Anda di halaman 1dari 16

Transformasi Konflik Dalam Pandngangan Rekonsiliasi

Diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah transformasi Konflik

Dosen Pengampu : Muchammad Ismail, S.Sos.,MA

Disusun Oleh:
Aulia Nur Aini (10040120076)
Holipah (10040120083)
Nadia alvita rahma (10040120089)
Ricky Aji Pradana (10010120022)
Rizqullah Apta Permana (10020120062)
Viga Zulfa Amalia Putri Amaroz (10040120095)

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt, yang telah memberkahi
hidup serta dilimpahkan kesehatan jasmani dan rohani, sehingga kita dapat menyelesaikan tugas
makalah Politik Lingkungan dengan judul “Transformasi konflik Dalam Pandagan
Rekonsiliasi ”
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Dosen pengampu Bapak Muchammad
Ismail, S.Sos.,MA yang telah membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini. Sahabat-
sahabat kelas serta semua pihak yang telah memberikan nasehat kepada kami dalam menyusun
makalah ini, sehingga dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan bisa dimanfaatkan isi
dan makna dalam makalah ini, dan kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata dan
kesalahan adalah milik manusia. Begitupun dalam penulisan makalah ini,kami menyadari bahwa
makalah ini jauh dari kata sempurna. Terdapat banyak kesalahan dan kekurangan dalam
penulisannya maupun tatanan bahasanya. Maka dari itu kami membutuhkan kritik dan saran yang
dapat membangun demi perbaikan makalah ini.

Surabaya, 28 Mei 2023

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................................................. 2


DAFTAR ISI.................................................................................................................................. 3
BAB I .............................................................................................................................................. 4
Pendahuluan .................................................................................................................................. 4
A. Latar Belakang ..................................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 6
C. Tujuan Penelitian ................................................................................................................. 6
BAB II ............................................................................................................................................ 7
PEMBAHASAN ............................................................................................................................ 7
A. Transtitional Justice Dan Human Right ............................................................................ 7
B. rekonsilasi urgensi, isu, serta perdebatan dalam rekonsilasi ........................................... 9
C. aspek rekonsilasi dari level, aktor dan metode rekonsilasi ............................................ 11
D. Studi kasus Timor Leste dalam Rekonsiliasi ................................................................... 13
BAB III ......................................................................................................................................... 15
PENUTUP .................................................................................................................................... 15
A. Kesimpulan ......................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 16
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konflik sosial yang pernah terjadi di tanah air menandai sejarah perjalanan bangsa bahwa negeri
nusantara telah mengalami keretakan sosial. Sebagaimana konflik horizontal yang terjadi di
beberapa wilayah di Indonesia tidak lepas dari pertikaian kelompok-kelompok sosial khususnya
pada konflik-konflik komunal berbasis etnis dan agama sebagai identitas sosial yang selalu
diboncengi. Namun, pasca konflik komunal itu berakhir, baru disadari bahwa masalah baru yang
dihadapi adalah hancurnya tatanan sosial seperti memudarnya ikatan-ikatan primordial, putusnya
ikatan kekerabatan dan kekeluargaan, immoralitas, lunturnya kepercayaan, hilangnya norma-
norma kooperatif dan runtuhnya nilai-nilai sosial lokal yang menjadi modal sosial (social capital)
masyarakat. Memasuki periode rekonsiliasi pasca konflik, wilayah-wilayah yang pernah dilanda
konflik komunal seperti Maluku, Kalimantan Barat, Papua, maupun Poso masih terus menempuh
jalan keluar untuk menemukan perdamaian agar dapat menata kembali tatanan sosial yang timpang
selama konflik komunal.

