Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DASAR

HUBUNGAN DOSIS DAN RESPONS

Diajukan untuk memenuhi tugas Praktikum Farmakologi

Yang Dibimbing Oleh:


Ibu Aulia Nurfazri I, M.Si

Disusun Oleh:

Gelombang / Kelompok: G2K2

1. Rieztya Aliza (221FF03036)


2. Novela Janah Nurfitri (221FF03038)
3. Hera Hermawati (221FF03039)
4. Siti Nuraini (221FF03041)
5. Intan Meilani (221FF03043)

FA1

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA

2023
MODUL 8
HUBUNGAN DOSIS DAN RESPONS

I. Tujuan
Kompetensi yang Dicapai :
Mahasiswa mampu menjelaskan hubungan dosis-respons.
Tujuan Praktikum :
Setelah praktikum, mahasiswa diharapkan mampu:
Mengetahui dan menjelaskan tentang hubungan dosis-respons.

II. Prinsip
Obat-obat analgetik (baik non-narkotik dan narkotik) bekerja dengan cara
menghilangkan sensasi nyeri. Pada praktikum ini hewan yang diberikan obat
analgetik berfungsi dalam menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran.

III. Pendahuluan/ Dasar Teori


Prinsip yang menghubungkan dosis dengan respons efek toksik yang terjadi
dikenal dengan istilah hubungan dosis-respons (dose-response relationship). Dose-
response relationship merupakan persentase populasi pekerja (hewan coba) yang
memberi respons perubahan sistem biologis yang terdeteksi, di mana figur ini
digunakan dalam penentuan tingkat atau klasifikasi bahaya terhadap toksikan yang
diuji.
Terdapat dua jenis hubungan dosis-respons, yakni (1) respons individu atau
“graded” dan (2) respons kuantal. Dalam respons individu, perubahan sistem tubuh
yang kontinu (mulai dari gangguan fisiologis hingga gangguan kesehatan diamati
sejalan dengan kenaikan dosis toksikan yang diberikan. Semakin tinggi respons yang
diberikan, akan semakin parah. Dalam respons kuantal, distribusi akan respons
individu dalam suatu populasi sebagai akibat pajanan suatu toksikan diamati.
Berbeda dengan dosis-respons individu, dalam respons kuantal yang diamati adalah
apakah individu merespons atau tidak (all or none respons). Persentase individu
(hewan coba) yang memberi dampak yang ditimbulkan sistem biologis akibat
pajanan toksikan akan dihitung, kemudian digunakan dalam penentuan tingkat atau
klasifikasi bahaya terhadap toksikan yang diuji.
Respons adalah perubahan struktur ataupun fungsi pada tingkat subselular
hingga tingkat organisme hidup akibat pajanan toksikan ataupun bahan kimia.
Respons dapat terjadi baik secara lokal maupun sistemik. Respons dapat
dikategorikan sebagai berikut.
• Perubahan dari kondisi normal ke tidak normal baik dari sisi struktur maupun
fungsi pada tingkat subselular hingga organisme hidup
• Lokal atau sistemik (atau keduanya)
• Reversibel atau ireversibel
• Langsung atau efek tertunda (Laura Robinson, 2014).
Efek yang merugikan (adverse effect) adalah perubahan morfologi, fisiologi,
pertumbuhan, perkembangan, reproduksi, ataupun masa hidup organisme hidup,
sistema, atau (sub-) populasi yang diakibatkan dari kerusakan kapasitas fungsional,
atau kerusakan kapasitas yang dapat beradaptasi terhadap adanya tekanan atau
pengaruh lainnya (OECD, 2003).
Efek toksik pada sistem biologi akibat pajanan toksikan akan muncul bila
bahan kimia tersebut atau hasil metabolismenya (metabolitnya) telah mencapai organ
target dengan konsentrasi dan waktu tinggal yang cukup untuk memunculkan efek
tersebut. Organ target tidak selalu merupakan organ di mana toksikan atau
metabolitnya paling banyak disimpan/didepositkan, namun organ di mana respons
toksik dimunculkan. Sebagai contoh, timbal didepositkan di tulang, namun dampak
kesehatannya muncul di otak karena target organ dari timbal adalah otak, bukan
tulang.
Terdapat berbagai macam respons toksik, yang dapat diklasifikasikan
menjadi efek lokal atau sistemik, efek reversibel atau ireversibel, efek akut atau
kronik, atau berdasarkan target organ yang diserangnya.
Nyeri merupakan perasaan sensoris dan emosional, tidak nyaman, tidak
menyenangkan akibat kerusakan jaringan. Pada kondisi ini, penggunaan analgetik
berfungsi dalam menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Nyeri
merupakan mekanisme perlindungan tubuh terhadap kerusakan jaringan dengan
pembebasan mediator nyeri seperti prostaglandin, histamin, bradikinin, serotonin,
dan asetilkolin. Analgesik secara umum bekerjadengan menaikkan ambang rasa
nyeri. Analgesik dikelompokkan menjadi 2 yaitu, analgesik narkotik dan analgesik
non narkotik. Analgesik narkotik memiliki fungsi dalam menghilangkan nyeri dari
derajat sedang sampai hebat (berat). Contoh analgesik narkotik, yaitu morfin.
Sedangkan analgesik non-narkotik dapat digunakan untuk nyeri ringan sampai
sedang. Contoh analgetika non-narkotika yaitu golongan anti-inflamasi non steroid
(AINS) yang menghilangkan rasa nteri ringan sampai sadang.
Respon obat masing-masing individu berbeda beda. Respon Idiosinkratik
biasanya di sebabkan oleh perbedaan genetic pada metabolism obat atau mekanisme-
mekanisme munologenik termasuk rasa alergi. Empat mekanisme umum yang
mempengaruhi kemampuan merespon suatu obat:
1. Perubahan konsentrasi obat yang mencapai reseptor
2. Variasi dalam konsentrasi suatu ligan reseptor endogen
3. Perubahan jumlah / fungsi- fungsi reseptor
4. Perubahan - perubahan dalam komponen respondastal dari reseptor.

