Anda di halaman 1dari 150

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.

D DENGAN FRAKTUR
TIBIAATASINDIKASI POST OPERASI ORIF DENGAN PENERAPAN
APLIKASI GUIDED IMAGERYMENGGUNAKAN MUSIK
RELAKSASI UNTUK MENGURANGI NYERI
DI RUANGAN TRAUMA CENTER
RSUP Dr.M.DJAMIL PADANG

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

oleh

Selvi Radiatul Mardiah, S.Kep


2014901041

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ALIFAH PADANG

TAHUN 2022
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. D DENGAN FRAKTUR
TIBIAATASINDIKASI POST OPERASI ORIF DENGAN PENERAPAN
APLIKASI GUIDED IMAGERYMENGGUNAKAN MUSIK
RELAKSASI UNTUK MENGURANGI NYERI
DI RUANGAN TRAUMA CENTER
RSUP Dr.M.DJAMIL PADANG

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

LAPORAN ILMIAH AKHIR


Untuk Memperoleh Gelar Ners (Ns)

Pada Program Studi Pendidikan Profesi Ners

STIKES Alifah Padang

Selvi Radiatul Mardiah, S.Kep

2114901041

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ALIFAH PADANG

TAHUN 2022
PERNYATAAN LAPORAN ILMIAH AKHIR
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. D DENGAN FRAKTUR
TIBIAATASINDIKASI POST OPERASI ORIF DENGAN PENERAPAN
APLIKASI GUIDED IMAGERYMENGGUNAKAN MUSIK
RELAKSASI UNTUK MENGURANGI NYERI
DI RUANGAN TRAUMA CENTER
RSUP Dr.M.DJAMIL PADANG

Selvi Radiatul Mardiah, S.Kep

2114901041

Laporan ilmiah akhir ini telah disetujui,

Agustus 2022

Oleh :

Pembimbing

Ns. Weni Mailita, S. Kep., M. Kep

Mengetahui,

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alifah Padang

Ketua

Dr. Ns. Asmawati, S. Kep., M. Kep

i
PERNYATAAN PENGUJI LAPORAN ILMIAH AKHIR
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. D DENGAN FRAKTUR
TIBIAATASINDIKASI POST OPERASI ORIF DENGAN PENERAPAN
APLIKASI GUIDED IMAGERYMENGGUNAKAN MUSIK
RELAKSASI UNTUK MENGURANGI NYERI
DI RUANGAN TRAUMA CENTER
RSUP Dr.M.DJAMIL PADANG

Selvi Radiatul Mardiah, S.Kep

2114901041

Laporan ilmiah akhir ini telah di uji dan dinilai oleh penguji
Program Studi Pendidikan Profesi Ners
Oktober 2022

Oleh :

TIM PENGUJI

Pembimbing Ns. Weni Mailita, M.Kep ( )

Penguji I Ns. Rebbi Permata Sari, M.Kep ( )

Penguji II Ns. Hidayatul Rahmi, M.Kep ( )

Mengetahui,
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alifah Padang
Ketua

Dr. Ns. Asmawati, S. Kep., M. Kep

ii
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya :


Nama Lengkap : Selvi Radiatul Mardiah, S.Kep
NIM : 2014901041
Tempat/Tanggal Lahir : Pakandangan/ 08 Januari 1999

Tanggal Masuk : 05 Oktober 2021


Program Studi : Profesi Ners
Nama Pembimbing Akademik : Defi Yulita, M.Biomed
Nama Pembimbing : Ns. Weni Mailita, M. Kep

Menyatakan bahwa saya tidak melakukan plagiat dalam penulisan karya tulis
ilmiah saya yang berjudul :
“Asuhan Keperawatan Pada Tn.D Dengan Fraktur Tibia Atas Indikasi Post
Operasi ORIF Dengan Penerapan Aplikasi Guided Imagery Menggunakan
Musik Relaksasi Untuk Mengurangi Nyeri Di Ruangan Trauma Center
RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2022”
Apabila suatu saat nanti terbukti saya melakukan tindakan plagiat dalam penulisan
karya ilmiah elektif ini, maka saya akan menerima sanksi yang telah ditetapkan.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Padang, Agustus 2022

Selvi Radiatul Mardiah, S.Kep

iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. IDENTITAS PRIBADI
Nama : Selvi Radiatul Mardiah
NIM : 2114901041
Program Studi : Profesi Ners
Tempat Lahir : Pakandangan
Tanggal Lahir : 08 Januari 1999
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Anak Ke : 1
Jumlah Bersaudara : -
Daerah Asal : Padang Pariaman
Kebangsaan : Indonesia
Alamat : Pasa Jambu, Koto Tinggi, Kec. Enam Lingkung,
Kab. Padang Pariman

B. IDENTITAS ORANG TUA


Nama Ayah : Akafrizal
Pekerjaan : Tukang Masak
Nama Ibu : Rosneli
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

C. RIWAYAT PENDIDIKAN
TK Aisyah Pakandangan : Lulusan tahun 2005
SD Negeri 07 Enam Lingkung : Lulusan tahun 2011
SMP Negeri 01 Enam Lingkung : Lulusan tahun 2014
SMA Negeri 01 Enam Lingkung : Lulusan tahun 2017
Program pendidikan S-1 Keperawatan : Lulusan tahun 2021

iv
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ALIFAH PADANG
Elektif, Agustus 2022

Selvi Radiatul Mardiah, S. Kep

Asuhan Keperawatan Pada Tn.D Dengan Fraktur Tibia Atas Indikasi Post Operasi
ORIF Dengan Penerapan Aplikasi Guided Imagery Menggunakan Musik
Relaksasi untuk Mengurangi Nyeri di Ruangan Trauma Center RSUP Dr. M.
Djamil Padang
xv + 117 Halaman + 13tabel + 3 Gambar + 1 skema + 10 Lampiran

RINGKASAN EKSLUSIF

Kejadian fraktur di dunia menurut WHO (World Health Organization) di


dunia tahun 2020 mencapai 2,7% dari ± 13 juta jiwa.Menurut riset kesehatan
dasar Indonesia pada tahun 2018 mengenai kasus fraktur mencapai 1,3 juta jiwa
setiap tahunnya dimana didapatkan kasus fraktur di Sumatera Barat 54% melebihi
dari setengah populasi penduduk.Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang yang disebabkan oleh trauma dan menimbulkan nyeri oleh seseorang.
Tujuan umum dari penulisan ini mampu untuk melaksanakan asuhan keperawatan
profesional pada Tn. D dengan Fraktur Tibia Post Operasi ORIF dengan
Penerapan Aplikasi Guided Imagery menggunakan musik relaksasi untuk
menurunkan skala nyeri di ruangan Trauma Center RSUP Dr. M. Djamil Padang
Tahun 2022.
Diagnosa yang diangkat pada kasus adalah nyeri akut, gangguan integritas
kulit dan gangguan mobilitas fisik. Intervensi terapi non farmakologi yang belum
banyak digunakan di rumah sakit adalah terapi guided imagery dengan musik
relaksasi.
Pelaksanaan studi kasus dilaksanakan di RSUP Dr.M.Djamil Padang kepada
pasien dengan nyeri akut akibat fraktur tibia post operasi ORIF didapatkan hasil
skala nyeri menurun dari berat ke sedang. Evaluasi keperawatan dari semua
perencanaan dan tindakan dapat teratasi.
Diharapkan kepada Tn. D di RSUP Dr.M.Djamil Padang dapat
meningkatkan kualitas kesehatannya serta dapat menurunkan skala nyeri secara
mandiri dengan mendengarkan terapi guided imagery secara mandiri baik di
rumah sakit maupun di rumah.

Daftar Pustaka : 22 (2013-2021)


Kata Kunci : Post Operasi ORIF, Skala Nyeri, Terapi Guided Imagery,
Fraktur Tibia

v
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ALIFAH PADANG
Elektif, Agust 2022

Selvi Radiatul Mardiah, S. Kep

Nursing Care Mr. D Fracture of the tibia in postoperative ORIF indications with
the application of Guided Imagery Applications Using Relaxation Music to
Reduce Pain in the Trauma Center Room RSUP Dr. M. Djamil Padang
xv + 117 pages + 13 tables + 3picture + 1 scheme + 10attachment

EXCLUSIVE SUMMARY

The incidence of fractures in the world according to WHO (World Health


Organization) in the world in 2020 reached 2.7% of ± 13 million people.
According to Indonesia's basic health research in 2018 regarding fracture cases
reaching 1.3 million people every year where fracture cases in West Sumatra are
54% more than half the population. A fracture is a break in the continuity of bone
tissue caused by trauma and causes pain to a person. The general purpose of this
paper is to be able to carry out professional nursing care for Mr. D with Tibia
Fracture Post ORIF Operation with Guided Imagery Application Application
using relaxation music to reduce pain scale in the Trauma Center room of Dr.
RSUP. M. Djamil Padang in 2022.
The diagnoses raised in this case were acute pain, impaired skin integrity
and impaired physical mobility. Non-pharmacological therapy interventions that
have not been widely used in hospitals are guided imagery therapy with relaxation
music.
The case study was carried out at Dr.M.Djamil Hospital Padang to patients
with acute pain due to postoperative ORIF tibia fractures, the results of the pain
scale decreased from severe to moderate. Nursing evaluation of all plans and
actions can be resolved.
It is hoped that patients managed at Dr.M.Djamil Hospital Padang can improve
their health quality and can reduce pain scale independently by listening to guided
imagery therapy independently both in the hospital and at home.