Upaya yang mesti ditempuh untuk mengembalikan tatanan sosial pasca konflik adalah dengan
mendorong proses perdamaian berkelanjutan. Trijono (2007), mengarahkan proses pembangunan
pasca konflik dengan berinisiatif bahwa upaya membangun kembali masyarakat pasca konflik,
yakni dengan mendorong proses perdamaian berkelanjutan (rekonsiliasi) dan menentukan
pendekatan peka konflik berbasis perdamaian. Idealnya sebuah rekonsiliasi masyarakat pasca
konflik adalah harus dapat mencegah dan menghentikan kekerasan. Namun menurut Trijono
bahwa berbagai upaya rekonsiliasi konflik yang telah dilakukan selama ini adalah cenderung
bersifat topdown, dengan sarana yang minim dan kebijakan yang belum sistematis, sehingga
dianggap belum sepenuhnya menyentuh akar konflik serta dampak sosial pasca konflik.
Kecenderungan rekonsiliasi konflik yang masih top-down membawa masyarakat pada posisi
sebagai objek tanpa mampu membangun kesadaran rekonsiliasi yang bersumber dari potensi
masyarakat itu sendiri.
Rekonsiliasi sejatinya adalah kolaborasi pembangunan perdamaian antara pemegang kebijakan
dan masyarakat sebagai subjek sehingga memunculkan sinergitas pembangunan perdamaian yang
berkelanjutan. Miall, et. al. (2000), mengatakan bahwa rekonsiliasi merupakan proses jangka
panjang untuk mengatasi permusuhan dan rasa saling tidak percaya diantara dua kelompok yang
berkonflik. Senada dengan Tina Pulubuhu (2005) yang mengatakan bahwa rekonsiliasi adalah
salah satu mekanisme transformasi konflik, di mana pihak yang berkonflik diharapkan mampu
menimbulkan situasi saling melupakan dan saling memaafkan atas peristiwa konflik yang terjadi.
Membangun kembali perdamaian masyarakat pasca konflik hanya dapat dilakukan melalui
penguatan modal sosial (social capital) yang dimulai dari membangun modal sosial utama yakni
kepercayaan (trust) antar masyarakat. Trust merupakan salah satu modal sosial diantara yang
sangat urgen dalam upaya rekonsiliasi masyarakat pasca konflik, serta merupakan sarana ideal
untuk menciptakan kembali perdamaian berkelanjut an. Hasbullah (2006) berpendapat bahwa trust
merupakan salah satu elemen fundamental untuk menentukan modal sosial masyarakat, karena
trust memiliki kekuatan penggerak energi kolektif yang besar dan penting dalam keberlangsungan
masyarakat. Dengan demikian, trust adalah energi pembangunan masyarakat. Trijono (2007)
kemudian meyakini bahwa modal sosial (trust) dapat menjadi salah satu kekuatan sosial penting
yang mampu menghidupkan dan membangun kembali sistem kekerabatan dan rasa kekeluargaan
masyarakat pasca konflik. Karena itu, urgen untuk membangun kembali perdamaian berbasis
modal sosial (trust). Trust dengan demikian dilihat sebagai proses pendorong berlangsungnya
perdamaian dan pembangunan pasca konflik (komunal).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Keadilan dan hak asasi manusia yang didapatkan dalam rekonsiliasi itu ?
2. Bagaimana urgensi, isu serta perdebatan dalam rekonsilasi?
3. Bagaimana aspek serta level aktor dan metode dalam rekonsilasi?
4. Bagaimana rekonsiliasi ini dapat menanggulani konflik dari timur leste?

C. Tujuan Penelitian
1. Dapat Mengetahui Keadilan dan hak asasi manusia yang didapatkan dalam rekonsiliasi
2. Dapat mengetahui urgensi, isu serta perdebatan dalam rekonsilasi
3. Dapat menggambarkan aspek serta level aktor dan metode dalam rekonsilasi
4. Dapat Mengetahui rekonsiliasi bekerja untuk menanggulani konflik dari timur leste
BAB II