A. Hubungan dosis obat - persen responsif:


Untuk menimbulkan efek obat dengan intensitas tertentu pada populasi
dipelukan satu kisaran dosis. Jika dibuat distribusi frekuensi dari individu yang
responsi (dalam 10%) pada kisaran dosis tersebut (dalam log dosis) maka akan
diperoleh kurva distribusi normal.
B. Hubungan dosis obat dengan respon penderita
• Potensi obat : potensi suatu obat dipengaruhi oleh absorbsi, distribusi,
biontransformasi, metabolisme, ekskresi. Kemampuan bergabung dengan
reseptor dan sistem efektor. Atau ukuran dosis obat yang diperlukan untuk
menghasilkan respons.
• Efekasi maksimal : Efek maks obat dinyatakan sebagai efikasi
(kemanjuran)maksimal/disebut saja dengan efikasi.Efikasi tergantung pada
kemampuan obat tersebut untuk menimbulkan efeknya setelah berinteraksi
dengan reseptor. Efikasi dapat dibatasi timbulnya efek yang tidak
diinginkan, sehingga dosis harus dibatasi. Yang berarti bahwa efek
maksimal tidak tercapai. Tiap obat mempunyai efikasi yang berbeda.
Misalnya : Morphin, mampu menghilangkan semua intensitas nyeri,
sedangkan aspirin hanya menghilangkan nyeri ringan sampai sedang saja.
Bahan racun adalah semua bahan kimia yang dapat menyebabkan
kerusakan/kesakitan pada makhluk hidup. Sebagai akibat dari kerusakan tersebut
ialah adanya gangguan pada struktur anatomi dan fisiologik dari jaringan yang
menderita, bahkan dapat menimbulkan kematian. Semua bahan kimia mungkin akan
beracun bila diberikan berlebihan atau rute pemberian yang tidak lazim. Terlalu
banyak oksigen murni, air ataupun garam dapat menyebabkan kematian. Tetapi hal
tersebut tidak dapat digunakan sebagai pegangan, karena bahan yang biasanya
disebut racun seperti sianida, arsen dan sebagainya tidak dapat dikatakan tidak
beracun, sehingga kita harus menyatakan bahwa semua bahan kimia akan beracun
bila diberikan secara tidak proporsional. Bahan kimia akan menjadi toksik bilamana
bahan tersebut mencapai jaringan target dan terakumulasi dalam konsentrasi tertentu.
Daya toksisitas suatu bahan toksik biasanya dihitung dari nilai LD50 (lethal
dose 50%). Dosis tersebut menggambarkan konsentrasi bahan bahan kimia yang
dapat menyebabkan kematian sampai 50% dari jumlah hewan yang di uji. Hubungan
antara dosis (atau konsentrasi) dan kerja suatu obat dapat diketahui dengan 2 cara,
yaitu menguji frekuensi efek yang timbul pada satu kelompok objek percobaan
dengan mengubah-ubah dosis (Hubungan dosisreaksi, "dose-response relation"),
dalam hal ini jumlah objek percobaan yang menunjukkan efek tertentu akan
bertambah sampai maksimum atau dengan mengubah-ubah dosis, mengukur
intensitas kerja pada satu objek percobaan (Hubungan dosis-kerja, "dose-effect
relation"), dalam hal ini intensitas efek yang akan bertambah.
Hubungan dosis – reaksi digunakan untuk menentukan berapa persen dari
suatu populasi (misalnya, pada sekelompok hewan percobaan) memberikan
reaksi/efek tertentu terhadap dosis tertentu dari satu zat. Penyelidikan semacam ini
sering dilakukan pada uji toksikologi obat yang potensial pada fase praklinik dan fase
klinik, serta pemeriksaan toksikologi umum dan toksikologi pekerjaan.
Di samping hubungan dosis-kerja, hubungan waktu-kerja juga berperanan
penting. Jika eksposisi suatu zat hanya terjadi satu kali, seperti umumnya pada
keracunan akut, mula-mula efek akan naik tergantung pada laju absorpsi dan
kemudian efek akan turun tergantung pada laju eliminasi. Di bawah konsentrasi
plasma tertentu disebut konsentrasi subefektif atau subtoksik sedangkan mulai dari
konsentrasi tersebut dinamakan konsentrasi efektif/toksik.
Dengan demikian pada prinsipnya ada tiga cara untuk mencegah atau
menekan efek toksik:
1) Memperkecil absorpsi atau laju absorpsi, sehingga konsentrasi plasma tetap
berada di bawah daerah toksik. Ini dapat dicapai dengan penggunaan
adsorbensia, misalnya karbon aktif, dengan pembilasan lambung atau dengan
mempercepat pengosongan lambung-usus dengan laksansia garam. Dengan
cara-cara ini fase eksposisi akan diubah.
2) Meningkatkan eliminasi zat toksik dan/atau pembentukan suatu kompleks yang
tak aktif. Eliminasi dapat ditingkatkan dengan mengubah pH urin misalnya
dengan pembasaan urin dan diuresis paksa pada keracunan barbiturat, sedangkan
pembentuk khelat dipakai untuk inaktivasi ion logam yang toksik. Ini akan
menyebabkan perubahan fase farmakokinetik. Cara 1 dan 2 tentu saja dapat
dikombinasikan.
3) Memperkecil kepekaan objek biologik terhadap efek. Dengan pemakaian antidot
yang bekerja pada fase farmakodinamik, misalnya pemberian atropina pada
keracunan fosfat organik.

IV. Alat dan Bahan


Dalam praktikum ini hal-hal yang perlu dipersiapkan, antara lain:
1. Hewan percobaan (mencit)
2. Jas labolatorium, masker, dan sarung tangan
3. Timbangan hewan, alat suntik, kapas, stopwatch, hotplate, gelas kimia
thermometer
4. Tramadol, alkohol
V. Prosedur Kerja
Metode Pelat Panas (Hot-Plate)
Simulator nyeri yang digunakan yaitu pelat panas (temperatur 55-565 derajat
celcius). Sensasi nyeri pada kaki mencit menyebabkan adanya respons mengangkat
kaki depan dan dijilat. Kisaran waktu hewan mencit akan memberikan respon dengan
dalam metode ini, yaitu dalam waktu 1-6 detik.

