Anda di halaman 1dari 13

RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN

“PENERAPAN GERAKAN LITERASI SEKOLAH


DAN KONDISI MINAT BACA PESERTA DIDIK SMK”

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pendidikan merupakan aspek yang sangat penting di bidang pembangunan manusia.
Mengingat pentingnya pendidikan, Misi 2 Program Jabar Juara yang berbunyi
“Melahirkan manusia yang berbudaya, berkualitas, bahagia, dan produktif melalui
peningkatan pelayanan publik yang inovatif” berisi program-program salah satunya
bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Jawa Barat. Salah satu potensi
peserta didik yang dikembangkan melalui pendidikan yaitu kemampuan berbahasa, yang
terdiri atas kemampuan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.

Permasalahan yang terjadi saat ini, kemampuan literasi peserta didik Indonesia masih
rendah jika dibandingkan dengan negara lain. Hal ini ditunjukkan dari hasil pengujian
Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS), Asesmen Kompetensi Siswa
Indonesia (AKSI), dan Programme for International Student Assessment (PISA) yang
menyatakan bahwa peserta didik Indonesia khususnya usia sekolah dasar dan sekolah
menengah pertama dalam keterampilan memahami bacaan masih rendah. Sementara itu,
hasil penelitian Diana dkk. (2015) menunjukkan bahwa literasi sains siswa SMA dari
ranah kognitif termasuk kurang dan dari ranah afektif termasuk cukup. Hasil penelitian
Fadholi dkk. (2015) juga menunjukkan bahwa kemampuan literasi siswa SMK masih
kurang. Hal tersebut menjadi masalah karena di era teknologi informasi, peserta didik
dituntut untuk memiliki kemampuan membaca dalam pengertian memahami teks secara
analitis, kritis, dan reflektif. Sementara itu, beberapa permasalahan Provinsi Jawa Barat
di bidang pendidikan antara lain: rendahnya minat baca masyarakat Jawa Barat
sebagaimana yang disebutkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
Provinsi Jawa Barat 2018-2023 bahwa hasil survei minat baca Jawa Barat Tahun 2015
melalui media elektronik sebesar 19,33% dan melalui media cetak sebesar 12%; masih
banyak sekolah yang belum memiliki perpustakaan sesuai standar nasional perpustakaan,
baik sarana prasarana, koleksi, sumber daya manusia, maupun aspek-aspek perpustakaan

1
lain; belum terintegrasinya layanan perpustakaan sekolah dengan perpustakaan daerah
milik pemerintah dalam memberi layanan literasi melalui program perpustakaan keliling;
serta belum ada regulasi yang mengatur tentang pengelola perpustakaan sekolah untuk
bekerjasama dengan komunitas literasi, seperti forum perpustakaan desa/kelurahan atau
forum perpustakaan taman bacaan masyarakat. Sebagaimana hasil kajian mengenai
Indeks Membaca Masyarakat (Dispusipda Jabar, 2018) yang menyebutkan bahwa indeks
membaca masyarakat Jawa Barat adalah 68,16 dimana masuk pada katagori cukup.
Sementara itu, Kompas (Yuniati, 2017) menyebutkan bahwa budaya membaca Indonesia
menempati peringkat paling rendah di antara 52 negara di Asia Timur. Lebih lanjut,
masyarakat Indonesia lebih suka mendapatkan informasi dari televisi dan radio daripada
membaca. Membaca masih menjadi kebutuhan pelengkap dan tidak dijadikan sebagai
sebuah tradisi dalam kehidupan (Yuniati, 2017). Lebih lanjut, Julianti (2019) menjelaskan
bahwa rendahnya minat baca disebabkan kurang memiliki perasaan, perhatian terhadap
buku dan manfaat membaca, serta motivasi dari diri sendiri maupun orang lain atau
lingkungan.

