potensi unggulan daerah.

Tabel IV-4 Perkembangan Belanja APBD berdasarkan Jenis Urusan (dalam miliaran Rupiah)
2014 2015 2016
Urusan Pemerintahan
Pagu Pagu Pagu Realisasi Porsi Realisasi
Urusan Wajib
1.Pendidikan 2.242,76 1.760,20 1.786,15 92,25% 15,74%
2.Kesehatan 1.219,76 1.091,43 1.107,48 86,64% 9,17%
3.Pekerjaan Umum 1.891,59 1.835,84 1.862,94 89,01% 15,84%
4.Perumahan 149,59 73,63 74,72 91,44% 0,65%
5.Penataan Ruang 53,71 34,90 35,40 94,98% 0,32%
6.Perencanaan Pembangunan 247,97 200,21 203,16 87,21% 1,69%
7.Perhubungan 355,90 380,22 385,80 90,74% 3,34%
8.Lingkungan Hidup 244,15 167,51 169,96 93,66% 1,52%
9.Pertanahan 41,01 28,67 29,06 68,24% 0,19%
10.Kependudukan dan Catatan Sipil 68,50 48,35 49,00 91,93% 0,43%
11.Pemberdayaan Perempuan 48,35 36,40 36,90 95,35% 0,34%
12.Keluarga Berencana & Keluarga Sejahtera 10,48 16,22 16,49 95,15% 0,15%
13.Sosial 118,77 98,03 99,51 93,93% 0,89%
14.Tenaga Kerja 76,08 61,43 62,38 91,98% 0,55%
15.Koperasi dan UKM 64,18 46,20 46,93 95,87% 0,43%
16.Penanaman Modal 54,30 42,47 43,12 89,78% 0,37%
17.Kebudayaan 84,91 38,35 38,86 91,13% 0,34%
18.Pemuda dan Olahraga 118,33 122,51 124,30 93,33% 1,11%
19.Kesatuan Bangsa & Politik Dlm.Negeri 232,43 175,46 178,03 92,74% 1,58%
20.Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum 4.350,29 4.199,02 4.260,87 92,11% 37,49%
21.Ketahanan Pangan 22,08 19,36 19,60 92,53% 0,17%
22.Pemberdayaan Masy. dan Desa 73,34 65,78 66,76 94,28% 0,60%
23.Statistik 2,55 1,68 1,73 94,09% 0,02%
24.Kearsipan 5,90 19,51 19,83 93,57% 0,18%
25.Komunikasi dan Informatika 59,37 64,76 65,72 93,66% 0,59%
26.Perpustakaan 42,47 57,17 58,00 96,22% 0,53%
Urusan Pilihan
1.Pertanian 129,99 118,87 120,61 85,47% 0,98%
2.Kehutanan 30,98 20,14 20,41 78,56% 0,15%
3.Energi dan SD Mineral 120,37 112,92 114,61 81,00% 0,89%
4.Pariwisata 101,19 77,51 78,64 95,51% 0,72%
5.Kelautan dan Perikanan 248,60 209,47 212,62 92,26% 1,87%
6.Perdagangan 55,06 79,25 80,37 81,20% 0,62%
7.Perindustrian 42,00 59,25 60,07 93,63% 0,54%
8.Transmigrasi 0,33 0,08 0,12 93,50% 0,00%
Sumber: Pemda (diolah)

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


38
Dilihat dari alokasinya, hampir semua urusan mengalami kenaikan anggaran “Fokus anggaran
dengan rata-rata peningkatan 2,53%. Berdasarkan porsinya, urusan yang mendapatkan Pemda untuk
pelayanan,
porsi alokasi terbesar merupakan urusan Otonomi Daerah (36,95%), Pekerjaan Umum pembangunan SDM,
dan infrastruktur”
(15,84%), Pendidikan (15,74%), dan Kesehatan (9,17%). Selain urusan tersebut, 30
urusan lainnya memiliki porsi masing-masing dibawah 4% dengan total mencapai 21,77%.
Porsi tersebut menunjukkan bahwa kebijakan Pemda menitikberatkan pada pelayanan
pada masyarakat, pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan dan
kesehatan, serta pembangunan infrastruktur untuk menunjang perekonomian.

4.3.2. Belanja Pemerintah Daerah Berdasarkan Fungsi


Mengacu pada standar COFOG dari OECD, belanja Pemda di Kepri dapat
dibagi menjadi Sembilan fungsi pemerintahan.

Tabel IV-5 Perkembangan Belanja APBD Berdasarkan Fungsi (dalam miliaran Rupiah)
2014 2015 2016
Fungsi
Pagu Pagu Pagu Realisasi Porsi Realisasi
01 Pelayanan Umum 4.666,08 4.485,18 4.550,98 91,88% 39,94%
02 Ketertiban dan Keamanan 232,43 175,46 177,57 92,75% 1,57%
03 Ekonomi 1.272,88 1.215,43 1.233,73 89,50% 10,55%
04 Lingkungan Hidup 338,87 231,07 234,06 90,81% 2,03%
05 Perumahan dan Fasilitas Umum 2.041,17 1.909,47 1.937,08 89,20% 16,50%
06 Kesehatan 1.230,24 1.107,65 1.124,20 86,72% 9,31%
07 Pariwisata dan Budaya 186,09 115,86 117,61 93,52% 1,05%
08 Pendidikan 2.403,57 1.939,88 1.968,21 92,38% 17,37%
09 Perlindungan Sosial 235,95 182,78 186,79 93,66% 1,67%
Sumber: Pemda (diolah).

Secara alokasi terdapat lima fungsi pemerintahan yang mendapatkan porsi


APBD besar yakni fungsi pelayanan umum (39,47%), pendidikan (17,07%), fasilitas
umum (16,80%), ekonomi (10,70%), dan kesehatan (9,75%). Selain fungsi tersebut,
memiliki porsi masing-masing dibawah 3% dengan total mencapai 6,21%. Sejalan
dengan indikasi dari belanja berdasarkan urusan, dari jenis fungsinya, kebijakan pemda
di Lingkup Kepri juga terindikasi menitikberatkan pada pelayanan masyarakat,
pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur.

4.3.3. Belanja Pemerintah Daerah Berdasarkan Jenis Belanja


Berdasarkan jenis belanja umum, kenaikan APBD tahun 2016 dibandingkan “Kenaikan APBD
tahun 2015 disebabkan oleh pagu Belanja Tidak Langsung yang meningkat 7,92% dan tahun 2016 didorong

mampu mendorong APBD agregat walaupun pagu Belanja Langsung menurun -3,54%. Tidak Langsung”
komponen Belanja

Berdasarkan porsi pagu, belanja Barang & Jasa, Belanja Pegawai, dan Belanja
Modal mendapatkan porsi terbesar dengan porsi masing-masing 33,93%, 30,21%, dan
19,55%. Kebijakan Pemda Kepri masih kurang memprioritaskan belanja modal
sebagaiman terlihat dari porsinya yang masih di bawah belanja konsumtif tersebut.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


39
Tabel IV-6 Perkembangan Belanja APBD Berdasarkan Jenis Belanja (dalam miliaran Rupiah)
Jenis Belanja 2014 2015 2016
Pagu Pagu Pagu Realisasi Porsi Realisasi
Belanja Tidak Langsung 5.386,12 4.970,97 5.364,49 93,84% 48,09%
Belanja Pegawai 3.528,43 3.198,13 3.483,61 94,48% 31,44%
Belanja Subsidi 68,88 49,75 24,19 77,54% 0,18%
Belanja Hibah 738,25 796,65 514,51 91,32% 4,49%
Bantuan Sosial 312,93 228,13 70,37 74,38% 0,50%
Belanja Transfer 733,65 632,43 1.261,03 94,82% 11,42%
Belanja Tidak Terduga 3,98 65,88 10,79 56,95% 0,06%
Belanja Langsung 7.221,16 6.391,81 6.165,72 88,14% 51,91%
Belanja Barang & Jasa 4.353,04 4.038,47 3.911,84 88,53% 33,08%
Belanja Modal 2.868,11 2.353,34 2.253,88 87,46% 18,83%
Sumber: Pemda (diolah)

4.4. PENGELOLAAN BADAN LAYANAN UMUM DAERAH

4.4.1. Profil dan Jenis Layanan Satuan Kerja Badan Layanan Umum Daerah
“Kepri memiliki 9 Per akhir tahun 2016, terdapat 12 entitas BLUD di lingkup Kepri. Berdasarkan
BLUD di bidang jenis layanannya, 9 BLUD bergerak di bidang kesehatan, 2 di bidang pengelolaan dana
kesehatan dan 3
BLUD di bidang bergulir dan 1 di bidang pelayanan air bersih. Berdasarkan induk Pemerintah
lainnya”
Daerahnya, 7 BLUD merupakan entitas dari Pemkab Bintan, 3 dari Pemkot Batam, 1
dari Pemprov Kepri, dan 1 dari Pemkab Natuna. Profil 12 Satuan Kerja BLUD tersebut
adalah sebagai berikut.

Tabel IV-7 Profil Satuan Kerja BLUD di Provinsi Kepulauan Riau (dalam miliaran rupiah)
Jenis Layanan/ Nama BLUD Pemerintah Daerah Nilai Aset/Tanggal
Kesehatan
RSUD Provinsi Kepri (Kelas B) Pemprov Kepulauan Riau 266,44 / per 31 Desember 2015
RSUD Embung Fatimah (Kelas B) Pemkot Batam 181,22 / per 31 Desember 2015
RSUD Kabupaten Natuna (Kelas C) Pemkab Natuna 11,73 / per 30 Juni 2016
RSUD Kabupaten Bintan (Kelas D) Pemkab Bintan 2,10 / per 30 Juni 2016
PPK BLUD Puskesmas Kawal Pemkab Bintan 0,30 / per 31 Desember 2015
PPK BLUD Puskesmas Kijang Pemkab Bintan 0,29 / per 31 Desember 2015
PPK BLUD Puskesmas Tanjung Uban Pemkab Bintan 0,49 / per 31 Desember 2015
PPK BLUD Puskesmas Teluk Sasah Pemkab Bintan 0,22 / per 31 Desember 2015
PPK BLUD Puskesmas Teluk Sebong Pemkab Bintan 0,14 / per 31 Desember 2015
Lainnya
PPK BLUD Dana Bergulir Pemkab Bintan 4.337,81 / per 30 Juni 2016
UPT Pengelolaan Dana Bergulir Pemkot Batam 26,50 / per 31 Desember 2015
UPT Pelayanan Air Bersih Pemkot Batam 0,38 / per 31 Desember 2015
Sumber: Pemda (diolah)

“Puskesmas di Kepri Pembentukan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) mengubah pola
didorong untuk pengelolaan keuangan menjadi lebih fleksibel, sehingga diharapkan pelayanan bagi
menjadi BLUD agar
dapat meningkatkan masyarakat dapat ditingkatkan. Saat ini, puskesmas-puskemas lingkup Kepri lainnya
kualitas layanan”
juga sedang diusahakan untuk dapat menggunakan pola pengelolaan keuangan BLUD.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


40
4.4.2. Perkembangan Pengelolaan Aset Badan Layanan Umum Daerah
Dari 5 BLUD yang sudah berdiri sejak tahun 2014, hanya PPK-BLUD Dana “BLUD-BLUD
Bergulir Kabupaten Bintan yang nilai asetnya meningkat (11,00%). Hal tersebut Kesehatan di Kepri
mengalami kerugian”
menunjukkan bahwa pendapatan dari 4 RSUD di Kepri belum mampu untuk menutupi
beban operasional dan depresiasinya. Untuk menanggulanginya, RSUD-RSUD
tersebut perlu meninjau kembali kinerja operasionalnya baik dari sisi kesesuaian tarif,
beban operasional, maupun kualitas layanan yang diberikan.

Tabel IV-8 Perkembangan Pengelolaan Aset Badan Layanan Umum Daerah (dalam miliaran Rupiah)
BLUD 2014 2015 Perubahan (%)
RSUD Provinsi Kepulauan Riau 272,77 266,44 -2,32%
RSUD Embung Fatimah 242,01 181,22 -25,12%
RSUD Kabupaten Natuna 22,11 18,27 -17,39%
RSUD Kabupaten Bintan 11,47 10,53 -8,21%
PPK-BLUD Dana Bergulir 3,88 4,30 11,00%
Sumber: Pemda (diolah)

4.4.3. Analisis Legal Badan Layanan Umum Daerah


Dilihat dari aspek legal, penyusunan peraturan daerah tentang pelayanan
kesehatan BLUD mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 61 tahun 2007
tanggal 7 November 2007 tentang pedoman teknis PK-BLUD, dan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia nomor 23 tahun 2005 tanggal 13 Juni 2005 jo.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 74 tahun 2012 tentang PK-BLU.
Kesesuaian penyusunan tersebut dapat dilihat dari analisis kelembagaan, tata “Pembentukan RSUD
kelola, SDM, dan pengendalian. Dalam aspek kelembagaan, penetapan dengan Perda Provinsi Kepri dan
Kabupaten RSUD
setelah memenuhi persyaratan substantif, teknis dan administratif. Analisis tata kelola Bintan
sudah
memenuhi aspek
legal”
meninjau fleksibilitas dalam pengeluaran biaya dengan mempertimbangkan volume
pelayanan. Dalam analisis SDM, pengelola BLUD terdiri dari pemimpin BLUD, pejabat
keuangan, dan pejabat teknis. Dalam aspek pengendalian, diperlukan adanya evaluasi
dan penilaian kinerja oleh kepala daerah/badan pengawas. Berdasarkan Perda Provinsi
Kepri Nomor 9/2010 tentang Pelayanan Kesehatan RSUD Provinsi Kepri sebagai BLUD
dan Perda Bintan Nomor 6/2014 tentang Pelayanan Kesehatan Pada RSUD Kabupaten
Bintan, kedua RSUD tersebut telah memenuhi aspek legal. Untuk BLUD lainnya,
penarikan kesimpulan masih membutuhkan penelaahan lebih lanjut.

4.5. PENGELOLAAN INVESTASI DAERAH

4.5.1. Bentuk Investasi Daerah


Investasi pemerintah daerah merupakan penempatan sejumlah dana dan/atau
barang milik daerah dalam jangka panjang dengan tujuan mendapatkan manfaat dalam

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


41
“IPorsi nvestasi jangka waktu tertentu. Pada Tabel IV-9 Investasi Daerah di Kepri (dalam miliaran rupiah)
tahun 2016 tahun 2015 2016
2016, anggaran Investasi Langsung
didominasi oleh Pagu Realisasi Pagu Realisasi
penghapusan utang penyertaan modal di Kepri 1.Penyertaan Modal 26,50 90,57% 24,33 100%
PDAM ” 2.Pemberian Pinjaman 3,90 47,95% - -
terealisasi 100% (Rp.24,33
Jumlah Investasi 30,40 85,10% 24,33 100%
miliar). Dari nilai tersebut, Sumber: Pemda (diolah)

91,78% merupakan penyertaan modal daerah (PMD) dari Pemprov Kepri pada PDAM
Tirta Kepri dalam bentuk non kas. PMD Non Kas tersebut merupakan bagian dari proses
penghapusan utang PDAM oleh Pemerintah Pusat dengan skema Hibah-PMD.

4.5.2. Profil dan Jenis BUMD


“Kepri memiliki 4 Selain sebagai bentuk investasi, BUMD berperan dalam mewujudkan prioritas
BUMD yang bergerak kebijakan pemerintah daerah dan perintis kegiatan yang kurang mendapat perhatian
di bidang multi usaha,
investasi, air minum, swasta. Di Kepri, terdapat empat BUMD dengan jenis usaha yang berbeda-beda. PT
dan pelabuhan”
Pembangunan Kepri milik Pemprov Kepri berusaha di bidang eksplorasi dan eksploitasi
SDA, distribusi perdagangan, agrobisnis dan sektor primer, industri manufaktur,
pariwisata, telekomunikasi, energi, dan jasa keuangan. PT Bintan Inti Sukses milik
Pemkab Bintan berusaha pada investasi pengembangan kawasan Bintan. PDAM Tirta
Kepri Pemprov Kepri bertugas menyediakan air bersih bagi masyarakat Pulau Bintan.
PT Pelabuhan Kepri milik Pemprov Kepri bertugas menyediakan jasa pelabuhan.

Tabel IV-10 BUMD di Provinsi Kepulauan Riau


Modal Awal
Nama BUMD Jenis Usaha Berdiri Dasar Hukum
(miliaran rupiah)
1.PT.Pembangunan Kepri Multi usaha 2006 Perda no.2/2006 10,00
2.PT Bintan Inti Sukses Investasi 2007 Perda no.2/2007 27,76
3.PDAM Tirta Kepri Penyediaan air minum 2008 Perda no.4/2008 31,76
4.PT.Pelabuhan Kepri Transportasi laut 2013 Perda no.2/2013 100,00
Sumber: Pemda (diolah)

4.6. DEFISIT DAN PEMBIAYAAN PEMERINTAH DAERAH

4.6.1. Perkembangan Defisit APBD


“Kebijakan APBD di Kebijakan anggaran pada APBD di Provinsi Kepulauan Riau adalah kebijakan
Kepri cenderung ekspansif dengan defisit anggaran yang ditujukan untuk menggerakkan perekonomian.
ekspansif”
Empat rasio berikut dapat digunakan untuk mengukur kebijakan defisit.

Tabel IV-11 Rasio Defisit APBD di Provinsi Kepulauan Riau


Defisit terhadap Defisit terhadap Defisit Terhadap SILPA terhadap
Tahun Pendapatan Realisasi Dana Transfer PDRB Alokasi Belanja
Defisit/Pendapatan Defisit/Dana Transfer Defisit/PDRB SILPA/Belanja
2014 0,0772 0,1104 0,0158 0,0615
2015 0,2917 0,4054 0,0105 0,0489
2016 0,0020 0,0027 0,0001 0,0089
Sumber: BPS dan Pemda (diolah)

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


42
Di tengah-tengah capaian pendapatan yang tinggi, ke-empat rasio menunjukkan “Seluruh rasio defisit
penurunan yang signifikan. Rasio defisit terhadap pendapatan yang menurun menunjukkan adanya
perbaikan pada APBD
mencerminkan kemampuan pendapatan untuk membiayai defisit meningkat. Mengacu Kepri”
pada PMK 153/2015 yang mengatur batas defisit APBD dan PMK 37/2016 yang
mengatur Kapasitas Fiskal Daerah, batas defisit untuk Kepri adalah 6%, masih sangat
jauh dibanginkan rasio 0,0020 (0,2%) tersebut.
Rasio defisit terhadap realisasi dana transfer yang menurun menunjukkan
ketergantungan pemerintah daerah terhadap dana transfer untuk membiayai ekspansi
fiskalnya menurun. Rasio defisit terhadap PDRB menggambarkan kesehatan ekonomi
regional, rasio yang mengecil menunjukkan Provinsi Kepulauan Riau dapat dengan
mudah menggali potensi pajak di daerahnya untuk menutupi defisit. Rasio SILPA
terhadap alokasi Belanja APBD yang menurun mencerminkan realisasi belanja daerah
yang lebih efektif di tahun sebelumnya.

4.6.2. Pembiayaan Daerah


Pada tahun 2016, realisasi penerimaan pembiayaan di Kepri sebesar Rp.93,25
miliar terdiri dari 99,37% SiLPA dan sisanya berupa penerimaan kembali piutang.
Sedangkan pengeluaran pembiayaan sebesar Rp.24,33 miliar seluruhnya merupakan
penyertaan modal daerah.
Dalam APBD lingkup Kepri, penggunaan pinjaman daerah sangat terbatas, oleh “Kebijakan utang
karena itu perkembangan pembiayaan hanya dapat dilihat berdasarkan keseimbangan APBD di Kepri
cenderung
primer. Keseimbangan primer mencerminkan indikasi likuiditas tanpa dipengaruhi konservatif”
belanja terkait hutang, semakin besar surplus keseimbangan primer semakin baik
kemampuan daerah untuk menutup bunga utang atau melakukan ekspansi fiskal.
Pada tahun 2016, untuk pertama kalinya Keseimbangan Primer APBD di Kepri “Surplus
keseimbangan
mengalami surplus. Surplus pada keseimbangan primer ini dapat menjadi salah satu
primer di Kepri dapat
alternatif dalam mendorong perekonomian di Kepri. Dengan adanya surplus, Pemda di dimanfaatkan untuk
ekspansi fiskal”
Kepri dapat mengambil kebijakan fiskal ekspansif pada tahun-tahun berikutnya.

Tabel IV-12 Keseimbangan Primer APBD di Provinsi Kepulauan Riau (dalam miliar rupiah)
Keseimbangan Primer 2012 2013 2014 2015 2016
Pendapatan – Belanja + Belanja Bunga -1.502,81 -1.120,05 -808,10 -2.131,61 444,91
Sumber: Pemda (diolah)

4.7. ANALISIS APBD LAINNYA

4.7.1. Analisis Horizontal dan Vertikal


Analisis ini digunakan untuk menilai kinerja pelaksanaan APBD di wilayah
Provinsi Kepulauan Riau dengan membuat komparasi.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


43
4.7.1.1.Analisis Horizontal
Analisis horizontal merupakan analisis yang membandingkan angka-angka
dalam laporan realisasi Pemda satu dengan lainnya dalam satu provinsi. Analisis ini
bertujuan untuk menyajikan informasi utuh terkait kinerja suatu pos antar pemerintah
daerah dan perkembangannya dari waktu ke waktu.

Tabel IV-13 Analisis Horizontal Realisasi APBD Kepri TA 2016 (dalam miliaran Rupiah)
Kep. Tanjung
Uraian Pemprov Bintan Karimun Natuna Lingga Batam
Anambas pinang
Pendapatan 2456,73 1039,42 1368,98 1207,20 748,50 926,69 2215,68 950,02
PAD 704,92 197,16 600,36 53,41 18,25 31,70 881,27 127,41
Dana Perimbangan 1751,82 725,21 693,51 1086,72 672,14 834,26 1032,12 713,91
LLPD 0,00 117,05 75,10 67,07 58,11 60,73 302,29 108,70
Belanja 2837,90 916,84 1063,61 1073,19 670,07 832,07 2127,25 947,39
Tidak Langsung 1326,46 391,33 601,70 595,16 306,61 433,03 1339,74 440,26
Langsung 1511,44 525,51 461,92 478,04 363,46 399,03 787,51 507,13
Surplus/Defisit -381,17 122,58 305,37 134,01 78,43 94,63 88,43 2,64
Pembiayaan -22,33 16,83 26,68 2,36 2,37 -1,86 44,87 0,00
*Data pemerintah daerah bersifat sementara per 20 Februari 2017
Sumber: Pemda (diolah)

Pemda dengan pendapatan terbesar Pemprov Kepri dan Pemkot Batam yang
mencapai lebih dari Rp.2 triliun, didukung oleh PAD yang juga tertinggi. Sedangkan
Pemda dengan pendapatan terkecil adalah Pemkab Lingga (Rp.748,5 miliar).

“Alokasi anggaran Sejalan dengan kondisi pendapatan, belanja terbesar direalisasikan oleh
pada Pemda Provinsi, Pemprov Kepri dan Pemkot Batam. Dilihat dari komposisinya, proporsi realisasi belanja
Bintan, Lingga, dan
Tanjungpinang relatif langsung pada Pemda Provinsi, Bintan, Lingga, dan Tanjungpinang lebih besar
lebih produktif” dibandingkan realisasi belanja tidak langsungnya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa
ke-empat pemda tersebut dapat lebih baik mengatur belanja produktifnya.

Gambar IV-3 Perkembangan Porsi Realisasi Pendapatan dan Belanja APBD di Kepri
Porsi Pendapatan Porsi Belanja
80% 50%
60% 40%
40% 30%
20%
20% 10%
0% 0%
2012PAD 2013 Dana Perimbangan
2014 2015 LLPD
2016 2012 2013 B.Barang
B.Pegawai 2014 2015
B.Modal 2016
Sumber: Pemda (diolah)

“Respon Pemda Dari sisi pendapatan, kontribusi dana perimbangan terhadap pendapatan
terhadap daerah di Provinsi Kepulauan Riau masih sangat dominan (68,81% per tahun 2016)
pemrioritasan
pembangunan walaupun perkembangan kontribusi PAD (23,96% per tahun 2016) terus meningkat

kurang baik”
infrastruktur masih
(17,27% per tahun 2012). Dari sisi belanja, porsi belanja modal masih kecil (22,59% per
2016) dan dalam tren menurun (26,19% per tahun 2012). Hal tersebut mencerminkan
bahwa respon Pemerintah Daerah terhadap kebijakan pemrioritasan pembangunan
infrastruktur dari pemerintah pusat masih belum baik.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


44
4.7.1.2.Analisis Vertikal
Analisis vertikal membandingkan kontribusi pos pada APBD masing-masing.

Tabel IV-14 Analisis Vertikal Realisasi Pendapatan APBD 2016 di Provinsi Kepulauan Riau
Uraian Pemprov Bintan Karimun Natuna Lingga Anambas Batam Tjpinang
PAD 28,69% 18,97% 43,85% 4,42% 2,44% 3,42% 39,77% 13,41%
Pajak dan Retribusi 26,11% 15,89% 24,36% 0,80% 1,33% 2,12% 33,46% 7,54%
HPKD dan LLPAD 2,59% 3,08% 19,50% 3,63% 1,10% 1,30% 6,32% 5,87%
Dana Perimbangan 71,31% 69,77% 50,66% 90,02% 89,80% 90,03% 46,58% 75,15%
DBH 21,24% 12,34% 15,10% 46,49% 16,81% 36,78% 13,13% 13,32%
DAU 34,01% 43,28% 28,16% 28,60% 55,13% 37,82% 22,59% 47,34%
DAK 9,01% 14,15% 7,41% 11,25% 8,65% 11,74% 9,04% 13,96%
Dana Penyesuaian 7,06% 0,00% 0,00% 3,68% 9,21% 3,68% 1,82% 0,53%
LLPD 0,00% 11,26% 5,49% 5,56% 7,76% 6,55% 13,64% 11,44%
Hibah 0,00% 0,00% 0,00% 0,29% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00%
Transfer dari Provinsi 0,00% 0,00% 1,75% 5,27% 7,76% 6,55% 13,64% 11,44%
Lain-lain 0,00% 11,26% 3,73% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00%
Sumber: Pemda (diolah)

Tingginya porsi dana perimbangan di setiap Pemda menunjukkan “Penguatan


ketergantungan terhadap dana perimbangan masih besar. Bahkan di tiga pemerintah desentralisasi fiskal
daerah, yakni Pemda Kepulauan Anambas, Natuna, dan Lingga porsinya diatas 80%. penerimaan DAU”
mendorong dominasi

Selain itu, kebijakan penguatan desentralisasi fiskal (melalui DAU dan DAK) juga
menyebabkan tingginya sumbangan DAU di masing-masing Pemda. Di Pemda Lingga,
DAU bahkan menyumbang lebih dari setengah pendapatan karena kapasitas fiskalnya
yang masih rendah. Untuk komponen DBH, Pemda Natuna dan Kepulauan Anambas
sebagai penghasil migas memiliki porsi DBH yang paling tinggi.
Dari 8 Pemda di Kepri, hanya 4 yang memiliki kontribusi PAD signifikan (di atas “Komposisi PAD pada
15%), yakni Pemda Provinsi, Bintan, Karimun, dan Batam. Tingginya PAD di Karimun 4 pemda sudah dapat
yang baru saja melonjak disumbang oleh aktivitas penambangan pasir dan granit yang dari 15%”
menyumbang lebih

semakin berkembang. Sedangkan sumbangan PAD di Pemda Bintan dan Batam


didorong oleh sektor pariwisata yang cukup berkembang di dua daerah tersebut.

Tabel IV-15 Analisis Vertikal Realisasi Belanja APBD 2016 di Provinsi Kepulauan Riau
Uraian Provinsi Bintan Karimun Natuna Lingga Anambas Batam Tjpinang
Bel.Tidak Langsung 46,74% 42,68% 56,57% 55,46% 45,76% 52,04% 62,98% 46,47%
B.Pegawai 11,38% 48,83% 38,52% 28,07% 37,16% 36,84% 35,63% 52,39%
Subsidi 0,00% 0,00% 0,00% 1,66% 0,00% 0,00% 0,00% 0,10%
Hibah 14,77% 0,80% 0,67% 0,28% 0,57% 0,92% 0,94% 0,17%
Bantuan Sosial 0,48% 0,37% 0,04% 1,31% 1,27% 0,28% 0,18% 0,67%
Bagi Hasil ke Pemda 26,62% 7,27% 4,14% 13,22% 15,25% 9,88% 0,08% 0,18%
B.Tidak Terduga 0,01% 0,04% 0,07% 0,00% 0,00% 0,05% 0,20% 0,02%
Bel.Langsung 53,26% 57,32% 43,43% 44,54% 54,24% 47,96% 37,02% 53,53%
B.Barang & Jasa 36,17% 19,63% 41,27% 34,89% 32,37% 19,47% 38,32% 26,27%
B.Modal 10,57% 23,05% 15,30% 20,56% 13,39% 32,58% 24,66% 20,20%
Sumber: Pemda (diolah)

Belanja Pemda lingkup Kepri masih didominasi oleh belanja konsumtif (Belanja “Pemda perlu
sosialisasi
Pegawai dan Barang). Dari 8 Pemda, baru Anambas yang porsi belanja modalnya
pentingnya
diatas 30%. Untuk itu, perlu disosialisasikan kembali pada pihak Pemda mengenai infrastruktur

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


45
pentingnya belanja modal, khususnya yang berkaitan dengan infrastruktur. Mengingat
adanya kebijakan penguatan desentralisasi, tingginya porsi belanja infrastruktur di
Pemda menjadi sangat krusial untuk mendorong perekonomian di daerah tersebut.