Timbang masing-masing mencit, beri nomor dan catat

Sebelum pemberian obat catat dengan menggunakan stopwatch


waktu yang diperlukan encit untuk mengangkat dan menjilat kaki
depannya sebagai respons, catat sebagai respon normal atau
respon sebelum perlakuan

Suntikan secara periontal kepada masing-masing mencit obat


dengan dosis yang telah dikonversikan ke dosis mencit

Pengamatan dilakukan pada mencit ke 5, 15, 30 dan 45 setelah


pemberian obat

Buatlat tabel hasil pengamatan dengan lengkap

Metode Jenetik Ekor ( Tali Flick )


Simulator nyeri yang digunakan dalam metode ini, yaitu berapa air panas dengan
temperatur 50 ⸰C. Ekor mencit dimasukan kedalam air panas, pada tahap selanjutnya
mencit akan merasakan nyeri karena panas yang ditandai dengan mencit
menjentikkan (mengangkat) ekor keluar dari air panas tersebut.

Timbang masing-masing mencit, beri nomor dan catat

Sebelum mencit diberi obat, catat dengan menggunakan


stopwatch waktu yang diperlukan mencit untuk menjentikkan
ekornya ke luar dari air panas. Tiap rangkaian pengamatan
dilakukan tiga kali selang 1 menit. Pengamatan pertama
diabaikan, hasil pengamatan terakhir dimasukkan dan dicatat
sebagai respon normal masing-masing mencit.

Suntikan secara intra peritonial kepada masing-masing mencit


obat dengan dosis yang telah di konversikan ke dosis mencit

Pengamatan dilakukan pada menit ke 5, 15, 30 dan 45 setelah


pemberian obat. Jika mencit tidak menjentikkan ekornya ke luar
dari air panas dalam waktu 10 detik maka dapat dianggap bahwa
ia tidak menyadari stimulasi nyeri tersebut.

Buatlah tabel hasil pengamatan dengan lengkap.

Gambarkan suatu kurva hubungan antara dosis yang diberikan


terhadap respon mencit untuk stimulasi nyeri,
Metode Siegmund ( Metode Geliat / whriting Method )
• Bahan
- Asam asetat 0,7% v/v (zat penginduksi rasa nyeri)
- Obat analgesik standar (asam asetil salisilat/aspirin)
- Obat analgesik yang di uji (asam mefenamat, parasetamol, ekstrak).
- Larutan NaCI fisiologis atau larutan suspensi gom arab 1-2%
• Hewan :
Mencit putih jantan dengan berat badan antara 20-25 gram
• Alat :
- Alat suntik 1 ml dan sonde oral
- Stopwatch
- Timbangan mencit
- Wadah penyimpanan mencit
• Prosedur
Pengujian ini dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :

Mencit dengan berat badan 20-25 gram dibagi atas 3 kelompok,


yaitu :

a. Kelompok kontrol
b. Kelompok obat standar
c. Kelompok obat uji ( dua atau tiga dosis )

Setiap kelompok terdiri atas 4-5 ekor mencit

Semua hewan dari setiap kelompok diberi perlakuan sesuai


dengan kelompoknya yaitu

a. Kelompok kontrol diberi larutan NaCl fis atau larutan


susp. Agaom arab 1-2%
b. Kelompok obat standar diberi asam asetil salisilat
(aspirin)
c. Kelompok obat uji diberi asam mefenamat
parasetamol/ekstrak tanaman.
Data yang diperoleh dianalisis secara statistik berdasarkan analisis
variansi

Daya proteksi obat uji terhadap rasa nyeri dan efektivitas


analgetiknya dihitung dengan rumus berikut :

% proteksi = Jumlah geliat kel uji


100 – ( _____________________ ) × 100%
Jumlah geliat kel. kontrol

% Efektivitas analgesik = % proteksi zat uji


_______________________ × 100%
% proteksi as. Asetil salisilat

Data disajikan dalam bentuk tabel atau grafik


VI. Hasil Pengamatan
Hubungan Dosis Respons Penjelasan
Pada pengujian jentik ekor prosedur yang
pertama yaitu menimbang mencit terlebih
dahulu lalu beri tanda pangkal ekor mencit
kemudian masukan ekor mencit ke dalam air
panas, catat waktu ketika mencit menjentikan
ekornya lalu berikan obat secara oral sebanyak
0,26 mL pada mencit yang berbobot 12 gram
dan pada mencit yang berbobot 14 gram
diberikan sebanyak 0,18 mL dan diamati setiap
5 menitnya. Prinsip metode jentik ekor yaitu
ekor mencit dicelupkan ke dalam penangas air
dengan suhu tetap sebagai stimulus nyeri akan
memberikan respon dalam bentuk
menjentikkan ekor.