Untuk meningkatkan kemampuan membaca peserta didik Indonesia, khususnya


dalam keterampilan memahami bacaan, digulirkanlah Gerakan Literasi Sekolah (GLS)
sejak Maret 2016. Program literasi telah dilaksanakan di sekolah-sekolah di Jawa Barat,
namun belum maksimal, karena hanya seperti pemanfaatan waktu 15 menit untuk
membaca, kurang terarah dan kurang komprehensif. Sebagaimana hasil penelitian
Indartiningsih (2018) yang menyatakan bahwa pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah
masih belum efektif, sehingga dibutuhkan inovasi dan kreativitas untuk mendukung
program. Dibutuhkan impelementasi Gerakan Literasi Sekolah yang lebih komprehensif,
bukan sekedar formalitas saja. Salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu menerapkan
inovasi bernama “Gerakan Literasi Sekolah Berbasis Kelompok”. Gerakan Literasi
Sekolah Berbasis Kelompok ini terinspirasi dari Model Pembelajaran Cooperative
Learning. Beberapa hasil penelitian terdahulu juga menunjukkan bahwa model gerakan
literasi berbasis kelompok dapat meningkatkan efektivitas program. Sebagaimana hasil
penelitian Yanto (2016) yang menyebutkan bahwa model Gerakan Literasi berbasis
komunitas dapat menggerakkan aktivitas literasi, dan hasil penelitian Yuniati dkk. (2017)
yang menyebutkan bahwa diharapkan ada forum diskusi literasi sekolah sejenis bedah
buku yang dilakukan oleh sekelompok siswa dengan guru pendamping.

2
Tujuan Penelitian

1. Untuk mengeksplorasi penerapan Gerakan Literasi Sekolah Berbasis Kelompok di


SMK Negeri 3 Bandung, SMK Negeri 9 Bandung, dan SMK Negeri 13 Bandung
selama ini;
2. Untuk mendeskripsikan kondisi minat baca peserta didik di SMK Negeri 3 Bandung,
SMK Negeri 9 Bandung, dan SMK Negeri 13 Bandung;
3. Untuk menganalisis kendala dan usaha pemecahan masalah dalam penerapan
Gerakan Literasi Sekolah Berbasis Kelompok di SMK Negeri 3 Bandung, SMK
Negeri 9 Bandung, dan SMK Negeri 13 Bandung;
4. Untuk mengetahui upaya Gerakan Literasi Sekolah Berbasis Kelompok untuk
meningkatkan minat baca peserta didik di SMK Negeri 3 Bandung, SMK Negeri 9
Bandung, dan SMK Negeri 13 Bandung.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, karena sesuai dengan tujuan
penelitian, jawaban hasil penelitian dapat diperoleh dengan cara mengeksplorasi dan
memahami fenomena yang terjadi. Dalam penelitian ini, jenis strategi penelitian kualitatif
yang digunakan yaitu studi kasus. Menurut Creswell (2010), studi kasus merupakan
strategi penelitian dimana di dalamnya peneliti menyelidiki secara cermat suatu program,
peristiwa, aktivitas, proses, atau kelompok. Penelitian ini dilakukan dari Bulan Agustus
s.d. Oktober 2019. Populasi dalam penelitian ini yaitu peserta didik SMK di Kota
Bandung, sedangkan sampel yang diambil yaitu peserta didik di SMK Kota Bandung
yang telah melaksanakan Gerakan Literasi Sekolah Berbasis Kelompok Berbasis
Kelompok yang berada pada katagori baik, sedang, dan rendah (masih berkembang).
Berdasarkan rekomendasi dari Dinas Pendidikan, ketiga SMK tersebut adalah SMK
Negeri 3 Bandung, SMK Negeri 9 Bandung, dan SMK Negeri 13 Bandung. Teknik
pengumpulan data penelitian yang digunakan yaitu wawancara kepada kepala sekolah,
pendidik atau tenaga kependidikan dengan menggunakan instrumen pedoman
wawancara, penyebaran angket kepada peserta didik dengan menggunakan instrumen
angket, observasi mengenai implementasi Gerakan Literasi Sekolah (GLS) dengan

