Anda di halaman 1dari 6

Dampak Psikologis Ibu pada Kasus Kematian Janin dengan Kelainan Kongenital Mayor

Dwiana Ocviyanti *, Ganot Sumulyo **


* Konsultan Departemen Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta
** Peserta Program Dokter Spesialis Departemen Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta

Abstrak
Pendahuluan: Kelainan bawaan menjadi penyebab kematian bayi sebanyak 18,1%. Belum ada
studi yang fokus pada respon psikologis orang tua janin dengan kelainan kongenital mayor
(KKM).

Ilustrasi kasus: Ibu 25 tahun hamil 27 minggu didiagnosis dengan multiple congenital anomaly
curiga letal, 3 hari kemudian janin meninggal. Pasien diinduksi persalinan, lahir bayi perempuan
BB 965 gr, panjang 34 cm, maserasi derajat 1, Midline Cleft Palate, Absent nasal bone,
Hypotelorism. Pasien diberikan konseling dan memutuskan menunda kehamilan karena trauma
psikologis.

Diskusi: Pasien mengalami Emotional-Focused Coping yaitu kontrol diri, mencari dukungan
social, interpretasi positif, penerimaan, dan penyangkalan. Pasien mencapai penerimaan dan
mendapat dukungan dari suami dan memiliki keyakinan agama yang kuat. Waktu yang
direkomendasikan untuk konseling prenatal yaitu trimester 1, karena singnifikan menurunkan
stress dan dilakukan oleh dokter ahli.

Kesimpulan: Dokter spesialis obstetri dan ginekologi harus mampu memberikan konseling
diagnosis prenatal janin KKM yang menghasilkan positive coping pasien.

Kata kunci: psikologis, ibu, janin, kongenital

Abstract
Introduction: Congenital anomalies caused 18.1% of infant deaths. There are no studies that
focus on psychological response of parents carrying major congenital anomalies (MCA) fetus.

Case illustration: A 25-year-old mother, 27 weeks pregnant was diagnosed with lethal multiple
congenital anomaly, 3 days later the fetus died. Labour induction was initiated, born baby girl
BW 965 gr, length 34 cm, maceration grade 1, Midline Cleft Palate, Absent nasal bone,
Hypotelorism. Counselling was given. She decided delaying pregnancy due to psychological
trauma.

Discussion: She experienced Emotional-Focused Coping, namely self-control, seeking social


support, positive interpretations, acceptance, and denial. She reached acceptance, received
support from her husband, had strong religious belief. The recommended time for prenatal
counselling is trimester 1, because it significantly reduces stress and is carried out by a specialist.

Conclusion: Obstetrics and gynaecology specialists should provide counselling and prenatal
diagnosis of fetal MCA resulting positive coping.