Respon geliat (writhing) merupakan bentuk


respon rasa nyeri yang diperlihatkan mencit
akibat pemberian asam asetat yang ditunjukkan
dengan adanya kontraksi dari dinding perut,
kepala, dan kaki tertarik kebelakang, sehingga
abdomen menyentuh dasar.
Pada pengujian geliat prosedur yang pertama
yaitu menimbang mencit terlebih dahulu lalu
tandai pada pangkal ekor mencit kemudian
berikan obat uji secara oral, pada obat aspirin
sebanyak 0,207 mL, NaCl sebanyak 0,15 mL
dan asmef sebanyak 0,17 mL dan PCT sebanyak
0,16 mL. Tunggu 20 menit kemudian berikan
asam asetat 0,7% secara Intraperitoneal dan
amati geliatnya setiap 5 menit.
Uji Jentik Ekor
T0 5’ 10’ 15’ 20’ 25’ 30’ 35’
Tramadol 2” 3” 5” 4” 10” 10” 10” 10”
C+ 3” 6” 13” 10” 10” 10” 10” 10”

Uji Geliat
5’ 10’ 15’ 20’ 25’ 30’ 35’ Total
Aspirin 0 1 3 4 5 7 4 24
Asmef 1 3 10 7 5 0 0 26
Pct 0 1 7 2 1 1 2 14
C+ 1 0 26 16 12 13 17 85

Jumlah geliat kel. uji


% Proteksi = 100 − ( ) 𝑋 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑔𝑒𝑙𝑖𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑙. 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙
24
% Proteksi (Aspirin) = 100 − ( ) 𝑋 100% = 71,76%
85
26
% Proteksi (As. Mefenamat) = 100 − ( ) 𝑋 100% = 69%
85
14
% Proteksi (PCT) = 100 − ( ) 𝑋 100% = 83,5%
85

% 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑘𝑠𝑖 𝑧𝑎𝑡 𝑢𝑗𝑖


% Efektivitas analgesik = 𝑋 100%
% 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑘𝑠𝑖 𝑎𝑠. 𝑎𝑠𝑒𝑡𝑖𝑙 𝑠𝑎𝑙𝑖𝑠𝑖𝑙𝑎𝑡
69
% Efektivitas analgesik (As. Mefenamat) = 𝑋 100% = 96,154%
71,76
83,5
% Efektivitas analgesik (PCT) = 𝑋 100% = 116,36%
71,76
Lampiran- Lampiran

