Anda di halaman 1dari 4

01: Menyambut Ramadhan dengan Saling

Memaafkan
Rumah tangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, pernah diterpa badai masalah yang
sangat berat. Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha, dituduh selingkuh. Ketika itu, orang-orang
munafik menyebarkan hadīṡul ifki (berita bohong) secara masif.

Sehingga banyak orang yang ikut-ikutan memviralkan berita hoaks di tengah masyarakat
Madinah. Salah satunya adalah Misthah bin Utsatsah. Padahal, Misthah adalah kerabat dekat
yang sering dibantu oleh Abu Bakar ash-Shiddiq.

Tidak lama kemudian, wahyu turun membebaskan Aisyah dari tuduhan itu. Abu Bakar, merasa
sangat bahagia karena putrinya dibela langsung oleh Allah.

Tapi, Abu Bakar masih merasa kecewa terhadap Misthah lantaran keterlibatannya dalam
penyebaran berita dusta. Gegara itu, Abu Bakar pun berniat untuk memberhentikan bantuan
kepada Misthah.

Maka Allah memberi teguran dengan halus kepada Abu Bakar,

‫َواَل يَْأتَ ِل اُولُو ْالفَضْ ِل ِم ْن ُك ْم َوال َّس َع ِة اَ ْن يُّْؤ تُ ْٓوا اُولِى ْالقُرْ ٰبى َو ْال َم ٰس ِك ْينَ َو ْال ُم ٰه ِج ِر ْينَ فِ ْي َسبِ ْي ِل هّٰللا ِ َۖو ْليَ ْعفُوْ ا َو ْليَصْ فَحُوْ ۗا اَاَل تُ ِحبُّوْ نَ اَ ْن‬
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
ِ ‫يَّ ْغفِ َر ُ لَ ُك ْم ۗ َو ُ َغفُوْ ٌر ر‬
‫َّح ْي ٌم‬

Wa lā ya`tali ulul-faḍli minkum was-sa’ati ay yu`tū ulil-qurbā wal-masākīna wal-muhājirīna fī


sabīlillāhi walya’fụ walyaṣfaḥụ, alā tuḥibbụna ay yagfirallāhu lakum, wallāhu gafụrur raḥīm

“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu
bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang
miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan
berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nur: 22)

Setidaknya ada dua faedah yang bisa kita ambil dari ayat di atas;

Pertama, memaafkan adalah perbuatan yang lebih mulia daripada memendam rasa kecewa.

Kedua,dengan memaafkan sesama, Allah akan mengampuni semua dosa-dosa kita.

Perintah Memaafkan Kesalahan Sesama dalam Al-Quran


Dalam kehidupan sehari-hari, kita pasti pernah menyakiti atau disakiti oleh orang lain.

Baik itu disengaja atau tidak, kalimat yang kita ucapkan terkadang menyinggung perasaan orang
lain.
Begitu pula sebaliknya, boleh jadi seseorang membuat kita merasa jengkel. Kata-kata yang
diucapkan, serta tindak tanduk yang dilakukan, telah merusak kenyamanan hati kita.

Nah, dalam kondisi seperti ini, Islam mengajarkan umatnya agar menjadi pribadi yang pemaaf.

Perintah untuk memaafkan kesalahan orang lain banyak disebutkan dalam al-Quran. Salah
satunya yang paling berkesan ada di surah al-A’raf: 199 yang berbunyi,

ِ ْ‫ُخ ِذ ْال َع ْف َو َوْأ ُمرْ بِ ْالعُر‬


َ‫ف َواَ ْع ِرضْ ع َِن ْال ٰج ِهلِ ْين‬

Khużil-’afwa wa`mur bil-’urfi wa a’riḍ ‘anil-jāhilīn

“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-
orang yang bodoh.”

Tinjauan bahasa perintah saling memaafkan dalam QS. al-A’raf: 199

Apa maksud ayat di atas?

Kata khuż atau ambillah bermakna memperoleh sesuatu untuk dimanfaatkan. Dalam kata ini,
terkandung arti memilih dari sekian banyak pilihan.

Artinya, Allah memerintahkan manusia–melalui kata khuż–untuk memilih memaafkan kesalahan


orang lain dibandingkan sikap-sikap lain yang mungkin dilakukan seperti membalas, marah,
mengamuk, atau menyimpan dendam kesumat.

Kemudian, maaf yang dimaksud dalam ayat ini bukanlah sekedar ucapan belaka, melainkan
memaafkan dengan sepenuh hati.

Kata al-’afwu atau maaf diambil dari akar kata yang terdiri dari huruf ’ain, fa,dan waw. Akar ini
memiliki dua kemungkinan makna, yakni meninggalkan sesuatu dan memintanya.

Dari sini, kita dapat memahami bahwa seseorang yang telah memaafkan kesalahan orang lain
berarti ia benar-benar meninggalkan (menghapus) kesalahan tersebut. Tidak mengungkit-
ungkitnya kembali.