PEMBAHASAN
A. Transtitional Justice Dan Human Right
Keadilan transisi (Transitional Justice) adalah sebuah rangkaian lengkap berupa proses dan
mekanisme terkait dengan upaya masyarakat untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di masa
lampau, dengan tujuan untuk memastikan akuntabilitas, menyediakan keadilan dan mencapai
rekonsiliasi. Proses dan mekanisme keadilan transisi merupakan suatu komponen yang sangat
penting untuk memperkuat aturan hukum yang berlaku.1
Kerangka kerja keadilan transisi (transitional Justice) adalah sebuah alat yang dapat
membantu dalam mengembangkan dan menerapkan strategi efektif yang berhubungan dengan
sejarah kejahatan massal. Kerangka ini terdiri dari empat pilar: pencarian kebenaran, menuntut
mereka yang bertanggung jawab untuk diadili, membantu memperbaiki hidup dan martabat korban
(reparasi), dan memberikan jaminan agar pelanggaran HAM tidak akan terjadi lagi (reformasi
institusi). Unsur-unsur tersebut saling bergantung antara satu dengan lainnya, sehingga pendekatan
harus dilakukan secara menyeluruh dan holistik. Inisiatif berbeda harus dilakukan secara berurutan
agar pendekatan tersebut sesuai dengan konteksnya. Pendekatan sensitif seperti jender dibutuhkan
untuk memahami bagaimana dampak kekerasan pada laki-laki dan perempuan berbeda dan
menjamin keikutsertaan dari masyarakat yang rentan dan terpinggirkan.
Bentuk Keadilan Transisional Di dalam keadilan transisional, menurut Suparman Marzuki
terdapat 5 bentuk keadilan transisional, yaitu:2
1. Keadilan Pidana: Bertujuan untuk memulihkan hak setiap orang untuk mendapatkan
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum dan perlakuan hukum yang sama
di depan hukum (equality before the law). Diwujudkan dalam bentuk penghukuman.
Penjelasan dari keadilan pidana ini dapat dilihat dalam paparan jalur penal di bawah ini.

1
Guidance Note of the Secretary-General: United Nations Approach to Transitional Justice ("Guidance Note"), 2010,
hal. 2, https://www.un.org/ruleoflaw/files/TJ_Guidance_Note_March_2010FINAL.pdf.
2
Suparman Marzuki, “Robohnya Keadilan, Politik Hukum HAM Di Era Reformasi”, (Yogyakarta: PUSHAM UII,
2011), hal. 23-25.
2. Keadilan Historis: Berupa pengungkapan kebenaran suatu peristiwa kemanusiaan yang
terjadi pada masa rejim represif, sebagai keadilan yang harus diungkap dan diketahui
sebagai pelajaran.
3. Keadilan Reparasi: Berupa keadilan yang memandang ke belakang, yang merujuk pada
kesalahan yang dilakukan rejim masa lalu, mencakup pemulihan, ganti rugi material,
pengembalian nama baik, kompensasi, restitusi, rehabilitasi dan pemberian tanda mata.
4. Keadilan Administratif: Keadilan ini memiliki fungsi sebagai pelengkap keadilan pidana
(yang bertjuan menghukum pelaku), karena keadilan pidana sering gagal menghukum
pelaku. Keadilan administrative berwujud: tindakan penyingkiran secara sistematis
kelompok-kelompok tertentu yang terlibat dalam pemerintahan rejim otoriter secara
keseluruhan dari pemerintahan baru.
5. Keadilan Konstitusional: Runtuhnya rejim lama (otoriter) diikuti dengan perubahan
konstitusi lama, berupa:
a) Penetapan prinsip-prinsip kehidupan bernegara dan berbangsa yang demokratis;
b) Pencegahan munculnya lagi rezim otoriter yang represif, terjaminnya rule of law, serta
diakui dan dihormatinya hak-hak asasi manusia dan kebebasan fundamental warga.
Kelima bentuk keadilan transisional tersebut dapat dilakukan ketika terjadi peralihan
kekuasaan dari rejim lama (otoriter dan represif) kepada rejim baru yang demokratis.
Realisasi dari ke-5 bentuk keadilan transisional tersebut sebenarnya merupakan wujud dari
pertanggungjawaban negara untuk menyelidiki dan menentukan fakta-fakta, sehingga
kebenaran diketahui dan dijadikan sejarah suatu bangsa.
Human Rights
Menurut Kamus Inggris Indonesia oleh John M. Echolds dan Hassan Shadily, kata human
sebagai kata sifat berarti bersifat manusia/manusiawi. Jadi, terjemahan ‘human rights’ dalam
bahasa Indonesia adalah hak manusiawi.3Dalam buku panduan resmi dari PBB yang disusun oleh
Office of the High Commissioner for Human Rights yang berjudul Human Rights: A Basic
Handbook for UN Staff, United Nations, halaman 2, dikatakan ”Hak manusiawi pada umumnya
dimengerti sebagai hak yang inheren bagi manusia”.4