Bibliography : 22 (2013-2021)
Keywords: Post operation ORIF, pain scale, guided imagery therapy, tibial
fracture

vi
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas kehadiran Allah SWT yang telah

memberikan petunjuk dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

Laporan Ilmiah Akhir Ners dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada Tn.D

Dengan Fraktur Tibia Atas Indikasi Post Operasi ORIF Dengan Penerapan

Aplikasi Guided Imagery Menggunakan Musik Relaksasi Untuk Mengurangi

Nyeri Di Ruangan Trauma Center RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun

2022”.Laporan ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan

pendidikan Profesi Ners STIKes Alifah Padang.

Proses pembuatan Laporan Ilmiah Akhir Ners initidak terlepas dari

kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, bantuan dan penjelasan dari

berbagai pihak akhirnya Laporan Ilmiah Akhir Ners ini dapat diselesaikan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Ns. Weni Mailita, M. Kep yang telah bersedia mengarahkan,

membimbing dan memberi masukan kepada penulis dengan penuh

perhatian dan kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya

Tulis ilmiah ini.

2. Ibu Dr. Ns. Asmawati M. Kep, selaku Ketua STIKes Alifah Padang.

3. Ibu Ns. Amelia Susanti, M.Kep, Sp.Kep, J selaku ketua program Studi

Profesi Ners STIKes Alifah Padang.

4. Bapak/ Ibuk Staf RSUP Dr.M.Djamil Padang yang telah banyak

membantu agar terlaksananya penyusunan Laporan Ilmiah Akhir Ners ini.

vii
viii

5. Tn.D beserta keluarga sebagai pasien kelolaan yang telah meluangkan

waktu dan berpartisipasi dalam penyusunan Laporan Ilmiah Akhir Ners

ini.

6. Orang tua yang selalu mendoakan dan menjadi penyemangat bagi penulis,

serta memenuhi segala kebutuhan baik moril maupun materil.

7. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Profesi Ners STIKes Alifah

Padang yang telah memberikan motivasi dan dorongan serta sumbangan

ide dan pikiran kepada penulis dalam penyelesaian Laporan Ilmiah Akhir

Ners ini.

Penulis menyadari bahwa Laporan Ilmiah Akhir Ners ini masih jauh dari

kesempurnaan.Halini bukanlah suatu kesengajaaan melainkan karena keterbatasan

ilmu dan kemampuan penulis, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis

menerima masukan, kritikan, dan saran demi kesempurnaan di masa yang akan

datang.

Padang, Agustus 2021

Selvi Radiatul Mardiah, S. Kep


x

DAFTAR ISI

PERNYATAAN PERSETUJUAN ..................................................................... i


PERNYATAAN PENGUJI ............................................................................... ii
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT ................................................................ iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .......................................................................... iv
RINGKASAN EKSLUSIF ................................................................................. v
EXCLUSIVE SUMMARY ............................................................................... vi
KATA PENGANTAR ...................................................................................... vii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiii
DAFTAR SKEMA .......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xv
BAB IPENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................................1
B. Tujuan Karya Ilmiah ...............................................................................................6
1. Tujuan Umum .....................................................................................................6
2. Tujuan Khusus ....................................................................................................6
C. Manfaat Karya Tulis ...............................................................................................7
1. Bagi Penulis ........................................................................................................7
2. Bagi STIKes Alifah Padang .................................................................................7
3. Bagi RSUP Dr. M. Djamil Padang .......................................................................8
4. Bagi Pasien dan Keluarga ....................................................................................8
BAB IITINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 9
A. Konsep Fraktur .......................................................................................................9
1. Definisi Fraktur ...................................................................................................9
2. Anatomi Fisiologi .............................................................................................. 10
3. Etiologi ............................................................................................................. 14
4. Klasifikasi ......................................................................................................... 14
5. Patofisiologi ...................................................................................................... 17
6. Web Of Coution Fraktur .................................................................................... 18
7. Manifestasi Klinis .............................................................................................. 19
8. Fase Penyembuhan Tulang ................................................................................ 19
9. Komplikasi ........................................................................................................ 22
10. Penatalaksanaan............................................................................................... 24
B. Konsep Nyeri ........................................................................................................ 27
1. Pengertian Nyeri ................................................................................................ 27
2. Penyebab Nyeri ................................................................................................. 27
3. Klasifikasi nyeri ................................................................................................ 28

x
xi

4. Pengukuran skala nyeri ...................................................................................... 30


5. Penatalaksanaan nyeri ........................................................................................ 32
C. Terapi Guided Imagery dengan Musik Relaksasi ................................................... 35
1. Pengertian Terapi Guided Imagery ..................................................................... 35
2. Manfaat Terapi Guided Imagery ........................................................................ 35
3. Fisiologi Terapi Guided Imagery ....................................................................... 36
4. Musik Relaksasi ................................................................................................ 37
4. Prosedur Teknik Terapi Guided Imagery............................................................ 37
D. Asuhan Keperawatan Teoritis ............................................................................... 39
1. Pengkajian ......................................................................................................... 39
2. Diagnosa Keperawatan ...................................................................................... 48
3. Intervensi Keperawatan ..................................................................................... 49
4. Implementasi Keperawatan ................................................................................ 55
5. Evaluasi Keperawatan ....................................................................................... 55
E. Evidence Based Nursing (EBN) ............................................................................ 55
BAB IIITINJAUAN KASUS ........................................................................... 63
A. PENGKAJIAN ..................................................................................................... 63
B. ANALISA DATA................................................................................................. 78
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN (SDKI, 2017) ..................................................... 80
D. INTERVENSI KEPERAWATAN ........................................................................ 81
E. Catatan Perkembangan .......................................................................................... 85
BAB IVPEMBAHASAN ................................................................................ 106
A. Manajemen Asuhan Keperawatan ....................................................................... 106
1. Pengkajian ....................................................................................................... 106
2. Diagnosa Keperawatan .................................................................................... 109
3. Intervensi Keperawatan ................................................................................... 112
4. Implementasi ................................................................................................... 113
5. Evaluasi........................................................................................................... 118
BAB VPENUTUP .......................................................................................... 121
A. Kesimpulan ........................................................................................................ 121
B. Saran .................................................................................................................. 122
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 117

xi
DAFTAR TABEL

2.1 Perbedaan Nyeri Akut dan Nyeri Kronis ............................................................... 30

2.2 Intervensi Nyeri Non Farmakologi........................................................................ 33

2.3 Intervensi Keperawatan ........................................................................................ 49

2.4 Hasil Penelitian dari Artikel Literatur/ Jurnal Review ........................................... 56

3.1 Pemeriksaan Syaraf Kranial ................................................................................. 70

3.2 Pola Eliminasi BAB dan BAK .............................................................................. 72

3.3 Pola Istirahat dan Tidur ....................................................................................... 72

3.4 Persepsi Diri ......................................................................................................... 73

3.5 Hasil Laboratorium .............................................................................................. 74

3.6 Pengobatan Pasien ................................................................................................ 75

3.7 Analisa Data Keperawatan.................................................................................... 76

3.8 Intervensi Keperawatan ........................................................................................ 78

3.9 Catatan Perkembangan ......................................................................................... 82

xii
DAFTAR GAMBAR

2.1 Anatomi Fisiologi Tulang.................................................................................. 10


2.2 Bentuk Garis Patah Pada Tulang ................................................................ 15
3.1 Hasil Rontgen Cruris AP & Lateral (Sinistra) ............................................. 74

xiii
DAFTAR SKEMA

2.1 WOC Fraktur ............................................................................................. 18

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Monitoring skala nyeri setelah terapi guided imagery dengan


musik relaksasi
Lampiran 2 Skala pengukuran skala nyeri NRS (Numeric rating scale)
Lampiran 3 SOP terapi guided imagery
Lampiran 4 Dokumentasi pada Tn.D dalam pemberian terapi guided
imagery dengan musik relaksasi
Lampiran 5 Lembar bimbingan
Lampiran 6 Daftar matriks perbaikan
Lampiran 7 Artikel Efektifitas terapi guided imagery dengan nafas dalam
terhadap penurunan nyeri pasien pasca operasi fraktur
Lampiran 8 Artikel Pengaruh terapi guided imagery terhadap nyeri pada
pasien post operasi fraktur di ruang Bougenvil di RSUD
Dr.R.Koesna Tuban
Lampiran 9 Asuhan keperawatan pada pasien pasca operasi fraktur
dalam pemenuhan kebutuhan rasa aman dan nyaman
Lampiran 10 Manajemen nyeri dengan guided imagery dengan klien post
operasi fraktur kruris di RSUD H.Soewondo Kendal

xv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kerangka tubuh manusia dibentuk oleh tulang yang bertugas melindungi

organ-organ didalam tubuh, tempat melekatnya otot kerangka, serta sebagai

penopang utama pada tubuh manusia (Rosyidi, 2013).Selain itu, tulang bersifat

rapuh, tetapi cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas yang menahan, apabila

tekanan dari luar lebih kuat, maka terjadilah trauma pada tulang, sehingga

terpotongnya kesinambungan tulang karena trauma, tekanan ataupun kelainan

patologis yangdisebut dengan istilah fraktur (Oktaviani dan Afni, 2021).

Data dari dunia menurut World Health of Organization (WHO) mengenai

kejadian fraktur atau patah tulang di dunia pada tahun 2020 terjadi kurang lebih

13 juta orang dengan angka pravalensi sebesar 2,7%. Indonesia merupakan negara

terbesar di asia tenggara yang mengalami kasus patah tulang (fraktur) terbanyak

yaitu sebesar 1,3 juta jiwa setiap tahunnya dari jumlah penduduk berkisar 238 juta

jiwa. Sedangkan, di Indonesia menurut servei dari riset kesehatan dasar

bahwasanya proporsi tempat terjadinya cedera yang paling banyak terjadi di jalan

raya dengan persentase 31,4% serta penyebab utama cedera akibat kecelakaan lalu

lintas di posisi puncak adalah mengendarai sepeda motor (72,7%). Selain itu,

proporsi bagian tubuh yang paling banyak dijumpai cedera yaitu anggota gerak

bawah (Riskesdas, 2018).