4.7.2. Analisis Kesehatan Fiskal Daerah Dengan Ten Point Test

“Ten point test Ten point test yang dikembangkan oleh Kenneth W. Brown (1993) merupakan
memberikan salah satu alat analisis terbaik untuk mengukur kesehatan fiskal suatu daerah. Dalam
gambaran yang
komprehesnif ten point test, setiap rasio yang digunakan mengarah pada empat aspek kesehatan
mengenai kesehatan
fiskal daerah”
fiskal yaitu pendapatan, pengeluaran, posisi operasi dan struktur utang. Untuk memotret
kesehatan keuangan daerah di Kepri, metode ten point test tersebut dimodifikasi untuk
disesuaikan dengan perbedaan standarisasi data dan informasi keuangan daerah yang
terbatas sehingga indikator keuangan yang digunakan hanya 9.
Mengacu pada penggunaan ten point test oleh DJPK, Kementerian Keuangan
(2012), Untuk menilai kesehatan keuangan masing-masing Pemda, setiap Pemda
mendapatkan skor dari masing-masing indikator sehingga terbentuk perbandingan yang
komprehensif. Skor yang diberikan dalam setiap indikator adalah +1, +2, +3, atau +4
untuk masing-masing pemda tergantung dari kuartil yang diraih.
Skor tengah atau skor median dari 8 Pemda lingkup Kepri digunakan sebagai
titik 50%. Nilai yang berada di di bawah persentil ke-25 masuk kuartil pertama. Nilai
antara persentil 25 dan 50 masuk kuartil kedua. Nilai antara persentil 50 dan 75 masuk
kuartil ketiga. Nilai diatas persentil 75 masuk kuartil keempat. Selanjutnya, pemberian
skor tergantung dari sifat masing-masing indikator, apabila semakin tinggi semakin baik
maka kuartil keempat yang mendapatkan nilai maksimal (+4), apabila semakin rendah
semakin baik maka kuartil pertama yang mendapatkan nilai maksimal.
Perlakuan khusus diberikan untuk indikator ke-lima (Kemampuan Membiayai
Belanja Daerah). Kuartil pertama (+1) diberikan untuk pemda yang nilainya di bawah
100%. Pemda dengan nilai diatas 100% dibagi ke dalam 3 kelompok dengan batas
persentil 0-33, 34-66, 67-100.
Hasil pembobotan dan rekapitulasi skor yang mencerminkan kesehatan
keuangan Pemda lingkup Kepri secara komprehensif dapat dilihat di sub bab 4.7.2.10.

4.7.2.1.Indikator I (Pendapatan Daerah Per kapita)


Indikator pendapatan daerah per kapita menunjukkan besarnya jumlah
pendapatan pemerintah daerah yang dapat digunakan untuk melayani sejumlah
penduduk daerah tersebut sehingga merupakan ukuran rill dari pendapatan daerah.
Indikator pendapatan daerah per kapita dihitung berdasarkan formula sebagai berikut:

Indikator Pendapatan Daerah Per kapita = ℎ

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


46
Rata-rata kemampuan daerah di Indonesia dalam melayani penduduknya “Kapasitas fiskal
sebesar Rp.2,51 juta per orang. Untuk agregat Kepri angka tersebut mencapai Rp.5,69 Kepri untuk melayani
masyarakat lebih baik
juta/penduduk. Hal tersebut menunjukkan bahwa kapasitas Provinsi Kepulauan Riau dari nasional”
untuk melayani masyarakatnya berada di atas rata-rata nasional.

Gambar IV-4 Indikator Pendapatan Daerah Per kapita di Provinsi Kepulauan Riau
Ak.Nasional 2,51
Ak.Prov/Kab./Kota 5,69
Pemprov.Kep.Riau 1,28
Pemkab.Bintan 6,88
Pemkab.Karimun 6,14
Pemkab.Natuna 16,43
Pemkab.Lingga 8,48
Pemkab.Kep.Anambas 23,23
Pemko.Batam 25,10
Pemko.Tanjungpinang 23,81
Sumber: DJPK Kemenkeu, Pemda, dan BPS Kepri (diolah)

4.7.2.2.Indikator II (Kemandirian Keuangan Daerah)


Kemandirian keuangan daerah menunjukkan local taxing power atau seberapa
besar kemampuan PAD mendanai belanja untuk memberikan pelayanan publik. Rasio
menunjukkan tingkat kemandirian semakin baik bila terus meningkat. Indikator
kemandirian keuangan daerah dihitung berdasarkan formula sebagai berikut:

Indikator Kemandirian Keuangan Daerah = ℎ

Rasio PAD terhadap pendapatan daerah di Provinsi Kepulauan Riau secara “Kemandirian

baik dari nasional”


agregat mencapai 24,98%, sedikit di atas nasional. Hal tersebut menunjukkan bahwa keuangan Kepri lebih
Pemda lingkup Kepri sedikit lebih mandiri diatas rata-rata nasional.

Gambar IV-5 Indikator Kemandirian Keuangan Daerah di Provinsi Kepulauan Riau


Ak.Nasional 23,08%
Ak.Prov/Kab./Kota 24,98%
Pemprov.Kep.Riau 24,84%
Pemkab.Bintan 21,50%
Pemkab.Karimun 56,45%
Pemkab.Natuna 4,98%
Pemkab.Lingga 2,72%
Pemkab.Kep.Anambas 3,81%
Pemko.Batam 41,43%
Pemko.Tanjungpinang 13,45%
Sumber: DJPK Kemenkeu dan Pemda (diolah)

4.7.2.3.Indikator III (Ruang Fiskal Daerah)


Ruang fiskal merupakan pendapatan daerah selain yang sudah memiliki
earmark (DAK, hibah, dana penyesuaian dan otsus, dan dana darurat) yang dapat
digunakan untuk membiayai belanja diskresi (belanja selain belanja yang bersifat wajib
seperti belanja pegawai dan belanja bunga). Semakin besar ruang fiskal, semakin

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


47
leluasa pemda menyesuaikan dana dengan prioritas daerah. Indikator ruang fiskal
daerah dihitung berdasarkan formula sebagai berikut:

Indikator Ruang Fiskal Daerah = ℎ

“Ruang fiskal Kepri Rasio ruang fiskal daerah agregat Kepri mencapai 86,42%, jauh lebih tinggi

nasional”
jauh lebih besar dari dibandingkan dengan rasio nasional (47,51%). Artinya, Pemda lingkup Kepri jauh lebih

leluasa dalam mengalokasikan dana yang menjadi prioritas pembangunannya.

Gambar IV-6 Indikator Ruang Fiskal Daerah di Provinsi Kepulauan Riau


Ak.Nasional 47,51%
Ak.Prov/Kab./Kota 86,42%
Pemprov.Kep.Riau 83,93%
Pemkab.Bintan 85,85%
Pemkab.Karimun
Pemkab.Natuna 84,79%
Pemkab.Lingga 82,14%
Pemkab.Kep.Anambas 84,58%
Pemko.Batam 89,13%
Pemko.Tanjungpinang 85,52%
Sumber: DJPK Kemenkeu dan Pemda (diolah)

4.7.2.4.Indikator IV (Peningkatan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah)


Indikator peningkatan pajak dan retribusi daerah menunjukkan tingkat
kemampuan daerah dalam menggali potensi pajak dan retribusi daerah. Rasio yang
semakin besar menunjukkan kemampuan daerah dalam mengkonversi potensi
penerimaan menjadi realisasi penerimaan semakin besar. Indikator peningkatan pajak
daerah dan retribusi daerah dihitung berdasarkan formula sebagai berikut:
ℎ ℎ
Indikator Pajak Daerah dan Retribusi Daerah = ��

“Penggalian potensi Rasio agregat di Kepri hanya mencapai 0,999%, jauh lebih rendah dibandingkan

Kepri belum optimal”


fiskal oleh Pemda dengan rasio nasional. Artinya, Pemda Kepri masih belum optimal dalam menggali

potensi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah.

Gambar IV-7 Indikator Peningkatan Pajak dan Retribusi Daerah di Provinsi Kepulauan Riau
Ak.Nasional 5,038%
Ak.Prov/Kab./Kota 0,999%
Pemprov.Kep.Riau 0,321%
Pemkab.Bintan 1,048%
Pemkab.Karimun 3,464%
Pemkab.Natuna 0,055%
Pemkab.Lingga 0,328%
Pemkab.Kep.Anambas 0,122%
Pemko.Batam 0,612%
Pemko.Tanjungpinang 0,440%
Sumber: DJPK Kemenkeu, Pemda, dan BPS Kepri (diolah)

4.7.2.5. Indikator V (Kemampuan Mendanai Belanja Daerah)


Indikator kemampuan mendanai belanja daerah tercermin dalam rasio total
pendapatan daerah dan penerimaan pembiayaan terhadap total belanja daerah dan

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


48
pengeluaran pembiayaan. Semakin besar rasio, semakin besar kemampuan mendanai
suatu daerah dalam mendanai belanja. Indikator kemampuan mendanai belanja daerah
dihitung berdasarkan formula sebagai berikut:
ℎ �
Kemampuan Mendanai Belanja Daerah = ℎ �

Rasio agregat Kepri (104,90%) yang berada di atas 100% menunjukkan bahwa “Kapasitas
Kepri sudah mampu mendanai seluruh belanjanya. Dibandingkan dengan rasio pendanaan belanja

nasional (99,95%), Rasio agregat Kepri juga menunjukkan bahwa kemampuannya nasional”
Kepri lebih baik dari

dalam mendanai belanja berada di atas rata-rata nasional.

Gambar IV-8 Indikator Kemampuan Mendanai Belanja Daerah di Provinsi Kepulauan Riau
Ak.Nasional 99,95%
Ak.Prov/Kab./Kota 104,90%
Pemprov.Kep.Riau 85,89%
Pemkab.Bintan 115,21%
Pemkab.Karimun 131,16%
Pemkab.Natuna 112,71%
Pemkab.Lingga 112,06%
Pemkab.Kep.Anambas 111,15%
Pemko.Batam 106,27%
Pemko.Tanjungpinang 100,28%
Sumber: DJPK Kemenkeu dan Pemda (diolah)

4.7.2.6. Indikator VI (Belanja Modal)


Indikator belanja modal merupakan salah satu ukuran kualitas belanja daerah.
Porsi belanja modal yang besar diharapkan akan memberikan dampak yang positif bagi
pertumbuhan ekonomi di daerah dan pada akhirnya meningkatkan juga potensi
penerimaan. Semakin besar rasio, semakin baik kinerja suatu daerah dalam
memprioritaskan alokasi belanja modal dalam struktur anggarannya. Indikator belanja
modal daerah dihitung berdasarkan formula sebagai berikut:

Indikator Belanja Modal =


Rasio agregat Kepri baru mencapai 18,83%, terpaut hingga 6.000 basis poin “Alokasi belanja

optimal”
dibandingkan rata-rata nasional (24,83%). Hal tersebut menunjukkan bahwa Pemda modal di Kepri kurang

Kepri masih kurang efektif dalam mengalokasikan anggarannya untuk belanja modal.
Dikaitkan dengan kebijakan penguatan desentralisasi dari pemerintah pusat, “Pengalihan fiskal
Hal ini mengindikasikan terjadinya kesalahpahaman dalam menangkap maksud dari dari pusat ke daerah
rendahnya disertai
tingginya dana transfer adalah untuk digunakan pada belanja infrastruktur. alokasi belanja
infrastruktur daerah
Kedepannya, Pemerintah Pusat diharapkan dapat segera menggiatkan sosialisasi akan menghambat

daerah”
maksud dari peningkatan dana tersebut agar struktur pengalokasian anggaran di pembangunan
Pemda dapat segera diperbaiki. Tingginya transfer disertai dengan rendahnya alokasi
belanja infrastruktur di Pemda dapat berakibat fatal terhadap pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi daerah apabila dibiarkan terjadi terus menerus.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


49
Gambar IV-9 Indikator Belanja Modal Daerah di Wilayah Provinsi Kepulauan Riau
Ak.Nasional 24,83%
Ak.Prov/Kab./Kota 18,83%
Pemprov.Kep.Riau 10,57%
Pemkab.Bintan 23,05%
Pemkab.Karimun 15,30%
Pemkab.Natuna 20,56%
Pemkab.Lingga 13,39%
Pemkab.Kep.Anambas 32,58%
Pemko.Batam 24,66%
Pemko.Tanjungpinang 20,20%
Sumber: DJPK dan Pemda (diolah)

4.7.2.7. Indikator VII (Belanja Pegawai Tidak Langsung)


Semakin rendah rasio belanja pegawai tidak langsung, semakin besar porsi
APBD yang dapat dialokasikan untuk belanja produktif dan semakin rendah beban non-
discretionary bagi APBD. Indikator belanja pegawai tidak langsung dihitung
berdasarkan formula sebagai berikut:

Indikator Belanja Pegawai Tidak Langsung =

“Alokasi belanja Rasio agregat Kepri sebesar 31,44% lebih rendah dibandingkan rasio rata-rata

relatif lebih efisien”


pegawai di Kepri nasional (33,82%). Hal tersebut menunjukkan bahwa rata-rata pengalokasian belanja

pegawai tidak langsung di Kepri lebih efisien dari nasional.

Gambar IV-10 Indikator Belanja Pegawai Tidak Langsung di Provinsi Kepulauan Riau
Ak.Nasional 33,82%
Ak.Prov/Kab./Kota 31,44%
Pemprov.Kep.Riau 11,38%
Pemkab.Bintan 48,83%
Pemkab.Karimun 38,52%
Pemkab.Natuna 28,07%
Pemkab.Lingga 37,16%
Pemkab.Kep.Anambas 36,84%
Pemko.Batam 35,63%
Pemko.Tanjungpinang 52,39%
Sumber: DJPK dan Pemda (diolah)

4.7.2.8.Indikator VIII (Optimalisasi SiLPA)


Indikator optimalisasi SiLPA digunakan untuk mengukur penggunaan SiLPA.
Semakin besar rasio optimalisasi SiLPA, semakin besar kemampuan pengoptimalan
SiLPA. Indikator optimalisasi SiLPA dihitung berdasarkan formula sebagai berikut:
�� ℎ �
Indikator optimalisasi SiLPA = ℎ

“Penggunaan SiLPA di Rasio agregat lingkup Provinsi Kepulauan Riau hanya mencapai 0,91%
Kepri belum optimal” dibandingkan dengan rasio agregat APBD seluruh indonesia (7,89%).Hal tersebut

menunjukkan bahwa rata-rata tingkat optimalisasi di Kepri masih jauh di bawah rata-
rata nasional. Namun demikian, hal tersebut tidak terlepas dari tingginya dana transfer
di tahun 2016 yang menyebabkan SiLPA tidak digunakan.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


50
Gambar IV-11 Indikator Optimalisasi SiLPA Daerah di Provinsi Kepulauan Riau
Ak.Nasional 7,89%
Ak.Prov/Kab./Kota 0,91%
Pemprov.Kep.Riau 0,00%
Pemkab.Bintan 1,84%
Pemkab.Karimun 2,70%
Pemkab.Natuna 0,22%
Pemkab.Lingga 0,35%
Pemkab.Kep.Anambas 0,00%
Pemko.Batam 2,11%
Pemko.Tanjungpinang 0,00%
Sumber: DJPK dan Pemda (diolah)

4.7.2.9.Indikator IX (Kemampuan Pembayaran Pokok Hutang dan Bunga Daerah)


Indikator kemampuan pembayaran pokok hutang dan bunga daerah
menunjukkan porsi pendapatan daerah yang digunakan untuk membayar pokok
pinjaman beserta bunganya dalam satu periode. Semakin kecil rasionya maka daerah
semakin tinggi jaminan pengembalian utang dari suatu pemda. Indikator kemampuan
pembayaran pokok hutang dan bunga daerah dihitung berdasarkan formula berikut:
� ℎ
Kemampuan Pembayaran Pokok & Bunga Hutang = ℎ

Kuatnya kapasitas fiskal menyebabkan tidak adanya pengambilan pinjaman “Pelunasan utang
oleh Pemda di lingkup Provinsi Kepulauan Riau. Hal tersebut tercermin dari rasio Pemda di Kepri
terjamin”
masing-masing (0,00%) yang disebabkan oleh tidak adanya pengeluaran untuk
membayar pokok maupun bunga hutang. Rasio yang sangat rendah tersebut dapat
diartikan bahwa kemampuan Pemda lingkup Provinsi Kepulauan Riau untuk membayar
utangnya (apabila dilakukan peminjaman) sangat tinggi.

Gambar IV-12 Indikator Kemampuan Pembayaran Pokok Hutang dan Bunga Daerah di Provinsi Kepulauan
Riau
Ak.Nasional 0,32%
Ak.Prov/Kab./Kota 0,00%
Pemprov.Kep.Riau 0,00%
Pemkab.Bintan 0,00%
Pemkab.Karimun 0,00%
Pemkab.Natuna 0,00%
Pemkab.Lingga 0,00%
Pemkab.Kep.Anambas 0,00%
Pemko.Batam 0,00%
Pemko.Tanjungpinang 0,00%
Sumber: DJPK dan Pemda (diolah)

4.7.2.10. Gambaran Tingkat Kesehatan Keuangan Pemerintah Daerah di Provinsi


Kepulauan Riau
Berdasarkan indikator-indikator kesehatan keuangan daerah (sembilan
indikator dari sub bab 4.7.2.1.1. hingga 4.7.2.1.9.) tersebut, Hasil penilaian dengan
memberikan pembobotan terhadap setiap pemerintah daerah adalah sebagai berikut:

Tabel IV-16 Rekapitulasi Skor Kesehatan Keuangan Daerah di Provinsi Kepulauan Riau

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


51
Uraian Pemprov Bintan Karimun Natuna Lingga Anambas Batam Tjpinang
Indikator I 1 2 1 3 2 4 4 4
Indikator II 3 3 4 1 1 1 3 2
Indikator III 2 3 3 2 2 2 3 3
Indikator IV 2 4 4 1 2 1 4 3
Indikator V 1 3 4 3 3 3 2 2
Indikator VI 2 3 2 3 2 4 3 2
Indikator VII 4 2 2 3 2 3 3 2
Indikator VIII 1 4 4 2 3 1 4 1
Indikator IX 4 4 4 4 4 4 4 4
Total Skor 20 28 28 22 21 23 30 23
Sumber: KFR Provinsi Kepulauan Riau 2016
“Kuatnya kondisi Dari skor agregat tersebut terlihat bahwa Pemerintah Kota Batam merupakan
fiskal batam didukung Pemda dengan tingkat kesehatan keuangan paling baik di Kepri. Hal tersebut sejalan

juga kuat”
perekonomian yang
dengan kondisi Kota Batam yang perekonomiannya paling maju dan menyumbang
hingga ± 60% terhadap Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Kepulauan Riau.

“Fiskal bintan Di posisi kedua, Pemda Bintan dan Karimun meraih skor seimbang (28). Pemda
didukung pariwisata, Bintan didukung oleh sektor pariwisata di daerah Lagoy dan Trikora yang berkontribusi

didukung tambang” besar terhadap PAD. Sedangkan, Pemda Karimun didukung oleh optimalisasi
fiskal karimun

pertambangan pasir dan granit yang juga berkontribusi besar terhadap PAD.

“Buruknya Pada dua posisi terakhir, Pemda Lingga dan Provinsi Kepri hanya mampu
interkonektivitas meraih skor masing-masing 21 dan 20. Rendahnya skor Pemda Lingga sejalan dengan
wilayah berdampak
buruk pada kondisi interkonektivitas wilayah di Lingga yang kurang baik dan sumber-sumber

Lingga”
kesehatan fiskal
produksi ekonomi yang belum optimal. Sedangkan rendahnya skor Pemprov Kepri lebih
disebabkan karena faktor teknis perhitungan dimana Provinsi yang komponen
pendapatan, belanja, cakupan wilayah, serta jumlah penduduknya yang berbeda tidak
serta merta dapat dibandingkan dengan kinerja Pemkot/Pemkab.
“Rendahnya Terlepas dari kapasitas fiskalnya yang tinggi, Pemda Natuna dan Kepulauan
kesehatan fiskal Anambas hanya mampu meraih skor masing-masing 22 dan 23. Hal tersebut
Natuna dan Anambas
diakibatkan disebabkan oleh karakteristik kedua Pemda tersebut yang sebagian besar ekonomi dan

migas”
ketergantungan pada
pendapatannya (melalui Dana Bagi Hasil) disumbang dari sektor migas. Sektor migas
sendiri merupakan sektor yang kurang dapat diandalkan dalam jangka panjang karena
adanya risiko volatilitas harga dan deplesi cadangan sumber daya alam.

Gambar IV-13 Skor Kesehatan Keuangan Daerah di Provinsi Kepulauan Riau


Pemko.Tanjungpinang 23
Pemko.Batam 30
Pemkab.Kep.Anambas 23
Pemkab.Lingga 21
Pemkab.Natuna 22
Pemkab.Karimun 28
Pemkab.Bintan 28
Pemerintah Provinsi 20

Sumber: KFR Provinsi Kepulauan Riau 2016

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


52
BAB V Keunggulan dan
Potensi Ekonomi Regional
Provinsi Kepulauan Riau memiliki
keunggulan dan potensi tinggi di sektor
konstruksi, sektor listrik & gas, dua
subsektor industri, subsektor angkutan
laut, dan subsektor penyediaan
akomodasi (pariwisata). Selain itu,
terdapat potensi yang belum
dioptimalkan dari sektor perikanan.

5.1 SEKTOR UNGGULAN DAN POTENSIAL DI PROVINSI KEPULAUAN


RIAU BERDASARKAN ANALISIS LQ, MRP, DAN SS-EM
Pembangunan ekonomi daerah merupakan proses dimana pemerintah daerah
dan masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan selanjutnya membentuk pola
kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu
lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan
ekonomi) dalam wilayah tersebut (Arsyad, 1999). Dalam pencapaian tujuan tersebut
dibutuhkan kebijakan pembangunan berdasarkan kekhasan daerah (endogenous
development) yang menggunakan potensi sumberdaya lokal/daerah itu sendiri.
BPS Provinsi Kepulauan Riau (2016) membuat kajian penentuan sektor “Identifikasi sektor
ekonomi potensial di Kepri yang dapat digunakan dalam penentuan strategi unggulan dan
potensial
menghadapi pasar bebas terutama sebagai kawasan berikat BBK (Batam, Bintan, dan menggunakan
Karimun). Alat analisis yang digunakan adalah analisis Location Quotient (LQ), analisis analisis LQ, MRP,
Shift-Share,
Vertikal ”
dan
Model Rasio Pertumbuhan (MRP), analisis Shift-Share Modifikasi Esteban Marquillas
(SS-EM), dan analisis Overlay.
Analisis LQ mengidentifikasi keunggulan komparatif suatu sektor di Provinsi
Kepulauan Riau terhadap Nasiona. Analisis MRP melihat potensi sektor ekonomi
berdasarkan kriteria rasio pertumbuhan. Analisis SS-EM mengidentifikasi keunggulan
kompetitif dari suatu sektor dalam suatu wilayah. Analisis Shift Share menggambarkan
kinerja sektor ekonomi dengan menambahkan pengukuran pengaruh spesialisasi
perekonomian wilayah.
Empat analisis tersebut digabungkan dalam analisis overlay sehingga
identifikasi sektor dan sub sektor ekonomi potensial menjadi lebih komprehensif dengan

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


53
melihat dari sisi pertumbuhan, keunggulan komparatif, spesialisasi dan keunggulan
kompetitif. Analisis dilakukan menggunakan PDRB Kepri dan PDB Indonesia yang
dibagi berdasarkan sektor dan sub sektor dengan periode observasi tahun 2009-2015.

Tabel V-1 Hasil Analisis Potensi Ekonomi Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2009-2015
MRP Analisis SS-EM Overlay
Sektor/Sub Sektor Ekonomi LQ
RPs rij-rin Eij-E*ij 1234
1.Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 0,68 0,30 -0,10 -17.730 - - - -
1.a. Perikanan 0,85 1,19 -0,05 831 - + - +
2.Industri Pengolahan 0,98 2,47 -0,11 16.361 - + - +
2.a.Industri Logam Dasar 1,12 7,85 0,07 5.026 + + + +
2.b.Industri Komputer, Barang Elektronik, dan Optik 1,43 10,21 0,13 15.231 + + + +
3.Listrik dan Gas 1,03 1,37 0,64 632 + + + +
4.Konstruksi 1,14 1,96 0,08 7.486 + + + +
5.Transportasi dan Pergudangan 1,10 0,83 0,20 -513 + - + -
5.a.Angkutan Laut 1,31 2,88 0,16 582 + + + +
6.Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 1,36 0,70 0,31 -814 + - + -
6.a.Penyediaan Akomodasi 1,47 1,80 0,80 450 + + + +
Sumber: BPS Kepri, Analisis Sektor Unggulan Kepulauan Riau Tahun 2016 (disesuaikan dengan fokus pembahasan selanjutnya)
Keterangan tabel:
a. Model Rasio Pertumbuhan (MRP) RPs adalah rasio pertumbuhan suatu sektor/subsektor di Kepri terhadap terhadap
pertumbuhan sektor/sub sektor yang sama di Indonesia. RPs>1 berarti laju pertumbuhan sektor/subsektor tersebut di Kepri
lebih tinggi dibanding di Indonesia;
b. LQ adalah rasio perbandingan share suatu sektor/subsektor di Kepri dengan share sektor/subsektor yang sama di Indonesia.
LQ>1 berarti konsentrasi sektor/subsektor tersebut di Kepri lebih besar dibanding di Indonesia;
c. (rij-rin) adalah selisih laju pertumbuhan sektor/subsektor yang sama di Kepri dengan di Indonesia;
d. (Eij-Eij*) adalah perubahan nilai PDRB sektor/subsektor tertentu dari periode awal ke periode akhir analisis di Kepri;
e. Jika nilai RPs > 1, maka overlay 1 bertanda (+) yang berarti sektor/sub sektor tersebut pertumbuhannya menonjol;
f. Jika nilai LQ > 1, maka overlay 2 bertanda (+) yang berarti sektor/sub sektor tersebut memiliki keunggulan komparatif;
g. Jika nilai (rij-rin) > 0, maka overlay bertanda (+) yang berarti sektor/sub sektor tersebut memiliki keunggulan kompetitif;
h. Jika nilai (Eij-Eij*) > 0, maka overlay bertanda (+) yang berarti sektor/sub sektor tersebut memiliki spesialisasi.

“Terdapat 2 Sektor, Berdasarkan hasil analisis overlay yang menggabungkan hasil analisis LQ,
dan 4 Subsektor MRP, dan SS-EM, dapat disimpulkan bahwa sektor dan subsektor unggulan yang
unggulan yang
potensial untuk potensial (memiliki keunggulan komparatif, keunggulan kompetitif, dan spesialisasi)
dikembangkan di
Kepri ”
untuk dikembangkan di Provinsi Kepulauan Riau meliputi:
1. Sektor listrik & gas
2. Sektor konstruksi
3. Subsektor industri logam dasar (sektor industri pengolahan)
4. Subsektor industri komputer, barang elektronik, dan optik (sektor industri
pengolahan)
5. sub sektor angkutan laut (Sektor Transportasi dan Pergudangan)
6. subsektor penyediaan akomodasi (Sektor Penyediaan Akomodasi dan Makan
Minum)
“Terjadi anomali pada Sementara itu, terdapat anomali pada sub sektor perikanan yang seharusnya
sub sektor perikanan potensial namun pertumbuhannya melambat dan berada di bawah pertumbuhan
yang seharusnya
potensial” nasional. Padahal, 95% wilayah Kepri berupa laut, potensi perikanan di Kepri terbesar
di Indonesia (WPP 711), LQ >1, serta terdapat visi kemaritiman di pusat dan daerah.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


54
5.2 ANALISIS SWOT KONDISI PROVINSI KEPULAUAN RIAU
Analisis SWOT adalah metode perencanaan strategis yang digunakan untuk
mengevaluasi kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities),
dan ancaman (threats) dalam suatu kondisi. Keempat faktor itulah yang membentuk
akronim SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, dan threats).
Teknik SWOT dapat diterapkan dengan cara menganalisis dan memilah
berbagai hal yang mempengaruhi keempat faktornya, kemudian menerapkannya dalam
gambar matriks SWOT, di mana aplikasinya adalah bagaimana kekuatan mampu
mengambil keuntungan dari peluang yang ada, bagaimana cara mengatasi kelemahan
yang mencegah keuntungan dari peluang yang ada, selanjutnya bagaimana kekuatan
mampu menghadapi ancaman yang ada, dan terakhir adalah bagaimana cara
mengatasi kelemahan yang mampu membuat ancaman menjadi nyata atau
menciptakan sebuah ancaman baru. Dalam konteks pembangunan Kepri, faktor-faktor
SWOT tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar V-1 Matriks SWOT Provinsi Kepulauan Riau

Sumber: KFR Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2016

Dengan menggunakan analisis SWOT, potret kondisi yang inheren pada “SWOT membantu
Provinsi Kepulauan Riau seperti adanya free trade zone, sumber daya alam yang menggambarkan
kondisi inheren
melimpah, dan wilayah yang terdiri dari kepulauan dapat tergambarkan. Gambaran Kepri”
tersebut digunakan untuk melengkapi analisis kuantitatif pada sub bab sebelumnya

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


55
yang baru memotret Provinsi Kepulauan Riau berdasarkan PDB, PDRB, dan
pertumbuhannya sehingga analisis regional Kepri menjadi lebih komprehensif.
“Lokasi di dekat Pada intinya, Kepri memiliki potensi yang sangat besar karena lokasinya yang
negara kaya memberi berada di tengah jalur perdagangan internasional dan kedekatannya dengan negara-
potensi besar
sekaligus ancaman negara yang lebih kaya seperti Singapura dan Malaysia. Namun, potensi tersebut tidak
kompetisi bagi Kepri”
akan teroptimalisasi tanpa adanya dukungan perencanaan dan regulasi dari pihak
pemerintah mengingat adanya kemungkinan dimana potensi tersebut terlebih dahulu
dimanfaatkan oleh negara pesaing. Penjabaran dari masing-masing faktor SWOT
tersebut dapat dilihat pada sub bab berikut.