3
menggunakan instrumen panduan observasi serta dokumentasi setiap peristiwa yang
berkaitan dengan GLS dan minat baca siswa.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penerapan Gerakan Literasi Sekolah

Dari hasil penelitian, ketiga sekolah telah menerapkan Gerakan Literasi Sekolah
(GLS) yang dihimbau sejak adanya Permendikbud No. 23 Tahun 2015 juga dengan
diterapkannya Kurikulum 2013. Di kedua sekolah, tahapan GLS telah berada pada
tahapan pembelajaran. SMK Negeri 3 Bandung dicirikan oleh komitmen Kepala Sekolah
yang mewajibkan setiap guru untuk mengimplementasikan literasi dalam pembelajaran,
mengadakan In House Training (IHT) mengenai literasi, dan iklim sekolah pun
mendukung. SMK Negeri 9 Bandung dicirikan dengan adanya mata pelajaran literasi di
perpustakaan, telah ada program dan evaluasinya. Sedangkan SMK Negeri 13 berada
pada tahapan pengembangan, dimana hasil membaca siswa telah berusaha ditampilkan
ke dalam pohon literasi, fish bone, dan sebagainya, juga sedang dalam proses
diimplementasikan dalam pembelajaran. Hal tersebut sesuai dengan salah satu ciri
tahapan pengembangan yang disebutkan Panduan GLS di SMK (Kemendikbud, 2016)
yaitu adanya pembuatan respon bacaan seperti graphic organizer, peta cerita, dan
penilaian non akademik. Penerapan pembiasaan membaca 15 menit telah dilaksanakan
oleh ketiga sekolah di awal pembelajaran. SMK Negeri 3 Bandung dan SMK Negeri 9
Bandung biasanya menerapkan literasi religi setiap pagi (membaca Al-Qur’an dan
Asmaul Husna) yang dilaksanakan di kelas masing-masing. Sementara SMK Negeri 13
Bandung memberikan kesempatan kepada siswa untuk membaca buku non mata
pelajaran di aula bersama-sama.
Mengenai Penerapan GLS Berbasis Kelompok, belum ada sekolah yang benar-benar
menerapkannya secara konsisten. Karena dari hasil penelitian, diperoleh informasi bahwa
di ketiga sekolah, penerapan GLS terkadang berbasis individu, terkadang berbasis
kelompok, tidak selalu berbasis kelompok. Namun ketiga sekolah ini telah memiliki
komunitas literasi. Di SMK Negeri 3 Bandung bernama Tim Literasi Siswa, di SMK
Negeri 9 Bandung bernama Sahabat Perpustakaan, dan di SMK Negeri 13 Bandung
bernama Satuan Tugas Literasi. Ketiga komunitas tersebut merupakah perwakilan tiap