Penimbangan mencit Pemberian obat secara oral Jentik pada ekor mencit

Pemberian obat secara IP Geliat pada mencit


VII. Pembahasan
Pada praktikum kali ini telah dilakukannya praktikum mengenai
“Hubungan Dosis dan Respons” yang diujikan pada hewan percobaan berupa
mencit. Dilakukannya praktikum ini ditujukan untuk mempelajari dan memahami
bagaimana respons biologis terhadap suatu obat atau bahan aktif farmasi dapat
berubah seiring dengan perubahan dosis yang diberikan. Praktikum ini membantu
mengidentifikasi dan mengukur respons farmakologis yang terjadi pada berbagai
tingkat dosis, sehingga memungkinkan pengkajian potensi terapi dan efek
samping yang terkait. Mencit yang digunakan sebanyak 6 ekor. 2 ekor mencit
digunakan pada uji jentik ekor, dan 4 ekor mencit digunakan untuk uji geliat.
Pada uji jentik, ekor mencit dimasukkan ke dalam air panas sebagai
pemberian stimulus panas pada bagian ekor hewan namun tidak menyebabkan
penderitaan atau luka pada hewan. Setelahnya diamati pada menit ke berapa ekor
mencit tersebut memberikan respond berupa gerakan menjentik ke atas, kemudian
dicatat waktunya. Selanjutnya diberikan obat secara oral pada kedua hewan uji,
yaitu pada mencit seberat 12g diberikan tramadol, sedangkan pada mencit seberat
14g diberi NaCl untuk kontrol positif.
Setelah mencit diberi obat secara oral, ekor mencit kembali dimasukkan ke
dalam air panas, dan dihitung kembali berapa kali ekor mencit menjentik ke atas,
selama 35 menit.
Pemberian obat sendiri tidak akan langsung memberikan efek, sehingga
perlu diperhatikan Onsetnya. Onset dalam pemberian obat merujuk pada waktu
yang dibutuhkan untuk obat mencapai konsentrasi terapeutik atau mulai
menunjukkan efek terapeutik setelah diberikan kepada pasien. Pada setiap obat,
onset dapat bervariasi tergantung pada berbagai faktor, termasuk jalur pemberian,
kecepatan absorbsi, distribusi dalam tubuh, dan mekanisme kerja obat tersebut.
Pada praktikum kali ini dibutuhkan waktu onset selama 20 menit.
Namun pada praktikum kali ini, ada ketidak sesuaian dalam data yang
dihasilkan. Karena ketika sudah terjadinya onset yaitu pada menit ke 20, dapat
terlihat dalam data tersebut bahwa jumlah mencit menjentikan ekornya ke atas
pada mencit yang diberi tramadol, sama jumlahnya dengan mencit yang diberi
NaCl. Karena seharusnya mencit yang diberi tramadol, lebih sedikit jumlah
menjentikan ekornya ke atas karena obat tramadol merupakan analgetik yang
dapat digunakan untuk meredakan nyeri sedang hingga berat, seperti nyeri
pascaoperasi. Tramadol sendiri tidak ditujukan untuk digunakan terus menerus
dan bukan untuk meredakan nyeri ringan. Tramadol termasuk dalam golongan
opioid. Obat ini bekerja dengan menghambat penghantaran sinyal rasa nyeri di
sistem saraf pusat. Cara kerja ini akan mengurangi rasa sakit yang dirasakan oleh
tubuh.
Terdapat beberapa kemungkinan mengapa tikus yang diberikan tramadol
tidak menunjukkan efektivitas dalam menangkal nyeri yang dialami seperti dosis
tramadol yang diberikan mungkin tidak cukup kuat atau tidak tepat untuk
memblokir atau mengurangi persepsi sakit jentik pada tikus. Setiap obat memiliki
dosis efektif yang spesifik tergantung pada spesies hewan dan karakteristik
individu. Jika dosis yang diberikan terlalu rendah, efek analgesik yang diharapkan