5.1.1 Kekuatan (Strengths) Provinsi Kepulauan Riau

“FTZ berhasil menarik


Sebagai bagian dari negara Indonesia yang mengalami industrialisasi, Provinsi

pada sektor industri”


penanaman modal Kepulauan Riau memiliki kekuatan tersendiri dalam mempercepat industrialisasi

dimana sebagian dari wilayah Provinsi Kepulauan Riau telah ditetapkan sebagai Free
Trade Zone (FTZ). FTZ membawa insentif fiskal berupa pembebasan berbagai macam
pajak sehingga penanaman modal pada sektor industri melimpah.

“Insentif fiskal telah Berdasarkan observasi pertumbuhan populasi kota-kota di dunia (Demographia,
menjadikan batam 2015), Kota Batam memiliki pertumbuhan populasi tercepat di dunia. Pertumbuhan yang
sebagai magnet
urbanisasi” didorong urbanisasi tersebut membuktikan bahwa pemberian insentif fiskal di Kota
Batam cukup berhasil dalam menarik investasi dan menciptakan pusat perekonomian
yang pada akhirnya menjadi magnet urbanisasi.
“Kepri memiliki Hal kedua yang menjadi faktor kekuatan di Provinsi Kepulauan Riau adalah
berbagai kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah. Sumber daya alam Provinsi Kepulauan Riau

yang melimpah”
sumber daya alam
yang melimpah tersebut diantaranya adalah:
1. Gas Bumi

“Cadangan gas di Berdasarkan data cadangan gas, potensi shale gas, dan sumber Coal Bed
Kepri terbesar se- Methane (CBM) tahun 2012 dari Direktorat Jenderal Migas, Kementerian Energi dan
indonesia dengan
porsi 48,56%” Sumber Daya Mineral, Provinsi Kepulauan Riau, merupakan daerah dengan cadangan
gas bumi terbesar di Indonesia.
Untuk memperjelas komparasi, gambaran berikut dari Bloomberg Businessweek
memperlihatkan perbandingan cadangan gas, shale gas, dan CBM di Indonesia. Pada
gambar tersebut, terlihat bahwa cadangan gas Kepri sebesar 50,94 Trillion of Standard
Cubic Feet (TSCF) atau triliun kaki kubik gas terkonsentrasi di Kabupaten Natuna dan
Kabupaten Kepulauan Anambas. Cadangan gas tersebut mencapai 48,65% atau
hampir setengah dari seluruh cadangan gas di Indonesia sebesar 104,71 TSCF.
Kelimpahan cadangan gas tersebut menunjukkan bahwa Kepri berpotensi mendorong
sektor gas di Indonesia, khususnya apabila harga migas mulai pulih.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


56
Gambar V-2 Cadangan Gas di Indonesia

Sumber: Bloomberg Businessweek

2. Perikanan
Kepri memiliki wilayah laut yang mencapai 95% dari luas wilayah keseluruhan
252.601 km2. Wilayah laut yang luas tentu memiliki potensi perikanan yang besaruntuk
dimanfaatkan baik untuk penangkapan, maupun untuk tambak.
Gambar V-3 Potensi Perikanan di Indonesia (dalam ribuan ton/tahun)

WPP 571
WPP 714
KEPRI WPP 717
WPP 716
WPP 573
WPP 572
WPP 715
WPP 712
WPP 718
WPP 713
KEPRI WPP 711
- 250 500 750 1.000
Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kelautan dan Perikanan Dalam Angka Tahun 2014

Pemetaan potensi perikanan di atas memperkuat bukti potensi perikanan di “WPP 711 merupakan
Kepri. Dalam peta tersebut, potensi perikanan dibagi 11 Wilayah Pengelolaan wilayah dengan
potensi ikan tangkap
Perikanan (WPP) tersebut, WPP-711 yang meliputi wilayah Selat Karimata, Laut Natuna terbesar di
Indonesia”
dan Laut Cina Selatan sebagian besar merupakan wilayah Provinsi Kepri. WPP-711

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


57
memiliki potensi perikanan sebesar 1.059 ribu ton/tahun atau 16,24% dari keseluruhan
potensi perikanan di Indonesia dan merupakan WPP dengan potensi terbesar
3. Tenaga Surya
Gambar V-4 Potensi Tenaga Surya Berdasarkan Garis Khatulistiwa
“Sebagai wilayah Utilisasi tenaga
tropis Kepri memiliki surya sebagai energi di

yang besar”
potensi tenaga surya
Indonesia masih sangat
terbatas. Padahal, negara
tropis seperti Indonesia
lebih potensial
dibandingkan negara non
tropis karena sinar Sumber: Ahmad, Salman (2014)

matahari lebih stabil sepanjang tahun. Mengkonfirmasi hal tersebut, Salman Ahmad
(2014) menemukan potensi tenaga surya berada pada titik optimalnya pada 0 sampai
dengan 30 derajat garis khatulistiwa dimana Kepri termasuk didalam wilayah tersebut.
“Potensi wisata Kepri
melebihi Bali”
Selain adanya FTZ dan SDA yang melimpah, Kepri memiliki keindahan alam
yang potensial. Bahkan, menurut Menteri Pariwisata, Arief Yahya, potensi pariwisata
Kepri melebihi Bali karena memiliki banyak pulau yang masih murni dan letaknya yang
sangat dekat dengan negara kaya, Singapura dan Malaysia (Kompas, 2015).

“Kepri penyumbang Modal tersebut telah lama menjadi sumber pendapatan daerah dan pendorong
terbesar ketiga pertumbuhan ekonomi. Cerminan dari besarnya industri pariwisata di Kepri dapat dilihat
wisman di Indonesia”
dari capaian kedatangan wisatawan mancanegara (wisman) tahun 2016 sebesar 1,92
juta orang, berkontribusi 18,45% terhadap nasional. Kedatangan wisman di Kepri juga
nomor 3 terbesar di Indonesia, setelah Provinsi Bali dan Provinsi DKI Jakarta.

Gambar V-5 Jumlah Wisman di Kepri dan Kontribusi Kabupaten/Kota (dalam ribuan orang)
100% 3.000
14,92% 15,90%
19,31% 20,41% 20,65% 19,73% 19,04% 17,11% 16,26%
75%
2.000
50%
75,86% 74,60%
64,82% 65,54% 66,27% 67,95% 69,00% 71,89% 73,68% 1.000
25%

0% -
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Batam (LHS) Tanjungpinang (LHS) Bintan (LHS)
Karimun (LHS) Kepri (RHS)
Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau

“Direct flight dari Saat ini, kontribusi pariwisata di Kepri masih didominasi oleh Batam (74,60%).
China diharapkan Dibukanya direct flight dari Wuhan, China ke Tanjungpinang pada akhir tahun 2016
dapat mendorong
kue diharapkan dapat menggenjot kunjungan wisman ke Tanjungpinang dan Bintan pada
pariwisata”
pembagian
tahun-tahun berikutnya. Sedangkan peningkatan sarana penghubung wilayah, yang

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


58
sangat potensial namun saat ini belum cost efficient, seperti Kabupaten Kepulauan
Anambas dan Natuna dapat mendorong kunjungan wisman ke dua daerah tersebut

5.1.2 Kelemahan (Weaknesses) Provinsi Kepulauan Riau


Provinsi kepulauan memerlukan sarana konektivitas untuk menghubungkan “Interkonektivitas
antar pulau. Dengan kondisi demikian, pembangunan tidak hanya memperhatikan wilayah kepulauan
yang kurang baik
daratan, tetapi juga harus berorientasi pada kelautan. Oleh karena itu, pembangunan menimbulkan
ekonomi biaya tinggi”
harus dalam konteks satu kesatuan pulau yang saling terhubung (interconnectivity).
Lemahnya konektivitas menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan melemahkan daya saing
sehingga menghambat pembangunan dan pemerataan ekonomi.

Gambar V-6 Konektivitas Antarwilayah Provinsi Kepulauan Riau

Kab.Natuna
Internasional -Pelabuhan Domestik
-Bandara Domestik
-Jalan 92,10 km

Kab.Kep.Anambas
-Pelabuhan Domestik
-Bandara Domestik
Kota Batam -Jalan 45 km
Kab.Karimun -Pelabuhan Internasional
-Pelabuhan Internasional -Bandara Internasional
Daerah
-Bandara Domestik -Jalan 215,81 km
Kalimantan
-Jalan 254 km
Daerah
Kab.Bintan Jawa
-Pelabuhan Domestik
Kota Tanjungpinang -Bandara Internasional
-Pelabuhan Internasional -Jalan 173,48 km
-Bandara Internasional
-Jalan 83,84 km
Kab.Lingga
Daerah -Pelabuhan Domestik
-Bandara Domestik
Sumatera
- - - Penerbangan -----Pelayaran -Jalan 10,89 km
Sumber: BPS Prov.Kepri, Dinas PU Prov.Kepri, Kemenhub, Wonderful Kepri, Pemda, (diolah)

Konektivitas di Kepri sendiri sebenarnya sudah terbentuk antara daerah-daerah “Interkonektivitas


terdepan dengan pusat-pusat pertumbuhan. Penghubung utama di Kepri yakni bandara wilayah Batam dan
sekitarnya sudah
dan pelabuhan laut yang didukung oleh fasilitas jalan raya di masing-masing pulau. Kota cukup baik dan telah
menciptakan trickle-
down”
Batam dengan Free Trade Zone-nya telah berkembang sebagai pusat industri dan
bisnis merupakan pusat pertumbuhan ekonomi di Kepri. Trickle-down perekonomian
pun telah terjadi ke daerah sekitar Batam, yakni Tanjungpinang, Bintan, dan Karimun.
Namun demikian, kondisi inheren dari Kepri dimana daratannya tersegregasi
menjadi ribuan pulau menciptakan biaya yang lebih besar untuk membangun

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


59
infrastruktur penghubung. Selain itu, biaya logistik juga menjadi lebih mahal apabila
skala ekonomi tidak tercapai Hal tersebut menjadi kelemahan interkoneksi wilayah,
khususnya dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif ke seluruh daerah.

“subsektor industri
Berkaitan dengan karakteristik interkonektivitas itu, sub sektor transportasi laut
angkutan laut masih Kepri bertumbuh lebih baik dibandingkan nasional dengan MRP RPs 1,35, dan sangat
bergantung pada
pasokan impor terkonsentrasi di Kepri dengan LQ 2,88. Namun, sub sektor industri angkutan laut masih
sehingga nilai bergantung pada pasokan impor untuk komponen pembuatan kapal. Hal tersebut
tambahnya kecil”
menjadikan nilai tambah dari sub sektor industri angkutan laut maupun sub sektor
anguktan laut menjadi kecil. Selain itu, kapal produksi Kepri juga menjadi rentan
terhadap fluktuasi harga komponen di luar negeri.

Gambar V-7 Pohon Industri Kapal

a. Hijau: Sudah ada industri & sudah kuat


b. Kuning: Sudah ada industri namun belum kuat
c. Merah: Belum ada industri
Sumber: Kementerian Perindustrian

“Kurangnya wilayah Alasan yang sama berlaku untuk kelemahan pada industri barang kebutuhan
darat menghadirkan dasar di Provinsi Kepulauan Riau. Bahan-bahan makanan dan bahan konstruksi banyak
tantangan dalam
produksi agrikultur didatangkan dari provinsi lain atau luar negeri. Kurangnya industri barang kebutuhan
dan bahan bangunan”
dasar juga berkaitan dengan keterbatasan wilayah darat. Kurangnya daratan
menciptakan tantangan dalam membangun daerah yang memproduksi agrikultur atau
bahan bangunan karena pada umumnya membutuhkan lahan yang luas.

5.1.3 Peluang (Opportunities) Provinsi Kepulauan Riau


“Selat malaka Menurut The World Economic Forum (2014) Selat Malaka merupakan Jalur
merupakan jalur perdagangan tersibuk kedua di dunia. Sejalan dengan itu, Deutsche Bank Research
tersibuk ke-2 dunia”

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


60
(2006), mengemukakan
Gambar V-8 Jalur Perdagangan Selat Malaka
bahwa Port of Singapore di
negara Singapura, serta Port
of Tanjung Pelepas dan Port of
Klang di negara Malaysia,
yang terletak di tengah-tengah
jalur perdagangan Selat
Malaka, merupakan pelabuhan
transshipment dengan
aktivitas terbesar nomor satu,
enam, dan tiga belas di dunia. Sumber: marinevesseltrafic (diolah)

Hal tersebut menggambarkan potensi Kepri untuk mengambil bagian dalam “Potensi jasa
industri jasa perkapalan, pelabuhan transshipment, dan rantai produksi manufaktur. perkapalan,
pelabuhan
Namun, saat ini Kepri masih belum dapat mengoptimalkan potensi tersebut, khususnya transshipment belum
untuk jasa perkapalan dan pelabuhan transshipment, sebagaimana tergambar juga dioptimalkan”
Tabel V-2 Perbandingan Kinerja Pelabuhan Transshipment di Jalur
pada perbandingan kinerja
Perdagangan Selat Malaka Tahun 2015
Pelabuhan Negara Throughput pelabuhan ketiga wilayah.
(TEUs)
Kondisi tersebut dapat
Port of Singapore Singapura 30.900.000
Port of Klang Malaysia 11.800.000 diartikan bahwa Kepri masih
Port of Tanjung Pelepas Malaysia 9.200.000 memiliki potensi besar yang
Pelabuhan Batu Ampar Indonesia 200.000
(Batam) dapat dimanfaatkan dari jalur
Sumber: Bank Indonesia & BP Batam (diolah
perdagangan Selat Malaka.
Segitiga SIJORI (Singapura, Johor, Riau; wilayah Riau yang dimaksud adalah
sebagian Wilayah Kepulauan Riau saat ini) dimulai sebagai Segitiga Pertumbuhan
SIJORI pada tahun 1989, dan ditetapkan dengan MoU IMS-GT (Indonesia – Malaysia -
Singapore Growth Triangle) pada 18 Desember 1994 oleh ketiga negara. Sebagai
bagian dari Segitiga SIJORI, Kepri
Tabel V-3 Wilayah Segitiga Sijori/IMS-GT
memiliki ikatan ekonomi dan Wilayah
Wilayah Administrasi Populasi
(km2)
hubungam saling melengkapi dengan
Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia 3.386,43 1.696.080
kedua negara tersebut. Kota Tanjungpinang 144,60 187.359
“Kepri dapat Singapura sebagai salah satu Kota Batam 1.010,88 1.153.860
Kabupaten Bintan 1.318,20 142.300
menampung relokasi negara maju dihadapkan pada Kabupaten Karimun 912,75 212.561
industri padat karya
dari Singapura ” ekonomi biaya tinggi, akibat tingginya Singapura 716,00 5.399.000
Negara Bagian Johor Bahru, Malaysia 1.822,00 1.638.219
upah tenaga kerja dan sewa lahan. Distrik Johor Bahru 1.066,00 1.386.569
Dengan pertimbangan keunggulan Distrik Kulaijaya 757,00 251.650
SIJORI 6.891,00 8.733.299
komparatif, secara logis Johor dan Sumber: BPS, Department of Statistics Malaysia, Statistics Singapore

Kepri muncul sebagai lokasi yang

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


61
paling ekonomis untuk dijadikan mitra Singapura. Kemitraan tersebut sejalan dengan
skema regionalisasi Singapura untuk melakukan relokasi industri padat karya dari
Singapura ke wilayah sekitarnya.
Perkembangan penerapan IMS-GT telah menjadi motor percepatan
pertumbuhan ekonomi di ketiga wilayah selama bertahun-tahun. Dewasa ini, Negara
Bagian Johor Bahru telah menjadi wilayah yang paling diuntungkan karena adanya
Johor-Singapore Causeway yang membuka akses darat di antara kedua wilayah.
Hasilnya, Johor Bahru mendapatkan sebagian besar limpahan industri padat karya dan
limpahan perdagangan, serta berfungsi sebagai kota satelit bagi Singapura.
“Kepri kalah bersaing Di sisi lain, Kepri yang masih
Gambar V-9 Perbandingan PDB/PDRB per
Bahru”
dengan Distrik Johor
tertinggal dalam konteks rata-rata Kapita SIJORI Tahun 2013 (dalam USD)

penghasilan masyarakat (PDB/PDRB per


Kapita), memiliki peluang besar untuk
mendapatkan limpahan lebih banyak dari
Singapura ke depannya. Namun, Kepri
memerlukan dukungan infrastruktur yang
dapat bersaing dengan Distrik Johor Bahru
dalam kemudahan aksesnya ke Singapura Sumber: BPS Pusat, Kepri & Batam, World Bank,
Department of Statistics Malaysia (diolah)
untuk mencapai tujuan tersebut.

“UU 4/2009 dan PP Dari sisi regulasi, Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan

peluang bagi Kepri”


14/2015 membuka Batu Bara dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk

Pembangunan Industri Nasional 2015-2035 turut membuka peluang bagi Kepri.


UU Nomor 4 Tahun 2009 yang mulai diterapkan pada tahun 2014 mewajibkan
industri pertambangan untuk memproses mineral mentah sebelum diekspor. Apabila
industri pemrosesan tersebut
Gambar V-10 Industri Prioritas dalam PP 14/2015
dibangun di jalur perdagangan
seperti Kepri, hasil pertambangan
yang dikumpulkan di Kepri dapat
segera diekspor setelah diproses
sehingga menghemat biaya logistik.
PP 14 Tahun 2015 memuat
beberapa industri prioritas yang
apabila dikembangkan di Kepri,
berpeluang untuk berkembang
pesat karena adanya insentif fiskal
Sumber: Kementerian Perindustrian dan kedekatan dengan jalur
perdagangan internasional. Pada

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


62
PP tersebut juga, Batam dan Bintan telah ditetapkan sebagai Wilayah Pusat
Pertumbuhan Industri (WPPI) yang akan berperan sebagai penggerak utama (prime
mover) ekonomi dalam Wilayah Pengembangan Industri (WPI) Sumatera Bagian Utara.
Selain itu, program pemerintah untuk menciptakan 35.000 MW bagi Indonesia “Tenaga surya dan
turut membuka peluang khususnya di bidang ketenagalistrikan di Kepri. Dengan adanya gas di Kepri dapat
diutilisasi untuk
sumber energi yang melimpah dari tenaga surya dan gas, Kepri dapat mengusulkan pencapain target
35.000 MW”
untuk menjadi salah satu penghasil listrik utama baik dalam rangka memenuhi
kebutuhan listrik di Kepri sendiri maupun wilayah sekitarnya.

5.1.4 Ancaman (Threats) Provinsi Kepulauan Riau


Sebagai provinsi yang perekonomiannya digerakan oleh investasi (42,36% dari “Negara-negara
total PDRB ADHB 2016), ancaman utama bagi Kepri adalah negara-negara ASEAN tetangga dengan
komitmen
dalam
yang semakin bersaing untuk menggaet investasi asing ke negaranya seperti Vietnam, pembenahan dan
upah buruh yang
Kamboja, dan Myanmar. Ketiga negara tersebut telah membenahi stabilitas sosial-
kompetitif menjadi
politik, bergabung dalam perjanjian-perjanjian perdagangan bebas seperti Free Trade kompetitor utama
Kepri”
Agreement (FTA) dan Economic Partnership Agreement (EPA), serta memberikan
berbagai macam insentif seperti pembebasan pajak dan sewa tanah. Selain itu,
Indonesia, khususnya Kepri yang ekonominya telah berkembang lebih dulu sudah
mengalami kenaikan upah, sehingga upah buruh yang ditawarkan kurang kompetitif.
Namun demikian, Kepri dapat tetap bersaing karena sudah lebih dulu membangun
infrastruktur dan membina hubungan dengan investor. Dengan pengelolaan yang baik
dan keseriusan pemerintah, posisi Kepri sebagai magnet investasi dapat dipertahankan.
Pada dasarnya, di era globalisasi dimana sebagian besar perusahaan “Impor barang
perantara
multinasional memproduksi barangnya melalui rantai produksi yang tersebar di berdampak positif
beberapa daerah, masuknya barang impor akan mendorong penyerapan tenaga kerja pada ekonomi”
dan pertumbuhan ekonomi. Namun hal tersebut terjadi karena sebagian besar barang
impor tersebut adalah barang perantara yang akan diproses lebih lanjut sehingga
menciptakan nilai tambah ketika diekspor kembali.
Dalam konteks Kepri, perhatian pemerintah untuk menjaga arus barang impor “FTZ beresiko
menciptakan banjir
harus mendapatkan prioritas lebih. Pasalnya, penerapan pembebasan PPN dari FTZ barang impor
telah menciptakan gap antara harga ekonomi suatu barang di Kepri dengan wilayah konsumtif ke Kepri”

Indonesia lainnya. Hal tersebut menjadi ancaman kedua bagi Kepri, yakni banjirnya
barang-barang impor konsumtif dari luar negeri melalui Kepri.
Ancaman ketiga datang dari status Kepri sebagai bagian dari rantai produksi “Sebagai bagian dari
global supply chain
internasional. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan fluktuasi perekonomian yang Kepri rentan

ekonomi global”
tajam, searah dengan ketidakstabilan pada perekonomian global. Dampak tersebut terhadap gejolak

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


63
dapat diperparah ketika konsumsi domestik kurang baik untuk menjadi penyokong
ketika perekonomian global melemah.

5.3 SEKTOR POTENSIAL DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU


“Dua sektor unggulan Berdasarkan analisis overlay pada Sub Bab 5.1, terdapat dua sektor unggulan
potensial dari yang potensial untuk dikembangkan di Kepri yakni Sektor Listrik & Gas dan Sektor
analisis overlay
dengan Konstruksi. Pada Sub Bab ini, hasil analisis overlay tersebut akan dikaitkan dengan
analisis SWOT”
dikaitkan
analisis SWOT. Mengacu pada Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLBI) 2015,
cakupan kegiatan ekonomi pada masing-masing sektor tersebut adalah:
1. Sektor listrik dan gas terbagi atas sub kategori ketenagalistrikan dan sub kategori
gas. Ketenagalistrikan mencakup kegiatan pembangkitan, transmisi, distribusi,
serta aktivitas penunjang kelistrikan. Gas mencakup pengadaan dan distribusi gas
alam dan gas buatan.
2. Sektor konstruksi meliputi:
a. Konstruksi gedung (gedung tempat tinggal, perkantoran, industri,
perbelanjaan, kesehatan, pendidikan, penginapan, tempat hiburan, tempat
olahraga, tempat ibadah, terminal/stasiun, bangunan monumental, bangunan
bandara, gudang dan lainnya.)
b. Konstruksi bangunan sipil (jalan dan jalan rel, sistem irigasi, komunikasi dan
limbah, fasilitas industri selain bangunannya, serta konstruksi sungai/kanal,
bendungan dan pelabuhan)
c. Konstruksi khusus (pembongkaran dan penyiapan lahan, instalasi konstruksi,
finishing bangunan, dan konstruksi lainnya yang membutuhkan peralatan atau
keterampilan khusus).

5.3.1. Sektor Listrik dan Gas


Sektor listrik dan gas merupakan sektor unggulan yang potensial untuk
dikembangkan. Pengembangan sektor ini sendiri telah menjadi prioritas pemerintah
sebagaimana dicantumkan pada PP Nomor 14/2015 (Industri Pembangkit Energi) dan
juga pada target peningkatan kapasitas listrik sebesar 35.000 MW.

“Rasio elektrifikasi Urgensi untuk mengembangkan sektor ini juga terlihat dari rasio elektrifikasi
Kepri (peringkat 7 Kepri yang baru mencapai 73,53%, jauh di bawah rasio elektrifikasi nasional (88,30%).
terbawah) beresiko
menurunkan iklim Bahkan, apabila dibandingkan antar Provinsi, Kepri mendapatkan peringkat ke-7
investasi”
terbawah untuk rasio elektrifikasi. Pada satu sisi, hal tersebut menunjukkan bahwa
sektor ini memiliki ruang yang sangat luas untuk berkembang karena masih banyak
permintaan yang belum terpenuhi. Di sisi lain, hal tersebut dapat berakibat negatif
terhadap iklim investasi karena listrik sebagai infrastruktur dasar sangat dibutuhkan.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


64
Tabel V-4 Kapasitas Listrik Terpasang lingkup Kepri Berdasarkan Jenis dan Penyedia Energi
Kapasitas ListrikTerpasang Berdasarkan Jenis (dalam MW)
PLTUB PLTD PLTS
Penyedia Energi PLTG PLTGU PLTMG
(Batu (Minyak (Tenaga Total
(Gas) (Gas) (Gas)
Bara) Bumi) Surya)
PLN (Produksi) 14,00 - - - 90,58 0,20 104,78
PLN (Sewa) - - - - 89,15 - 89,15
Swasta (IPP) - - - 15,00 2,44 - 17,44
Swasta (PPU) 130,00 255,20 22,00 35,20 243,70 - 686,10
Total 144,00 255,20 22,00 50,20 425,87 0,20 897,47
Sumber: Kementerian ESDM, 2016 (diolah)
Dilihat dari jenis pembangkit listriknya, Kepri masih banyak menggunakan “Batu
bara dan
minyak bumi masih
pembangkit listrik yang berbahan bakar batu bara dan minyak bumi dalam memenuhi
mendominasi sebagai

Kepri”
kebutuhan masyarakatnya. Padahal berdasarkan analisis SWOT, Provinsi Kepulauan bahan bakar energi di
Riau memiliki dua jenis sumber daya alam lokal yang dapat menjadi alternatif.
Alternatif yang pertama adalah gas dimana hampir setengah dari cadangan gas “Dengan cadangan
yang sudah ditemukan di Indonesia berada di di Kabupaten Natuna dan Kabupaten terbanyak di
Indonesia, gas di
Kepulauan Anambas. Selama ini, sebagian besar pemanfaatan gas di Natuna baru Kepri berpotensi
untuk menjadi
alternatif energi”
berupa ekspor. Apabila pemerintah memilih pembangkit listrik tenaga gas untuk
pengembangan berikutnya, Kepri dapat mengurangi ketergantungan akan pasokan
sumber energi dari wilayah lain dan berpotensi untuk meningkatkan efisiensi. Selain itu,
apabila pasokan cadangan sumber energi melimpah, maka perencanaan
pembangunan pembangkit listrik barupun akan lebih fesibel. Tentunya pemerintah
harus terlebih dahulu bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan yang
mengekstraksi gas untuk dapat memanfaatkan keberlimpahan gas tersebut.
Alternatif kedua adalah pemanfaatan tenaga surya karena lokasi yang “Lokasi di dekat garis
berdekatan dengan garis khatulistiwa. Pemilihan tenaga surya sebagai pembangkit khatulistiwa
memberikan potensi
listrik tentunya jauh lebih baik dibandingkan sumber-sumber energi berbahan dasar fosil pemanfaatan energy
(fossil fuel) dalam konteks berkelanjutan (sustainability). Polusi, dan eksternalitas yang tenaga surya”
ditimbulkan. Selain itu, penggunaan tenaga surya sebagai sumber utama listrik di
Provinsi Kepulauan Riau juga akan membantu pemerintah mencapai target
pengurangan emisi gas efek rumah kaca dan target diversifikasi sumber daya listrik.
Dikaitkan dengan ciri kepulauan, potensi yang lebih besar lagi timbul dari “Tenaga surya yang
kemungkinan efisiensi biaya yang dapat diciptakan dari Pembangkit Listrik Tenaga bisa dibangun off-
grid berpotensi
Surya (PLTS). Dengan kondisi geografis kepulauan yang terpisah lautan satu sama menciptakan efisiensi
di wilayah kepulauan”
lainnya, pembangkit listrik yang memiliki skala ekonomi besar membutuhkan biaya
ekstra untuk pembangunan jaringan penyambung listrik antar pulau. Di sisi lain, PLTS
dapat dibangun secara kecil-kecilan dan tidak perlu tersambung ke jaringan luas,
sehingga PLTS sebagai alternatif akan memotong biaya pembangunan jaringan yang

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


65
Gambar V-11 Target Diversifikasi Sumber Energi Listrik Indonesia membebani daerah
kepulauan. Permasalahan
tersebut juga merupakan
salah satu penyebab
rendahnya rasio elektrifikasi
Kepri. Dengan begitu,
komitmen pemerintah dalam
pengembangan penggunaan
PLTS juga berpotensi
membantu meningkatkan
rasio elektrifikasi yang dalam
RPJMD ditargetkan dapat
Sumber: Dewan Energi Nasional (DEN) mencapai 86% di tahun 2017.
“Utilisasi PLTS Dalam skala nasional, pemilihan PLTS sebagai alternatif juga dapat membantu
membantu negara Indonesia dalam mencapai target diversifikasi sumber energi listrik dimana porsi
pencapaian target
diversifikasi sumber New and Renewable Energy (NRE) atau energi baru dan terbarukan harus mencapai
energy listrik”
25,9% pada tahun 2025, 30,9% pada tahun 2030, dan 39,5% pada tahun 2050.