3
Donny Michael, “Implementasi Undang-Undang Narkotika Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia”, Jurnal
Penelitian Hukum DE JURE 18, no. 3 (2018): 415 – 432
4
Office of the High Commissioner for Human Rights yang berjudul Human Rights: A Basic Handbook for UN
Staff, (United Nation, tanpa tempat penerbitan dan tahun), 2
Senada dari itu, United Nations Human Rights Office menerangkan lebih lanjut mengenai
hak manusiawi ini, ”Hak manusiawi adalah hak yang kita miliki semata-mata karena kita ada
sebagai manusia”. Oleh karena manusia adalah manusia, maka manusia mempunyai hak itu. Tentu
saja binatang tidak mempunyai hak manusiawi. Hak itu ada bersama dengan adanya manusia dan
berakhir dengan berakhirnya manusia. Ia ada sejak awal hidup sampai dengan kematiannya. 5
Jadi, keberadaan hak itu inheren dalam diri manusia. Hak itu tidak ditambahkan atau
diberikan oleh suatu institusi, negara, atau manusia mana pun, tetapi ada sebagai suatu yang
melekat erat pada manusia. Hak itu tidak bisa dipisahkan dari kodratnya sebagai manusia karena
menjadi bagian tetap manusia.
Oleh karena itu, hak manusiawi itu sama bagi semua orang dan bersifat universal karena
semua manusia itu sama martabatnya. Yang bisa terjadi ialah bahwa semua orang mempunyai hak
manusiawi yang sama, tetapi ada sebagian hak itu tidak diakui keberadaannya oleh suatu institusi
atau manusia. Tetapi, keberadaannya tidak tergantung pengakuannya. Diakui atau tidak, hak itu
tetap ada bersama dengan adanya manusia.

B. rekonsilasi urgensi, isu, serta perdebatan dalam rekonsilasi


 Rekonsiliasi

Rekonsiliasi adalah sebuah istilah umum yang sering dipakai untuk menata kembali atau
memperbaiki situasi di mana konflik sedang terjadi.Istilah rekonsiliasi berasal dari bahasa latin,
yaitu concilium, yang berarti mengandaikan suatu dengan sengaja, dan pihak-pihak yang
berseteru, bertemu dengan membahas pandangan mereka yang berbeda dan mencapai kesepakatan
bersama.Rekonsiliasi menjadi sesuatu yang sangat penting saat terjadi konflik untuk
menumbuhkan rasa tali persaudaraan dan kekeluargaan dalam kehidupan sosial
masyarakat.Rekonsiliasi merupakan suatu strategi dalam mengakhiri konflik dan untuk
menciptakan kedamaian.Rekonsiliasi terjadi karena adanya konflik pada individu atau kelompok
tertentu dalam suatu permasalahan.Biasanya terjadi karena adanya dua perspektif yang beradu
kemudian akan terjadi konflik dan konflik tersebut diselesaikan dengan rekonsiliasi atau
memulihkan atau mengembalikan hubungan antar individu agar terciptanya suatu kedamaian.

5
Carolus Boromeus Kusmaryanto, “Hak Asasi Manusiaatau Hak Manusiawi? (Fundamental Human Rights or Human
Rights”, Jurnal Ham Volume 12, Nomor 3, Desember 2021
 Urgensi

Tindakan rekonsiliasi tergantung pada fase konfliknya.Jika fase konfliknya masih laten, maka
perlu dilakukan peace building dengan kegiatan preventif konflik.Di dalamnya setiap usaha
menciptakan keadilan sosial menjadi sangat penting.Pada saat konflik bereskalasi, maka
pencegahan konflik yang ditingkatkan dengan berbagai kegiatan lintas komunitas.Jika konflik
sudah mencapai puncaknya, maka program humanitarian bisa dipergunakan untuk mengawali
upaya-upaya rekonsiliasi seiring dengan tindakan keamanan untuk menghentikan kekerasan.