mungkin tidak tercapai. Selanjutnya, tikus dapat menunjukkan variabilitas dalam
respons terhadap obat. Beberapa tikus mungkin lebih responsif terhadap tramadol
dan menunjukkan pengurangan nyeri yang signifikan, sementara yang lain
mungkin tidak menunjukkan respons yang sama. Ini dapat disebabkan oleh
perbedaan dalam sensitivitas reseptor opioid, perbedaan metabolisme obat, atau
faktor genetik lainnya. Selain itu, Jentik pada tikus mungkin melibatkan
mekanisme nyeri yang kompleks, termasuk jalur saraf yang tidak sepenuhnya
dihambat oleh tramadol. Tramadol bekerja dengan mengikat reseptor opioid dan
mengurangi persepsi nyeri, namun tidak dapat menghilangkan semua jenis nyeri
atau menghambat semua jalur saraf yang terlibat dalam rasa sakit. Oleh karena
itu, walaupun tramadol diberikan, beberapa tingkat respons jentik mungkin tetap
ada.
Untuk tramadol sendiri lama kerja di dalam tubuh berkisar 6 sampai 9 jam
setelah dikonsumsi. Hal tersebut dinamakan dengan durasi. Durasi adalah waktu
lamanya efek sampai efek obat tersebut hilang.
Selanjutnya dilakukan Uji geliat (locomotor activity test) yang merupakan
salah satu metode yang digunakan untuk mengukur aktivitas motorik hewan uji
setelah pemberian suatu dosis obat atau senyawa tertentu. Uji geliat umumnya
dilakukan pada hewan seperti tikus atau mencit, dan dapat memberikan informasi
tentang efek stimulan atau depresan dari suatu zat terhadap sistem saraf pusat. Uji
geliat ditujukan untuk mengamati perubahan dalam aktivitas motorik hewan
setelah pemberian dosis yang berbeda dari suatu obat atau senyawa. Hal ini dapat
membantu dalam memahami efek farmakologis dari zat yang diuji, seperti efek
stimulan yang meningkatkan aktivitas motorik atau efek depresan yang
mengurangi aktivitas motorik.
Terdapat beberapa sampel berupa analgetik yang terdiri dari Aspirin, Asam
Mefenamat, Parasetamol, dan Kontrol positif berupa NaCl. Asam mefenamat
adalah obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) yang memiliki efek analgesik,
antiinflamasi, dan antipiretik. Asam mefenamat sering digunakan untuk
meredakan nyeri menstruasi, nyeri otot, dan nyeri akibat peradangan. Efek
analgesiknya dikaitkan dengan penekanan produksi prostaglandin yang berperan
dalam merespons nyeri dan peradangan. Aspirin adalah NSAID yang memiliki
efek analgesik, antiinflamasi, antipiretik, dan antikoagulan. Aspirin bekerja
dengan menghambat enzim COX yang terlibat dalam produksi prostaglandin. Ini
membantu mengurangi rasa sakit, peradangan, dan demam. Selain itu, aspirin
memiliki sifat antikoagulan yang membantu mencegah penggumpalan darah.
Aspirin sering digunakan untuk meredakan nyeri ringan hingga sedang, serta
untuk kondisi peradangan kronis seperti arthritis. Selanjutnya Parasetamol atau
dikenal sebagai asetaminofen, adalah analgesik dan antipiretik yang sering
digunakan untuk meredakan nyeri dan menurunkan demam. Parasetamol bekerja
dengan menghambat enzim COX-3 di pusat pengaturan suhu tubuh dan
mengurangi produksi prostaglandin di otak. Meskipun efek antiinflamasi
parasetamol terbatas, ia efektif dalam meredakan nyeri ringan hingga sedang.
Digunakannya NaCl sebagai Kontrol positif merujuk pada substansi atau
perlakuan yang diketahui memiliki efek toksik atau respons yang diharapkan,
sehingga digunakan sebagai pembanding untuk mengevaluasi respons terhadap