4
kelas dan dipilih secara sukarela. Ketiga komunitas literasi di setiap sekolah pun telah
memiliki struktur organisasi dan program-program tertentu. Sahabat Perpustakaan SMK
Negeri 9 Bandung didominasi oleh field trip/kunjungan. Sementara itu salah satu program
unggulan SMK Negeri 3 Bandung yaitu digipreneur (digital entrepreneur). Sedangkan
SMK Negeri 13 diisi oleh kegiatan review buku. Mereka juga sering mengadakan
pertemuan secara berkala dengan guru pembina literasi. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Yuniati (2017) yang menyatakan perlu adanya forum diskusi semacam bedah
buku. Namun ketiga komunitas tersebut memiliki kesamaan program yaitu mengajak
siswa lain turut berpartisipasi aktif dalam kegiatan literasi. Berdasarkan hasil wawancara
juga diperoleh keterangan bahwa dengan adanya komunitas literasi tersebut, pelaksanaan
GLS di ketiga sekolah menjadi lebih efektif. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Yanto
(2016) yang menyatakan bahwa komunitas dapat menggerakkan aktivitas literasi.
Belum ada komunitas literasi di kalangan guru di ketiga sekolah. Namun ketiga
sekolah telah memiliki Tim Literasi Sekolah yang beranggotakan para pendidik dan
tenaga kependidikan. SMK Negeri 3 Bandung masih sedang dalam proses penyusunan
SK dan struktur organisasi mengenai Tim Literasi Sekolah, sementara di-handle oleh dua
guru yang menangani literasi yaitu Ibu Sugiharti dan Ibu Siti. SMK Negeri 9 Bandung
memiliki struktur organisasi Tim Literasi Sekolah yang sama dengan Struktur Organisasi
Perpustakaan, jadi belum memiliki TLS tersendiri dan mandiri. Sehingga segala sesuatu
yang berhubungan dengan literasi selalu dikaitkan dengan perpustakaan. SMK Negeri 13
Bandung memiliki Satuan Tugas Literasi yang di-handle oleh seorang Sekretaris Bidang,
yaitu Ibu Een.
Dalam hal peningkatan kapasitas pendidik dalam hal literasi untuk mendukung
implementasi literasi dalam pembelajaran, SMK Negeri 9 Bandung dan SMK Negeri 13
Bandung belum pernah mengadakan, namun apabila ada undangan dari luar berupa
pelatihan/seminar, sekolah-sekolah tersebut selalu mengirimkan perwakilan. Sedangkan
SMK Negeri 3 Bandung pernah mengadakan pelatihan berupa in house training kepada
seluruh guru mengenai implementasi literasi dalam pembelajaran.
Dalam hal pemberian reward terhadap siswa yang berprestasi, secara umum ketiga
sekolah sudah melaksanakannya. SMK Negeri 9 Bandung berupa nilai mata pelajaran
literasi di dalam raport, SMK Negeri 13 Bandung berupa pin dan buku, dan SMK Negeri
3 Bandung berupa penilaian dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, pemilihan duta

5
literasi, dan penghargaan kepada siswa yang membaca terbanyak. Pemberian reward atau
penghargaan ini merupakan ciri ekosistem sekolah yang literat dalam hal lingkungan
sosial afektif.
Dalam hal festival literasi, ketiga sekolah belum pernah mengadakan, namun apabila
ada undangan berupa lomba ketiga sekolah selalu mengikuti. SMK Negeri 13 Bandung
sedang dalam rencana ingin mengadakan semacam bazaar buku tapi sedang dalam proses
mencari sponsor. Sedangkan SMK Negeri 3 Bandung memiliki prestasi di tingkat
nasional.
Hasil karya siswa di ketiga sekolah telah dipajang dalam bentuk mading dan
sebagainya. Ketiga sekolah secara umum telah literat dalam hal lingkungan fisik, sosial
afektif, dan akademik. Literat dalam hal lingkungan fisik tercermin dari adanya karya
siswa yang dipajang, adanya area baca, sudut baca, buku-buku yang memadai, dan
sebagainya. Hal tersebut terlihat dari lembar observasi mengenai pengamatan kondisi
lingkungan fisik sekolah. Literat dalam hal lingkungan sosial afektif tercermin dari
adanya dukungan dari Kepala Sekolah, guru lain, seluruh warga sekolah, adanya reward
bagi siswa yang berprestasi di bidang literasi, dan lain-lain. Literat dalam hal lingkungan
akademik tercermin dengan adanya implementasi literasi dalam RPP dan pelaksanaan
pembelajaran. Literat dalam hal lingkungan akademik ini terlihat jelas di SMK Negeri 3
Bandung dan SMK Negeri 9 Bandung. Khususnya di SMK Negeri 3 Bandung didukung
juga dengan telah adanya pelatihan mengenai implementasi literasi dalam pembelajaran
melalui kegiatan in house training. Sementara dalam SMK Negeri 13 Bandung literat
dalam lingkungan akademik belum seluruhnya dan masih dalam tahapan pengembangan.
Namun begitu, apabila dibandingkan dengan ciri-ciri ekosistem yang literat berdasarkan
Panduan GLS di SMK (Kemendikbud, 2016), semua sekolah belum sepenuhnya literat
dalam ketiga lingkungan tersebut. Terlihat dari masalah yang rata-rata ada di setiap
sekolah seperti waktu yang sempit dan kurangnya partisipasi dari seluruh guru.
Sedangkan ciri ekosistem sekolah yang literat salah satunya terdapat waktu yang
memadai bagi seluruh staf SMK untuk berkolaborasi dalam menjalankan program
literasi.
Ketiga sekolah telah menerapkan literasi digital yang tercermin dari penggunaan
email dan blog dalam pembelajaran, e-learning seperti Edmodo, dan ujian berbasis
digital. Sebagian besar guru pun telah melek IT. Di ketiga sekolah, guru selalu memeriksa