1
2

Fraktur pada ekstremitas bawah akibat kecelakaan memiliki prevalensi yang

paling tinggi terjadinya cedera yaitu fraktur dengan persentase yaitu sebesar

67,9% dari92,976. Orang dengan kasus fraktur pada tibia sebanyak 3.775, orang

yang mengalami fraktur cruris sebanyak14.027, orang yang mengalami fraktur

femur sebanyak 19.754, orang yang mengalami fraktur pada tulang tulang kecil

dikaki sebanyak 970 dan orang yang mengalami fraktur fibula sebanyak

337.Berdasarkan klasifikasi fraktur tibia dibagi menjadi dua yaitu fraktur tertutup

dan terbuka. Data mengenai pravelansifraktur terbuka dan tertutup di Indonesia

masih sulit untuk ditemukan. Pada tahun 2018 menyatakan cedera secara nasional

sebesar 9,2% dengan prevelansi tertinggi ditemukan di Sulawesi Tengah (13,8%)

dan terendah di Gorontalo (6,9%).Di Sumatera Barat angka kejadian fraktur

sebanyak 54% (Riskesdas, 2018).

Kejadian fraktur pada tubuh manusia menyebabkan nyeri atau sensasi yang

tidak menyenangkan dan bervariasi pada setiap tubuh manusia serta dapat

mempengaruhi seluruh pikiran, aktivitas serta mengubah kehidupan seseorang

(Oktaviani dan Afni 2021).Oleh sebab itu, nyeri perlu dilakukan penanganan yang

tepat sesuai dengan keadaan nyeri yang dirasakan, sehingga perlu tindakan

farmakologi berupa obat-obatan yang diresepkan oleh dokter dan non-farmakologi

berupa upaya untuk mengurangi rasa nyeri tidak dengan obat-obatan melainkan

dengan tindakan keperawatan berupa tarik nafas dalam, distraksi dan guided

imagery yang dilakukan oleh perawat di rumah sakit(Cahyani dan Nopriyanto,

2021).
3

Teknik Guided Imageryberguna untuk mengurangi nyeri, stress

sertakecemasan dengan menggunakan imajinasi atau hayalan seseorang yang

melibatkan alat indera visual, sentuhan, pendengaran, pengecap dan penciuman

yang tujuannya agar pasien menjadi lebih tenang dan rileks. Selama latihan

relaksasi ini seseorang dipandu untuk rileks dengan situasi yang tenang dan sunyi.

Hal inidikarenakan teknik imajinasi terbimbing dapat mengaktivasi sistem saraf

parasimpatis (Potter & Perry, 2006 dalam Astuti dan Respati, 2018).

Selain itu, tata cara pelaksanaan terapi guided imagery diawali dengan

proses relaksasi pada biasanya seperti meminta pasien perlahan-lahan menutup

kedua mata serta fokus pada pernafasannya, lalu pasien dianjurkan untuk relaksasi

untuk mengosongkan pikiran dengan bayangan untuk membuat damai dan tenang

(Noviaji, 2018).Imajinasi yang diciptakan oleh seseorang dengan membuat

gambaran mental diri seseorang tersebut atau bersifat terbimbing dengan

menggunakan indera pendengaran, pengecapan serta penciuman (Darmadi dan

Hafid, 2020).

Terapi Guided Imagery merupakan terapi yang menggunakan pengalihan

perhatian yang memanfaatkan cerita atau narasi yang mempengaruhi pikiran dan

sering dikombinasikan dengan latar belakang musik seperti musik alam, sehingga

nyeri yang dirasakan pasien atau seseorang berkurang. Selain itu, mekanisme

imajinasi positif dapat melemahkan psiko-neuro immunologi yang mempengaruhi

respon stress, hal tersebut berkaitan dengan teori Gate Control bahwasanya hanya

satu impuls yang dapat berjalan hingga ke sumsum tulang belakang lalu ke otak

pada satu waktu dan jika ini terisi dengan pikiran lain, sehingga sensasi rasa sakit

tidak dapat terkirim ke otak, hal ini terjadi karena rasa sakit atau nyeri berkurang.
4

Terapi guided imagery mampu mengatasi kecemasan, stress dan nyeri serta

menurunkan tekanan darah, nadi serta respirasi (Smelter & Bare, 2008 dalam

Ayu, 2017).

Musik mampu menyentuh seseorang secara fisik, psikososial, emosional

serta spiritual. Kemudian, mekanisme musik mempunyai ikatan erat dengan

frekuensi dasar tubuh manusia melalui vibrasi musik, sebab memadukan pola

getar dasar tubuh manusia yang membuat pengobatan yang begitu bagus bagi

tubuh, pikiran serta jiwa manusia, karena musik membantu otak kiri memimpin

untuk meningkatkan proses belajar. Selain itu, musik telah tumbuh dengan baik di

dunia sebagai terapi non farmakologi untuk menurunkan nyeri post operasi dan

telah terbukti dapat mengurangi nyeri, penggunaan analgesik serta efek samping

yang ditimbulkan dari obat analgesik(Mahogany, Oktariani, dan Murhayati,

2021).

Terapi guided imagery terbukti berpengaruh untuk mengurangi nyeri pada

hasil penelitian dari Astuti & Respati (2018) mengenai pengaruh terapi guided

imagery terhadap nyeri pada pasien post operasi fraktur hari kedua dan pasien

post operasi pada fraktur terbuka didapatkan dengan nilai signifikan 0,000

(p<0,05) terhadap pemberian terapi guided imagery dengan data dari 14 pasien

terdapat 12 pasien (85,7%) mengalami penurunan nyeri, sedangkan 2 pasien

(14,3%) tidak mengalami penurunan nyeri atau tetap.

Hasil penelitian Nur Meity Sulistia Ayu (2017) mengenai efektifitas terapi

audio recorded guided imagery dengan nafas dalam terhadap penurunan nyeri

pasien usia dewasa yang mengalami sudah melakukan operasi fraktur


5

mendapatkan hasil bahwasanya tingkat nyeri pada pasien dengan pasca operasi

fraktur yang terdiri dari 18 responden (18 pasien) semuanya berada pada tingkat

nyeri sedang (100%). Namun, setelah dilakukan terapi audio recordeed guided

imagery dengan nafas dalam, tingkat nyeri pasien berubah yaitu terdapat 14

pasien yang tingkat nyerinya menjadi nyeri sedang (77,8%).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan selama 1 minggu di

ruangan Trauma Center RSUP Dr. M. Djamil Padang terdapat 15 orang dengan

diagnosa medis yang berbeda-beda pula yaitu 2 orang dengan cidera kepala, 2

orang dengan fraktur clavikula, 2 orang dengan cidera kepala disertai dengan

fraktur femur, 2 orang dengan fraktur femur, 3 orang dengan fraktur fibula dan 4

orang dengan fraktur tibia. Penatalaksanaan medis pasien melalui prosedur

pembedahan ORIF dan OREF. Pasien yang menjalani operasi ORIF sebanyak 10

orang dan OREF 3 orang.Penulis tertarik dengan fraktur tibia dikarenakan kasus

terbanyak di ruangan serta prosedur operasi dengan metode pembedahan ORIF.

Setelah peneliti mewawancarai beberapa perawat, didapatkan keterangan bahwa

terapi aplikasi Guided Imagerybelum pernah diterapkan diruangan untuk

mengurangi nyeri pasien post operasi, perawat hanya mengajarkan teknik napas

dalam saat pasien mengeluh nyeri.

Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik melakukan ”Asuhan

Keperawatan pada Tn. D dengan Fraktur Tibia Post Operasi ORIF dengan

Penerapan Aplikasi Guided Imagerymenggunakan musik relaksasi untuk

menurunkan skala nyeri di ruangan Trauma Center RSUP Dr. M. Djamil Padang

Tahun 2022”.
6

B. Tujuan Karya Ilmiah

1. Tujuan Umum
Penulismampu melaksanakan asuhan keperawatan profesional pada Tn. D

dengan Fraktur Tibia Post Operasi ORIF dengan Penerapan Aplikasi Guided

Imagerymenggunakan musik relaksasi untuk menurunkan skala nyeri di

ruangan Trauma Center RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2022.

2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian pada Tn. D dengan Fraktur Tibia Post

Operasi ORIF dengan Penerapan Aplikasi Giuded

Imagerymenggunakan musik relaksasi untuk menurunkan skala nyeri di

ruangan Trauma Center RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2022.

b. Mampu menegakkan diagnosa keperawatan pada Tn. D dengan Fraktur

TibiaPost Operasi ORIF dengan Penerapan Aplikasi Giuded

Imagerymenggunakan musik relaksasi untuk menurunkan skala nyeri di

ruangan Trauma Center RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2022.

c. Mampu menetapkan intervensi keperawatan pada Tn. D dengan Fraktur

Tibia Post Operasi ORIF dengan Penerapan Aplikasi Guided

Imageymenggunakan musik relaksasi untuk menurunkan skala nyeri di

ruangan Trauma Center RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2022.

d. Mampu melaksanakan implementasi sesuai rencana pada Tn. D dengan

Fraktur Tibia Post Operasi ORIF dengan Penerapan Aplikasi Guided

Imagerymenggunakan musik relaksasi untuk menurunkan skala nyeri di

ruangan Trauma Center RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2022.