5.3.2. Sektor Konstruksi Gambar V-12 Nilai Konstruksi Menurut Bidang dan

“Kinerja sektor
Perkembangan Alokasi Infrastruktur (Rp. Triliun)
Kinerja sektor
konstruksi sejalan konstruksi yang unggul di
dengan porsi
komponen PMTB” Provinsi Kepulauan Riau
sejalan dengan porsi
komponen Pembentukan
Modal Tetap Bruto (PMTB)
yang dominan pada PDRB
Provinsi Kepri dimana porsi
Sumber: Monev PA DJPBN & BPS Provinsi Kepulauan Riau, Statistik
tersebut mencapai 42,36% Daerah Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2016 (diolah)

di tahun 2016.

“Konstruksi Berdasarkan bidangnya, konstruksi bangunan sipil mengalami kenaikan nominal


bangunan sipil terbesar (Rp.0,84 triliun) dalam periode tahun 2013-2015. Kenaikan tersebut sejalan
meningkat seiring
dengan alokasi dengan pagu infrastruktur APBN yang meningkat Rp.0,65 triliun pada periode yang
infrastruktur”
sama. Berdasarkan proporsinya bidang bangunan sipil mendominasi dengan porsi
49,64% disusul oleh bidang bangunan gedung dengan porsi 38,24%.
“Konstruksi bidang Berkembangnya konstruksi bidang sipil yang sebagian besar didorong oleh
sipil meningkatkan belanja infrastruktur pemerintah berpotensi menciptakan iklim investasi yang kondusif
iklim investasi”
dan menarik investasi asing (FDI). Dikaitkan dengan analisis SWOT, konstruksi sipil

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


66
juga menjadi kunci dalam memaksimalkan peluang dari jalur perdagangan
internasional, memitigasi kelemahan interkoneksi wilayah kepulauan dan
memenangkan persaingan dengan negara tetangga dalam mendatangkan investasi.
Berdasarkan indeks dari Political
Gambar V-13 Indeks Infrastruktur Fisik
and Economic Risk Consultancy
(PERC), infrastruktur di Kepri,
khususnya di Kota Batam (pusat industri
provinsi), telah memiliki infrastruktur
fisik yang lebih baik dari negara-negara
ASEAN yang menjadi kompetitornya
(Thailand, Filipina, dan Vietnam).
Bahkan, Kota Batam dengan nilai 5,69,
berada jauh di atas rata-rata nasional Sumber: Political and Economic Risk Consultancy (diolah)
dengan nilai 2,59.
Pada satu sisi, hal tersebut menunjukkan komitmen pemerintah akan “PPP dan PINA
pembangunan infrastruktur industri yang terintegrasi di Kepri dan menjadi daya tarik berpotensi
membantu
bagi investor asing. Namun, seiring dengan semakin ketatnya kompetisi antar negara memenangnkan

investasi ”
kompetisi menarik
ASEAN, pemerintah harus menjaga prioritas pada sektor konstruksi bangunan sipil.
Skema pembiayaan seperti Public-Private Partnership (PPP) dan Pembiayaan
Infrastruktur Non Anggaran (PINA) harus dioptimalkan untuk mempercepat stimulus
tanpa harus menunggu ketersediaan fiskal yang terbatas.

5.4 SUB SEKTOR POTENSIAL DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU


Berdasarkan analisis overlay pada Sub Bab 5.1, terdapat empat subsektor “Empat subsektor
unggulan yang potensial untuk dikembangkan di Kepri yakni Subsektor industri logam unggulan potensial
dari analisis overlay
dasar, Subsektor industri barang dari logam, komputer, barang elektronik, optik dan dikaitkan
peralatan listrik, subsektor angkutan laut, dan subsektor penyediaan akomodasi. Pada analisis SWOT”
dengan

Sub Bab ini, hasil analisis overlay tersebut akan dikaitkan dengan analisis SWOT.
Mengacu pada Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLBI) 2015, cakupan kegiatan
ekonomi pada masing-masing subsektor tersebut adalah:

1. Subsektor industri logam dasar yang meliputi kegiatan pengolahan logam dasar
besi dan baja, logam dasar mulia, dan logam dasar bukan besi lainnya,
2. Subsektor industri komputer, barang elektronik, dan optik meliputi kegiatan
pembuatan computer, perlengkapan computer, peralatan komunikasi, dan barang-
barang elektronik sejenis beserta komponennya.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


67
3. Subsektor angkutan laut meliputi usaha pengangkutan penumpang atau barang
pada kapal, termasuk angkutan penarik atau pendorong tongkang, kapal minyak,
dan kapal angkutan lainnya.
4. Subsektor penyediaan akomodasi meliputi penyediaan akomodasi jangka pendek
(hotel, losmen, hostel, villa, bungalo, dan penginapan lainnya), dan penyediaan
akomodasi untuk jangka yang lebih lama (kamar atau asrama untuk pelajar, pekerja
musiman dan sejenisnya).

5.4.1. Subsektor Industri Logam Dasar (Sektor Industri Pengolahan)


“Pemrosesan bahan Industri yang memproduksi komoditas hasil pemrosesan seperti besi baja,
mentah alumunium, tembaga, nikel, dan lain sebagainya ini merupakan industri yang sangat
meningkatkan nilai
tambah ekspor” berpotensi untuk ditingkatkan nilai tambahnya mengingat Indonesia saat ini masih
banyak mengekspor bahan mineral mentah untuk industri tersebut.

“Dengan letak di pintu Dikaitkan dengan analisis SWOT, industri logam dasar didukung oleh regulasi
gerbang UU Nomor 4/2009 yang melarang ekspor mineral mentah dan PP 45/2015 yang
perdagangan, Kepri
dapat menjadi pusat memasukkan industri logam dasar sebagai prioritas. Dengan mempertimbangkan
industri logam dasar”
keadaan sumber daya mineral di Indonesia yang berlimpah dan tersebar di seluruh
wilayah Indonesia, serta pemanfaatannya yang selama ini masih dalam ekspor bahan
mentah, letak Kepri di pintu gerbang perdagangan internasional dapat dimanfaatkan
untuk dijadikan pusat industri logam dasar.
“Pemusatan industri Pemusatan industri logam dasar di Kepri yang berada di jalur perdagangan
logam perlu internasional akan mempercepat proses ekspor sehingga biaya logistik dapat ditekan
dukungan tax holiday,
dan/atau dan hasil produksi semakin kompetitif. Pemerintah dapat membantu pembentukan
designasi enclave”
PPP,
pusat industri logam dasar tersebut dengan memberikan fasilitas tax holiday khusus
untuk perusahaan yang bergerak di bidang industri logam dasar. Selain itu, pemerintah
juga dapat merancang PPP untuk membangun kawasan industri khusus. Alternatif
lainnya, rencana pembentukan KEK Batam dengan bentuk enclave dapat dimanfaatkan
untuk mendedikasikan salah satu enclave menjadi pusat industri logam dasar.

5.4.2. Subsektor Industri Komputer, Barang Elektronik, dan Optik (Sektor


Industri Pengolahan)
Subsektor dengan tingkat teknologi menengah-tinggi ini berpotensi untuk
menciptakan nilai tambah yang besar dan transfer knowledge apabila pemrosesan dari
hulu ke hilir dapat dilakukan di Indonesia. Dikaitkan dengan analisis SWOT, PP 14/2015
juga menjadikan industri elektronika dan telematika/ICT sebagai prioritas.
“Adopsi Sillicon Valley Untuk pengembangannya, pemerintah dapat mengadopsi konsep Sillicon Valley

industri IT”
untuk pengembangan
dimana industri IT terpusat dalam satu kawasan. Pemusatan tersebut telah berhasil

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


68
menciptakan skala ekonomi yang besar, mobilisasi tenaga kerja yang efisien, dan
kompetisi yang sehat, sehingga industri IT dapat berkembang pesat.
Adanya kawasan-kawasan yang ditetapkan sebagai Free Trade Zone atau KEK “Tax holiday,
Technology Center,
nantinya dapat dicanangkan untuk pusat industri IT tersebut. Untuk merealisasikannya, pelatihan bertema IT
hal-hal yang dapat dilakukan pemerintah antara lain: dan proposal
penanaman modal
1. Kementerian Keuangan memberikan tax holiday bagi perusahaan IT yang bersedia dapat mendukung
pusat industri IT”
berinvestasi dalam skala besar di Kawasan Ekonomi Khusus IT.
2. Pemerintah Daerah membentuk Technology Center seperti Bandung Techno Park
di Kawasan Ekonomi Khusus IT.
3. Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi atau universitas setempat
mengarahkan akademisi, mahasiswa, maupun lulusan universitas dengan basis
keilmuan di bidang IT untuk menjalankan risetnya di Technology Center.
4. Kementerian Ketenagakerjaan atau Dinas Tenaga Kerja setempat
mengembangkan pelatihan-pelatihan yang bertema IT.
5. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atau Badan Penanaman Modal
Daerah (BPMD) bersikap proaktif dengan membuat proposal untuk menggaet
kerjasama dari perusahaan ICT ternama dalam membentuk PPP seperti yang telah
dilakukan oleh Investment Promotion Agency (IPA) Costa Rica dengan Intel.
Dikaitkan dengan tren ekspor “Ketergantungan
Gambar V-14 Perbandingan Ekspor/Impor
ICT terhadap total Ekspor/Impor Indonesia impor barang Information and pada impor di
Indonesia ICT
Communication Technology (ICT).di meningkat”
Indonesia, tren porsi impor ICT terus
menaik sementara tren porsi ekspor ICT
terus menurun . Hal tersebut menunjukkan
bahwa basis industri ICT di Indonesia
belum baik tren penggunaan barang-
Sumber: World Bank (diolah) barang berteknologi tinggi terus
meningkat. Akibatnya, Indonesia beresiko
menjadi ketergantungan pada pasokan impor barang-barang berteknologi tinggi. Oleh
karena itu, industri ICT memiliki urgensi tersendiri untuk lebih diprioritaskan
dibandingkan industri-industri lainnya.
Adapun apabila dilihat dari karakteristiknya, di tengah-tengah ketidakstabilan “Resiliensi jangka
panjang menjadikan
perekonomian global, industri ICT cenderung lebih resilien karena karakteristiknya yang prospek industri ICT
selalu berkembang mengikuti kebutuhan barang berteknologi yang terus menignkat. sangat cerah”
Oleh karena itu, prospek jangka panjang dari industri ICT sangat baik khususnya bila
dibandingkan industri-industri lain seperti industri berbasis komoditas yang rawan
terkena dampak perubahan teknologi.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


69
5.4.3. Subsektor Angkutan Laut (Sektor Transportasi dan Pergudangan)

“Subsektor angkutan
Pada dasarnya, pertumbuhan di subsektor angkutan laut bergantung dari arus
laut bersifat barang dan penumpang antar atau di dalam wilayah Provinsi Kepulauan Riau. Arus
supporting dan
barang dan penumpang sendiri lebih banyak ditentukan oleh kinerja dari sektor atau
interdependen
dengan sektor lain” sub sektor lainnya sedangkan fungsi dari sub sektor angkutan laut adalah sebagai
pendukung dari sektor atau sub sektor lain tersebut. Sektor atau sub sektor yang sangat
mempengaruhi sub sektor angkutan lautnya diantaranya, namun tidak terbatas pada
sektor industri pengolahan, sektor pariwisata dan penyediaan infrastruktur pelabuhan.
“Biaya logistik untuk Dikaitkan dengan analisis SWOT, Kepri yang bercirikan kepulauan, berada di
tiga Kabupaten/Kota
di Kepri masih tinggi”
jalur perdagangan internasional, memiliki pariwisata yang potensial, dan merupakan
wilayah industri pengolahan seyogyanya memiliki sub sektor angkutan laut yang kuat.
Namun, demikian keterjangkauan biaya logistik di Kepri masih terbatas pada wilayah
empat (Batam, Bintang, Karimun, Tanjungpinang) dari delapan Kabupaten/Kota di
Kepri. Hal tersebut menunjukkan bahwa masih banyak sekali potensi yang belum digali
dari sub sektor angkutan laut di Provinsi Kepulauan Riau.

“Industri, pariwisata, Akan tetapi, untuk mengoptimalkan potensi tersebut, pemerintah sebaiknya
infrastruktur berfokus pada hal-hal di luar industri angkutan laut itu sendiri yakni penguatan industri
pelabuhan dan
cabotage mendukung pengolahan, pariwisata, serta pembangunan infrastruktur pelabuhan yang kompetitif.

laut”
subsektor angkutan
Untuk sub sektor angkutan laut sendiri, pemberlakuan kebijakan cabotage yang
mengharuskan pengangkutan jalur laut domestik untuk dikerjakan perusahaan
pelayaran Indonesia sudah cukup membantu pertumbuhannya.

5.4.4. Subsektor Penyediaan Akomodasi (Sektor Penyediaan Akomodasi dan


Makan Minum)

“Wisata bahari dan Sebagaimana telah dibahas pada analisis SWOT, pariwisata di Provinsi
budaya melayu Kepulauan Riau didukung oleh kekayaan dan keindahan alam yang dimiliki seperti
menjadi daya Tarik
pariwisata Kepri” pantai yang indah dan alami di semua kabupaten/kota. Tidak hanya pantai nan elok,
pesona kehidupan bawah laut, keindahan panorama, dan keanekaragaman seni dan
budaya yang didominasi kekayaan budaya leluhur bangsa melayu serta bangunan
peninggalan sejarah juga memiliki daya tarik yang sangat besar.
“Pariwisata Kepri Sejalan dengan pertumbuhan pesat sub sektor penyediaan akomodasi,
bertumbuh, namun kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) di Kepri terus meningkat dengan rata-
tidak secepat Bali”
rata peningkatan pada periode tahun 2012-2014 sebesar 5,67%. Sementara itu, pada
periode yang sama, Provinsi Bali sebagai destinasi utama wisman dan benchmark
pariwisata di Indonesia mencatatkan rata-rata peningkatan sebesar 13,02%. Mengingat
utilisasi daerah pariwisata di Provinsi Kepulauan Riau baru terkonsentrasi di pulau
Batam dan Bintan, dapat disimpulkan bahwa dengan pembangunan infrastruktur dan

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


70
promosi pariwisata yang tepat sasaran, sub sektor penyediaan akomodasi di Provinsi
Kepulauan Riau dapat bertumbuh lebih cepat lagi bahkan mungkin menyaingi
pertumbuhan di Provinsi Bali.
Dalam konteks menciptakan promosi pariwisata yang efektif dan efisien, pada
dasarnya sektor pariwisata memiliki keterbatasan pasar dimana walaupun jumlah
wisman terus bertambah seiring dengan bertumbuhnya perekonomian dunia, akan
tetapi masing-masing wisman Gambar V-15 Kontribusi Wisman Berdasarkan Negara di
Provinsi Kepulauan Riau dan Bali tahun 2014
memiliki waktu yang terbatas.
Ketika seorang wisman memilih orang (ribuan)
Australia
satu destinasi, wisman tersebut 991.923
tidak dapat mengunjungi destinasi KoreaSelatan RRC
lainnya yang berjauhan dengan
586.300
destinasi pilihan. Koordinasi dalam
promosi antara Provinsi Kepulauan
India Malaysia
Riau dan Provinsi Bali dengan
melihat perbandingan kontribusi 1.042.730
wisman berdasarkan negara asal di Singapura Jepang

masing-masing provinsi dapat


Bali Kepulauan Riau
membantu menciptakan strategi Sumber: BPS Kepri dan BPS Kepri (diolah)
promosi yang efektif dan menghindari opportunity cost bagi satu sama lainnya. “Segmentasi pasar
Perbandingan tersebut menunjukkan bahwa Provinsi Bali sebaiknya memfokuskan antara Kepri dan Bali
diperlukan untuk
promosi pariwisata di negara Australia, RRC, dan Jepang dimana Bali sudah memiliki menghindari
keunggulan dan reputasi. Untuk wisman Korea Selatan, Malaysia, dan India dapat opportunity cost”
diarahkan ke Kepri.

5.5 ANOMALI SEKTOR POTENSIAL DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU


Berdasarkan analisis overlay dan analisis SWOT, sub sektor perikanan “Basis perikanan
yang besar tidak
menunjukkan kinerja yang lemah terlepas dari status Provinsi Kepulauan Riau sebagai didukung dengan
pemilik potensi perikanan terbesar di Indonesia. Kinerja sub sektor perikanan masih skala ekonomi
sehingga kinerja
jauh dari potensinya dengan MRP RPs sebesar 0,85. Nilai LQ sub sektor perikanan sektor perikanan
kurang memuaskan”
mencapai 1,19 yang dapat diartikan bahwa sektor perikanan sendiri sudah
terkonsentrasi dalam perekonomian Provinsi Kepulauan Riau. Hal tersebut dapat
menjadi faktor penyebab lambatnya pertumbuhan sub sektor tersebut karena basisnya
sendiri sudah terlalu besar. Selain itu, hasil observasi penulis di lapangan juga
menemukan beberapa permasalahan yang dihadapi nelayan, antara lain:

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


71
“Hasil observasi 1. Ketiadaan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan monopoli penjualan ikan oleh
menunjukkan adanya
permasalahan tengkulak menjadikan harga jual ikan dari nelayan sangat rendah, sehingga insentif
monopoli, maupun modal nelayan untuk mengembangkan usahanya sangat kecil.
pembiayaan, dan
bantuan tidak tepat 2. Kurangnya fasilitas cold storage juga turut berkontribusi terhadap monopoli
sasaran”
penjualan ikan karena nelayan harus segera menjual ikannya ke tengkulak.
3. Program pembiayaan dari pemerintah seperti Kredit Usaha Rakyat kurang
menyentuh nelayan karena karakteristik usaha yang kurang fesibel di mata
perbankan, dimana nelayan memerlukan modal besar untuk meningkatkan
kapasitas kapal namun tidak memiliki jaminan untuk pembiayaannnya.
4. Bantuan pemerintah berupa hibah Kapal kurang tepat sasaran dan kurang tepat
spesifikasi. Terdapat banyak penerima hibah yang sebetulnya sudah mampu dan
kapal yang diberikan seringkali tidak cocok spesifikasinya untuk nelayan.

“Pemrioritasan Dikaitkan dengan dukungan


Gambar V-16 Realisasi APBN Subfungsi
pemerintah pusat di anggaran pemerintah, realisasi APBN Perikanan dan porsinya terhadap Fungsi Ekonomi
fungsi ekonomi tidak
sebanding dengan tahun 2016 subfungsi pertanian,
pemrioritasan di
subsfungsi
kehutanan, perikanan dan kelautan
perikanan” sebesar Rp.112,50, meningkat 13,88%
per tahun (CAGR) sejak tahun 2009.
Namun, proporsi subfungsi tersebut
terhadap fungsi diatasnya (fungsi
ekonomi) dalam tren menurun dimana
Sumber: Monev PA DJPBN (diolah)
pada tahun 2009 porsinya mencapai
13,08% dan anjlok hingga 904 basis poin menjadi 4,04% pada tahun 2016. Dari tren
tersebut, dapat diartikan bahwa peningkatan prioritas pemerintah pada fungsi ekonomi
tidak sejalan dengan peningkatan prioritas untuk sub sektor perikanan.
“Pemerintah perlu Kesimpulannya, pemerintah perlu meningkatkan alokasi subfungsi perikanan
memodernisasi untuk memaksimalkan potensinya. Program yang dapat digunakan antara lain:
peralatan nelayan,
membuat TPI dan 1. Modernisasi peralatan penangkapan ikan untuk mengatasi batasan basis subsektor
Cold Storage,
memperbaiki skema perikanan yang terlampau besar dengan skala ekonomi.
KUR, memberikan 2. Pembuatan Tempat Pelelangan Ikan dan cold storage
bantuan tepat guna
dan tepat sasaran, 3. Perbaikan desain kredit program untuk nelayan
serta merealisasikan
SKPT”
4. Berdialog dengan masyarakat untuk bantuan hibah kapal yang spesifikasinya lebih
tepat guna dan penerimanya lebih tepat sasaran
5. Merealisasikan rencana pembangunan Sentra Kelautan dan Perikanan Terbuka
(SKPT) di Natuna dan Anambas dan membuka jalur ekspor baru ke Hong Kong.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


72
BAB VI ANALISIS Tantangan
Fiskal REGIONAL
Tantangan fiskal di Kepri meliputi defisit cash flow Pemerintah Pusat,
tidak linearnya hubungan pertumbuhan fiskal dengan perkembangan
indikator kesejahteraan, pelaksanan anggaran yang perlu dipercepat,
pemanfaatan dana desa yang belum optimal, urgensi pembangunan
infrastruktur untuk berkompetisi di era persaingan ASEAN, risiko
fiskal beberapa Pemda yang cukup tinggi akibat ketergantungan dana
transfer dan volatilitas harga migas, serta paradoks peningkatan
kapasitas fiskal BP Batam terhadap pertumbuhan sektor industri.

6.1. DEFISIT CASH FLOW PEMERINTAH PUSAT DI KEPRI


Gambar VI-1 Cash Flow Pemerintah Pusat di Kepri Tahun 2016 (dalam triliunan rupiah)

Belanja Pemerintah Pusat: Rp.11,55t


 KP+KD+DK+TP+UB: Rp.5,39t
 Transfer ke Daerah: Rp.8,06t
APBN
out flow > in flow
Penerimaan: Rp.7,79t

defisit Rp.5,65t PPh: Rp.5,25t
 PPN: Rp.0,74t
Provinsi  Pajak Lainnya:Rp.0,05t
Kepulauan Riau  PPI: Rp.0,35t
 PNBP: Rp.1,38t
 Hibah: Rp.0,02t
Sumber: OM SPAN & Monev PA DJPBN, DJP, dan DJBC Kemenkeu (diolah)

Keseimbangan fiskal pemerintah pusat di Kepri dilihat dari selisih cash flow “Porsi defisit
antara realiasi pendapatan dan belanja. Tahun 2016, realisasi penerimaan mencapai cashflow terhadap
realisasi belanja di
Gambar VI-2 Perkembangan Cash Flow Pemerintah Rp.7,79 triliun, sedangkan belanja tahun 2016 meningkat
Pusat di Kepri (dalam triliunan rupiah) 848 basis poin
negara mencapai Rp.13,44 triliun. dibandingkan tahun
13,44
11,60 11,54 Dari nilai tersebut, defisit cash flow sebelumnya menjadi
-42,07%”
15 mencapai Rp.5,65 triliun atau -
7,67 7,66 7,79
42,07% dari total belanja, meningkat
10 5,65
3,93 3,88 848 basis poin dari defisit -33,59% di
5
tahun 2016. Defisit tersebut
0 menjadikan Kepri sebagai penerima
2014 2015 2016
Defisit Penerimaan Pengeluaran cross subsidy dari daerah lain yang
Sumber: OM SPAN & Monev PA DJPBN, DJP, dan DJBC Kemenkeu mengalami surplus cash flow.
(diolah)

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


73
“Defisit anggaran Fenomena defisit itu sendiri telah terjadi selama beberapa tahun, namun defisit
pemerintah pusat di di tahun 2016 meningkat tajam akibat lonjakan di sisi belanja tidak diiringi dengan
Kepri telah lama
terjadi namun di peningkatan di sisi penerimaan. Lonjakan di sisi belanja disebabkan oleh kebijakan
tahun 2016 melonjak
penguatan desentralisasi yang mendorong kenaikan dana transfer. Di sisi penerimaan,
desentralisasi fiskal”
karena penguatan
perpajakan yang menjadi andalan sulit untuk meningkat di tengah-tengah perubahan
struktur perekonomian di Kepri. Kepri sendiri merupakan daerah yang mendapatkan
insentif fiskal di Free Trade Zone Batam, Bintan, Karimun berupa pembebasan
beberapa komponen pajak sehingga porsi penerimaan pajak secara relatif memang
tidak dapat sebesar wilayah lainnya.
Namun demikian, komponen penerimaan tersebut di atas masih belum termasuk
PNBP Sumber Daya Alam (SDA) yang dicatat langsung sebagai penerimaan di Pusat
(Jakarta). Pada dasarnya, PNBP SDA merupakan dasar yang dijadikan untuk transfer
Dana Bagi Hasil (DBH) SDA ke Pemerintah Daerah. Dengan metode perhitungan
konvensional, cash flow tersebut di atas mencerminkan konsekuensi pengeluaran dari
SDA tanpa memperhitungkan penerimaan SDA sebelumnya.
“Perlu apropriasi Gambaran yang lebih fair mengenai cash flow di Kepri sendiri tidak dapat dibuat
PNBP SDA untuk karena data PNBP SDA yang berasal dari Provinsi Kepulauan Riau tidak tersedia.
membuat cash flow
yang lebih fair” Namun demikian, estimasi kasar PNBP SDA yang berasal dari Provinsi Kepulauan Riau
dapat dihitung dengan formula sebagai berikut:
1. Aturan pembagian PNBP Gas Bumi adalah 69,5% untuk Pemerintah Pusat dan
30,5% untuk daerah. Rumus estimasi PNBP Gas Bumi dari kepri adalah: DBH SDA
Gas Bumi dikali 100 dibagi 30,5;
2. Aturan pembagian PNBP Minyak Bumi adalah 84,5% untuk Pemerintah Pusat dan
15,5% untuk daerah. Rumus estimasi PNBP Minyak Bumi dari kepri adalah: DBH
SDA Minyak Bumi dikali 100 dibagi 15,5;
3. Aturan pembagian PNBP Pertambangan Umum adalah 20% untuk Pemerintah
Pusat dan 80% untuk daerah. Rumus estimasi PNBP Pertambangan Umum dari
kepri adalah: DBH SDA Pertambangan Umum dikali 100 dibagi 80;
4. Aturan pembagian PNBP Kehutanan Dana Reboisasi adalah 60% untuk Pemerintah
Pusat dan 40% untuk daerah. Rumus estimasi PNBP Kehutanan Dana Reboisasi
dari kepri adalah: DBH SDA Kehutanan Dana Reboisasi dikali 100 dibagi 40;
5. Aturan pembagian PNBP Kehutanan Selain Dana Reboisasi adalah 80% untuk
Pemerintah Pusat dan 20% untuk daerah. Rumus estimasi PNBP Kehutanan Selain
Dana Reboisasi dari kepri adalah: DBH SDA Kehutanan Selain Dana Reboisasi
dikali 100 dibagi 20;
6. Dalam transfer DBH SDA terdapat komponen “kurang bayar” yang berasal dari
realisasi PNBP SDA tahun-tahun sebelumnya. Untuk penyederhanaan estimasi,

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


74
digunakan asumsi bahwa seluruh realisasi DBH SDA dalam satu tahun anggaran
berasal dari realisasi PNBP SDA tahun yang sama.
Tabel VI-1 Estimasi Perkembangan Surplus/Defisit Riil Cash Flow Pemerintah Pusat di Kepri
(dalam miliaran rupiah)
Realisasi
Uraian
2014 2015 2016
A DBH SDA Gas Bumi 1.636,70 809,39 1.196,74
B Estimasi PNBP Gas Bumi dari Kepri (A x 100/30,5) 5.366,24 2.653,73 3.923,74
C DBH SDA Minyak Bumi 1.076,81 406,89 152,93
D Estimasi PNBP Minyak Bumi dari Kepri (C x 100/15,5) 6.947,17 2.625,11 986,63
E DBH SDA Pertambangan Umum 173,60 137,87 36,78
F Estimasi PNBP Pertambangan Umum dari Kepri (E x 217,00 172,34 45,97
100/80)
G DBH SDA Kehutanan Dana Reboisasi 0,14 0,16 -
H Estimasi PNBP Kehutanan Dana Reboisasi dari Kepri 0,36 0,39 -
(G x 100/40)
I DBH SDA Kehutanan Selain Dana Reboisasi 0,39 0,28 0,70
J Estimasi PNBP Kehutanan Selain Dana Reboisasi 1,97 1,42 3,50
dari Kepri (I x 100/20)
K Estimasi total PNBP SDA dari Kepri (B+D+F+ H+J) 12.532,73 5.453,00 4.959,84
L Surplus/(Defisit) Konvensional (3.930,22) (3.876,41) (5.654,66)
M Surplus/(Defisit) Estimasi Riil (K + L)l 8.602,51 1.576,59 (694,82)
Sumber: OM SPAN & Monev PA DJPBN, DJP, dan DJBC Kemenkeu, serta PP 55/2005 (diolah)

“Estimasi apropriasi
Berdasarkan formula di atas, Provinsi Kepulauan Riau diperkirakan
menghasilkan PNBP SDA bagi Pemerintah Pusat pada tahun 2014, 2015, 2016 secara PNBP SDA
menunjukkan bahwa
berturut-turut sebesar Rp.12,53 triliun, Rp.5,45 triliun, dan Rp.4,96 triliun. Dari hasil Kepri tidak defisit
estimasi tersebut, terlihat bahwa sebetulnya Kepri menyumbang cross subsidy sebesar ketika harga migas
tinggi”
Rp.8,60 triliun di tahun 2014, dan Rp.1,58 triliun di tahun 2015. Sedangkan di tahun
2016, Kepri tetap menerima cross subsidy namun dengan jumlah yang jauh lebih kecil,
yakni Rp.694,82 miliar.
Perubahan nilai Surplus/Defisit yang sangat signifikan tersebut menandakan “Pemerintah perlu
bahwa untuk melakukan analisis spasial kontribusi fiskal regional terhadap Pemerintah memperbaiki
pengakuan
Pusat, diperlukan perbaikan pengakuan pendapatan. Selain itu, apabila dikaitkan pula pendapatan regional
untuk analisis
spasial”
dengan PDRB, tax ratio, dan non-tax ratio sebagai alat analisis penerimaan fiskal,
memang seharusnya pengakuan pendapatan pemerintah pusat dialokasikan pada
lokasi output ekonomi yang menjadi objek pajak. Untuk itu, pemerintah pusat sebaiknya
memperbaiki kebijakannya dalam memperhitungkan pengakuan pendapatan regional.
Dilihat dari sensitivitas terhadap harga komoditas, turunnya kontribusi “Fiskal Kepri sensitif
penerimaan fiskal Provinsi Kepulauan Riau secara drastis menandakan bahwa Provinsi terhadap harga
komoditas,
yang memiliki porsi sumber daya alam signifikan dalam komponen fiskalnya sangat pengelolaan
harus lebih pruden”
fiskal
rentan terhadap perubahan harga. Untuk itu, daerah-daerah berkarakteristik seperti itu
harus lebih pruden dalam mengelola fiskalnya. Idealnya, prioritas penggunaan
penerimaan dari sumber daya alam dialokasikan dalam dana abadi untuk

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


75
menanggulangi eksternalitas dari kegiatan eksploitasi sumber daya alam. Sedangkan
kelebihannya dianggap sebagai “bonus” yang apabila diterima, dapat digunakan untuk
menambah pundi-pundi pembangunan daerah, namun tidak untuk menambah baseline
budget. Dengan begitu, ketika realisasi penerimaan sumber daya alam tidak sesuai
perkiraan, program-program pemerintah tidak akan terlalu terganggu.