6
hasil tugas/ujian siswa lalu mengembalikannya agar siswa dapat memperbaiki. Hal
tersebut juga didukung hasil angket dimana sebagian besar siswa di ketiga sekolah selalu
memeriksa kembali hasil tugas/ujian yang dikembalikan guru setelah diperiksa. Selain
itu, dalam praktikum siswa di ketiga sekolah telah menerapkan prinsip-prinsip K3.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketiga sekolah telah literat baik dalam
pembelajaran di kelas maupun praktikum.

Kondisi Minat Baca Peserta Didik

Kondisi minat baca secara keseluruhan di ketiga sekolah menunjukan bahwa minat
baca peserta didik di ketiga sekolah berada pada kondisi baik. Hal ini juga sesuai dengan
hasil wawancara terhadap guru, dimana guru yang menangani literasi di ketiga sekolah
menyatakan bahwa kondisi minat baca siswa terlihat baik terutama setelah diterapkan
Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Santoso dkk
(2017) yang menyatakan terdapat pengaruh yang signifikan antara Gerakan Literasi
Sekolah dengan minat baca peserta didik.
Dari segi kesenangan membaca, peserta didik ketiga sekolah berada pada kondisi
baik. Peserta didik di SMKN 3 dan SMKN 13 sebagian besar menyatakan butuh membaca
buku non mata pelajaran dan menyatakan lebih baik menggunakan uang untuk membeli
buku non mata pelajaran dibandingkan benda lain. Sementara itu, terdapat temuan yang
menarik dari hasil angket siswa SMK Negeri 9 Bandung dimana 100% siswa menyatakan
butuh membaca buku non mata pelajaran, namun 80% menyatakan lebih baik
menggunakan uang untuk membeli benda lain dibandingkan buku non mata pelajaran.
Dari segi frekuensi membaca, sebagian besar siswa di ketiga sekolah meluangkan
waktu maupun mengisi waktu luang (seperti menunggu) untuk membaca buku non mata
pelajaran, namun lebih banyak yang berbentuk online. Hal ini dikarenakan literasi digital
lebih mudah dan lebih praktis, dapat dibawa kemana-mana, dibaca kapanpun dan
dimanapun.
Dari segi kunjungan perpustakaan, sebagian besar siswa di SMK Negeri 3 Bandung
dan SMK Negeri 9 Bandung menyatakan suka berkunjung ke perpustakaan dalam setiap
minggu. Sementara di SMK Negeri 13 siswa lebih memilih untuk membaca di pojok baca
di kelas, hanya 35% siswa yang setiap minggu berkunjung ke perpustakaan. Ditemukan
pula informasi bahwa siswa berkunjung ke perpustakaan perpustakaan lebih banyak

7
karena siswa diperintahkan guru/karena tugas. Ini sesuai dengan hasil wawancara dimana
pengunjung perpustakaan rata-rata di ketiga sekolah dalam kondisi lumayan banyak,
namun lebih banyak karena diperintahkan guru atau karena tugas.