7

e. Mampu melaksanakan evidence based pada Tn. D dengan Fraktur Tibia

Post Operasi ORIF dengan Penerapan Aplikasi Guided

Imagerymenggunakan musik relaksasi untuk Menurunkan Skala Nyeri

di Ruangan Trauma Center RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2022.

f. Mampu melakukan evaluasi pada Tn. D dengan Fraktur Tibia Post

Operasi ORIF dengan Penerapan Aplikasi Guided

Imagerymenggunakan musik relaksasi untuk Menurunkan Skala Nyeri

di Ruangan Trauma Center RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2022.

g. Mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan pada Tn. D dengan

Fraktur Tibia Post Operasi ORIF dengan Penerapan Aplikasi Guided

Imagerymenggunakan musik relaksasi untuk menurunkan Skala Nyeri

di Ruangan Trauma Center RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2022.

C. Manfaat Karya Tulis

1. Bagi Penulis

Untuk menambah wawasan mahasiswa agar dapat mengaplikasikan Asuhan

Keperawatan tentang manajemen nyeri non- farmakologis yaitu penerapan

aplikasi Giuded Imageymenggunakan musik relaksasi untuk menurunkan

skala nyeri pada pasien ORIF dan meningkatkan analisa kasus sebagai

profesi keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien

yang mengalami fraktur tibia.

2. Bagi STIKes Alifah Padang

Penulisan laporan akhir ini dapat memberikan referensi dan masukan bagi

mahasiswa keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada

pasien Post Operasi ORIF dengan Penerapan Aplikasi Guided


8

Imagerymenggunakan musik relaksasi untuk Menurunkan Skala Nyeri di

Ruangan Trauma Center RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2022.

3. Bagi RSUP Dr. M. Djamil Padang

Diharapkan hasil penulisan Karya Ilmiah Akhir Ners ini dapat menjadi salah

satu pelaksanaan keperawatan dan alternatif dalam memberikan asuhan

keperawatan secara komprehensif pada klien Post Operasi ORIF dengan

Penerapan Aplikasi Guided Imagerymenggunakan musik relaksasi untuk

Menurunkan Skala Nyeri di Ruangan Trauma Center RSUP Dr. M. Djamil

Padang Tahun 2022.

4. Bagi Pasien dan Keluarga

Diharapkan hasil penulisan Karya Ilmiah Akhir Ners ini dapat menjadi

media informasi tentang penyakit yang dialami pasien dan bagaimana

penanganan bagi pasien dan keluarga baik dirumah sakit maupun dirumah.

Terutama dalam pemberian terapi guided imagery untuk menurunkan nyeri

yang dirasakan oleh pasien fraktur tibia post pemasangan ORIF.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Fraktur

1. Definisi Fraktur

Fraktur adalah sebuah patahan pada kontinuitas struktur jaringan tulang

maupun tulang rawan yang biasanya ditimbulkan dari trauma, baik trauma

langsung serta tidak langsung. Oleh sebab itu, akibat dari suatu trauma pada

tulang diperoleh bermacam-macam tergantung pada jenis, kekuatan maupun

arahnya trauma (Manurung, 2018).

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya

disebabkan oleh rudapaksa (Rosyidi 2013). Ketika tulang rusak, struktur

yang berdampingan juga terdorong, sehingga menimbulkan pembengkakan

pada jaringan lunak, pendarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi,

pecahnya tendon, terpotongnya saraf dan rusaknya pembuluh darah di

dalam tubuh manusia (Haryono dan Utami, 2019).

Fraktur merupakan suatu gangguan yang lengkap atau tidak lengkap dalam

kontinuitas struktur tulang dan dedefinisikan sesuai dengan jenis dan

luasannya. Selain itu, tulang di definisikan sebagai komponen utama dari

kerangka tubuh dan berperan untuk melindungi organ-organ tubuh serta

tempat melekatnya otot kerangka (Rosyidi 2013).

9
10

2. Anatomi Fisiologi

Gambar 2.1 Anatomi Fisiologi Tulang


Sumber : (Manurung, 2018).

a. Anatomi :

1) Tibia (tulang kering)

Tulang ini termasuk tulang panjang, sehingga terdiri dari tiga bagian:

a) Epiphysis proximalis (ujung atas)

Bagian ini melebar secara transversal dan memiliki

permukaan sendi superior pada tiap condylus, yaitu condylus

medial dan condylus lateral. Ditengah-tengahnya terdapat suatu

peninggian yang disebut eminenta intercondyloidea.


11

b) Diaphysis (corpus)

Pada penampang melintang merupakan segitiga dengan

puncaknya menghadap ke muka, sehingga corpus mempunyai tiga

sisi adalah margo anterior (disebelah muka), margo medialis

(disebelah medial) dan crista interossea (disebelah lateral) yang

membatasi facies lateralis, facies posterior dan facies

medialis.Facies medialis langsung terdapat dibawah kulit dan

margo anterior di sebelah proximal.

c) Epiphysis distalis (ujung bawah)

Kearah medial bagian ini kuat menonjol dan disebut maleolus

medialis (mata kaki). Epiphysis distalis mempunyai tiga dataran

sendi yang merupakan dataran sendi yang vertikal (facies

articularis melleolaris), dataran sendi yang horizontal (facies

articularis inferior) dan disebelah lateral terdapat cekungan sendi

(incisura fibularis).

2) Fibula

Merupakan tulang yang panjang, langsing, terletak di sebelah

lateral tibia. Epiphysis proximalis membulat disebut capitulum

fibulae. Ke arah proximal meruncing menjadi apex. Pada capitulum

terdapat dua dataran sendi yang disebut facies articularis capitulli

fibulae, untuk bersendi dengan tibia. Pada corpus terdapat empat buah

crista yaitu, crista lateralis, crista anterior, crista medialis dan crista

interosssea. Datarannya ada tiga buah yaitu facies lateralis, facies

medialis dan facies posterior. Pada bagian distal ke arah lateral

membulat menjadi maleolus lateralis (Manurung, 2018).


12

b. Fisiologi

Fungsi tulang secara umum yaitu :

1) Menahan jaringan tubuh dan memberi bentuk kepada kerangka tubuh.

2) Melindungi organ-organ tubuh (contoh:tengkorak melindungi otak)

3) Untuk pergerakan (otot melekat kepada tulang untuk berkontraksi dan

bergerak).

4) Merupakan gudang untuk menyimpan mineral (contoh kalsium dan

posfor)

5) Hematopoiesis (tempat pembuatan sel darah merah dalam sum-sum

tulang).

Pertumbuhan dan metabolisme tulang dipengaruhi oleh mineral dan

hormon :

1) Kalsium dan posfor tulang mengandung 99% kalsium tubuh dan 90%

posfor. Konsentrasi kalsium dan posfor dipelihara hubungan terbalik,

kalsitonin serta hormon paratiroid bekerja untuk memelihara

keseimbangan.

2) Kalsitonin diproduksi oleh kelenjar tiroid dimana juga tirokalsitonin

yang memiliki efek untuk mengurangi aktivitas osteoklast, untuk

melihat peningkatan aktivitas osteoblast dan yang terlama adalah

mencegah pembentukan osteoklast yang baru.

3) Vitamin D mempengaruhi deposisi dan absorbsi tulang. Dalam jumlah

besar vitamin D dapat menyebabkan absorbsi tulang seperti yang

terlihat dalam kadar hormon paratiroid yang tinggi. Bila tidak ada

vitamin D, hormon paratiroid tidak akan menyebabkan absorbsi tulang


13

sedang vitamin D dalam jumlah yang sedikit membantu klasifikasi

tulang dengan meningkatkan absorbsi kalsium dan posfat oleh usus

halus.

4) Paratiroid Hormon, mempunyai efek langsung pada mineral tulang

yang menyebabkan kalsium dan posfat diabsorbsi dan bergerak

melalui serum. Peningkatan kadar paratiroid hormon secara perlahan-

lahan menyebabkan peningkatan jumlah dan aktivitas osteoklast

sehingga terjadi demineralisasi. Peningkatan kadar kalsium serum pda

hiperparatiroidisme dapat menimbulkan pembentukan batu ginjal.

5) Growth Hormon (hormon pertumbuhan), disekresi oleh lobus anterior

kelenjar pituitary yang bertanggung jawab dalam peningkatan panjang

tulang dan penentuan jumlah matriks tulang yang dibentuk pada masa

sebelum pubertas.

6) Gluikokortikoid dan adrenal glukokortikoid mengatur metabolisme

protein. Hormon tersebut dapat meningkatkan atau menurunkan

katabolisme untuk mengurangi atau meningkatkan matriks organ

tulang dan membantu dalam regulasi absorbsi kalsium dan posfor dari

usus kecil.

7) Estrogen menstimulasi aktifitas osteoblast. Penurunan estrogen setelah

menopause mengurangi aktifitas osteoblast yang menyebabkan

penurunan matriks organ tulang. Klasifikasi tulang berpengaruh pada

osteoporosis yang terjadi pada wanita sebelum usia 65 tahun namun

matriks organiklah yang merupakan penyebab dari osteoporosis

(Manurung, 2018).
14

3. Etiologi

Menurut Smith (2018), penyebab dari fraktur tibia adalah :

a. Cedera traumatis, seperti kecelakaan kendaraan bermotor atau jatuh

b. Olahraga yang melibatkan benturan berulang ke tulang kering, seperti

lari jarak jauh

c. Cedera dari olahraga kontak seperti sepak bola

d. Osteoporosis, yang membuat tulang lebih lemah dari biasanya.

4. Klasifikasi

a. Berdasarkan sifat Fraktur

1) Fraktur tertutup, bila terdapat hubungan antara fragmen tulang

dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih

utuh) tanpa komplikasi.