6.2. LINEARITAS PERKEMBANGAN INDIKATOR KESEJAHTERAAN


DARI PERKEMBANGAN FISKAL REGIONAL
Secara singkat, perkembangan kondisi kesejahteraan dan fiskal di Provinsi
Kepulauan Riau pada tahun 2016 dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar VI-3 Kondisi Kesejahteraan dan Fiskal di Provinsi Kepulauan Riau

2015 2016

Ekonomi dan Pembangunan: Ekonomi dan Pembangunan:


PDRB ADHB Rp.199,54 triliun PDRB meningkat menjadi Rp.216,58 triliun
Sektor dominan Industri pengolahan, Sektor dominan Industri pengolahan,
Konstruksi, dan Pertambangan dan Konstruksi, dan Pertambangan dan
Penggalian Penggalian
Kemiskinan menurun menjadi 5,78% Kemiskinan meningkat menjadi 5,98%
Pengangguran menurun menjadi 6,20% Pengangguran meningkat menjadi 7,69%
Belanja Pemerintah: Belanja Pemerintah: Meningkat
Belanja APBN+APBD Rp.15,18 triliun Belanja APBN+APBD Rp.15,85 triliun
Fungsi: 33,04% Pelayanan Umum, Fungsi: 29,93% Pelayanan Umum,
24,52% Ekonomi, 14,33% Pendidikan 24,52% Ekonomi, 13,55% Pendidikan
Jenis Belanja: 36,26% Barang, 26,26% Jenis Belanja: 37,51% Barang, 29,21%
Pegawai, 25,80% Modal Pegawai, 21,82% Modal

Penerimaan: Penerimaan: Meningkat


Pendapatan Daerah Rp.7,31 triliun Pendapatan Daerah Rp.10,91 triliun
Pendapatan Pemerintah Pusat Rp.7,66 triliun Pendapatan Pemerintah Pusat Rp.7,79 triliun

Sumber: Kemenkeu dan Pemda (diolah)

“Penerimaan Penerimaan pemerintah di Kepri meningkat hingga 24,89% dari Rp.14,97 triliun
pemerintah pusat & di tahun 2015 menjadi Rp.18,70 triliun di tahun 2016. Faktor pertama yang menjadi
daerah menguat
didorong oleh dana pendorong peningkatan penerimaan tersebut adalah penguatan desentralisasi fiskal
transfer, PAD, dan
yang mendorong penerimaan dana transfer Pemda hingga Rp.2,51 triliun. Faktor kedua
LLPD
adalah optimalisasi penggalian potensi penerimaan pemda yang meningkatkan PAD
hingga Rp.933,27 miliar dan LLPD hingga Rp.383,52 miliar. Faktor terakhir adalah tax
amnesty yang mendorong penerimaan pajak pemerintah pusat hingga Rp.127,08 miliar.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


76
Di sisi belanja, terjadi peningkatan 4,43% dari Rp.15,18 triliun di tahun 2015 “Belanja agregat
meningkat namun
menjadi Rp15,85 triliun di tahun 2016. Dari klasifikasi jenis belanja, kenaikan tersebut tidak diikuti dengan
didorong oleh peningkatan belanja pegawai hingga Rp.644,66 miliar dan peningkatan kenaikan belanja
modal”
belanja barang hingga Rp.442,75 miliar. Hal yang perlu diperhatikan adalah
menurunnya realisasi belanja modal hingga –Rp.457,61 miliar, padahal infrastruktur
menjadi prioritas utama pemerintah saat ini dalam mendorong perekonomian nasional.
Dari sisi perkembangan kesejahteraan, perekonomian Kepri bertumbuh 5,03% “Ekonomi Kepri
meningkat namun
di tahun 2016 sebagaiman tercermin juga pada PDRB ADHB yang meningkat Rp.17,04 gagal menyerap
triliun. Namun demikian, pertumbuhan tersebut belum mampu meningkatkan tenaga kerja dan
mengentaskan
penyerapan tenaga kerja dan mengentaskan kemiskinan sebagaimana tercermin dari kemiskinan”
peningkatan tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan.
Untuk menganalisis pengaruh perkembangan fiskal terhadap kesejahteran “Garfik perubahan
indikator
masyarakat di Kepri, linearitas antara perubahan indikator kesejahteraan dengan kesejahteraan dan
perubahan fiskal (belanja dan penerimaan pusat dan daerah) dapat menjadi salah satu fiskal menunjukkan
hubungan antara
indikator. Grafik di bawah menggambarkan perubahan pada variabel-variabel keduanya”
kesejahteraan dan fiskal pada suatu tahun dibandingkan dengan tahun sebelumnya
(selama 3 tahun terakhir).
Gambar VI-4 Perbandingan Peningkatan/Penurunan Indikator Kesejahteraan dan Fiskal di Kepri

40,00% 8,00%

20,00% 4,00%

0,00% 0,00%

-20,00% -4,00%

-40,00% -8,00%
2014 2015 2016

Belanja APBN & APBD (LHS) Penerimaan APBN & APBD (LHS)
Gini Ratio (LHS) Penganggur (LHS)
PDRB (RHS) Inflasi (RHS)
IPM (RHS) Orang Miskin (RHS)

Keterangan: (IPM Tahun 2016 merupakan proyeksi)


Sumber: Kemenkeu, Pemda, dan BPS (diolah)

Secara umum terlihat bahwa dibandingkan tahun sebelumnya, keadaan fiskal


pada tahun 2014, baik belanja maupun penerimaan mengalami peningkatan. Di tahun
2015, keduanya mengalami penurunan sedangkan di tahun 2016, kembali meningkat.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


77
Dikaitkan dengan gini ratio (garis oranye), terlihat bahwa kesenjangan pada
masyarakat meningkat ketika keadaan fiskal meningkat, dan menurun ketika keadaan
fiskal juga menurun. Artinya, terdapat indikasi bahwa perbaikan kondisi fiskal belum bisa
mendorong adanya pemerataan ekonomi masyarakat.
Dikaitkan dengan jumlah penganggur (garis biru muda), terlihat bahwa ketika
keadaan fiskal meningkat, jumlah penganggur meningkat, dan ketika keadaan fiskal
menurun, jumlah penganggur menurun. Artinya, terdapat indikasi bahwa perbaikan
kondisi fiskal juga belum bisa mendorong penciptaan lapangan pekerjaan.
Dikaitkan dengan pertumbuhan PDRB (garis hijau), terlihat bahwa pertumbuhan
ekonomi Kepri terus menurun terlepas dari apa yang terjadi terhadap kondisi fiskal di
Kepri. Artinya, terdapat indikasi bahwa terjadi divergensi antara kondisi fiskal dan
pertumbuhan ekonomi atau dengan kata lain, ekspansi fiskal tidak mampu mendorong
pertumbuhan ekonomi Kepri.
Perkembangan tingkat inflasi (garis ungu) juga memiliki hubungan yang serupa
dengan pertumbuhan ekonomi. Sepanjang periode 2014-2016, tingkat inflasi terus
menurun terlepas dari apa yang terjadi pada kondisi fiskal Kepri.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Kepri (garis biru tua) terus meningkat
dari tahun ke tahun. Di saat yang sama, kondisi fiskal di Kepri mengalami fluktuasi.
Sama halnya seperti jumlah penganggur, jumlah orang miskin di Kepri (garis
merah) mengalami peningkatan ketika kondisi fiskal meningkat, dan mengalami
penurunan ketika kondisi fiskal menurun. Artinya, terdapat indikasi bahwa perbaikan
kondisi fiskal belum bisa mendorong penduduk miskin keluar dari jurang kemiskinan.

“Terdapat hubungan Hubungan yang tidak linear tersebut menunjukkan bahwa peningkatan
tidak linear antara anggaran yang digunakan oleh pemerintah tidak serta merta meningkatkan
belanja pemerintah
dengan kondisi kesejahteraan masyarakat baik dilihat dari sisi kesenjangan, penciptaan lapangan kerja,
kesejahteraan
masyarakat”
pertumbuhan ekonomi, inflasi, pembangunan manusia, maupun pengentasan
kemiskinan. Ketika penggunaan anggaran meningkat namun dampaknya kurang
dirasakan oleh masyarakat, maka dapat disimpulkan bahwa permasalahan utama
terletak pada program dan kegiatan pemerintah di lapangan yang belum efektif. Untuk
itu, pemerintah harus segera mengevaluasi efektifitas setiap program dan kegiatan
mengingat opportunity cost yang ditimbulkan dari permasalahan ini akan terus
terakumulasi dari tahun ke tahun.
“Kebijakan ekspansif Hal ini juga menjadi sangat genting untuk dievaluasi mengingat pemerintah
akan berdampak
buruk bila tidak melaksanakan kebijakan ekspansif dengan berhutang. Ketika beban hutang negara
disertai dengan terus meningkat namun tidak disertai dengan peningkatan kesejahteraan, maka akan
peningkatan
kesejahteraan” muncul resiko dimana suatu saat negara tersebut tidak akan mampu membayar hutang.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


78
6.3. URGENSI PERCEPATAN PELAKSANAAN ANGGARAN
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya pada Bab III, penundaan pelaksanaan “Lambatnya
anggaran akan menciptakan opportunity cost. Pajak yang dikeluarkan dari siklus pelaksanaan
anggaran
perekonomian tidak segera dikembalikan sehingga pergerakan roda perekonomian menciptakan
akan melambat. Permasalahan lambatnya pelaksanaan anggaran ini telah lama terjadi opportunity cost”
di Indonesia dimana instansi-instansi pemerintah memiliki kecenderungan untuk
menunda pelaksanaan anggaran hingga akhir tahun (CNN Indonesia, 2016). Di lingkup
Kepri sendiri, permasalahan ini juga terus terjadi di setiap tahun anggaran.
Pada “Kajian Pengaruh Belanja Pemerintah Terhadap Perekonomian Regional “Regresi belanja
Provinsi Kepulauan Riau”, Kanwil DJPBN Provinsi Kepulauan Riau menggunakan proxy pemerintah terhadap
penyerapan tenaga
penyerapan tenaga kerja untuk menggambarkan dampak keterlambatan pelaksanaan kerja dapat
menggambarkan
anggaran tersebut. dampak
Belanja pemerintah terhadap penyerapan tenaga kerja sendiri untuk lingkup keterlambatan
pelaksanaan
Kepri tidak menunjukkan dampak positif sebagaimana dibahas pada Bab III. Untuk itu, anggaran”
digunakan data proxy berupa data negara Amerika Serikat, Federal Government
Spending (FGS) sebagai variabel independen dan Employment sebagai variabel
dependen. Data tersebut digunakan untuk melakukan analisis regresi yang
menghasilkan gambaran umum bahwa belanja pemerintah berpengaruh positif
terhadap penyerapan tenaga kerja. Hasil regresi tersebut adalah sebagai berikut.

Gambar VI-5 Pengujian Ekonometri FGS terhadap Employment


Dependent Variable: E
Method: Least Squares
Date: 12/23/15 Time: 15:26
Sample: 1985 2014
Included observations: 30

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

FGS 9,51E-06 1,02E-06 9,298680 0,0000


79876040 4773225. 16,73419 0,0000

R-squared 0,755385 Mean dependent var 1,23E+08


Adjusted R-squared 0,746648 S.D. dependent var 13012073
S.E. of regression 6549502 Akaike info criterion 34,29202
Sum squared resid 1,20E+15 Schwarz criterion 34,38543
Log likelihood -512,3803 Hannan-Quinn criter. 34,32190
F-statistic 86,46544 Durbin-Watson stat 0,243625
Prob(F-statistic) 0,000000

Sumber: Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau, Kajian Pengaruh Belanja Pemerintah Terhadap Perekonomian
Regional Provinsi Kepulauan Riau

Dengan mengunakan Purchasing Power Parity Conversion Factor (PPP


Conversion Factor) Indonesia Tahun 2014 yang dikeluarkan oleh The World Bank
dimana angka pengalinya adalah 3.939,56, koefisien regresi tersebut (9,51E-06)
dikonversi sehingga menghasilkan koefisien sebesar 2,41377849324e-09. Koefisien

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


79
regresi tersebut dapat diartikan bahwa setiap belanja pemerintah sebesar 414.937.759
Rupiah/Setara Rupiah akan menghasilkan 1 lapangan pekerjaan.
Dengan asumsi bahwa pelaksanaan anggaran yang baik berada pada kisaran
20,00%, 27,50%, 30,00%, 22,50% dari triwulan I sampai dengan triwulan IV secara
berturut-turut, koefisen hasil regresi digunakan untuk membuat simulasi perbandingan
pencipataan lapangan kerja pada kondisi nyata (realisasi tahun anggaran 2014) dan
pada kondisi ideal.

Tabel VI-2 Simulasi Penciptaan Lapangan Kerja dari Pola Procylical vs Countercyclical
Pola Procyclical Pola Countercyclical
Selisih
Periode PTK Tidak PTK PTK Tidak PTK
(d-b)
Akumulatif*(a) Akumulatif*(b) Akumulatif*(c) Akumulatif*(d)
T1 932 932 2.277 2.277 1.345
T2 2.391 3.323 3.131 5.408 2.085
T3 2.838 6.161 3.416 8.824 2.663
T4 3.951 10.112 2.562 11.386 1.274
*Dibulatkan
Sumber: Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau, Kajian Pengaruh Belanja Pemerintah Terhadap Perekonomian
Regional Provinsi Kepulauan Riau

“Percepatan Penyerapan tenaga kerja terserap lebih awal sebagaimana tergambarkan dari
pelaksanaan Penyerapan Tenaga Kerja yang lebih tinggi sebesar 1.345 orang di Triwulan I, 740
anggaran berdampak
positif pada tenaga orang di Triwulan II, dan 578 orang di Triwulan III. Mengingat hasil simulasi tersebut
kerja dan
menciptakan efek
belum mencerminkan efek penciptaan lapangan pekerjaan lanjutan, maka efek
multiplier” percepatan pelaksanaan anggaran pada kenyataannya akan lebih besar. Sehingga,
dapat disimpulkan bahwa optimalisasi penyerapan tenaga kerja yang dihasilkan oleh
penyerapan anggaran ideal tersebut pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dalam suatu daerah. Efek tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar VI-6 :Potensi Penerapan Percepatan Pelaksanaan Anggaran terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Lapangan Lebih
Penerapan Masyarakat
pekerjaan Masyarakat banyak
Percepatan cepat PDRB
tercipta cepat meng- transaksi
Pelaksanaan mendapat meningkat
lebih konsumsi dalam
Anggaran penghasilan
cepat setahun

Sumber: Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau, Kajian Pengaruh Belanja Pemerintah Terhadap Perekonomian
Regional Provinsi Kepulauan Riau

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


80
6.4. OPTIMALISASI MANFAAT DANA DESA
Sejalan dengan peningkatan alokasi dana desa di Indonesia, alokasi dana desa “Dana desa di Kepri
di Kepri meningkat 124,46% dari Rp.79,20 miliar di tahun 2015 menjadi Rp177,77 miliar melonjak 124,46% di
tahun 2016”
di tahun 2016. Adapun realisasi dana desa baik di tahun 2015 maupun tahun 2016
mencapai 100,00% dari alokasi yang dapat diartikan bahwa Pemdes lingkup Kepri telah
menggunakan sebagian besar dananya dan melaporkan penggunaannya.

Tabel VI-3 Penggunaan Dana Desa Tahun 2016 di Kepri


Pembangunan Pemberdayaan Fokus
No Kabupaten Desa
Desa Masyarakat Desa Pembangunan
1 Bintan Malang Rapat 87% 13% Pariwisata
2 Bintan Teluk Bakau 61% 39% Perikanan
3 Karimun Pongkar 94% 6% Pertanian
4 Karimun Pangke 92% 8% Pertanian
Sumber: Kanwil DJPBN Provinsi Kepri, Penelitian dan Kajian Pelaksanaan Dana Desa Provinsi Kepulauan Riau (2017)

Hasil sampling data beberapa desa di Kabupaten Bintan dan Kabupaten “Dana desa TA 2016
Karimun menunjukkan bahwa sebagian besar dana desa digunakan untuk prioritas sudah digunakan
untuk belanja yang
Pembangunan Desa. Dikaitkan dengan pelaksanaan dana desa di tahun sebelumnya, lebih produktif”
perkembangan tersebut menunjukkan adanya indikasi positif bahwa dana desa sudah
digunakan untuk belanja yang lebih produktif.
Gambar VI-7 Perkembangan Kondisi
Namun demikian, perkembangan Kemiskinan Desa di Kepri
indikator kemiskinan di desa dalam tren yang
memburuk. Persentase menduduk miskin
meningkat 61 basis poin dari 9,86% di awal
tahun 2014 menjadi 10,47% di akhir tahun
2016. Di saat yang sama, indeks P1 yang
menunjukkan kedalaman kemiskinan juga
meningkat dari -0,61 menjadi 1,23. Artinya, Sumber: BPS Kepri (diolah)

pendapatan penduduk miskin terus menurun


jauh di bawah garis kemiskinan selama periode tersebut. Dikaitkan dengan alokasi dana “Kemiskinan
desa
memburuk di tahun
2016”
desa yang terus meningkat hingga tahun 2017, kondisi ini menciptakan urgensi untuk
mengoptimalkan dana desa dalam rangka pengentasan kemiskinan di desa.
Beberapa permasalahan yang diduga turut berkontribusi terhadap kurang “Pembangunan
infrastruktur non-
optimalnya pemanfaatan dana desa meliputi kualitas pembangunan desa dan SDM ekonomi dan SDM
pendamping desa. Dari segi kualitas pembangunan, ditemukan bahwa banyak desa tenaga pendamping
diduga menyebabkan
yang membangun infrastruktur non-ekonomi seperi Gedung Serba Guna (GSG), dan kurang optimalnya
parit yang pada dasarnya tidak self-sustaining, sehingga tidak menciptakan produksi manfaat dana desa”
ekonomi setelahnya. Dari segi SDM, perwakilan desa-desa di Kabupaten Bintan pada
FGD Dana Desa di Bintan menyampaikan bahwa jumlah tenaga pendamping yang
dialokasikan masih kurang sehingga pendampingan tidak berjalan optimal. Selain itu,

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


81
rancangan perekrutan tenaga pendamping dilakukan secara terpusat sehingga latar
belakang tenaga yang direkrut bisa jadi kurang sesuai dengan kebutuhan daerah.
Untuk memitigasi permasalahan kualitas pembangunan, Pemkab sebaiknya

“Dana Desa di Kepri


mengarahkan agar Pemdes menggunakan dana desa untuk menghasilkan pendapatan
sebaiknya digunakan berkelanjutan bagi masyarakat desa. Salah satu alternatifnya adalah menggunakan
untuk program one
village one product di dana desa untuk merealisasikan konsep one village one product. Untuk merealisasikan
bidang perikanan, hal tersebut, beberapa program yang dapat dilaksanakan adalah:
pariwisata, industri,
beserta 1. Pembuatan home industry kerajinan tangan, souvenir, atau kesenian lainnya. Saat
pendukungnya”
ini, zona pariwisata eksklusif seperti Lagoy dapat menarik banyak turis asing untuk
berkunjung ke Kepri. Namun demikian, masyarakat Kepri sendiri belum bisa
menyambut baik potensi nilai tambah yang ada sebagaimana tercermin dari
berbagai barang jualan di Lagoy merupakan produk impor. Untuk itu, Pemkab dapat
mempertemukan pihak pengelola kawasan pariwisata dan masyarakat untuk
menciptakan permintaan dan penawaran barang-barang kesenian tersebut.
2. Pembuatan tempat pelelangan ikan dan cold storage. Sebagaimana dibahas pada
bab V, tidak adanya template pelelangan ikan dan cold storage telah mendorong
langgengnya monopolisasi pasar perikanan di Kepri. Untuk itu, pada desa yang
fokus di bidang perikanan, dana desa dapat dimanfaatkan untuk membantu
pembangunan tempat pelelangan ikan dan cold storage.
3. Pembuatan komponen atau bahan baku untuk Industri di Batam. Sebagai provinsi
yang motor utama perekonomiannya sektor industri, sektor tersebut menawarkan
banyak nilai tambah yang bisa digali apabila produksi dapat dilakukan dari hulu ke
hilir. Untuk itu, pemerintah dapat memetakan komponen atau bahan baku industri
yang dapat disediakan oleh desa dan mendorong kerjasama antara perusahaan
industri dengan desa-desa terkait.

“Pemetaan prioritas Untuk mitigasi permasalahan SDM, Pemerintah Kabupaten dapat memetakan
pembangunan desa desa berdasarkan fokus daerahnya masing-masing (contoh: perikanan, pariwisata,
diperlukan untuk
perekrutan tenaga pertanian, industri). Hasil pemetaan tersebut dapat diusulkan pada Kemendesa PDTT
pendamping yang
lebih tepat”
sehingga untuk perekrutan tenaga pendamping selanjutnya, persyaratan latar belakang
calon pendamping (contoh: sarjana perikanan, sarjana ekonomi, sarjalan pertanian)
dapat benar-benar disesuaikan dengan kebutuhan desa.

6.5. URGENSI PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI PROVINSI


KEPULAUAN RIAU
Dilihat dari indikator perekonomian, tingginya kontribusi wilayah Free Trade “Pembangunan FTZ
BBK adalah kunci
Zone Batam, Bintan, Karimun (FTZ BBK) di Kepri tercermin dalam sektor Industri keberhasilan ekonomi
Kepri dalam
beberapa dekade”
Pengolahan yang berkontribusi 37.33% terhadap PDRB ADHB menurut lapangan

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


82
usaha dan kontribusi Penanaman Modal Tetap Bruto yang mencapai 42,36% terhadap
PDRB ADHB menurut pengeluaran tahun 2016. Dengan porsi yang sangat signifikan
tersebut, industri dan investasi ibarat darah yang menghidupkan perekonomian di
Provinsi Kepulauan Riau. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan FTZ BBK
sebagai wilayah industri dan investasi baru dapat menjadi penentu keberhasilan kinerja
perekonomian Provinsi Kepulauan Riau dalam beberapa dekade yang akan datang.
Sebagai negara berkembang yang memiliki banyak potensi namun kekurangan “PMA dibutuhkan
modal untuk mengembangkan perekonomiannya, Indonesia membutuhkan suntikan untuk pengembangan
ekonomi, namun
modal asing atau yang biasa dikenal dengan Foreign Direct Investment persaingan untuk
mendapatkannya
(FDI)/Penanaman Modal Asing (PMA). Kondisi yang serupa juga dapat
semakin ketat”
menggambarkan negara-negara berkembang lain, khususnya sebagian besar negara
di wilayah Asia Tenggara sehingga terlepas dari kerjasama ekonomi, sosial, dan politik
yang dinaungi organisasi Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), terdapat
persaingan yang cukup ketat di antara negara-negara ASEAN. Dampak dari persaingan
tersebut sangat dirasakan oleh Kepri, ketika iklim investasi kurang kondusif, investor-
investor berlarian memindahkan basis produksinya ke negara-negara di wilayah Asia
Tenggara seperti Malaysia, Vietnam, dan Kamboja (Batam Pos, 2017; Batam Today,
2013; Liputan 6, 2016; Haluan Kepri, 2016; Kompas, 2016).

Tabel VI-4 Nilai Foreign Direct Investment (FDI) ke Negara-Negara ASEAN (Jutaan USD)
Negara 2011 2012 2013 2014 2015
Indonesia 19.241,60 19.137,90 18.443,80 21.810,40 16.916,80
Singapura 46.774,30 60.980,30 60.379,60 69.206,20 61.284,80
Thailand 3.861,10 10.699,20 15.936,00 3.720,20 8.027,50
Malaysia 12.000,90 9.400,00 12.297,40 10.875,30 11.289,60
Vietnam 7.519,00 8.368,00 8.900,00 9.200,10 11.800,00
Filipina 1.816,00 2.797,00 3.859,80 5.814,60 5.724,20
Myanmar 2.058,20 1.354,20 2.620,90 946,20 2.824,50
Kamboja 891,70 1.557,10 1.274,90 1.726,50 1.701,00
Brunei Darussalam 1.208,30 864,80 725,50 568,20 171,30
Laos 466,80 294,40 426,70 913,20 1.079,20
Sumber: ASEAN Secretariat

Terlepas dari ketatnya persaingan yang terjadi, pengintegrasian ASEAN “IntegrasiASEAN


menjadi daya Tarik di
mata investor”
sebagai satu pasar dan peningkatan upah buruh di negara-negara maju telah
meningkatkan daya tarik negara-negara ASEAN sebagai tempat penanaman modal.
Indikator dari fenomena tersebut dapat dilihat dari peningkatan Penanaman Modal
Asing ke wilayah ASEAN yang hingga 30,29% pada periode tahun 2011-2013,
walaupun mengalami penurunan di tahun-tahun berikutnya karena ketidakstabilan
perekonomian global. Peningkatan PMA tersebut dapat menjadi dasar optimisme

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


83
bahwa perekonomian negara-negara ASEAN akan terus bertumbuh pesat dalam
beberapa dekade ke depan.
“Proprosi PMA ke
Gambar VI-8 Perkembangan Proporsi FDI/PMA per
Namun demikian, Negara yang masuk ke wilayah ASEAN
Indonesia terus secara proporsi PMA yang
tergerus negara
ASEAN lainnya” masuk ke negara ASEAN, porsi
Indonesia telah tergerus 608
basis poin dari 20,08% di tahun
2011 menjadi 14,00% di tahun
2015. Di saat yang sama,
sebagian besar negara-negara
ASEAN lainnya mengalami
kenaikan porsi FDI.