Sasaran rekonsliasi harus mencakup partisipan tingkat elite, menengah dan grass roots dari
kalangan pihak-pihak, stake holder, pihak netral, dan pihak yang rawan karena adanya
konflik.Kelompok terakhir ini perlu diperhatikan lebih serius untuk menarik posisi netral.Yang
berada di posisi netral dikembangkan menjadi kelompok inti rekonsiliasi untuk memperluas zona
damai.Kelompok inti adalah kelompok yang berisikan warga yang bisa menjadi
penggerak.Kelompok ini dimampukan terlebih dahulu dalam porsi yang lebih besar, meskipun
jumlah mereka biasanya sedikit saat konflik mencapai fase keterjebakan.Pembekalan yang lebih
baik dilakukan agar kompetensi dan kepercayaan pada diri mereka tumbuh agar yakin bahwa
mereka dapat berbuat untuk memperbaiki keadaan.

 Perdebatan saat Rekonsiliasi

Upaya membangun kembali perdamaian pasca konflik komunal merupakan proyek besar tidak
hanya bagi pemerintah selaku lembaga legitimasi politik, tetapi juga bagi masyarakat yang
mengalami peristiwa konflik. Membangun kembali perdamaian pasca konflik ini diartikan sebagai
upaya menata dan menguatkan kembali norma-norma dan nilai-nilai perdamaian yang dimiliki
sendiri oleh masyarakat. Sejalan dengan pengertian definisi rekonstruksi Fukuyama (2014), yakni
suatu upaya untuk menata kembali kebajikan-kebajikan sosial seperti rasa saling percaya (trust),
kejujuran, kearifan, kekerabatan dan kekeluargaan, penerimaan sosial dan kerjasama. Dengan
demikian, membangun perdamaian bertujuan untuk mensinergikan antara proses rekonsiliasi yang
dilakukan oleh pemerintah dengan potensi-potensi perdamaian masyarakat. Namun, upaya
membangun kembali perdamaian pasca konflik komunal ini seringkali menghadapi tantangan
besar berupa kesenjangan perdamaian. Seperti Trijono (2009), yang menemukan bahwa
kesenjangan perdamaian dapat terjadi disebabkan oleh beberapa faktor seperti, lemahnya
pencapaian perdamaian (peace making) atau kesepakatan damai (peace accord / aggrement)
dicapai, lemahnya kelembagaan dan implementasi pembangunan perdamaian berlangsung di
masyarakat, dan beratnya dampak atau beban masalah dihadapi akibat konflik di masa lalu.

Rekonsiliasi masyarakat pasca konflik merupakan sebuah keharusan mengingat bahwa


perdamaian adalah kenyataan kenyataan ideal begi masyarakat pasca konflik. Yang dimaksud
membangun perdamaian melalui rekonsiliasi berbasis trust adalah sebuah upaya merajut kembali
suasana kekerabatan dan kekeluargaan masyarakat yang semula berkonflik melalui penguatan trust
antar masyarakat, sehingga trust menjadi pegangan dan instrument setiap anggota masyarakat
dalam kehidupan bermasyarakat pasca konflik komunal. Rekonsiliasi berbasis trust ini bertujuan
untuk membudayakan kembali sifat masyarakat yang bercorak individualistik dan hanya
mementingkan kelompok sendiri menjadi masyarakat bercorak familistik dengan merujuk pada
kepentingan bersama tanpa membedakan golongan. Trust merupakan nilai yang dipegang oleh
setiap anggota masyarakat untuk berlangsungnya rekonsiliasi pasca konflik. Hanya melalui trust,
masyarakat dapat membangun dirinya, karena trust adalah warisan yang lahir, tumbuh dan berakar
dari nilai-nilai yang melekat pada budaya komunitas (Fukuyama dalam Hasbullah, 2006).

C. aspek rekonsilasi dari level, aktor dan metode rekonsilasi


Aspek rekonsiliasi merupakan proses penting dalam kegiatan akuntansi dan pelaporan keuangan.
Beberapa aspek utama dalam rekonsiliasi meliputi:

 Rekonsiliasi Bank: Merupakan proses membandingkan catatan transaksi perbankan


dengan catatan keuangan internal suatu entitas. Tujuannya adalah untuk memastikan
konsistensi dan keakuratan informasi keuangan terkait dengan transaksi perbankan.
 Rekonsiliasi Piutang dan Hutang: Melibatkan perbandingan antara catatan piutang dan
hutang suatu entitas dengan catatan pihak ketiga atau mitra bisnis. Tujuan utamanya adalah
untuk memastikan kesesuaian dan keakuratan saldo piutang dan hutang yang tercatat dalam
sistem akuntansi.
 Rekonsiliasi Persediaan: Melibatkan perbandingan antara catatan persediaan fisik dengan
catatan persediaan dalam sistem akuntansi. Rekonsiliasi ini bertujuan untuk memastikan
bahwa jumlah dan nilai persediaan yang tercatat dalam sistem sesuai dengan jumlah dan
nilai persediaan fisik yang ada.
 Rekonsiliasi Pendapatan dan Biaya: Melibatkan perbandingan antara catatan pendapatan
dan biaya suatu entitas dengan catatan internal atau dokumen pendukung lainnya.
Rekonsiliasi ini dilakukan untuk memastikan bahwa pendapatan dan biaya yang tercatat
dalam sistem akuntansi mencerminkan transaksi yang sebenarnya terjadi.

Aktor dalam proses rekonsiliasi dapat melibatkan beberapa pihak, antara lain:

 Tim Akuntansi/Internal Auditor: Bertanggung jawab untuk melakukan rekonsiliasi dan


memastikan keakuratan informasi keuangan dalam sistem akuntansi.
 Pihak Bank/Institusi Keuangan: Dalam rekonsiliasi bank, pihak bank atau institusi
keuangan terlibat dalam memastikan kesesuaian catatan transaksi perbankan dengan
catatan internal entitas.
 Mitra Bisnis/Pihak Ketiga: Dalam rekonsiliasi piutang dan hutang, mitra bisnis atau pihak
ketiga terlibat untuk memastikan kesesuaian dan keakuratan saldo piutang dan hutang yang
tercatat.

Metode rekonsiliasi dapat bervariasi tergantung pada jenis rekonsiliasi yang dilakukan dan
kompleksitasnya. Beberapa metode umum yang digunakan meliputi:

 Perbandingan Manual: Melibatkan perbandingan manual antara catatan internal dengan


catatan eksternal atau dokumen pendukung lainnya.
 Rekonsiliasi Elektronik: Menggunakan perangkat lunak atau sistem komputer untuk
membandingkan dan mencocokkan data secara otomatis antara catatan internal dengan
catatan eksternal.
 Penelusuran Dokumen: Melibatkan penelusuran dan pencocokan dokumen fisik atau
elektronik yang mendukung transaksi keuangan.
 Investigasi Lanjutan: Jika terdapat ketidakcocokan atau perbedaan yang signifikan,
langkah investigasi lebih lanjut dapat dilakukan untuk menemukan penyebab
ketidaksesuaian dan melakukan koreksi yang diperlukan.
Penting untuk menyesuaikan metode rekonsiliasi yang sesuai dengan kebutuhan dan kompleksitas
situasi. Pemilihan metode yang tepat akan memastikan keakuratan dan kesesuaian informasi
keuangan dalam laporan dan sistem akuntansi.

D. Studi kasus Timor Leste dalam Rekonsiliasi


Konflik yang terjadi antara Indonesia dan Timor Leste sebenarnya sudah terjadi sejak lama setelah
Indonesia melakukan aneksasi terhadap wilayah Timor Timur. Selama 24 Tahun Timor Timur
menjadi bagian dari Indonesia, telah dilaporkan banyak pelanggaran HAM yang dilakukan oleh
pemerintah Indonesia, dan salah satu yang paling parah adalah pembantaian Santa Cruz pada 1991
yang memicu kemarahan Internasional.Upaya mediasi pun akhirnya dilakukan dengan melibatkan
pihak PBB Indonesia dan Portugal.6 Proses upaya rekonsiliasi konflik antara Indonesia dan Timor
Leste dimulai pada tahun 1999 setelah puluhan tahun kekerasan dan kerusuhan politik di Timor
Timur yang saat itu masih menjadi bagian dari wilayah Indonesia. Pada tahun 1999, PBB
mengadakan referendum di Timor Leste atas permintaan dan persetujuan dari Presiden B.J.
Habibie. Referendum yang disponsori oleh PBB tersebut menunjukan hasil bahwa mayoritas
rakyat Timor Leste memilih untuk merdeka dari Indonesia, yang menyebabkan meluasnya
kekerasan dan penghancuran oleh milisi pro-Indonesia.