2) Fraktur terbuka, bila terdapat hubungan antara hubungan antara

fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.

b. Berdasarkan komplit atau ketidakkomplitan fraktur

1) Fraktur komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang

atau melalui kedua korteks tulang

2) Fraktur inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang

tulang seperti : hair line fraktur, buckle atau torus fraktur dan green

stick fraktur.
15

c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme

trauma

1) Fraktur transversal yaitu fraktur yang arahnya melintang pada tulang

dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung

2) Fraktur oblik yaitu fraktur yang arah garis patahnya membentuk

sudut terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat trauma angulasi

juga

3) Fraktur spiral yaitu fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral

yang disebabkan trauma rotasi

4) Fraktur kompresi yaitu fraktur yang terjadi karena trauma akibat

fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain

5) Fraktur avulsi yaitu fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan

atau traksi otot pada insersinya pada tulang.

Gambar 2.2 Bentuk Garis Patah pada Tulang


Sumber : (Rosyidi 2013).
16

d. Berdasarkan jumlah garis patah

1) Fraktur komunitif yaitu fraktur dimana garis patah lebih dari satu

dan saling berhubungan

2) Fraktur segmental yaitu fraktur dimana garis patah lebih dari satu

tapi tidak berhubungan

3) Fraktur multiple yaitu fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi

tidak pada tulang yang sama.

e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang

1) Fraktur undisplaced (tidak bergeser) yaitu garis patah lengkap tetapi

kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh

2) Fraktur displaced (bergeser) yaitu terjadi pergeseran fragmen tulang

yang disebut juga lokasi fragmen yang terdiri dari: dislokasi ad

longitudinal cum contractionum (pergeseran sarah sumbu); diskolasi

ad axim (pergeseran yang membentuk sudut) dan dislokasi ad latus

(pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).

f. Berdasarkan posisi fraktur atau berdasarkan satu batang tulang

1) 1/3 proksimal

2) 1/3 medial

3) 1/3 distal (Rosyidi 2013).


17

5. Patofisiologi

Fraktur bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas

untuk menahan. Namun, apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar

dari yang diserap tulang, sehingga terjadilah trauma pada tulang yang

menimbulkan terjadinya fraktur yaitu rusaknya ataupun terputusnya

kontunuitas pada tulang.

Kemudian, setelah terjadinya fraktur, periosteum dan pembuluh darah

serta saraf dalam korteks, marrow dan jaringan lunak yang membungkus

tulang rusak. Perdarahan yang terjadi akibat kerusakan tersebut maka

terjadilah hematoma di rongga medula tulang, serta jaringan tulang segera

berdekatan ke bagian tulang yang patah.Jaringan tulang yang mengalami

nekrosis tersebut menstimulasi maka terjadinya respon inflamasi atau

peradangan ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma serta leukosit

dan infiltrasi sel darah putih. Maka, proses tersebut diatas merupakan dasar

dari proses penyembuhan pada tulang berikutnya (Rosyidi, 2013).


18

6. Web Of Coution Fraktur


2.1 Skema WOC Fraktur
Sumber : (Rosyidi, 2013)
19

7. Manifestasi Klinis

Manifestasi fraktur tibia menurut Smith (2018) adalah sebagai berikut :

a. Nyeri terlokalisasi pada satu area tibia atau beberapa area jika terdapat

fraktur multiple

b. Pembengkakan kaki bagian bawah

c. Kesulitan atau ketidakmampuan untuk berdiri, berjalan, atau menahan

beban

d. Cacat kaki atau panjang kaki tidak rata

e. Memar atau perubahan warna di sekitar tulang kering

f. Sensasi berubah di kaki

g. Penampilan seperti tenda di mana kulit didorong oleh tulang.

8. Fase Penyembuhan Tulang

a. Fase I ( Stadium hematoma atau stadium inflamatoris 1-3 hari)

Pembentukan hematoma pada lokasi fraktur. Jumlah kerusakan tulang

dan jaringan sekitar serta pembuluh darah akan menentukan ukuran

hematoma. Darah membentuk gumpalan diantara fragmen fraktur,

member sedikit stabilisasi. Terjadi nekrosis pada tulang karena

hilangnya suplai darah ke daerah yang terluka dan akan meluas kearea

dimulai dimanan terbentuk sikulasi kolateral. Terjadi dilatasi vaskular

sebagai respon akumulasi sel-sel mati dan debris pada lokasi fraktur,

dan eksudasi dari plasma kaya fibrin akan mendorong migrasi dari sel-

sel fagositik kearea cedera. Jika suplai vaskular kelokasi fraktur tidak

cukup, penyembuhan stadium 1 akan sangat terganggu.


20

b. Fase II ( Pembentukan fibrokartilago 3 hari-2 minggu)

Fibroblast, osteoblas dan kondroblas bermigrasi kedaerah fraktur

sebagai dampak dari inflamasi akut dan kemudian membentuk

fibrokartilago. Adanya hematoma menjadi pondasi bagi penyembuhan

tulang dan jaringan stadium II. Aktivitas osteoblastik distimulasi oleh

trauma periosteral dan pembentukan tulang terjadi dengan cepat.

Peristeum terangkat jauh dari tulang dan dalam beberapa hari

kombinasi dari elevasi periosteum dan pembentukan jaringan

granulasi kan menciptakan sabuk dari sekitar ujung dari tiap fragmen

fraktur. Saat sabut tersebut berkembang, akan terbentuk jembatan

diantara lokasi fraktur. Pembentukan jaringan fibrosa awal ini kadang

disebut sebagai kalus primer, dan mengakibatkan stabilisasi fraktur.

c. Fase III ( pembentukan kalus 2-6 minggu)

Jaringan granulasi matur menjadi kalus provisional (pro-kalus) saat

kartilago baru dan matriks tulang tersebar melalui kalus primer. Pro-

kalus besar dan longgar. Biasanya lebih lebar dari pada diameter

normal dari tulang yang cidera. Pro-kalus mengikut fragmen-fragmen

fraktur, meluas hingga diluar lokasi fraktur agar dapat menjadi bidai,

walaupun tidak cukup kuat. Jika sel-sel terletak jauh dari suplai

darah dan tekanan oksigen cukup rendah, akan terbentuk kartilago.

Ketika kalsium terdeposit kedalam jaringan kologen dari jaringan

granulasi, terbentuk tulang fibrosa. Kelurusan tulang yang baik

penting pada fase III. Stadium ini sangat penting membentuk

kesembuhan pasien, jika terjadi perlambatan atau gangguan, maka dua


21

tahap berikutnya tersebut tidak dapat terjadi. Dapat terjadi penyatuan

terhambat dan tidak terjadi penyatuan.

d. Fase IV (penulangan 3 minggu – 6bulan)

Kalus permanen dari tulang keras akan menyebrangi gap fraktur di

antara periosteum dan korteks untuk bergabung dengan fragmen-

fragmen. Selain itu, pembentukan kalus medularis akan terjadi

didalam untuk memastikan keberlangsungan antara rongga-rongga

sumsum. Tulang trabekular akhirnya akan menggantikan kalus

disepanjang garis tekan, penyatuan tulang yang dapat di konfirmasi

dengan rontgen, disebutkan dapat terjadi jika tidak ada gerakan

dengan tekanan lembut dan tidak ada ketegangan dengan tekanan

langsung pada lokasi fraktur.

e. Fase V (konsolidasi dan remodeling 6 minggu – 1 tahun)

Kalus yang tidak dibutuhkan akan diresorbsi atau dibuang dari lokasi

penyembuhan tulang. Proses resorpsi dan deposisi di sepanjang garis

tekanan akan memungkinkan tulang menahan beban yang diberikan

padanya. Jumlah dan waktu actual dari remodeling bergantung pada

stress yang diberikan pada tulang oleh otot, berat badan dan usia

(Black & Hwaks, 2014).


22

9. Komplikasi

a. Komplikasi awal

1) Kerusakan arteri

Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya

nadi, CRT menurun, sianosis bagian distal, hematoma yang lebar

dan dingin pada ekstremitas yang disebabkan oleh tindakan

emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan

reduksi dan pembedahan

2) Kompartement sindrom

Kompartement sindrom merupakan komplikasi serius yang terjadi

karena terjebaknya otot, tulang, saraf dan pembuluh darah dalam

jaringan parut. Ini disebabkan oleh edema atau pendarahan yang

menekan otot, saraf dan pembuluh darah. Selain itu, karena tekanan

dari luar seperti gips dan pembebatan yang terlalu kuat

3) Fat embolism syndrom

Fat embolism syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering

terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel

lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran arah

dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai

dengan gangguan pernafasan, takikardi, hipertensi, takipnea dan

demam.
23

4) Infeksi

Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada

taruma orthopedic infeksi di mulai pada kulit (superfisial) dan masuk

ke dalam. Biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga

karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan

plat

5) Avaskuler nekrosis

Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang

rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan

diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia

6) Shock

Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya

permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya

oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur(Rosyidi 2013).

b. Komplikasi dalam waktu yang lama

1) Delayed Union

Delayed union merpakan kegagalan fraktur berkonsolidasi

(bergabung) sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk

menyambung. Ini disebabkan karena penurunan suplai darah ke

tulang

2) Nonunion

Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan

memproduksi sambungan yang lengkap, kuat dan stabil setelah 6-9

bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yeng berlebih


24

pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis.

Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang

3) Malunion

Maluinion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan

meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).

Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilasi yang baik

(Rosyidi 2013).

10. Penatalaksanaan

a. Diagnosis dan penilaian fraktur

Anamnesis pemeriksaan klinis dan radiologi dilakukan untuk

mengetahui dan menilai keadaan fraktur. Pada awal pengobatan

diperlukan perhatian pada lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan

teknik yang sesuai untuk pengobatan komplikasi yang mungkin terjadi

selama proses pengobatan serta dilakukan pemeriksaan rontgen untuk

menentukan lokasi atau luasnya fraktur dan trauma.