Keywords: psychological, mother, congenital, anomalies


Latar Belakang
Banyak Studi mengenai anatomi antenatal, fisiologi, dan diagnosis anomali kongenital,
namun masih sangat jarang penelitian yang difokuskan secara khusus pada respon psikologis
orang tua. Kita tahu sedikit tentang efek psikologis dari diagnosis janin kelainan kongenital
mayor (KKM) prenatal pada ibu.
Menerima informasi janin dengan KKM adalah peristiwa yang menyebabkan stres berat,
yang berpotensi mempengaruhi suasana hati dan tingkat kecemasan ibu. Menurut Field, gangguan
psikologis ibu telah dikaitkan dengan gangguan janin pada poros sistem hipotalamus-adrenal-
hipofisis, pertumbuhan intrauterin yang buruk, kelahiran prematur, dan kecil untuk bayi baru lahir
usia kehamilan.
Menurut WHO lebih dari 8 juta bayi di seluruh dunia setiap tahunnya lahir dengan
kelainan bawaan. Di Amerika Serikat hampir 120.000 bayi lahir dengan kelainan bawaan setiap
tahun. Kelainan bawaan merupakan salah satu penyebab utama dari kematian bayi. Data WHO
menyebutkan bahwa dari 2,68 juta kematian bayi, 11,3% disebabkan oleh kelainan bawaan. Di
Indonesia, hasil Riskesdas tahun 2007 menjelaskan kelainan bawaan menjadi salah satu penyebab
kematian bayi. Pada bayi usia 0-6 hari, kematian bayi yang disebabkan oleh kelainan bawaan
sebesar 1,4%, sedangkan pada usia 7-28 hari, menjadi meningkat persentasenya menjadi 18,1%.
Kelainan bawaan dapat diidentifikasi pada sebelum kelahiran, saat lahir, maupun di kemudian
hari setelah bayi lahir. Kelainan bawaan dapat mempengaruhi bentuk organ, fungsi organ,
maupun keduanya. Kelainan bawaan pada bayi bervariasi dari tingkat ringan hingga berat.
Kesehatan dan kemampuan bertahan bayi dengan kelainan bawaan bergantung pada bagian organ
tubuh yang mengalami kelainan.
Diagnosis antenatal terhadap kelainan kongenital, termasuk kelainan kongenital yang
mematikan atau letal, kelainan kongenital tidak letal yang tidak dapat diperbaiki, dan kelainan
kongenital tidak letal yang dapat diobati dengan pembedahan setelah melahirkan, semuanya telah
terbukti menyebabkan trauma psikologis pada wanita hamil. Menghadapi tekanan psikologis,
wanita hamil yang menerima diagnosis ini menggunakan berbagai strategi koping.
Laporan kasus berikut ini menggambarkan dampak psikologis seorang ibu yang
mendapatkan informasi prenatal bahwa janinnya memiliki kelainan kongenital mayor yang letal,
bagaimana seorang ibu yang mendapatkan informasi mengenai janin KKM dapat mengatasi
masalah psikologisnya dan mencegah gangguan psikologi.

Ilustrasi Kasus
Pasien seorang ibu berusia 25 tahun datang ke IGD rumah sakit bersama suaminya
dengan keluhan tidak merasakan gerakan janin sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien
mengaku hamil 27 minggu dengan HPHT 23/3/19 sesuai 27+1 minggu, pasien rutin melakukan
pemeriksaan antenatal di rumah sakit dengan spesialis kandungan sebanyak 6 kali dan USG
kehamilan dengan dokter kandungan sebanyak 6 kali, dimulai sejak usia hamil 12 minggu hingga
28 minggu. Saat USG di usia hamil 24 minggu, janin pasien pertama kali terdeteksi adanya
kelainan kongenital mayor yaitu Holoprosensefali tipe Alobar dan Cleft Palate, pasien memilih
untuk konfirmasi USG dengan dokter yang berbeda, kemudian pasien melakukan USG 5 hari
yang lalu dengan dokter kandungan sub.Fetomaternal di usia hamil 27-28 minggu dikatakan janin
memiliki Multiple Kongenital anomaly dikatakan kemungkinan kelainan janin bersifat lethal atau
mematikan dan bisa meninggal dalam rahim sewaktu-waktu, pasien saat itu merasakan stress atas
informasi yang disampaikan.
3 hari setelah pemeriksaan USG yang terakhir pasien tidak dapat merasakan gerakan
janin, pasien berfikir positif bahwa mungkin janin sedang tidur, setelah 2 hari tidak merasakan
gerakan janin, pasien khawatir terjadi sesuatu pada janin dan segera melakukan USG di dokter
kandungan, hasil dari USG didapatkan janin meninggal dalam rahim / intra uterine fetal death
(IUFD). Pasien dirujuk ke Rumah Sakit untuk dilakukan terminasi kehamilan, pasien dan suami
setuju.
Saat di Rumah Sakit pasien dilakukan induksi kehamilan dengan misoprostol sesuai dosis
FIGO, setelah 20 jam lahir bayi perempuan dengan berat badan 965 gr, panjang 34 cm, maserasi
garde 1 dengan kelainan multiple (Midline Cleft Palate, Absent nasal bone, Hypotelorism).
Pasien dan suami setuju untuk dipasang kontrasepsi AKDR post plasenta. Pasien selama
perawatan diberikan konseling mengenai kehamilan selanjutnya, pasien memutuskan untuk
menunda kehamilan karena merasakan trauma psikis akibat kelahiran bayi tersebut. Selama
konsseling pasien dan suami sudah dapat menerima keadaan bayi dan ingin menyiapkan
kehamilan berikutnya dengan lebih baik, kemudian pasien dirawat selama 1 hari di rumah sakit
kemudian pulang dalam keadaan baik.