Hasil positif tersebut membuat dilancarkannya Operasi Guntur oleh ABRI sebagai respon dari
hasil referendum tersebut dan puncaknya adalah 80% infrastruktur di Timor Leste hancur akibat
Operasi Bumi Hangus yang dilancarkan selama Operasi Guntur atau juga dikenal sebagai Krisis
Timor Leste 1999. Respon dari ABRI ini tentunya memicu kecaman internasional dan seruan
untuk rekonsiliasi antara kedua pihak. Rekonsiliasi antara Indonesia dengan Timor Leste ditandai
dengan berdirinya Pemerintahan Administrasi Sementara PBB di Timor Leste sebagai tindak
lanjut dari Resolusi 1272 Dewan Keamanan PBB dan juga transisi Pemerintahan di Timor Leste.
Pemerintahan sementara tersebut membentuk komisi independen Comissão de Acolhimento,
Verdade e Reconciliação de Timor Leste atau dalam Bahasa Indonesia adalah Komisi Pengakuan,
Kebenaran, dan Rekonsiliasi di Timor Leste yang bertugas untuk menyelidiki pelanggaran-
pelanggaran yang dilakukan oleh kedua pihak, serta memfasilitasi rekonsiliasi antara kedua pihak.7

6
Sian Powell. 2006. UN verdict on East Timor. The Australian. Hal.2
7
Lilian A. Barria, ed., The Development of Institutions of Human Rights: A Comparative Study (Palgrave Macmillan,
2001). Hal.
Pada tahun 2002 rekonsiliasi dan penetapan wilayah perbatasan telah selesai dan di sepakati , dan
pemerintahan Administrasi Sementara PBB di Timor Leste telah berakhir dan secara resmi Timor
Leste telah menjadi negara merdeka sehingga Indonesia secara resmi mengakui kemerdekaan
Timor Leste dan kedua negara menandatangani pakta non-agresi bersama. Pemerintah Indonesia
juga membentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi, yang bertujuan menyelidiki dan memberikan
pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi manusia dan kekejaman lainnya yang terjadi
selama konflik.

Sejak saat itu, hubungan antara Indonesia dan Timor Leste berangsur-angsur membaik, dengan
kedua negara berfokus pada kerja sama ekonomi dan stabilitas kawasan. Misalnya, pada tahun
2019, kedua negara menyelesaikan wilayah perbatasan darat yang sebelumnya menjadi sengketa
antara dua negara dikarenakan ada perbedaan persepsi antar batas negara dari Indonesia dan Timor
Leste. Dimana batas negara Timor Leste dengan Indonesia ditetapkan oleh Portugal. Sedangkan
batas negara Indonesia dengan Timor Leste ditetapkan oleh Belanda. Permasalahan tersebut kini
telah selesai, dan kedua negara saat ini sedang melakukan perundingan terkait dengan batas
wilayah maritim antara Indonesia dengan Timor Leste.8 Saat ini, Indonesia dan Timor Leste juga
memiliki hubungan bilateral yang semakin berkembang, dengan perdagangan dan investasi antara
kedua negara semakin meningkat. Menurut Kedutaan Besar Indonesia di Dili, Indonesia saat ini
merupakan mitra dagang terbesar kedua Timor Leste, di mana nilai investasi Indonesia di Timor
Leste telah mencapai 818 juta Dollar Amerika pada tahun 2022.9 Secara keseluruhan, proses
rekonsiliasi konflik antara Indonesia dan Timor Leste sangat penting dalam membangun landasan
kepercayaan dan rasa hormat antara kedua negara. Sementara masih ada masalah yang harus
diselesaikan, seperti penuntutan terhadap mereka yang bertanggung jawab atas kekerasan tahun
1999, kemajuan yang dicapai sejauh ini sangat signifikan dan menjadi pertanda baik bagi kerja
sama dan stabilitas di masa depan di kawasan ini.10