Selain itu, scan tulang, temogram, scan CI untuk mengidentifikasi

kerusakan pada jaringan lunak. Kemudian, dilakukan pemeriksaan

darah lengkap untuk melihat hasil dari hemoglobin ada peningkatan

atau tidak, pemeriksaan kreatinin untuk melihat trauma otot apakah ada

peningkatan kreatinin untuk ginjal. Selain itu, adanya pemeriksaan

peningkatan jumlah sop untuk respon stress normal setelah terjadinya

trauma serta profil koagulasi gunanya untuk melihat kehilangan darah,

tranfusi multiple atau cedeera pada hati (Rosyidi, 2013).


25

b. Retensi

Merupakan immobilisasi fraktur yang berguna untuk mencegah

pergeseran pada fragmen serta mencegah terjadinya pergerakan yang

dapat mengancam penyatuan pada tulang yang patah. Pemasangan plat

atau traksi bertujuan untuk mempertahankan reduksi ekstremitas yang

mengalami patah tulang atau fraktur(Haryono dan Utami, 2019).

Retensi atau immobilisasi fraktur dilakukan setelah reduksi dengan cara

fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinyu, pin

serta teknik gips atau fiksator eksterna. Selain itu, immobilisasi

dilakukan secara fiksasi interna yaitu menggunakan implan logam yang

berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur (Rosyidi,

2013).

c. Rehabilitasi

Merupakan penatalaksanaan medis untuk mengembalikan aktivitas

fungsional tulang seoptimal mungkin (Haryono dan Utami, 2019).

Partisipasi seseorang dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan

untuk memperbaiki kemandirian fungsi serta harga diri. Kemudian, ahli

bedah dalam rehablitasi pasien dengan memperkirakan stabilitas fiksasi

fraktur, menentukan luasnya gerakan serta stres pada ekstremitas yang

diperbolehkan dan menentukan tingkat aktivitas dan baban berat badan

(Rosyidi, 2013).
26

d. Reduksi

Reduksi bertujuan untuk mengembalikan panjang dan kesejajaran garis

tulang yang dapat dicapai dengan reduksi tertutup atau reduksi terbuka.

Reduksi tertutup adalah reduksi yang dilakukan dengan cara traksi

manual atau dengan cara mekanis untuk menarik fraktur, kemudian

memanipulasinya untuk mengembalikan kesejajaran garis normal. Jika

reduksi tertutup gagal atau kurang membuahkan hasil, maka dapat

dilakukan dengan reduksi terbuka (Haryono dan Utami, 2019). Pada

umumnya pada reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan

fragmen tulang ke posisinya kembali dengan cara memanipulasi serta

traksi manual (Rosyidi, 2013).

Reduksi terbuka adalah tidakan yang dilakukan dengan menggunakan

alat fiksasi internal untuk mempertahankan posisi sampai penyembuhan

tulang menjadi solid. Alat untuk fiksasi internal antara lain pen, kawat,

skrup dan plat. Alat-alat tersebut dimasukkan ke dalam fraktur atau

kedalam tulang yang patah melalui pembedahan operasi ORIF (Open

Reduction Internal Ficsation). Pembedahan terbuka tersebut akan

mengimobilisasikan fraktur sehingga bagian tulang yang patah dapat

tersambung kembali (Haryono dan Utami, 2019).


27

B. Konsep Nyeri

1. Pengertian Nyeri

Nyeri merupakan suatu sensasi yang tidak menyenangkan baik secara

sensori maupun emosional yang berhubungan dengan adanya suatu

kerusakan jaringan atau faktor lain, sehingga individu merasa tersiksa,

menderita yang pada akhirnya akan mengganggu aktivitas sehari-hari dan

lain-lain (Sutanto dan Fitriani, 2017).

2. Penyebab Nyeri

a. Nyeri fisik

Nyeri fisik merupakan nyeri yang disebabkan oleh faktor fisik berkaitan

dengan terganggunya serabut saraf reseptor nyeri. Serabut saraf ini

terletak dan tersebar pada lapisan kulit dan pada jaringan-jaringan

tertentu yang terletak lebih dalam. Penyebab nyeri secara fisik, antara

lain :

1) Trauma mekanik

Yaitu trauma mekanik yang menimbulkan rasa nyeri karena ujung-

ujung saraf bebas mengalami kerusakan akibat benturan, gesekan

ataupun luka

2) Trauma termis

Yaitu trauma termis menimbulkan rasa nyeri karena ujung saraf

reseptor mendapat rangsangan akibat panas dan dingin

3) Trauma kimiawi

Trauma kimiawi terjadi karena tersentuh zat asam atau basa yang kuat
28

4) Trauma elektrik

Trauma elektrik dapat menimbulkan rasa nyeri karena pengaruh aliran

listrik yang kuat mengenai reseptor rasa nyeri

5) Neoplasma

Neoplasma menyebabkan nyeri karena terjadinya tekanan dan

kerusakan jaringan yang mengandung reseptor nyeri dan juga karena

tarikan, jepitan atau metastase

6) Nyeri pada peradangan

Nyeri pada peradangan terjadi karena kerusakan ujung-ujung saraf

reseptor akibat adanya peradangan atau terjepit oleh pembengkakan.

b. Nyeri psikologis

Merupakan nyeri yang disebabkan oleh faktor psikologis yaitu nyeri

dirasakan bukan karena penyebab organik, melainkan akibat trauma

psikologis dan pengaruhnya terhadap fisik. Kasus ini dapat dijumpai

pada kasus kategori psikomatik atau biasa disebut dengan Psychogenic

Pain(Sutanto dan Fitriani, 2017).

3. Klasifikasi nyeri

a. Nyeri berdasarkan tempat

1) Pheriperal pain yaitu nyeri terasa pada permukaan tubuh, misalnya

pada kulit atau mukosa

2) Deep pain yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih

dalam atau pada organ-organ tubuh visceral


29

3) Refered pain yaitu nyeri dalam yang disebabkan penyakit organ atau

struktur dalam tubuh yang ditransminasikan ke bagian tubuh di

daerah yang berbeda, bukan daerah asal nyeri.

4) Central pain yaitu nyeri yang terjadi akibat rangsangan pada sistem

saraf pusat, spinal cord, batang otak, ipothalamus dan lain-lain.

b. Nyeri berdasarkan sifat

1) Incidental pain yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu

menghilang

2) Steady pain yaitu nyeri timbul dan menetap serta dirasakan dalam

waktu lama

3) Paroxymal pain yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan

sangat kuat. Nyeri ini biasanya menetap selama 10-15 menit, lalu

menghilang kemudian timbul lagi.

c. Nyeri berdasarkan berat ringannya

1) Nyeri ringan yaitu nyeri dengan intensitas rendah

2) Nyeri sedang yaitu nyeri yang menimbulkan reaksi

3) Nyeri berat yaitu nyeri dengan intensitas tinggi

d. Nyeri berdasarkan lama waktu penyerangan

1) Nyeri Akut

Nyeri akut yaitu nyeri yang dirasakan dalam waktu yang singkat dan

berakhir kurang dari enam bulan, sumber dan daerah nyeri dapat

diketahui dengan jelas. Rasa nyeri diduga ditimbulkan dari luka,

misalnya luka operasi atau akibat penyakit tertentu, misalnya

arteriosclerosis pada arteri koroner


30

2) Nyeri Kronis

Nyeri kronis merupakan nyeri yang dirasakan lebih dari enam bulan.

Nyeri kronis ini memiliki pola yang beragam dan bisa berlangsung

berbulan-bulan bahakan bertahun-tahun. Ragam pola nyeri ini ada

yang neyeri dalam periode yang diselingi dengan interval bebas dari

nyeri, lalu nyeri akan timbul kembali. Ada pula nyeri kronis yang

konstan yaitu rasa nyeri yang terus-menerus terasa, bahkan semakin

meningkat intensitasnya walaupun telah diberikan pengobatan.

Misalnya pada nyeri karena neoplasma (Sutanto dan Fitriani, 2017).

Tabel 2.1 Perbedaan Nyeri Akut dan Nyeri Kronis

Nyeri Akut Nyeri Kronis


Waktu kurang dari enam bulan Waktu lebih dari enam bulan
Daerah nyeri terlokalisasi Daerah nyeri melebar
Nyeri terasa tajam seperti ditusuk, Nyeri terasa tumpul seperti ngilu,
disayat, dicubit, dan lain-lain linu dan lain-lain
Respons sistem saraf simpatis Respons sistem saraf parasimpatis
takikardia, peningkatan respirasi, seperti penurunan tekanan darah,
peningkatan tekanan darah, pucat, bradikardia, kulit kering, panas,
lembab, berkeringat dan dilatasi pupil kontraksi
pupil
Penampilan klien tampak cemas, Penampilan klien tampak depresi
gelisah dan terjadi ketegangan otot dan menarik diri
Sumber : (Sutanto dan Fitriani, 2017).