Tafsir surah al-A’raf ayat 199

Sangat menarik pemaparan al-Biqa’i rahimahullah ketika mentadaburi potongan ayat khuż


al-’afwa, yakni; ambillah apa yang telah Allah anugerahkan, tanpa bersusah payah menyulitkan
diri.

Dengan kata lain surah al-A’raf ayat 199 memerintahkan kita untuk menganggap enteng
kesalahan orang lain, tidak membesar-besarkannya, dan memaafkan dengan tulus bahkan
sebelum orang yang bersangkutan meminta maaf.
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya berkesimpulan bahwa ayat ini
merangkum berbagai sikap terpuji dalam bersosialisasi di masyarakat; mulai dari berinteraksi
dengan baik seperti memaafkan orang lain, tidak saling bertikai, hingga memerintahkan segala
perbuatan baik dan mencegah berbagai tindakan keburukan (saling mengingatkan dalam
ketakwaan).

Keutamaan Saling Memaafkan Kesalahan Sesama


Dalam kitab Mausu’ah min Akhlaqir-Rasul, Syaikh Mahmud al-Mishri berkata bahwa saling
memaafkan adalah pintu terbesar menuju terciptanya rasa saling mencintai antara sesama
manusia, “Jika orang lain mencerca kita, sebaiknya kita membalasnya dengan
memberi  maaf  dan perkataan yang baik.”

Allah subhanahu wata’ala berfirman,


ٰ ُّ‫وج ٰۤزُؤا سيَِّئ ٍة سيَِّئةٌ م ْثلُها ۚفَم ْن َعفَا واَصْ لَح فَاَجْ رُه َعلَى هّٰللا ۗانَّهٗ اَل يُحب‬
َ‫الظّلِ ِم ْين‬ ِ ِ ِ ٗ َ َ َ َ ِّ َ َ َ َ

Wa jazā`u sayyi`atin sayyi`atum miṡluhā, fa man ‘afā wa aṣlaḥa fa ajruhụ ‘alallāh, innahụ lā
yuḥibbuẓ-ẓālimīn

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa memaafkan
dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia
tidak menyukai orang-orang zalim.” (QS. Asy-Syura: 40)

Dari ayat di atas, dapat kita simpulkan bahwa memaafkan adalah ciri orang-orang shalih.

Demikianlah. Al-Quran memberi petunjuk meskipun seseorang telah sengaja menzalimi kita,
menyakiti kita baik dengan perkataan atau perbuatan, tetap harus dibalas dengan kebaikan.

َ ِ‫صبَ َر َو َغفَ َر اِ َّن ٰذل‬


‫ك لَ ِم ْن ع َْز ِم ااْل ُ ُموْ ِر‬ َ ‫َولَ َم ْن‬

Wa laman ṣabara wa gafara inna żālika lamin ‘azmil-umụr

“Tetapi barang siapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk perbuatan
yang mulia.” (QS. Asy-Syura: 43)

Maka dari itu, di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, marilah kita awali dengan niat
memperbaiki diri. Dimulai dengan bertobat kepada Allah dan saling memaafkan kesalahan
sesama. Karena salah satu ciri orang bertakwa adalah, dia yang mudah memaafkan.

َ‫اس َوهّٰللا ُ ي ُِحبُّ ْال ُمحْ ِسنِ ْي ۚن‬ ۤ َّ ‫الَّ ِذ ْينَ يُ ْنفِقُوْ نَ فِى ال َّس ۤ َّرا ِء وال‬
ِ ۗ َّ‫ض َّرا ِء َو ْال ٰك ِظ ِم ْينَ ْال َغ ْيظَ َو ْال َعافِ ْينَ َع ِن الن‬ َ

Allażīna yunfiqụna fis-sarrā`i waḍ-ḍarrā`i wal-kāẓimīnal-gaiẓa wal-’āfīna ‘anin-nās, wallāhu


yuḥibbul-muḥsinīn.
“(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang
menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang
berbuat kebaikan.” (QS. Ali Imran: 134)

Inti dari memaafkan adalah memperbaiki hubungan. Dan ini menjadi pertanda keimanan. Nabi
bersabda,

‫ْأ‬ ‫ْأ‬
ِ َّ‫اس َأ ْنفَ ُعهُ ْم لِلن‬
‫اس‬ ِ َّ‫ َوخَ ْي ُر الن‬، ُ‫ َواَل يُْؤ لَف‬، ُ‫ َواَل خَ ي َْر فِي َم ْن اَل يَ لَف‬، ُ‫ْال ُمْؤ ِمنُ يَ لَفُ َويُْؤ لَف‬

“Seorang mukmin itu mau menjalin hubungan baik dengan sesama. Tidak ada kebaikan bagi
yang tidak mau memperbaiki hubungan. Dan sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi
orang lain.” (HR. Ath-Thabarani dalam Mu’jam al-Ausath no. 5783; HR. Al-Haitsami no.
13096. Al-Haitsami berkata: diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Bazzar, rijal Ahmad adalah rijal
yang shahih) Wallahu a’lam

Penulis: Muhammad Faishal Fadhli


Editor: Ahmad Robith

Anda mungkin juga menyukai