8
Humas Sekretariat Kabinet. 2019. Segera Rundingkan Batas Maritim, RI - Timor Leste Selesaikan Kesepakatan
Batas Darat. Retrieved from: https://setkab.go.id/segera-rundingkan-batas-maritim-ri-timor-leste-selesaikan-
kesepakatan-batas-darat/
9
Sekretariat Presiden. 2021. Indonesia-Timor Leste Bahas Penguatan Kerja Sama Ekonomi Bilateral. Retrieved from:
https://www.presidenri.go.id/siaran-pers/indonesia-timor-leste-bahas-penguatan-kerja-sama-ekonomi-bilateral/
10
DW Indonesia. 2019. Memperingati 20 Tahun Referendum Timor Timur. Retrieved From:
https://www.dw.com/id/memperingati-20-tahun-referendum-timor-timur/a-50223772
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Rekonsiliasi merupakan suatu strategi dalam mengakhiri konflik dan untuk menciptakan
kedamaian.Rekonsiliasi terjadi karena adanya konflik pada individu atau kelompok tertentu dalam
suatu permasalahan.Biasanya terjadi karena adanya dua perspektif yang beradu kemudian akan
terjadi konflik dan konflik tersebut diselesaikan dengan rekonsiliasi atau memulihkan atau
mengembalikan hubungan antar individu agar terciptanya suatu kedamaian. Oleh karena itu, hak
manusiawi itu sama bagi semua orang dan bersifat universal karena semua manusia itu sama
martabatnya. Yang bisa terjadi ialah bahwa semua orang mempunyai hak manusiawi yang sama,
tetapi ada sebagian hak itu tidak diakui keberadaannya oleh suatu institusi atau manusia. Tetapi,
keberadaannya tidak tergantung pengakuannya. Diakui atau tidak, hak itu tetap ada bersama
dengan adanya manusia

Lalu contohnya saja pada studi kasus timor leset Rekonsiliasi antara Indonesia dengan Timor Leste
ditandai dengan berdirinya Pemerintahan Administrasi Sementara PBB di Timor Leste sebagai
tindak lanjut dari Resolusi 1272 Dewan Keamanan PBB dan juga transisi Pemerintahan di Timor
Leste. Pemerintahan sementara tersebut membentuk komisi independen Comissão de
Acolhimento, Verdade e Reconciliação de Timor Leste atau dalam Bahasa Indonesia adalah
Komisi Pengakuan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi di Timor Leste yang bertugas untuk menyelidiki
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh kedua pihak, serta memfasilitasi rekonsiliasi antara
kedua pihak proses rekonsiliasi konflik antara Indonesia dan Timor Leste sangat penting dalam
membangun landasan kepercayaan dan rasa hormat antara kedua negara.

Sementara masih ada masalah yang harus diselesaikan, seperti penuntutan terhadap mereka yang
bertanggung jawab atas kekerasan tahun 1999, kemajuan yang dicapai sejauh ini sangat signifikan
dan menjadi pertanda baik bagi kerja sama dan stabilitas di masa depan di kawasan ini
DAFTAR PUSTAKA

Haryanto, R., & Wijaya, A. (2018). Strategi Penyelesaian Konflik dalam Belanja Online: Dampak
Tawaran Rekonsiliasi terhadap Kepuasan Pelanggan. Jurnal Ritel, 94(3), 319-335.
Prasetyo, H., & Handayani, R. (2019). Memahami Rekonsiliasi dalam Inovasi Tingkat Perusahaan:
Bukti dari Eropa. Jurnal Kebijakan Riset, 48(8), 103796.
Ruhulessin, J. C. (2021). Konflik dan rekonsiliasi antarjemaat: Sebuah analisis teologis. KURIOS
(Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen), 7(2), 329-337.

Susanto, A., & Purnama, B. (2021). Peran Rekonsiliasi dalam Penyelesaian Konflik Organisasi:
Tinjauan Sistematis. Jurnal Manajemen Konflik, 12(1), 47-69.
Santoso, B., & Utama, R. (2020). Studi Perbandingan Metode Rekonsiliasi untuk Penggabungan
Ontologi yang Tidak Konsisten. Jurnal Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer, 7(2), 150-
161.
Sugianto, F., & Iskandar, H. (2019). Ekologi Rekonsiliasi dan Ilmu Sosial: Janji dan Tantangan.
Annual Review of Resource Economics, 11, 69-88.

Anda mungkin juga menyukai