4. Pengukuran skala nyeri

Skala intensitas nyeri yang dapat digunakan sebagai berikut :

a. Skala Deskriptif (Verbal Descriptor Scale, VDS)

Skala deskriptif adalah alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang

lebih objektif. Skala pendeskripsian verbal atau VDS yaitu sebuah faris

yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsian yang tersusun

dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsian dimulai dari


31

tidak terasa nyeri hingga nyeri tidak tertahankan, lalu perawat

menunjukkan kepada pasien dan pasien memilih intensitas nyeri yang

dirasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling

menyakitkan dan seberapa jauh nyeri tidak menyakitkan.

b. Skala penilaian numerik (Numeric Rating Scale, NRS)

Skala penilaian NRS sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Skala

nyeri NRS dilakukan dengan pasien menilai nyeri dengan

menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji

intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Misalnya

pasien dengan diagnosa medis post appendiktomi hari pertama

menunjukkan skala nyeri 9, setelah dilakukan intervensi keperawatan,

hari ketiga perawatan pasien menunjukkan skala nyeri 4.

c. Skala visual analog (Visual Analogue Scale, VAS)

Skala analog visual adalah suatu garis lurus atau horizontal sepanjang

10 cm yang mewakili intensitas nyeri yang terus-menerus dan

pendeskripsian verbal pada setiap ujungnya. Pasien diminta untuk

menunjukkan titik pada garis yang menunjukkan letak nyeri terjadi

sepanjang garis tersebut. Skala VAS terdiri dari 6 wajah dengan foto

kartun yang menggambarkan wajah tersenyum hingga wajah sangat

ketakutan (nyeri berat). Perawat dapat menggunakan skala nyeri setelah

terapi atau gejala menjadi buruk untuk menilai apakah nyeri mengalami

penurunan atau peningkatan(Andarmoyo, 2013).


32

5. Penatalaksanaan nyeri

a. Penatalaksanaan nyeri farmakologi

Penatalaksanaan nyeri secara farmakologi yaitu dengan diberikan obat-

obatan analgesik. Analgesik termasuk obat AINS dapat mengurangi

rasa nyeri. Rasa nyeri akan menghilang lewat ujung saraf perifer di

daerah luka. Beberapa obat-obatan analgesik dibagi menjadi beberapa

jenis, yaitu :

1) Analgesik non-opioids dan opioids

Opioids adalah zat aktif untuk mengatasi nyeri akut. Jenis obat

opioids tidak mudah untuk didapatkan karena dijual terbatas.

Penggunaan jenis obat ini berdasarkan pada resep dokter supaya

tidak mengalami kecanduan bagi pasien. Sementara itu, analgesik

non-opioids adalah zat aktif termasuk non-steroid dan asetominofen.

2) Bius lokal

Bius lokal digunakan untuk pasien yang melakukan operasi kecil,

seperti operasi laserasi, lodocain, prilocain dan epineprin. Sesuai

dengan namanya, bius lokal ini hanya akan memetaikan rasa pada

bagian tertentu yang sedang dioperasi, sementara pasien tetap dalam

keadaan sadar.

3) Adjuvents

Adjuvents terbentuk dari garam aluminium. Garam tersebut bekerja

untuk meningkatkan imunogenitas antigen. Adjuvants pada

umumnya juga digunakan untuk analgesik, walaupun kadang

digunakan pada keperluan lain.


33

4) Sukrase

Sukrase dapat digunakan untuk menangani bayi yang merasakan

nyeri ringan dan hebat dengan dosis tertentu. Dosis yang disarankan

adalah 2 ml dari 12-24% untuk full-term neonatus (Mardalena,

2021).

b. Pentalaksanaan nyeri non-farmakologi

Perencanaan atau intervensi non farmakologi adalah metode terapi

untuk meningkatkan kemampuan pasien untuk mengurangi rasa nyeri

yang dirasakan. Selain itu, pelaksanaan nyeri non farmakologi

dilakukan tanpa menggunakan obat-obatan. Beberapa intervensi non

farmakologi yang bisa diterapkan, sebagai berikut :

Tabel 2.2 Intervensi Nyeri Non Farmakologi


Sumber :(Mardalena, 2021)

Intervensi non Penanganan Keterangan


farmakologi
Intervensi fisik Simulasi Perawat melakukan massage kulit.
kulit Massage dapat mengurangi
kecemasan dan ketegangan otot.
Kemudian, massage mampu
menurunkan impuls nyeri
Stimulasi Stimulasi elektrik atau TENS
elektrik dipercaya mampu melepaskan
endorphin serta mampu memblok
stimulasi nyeri. Perawat dapat
melakukan dengan cara
mengkompres
Akupuntur Akupuntur adalah pengobatan
tradisional yang dapat
menghilangkan rasa nyeri.
Penggunaan akupuntur dengan cara
menancapkan jarum ke kuit sesuai
dengan titik tertentu untuk memblok
transmisi nyeri ke otak
Intervensi Relaksasi Relaksasi secara optimal mampu
kognitif mengurangi rasa nyeri. Relaksasi
juga mampu mengubah persepsi
terhadap nyeri pasien
Gate control Gate control termasuk massage untuk
34

menurunkan rasa nyeri. Gate control


dipusatkan dibagian punggung dan
bahu untuk merelaksasi otot
Terapi es dan Terapi es dan panas dapat
panas menurunkan prostaglandin dan
memperkuat sensitivitas reseptor
nyeri dan subkutan, serta terapi panas
dapat meningkatkan aliran darah
Distraksi Distraksi dapat menurunkan persepsi
nyeri dengan menstimulasi sistem
control desenden, sehingga mampu
menimalisir rasa nyeri. Cara in lebih
efektif apabila pasien mampu
menerima dan membangkitkan input
sensori selain nyeri
Hipnosis Hipnosis adalah istilah dalam
psikologi yang digunakan di dunia
medis
Imajinasi Imajinasi terbimbing digunakan
terbimbing sebaga pengobatan non farmakologi
(Guided serta mampu untuk mengurangi
Imagery) nyeri.
35

C. Terapi Guided Imagery dengan Musik Relaksasi

1. Pengertian Terapi Guided Imagery

Guided Imagery atau imajinasi terbimbing adalah imajinasi yang diciptakan

oleh seseorang untuk menampilkan kesan dalam pikiran serta berkonsentrasi

dalam kesan tersebut sehingga secara bertahap rasa nyeri akan berkurang

(Oktaviani dan Afni, 2021).Imajinasi terbimbing menggunakan teknik

dengam memanfaatkan narasi atau cerita untuk mempengaruhi pikiran

seseorang yang biasanya dikombinasikan dengan latar belakang musik

(Ayu, 2017).

Selain itu, menurut Noviaji (2018) guided imagery didefinisikan sebagai

suatu proses menggunakan kekuatan pikiran dengan menciptakan bayangan-

bayanganyang indah dan menggerakkan tubuh agar rileks dengan

melibatkan semua indera meliputi sentuhan, penciuman, penglihatan dan

pendengaran.Imajinasi terbimbing atau guided imagery menekankan bahwa

seseorang membayangkan hal-hal yang positif, menyenangkan dan nyaman.

Namun, guided imagery ini tidak dapat memusatkan perhatian pada banyak

hal dalam satu waktu, sebab seseorang harus membayangkan satu imajinasi

yang sangat kuat serta menyenangkan (Darmadi dan Hafid, 2020).

2. Manfaat Terapi Guided Imagery

Guided imagery bermanfaat untuk mengurangi nyeri yang dirasakan

seseorang. Hal ini tejadi karena terapi ini menggunakan pengalihan

perhatian dengan membayangkan hal yang menyenangkan, sehingga nyeri

yang dirasakan dapat berkurang (Ayu, 2017).Terapi guided imagery tidak


36

hanya bermanfaat untuk mengurangi nyeri saja, tetapi juga memberikan

efek rileks pada tubuh dengan menurunkan ketegangan otot (Noviaji, 2018).

Selain itu, terapi guided imagery dapat melepaskan endorphin yaitu

substansi sejenis morfin yang disuplai oleh tubuh, sehingga endorphin akan

memblokir lepasnya substansi P dari neuron sendorik, sehingga transmisi

impuls nyeri di medulla spinalis menjadi terhambat. Akibatnya, sensasi

nyeri pada pasien post operasi fraktur berkurang (Astuti dan Respati 2018).

3. Fisiologi Terapi Guided Imagery

Guided imagery akan memberikan efek rileks dengan menurunkan

ketegangan otot sehingga nyeri akan berkurang. Pasien dalam keadaan

rileks secara alamiah akan memicu pengeluaran hormon endorfin. Hormon

ini merupakan analgesik alamiah dari tubuh yang terdapat pada otak, spinal,

dan traktus gastrointestinal. Terapi guided imagery mampu mengatasi

kecemasan, stres dan nyeri yang dirasakan oleh seseorang serta menurunkan

tekanan darah, nadi dan respirasi (Ayu, 2017).

Menurut Noviaji (2018) dalam penelitian yang berjudul Manajemen nyeri

dengan guided imagery pada klien post operasi fraktur cruris mendapatkan

hasil bahwasanya teknik relaksasi guided imagery memberikan efek rileks

dengan menurunkan ketegangan otot sehingga nyeri akan berkurang. Sebab,

imajinasi terbimbing ini akan membentuk bayangan sebagai rangsang pada

berbagai indera dengan membayangkan sesuatu yang indah.


37

4. Musik Relaksasi

Musik merupakan seni menyusun suara dalam waktu tertentu sehingga

memberikan komposisi berkesinambungan, bersatu dan membuka pikiran

serta hati melalui melodi, harmoni, ritme dan timbre. Secara psikologis,

musik mampu menurunkan rasa sakit, menimbulkan rasa aman sejahtera

dan rileks, mengurangi stress serta dapat melepaskan rasa gembira dan

sedih(Hidayat, 2020).

Selain itu, relaksasi merupakan suatu keadaan emosional seseorang yang

bebas dari ketegangan apapun dan tidak adanya stres yang dimunculkan

seperti kecemasan, marah dan ketakutan. Maka dapat disimpulkan

bahwasanya musik relaksasi adalah suatu gabungan suara dalam waktu

tertentu bersatu melalui melodi, harmoni, ritme dan timbredalam keadaan

seseorang dalam keadaan rileks dan fokus mendengarkan musik. Musik

relaksasi yang pada umumnya digunakan adalah suara alam seperti suara

ombak di pantai, kicauan burung, air hujan dan sebagainya (Hidayat, 2020).