“Larinya Investor ke Dikaitkan dengan


negara ASEAN lainnya perekonomian
juga terjadi di Kepri”
Kepri yang
mengandalkan investasi dalam Sumber: ASEAN Secretariat (diolah)

pertumbuhannya, tantangan
tersebut, sebagaimana telah dibahas pula pada faktor ancaman Provinsi Kepulauan
Riau di Sub Bab 5.2 merupakan fenomena yang harus mendapatkan perhatian khusus.
Salah satu imbas dari persaingan tersebut dapat dilihat di Kawasan Industri Lobam di
Bintan. Pada puncaknya, Kawasan Industri Lobam memiliki lebih dari 40 perusahaan
yang memperkerjakan lebih dari 16.000 pekerja. Jumlah tersebut menurun menjadi
kurang dari 10 perusahaan yang memperkerjakan sekitar 7.000 buruh di tahun 2012
karena banyaknya investor yang hengkang (Batam Today, 2013). Kejadian serupa juga
terjadi di Batam, dan didukung dengan data penurunan penyerapan tenaga kerja sektor
industri di tahun 2016 hingga -30,51% (yoy).
“Pemerintah perlu Melihat kondisi genting tersebut, sudah sewajarnya pemerintah segera
segera mengambil
tindakan sebelum mengambil tindakan untuk membalikkan tren negatif yang terjadi. Keterlambatan dalam
potensi Kepri pengambilan tindakan akan mengakibatkan potensi besar Kepri dalam jalur
dicaplok negara
tetangga” perdagangan internasional dan pusat industri direbut oleh negara-negara kompetitor.
Ditambah dengan implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau Asean
Economic Community (AEC) akan segera diberlakukan, kecepatan dalam bertindak
menjadi sangat krusial bagi Kepri dalam menentukan apakah wilayahnya akan menjadi
penyumbang ekspor yang sangat signifikan bagi Indonesia atau malah menjadi pintu
masuk banjirnya barang-barang impor dari negara-negara di wilayah Asia Tenggara.
“Upah buruh, Pada umumnya, magnet investasi suatu daerah ditentukan oleh ketersediaan
perizinan, dan
infrastruktur, buruh yang kompetitif, perizinan yang mudah dan insentif fiskal. Pada
dualisme otoritas

investasi Kepri”
menurunkan iklim kasus Provinsi Kepulauan Riau, penyebab penurunan performa dalam menarik investor

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


84
adalah tingkat upah yang sudah relatif tinggi dan pelayanan perizinan belum optimal
sebagai imbas dari adanya dualisme otoritas antara Pemkot Batam dan BP Batam.
Untuk mengembalikan magnet investasi Provinsi Kepulauan Riau, pemerintah harus
membenahi kedua masalah tersebut dan/atau memperbaiki elemen-elemen lainnya
yang juga dapat mempengaruhi daya saing.

Tabel VI-5 Perkembangan Alokasi Belanja Infrastruktur Pemerintah Pusat (dalam miliaran rupiah)
Pagu Perubahan
No. Jenis Infrastruktur
2014 2015 2016 2014-2016 (%)
1 Gedung dan Bangunan 204,71 223,23 195,25 -4,62%
2 Jalan dan Jembatan 382,72 386,44 423,31 10,61%
3 Bandar Udara 79,75 318,06 238,11 198,59%
4 Pelabuhan 281,50 435,69 116,12 -58,75%
5 Utilities 49,23 51,44 329,39 569,04%
TOTAL 997,91 1414,86 1302,18 30,49%
Sumber: OM SPAN DJPBN Kemenkeu (diolah)

Dari sisi infrastruktur, Pemerintah Pusat berada pada jalur yang tepat untuk “Peningkatan belanja
meningkatkan daya saing Provinsi Kepulauan Riau dengan peningkatan alokasi belanja infrastruktur di Kepri
infrastruktur dengan kenaikan 30,49% pada periode tahun 2014-2016. Adapun pada positif”
memberikan sinyal

tahun 2016, fokus besar belanja infrastruktur adalah untuk Utilities (Sumber Daya Air
dan Listrik) sebagaimana tercermin dari kenaikan alokasinya yang paling signifikan.

Gambar VI-9 Sebaran Alokasi Belanja Infrastruktur di Provinsi Kepulauan Riau Taun 2016

Kab. Natuna
Rp.145,37 miliar (12,80%)

Kab. Kep. Anambas


Rp.184,06 miliar (16,20%)

Kota Batam
Rp.521,84 miliar (45,94%)

Kab. Karimun
Rp.132,75 miliar (11,69%) Kab. Bintan
Rp.169,65 miliar (2,02%)

Kota Tanjungpinang
Kab. Lingga Rp. 95,78 miliar (8,43%)
Rp.52,72 miliar (4,64%)

Sumber: OM SPAN DJPBN Kemenkeu (diolah)

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


85
“Pembangunan Berdasarkan lokasinya, pembangunan infrastruktur di tahun 2016 masih
infrastruktur masih terkonsentrasi di Batam dengan porsi yang mencapai 45,94%. Dikaitkan dengan indeks
terkonsentrasi di
Batam sedangkan fisik infrastruktur di sub bab 5.2., hal tersebut menunjukkan bahwa pembangunan
wilayah FTZ lainnya
infrastruktur masih terkonsentrasi di FTZ Batam yang kualitas infrastrukturnya sudah
kurang mendapatkan
perhatian” dapat bersaing dengan negara-negara ASEAN lainnya. Sementara itu, wilayah FTZ
Tanjungpinang, Bintan, dan Karimun yang masih harus mengejar ketertinggalan
kualitas infrastruktur belum mendapatkan perhatian yang maksimal dari pihak
pemerintah. Dalam konteks kesejahteraan regional Provinsi Kepulauan Riau, hal
tersebut dapat menghambat terbentuknya wilayah investasi kompetitif baru yang akan
menarik lebih banyak FDI dan meningkatkan pemerataan pembangunan.
“Keterbatasan Dikaitkan dengan peluang dalam bidang pelabuhan transshipment dan jasa
kapasitas pelabuhan
Kepri menjadi perkapalan yang masih jauh dari optimal, infrastruktur pelabuhan di Kepri telah menjadi
permasalahan utama
hambatan utamanya. Gubernur Bank Indonesia, Agus D.W. Martowardojo dalam Rapat
dalam pemanfaatan
potensi Koordinasi Bank Indonesia, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah pada tanggal 12
transshipment dan
jasa perkapalan”
Agustus 2016 di Batam, mengemukakan bahwa kedalaman dermaga Indonesia,
khususnya Batam, masih kalah jauh dari Port of Singapore, Port of Klang, dan Port of
Tanjung Pelepas. Kedalaman dermaga tersebut sebagaimana digambarkan di bawah
ini menyebabkan keterbatasan jenis kapal yang dapat bersandar (maksimal 1.500 TEU
di Batam). Akibatnya, skala ekonomi logistik sulit didapatkan dan pelabuhan Batam
menjadi kurang kompetitif.
Gambar VI-10 Sebaran Alokasi Belanja Infrastruktur di Provinsi Kepulauan Riau Taun 2016

Sumber: Bank Indonesia

“Infrastruktur Bank Indonesia dalam Growth Diagnostic (2016) mengidentifikasi hambatan-


Pelabuhan
Menciptakan Efek hambatan pertumbuhan ekonomi pada masing-masing Provinsi di Indonesia dan
Multiplier Terbesar” menemukan rekomendasi pembangunan yang dapat memberikan efek multiplier paling

besar terhadap perekonomian Provinsi tersebut. Menguatkan temuan sebelumnya,

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


86
pembangunan infrastruktur, khususnya pelabuhan, dapat menciptakan efek multiplier
ekonomi terbesar di Kepri.
Adapun dalam prakteknya, terdapat beberapa tantangan dalam pelaksanaan “Cuaca dan
kurangnya produksi
pembangunan infrastruktur di Kepri. Tantangan tersebut meliputi gangguan supply alat
bahan material
dan material pendukung konstruksi akibat kurangnya produksi lokal dan dampak menjadi penghambat
pembangunan
musiman cuaca terhadap transportasi laut. Untuk menanggulangi permasalahan
Kepri”
infrastruktur di
tersebut, pemerintah sebaiknya membangun pusat-pusat logistik atau mendorong pihak
swasta untuk membangunnya di beberapa kabupaten/kota kepulauan yang menjadi
prioritas pembangunan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Memanfaatkan fasilitas pembuatan Pusat Logistik Berikat (PLB) yang telah
diluncurkan pemerintah untuk meminimalisir biaya operasional pembangunan;
2. Menjamin keberlangsungan demand untuk proyek konstruksi agar pembangunan
pusat logistic menjadi cukup fesibel secara finansial. Penjaminan tersebut dapat
berupa komitmen pembangunan infrastruktur di Kepri. Dari sisi Pemda, komitmen
tersebut dapat dituangkan dalam Perda alokasi minimal anggaran infrastruktur.
Tantangan lainnya dalam pembangunan infrastruktur adalah keterlambatan “Kegagalan feasibility
pembangunan karena tidak memenuhi feasibility study dan permasalahan lahan. Untuk study dan
permasalahan lahan
masalah feasibility study, pemerintah dapat mengalokasikan anggaran perencanaan menjadi tantangan
pembangunan
pembangunan untuk banyak proyek sekaligus dalam 1 tahun anggaran. Dengan begitu, infrastruktur”
pada tahun anggaran berikutnya akan ada banyak alternatif proyek untuk dijalankan
apabila terdapat beberapa proyek yang tidak fesibel. Terkait masalah permasalahan
lahan, Satker penanggungjawab pembangunan infrastruktur, Pemerintah Daerah, dan
BPN perlu menyamakan visi mengenai pentingnya infrastruktur dan berkerjasama untuk
menyelesaikan permasalahan lahan. Di Kepri sendiri terdapat beberapa lokasi yang
masih jarang memiliki sertifikat sehingga infrastruktur sulit dianggarkan.

6.6. KETERGANTUNGAN FISKAL PEMDA TERHADAP DANA TRANSFER


DAN VOLATILITAS HARGA MIGAS
Pergerakan harga komoditas, khususnya minyak dan gas (migas), dalam “Harga migas yang
fluktuatif anjlok di
beberapa tahun ke belakang menunjukkan tingkat volatilitas yang sangat tinggi. Harga tahun 2015-2016”
minyak benchmark internasional, Brent Crude telah anjlok -79,70% dari puncaknya
US$128,14/Barrel di bulan Maret tahun 2012 menjadi US$26,01/Barrel di bulan Januari
tahun 2016. Harga gas alam benchmark internasional, Henry Hub anjlok -81,72% dari
puncaknya US$8,15/MBTU di bulan Februari tahun 2014 menjadi US$1,49/MBTU di
bulan Maret tahun 2016.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


87
Gambar VI-11 Perkembangan Harga Minyak (Brent) dan Gas (Henry Hub) Dunia

Sumber: U.S. Energy Information Administration & Thompson Reuters

“Penemuan Shale Oil Awal dari anjloknya harga migas mulai tahun 2015 tersebut disebabkan oleh
dan kebijakan OPEC
untuk menjaga penemuan teknologi pemanfaatan Shale Oil yang selama ini belum bisa dimanfaatkan.
market share Untuk menjaga pangsa pasarnya dari masuknya produk Shale Oil, Organization of the
menyebabkan harga
migas anjlok” Petroleum Exporting Countries (OPEC) memutuskan untuk meningkatkan produksinya
di tahun 2015. Hasilnya, minyak dari OPEC yang biaya produksinya lebih murah dari
Shale Oil menciptakan supply glut di pasar dan menyingkirkan produsen Shale Oil dari
pasar. Namun demikian, turunnya harga minyak tersebut juga telah memberatkan
kondisi fiskal beberapa negara OPEC yang mengandalkan minyak untuk penerimaan
negaranya sehingga pada pertengahan tahun 2016 OPEC memutuskan untuk sepakat
melaksanakan pemotongan produksi.
“Volatilitas harga Dikaitkan dengan
migas menciptakan Gambar VI-12 Pergeseran Struktur Dana Transfer di
resiko fiskal bagi
kesehatan fiskal Pemda,
Kepulauan Riau
Pemda dengan porsi Volatilitas tersebut menciptakan
penerimaan SDA yang
tinggi” resiko fiskal yang tinggi bagi
Pemda yang memiliki porsi
penerimaan dari sumber daya
alam yang besar. Beberapa
Pemda di Kepri sendiri termasuk
ke dalam Pemda yang
mengalami resiko fiskal karena
selama ini memiliki porsi
pendapatan DBH SDA Migas
Sumber: DJPK Kemenkeu (diolah)
yang besar. Dampak dari

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


88
volatilitas tersebut terlihat pada struktur dana transfer Pemda lingkup Kepri dimana DBH
yang pada tahun 2010 menyumbang 64,59% terhadap Dana Transfer tahun 2010,
mengalami penurunan kontribusi hingga 3.709 basis poin menjadi hanya 27,50% di
tahun 2016.
Adanya perkembangan teknologi, pergeseran penggunaan bahan bakar listrik “Anjloknya
harga
migas dapat terulang
ke energi renewable, dan kebijakan negara produsen mayoritas seperti OPEC
memberikan gambaran yang tidak pasti terhadap prospek migas di masa depan. depan”
kembali di masa

Terlepas dari perbaikan harga migas yang berjalan sejak paruh kedua tahun 2016, tidak
munutup kemungkinan bahwa faktor-faktor tersebut akan kembali menggoncang harga
migas ke depannya. Untuk itu, Pemda lingkup Kepri yang mengandalkan penerimaan
transfer perlu memperbaiki struktur fiskalnya untuk memitigasi terjadinya volatilitas
kembali di masa depan.
Gambar VI-13 Rasio Dana Transfer terhadap Penerimaan
Pemda yang memiliki Pemda TA 2016
ketergantungan tinggi
terhadap transfer dapat
dilihat dari rasio penerimaan
dana transfer terhadap total
penerimaan Pemda. Di tahun
anggaran 2016, terdapat 4
Pemda di Kepri yang lebih
dari 80% penerimaannya
berasal dari Dana Transfer
yakni, Pemkot Sumber: DJPK Kemenkeu (diolah)

Tanjungpinang, Pemkab
Natuna, Pemkab Lingga dan Pemkab Kepulauan Anambas. Dari 4 Pemda tersebut, “Hampir seluruh
penerimaan Pemkab
pendapatan Pemkab Natuna, Pemkab Lingga dan Pemkab Kepulauan Anambas Natuna, Anambas,
bahkan hampir seluruhnya berasal dari dana transfer dengan porsi masing-masing Lingga berasal dari
Dana Transfer”
96,58%, 97,56%, dan 95,29%. Tingginya porsi dana transfer pada Pemkab Natuna dan
Pemkab Kepulauan Anambas disebabkan oleh posisinya sebagai penghasil migas di
Kepri, sedangkan tingginya porsi dana transfer di Pemkab Lingga disebabkan oleh
kapasitas fiskalnya yang masih rendah.
Kondisi fiskal yang lebih resilien akan menjamin pembangunan di jangka “Pemda dengan
ketergantungan
panjang. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap dana transfer secara umumnya, tinggi perlu
dan terhadap migas pada khususnya, Pemda-Pemda dengan tingkat ketergantungan mengoptimalisasikan

yang masih tinggi harus mengoptimalisasikan potensi penerimaan dari sektor lainnya. sektor lainnya”
penerimaan dari

Beberapa alternatif untuk optimalisasi potensi penerimaan tersebut adalah:

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


89
“Natuna dan 1. Optimalisasi potensi sektor pariwisata dan perikanan untuk Pemkab Natuna dan
Anambas telah Pemkab Anambas. Dari segi pariwisata, Menteri Pariwisata, Arief Yahya, dalam
dicanangkan sebagai
destinasi unggulan Rapat Koordinasi Bank Indonesia, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di

lokasi SKPT”
wisata bahari dan
Batam pada tanggal 12 Agustus 2016, memaparkan bahwa Natuna dan Anambas
telah dicanangkan sebagai salah satu destinasi unggulan wisata bahari. Dari segi
perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mencanangkan Natuna dan
Anambas sebagai Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) yang akan
mengekspor hasilnya ke negara-negara tetangga.
Gambar VI-14 15 Lokasi Sentra KP Terpadu di Pulau Kecil dan Kawasan Perbatasan

Sumber: Musrenbangda Kepri 2016

“Pemda harus Untuk mempercepat realisasinya, Pemkab Natuna dan Pemkab Anambas harus
proaktif untuk
mempercepat bersikap proaktif dengan mempersiapkan legalitas lahan, infrastruktur, sarana dan
realisasi wacana dari
Kemenpar dan KKP”
prasarana lainnya, serta ide pengembangan kreatif yang dapat disampaikan ke
Kementerian Pariwisata dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
“Kepri 2. Kepri saat ini banyak mengimpor kebutuhan bahan makanannya karena rendahnya
ketergantungan
bahan makanan”
produksi dari dalam wilayah Kepri sehingga indeks harga makanan di Kepri relatif
lebih mahal dibandingkan rata-rata wilayah Indonesia lainnya. Untuk itu, Pemkab

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


90
Lingga dapat memanfaatkan tanahnya yang lebih subur dibandingkan wilayah Kepri “Lingga dapat
memanfaatkan
lainnya untuk menjadi sentra pertanian. Adanya gap harga makanan dari Kepri ke potensi pertanian”
wilayah lain saat ini membuka potensi keuntungan lebih bagi petani di Lingga yang
pada akhirnya akan menjadi nilai ekonomi bagi Kabupaten Lingga dan menjadi
potensi penerimaan bagi pemerintah kabupaten setempat.
Alternatif mitigasi lainnya bagi Pemda adalah dari sisi belanja fiskal. Pemda “Dari sisi belanja,
prioritas pada
perlu lebih selektif dalam penganggaran belanja APBD, dimana belanja-belanja infrastruktur akan
produktif seperti infrastruktur harus diprioritaskan. Belanja-belanja produktif akan menghasilkan potensi
penerimaan
berdampak signifikan terhadap akselerasi pertumbuhan ekonomi jangka panjang tambahan di masa
sehingga pada akhirnya Pemda akan mendapatkan alternatif sumber penerimaan depan”
APBD dari ekonominya yang berkembang.

6.7. PARADOKS PERTUMBUHAN INDUSTRI DI KEPRI DAN


PENINGKATAN KAPASITAS FISKAL BP BATAM
Di tahun 2016 rencana peningkatan Tarif Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) “Tarif Sewa Tanah BP
Batam direncanakan
Batam, yang merupakan salah satu penerimaan utama BP Batam, mencuat. Pasalnya, untuk ditingkatkan
UWTO yang berlaku sudah sekitar 20 taun tidak pernah dinaikkan sehingga terlampau hingga maksimal
150%”
jauh selisihnya dengan harga pasar untuk penyewaan lahan (Tribunnews, 2016). Untuk
itu, rencana kenaikan mencapai 300-400%, namun karena menuai protes, pemerintah
menyepakati bahwa kenaikan maksimal sebesar 150% (Berita Satu, 2016).
Secara teori, peningkatan UWTO tersebut akan meningkatkan kapasitas fiskal “Kenaikan UWTO
dapat berdampak
BP Batam. Peningkatan kapasitas fiskal pada akhirnya akan menambah dana untuk positif, namun tidak
membangun Batam dan menjadikan iklim investasinya lebih kondusif. Namun demikian, demikian pada iklim
investasi yang
kenaikan tersebut terjadi di tengah-tengah tingginya tingkat upah, kompetisi investasi sedang buruk”
dari negara tetangga dan ketidakstabilan perekonomian yang berdampak negatif
terhadap kinerja industri yang merupakan penyumbang ekonomi terbesar di Kepri.
Lemahnya kinerja industri di Kepri sendiri dapat dilihat dari tren pertumbuhan “Pertumbuhan
ekonomi dan
ekonomi sektor industri dan penyerapan tenaga kerja sektor industri. Pertumbuhan penyerapan tenaga
ekonomi sektor industri YoY telah menurun 348 basis poin dari 5,70% di Triwulan III kerja sektor industri
terus menurun”
2014 menjadi 2,22% di triwulan IV 2016. Pada periode yang sama, penyerapan tenaga
kerja sektor industri menurun -28,44% dari 201.241 pekerja di bulan Agustus 2014
menjadi 144.005 di bulan Agustus 2016. Penurunan tenaga kerja tersebut juga dapat
diartikan bahwa dalam kurun waktu 2 tahun terdapat 57.236 orang pekerja sektor
industri yang kehilangan pekerjaannya.
Disamping kondisi yang memprihatinkan tersebut, penggunaan penerimaan “Struktur Belanja BP
Batam kurang
UWTO tersebut untuk belanja BP Batam sendiri masih kurang optimal. Dilihat dari produktif”

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


91
struktur belanja BP Batam,
Gambar VI-15 Kinerja Pertumbuhan Ekonomi dan pagu tahun 2016 mencapai
Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri
Rp.1,78 triliun. Namun
demikian, dari jumlah
tersebut, baru Rp.623,62
miliar yang dialokasikan
untuk belanja modal atau
35,01% dari total pagu,
sementara sisanya
dialokasikan untuk belanja
operasional.
Dilihat dari realisasi,
penyerapan belanja
Sumber: BPS Kepri (Diolah) operasional/barang cukup
baik, yakni Rp.1,05 triliun
atau 90,41% dari pagu.
Akan tetapi, penyerapan belanja modal hanya mencapai 32,03% dari pagu atau sebesar
Rp.370,74 miliar. Dari nilai realisasi tersebut, terlihat bahwa porsi realisasi belanja
modal hanya mencapai 26,16% dari total realisasi anggaran BP Batam sebesar Rp.1,42
triliun.
“Dominasi belanja Dikaitkan dengan usaha peningkatan kapasitas fiskal BP Batam melalui
konsumtif BP Batam
beresiko peningkatan tarif UWTO. Struktur belanja yang masih didominasi oleh belanja konsumtif
menciptakan
inefisiensi ekonomi”
tersebut menimbulkan kekhawatiran baru. Apabila dari peningkatan nilai uang yang
ditarik dari masyarakat tersebut hanya sedikit yang digunakan untuk belanja produktif
(infrastruktur/modal), maka ekonomi batam akan menjadi inefisien dalam arti biaya
operasional bagi pelaku usaha meningkat sementara iklim investasi tidak berubah.
“BP Batam perlu Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut di atas, terdapat dua hal yang perlu
memperbaiki RIA
dalam pengambilan
diperbaiki oleh BP Batam, khususnya untuk menjamin kelangsungan industri dan
kebijakan dan investasi di Kota Batam. Perbaikan pertama adalah pada pengambilan kebijakan tarif
memperbaiki
struktur belanja” UWTO seharusnya menggunakan Regulatory Impact Assessment (RIA) yang lebih
komprehensif yang dapat mengakomodir kondisi perekonomian terkini. Dalam kondisi
ekonomi Kepri yang kurang baik seperti saat ini, sebaiknya BP Batam menunda
kenaikan UWTO atau menaikkan secara progresif agar tidak terjadi shock. Perbaikan
kedua adalah pada struktur belanja BP Batam. Sebagai pengelola wilayah Batam yang
bertujuan untuk menarik sebanyak mungkin investasi, kondisi infrastruktur yang berada
di atas rata-rata merupakan suatu keniscayaan. Oleh karena itu, struktur belanja BP
Batam harus diperbaiki dan diperbanyak untuk belanja modal/infrastruktur.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


92
BAB VII Penutup
Kepri memiliki banyak sekali potensi yang belum tergali
dan dukungan fiskal pemerintah sendiri masih belum
optimal sebagaimana tercermin dari beberapa indikator.
Sehingga, Kepri memerlukan perbaikan struktur fiskal dan
strategi pembangunan untuk mengoptimalkan potensi-
potensi yang ada dalam rangka menciptakan
pertumbuhan yang sustainable dan inklusif di masa depan.

7.1 KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik adalah sebagai berikut:
1. Dari empat target ekonomi di tahun 2016, hanya inflasi yang berhasil mencapai
target 4±1% dengan realisasi sebesar 3,53%. Sementara untuk target pertumbuhan
ekonomi sebesar 5,80-6,30% pada RKP dan 5,70% pada RPJMD, realisasi hanya
mencapai 5,03%. Target TPT sebesar 4,80% pada RKP dan 6,20% pada RPJMD,
namun realisasinya mencapai 7,69%. Realisasi tingkat kemiskinan sebesar 5,84%
juga meleset dari target RKP 4,60% dan target RPJMD 5,53%. Menurunnya iklim
investasi menjadi penyebab utama kurang baiknya realisasi indikator ekonomi
sebagaimana tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang masih melambat 98 basis
poin dari 6,01% di tahun 2015. Kondisi tersebut menjadi early warning bagi
pemerintah di Kepri karena di tingkat nasional sendiri pertumbuhan sudah
memasuki fase recovery dari 4,79% di tahun 2015 menjadi 5,02% di tahun 2016.
2. Realisasi penerimaan pemerintah pusat dan daerah di Kepri tahun 2016 mencapai
Rp.18,70 triliun, meningkat 24,89% dibandingkan tahun 2015. Dari sisi pemerintah
pusat, penerimaan mencapai Rp.7,79 triliun, meningkat 1,61% dari tahun 2015,
namun meleset 2.106 basis poin dari target. Dorongan penerimaan dari tax
amnesty (Rp.1,03) triliun belum mampu mendorong agregat penerimaan basis
pajak tergerus perubahan struktur ekonomi. Di sisi Pemda, penerimaan mencapai
Rp.10,91 triliun, melonjak 49,29% dibanding tahun sebelumnya, akibat penguatan
desentralisasi fiskal yang meningkatkan penerimaan transfer hingga Rp.2,51 triliun.
3. Analisis sensitivitas penerimaan pemerintah pusat dan daerah menunjukkan bahwa
penerimaan perpajakan cenderung terpengaruh perlambatan pertumbuhan
ekonomi sedangkan PNBP dan penerimaan Pemda menunjukkan resiliensi
terhadap kondisi tersebut.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


93
4. Realisasi belanja pemerintah pusat dan daerah tahun 2016 mencapai Rp.15,85
triliun, meningkat 5,31% dibandingkan tahun 2015, dan mencapai 88,98% dari
target. Dari sisi pemerintah pusat, realisasi belanja menurun -4,03% ke angka
Rp.5,39 triliun akibat penghematan anggaran di semester II sebagai antisipasi
melesetnya target penerimaan. Di sisi Pemda, belanja meningkat 10,86% ke angka
Rp.10,47 triliun didorong oleh meningkatnya kapasitas fiskal Pemda.
5. Pola alokasi belanja pemerintah pusat di Kepri menunjukkan rasio belanja
pembangunan manusia dan rasio belanja pendukung sektor ekonomi unggulan
relatif masih rendah dibandingkan rata-rata nasional.
6. Analisis pengaruh belanja pemerintah pusat terhadap perekonomian menunjukkan
bahwa kebijakan fiskal ekspansif dapat mendorong pertumbuhan, khususnya
apabila dialokasikan ke belanja produktif. Namun demikian, pengaruh terhadap
penyerapan tenaga kerja menunjukkan hasil yang tidak positif yang diduga
merupakan akibat dari ketergantungan Provinsi Kepulauan Riau akan pasokan
bahan makanan dan bahan bangunan dari luar.
7. Analisis kesehatan keuangan Pemda lingkup Kepri menunjukkan adanya perbaikan
fiskal di tahun 2016. Pemda dengan kesehatan keuangan terbaik di Kepri adalah
Pemkot Batam, Pemkab Bintan, dan Pemkab Karimun.
8. Perkembangan negatif BLU/BLUD terlihat dari penurunan PNBP BP Batam di
tengah-tengah kisruh wacana kenaikan UWTO dan BLUD kesehatan (RSUD)
lingkup Kepri yang mencetak laporan laba/rugi negatif.
9. Perkembangan manajemen investasi di bidang penerusan pinjaman menunjukkan
dampak yang positif dari kebijakan penghapusan utang terhadap kondisi keuangan
PDAM Tirta Kepri. DER dan DTI PDAM diperkirakan menurun 38.474 dan 8.000
basis poin. Di bidang kredit program, penyaluran KUR untuk sektor produktif seperti
perikanan, industri, pariwisata, dan pertanian, serta KUR TKI masih belum optimal.
10. Terdapat 2 sektor dan 4 subsektor unggulan yang potensial untuk dikembangkan
di Kepri. Selain itu, terdapat anomali pada subsektor perikanan yang sebetulnya
juga potensial. Dua sektor unggulan yang layak diprioritaskan meliputi:
a. Sektor Listrik & Gas, khususnya dengan pemanfaatan tenaga surya dan gas.
Tenaga surya memiliki potensi optimal di daerah dekat garis khatulistiwa dan
dapat dimanfaatkan di wilayah kepulauan dengan sistem off-grid, sedangkan
untuk gas, Kepri merupakan wilayah dengan cadangan terbesar.
b. Sektor Konstruksi, khususnya pada jenis Bangunan Sipil (Infrastruktur) karena
akan mendukung iklim investasi di era persaingan ASEAN.
Sedangkan empat subsektor unggulan dan satu subsektor anomali yang layak
diprioritaskan meliputi:

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


94
a. Subsektor industri logam untuk menjawab amanah UU 4/2009 dan PP 45/2015
dengan cara sentralisasi pemrosesan mineral mentah.
b. Subsektor ICT karena prospek jangka panjang yang baik, karakteristik resilien,
dan ketergantungan Indonesia akan impor produk ICT yang tinggi.
c. Subsektor angkutan laut yang nantinya akan mendukung pembangunan
provinsi kepulauan dengan menekan biaya logistik, meningkatkan
interkonektivitas wilayah dan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
d. Subsektor penyediaan akomodasi karena potensi keindahan alam Provinsi
Kepulauan Riau dan tingkat kunjungan wisatawan nomor 3 di Indonesia.
e. Subsektor perikanan karena potensi perikanan terbesar di Indonesia berada di
wilayah Kepri dan masih kurang dioptimalkan. Anomali pada sektor ini diduga
terjadi karena permasalahan skala ekonomi, monopoli, ketiadaan TPI dan cold
storage, program pembiayaan, serta hibah kapal yang kurang tepat.
11. Defisit cash flow mencapai 5,65 triliun atau 42,07% dari total pengeluaran APBN di
Kepri akibat realisasi perpajakan meleset 2.606 basis poin dari target dan
peningkatan realisasi belanja negara hingga Rp.1,90 triliun. Namun demikian, nilai
defisit tersebut belum memperhitungkan PNBP SDA dari Kepri. Hasil estimasi kasar
PNBP SDA dari kepri menunjukkan bahwa defisit hanya sebesar Rp.694,82 miliar.
12. Perbaikan kondisi fiskal tahun 2016 tidak disertai dengan linearitas perkembangan
indikator kesejahteraan. Hal ini mengindikasikan kualitas belanja yang kurang baik.
13. Hasil simulasi penciptaan lapangan kerja dari percepatan pelaksanaan anggaran
menunjukkan bahwa percepatan pelaksanaan anggaran berpotensi menciptakan
efek multiplier bagi pertumbuhan ekonomi.
14. Perkembangan realisasi dana desa dan tingkat kemiskinan di desa menunjukkan
perlunya optimalisasi dana desa untuk pengentasan kemiskinan
15. Terdapat urgensi percepatan pembangunan infrastruktur untuk mempertahankan
iklim investasi di Kepri yang membutuhkan investasi besar dalam mengembangkan
industrinya. Urgensi tersebut didorong oleh persaingan negara-negara ASEAN
dalam menarik PMA yang semakin ketat sebagaimana tercermin juga dalam
proporsi PMA Indonesia yang terus tergerus selama beberapa tahun. Selain itu,
kapasitas pelabuhan di Kepri juga masih kalah jauh dibandingkan pelabuhan
tetangga (Port of Singapore, Port of Klang, dan Port of Tanjung Pelepas). Adapun
dalam prakteknya, pembangunan infrastruktur di Kepri masih menghadapi kendala-
kendala seperti permasalahan kurangnya bahan bangunan, cuaca ekstrim,
kegagalan feasibility study, serta sengketa lahan.
16. Struktur penerimaan Pemda lingkup Kepri menunjukkan adanya risiko yang tinggi
terhadap volatilitas harga migas dan ketergantungan terhadap dana transfer. Risiko

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


95
pada volatilitas harga migas tercermin dari porsi DBH dalam dana transfer yang
tergerus 3.709 basis poin dari 64,59% di tahun 2010, menjadi 27,50% di tahun 2016
ketika harga migas anjlok. Ketergantungan terhadap dana transfer tercermin dari
tingginya porsi dana transfer dalam struktur penerimaan. Bahkan, 3 Pemda
memiliki porsi dana transfer di atas 95% dalam struktur penerimaannya.
17. Wacana peningkatan tarif UWTO berpotensi meningkatkan kapasitas fiskal BP
Batam sehingga pembangunan infrastruktur dan fasilitas penunjang iklim investasi
lainnya dapat dipercepat. Namun demikian, wacana peningkatan tarif tersebut
terjadi di tengah-tengah penurunan iklim investasi dan kinerja sektor industri
sehingga beresiko menjeremuskan Batam ke jurang resesi. Selain itu, struktur
belanja BP Batam sendiri masih didominasi belanja konsumtif sehingga dampak
negatif dari peningkatan tarif diperkirakan lebih besar daripada dampak positifnya.