Kendala dan Usaha Pemecahan Masalah


Dari hasil wawancara, diperoleh beberapa masalah yang selalu muncul di ketiga
sekolah, diantaranya:
a. Waktu
Secara umum, masalah yang selalu muncul mengenai penerapan GLS di ketiga
sekolah yaitu waktu. Waktu disini menjadi masalah baik bagi siswa maupun guru. SMK
berbeda dengan SMA dimana kegiatan siswa juga padat oleh praktikum. Sehingga kurang
ada waktu untuk kegiatan literasi. Sebagian besar siswa merasa lelah karena padat dengan
kegiatan pembelajaran di kelas maupun praktikum, sehingga sedikit siswa yang
berpartisipasi aktif dalam kegiatan literasi. Selain itu, siswa yang menjadi anggota literasi
biasanya siswa yang juga aktif dalam kegiatan atau ekstrakurikuler lain (OSIS, Pramuka,
Rohis, dan sebagainya), sehingga sulit membagi waktu.

Bagi guru, guru juga sudah dipadatkan dengan kegiatan pembelajaran dan
ditambah tugas tambahan. Guru yang khusus menangani literasi juga merasa kesulitan
untuk membagi tugas utamanya mengajar dengan menangani literasi. Selain itu, guru
semua mata pelajaran juga merasa keberatan dengan program membaca 15 menit yang
mengambil waktu pembelajaran. Dalam pelaksanaannya pun, kegiatan literasi mendapat
jatah yang sangat sedikit. Seperti yang terjadi di SMK Negeri 13 Bandung, dimana
seharusnya membaca adalah 15 menit, kenyataannya kegiatan membaca bersama hanya
terlaksana 10 menit. Waktu yang sangat sempit ini kurang memungkinkan siswa untuk
membaca dengan penuh konsentrasi.

b. Kondusivitas Siswa
Masalah selanjutnya yaitu kondusivitas siswa. Salah satu penyebab kurang
kondusifnya siswa dalam mengikuti kegiatan literasi berhubungan dengan masalah
sebelumnya, yaitu waktu. Karena sebagian besar waktu siswa telah padat oleh
pembelajaran di kelas maupun praktikum, maka ketika pelaksanaan literasi siswa merasa
lelah. Dan karena pelaksanaan literasinya pun waktunya sempit, siswa kurang dapat

8
berkonsentrasi dalam membaca, sehingga ada siswa yang mengobrol dan bermain gawai.
Masalah kondusivitas siswa ini sesuai dengan hasil penelitian Putri (2018) yang
menyatakan bahwa salah satu kendala dalam pelaksanaan kegiatan literasi yaitu masih
ada siswa yang malas dan acuh pada saat kegiatan literasi berlangsung.

c. Partisipasi Seluruh Guru


Dari ketiga sekolah, salah satu masalah yang selalu muncul adalah mengenai
partisipasi seluruh guru. Rata-rata dari ketiga sekolah ini yang berpartisipasi aktif hanya
guru yang menangani literasi saja. Dan jumlah guru yang menangani literasi hanya
sedikit, di setiap sekolah yang benar-benar aktif hanya sekitar 2-3 orang guru. Sementara
guru lain sebagian besar mendukung namun belum turut serta berpartisipasi aktif.
Terdapat sebagian guru di salah satu sekolah yang memanfaatkan kegiatan membaca 15
menit untuk dapat “rehat sejenak”, padahal idealnya kegiatan ini dapat dibimbing dan
difasilitasi oleh seluruh guru. Hal ini juga berkaitan dengan masalah kondusivitas siswa,
dimana guru kurang mengawasi sehingga siswa kurang kondusif saat pelaksanaan
kegiatan literasi.

Guru juga diharapkan dapat menjadi suri tauladan yang baik bagi siswa. Apabila
diharapkan siswa memiliki minat baca yang baik, maka hal tersebut dapat dicontohkan
terlebih dahulu oleh guru. Dengan menunjukkan bahwa guru memiliki kebiasaan
membaca yang baik, maka siswa pun akan mencontoh hal tersebut.

d. Sarana Prasarana
Masalah selanjutnya yaitu berkenaan dengan sarana prasarana, khususnya wifi
sebagai penunjang literasi digital. Ketersediaan sarana seperti computer dan sebagainya
di ketiga sekolah secara umum telah memadai, namun yang menjadi masalah adalah
jaringan wifi, karena beban internet yang besar.