perlakuan lain.
Diberikan perlakuan masing-masing mencit diberikan 1 bahan, dan
dibiarkan terlebih dahulu selama 20 menit supaya obat yang diberikan telah
bekerja. Setelahnya diberikan Asam asetat (acetic acid) yang apabila dikonsumsi
langsung dapat menyebabkan gangguan pencernaan, seperti mual, muntah,
ataupun diare, sehingga ketika diujikan pada mencit respond yang dihasilkan
adalah menggeliat dengan kaki tertarik ke belakang dan abdomen menyentuh
dasar karena adanya kontraksi dari dinding perut. Analgetik yang diberikan
digunakan untuk mengukur sejauh apa pengaruh obat dalam mengobati dan
meredakan nyeri yang disebabkan oleh asam asetat.
Setelah diujikan selama 35 menit, didapat data yang diperoleh pada mencit
yang diberikan Aspirin mengalami geliat sebanyak 24 kali, pada mencit yang
diberikan Asam Mefenamat mengalami geliat sebanyak 26 kali, pada mencit yang
diberikan Parasetamol mengalami geliat sebanyak 14 kali, sedangkan pada mencit
yang tidak diberikan obat dan hanya diberikan NaCl mengalami geliat sebanyak
85 kali.
Setelah dianalisis, dapat dilihat bahwa mencit yang diberikan parasetamol
lebih sedikit menggeliat atau merasakan kontraksi di perut. Yang menandakan
bahwa parasetamol efektif dalam mengatasi nyeri jika dibandingkan dengan
Aspirin dan Asam Mefenamat. Hal tersebut karena zat yang digunakan untuk
membuat rasa sakit pada mencit tersebut yaitu asam asetat yang apabila
dikonsumsi langsung dapat menyebabkan gangguan pencernaan, seperti mual,
muntah, ataupun diare. Berkaitan dengan hal tersebut, asam mefenamat sering
dikeluhkan menyebabkan nyeri lambung, mual/muntah. Sedangkan pada obat
paracetamol cukup aman untuk pencernaan. Sehingga geliat yang didapat lebih
banyak pada mencit yang diberi asam mefenamat, dibanding mencit yang diberi
paracetamol. Karena asam mefenamat akan membuat nyeri lambung pada mencit,
hal tersebut akan semakin parah ketika mencit diberikan asam asetat pada menit
ke 20 yang pada dasarnya asam asetat menyebabkan gangguan pencernaan,
sehingga membuat gangguan pencernaan pada mencit tersebut semakin parah.
Sedangkan mencit yang hanya diberikan NaCl mengalami geliat terbanyak
karena NaCl tidak memiliki efek stimulasi atau pengaruh yang signifikan terhadap
perilaku atau aktivitas mencit. Sehingga tidak dapat menangkal rasa nyeri yang
dialami oleh mencit tersebut.
Seiring berjalannya waktu, jumlah geliat semakin turun. Hal ini dapat
dikarenakan mencit sudah dapat beradaptasi terhadap rasa sakit yang dialami.
Adaptasi merupakan mekanisme respons fisiologis dan perilaku yang dapat terjadi
pada mencit atau hewan lainnya ketika mereka mengalami rangsangan yang
berulang atau berkelanjutan. Ketika mencit terpapar dengan rangsangan nyeri
secara berulang, sistem saraf mereka dapat beradaptasi dengan cara mengurangi
sensitivitas terhadap rangsangan tersebut. Proses ini disebut desensitisasi saraf.
Selama desensitisasi, saraf-saraf yang bertanggung jawab atas menerima dan
mengirimkan sinyal nyeri ke otak mengalami perubahan yang menyebabkan
mereka menjadi kurang responsif terhadap rangsangan nyeri. Akibatnya, mencit
mungkin menunjukkan penurunan jumlah geliat kesakitan seiring berjalannya
waktu. Selain itu, rasa sakit yang menurun dapat terjadi karena efektivitas obat
yang meningkat sehingga nyeri dapat diatasi dengan baik.