7.2 REKOMENDASI
Rekomendasi atas dasar kesimpulan-kesimpulan tersebut di atas meliputi:
1. Melihat deviasi realisasi target ekonomi yang cukup besar, Pemda sebaiknya
mempertimbangkan untuk merevisi target dalam RPJMD agar menjadi lebih realistis
untuk tahun-tahun berikutnya. Mengacu pada Permendagri 54/2010 pasal 282 (2),
penurunan kinerja sektor industri yang merupakan motor utama perekonomian Kepri
dapat menjadi alas an untuk revisi RPJMD.
2. Otoritas perpajakan pemerintah pusat di Kepri harus segera menjaring bisnis-bisnis
baru yang tumbuh untuk mengisi kekosongan dari basis pajak yang tergerus
perubahan struktur ekonomi dalam rangka pencapaian target penerimaan tahun-
tahun berikutnya.
3. Direktorat Jenderal Pajak perlu merasionalisasi target penerimaan pajak lingkup
Kepri di tahun-tahun berikutnya mengingat karakteristik penerimaan pajak yang
sensitive terhadap perumbuhan ekonomi dan masih berlangsungnya fenomena
perlambatan pertumbuhan ekonomi di Kepri.
4. Agar terhindar dari terulangnya penghematan anggaran, pemerintah pusat perlu
merasionalisasi anggaran di tahun-tahun berikutnya agar lebih kredibel.
5. Pemerintah pusat dan daerah perlu memperbaiki struktur belanjanya. Porsi alokasi
terhadap belanja infrastruktur dan fasilitas pendukung investasi lainnya harus
diprioritaskan untuk dapat meningkatkan iklim investasi dan menarik banyak PMA
di tengah era persaingan negara ASEAN saat ini. Tidak tercapainya target RKP dan
RPJMD menunjukkan bahwa hal ini harus segera dilakukan untuk membalikkan tren
perlambatan pertumbuhan dan memperbaiki pencapaian target di tahun berikutnya.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


96
6. Alokasi belanja juga dapat diarahkan untuk mendukung pengembangan produksi
bahan makanan dan bahan bangunan di Kepri. Dengan begitu, ketergantungan
akan impor bahan akan berkurang, nilai tambah produksi di Kepri meningkat, serta
dampak positif dari ekspansi fiskal tidak akan berlarian ke wilayah lain.
7. Berkaitan dengan performa negatif BLUD kesehatan (RSUD), Pemda perlu
mengevaluasi kinerja operasional RSUD baik dari sisi kesesuaian tarif, beban
operasional, maupun kualitas layanan. Apabila performa negatif RSUD terus
berlanjut, fiskal Pemda akan terbebani dan prinsip dasar penerapan BLUD untuk
meningkatkan layanan sendiri tidak tercapai.
8. Sehubungan dengan penghapusan utang PDAM Tirta Kepri dan implikasi perbaikan
rasio keuangan yang sangat signifikan, PDAM sebaiknya segera mencari investor
untuk melakukan ekspansi usaha. Suntikan dana investor sendiri sangat dibutuhkan
di Kepri mengingat akses air minum baru mencapai 72% sementara target akses air
minum tahun 2019 adalah 100%.
9. Dalam rangka merubah realisasi KUR yang didominasi sektor perdagangan,
Pemerintah Pusat sebaiknya segera merealisasikan KUR sektoral dengan kuotanya
masing-masing sehingga sektor-sektor produktif dapat diprioritaskan.
10. Alternatif pengembangan sektor/subsektor potensial di Kepri sebagai berikut:
a. Sektor listrik dan gas dengan menggunakan energi dari tenaga surya dan gas:
i. Kementerian ESDM/PLN/BAPPEDA membuat feasibility study mengenai
efisiensi dan efektifitas pembangunan PLTS off-grid di wilayah kepulauan.
ii. BKPM/BPMD menggandeng produsen solar cell untuk membangun industri
tersebut di Kepri, didukung oleh insentif fiskal dari FTZ/KEK.
iii. Pemda membuat Perda minimal alokasi belanja (seperti konsep 20%
anggaran pendidikan di pusat) elektrifikasi dengan solar cell dan masterplan
sumber energi di Kepri untuk menjamin demand atas produksi solar cell.
iv. Untuk energi gas, BKPM/BPMD harus aktif menawarkan skema baru (gross
split) pada investor untuk meningkatkan produksi gas dan mencukupi
kebutuhan energy di Kepri.
b. Sektor konstruksi, khususnya bangunan sipil (infrastruktur) didorong dengan
meningkatkan belanja modal pemerintah. Pemda dapat membuat Perda minimal
alokasi belanja infrastruktur untuk menjaminnya. Fokus pembangunan dapat
diarahkan ke infrastruktur FTZ Tanjungpinang, Bintan, dan Karimun yang masih
kurang kompetitif dibandingkan infrastruktur FTZ Batam.
c. Subsektor industri (logam dasar dan ICT ):
i. Pemberian insentif fiskal untuk perusahaan perintis dan perusahaan yang
melakukan proses produksi dari hulu ke hilir.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


97
ii. Pemerintah Pusat/Pemda dapat mendesain wilayah-wilayah industri khusus
industri logam dan/atau ICT di wilayah Kepri dalam bentuk KEK maupun FTZ.
iii. Pemda membuat Technology Center atau pusat riset logam dasar, didukung
oleh penyediaan universitas dan akademisi oleh Kemenristek DIKTI.
iv. Kementerian Ketenagakerjaan atau Dinas Tenaga Kerja memberikan
pelatihan-pelatihan vokasional bertema industri logam dan industri IT.
v. BKPM/BPMD bertindak proaktif dengan mengajukan kerja sama ke
perusahaan-perusahaan ternama untuk merintis industri dan melatih SDM
seperti IPA Costa Rica yang mengajukan proposal kerja sama dan berhasil
membujuk Intel untuk membangun industri IT di negaranya.
d. Subsektor angkutan laut dapat didukung dengan pembangunan infrastruktur
pelabuhan yang kompetitif, serta penguatan industri pengolahan dan pariwisata
yang akan menjadi demand bagi angkutan laut. Selain itu, pelayaran pulau-pulau
di Kepri yang terletak jauh dari pulau utama perlu diberikan subsidi perintis.
e. Subsektor penyediaan akomodasi dapat didorong dengan promosi yang tepat
sasaran (berkerja sama dengan provinsi bali), pengembangan infrastruktur
untuk menjangkau wilayah pariwisata terpencil, dan menggandeng Singapura
dan Malaysia untuk konservasi wilayah perairan selat malaka yang keindahan
alamnya rawan tercemar lalu lintas kapal.
f. Subsektor perikanan:
i. Pemerintah pusat dan daerah mendorong Modernisasi peralatan
penangkapan ikan untuk mengatasi keterbatasan skala ekonomi.
ii. Pemerintah pusat dan daerah membuatkan tempat pelelangan ikan dan cold
storage untuk menghilangkan monopoli.
iii. Kemenko Perekonomian memperbaiki skema pembiayaan untuk nelayan
iv. Pemerintah membuka dialog dengan nelayan untuk bantuan hibah kapal
dengan spesifikasi lebih tepat guna dan penerima lebih tepat sasaran.
v. Pemda mempersiapkan kesiapan sarana dan prasarana untuk mempercepat
realisasi pembangunan SKPT.
11. Untuk melakukan analisis spasial (defisit cash flow pemerintah pusat), kebijakan
pengakuan PNBP SDA perlu diperbaiki ke daerah penghasil SDA.
12. Kualitas belanja pemerintah yang terindikasi kurang berkualitas dapat ditanggulangi
dengan mengevaluasi dari perencanaan program, kegiatan, dan implementasinya.
Evaluasi sebaiknya dilaksanakan segera mengingat opportunity cost dari
penggunaan anggaran yang kuran baik akan terus terakumulasi dari tahun ke tahun.
13. Ditjen Perbendaharaan dapat mengusulkan mekanisme pelaksanaan anggaran
sebagai Indikator Kinerja Utama (IKU) Pejabat Perbendaharaan dengan sistem

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


98
reward and punishment untuk percepatan pelaksanaan anggaran. Selain itu, kantor
vertikal Ditjen Perbendaharaan dapat mensosialisasikan bahwa percepatan
pelaksanaan anggaran dapat membantu mensejahterakan masyarakat,
mempercepat penyaluran kembali pajak kepada masyarakat dan mengoptimalkan
manfaat dari keputusan pemerintah untuk menarik hutang dengan harapan
terbentuknya kesamaan visi di antara eksekutor anggaran di lapangan.
14. Optimalisasi dana desa perlu dilakukan untuk menanggulangi peningkatan
kemiskinan perdesaan di Kepri. Salah satu alternatif implementasi adalah dengan
merealisasikan konsep one village one product dalam bentuk:
a. Desa prioritas pariwisata atau pendukung pariwisata dapat diarahkan menjadi
home industry kerajinan tangan, suvenir, atau barang kesenian lainnya dengan
BUMDes yang dibiayai dana desa. Saat ini, area pariwisata seperti Lagoy,
Bintan hanya menjual suvenir impor karena tidak adanya produk lokal.
b. Desa prioritas perikanan dapat diarahkan untuk membuat tempat pelelangan
ikan dan cold storage dengan Dana Desa untuk menghilangkan monopoli.
c. Desa prioritas industri dapat diarahkan untuk menjadi supplier komponen atau
bahan baku industri dengan BUMDes yang dimodali dana desa. Pemerintah
dapat memetakan komponen atau bahan baku industri yang dapat disediakan
oleh home industry dan mendorong kerja sama antara perusahaan industri
besar dengan desa-desa terkait.
15. Mengacu pada Growth Diagnostic dan perbandingan kapasitas pelabuhan dari BI,
urgensi pembangunan infrastruktur dapat difokuskan pada infrastruktur pelabuhan.
Pembangunan infrastruktur pelabuhan diperkirakan memberi efek multiplier
terbesar bagi perekonomian Kepri. Fokus pembangunan pelabuhan juga dapat
diarahkan pada pendalaman dermaga dengan skala besar seperti proyek Tanjung
Sauh. Dengan begitu, Kepri dapat memanfaatkan potensi pelabuhan transshipment
dan jasa perkapalan yang saat ini masih didominasi Singapura dan Malaysia. Selain
itu, pelabuhan juga akan membantu menekan biaya logistik dan meningkatkan
interkonektivitas wilayah yang selama ini menjadi tantangan utama pembangunan
wilayah Kepulauan seperti Kepri. Adapun untuk mengatasi kendala-kendala seperti
permasalahan kurangnya bahan bangunan, cuaca ekstrim, kegagalan feasibility
study, serta sengketa lahan, dapat dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pemda sebaiknya membangun pusat-pusat logistik atau mendorong pihak
swasta untuk membangunnya di wilayah prioritas pembangunan dengan cara:
i. Memanfaatkan fasilitas pembuatan Pusat Logistik Berikat (PLB) untuk
meminimalisir biaya penimbunan bahan dalam mengantisipasi kondisi cuaca
yang tidak mendukung transportasi alat/bahan bangunan.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


99
ii. Menjamin keberlangsungan demand proyek konstruksi agar pembangunan
pusat logistik menjadi fesibel secara ekonomi. Penjaminan dapat berupa
Perda alokasi minimal anggaran infrastruktur setiap tahun (seperti konsep
20% anggaran pendidikan di pusat).
b. Pemerintah sebaiknya membuat beberapa feasibility study sekaligus dalam 1
tahun anggaran sehingga terdapat banyak alternatif proyek pada tahun
anggaran berikutnya ketika beberapa proyek tidak fesibel.
c. Terkait permasalahan lahan, Pemda sebaiknya memfasilitasi koordinasi antara
Satker penanggung jawab pembangunan infrastruktur dan BPN agar ada
kesamaan visi mengenai pentingnya pembangunan infrastruktur di daerah.
16. Terkait risiko fiskal Pemda dari volatilitas harga migas dan ketergantungan Pemda
akan dana transfer, khususnya di Pemkab Natuna, Anambas, Lingga yang porsi
dana transfer pada struktur penerimaannya lebih dari 95%, Pemkab terkait perlu
mengoptimalisasi sumber penerimaan lainnya seperti:
a. Pemkab Natuna dan Anambas harus bersikap proaktif dalam mempersiapkan
legalitas lahan, infrastruktur, sarana dan prasarana lainna, serta ide
pengembangan kreatif yang dibutuhkan untuk wacana destinasi unggulan
wisata bahari dan SKPT agar Kementerian Pariwisata dan Kementerian
Kelautan dan Perikanan dapat segera merealisasikannya.
b. Pemkab Lingga dapat memanfaatkan tanahnya yang lebih subur untuk
mengambil potensi pertanian dari gap harga bahan makan di Kepri.
c. Pemkab-pemkab harus lebih selektif dalam penganggaran belanja APBD,
belanja produktif seperti infrastruktur harus diprioritaskan. Belanja produktif akan
berdampak signifikan terhadap akselerasi pertumbuhan ekonomi dan pada
akhirnya menjadi alternatif sumber penerimaan baru.
17. Berkaitan dengan peningkatan kapasitas fiskal BP Batam dengan kenaikan tarif
UWTO, BP Batam sebaiknya:
a. Membuat Regulatory Impact Assessment yang lebih komprehensif untuk
mengakomodir kondisi ekonomi terkini yang sedang lesu.
b. Menaikkan UWTO secara progresif agar tidak menimbulkan economic shock.
c. Memperbaiki struktur belanja terlebih dahulu dengan memperbanyak proporsi
belanja modal (infrastruktur) sebelum meningkatkan tarif UWTO. Peningkatan
porsi belanja infrastruktur dimaksudkan untuk menjamin dampak positif dari
peningkatan kapasitas fiskal lebih besar dari opportunity cost berupa biaya
operasional yang ditimbulkan bagi pengusaha.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


100
Daftar Pustaka
Ahmad, Salman. Maret 2014. Selection of renewable energy sources for sustainable
development of electricity generation system using analytic hierarchy process: A
case of Malaysia. Pahang: Universiti Malaysia Pahang

Anugrah, D.F., Anglingkusumo, R., Aji, P., Yusuf, A.A., Horridge, M., Fridayanti, Y., . . .
Rizkia, A.P. 2016. Growth Diagnostic: Strategi Pertumbuhan untuk Mendukung
Reformasi Struktural di Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia dan Asian
Development Bank

Ariyanti, F. 19 Februari, 2016. 30% Pabrik di Batam Berencana Pindah ke Vietnam dan
Malaysia. Liputan 6. (http://bisnis.liputan6.com/read/2440668/30-pabrik-di-batam-
berencana-pindah-ke-vietnam-dan-malaysia terakhir diakses tanggal 27 Februari
2017)

Arsyad, Lincoln. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah.


Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi.

Asdhiana, I M. 13 Maret, 2015. Menpar: Potensi Pariwisata Kepri Melebihi Bali. Kompas.
(http://travel.kompas.com/read/2015/03/13/201500127/Menpar.Potensi.Pariwisata.
Kepri.Melebihi.Bali terakhir diakses tanggal 22 Februari 2017)

Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Daerah Kota Batam Tahun 2014. Batam: Badan
Pusat Statistik Kota Batam.

--------------. 2015. Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia 2015. Jakarta: Badan
Pusat Statistik.

--------------. 2015. Statistik Daerah Provinsi Bali Tahun 2015. Denpasar: Badan Pusat
Statistik Provinsi Bali.

--------------. 2016. Analisis Sektor Unggulan Kepulauan Riau Tahun 2016.


Tanjungpinang: Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau.

--------------. 2016. Kajian Pertumbuhan Perekonomian Provinsi Kepulauan Riau Tahun


2011-2015 Melalui Pendekatan Tahun Dasar 2010. Tanjungpinang: Badan Pusat
Statistik Provinsi Kepulauan Riau.

--------------. 2016. Statistik Daerah Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2016.


Tanjungpinang: Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau.

Bank Indonesia. 2016. Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Kepulauan
Riau November 2016. Batam: Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi
Kepulauan Riau.

Batam Pos. 25 Januari, 2017. Praktik TKI Ilegal Tak Akan Habis. Batam Pos.
(http://batampos.co.id/2017/01/25/praktik-tki-ilegal-tak-habis/ terakhir diakses
tanggal 16 Februari 2017)

Batam Pos. 20 Februari, 2017. Batam Banjir Penangguran. Batam Pos.


(http://batampos.co.id/2017/02/20/batam-banjir-pengangguran/ terakhir diakses
tanggal 27 Februari 2017)

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


a
Haughton, Jonathan dan S.R. Khandkher. 2009. Handbook on Poverty and Inequality:
Chapter 4,. World Bank. (http://siteresources.worldbank.org/INTPA/Resources/
4299661259774805724/Poverty_Inequality_Handbook_Ch04.pdf terakhir
diakses tanggal 13 Februari 2017).

Ball, L., J.T. Jalles, dan P. Loungani. 2014. Do Forecasters Believe in Okun’s Law? An
Assessment of Unemployment and Output Forecasts. IMF Working Papers.
(https://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2014/wp1424.pdf terakhir diakses
tanggal 14 Februari 2017).

Broadfoot, C. Robert. 2003. Final Batam Report. Hong Kong: Political and Economic
Risk Consultancy, Ltd.- PERC

Brown, Ken W. 1993. The 10-Point Test of Financial Condition: Toward an Easy-to-Use
Assessment Tool for Smaller Cities. Government Finance Review.

Council for the Development of Cambodia (CDC) Cambodian Investment Board (CIB)
& Cambodian Special Economic Zone Board (CSEZB). 2017. Investment
Incentives. (http://www.cambodiainvestment.gov.kh/investment-scheme/investme
nt-incentives.html terakhir diakses tanggal 2 Maret 2017)

Demographia. 2015. Demographia World Urban Areas 11th Annual Edition: 2015:01.
Belleville: Demographia

Dodo. 27 Agustus, 2013. Kawasan Industri Lobam Terus Alami Kemunduran. Batam
Today. (http://www.batamtoday.com/berita32548-Kawasan-Industri-Lobam-Terus-
Alami-Kemunduran.htmsl terakhir diakses tanggal 28 Februari 2017)

Dung, Nguyen Tan. Mei 2014. Why Foreign Investment in Vietnam is Booming. World
Economic Forum. (https://www.weforum.org/agenda/2014/05/foreign-investment-
booming-vietnam/ terakhir diakses tanggal 2 Maret 2017)

Fajarta, Carlos Roy. 10 Januari, 2017. Optimalkan Layanan, Kemhub dan Pemprov DKI
Bentuk BLU. Berita Satu. (http://www.beritasatu.com/megapolitan/408618-
optimalkan-layanan-kemhub-dan-pemprov-dki-bentuk-blu.html terakhir diakses
tanggal 16 Februari 2017)

Haluan Kepri. 20 Februari, 2016. 30% Perusahaan di Batam Ingin Hengkang. Haluan
Kepri. (http://haluankepri.com/nasional/87899-30-perusahaan-di-batam-ingin-
hengkang.html diakses tanggal 27 Februari 2017)

Heymann, Eric: Container Shipping. 25 April 2006. Deutsche Bank Research


(http://www.dbresearch.com/PROD/DBR_INTERNET_DE-%20PROD/PROD00
00000000198081.PDF terakhir diakses tanggal 2 Maret 2017)

Hirst, Tomas. Mei 2014. The World’s Most Important Trade Route. World Economic
Forum (https://www.weforum.org/agenda/2014/05/world-most-important-trade-
route/ terakhir diakses tanggal 2 Maret 2017)

Hoover, Kevin D. 2008. Phillips Curve. Library of Economics and Liberty


(http://www.econlib.org/library/Enc/PhillipsCurve.html#lfHendersonCEE2-
126_figure_036 terakhir diakses tanggal 14 Februari 2017)

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


b
Jatmiko, B.P. 13 Januari, 2016. Pemodal Siap Hengkang dari Batam. Kompas.
(http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/01/13/150633026/Pemodal.Siap.H
engkang.dari.Batam terakhir diakses tanggal 27 Februari 2017)

Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. 2010. Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8
Tahun 2008 tentang Tahapan Tatacara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Berita Negara RI Tahun 2010, No.
517. Jakarta: Kementerian Dalam Negeri.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. 2016. Statistik
Ketenagalistrikan 2015 . Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2015. Kelautan dan


Perikanan dalam Angka Tahun 2015. Jakarta: Kementerian Kelautan dan
Perikanan.

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2013. Analisis Realisasi APBD Tahun


Anggaran 2012. Jakarta: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.

--------------. 2014. Surat Edaran Nomor SE-43/PB/2014 tentang Petunjuk Teknis


Penyusunan Kajian Fiskal Regional. Jakarta: Direktorat Jenderal Perbendaharaan

--------------. 2015. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153/PMK.07/2015 tentang Batas


Maksimal Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Batas
Maksimal Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan Batas Maksimal
Kumulatif Pinjaman Daerah Tahun Anggaran 2016. Berita Negara RI Tahun 2015,
No. 1181. Jakarta: Kementerian Keuangan

--------------. 2016. Informasi APBN 2016. Jakarta: Direktorat Jenderal Anggaran.

--------------. 2016. Kajian Pengaruh Belanja Pemerintah Terhadap Perekonomian


Regional Provinsi Kepulauan Riau. Tanjungpinang: Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau.

--------------. 2016. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37/PMK.07/2016 tentang Peta


Kapasitas Fiskal Daerah. Berita Negara RI Tahun 2016, No. 400. Kementerian
Keuangan. Jakarta

--------------. 2017. Penelitian dan Kajian Pelaksanaan Dana Desa Provinsi Kepulauan
Riau. Tanjungpinang: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan
Provinsi Kepulauan Riau.

Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. 2015. Rencana Induk Pembangunan


Industri Nasional 2015-2035. Jakarta: Kementerian Perindustrian.

Koshpasharin, S., dan K. Yasue. 2014. Study on the Development Potential of the
Content Industry in East Asia and the ASEAN Region: SWOT Analysis, ERIA
Research Project Report 2012-13, pp.95-117.Jakarta: ERIA.

Marinevesseltraffic. Malacca Strait Marine Traffic. Juli 2013. (http://www.marinevessel


traffic.com/ terakhir diakses tanggal 21 Februari 2016)

Moran, Theodore H. 2016. Attracting Foreign Direct Investment: The Case of Costa Rica,
GeorgetownX, Washington, United States of America. 6 mins.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


c
Moran, Theodore H. 2016. Who’s Investing?, GeorgetownX, Washington, United States
of America. 8 mins.

Nor-Afidah. 2005. Growth Triangle. Singapura: Singapore National Library Board.

OECD. 2015. Government at a Glance 2015, Paris:OECD Publishing. (http://dx.doi.org/


10.1787/gov_glance-2015-en terakhir diakses tanggal 14 Februari 2017)

Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Kepri. 2015. Laporan Keuangan PDAM Provinsi
Kepulauan Riau Tahun 2014. Tanjungpinang: PDAM Tirta Kepri.

Pemerintah Kabupaten Bintan. 2014. Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 6


Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah
Kabupaten Bintan. Lembaran Daerah Kabupaten Bintan Tahun 2014, No. 6.
Sekretariat Daerah. Bandar Seri Bentan

Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau. 2010. Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Riau
Nomor 9 Tahun 2010 tentang Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah
Provinsi Kepulauan Riau Sebagai Badan Layanan Umum Daerah. Lembaran
Daerah Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2010, No. 9. Sekretariat Daerah.
Tanjungpinang

Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan
Batu Bara. Lembaran Negara RI Tahun 2009, No. 4959. Sekretariat Negara.
Jakarta

Republik Indonesia. 2012. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2012 tentang


Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, Dan Cukai Serta Tata Laksana Pemasukan
Dan Pengeluaran Barang Ke Dan Dari Serta Berada Di Kawasan Yang Telah
Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
Lembaran Negara RI Tahun 2012, No. 5277. Sekretariat Negara. Jakarta

Supriadi, A. dan S. Primadhita. 23 Agustus, 2016. Alasan Kriminalisasi dan Masalah


Klasik Penyerapan Anggaran. CNN Indonesia. (http://www.cnnindonesia.com/
ekonomi/20160823173021-78-153323/alasan-kriminalisasi-dan-masalah-klasik-
penyerapan-anggaran/ terakhir diakses tanggal 19 Februari 2017)

The Jakarta Post. 15 Februari, 2017. Govt credit program fails to reach farmers, minister
admits. The Jakarta Post (http://www.thejakartapost.com/news/2017/02/15/govt-
credit-program-fails-to-reach-farmers-minister-admits.html terakhir diakses tanggal
16 Februari 2017)

Tribunnews. 3 November, 2016. Kepala BP Batam Akui Tujuan UWTO untuk Menyetop
Pertumbuhan Rumah Mewah. Tribunnews (http://www.tribunnews.com/nasional
/2016/11/03/kepala-bp-batam-akui-tujuan-uwto-untuk-menyetop-pertumbuhan-
rumah-mewah?page=1 terakhir diakses tanggal 28 Februari 2017)

Winosa, Yosi. 26 November, 2016. Kenaikan Tarif Lahan di Batam Maksimal 150%. Berita
Satu. (http://www.beritasatu.com/makro/401312-kenaikan-tarif-lahan-di-batam-mak
simal-150.html terakhir diakses tanggal 28 Februari 2017)

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


d
Daftar ISTILAH
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan
tahunan pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. APBD berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana
penerimaan dan pengeluaran daerah selama satu tahun anggaran (1 Januari - 31
Desember). APBD, perubahan APBD (APBD-P), dan pertanggungjawaban APBD
setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan


tahunan pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat. APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana
penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran (1 Januari - 31
Desember). APBN, perubahan APBN (APBN-P), dan pertanggungjawaban APBN
setiap tahun ditetapkan dengan Undang-Undang.

Badan Layanan Umum (BLU) instansi di lingkungan Pemerintah Pusat yang dibentuk
untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau
jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan
kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktifitas. BLU memiliki
fleksibilitas pengelolaan keuangan berupa keleluasaan untuk menggunakan langsung
pendapatannya (tanpa harus menyetor ke Rekening Kas Umum Negara/RKUN) dan
menetapkan praktek-praktek bisnis yang sehat dalam rangka meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat. (Contoh: BLU Perguruan Tinggi Negeri, BLU Rumah Sakit
Pemerintah, dan BLUD Pengelola Dana Bergulir).

Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) instansi di lingkungan Pemerintah Daerah


yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan
barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan
dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktifitas.
BLUD memiliki fleksibilitas pengelolaan keuangan berupa keleluasaan untuk
menggunakan langsung pendapatannya (tanpa harus menyetor ke Rekening Kas
Umum Daerah/RKUD) dan menetapkan praktek-praktek bisnis yang sehat dalam
rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. (Contoh: BLUD Rumah Sakit
Umum Daerah dan BLUD Pengelola Dana Bergulir).