Dari berbagai Kendala dalam pelaksanaan GLS di ketiga sekolah, terdapat pula
beberapa upaya yang sama, diantaranya:
a. Menyusun program literasi untuk masuk ke dalam tupoksi semua guru dan diajukan
ke kepala sekolah
b. Melakukan sosialisasi mengenai pemahaman literasi kepada seluruh guru, seluruh
siswa, dan seluruh warga sekolah sehingga seluruh warga sekolah sadar pentingnya
literasi dan mau membangun literasi bersama. Upaya ini sesuai dengan upaya yang

9
dikemukakan Indartiningsih (2018) yaitu perlu adanya dukungan seluruh warga
sekolah.

Upaya Gerakan Literasi Sekolah untuk Meningkatkan Minat Baca


Dari hasil wawancara, para siswa dari ketiga sekolah mengalami peningkatan minat
baca setelah dilaksanakannya GLS. Hal tersebut terlihat dari kebiasaan siswa yang jadi
sering membaca dan juga nilai raport siswa yang baik (SMK Negeri 9 Bandung). Hal ini
sesuai dengan hasil kuisioner mengenai minat baca peserta didik. Hal ini juga sesuai
dengan hasil penelitian Santoso dkk (2017) yang menyatakan terdapat pengaruh yang
signifikan antara Gerakan Literasi Sekolah dengan minat baca peserta didik.

Sementara itu upaya selain GLS yang dilakukan untuk meningkatkan minat baca
peserta didik yang terdapat di ketiga sekolah yaitu menumbuhkan pemahaman mengenai
literasi kepada seluruh guru dan mengajak seluruh guru untuk berpartisipasi
meningkatkan minat baca peserta didik dengan cara memotivasi peserta didik. Upaya ini
sesuai dengan upaya-upaya dalam pelaksanaan kegiatan literasi yang disebutkan Putri
(2018) yaitu diantaranya peningkatan peran guru dan sekolah terus memotivasi siswa
untuk ikut serta dalam kegiatan literasi.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Kesimpulan

1. SMK Negeri 3 Bandung, SMK Negeri 9 Bandung, dan SMK Negeri 13 Bandung
telah menerapan Gerakan Literasi Sekolah. Tahapan GLS di SMK Negeri 3 Bandung
dan SMK Negeri 9 Bandung yaitu pembelajaran, sedangkan tahapan GLS di SMK
Negeri 13 Bandung yaitu pengembangan. Secara umum di ketiga sekolah, GLS
Berbasis Kelompok telah diterapkan, namun tidak selalu, kadang juga individual. Di
ketiga sekolah juga telah terdapat komunitas literasi yang membuat pelaksanaan GLS
menjadi lebih efektif.
2. Kondisi minat baca peserta didik di SMK Negeri 3 Bandung, SMK Negeri 9
Bandung, dan SMK Negeri 13 Bandung secara umum berada pada kondisi baik,
didukung pula oleh indikator-indikatornya.

10
3. Kendala mengenai pelaksanaan GLS yang selalu muncul di ketiga sekolah antara lain
terbatasnya waktu, rendahnya kondusivitas siswa, kurangnya partisipasi seluruh
guru, dan belum memadainya sarana prasarana khususnya ketersediaan internet.
4. Upaya GLS untuk meningkatkan minat baca yang telah dilakukan oleh ketiga
sekolah antara lain menyusun pengajuan program literasi ke kepala sekolah,
melakukan sosialisasi mengenai pemahaman literasi, dan mengajak seluruh guru
untuk berpartisipasi meningkatkan minat baca.