Diskusi
Sudah lama diketahui bahwa membawa janin dengan kelainan bawaan lethal sangat
dalam efek psikologis pada wanita hamil. Kemp melaporkan bahwa konseling oleh seorang ahli
kepada ibu hamil dengan janin kelainan kongenital mayor dapat mengurangi tingkat kecemasan
terkait dengan diagnosis malformasi janin. Chaplin menemukan bahwa wanita hamil umumnya
mengalami syok ketika mereka diberitahu tentang malformasi janin dan bahwa pengalaman
mereka selama kehamilan berbeda dari pengalaman wanita yang percaya bahwa mereka
mengandung janin yang sehat. Aite melaporkan bahwa emosi intens yang dialami tak lama
setelah penemuan anomali yang dapat diperbaiki dengan pembedahan secara bertahap berkurang
dari waktu ke waktu. Namun, tidak ada penelitian sebelumnya yang melaporkan perubahan pola
stres psikologis pada wanita hamil selama kehamilan setelah diagnosis anomali janin yang tidak
mematikan.
Studi yang dilakukan oleh Titapant di Rumah Sakit Siriraj tahun 2015 terhadap 60 pasien
hamil dengan kongenital mayor dilakukan konseling oleh para ahli dan dievaluasi dengan
menggunakan kuesionare, pasien setelah diberikan konseling mengenai keadaan janin setiap
pemeriksaan antenatal hingga usia hamil 37 minggu, dan menunjukan tahapan penyembuhan
psikologis yang sangat baik yang diukur dengan skor anxietas yang membaik. Terdapat 3 jenis
strategi koping berbeda yang digunakan oleh subjek studi tersebut yaitu mendiskreditkan berita
buruk, menyusun kembali harapan dan menghindari stres. Mendiskreditkan berita buruk adalah
strategi pertama yang digunakan oleh wanita hamil segera setelah menerima diagnosis janin.
Seiring waktu, para wanita hamil mulai menerima diagnosa mereka. Setelah penerimaan ini,
menyusun kembali harapan dan penghindaran stres digunakan untuk mengelola tekanan
psikologis mereka. Temuan berbeda didapatkan hasil penelitian oleh Hendrick, yang melaporkan
bahwa wanita hamil menggunakan berbagai strategi koping positif dalam mengandung janin
dengan kelainan bawaan yang non lethal. Hasil yang bertentangan ini kemungkinan disebabkan
oleh perbedaan dalam populasi penelitian, termasuk perbedaan sosial dan budaya.
Menurut lazarus dan Folkman, terdapat 2 janis strategi coping stres, yaitu
1. Emotional-Focused Coping
Coping ini bertujuan untuk melakukan kontrol terhadap respon emosional terhadap situasi
penyebab stres, baik dalam pendekatan secara behavioral maupun kognitif. Lazarus dan Folkman
mengemukakan bahwa individu cenderung menggunakan Emotional-Focused Coping ketika
individu memiliki persepsi bahwa stresor yang ada tidak dapat diubah atau diatasi. Berikut adalah
aspek-aspeknya:
1. Self Control, merupakan suatu bentuk dalam penyelesaian masalah dengan cara
mengendalikan dri, menahan diri, mengatur perasaan, maksudnya selalu teliti dan tidak
tergesa dalam mengambil tindakan.
2. Seeking Social Support (For Emotional Reason), adalah suatu cara yang dilakukan
individu dalam menghadap masalahnya dengan cara mencari dukungan sosial pada
keluarga atau lingkungan sekitar, bisa berupa simpati dan perhatian.
3. Positive Reinterpretation, respon dari suatu individu dengan cara merubah dan
mengembangkan dalam kepribadiannya, atau mencoba mengambil pandangan positif dari
sebuah masalah (hikmah),
4. Acceptance, berserah diri, individu menerima apa yang terjadi padanya atau pasrah,
karena dia sudah beranggapan tiada hal yang bisa dilakukannya lagi untuk memecahkan
masalahnya.
5. Denial (avoidance), pengingkaran, suatu cara individu dengan berusaha menyanggah dan
mengingkari dan melupakan masalah-masalah yang ada pada dirinya.
2. Problem-Focused Coping,
Coping ini bertujuan untuk mengurangi dampak dari situasi stres atau memperbesar sumber daya
dan usaha untuk menghadapi stres. Lazarus dan Folkman mengemukakan bahwa individu
cenderung menggunakan Problem Focused Coping ketika individu memiliki persepsi bahwa
stressor yang ada dapat diubah. Aspek-aspek yang digunakan individu, yaitu :
1. Distancing, ini adalah suatu bentuk coping yang sering kita temui: Yaitu usaha untuk
menghindar dari permasalahan dan menutupinya dengan pandangan yang positif, dan
seperti menganggap remeh/lelucon suatu masalah .
2. Planful Problem Solving, atau perencanaan, individu membentuk suatu strategi dan
perencanaan menghilangkan dan mengatasi stress, dengan melibatkan tindakan yang
teliti, berhati-hati, bertahap dan analitis.
3. Positive Reapraisal, yaitu usah untuk mencar makna positif dari permasalahan dengan
pengembangan diri, dan stategi ini terkadang melibatkan hal-hal religi.
4. Self Control, merupakan suatu bentukdalam penyelesaian masalah dengan cara menahan
diri, mengatur perasaan, maksudnya selalu teliti dan tidak tergesa dalam mengambil
tindakan.
5. Escape, usaha untuk menghilangkan stress dengan melarikan diri dari masalah, dan
beralih pada hal-hal lain, seperti merokok, narkoba, makan banyak dan lainnya.