Bagian Anggaran (BA) adalah kelompok anggaran menurut nomenklatur


Kementerian/Lembaga (K/L) dan menurut fungsi Bendahara Umum Negara (Contoh:
001 = Majelis Permusyawaratan Rakyat; 015: Kementerian Keuangan; 054 = Badan
Pusat Statistik 999 = Bendahara Umum Negara).

Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA-BUN) adalah bagian anggaran


yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran K/L seperti subsidi, pembayaran
utang, penerusan pinjaman, investasi pemerintah dan dana transfer.

Basis Poin/Basis Point (BPS) adalah unit pengukuran suku bunga dan persentase
lainnya di bidang keuangan. Satu basis poin sama dengan 1/100 dari 1% atau 0,01%,
dan digunakan untuk menunjukkan perubahan persentase.

Bea Masuk (BM)/Impor Duty adalah pungutan negara berdasarkan undang-undang


yang dikenakan terhadap barang yang memasuki daerah pabean. Pengenaan bea
masuk biasanya memiliki tujuan untuk meningkatkan pendapatan pemerintah,
memberikan proteksi terhadap produksi local, dan/atau untuk menghukum negara
tertentu dengan mengenakan tarif yang sangat tinggi untuk negara tersebut.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


e
Bea Keluar (BK)/Export Duty adalah pungutan negara berdasarkan undang-undang
yang dikenakan terhadap barang yang keluar dari daerah pabean. Saat ini, pengenaan
bea keluar sudah jarang diterapkan karena tidak sejalan dengan kebijakan berorientasi
ekspor yang membutuhkan harga kompetitif di pasar internasional.

Belanja Diskresi/Discretionary Spending adalah belanja yang alokasinya


didasarkan pada tujuan pemerintah, rencana program untuk mencapainya, serta dana
yang dibutuhkan untuk pelaksanaan program. Kebutuhan tersebut diusulkan oleh
pemerintah untuk ditelaah dan disetujui oleh DPR/DPRD. Perbedaan utama dengan
belanja non-diskresi (mandatory spending), yang jumlah atau porsi alokasinya sudah
ditentukan, adalah pada belanja diskresi porsi yang dialokasikan pada setiap awal
tahun anggaran dapat berubah-rubah tergantung pada prioritas yang ingin
dilaksanakan pemerintahan saat itu dan persetujuan DPR/DPRD.

Belanja Non-Diskresi atau Belanja Wajib/Non-Discretionary Spending atau


Mandatory Spending adalah belanja yang besarannya sudah diatur sebelumnya
seperti alokasi anggaran pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan
kedinasan minimal 20% dari APBN dan minimal 20% dari APBD yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang
mempunyai sifat dan karakteristik tertentu, yaitu: konsumsinya perlu dikendalikan,
peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi
masyarakat atau lingkungan hidup, atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan
negara demi keadilan dan keseimbangan (Contoh: minuman beralkohol dan
tembakau).

Cumulative to Cumulative (C to C) adalah metode perbandingan dua peristiwa yang


diukur dengan basis kumulatif waktu. (Contoh: penerimaan pemerintah pada Triwulan
I s.d Triwulan III 2016 dibandingkan dengan penerimaan pemerintah pada Triwulan I
s.d Triwulan III Agustus 2016)

Dana Alokasi Khusus Fisik (DAK Fisik) dana pada ABPN yang dialokasikan untuk
ditransfer kepada pemerintah daerah dengan penggunaan yang sudah ditentukan
sebelumnya dan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan pembangunan fisik.
(Contoh penggunaan: gedung sekolah, infrastruktur irigasi, energy skala kecil,
prasarana pemerintah daerah, infrastruktur jalan, transportasi perdesaan sarpras
pasar, dan lain sebagainya).

Dana Alokasi Khusus Non Fisik (DAK Non Fisik) dana pada ABPN yang
dialokasikan untuk ditransfer kepada pemerintah daerah dengan penggunaan yang
sudah ditentukan sebelumnya dan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan non
fisik. (Contoh penggunaan: bantuan operasional sekolah (BOS), tunjangan profesi guru
PNSD, bantuan operasional kesehatan, dan lain sebagainya)

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana transfer yang dialokasikan kepada setiap
Daerah Otonom (Provinsi/Kabupaten/Kota) di Indonesia setiap tahunnya sebagai dana
pembangunan. DAU merupakan salah satu komponen belanja pada APBN, dan
menjadi salah satu komponen pendapatan pada APBD. Tujuan DAU adalah sebagai
pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan Daerah
Otonom dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Bagi Hasil terdiri
dari DBH Pajak dan DBH Sumber Daya Alam (SDA).

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


f
Dana Desa adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara yang diperuntukkan bagi Desa dan Desa Adat yang ditransfer melalui
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota dan digunakan untuk
membiayai penyelenggaran pemerintahan, pembangunan, serta pemberdayaan
masyarakat, dan kemasyarakatan. kenario awal Dana Desa ini diberikan dengan
mengganti program pemerintah yang dulunya disebut PNPM,

Dana Insentif Daerah (DID) adalah dana yang dialokasikan dalam APBN kepada
daerah tertentu berdasarkan kriteria tertentu dengan tujuan untuk memberikan
penghargaan atas pencapaian kinerja tertentu

Dana Perimbangan/Dana Transfer merupakan dana yang bersumber dari


penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan
kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah. tujuan transfer adalah
mengurangi kesenjangan horizontal antar daerah, mengurangi kesenjangan vertikal
Pusat-Daerah, mengatasi persoalan efek pelayanan publik antar daerah, dan untuk
menciptakan stabilitas aktivitas perekonomian di daerah

Dekonsentrasi (DK) pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada gubernur. Untuk


mendukung pelaksanaan dekonsentrasi, dibutuhkan dana dekonsentrasi, yaitu dana
yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur yang mencakup semua
penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, tidak
termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah. Dana
dekonsentrasi tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di
daerah.

Defisit/Surplus Anggaran adalah kebijakan atau realisasi pengeluaran dan


penerimaan negara. Pengeluaran lebih besar dari penerimaan disebut sebagai defisit
anggaran, sedangkan pengeluaran lebih kecil dari penerimaan disebut sebagai surplus
anggaran.

Earmarked Tax/Spending dalam ranah keuangan publik adalah kebijakan untuk


mengalokasikan penggunaan atas jenis penerimaan tertentu pada tujuan-tujuan
tertentu yang biasanya berkaitan. (Contoh: pajak kendaraan bermotor dialokasikan
khusus untuk anggaran perbaikan jalan; cukai rokok dialokasikan khusus untuk
anggaran kesehatan).

Federal Government Spending (FGS) adalah pengeluaran pemerintah federal


(pemerintah pusat) di amerika. Padanan dari FGS di Indonesia adalah Belanja pada
APBN.

Fossil Fuels adalah bahan bakar (sumber energy) berbahan dasar karbon yang
terbentuk dari proses natural dekomposisi anaerobik organisme yang terkubur dalam
tanah seperti minyak, batu bara, dan gas. Sumber energi ini saat ini mulai ditinggalkan
oleh negara maju karena tidak dapat diperbaharui dan besarnya polusi yang dihasilkan
dapat berdampak buruk terhadap iklim (global warming).

Free Trade Zone (FTZ)/Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas


(Kawasan Bebas) merupakan kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean, sehingga bebas dari
pengenaan Bea Masuk, PPN, PPnBM, dan Cukai.

Grace Period dalam ranah keuangan adalah ketentuan masa tenggang dalam suatu
kewajiban pembayaran dimana dalam masa tersebut, kewajiban pembayaran dapat
ditunda tanpa dikenakan penalti.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


g
Global Supply Chain atau rantai pasokan global merupakan jaringan pada
perusahaan multinasional dalam melakukan produksi dan distribusi produk tertentu.

Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan (HPKD) merupakan


pendapatan asli daerah (PAD) yang berasal dari bagian laba atas penyertaan modal
pada BUMD, BUMN, Perusahaan Swasta atau kelompok usaha masyarakat.

Indeks Kedalaman Kemiskinan/Poverty Gap Index (P1) merupakan ukuran rata-


rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis
kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran pesuduk
dari garis kemiskinan.

Indeks Keparahan Kemiskinan/Poverty Severity Index (P2) memberikan gambaran


mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai
indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.

Indeks Pembangunan Manusia/Human Development Index (IPM/HDI) menjelaskan


bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh
pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. IPM dibentuk oleh 3 dimensi
dasar yakni umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, serta standar hidup layak.

Independent Power Producer (IPP) merupakan entitas yang memiliki fasilitas


pembangkit listrik dan menjual energi listrik yang dihasilkan ke PLN.

Inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-
menerus (continue) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh
berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya
likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk
juga akibat adanya ketidaklancaran distribusi barang

Inflasi Tahun Kalender adalah perubahan kenaikan tingkat harga secara umum dari
barang/jasa, atau merosotnya daya beli atau nilai riil uang selama satu tahun kalender
(dari bulan Januari tahun ini sampai dengan bulan ini tahun ini). Ini dihitung dari
persentase perubahan IHK bulan ini tahun ini terhadap IHK bulan Desember tahun lalu.

Informed Judgement/Informed Decision Making adalah pengambilan keputusan


berdasarkan informasi yang komprehensif, tidak semata-mata berdasarkan perasaan
atau kepercayaan pengambil keputusan. Dalam konteks sektor publik, Informed
Judgement oleh pejabat publik sangat penting untuk menciptakan program/kegiatan
yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.

Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)/Special Economic Zone (SEZ) adalah kawasan


dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Nega Kesatuan Republik Indonesia yang
ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas
tertentu..

Keunggulan Komparatif/Comparative Advantage adalah kondisi ekonomi dimana


suatu daerah dapat memproduksi suatu barang dengan lebih sedikit opportunity cost.
Kondisi tersebut berasal dari teori yang dikemukakan oleh David Ricardo dalam
menjelaskan perdagangan antar negara.

Keunggulan Kompetitif/Keunggulan Bersaing/Competitive Advantage adalah


kemampuan yang diperoleh melalui karakteristik dan sumber daya suatu perusahaan
atau wilayah untuk memiliki kinerja yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan atau
wilayah lain pada industri atau pasar yang sama.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


h
Kredit Program merupakan program kredit/pembiayaan pemerintah dengan berbagai
skema yang ditujukan untuk pengembangan sektor prioritas,

Kredit Usaha Rakyat (KUR) merupakan salah satu skema kredit program yang
sumber dananya berasal dari bank dengan suku bunga rendah yang disubsidi oleh
pemerintah. Secara umum, KUR bertujuan untuk mempercepat pengembangan Sektor
Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi (UMKMK)
Meningkatkan akses pembiayaan UMKMK kepada Lembaga Keuangan.

Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah (LLPAD) merupakan pos


penganggaran penerimaan asli daerah yang tidak termasuk ke dalam pajak daerah,
retribusi daerah, dan HPKD. LLPAD meliputi jasa giro, bunga, tuntutan ganti rugi,
denda pajak, denda retribusi, pendapatan BLUD, dan lain sebagainya.

Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah (LLPD) merupakan pos penerimaan


Pemda untuk menampung penerimaan selain PAD dan Dana Perimbangan. Pos LLPD
meliputi hibah, dana darurat, DBH dari provinsi, bantuan keuangan, dan lain
sebagainya.

Leverage dalam ranah finansial adalah penggunaan berbagai macam instrumen


pembiayaan untuk meningkatkan keuntungan dari investasi. Perusahaan dengan porsi
pembiayaan (utang) yang jauh lebih tinggi dibandingkan ekuitasnya disebut dengan
perusahaan dengan leverage yang tinggi. Perusahaan dengan leverage yang terlalu
tinggi biasanya tidak terlalu diminati investor karena resiko kebangkrutannya tinggi.

Location Quotient (LQ) merupakan metode kuantifikasi tingkat konsentrasi suatu


sektor pada suatu wilayah dalam suatu negara dibandingkan dengan negara itu sendiri.
Dengan LQ, keunikan suatu wilayah dibandingkan rata-rata nasional dapat terlihat.
Nilai LQ lebih besar dari 1 dapat diartikan bahwa sektor tersebut memiliki keunggulan
komparatif.

Model Rasio Pertumbuhan (MRP) adalah perbandingan pertumbuhan suatu sektorr


antara skala yang lebih luas dan skala yang lebih kecil

MRP Rasio Pertumbuhan Wilayah Studi (RPs) adalah MRP yang membandingkan
pertumbuhan sektor dalam suatu wilayah yang lebih kecil dengan wilayah yang lebih
besar (contoh: kabupaten dengan provinsi, provinsi dengan negara).

Month on Month (MoM) adalah metode perbandingan dua peristiwa yang diukur
dengan basis bulanan. (Contoh: penerimaan pemerintah pada bulan September 2016
dibandingkan dengan penerimaan pemerintah pada bulan Agustus 2016)

Non Performing Loan (NPL) atau Non Performing Financing (NPF) dalam
perbankan adalah kredit bermasalah kredit bermasalah yang terdiri dari kredit yang
berklasifikasi kurang lancar, diragukan dan macet. Termin NPL diperuntukkan bagi
bank umum, sedangkan NPF untuk bank syariah.

Okun’s Law merupakan teori dari Arthur Melvin Okun yang menyebutkan bahwa
terdapat hubungan yang negatif antara tingkat pengangguran dengan Produk
Domestik Bruto (PDB). Ketika tingkat pengangguran meningkat, maka pertumbuhan
PDB akan menurun, dan begitu pula sebaliknya.

Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) merupakan organisasi


lintas negara yang dibentuk oleh negara-negara pengekspor minyak untuk
berkoordinasi dan menyatukan kebijakan perminyakan diantara negara anggota.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


i
Overlay dalam analisis ekonomi merupakan metode analisis yang digunakan untuk
menggabungkan beberapa analisis lainnya sehingga kesimpulan yang dihasilkan
menjadi lebih komprehensif.

Pagu Anggaran merupakan plafon atau batasan tertinggi belanja yang dialokasikan
pada entitas pemerintah untuk dibelanjakan.

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)/Property Tax adalah pajak yang dipungut atas
tanah dan bangunan karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi
yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau
memperoleh manfaat dari padanya.

Pajak Daerah/Local Tax adalah pajak yang kewenangan pemungutannya berada di


tangan Pemerintah Daerah. Pajak daerah meliputi pajak restoran, pajak hiburan, pajak
reklame, pajak parkir dan sebagainya.

Pajak Penghasilan (PPh)/Income Tax adalah pajak yang dibebankan pada


penghasilan perorangan, perusahaan atau badan hukum lainnya.

Pajak Perdagangan Internasional (PPI) adalah semua penerimaan negara yang


berasal dari bea masuk dan bea keluar.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN)/Value Added Tax (VAT)/Goods and Services Tax
(GST) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau
jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. PPN termasuk jenis pajak tidak
langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan
penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak
menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.

Pelabuhan Transshipment/Transshipment Port adalah pelabuhan yang berfungsi


sebagai tempat singgah dalam proses pengiriman barang atau kontainer sebelum
mencapai tujuan akhir.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan kelompok pendapatan pemerintah


daerah yang terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan, dan LLPAD.

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Menurut UU no. 20 tahun 1997 tentang
Penerimaan Negara Bukan Pajak, PNBP adalah seluruh penerimaan Pemerintah
Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan.

Penerimaan Negara Bukan Pajak Umum (PNBP Umum) adalah PNBP yang tidak
berasal dari pelaksanaan tugas pokok dan fungsi entitas penerima PNBP. Contoh
PNBP Umum adalah hasil penjualan barang inventaris kantor, hasil penyewaan BMN,
jasa giro, penerimaan kembali uang persekot gaji/tunjangan.

Penerimaan Negara Bukan Pajak Fungsional (PNBP Fungsional) penerimaan yang


berasal dari hasil hasil pungutan kementerian negara/lembaga atas jasa yang
diberikan sehubungan dengan tugas pokok dan fungsinya. Contoh PNBP Fungsional
meliputi PNBP dari pendidikan, kejaksaan dan peradilan, badan layanan umum, dan
lain sebagainya.

Penerusan Pinjaman/Subsidiary Loan Agreement (SLA) merupakan metode


pembiayaan berupa pinjaman oleh pemerintah pusat yang diteruspinjamkan kepada
BUMN/Pemerintah Daerah/BUMD.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


j
Penyertaan Modal Daerah (PMD) merupakan bentuk investasi pemerintah daerah
pada Badan Usaha dengan mendapat hak kepemilikan, termasuk pendirian perseroan
terbatas dan/atau pengambilalihan perseroan terbatas

Penyertaan Modal Negara (PMN) merupakan bentuk investasi pemerintah pusat


pada Badan Usaha dengan mendapat hak kepemilikan, termasuk pendirian perseroan
terbatas dan/atau pengambilalihan perseroan terbatas

Phillips Curve merupakan model ekonomi dari Alban William Phillips yang
menggambarkan hubungan berkebalikan antara tingkat pengangguran dan tingkat
inflasi. Artinya, ketika tingkat pengangguran menurun, tingkat inflasi meningkat, dan
begitu pula sebaliknya.

PNBP Ratio/Non-Tax Ratio adalah rasio yang membandingkan antara realisasi PNBP
dengan PDB/PDRB pada periode yang sama. Rasio tersebut menjadi indikator
keberhasilan penggalian potensi PNBP.

Private Power Utility (PPU) adalah pembangkit listrik swasta terintegrasi yang
biasanya menyediakan listrik untuk kawasan industri tertentu.

Produk Domestik Bruto (PDB) adalah nilai tambah dari semua barang dan jasa
(output) yang diproduksi oleh suatu negara pada periode waktu tertentu.

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah nilai tambah dari semua barang
dan jasa (output) yang diproduksi oleh suatu wilayah (Provinsi/Kabupaten/Kota) pada
periode waktu tertentu.

Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku (PDRB ADHB) adalah
PDRB yang menghitung nilai barang dan jasanya berdasarkan harga berlaku.

Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan (PDRB ADHK)
adalah PDRB yang menghitung nilai barang dan jasanya dengan menggunakan harga
tahun tertentu sebagai dasar perhitungannya. Dengan kata lain, PDRB ADHK murni
menghitung nilai tambah output tanpa memperhitungkan kenaikan/penurunan harga.

Produk Domestik Regional Bruto per Kapita (PDRB/Kapita) merupakan nilai PDRB
dibagi dengan jumlah penduduk pada tahun yang sama. PDRB/Kapita digunakan
sebagai indikator standar hidup penduduk suatu wilayah.

Purchasing Power Parity (PPP) merupakan metode penyesuaian PDB/PDRB


dengan menggunakan konversi nilai berdasarkan daya beli mata uang masing-masing
negara. Penyesuaian dengan PPP menghasilkan PDB/PDRB yang lebih riil dalam
konteks nilai output yang dihasilkan.

Pusat Logistik Berikat (PLB) adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun
barang asal luar daerah pabean dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam
daerah pabean, dapat disertai 1 (satu) atau lebih kegiatan sederhana jangka waktu
tertentu untuk dikeluarkan kembali. PLB diselenggarakan oleh badan hukum yang
melakukan kegiatan penyediaan dan pengelolaan kawasan PLB.

Quarter to Quarter (Q-to-Q) adalah metode perbandingan dua peristiwa yang diukur
dengan basis kuartalan. (Contoh: penerimaan pemerintah pada triwulan III 2016
dibandingkan dengan penerimaan pemerintah pada triwulan II 2016)

Rasio Belanja Kesehatan adalah rasio perbandingan belanja untuk kesehatan


dengan total belanja. Rasio ini digunakan untuk melihat pemrioritasan pemerintah pada
sektor kesehatan.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


k
Rasio Belanja Infrastruktur adalah rasio perbandingan belanja untuk infrastruktur
dengan total belanja. Rasio ini digunakan untuk melihat pemrioritasan pemerintah pada
pembangunan infastruktur.

Rasio Belanja Pendidikan adalah rasio perbandingan belanja untuk pendidikan


dengan total belanja. Rasio ini digunakan untuk melihat pemrioritasan pemerintah pada
sektor pendidikan.

Rasio Belanja Sektoral Terhadap Kontribusi Sektor Kepada PDRB adalah


perbandingan indikatif antara fokus anggaran pemerintah dengan kontribusi sektor
unggulan. Rasio ini digunakan untuk melihat pemrioritasan pemerintah pada sektor-
sektor unggulan pada suatu wilayah.

Rasio Utang Terhadap Ekuitas/Debt to Equity Ratio (DER) adalah rasio yang
membandingkan antara utang dan ekuitas (aset bersih) suatu entitas. DER yang tinggi
menunjukkan bahwa entitas tersebut memiliki derajat leverage yang tinggi sehingga
memiliki resiko yang tinggi dan dapat menjadi kurang menarik di mata investor.

Rasio Utang Terhadap Pendapatan/Debt to Income Ratio (DTI) adalah rasio yang
membandingkan antara pembayaran utang dan pendapatan bersih pada suatu
periode. DTI yang tinggi menunjukkan bahwa pembayaran utang menggerus
keuntungan perusahaan sehingga dapat menjadi kurang menarik di mata investor.

Rebound dalam perekonomian adalah fase dimana kondisi yang kurang baik atau
bahkan negatif, mulai berubah menjadi lebih baik. Dalam konteks pertumbuhan
ekonomi, rebound berarti pertumbuhan ekonomi mulai meningkat atau mengalami
percepatan.

Regresi dalam ekonometrika adalah salah satu metode untuk menentukan hubungan
sebab-akibat antara satu variabel dengan variabel(-variabel) yang lain

Regresi dalam ekonometrika dengan Fixed Effect adalah metode regresi untuk data
panel dimana karakteristik masing-masing variabel dependen (contoh: variabel
dependen adalah pertumbuhan ekonomi beberapa kabupaten/kota)

Rencana Kerja Pemerintah (RKP) merupakan rencana tahunan pemerintah pusat


yang dijabarkan dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
RKP memuat rancangan kerangka ekonomi makro yang termasuk didalamnya arah
kebijakan fiskal dan moneter, prioritas pembangunan, rencana kerja dan
pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah maupun yang
ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.

Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) merupakan rencana tahunan pemerintah


daerah yang dijabarkan dari dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD). Pada prinsipnya, RKPD serupa dengan RKP, namun dengan lingkup
wilayah yang lebih kecil (Provinsi/Kabupaten/Kota)

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) adalah dokumen


perencanaan pembangunan nasional untuk perioda 5 (lima) tahunan yang merupakan
penjabaran dari visi, misi, dan program Presiden dengan berpedoman pada RPJPN.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) adalah dokumen


perencanaan pembangunan daerah untuk perioda 5 (lima) tahunan yang merupakan
penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah dengan berpedoman pada RPJP
Daerah serta memerhatikan RPJM Nasional.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


l
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) adalah dokumen
perencanaan pembangunan nasional untuk periode 20 (dua puluh) tahun.
Pelaksanaan RPJPN terbagi dalam tahap-tahap perencanaan pembangunan dalam
periodisasi perencanaan pembangunan jangka menengah nasional 5 (lima) tahunan.

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) adalah dokumen


perencanaan pembangunan daerah untuk periode 20 (dua puluh) tahun. RPJPD yang
memuat visi, misi, dan arah Pembangunan Jangka Panjang Daerah disusun dengan
mengacu kepada RPJPN.

Renewable Energy/Energi Terbarukan adalah energi yang dihasilkan dari sumber


energi yang secara alami dapat dipulihkan seiring berjalannya waktu seperti sinar
matahari, angin, air, pasang surut gelombang, ombak, panas bumi, dan bioenergi. Saat
ini, negara-negara maju mulai mengalihkan sumber energinya ke energy terbarukan
karena tidak menghasilkan atau hanya menghasilkan sedikit polusi yang dapat
berkontribusi terhadap global warming.

Retribusi Daerah merupakan pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau
pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah
Daerah untuk kepentingan pribadi atau badan. Retribusi daerah meliputi retribusi izin
mendirikan bangunan (IMB), retribusi parkir, retribusi pelayanan pasar, retribusi
terminal dan sebagainya.

Satuan Kerja (Satker) adalah Kuasa Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Barang


yang merupakan bagian dari suatu unit organisasi pada Kementerian Negara/Lembaga
yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari suatu program. Dalam konteks
akuntansi, kata Satker ini bisa dipersamakan dengan entitas.

Shale Oil adalah minyak non konvensional yang diproduksi dari serpihan batu yang
mengandung shale oil. Teknologi untuk mengekstraksi minyak dari batuan tersebut
relatif baru ditemukan dan memiliki biaya operasional yang lebih besar dibandingkan
dengan minyak konvensional.

Sisa Lebih/Kurang Perhitungan Anggaran (SiLPA/SiKPA) adalah selisih


lebih/kurang antara realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu
periode anggaran. Selisih positif (sisa lebih) dapat digunakan untuk membiayai defisit
anggaran di tahun anggaran berikutnya.

Skala Ekonomi/Economy of Scale merupakan fenomena turunnya biaya produksi


per unit dari suatu perusahaan yang terjadi bersamaan dengan meningkatnya jumlah
produksi (output). Dalam konteks industrialisasi, skala ekonomi menciptakan efisiensi
bagi suatu unit produksi sampai dengan titik tertentu.

Spesialisasi dalam ekonomi adalah metode produksi dimana suatu negara, daerah,
atau unit produksi memproduksi beberapa jenis barang atau jasa saja untuk
meningkatkan efisiensi pada sistem produksi secara keseluruhan

Supply Glut dalam makroekonomi adalah kelebihan penawaran dibandingkan dengan


permintaan, khususnya ketika terdapat kelebihan produksi dibandingkan dengan
sumber daya yang ada untuk mengkonsumsi produksi tersebut.

Tax Ratio adalah rasio yang membandingkan antara realisasi pajak dengan
PDB/PDRB pada periode yang sama. Rasio tersebut menjadi indikator keberhasilan
penggalian potensi pajak.

Tingkat Kemiskinan/Persentase Penduduk Miskin/Head Count Index (HCI-Po)


adalah persentase penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan (GK).

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


m
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) adalah suatu indikator ketenagakerjaan
yang memberikan gambaran tentang penduduk yang aktif secara ekonomi dalam
kegiatan sehari-hari merujuk pada suatu waktu dalam periode survei. TPAK dihitung
dengan cara membagi jumlah angkatan kerja dengan jumlah penduduk berusia 15
tahun keatas. Penduduk yang termasuk angkatan kerja adalah penduduk usia kerja
(15 tahun dan lebih) yang bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara tidak
bekerja dan pengangguran. Penduduk yang termasuk bukan angkatan kerja adalah
penduduk usia kerja (15 tahun dan lebih) yang masih sekolah, mengurus rumah tangga
atau melaksanakan kegiatan lainnya selain kegiatan pribadi.

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) adalah indikasi tentang penduduk usia kerja
yang termasuk dalam kelompok pengangguran. Kegunaan dari indikator
pengangguran terbuka ini baik dalam satuan unit (orang) maupun persen berguna
sebagai acuan pemerintah bagi pembukaan lapangan kerja baru. TPT dihitung dengan
cara membagi jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja.

Trickle-down adalah teori yang menyatakan bahwa kebijakan ditujukan untuk


memberi keuntungan bagi kelompok orang-orang kaya, maka keuntungan itu akan
menetes kebawah kepada golongan miskin melalui perluasan kesempatan kerja,
distribusi pendapatan melalui upah dan perluasan pasar. Dalam konteks geografis,
trickle-down dapat diartikan bahwa perekonomian dari suatu wilayah yang lebih
makmur menyebar ke wilayah sekitarnya karena adanya mobilisasi tenaga kerja,
distribusi pendapatan, dan repatriasi.

Tugas Pembantuan (TP) adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau
desa atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan
pelaksanaannya kepada yang menugaskan. Untuk pelaksanaanya, diberikan dana
tugas pembantuan dari APBN yang dilaksanakan oleh daerah dan desa yang
mencakup semua penerimaan dan pengeluaran.

Urusan Bersama (UB) merupakan kegiatan bersama pusat dan daerah yang
dilaksanakan langsung oleh masyarakat. Kegiatan yang dilaksanakan bersifat bantuan
langsung ke masyarakat dan biasanya dialokasikan dalam bantuan sosial. Pendanaan
UB berasal dari APBN dan disertai dengan Dana Pendamping dari APBD.

Vokasional dalam konteks pendidikan/pelatihan merupakan pendidikan/pelatihan


yang lebih terfokus pada sisi keahlian atau kemahiran praktis dalam berkerja
dibandingkan sisi akademik. Di era cepatnya perubahan teknologi seperti saat ini,
kebutuhan akan keahlian seorang pekerja seringkali berubah-ubah sehingga
permintaan akan pendidikan/pelatihan vokasional terus meningkat.

Volatilitas/Volatility dalam konteks ekonomi merupakan kecenderungan suatu


variabel untuk berubah-ubah. Semakin tinggi volatilitas, semakin sering suatu variabel
berubah-ubah.

Year on Year (YoY) adalah metode perbandingan dua peristiwa yang diukur dengan
basis tahunan. (Contoh: penerimaan pemerintah pada triwulan III 2016 dibandingkan
dengan penerimaan pemerintah pada triwulan III 2015)

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


n
Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau
15

Anda mungkin juga menyukai