VIII. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan mengenai "Hubungan Dosis
dan Respons", dengan adanya praktikum ini kami selaku mahasiswa dapat
mengetahui dan mampu menjelaskan tentang hubungan dosis-respons. adapun
hasil data yang didapat berupa % efektivitas analgesik pada Asam Mefenamat
sebesar 96,154%, dan pada Paracetamol sebesar 116,36%.
Daftar Pustaka

Katzung, Betram. 1989. Farmakologi Dasar dan Klinik. Salemba Medika: Jakarta.

Tim Dosen. 2019. Penuntun Praktikum Farmakologi. Program Studi Farmasi UIN
Syarif Hidayatullah: Jakarta.

Goodman and Gilman's. 1992. The Pharmacological Basis of Therapeutics. Eight


Edition. Vol. 1. New York. McGraw-Hill: 3.

Tjay, Tan Hoan dan K. Rahardja. 2007. Obat-obat Penting. PT Gramedia: Jakarta

Anwar, Khoerul, dkk. Perbandingan Aktivitas Analgetik Infusa dan Ekstrak Etanol
Umbi Akar Tawas Ut (Ampelocissus rubiginosa Lauterb.). Jurnal Pharmascience, Vol.
06, No.02, Oktober 2019, hal: 40-47.

Silvia, Emma. AKTIVITAS ANALGETIK EKSTRAK BUAH TAKOKAK (Solanum


torvum Sw) TERHADAP MENCIT PUTIH JANTAN DAN PENGEMBANGAN BENTUK
SEDIAAN KAPSUL. UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG, 2019.

Meily Kurniawidjaja, dkk. Konsep Dasar Toksikologi Industri/ L. Ed 1: Depok:


Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Februari 2021.

Anda mungkin juga menyukai