Pada kasus yang saya laporkan pasien merupakan seorang ibu dengan pekerjaan di
perusahaan swasta dengan suami seorang polisi, dimana saat menerima informasi pertama kali
terdapat kelainan lethal pada janinnya melalui USG menggunakan Emotional-Focused Coping.
Dalam diskusi dan konseling dengan pasien, pasien dapat mencapai acceptance atas informasi
mengenai kelainan lethal pada janinnya. Pasien juga mendapat support dari suami dan memiliki
keyakinan akan agam yang kuat, seperti dikatakan dalam studi yang dilakukan oleh Morvarid et
al yaitu Agama dan spiritualitas adalah strategi koping yang paling penting dari para ibu dalam
penelitian ini. Agama adalah cara yang efektif untuk mengatasi masalah karena dampak
pentingnya pada kehidupan orang. Dengan demikian, kualitas hidup (Kualitas Hidup) dan strategi
koping dapat dipromosikan dengan meningkatkan sikap keagamaan individu. Pandangan Allport
dapat dirujuk dalam menjelaskan temuan ini. Agama dan spiritualitas adalah masalah
komprehensif dengan prinsip-prinsip yang terorganisir dan internal dan bahwa orang-orang
beragama jujur percaya pada ajaran agama mereka. Dia juga percaya bahwa agama adalah satu-
satunya hal yang dapat meningkatkan kesehatan mental individu.
Pada Kasus yang saya paparkan, pasien mengetahui terdapat kelainan janin saat usia
kehamilan trimester 2 ( 24 miinggu), padahal pasien rutin melakukan skrining USG kehamilan
sejak trimester 1, namun informasi mengenai kelainan janin yang lethal baru dideteksi pada
trimester 2, sebuah studi oleh Kenkhuis et al tahun 2017 di Belanda direkomendasikan untuk
melakukan USG skrining deteksi kelainan struktural dan kormosomal anomaly janin pada usia
hamil 12-13 minggu dengan false positif 0.09%. kejadian ini tidak sesuai dengan sebuah studi
sistematik review oleh Morakakis et al tahun 2016 mengenai Konseling Prenatal Kongenital
Anomali, dinyatakan bahwa waktu yang tepat untuk dilakukan konseling prenatal
direkomendasikan sedini mungkin yaitu trimester 1, karena singnifikan menurunkan stress stres
yang terkait dengan waktu tunggu dan memfasilitasi waktu membuat keputusan yang tepat
tentang penghentian kehamilan jika diindikasikan.