Rekomendasi

1. Salah satu model alternatif yang dapat diterapkan untuk meningkatkan efektivitas
GLS adalah GLS Berbasis Kelompok. Model ini juga dirasa efektif dan efisien untuk
mengatasi masalah utama dalam pelaksanaan GLS, yaitu terbatasnya waktu.
2. Setiap pendidik yang menjadi panutan juga perlu menginspirasi siswa dalam hal
senang membaca, menumbuhkan minat siswa dalam membaca dicontohkan oleh
kebiasaan pendidik.
3. Penting untuk meningkatkan kapasitas semua pendidik dalam hal kemampuan
literasi sehingga kegiatan literasi dapat diintegrasikan dalam setiap mata pelajaran
4. Kolaborasi yang baik diperlukan antara semua pemangku kepentingan di bidang
pendidikan (sekolah, pengawas, Dinas Pendidikan, orang tua siswa, dan masyarakat)
5. Perlu ada evaluasi implementasi GLS yang dilakukan secara berkala dan dipantau
dengan benar.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, A. (2014). Desain Sistem Pembelajaran dalam Konteks Kurikulum 2013.


Bandung: Refika Aditama.

11
Beers et al. (2009). A Principal’s Guide to Literacy Instruction. New York: Guilford
Press.
Creswell, J.W. (2010). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Diana dkk. (2015). Profil Kemampuan Literasi Sains Siswa SMA Berdasarkan Instrumen
Scientific Literacy Assessment (SLA). Seminar Nasional XII Pendidikan Biologi
FKIP UNS 2015.
Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Provinsi Jawa Barat. (2018). Rangkuman
Indeks Membaca Masyarakat Jawa Barat.
Fadholi dkk. (2015). Analisis Pembelajaran Matematika dan Kemampuan Literasi serta
Karakter Siswa SMK. Unnes Journal of Mathematics Education Research, 4 (1).
Hartanti, A.N. (2013). Hubungan Minat Membaca Siswa dengan Prestasi Belajar Siswa
Program Studi Keahlian Jasa Boga di SMKN 1 Sewon Tahun 2012/2013. Skripsi.
Yogyakarta: UNY.
Huda, M. (2013). Cooperative Learning: Metode, Teknik, Struktur, dan Metode Terapan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Indartiningsih. (2018). Evaluasi Pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah di SMK Negeri 4
Purworejo. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan.
Julianti, U. (2019). Membaca dan Gerakan Literasi Sekolah. [Online]. Tersedia di:
https://dpk.bantenprov.go.id/read/informasi-perpustakaan/601/MEMBACA-DAN-
GERAKAN-LITERASI-SEKOLAH.html

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2016). Manual Pendukung Pelaksanaan


Gerakan Literasi Sekolah untuk Jenjang Sekolah Menengah Pertama.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2016). Panduan Gerakan Literasi Sekolah di
Sekolah Menengah Kejuruan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2018). Desain Induk Gerakan Literasi
Sekolah.
Kharizmi, M. (2015). Kesulitan Siswa Sekolah Dasar dalam Meningkatkan Kemampuan
Literasi. Jurnal Pendidikan Dasar.
Moleong, L.J. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Putri, R.J. (2018). Kajian Gerakan Literasi Sekolah untuk Menumbuhkan Civic Skill
pada Siswa melalui Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Skripsi.
Bandung: UPI.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2018-2023.
Santoso dkk. (2018). Pengaruh Program Gerakan Literasi Sekolah terhadap Minat Baca
Peserta Didik SMA Negeri 2 Gadingrejo. Jurnal Kultur Demokrasi.
Slavin, R.E. (2009). Cooperative Learning: Metode, Teknik, Struktur, dan Metode
Terapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

12
Sutini. (2010). Upaya Meningkatkan Minat Baca Siswa Kelas III Sekolah Dasar. Jurnal
Kependidikan Interaksi.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Yanto dkk. (2016). Model Aktivitas Gerakan Literasi Berbasis Komunitas di Sudut Baca
Soreang. Jurnal Kajian Informasi dan Perpustakaan.

13

Anda mungkin juga menyukai