Kesimpulan
Penanganan masalah psikologi maternal khususnya pada kasus Prenatal Diagnosis
dengan kelainan kongenital sebaiknya dilakukan secara holistik. Pasien dalam menghadapi
masalah psikologi terkait informasi Prenatal Diagnosis janin dengan kelainan kongenital mayor
menggunakan coping stress yang berbeda-beda dan dapat terjadi acceptance ataupun denial
berkepanjangan. Kita sebagai dokter spesalis obstetric dan ginekologi harus dapat memberikan
konseling yang baik kepada pasien dengan prenatal diagnosis janin dengan kelainan kongenital
mayor sehingga dapat menimbulkan coping positive bagi pasien.

Referensi
1. Rychik J, Donaghue DD, Levy S, Fajardo C, Combs J, Zhang, Szwast A, Diamond GS.
Maternal Psychological Stress after Prenatal Diagnosis of Congenital Heart Disease. The
Journal of Pediatrics. Feb 2013;162(2);303-307.
2. Field T. Prenatal depression effects on early development: A review. Elsevier :Infant
Behavior & Development. 2011(34);1–14.
3. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Kelainan Bawaan.
Infodatin ISSN 2442-7659. 2018 [disitasi oktober 2019], available from
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin%20kelainan%20ba
waan.pdf
4. Harper PS. Practical Genetic Counselling. Hachette UK Company (UK): Edward Arnold;
2010.
5. Bratt EL, Jarvholm S, Ekman-Joelsson BM, Johannsmeyer A, Carlsson S, Mattsson L,
Mellander M. Parental reactions, distress, and sense of coherence after prenatal versus
postnatal diagnosis of complex congenital heart disease. Cardiology in the Young. 9 Jul 2019
[disitasi oktober 2019], available from
https://www.cambridge.org/core/terms.https://doi.org/10.1017/S1047951119001781
6. Rani M, Khadivzadeh T, Asghari‐ Nekah SM, Ebrahimipour H. Coping strategies of
pregnant women with detected fetal anomalies in Iran: A qualitative study. Iranian J Nursing
Midwifery Res 2019;24:227‐ 33.
7. Choudhary A, Gupta V. Epidemiology of Intrauterine Fetal Deaths: A Study In Tertiary
Referral Centre In Uttarakhand. Journal of Dental and Medical Sciences 2014;13(3):03-06.
8. Marokakis S, Kasparian NA, Kennedy SE. Prenatal counselling for congenital anomalies: a
systematic review. Prenatal Diagnosis 2016;36:1-10.
9. Bakshi L, Hoque S, Tanjin F, Dey S, Bakshi M. Epidemiology of intrauterine fetal death in
Dhaka National Medical College Hospital. Bangladesh Med J. 2016 Sept; 45(3)
10. Kenkhuis MJA, Bakker M, bardi F, Fontanella F, Bakker MK, Fleurke-Rozema H, Bilardo
CM. Yield of a 12-13 week scan for the early diagnosis of fetal congenital anomalies in the
cell-free DNA era. Ultrasound Obstet Gynecol. Apr 2018;51(4):463-469.
11. Titapant V, Chuenwattana P. Psychological effects of fetal diagnoses of non-lethal congenital
anomalies on the experience of pregnant women during the remainder of their pregnancy. J.
Obstet. Gynaecol. 2015. 41(1): 77–83
12. Baqutayan, SM. Stress and Coping Mechanisms: A Historical Overview. Mediterranean
Journal of Social Sciences. 2015(6); 479-488.

Anda mungkin juga menyukai