4. Prosedur Teknik Terapi Guided Imagery

Sebelum diberikan intervensi, peneliti menyampaikan rancangan intervensi

terlebih dahulu kepada pembimbing dan perawat rumah sakit untuk

meminta masukan. Setelah disepakati dan mendapat izin, peneliti

melakukan intervensi. Penelitian dilakukan dengan memilih pasien fraktur

yang menjalani operasi ORIF. Pemberian terapi guided imagery dengan

musik relaksasi.
38

Langkah-langkah tindakan pemberian terapi guided imagery dengan music

relaksasi yaitu :

a. Tahap persiapan

1) Kontrak waktu, topic dan tempat

2) Pasien diberi penjelasan tentang prosedur tindakan yang akan

dilakukan

3) Jaga privacy pasien

4) Atur posisi pasien sesuai kebutuhan

5) Skala nyeri NRS (Numeric rating scale)

6) MP3 musik relaksasi

b. Tahap kerja

1) Memberikan salam terapeutik, perkenalkan diri

2) Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang rencana pemberian terapi

guided imagery dengan music relaksasi

3) Kaji skala nyeri menggunakan skala nyeri NRS (numeric rating

scale) sebelum dilakukan implementasi

4) Anjurkan klien untuk menutup mata dengan lembut

5) Nyalakan music relaksasi

6) Minta klien menarik nafas dalam dan perlahan untuk menimbulkan

relaksasi.

7) Minta klien untuk menggunakan seluruh panca indarnya dalam

menjelaskan bayangan dan lingkungan bayangan tersebut.

8) Mulailah untuk membayangkan tempat yang menyenangkan dan

dapat dinikmati
39

9) Minta klien untuk menjelaskan perasaan fisik dan emosionalyang

ditimbulkan dari bayangannyadan bantu klien untuk mengeksplorasi

respon terhadap bayangannya.

10) Ulangi 10 sampai 15 menit

c. Tahap terminasi

1) Mengucapkan salam penutup kepada pasien

2) Dokumentasikan tindakan kesehatan yang sudah dilakukan dan

penurunan skala nyeri((Ayu 2017);(Darmadi dan Hafid,

2020);(Oktaviani dan Afni, 2021)).

D. Asuhan Keperawatan Teoritis

1. Pengkajian

Pengakajian yaitu tahap awal serta landasan dalam proses keperawatan,

untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalahpat

memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Menurut Rosyidi Kholid

(2013), pengkajian terdiri dari beberapa komponen sebagai berikut :

a. Identitas pasien

Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, suku, status

perkawinan, pendidikan, pekerjaan, golongan darah, nomor registrasi,

tanggal masuk rumah sakit, dan diagnosa medis.

b. Keluhan utama

Padaumumnya keluhan utama pada pasien dengan kasus fraktur adalah

rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dari lamanya

serangan. Unit memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri

pasien digunakan :
40

1) Provoking inciden

Apakah ada peristiwa yang menjadi faktor prepitasi nyeri.

2) Quality of pain

Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan ataupun yang digambarkan oleh

pasien, apakah seperti rasa terbakar, berdenyut ataupun menusuk.

3) Region, Radiation, Relief

Apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar

serta dimana rasa sakit itu terjadi.

4) Severity (zcala of pain)

Seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan pasien, bisa berdasarkan

skala nyeri atau pasien menerangkan seberapa jauh rasa sakit

mempengaruhi kemampuan fungsinya.

5) Time

Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada

malam hari atau siang hari.

c. Riwayat penyakit sekarang

Pada pasien fraktur atau patah tulang pengumpulan data yang dilakukan

untuk menentukan sebab dari fraktur terjadi yang nantinya akan

membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap pasien, seperti

kronologi terjadinya penyakit sehingga nantinya bisa ditentukan

kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena, atau dengan

mekanisme terjadinya kecelakaan.


41

d. Riwayat kesehatan dahulu

Apakah pasien pernah mengalami penyakit ini (fraktur) atau pernah

punya penyakit yang menular atau menurun sebelumnya. Selain itu,

penyakit diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko terjadinya

osteomyelitis akut maupun kronik dan diabetes dapat menghambat proses

penyembuhan tulang.

e. Penyakit keluarga

Penyakit keluarga berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah

satu fraktur predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis

yang sering terjadi pada beberapa keturunan, serta kanker tulang yang

cenderung diturunkan secara genetik.

f. Pola-pola fungsi kesehatan

1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat

Pada kasus fraktur akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus

menjalani rangkaian penatalaksanaan kesehatan untuk membantu

penyembuhan terhadap tulang. Kemudian, pengkajian ini meliputi

kebiasaan hidup pasien seperti penggunaan obat steroid atau obat

anti inflamasi yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,

pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya

serta melakukan olahraga.

2) Pola nutrisi dan metabolisme

Pada pasien dengan fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi

kebutuhan sehari-hari seperti kalsium, zat besi, protein dan vitamin

C untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap


42

pola nutrisi pasien bisa membantu menentukan penyebab masalah

muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang

adekuat terutama kalsium atau protein serta terpapar sinar matahari

yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal

terutama pada lansia. Selain itu, obesitas dapat menghambat

degenerasi dan mobilitas pasien.

3) Pola eliminasi

Pada kasus fraktur tidak ada gangguan pada pola eliminasi feses,

namun harus dikaji frekuensi, konsistensi, warna dan bau feses.

Selain itu, pada pola eliminasi urin dikaji frekuensi, kepekatan,

warna, bau dan jumlah urin serta pada pola eliminasi urin dan feses

dikaji ada kesulitan atau tidak.

4) Pola istirahat dan tidur

Semua pasien dengan fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak

sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur pasien.

Selain itu, pada pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur,

suasana lingkungan, kebiasaan tidur serta ksulitan tidur dan

penggunaan obat tidur.

5) Pola aktivitas

Pasien dengan fraktur akan merasakan nyeri, keterbatasan gerak,

maka semua bentuk kegiatan pasien menjadi berkurang dan

kebutuhan pasien perlu banyak bantuan oelh orang lain. Hal yang

perlu dikaji yaitu bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien.


43

Sebab, ada beberapa bentuk pekerjaan yang beresiko terjadinya

fraktur dibandingkan dengan pekerjaan lainnya.

6) Pola hubungan dan peran

Pasien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.

Sebab, pasien harus menjalani rawat inap.

7) Pola persepsi dan konsep diri

Pada pasien dengan fraktur akan memiliki akibat seperti kecacatan,

cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara

optimal serta pandangan terhaap dirinya yang salah.

8) Pola sensori dan kognitif

Pada pasien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian

distal fraktur, sedangkan pada indera yang lain tidak terjadi

gangguan. Hal ini berlaku pada kognitif pasien tidak mengalami

gangguan.

9) Pola reproduksi seksual

Dampak pada pasien dengan fraktur adalah pasien tidak bisa

melakukan hubungan seksual, sebab harus menjalani rawat inap serta

keterbatasan gerak dan rasa nyeri yang dialami oleh pasien.

Kemudian, perlu dikaji status perkawinan termasuk jumlah anak dan

lamanya perkawinan.

10) Pola penanggulangan stress

Pada pasien dengan fraktur akan timbul rasa cemas mengenai

keadaannya seperti ketakukan akan timbul kecacatan pada diri dan


44

fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh pasien bisa

tidak efektif.

11) Pola tata nilai dan keyakinan

Pasien dengan fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan

beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi beribadah.

Hal ini bisa disebabkan oleh nyeri serta keterbatasan gerak pasien.

g. Pemeriksaan fisik

1) Keadaan umum

a) Kesadaran pasien

Pada pasien fraktur perlu dikaji kesadaran pasien apakah apatis,

sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung dari keadaan

pasien

b) Kesakitan, keadaan penyakit

Pada pasien fraktur perlu dikaji nyeri pasien apakah nyeri akut,

kronis, serta skala nyeri apakah nyeri ringan, sedang ataupun

berat. Namun, pada pasien dengan fraktur biasanya seringkali

nyeri akut.

c) Tanda-tanda vital

Pada pasien dengan fraktur perlu dikaji karena ada gangguan baik

fungsi maupun bentuk sehingga tanda-tanda vital seringkali

terganggu.
45

2) Kepala : Pasien farktur tidak ada gangguan yang ditemukan

seperti penonjolan dan nyeri pada bagian kepala

3) Leher : Pasien fraktur tidak ditemukan nyeri pada leher,

tidak ada penonjolan serta reflek menelan tidak ada gangguan

4) Wajah : Pada pasien fraktur wajah terlihat menahan sakit,

tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk, tidak ada lesi, simetris,

dan tidak adanya edema

5) Mata : Pada pasien dengan fraktur tidak ada gangguan

seperti konjungtiva tidak anemis sebab tidak terjadinya pendarahan

6) Telinga : Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal.

Tidak ada lesi atau nyeri tekan

7) Hidung : Tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan cuping

hidung.

8) Thoraks

a) Paru-paru

 Inspeksi : Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya

tergantung pada riwayat penyakit pasien yang berhubungan

dnegan paru-paru

 Palpasi : Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama

 Perkusi : suara sonor, tidak ada redup atau suara tambahan

 Auskultasi : suara nafas normal, tidak ada wheezing atau suara

tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.


46

b) Jantung

 Inspeksi : tidak tampak iktus jantung

 Palpasi : nadi meningkat, iktus tidak teraba

 Auskultasi : suara S1 dan S2 tunggal, tidak ada bunyi mur-mur

9) Abdomen

a) Inspeksi : bentuk datar, simetris dan tidak ada hernia

b) Palpasi : turgor baik, tidak ada defands muskuler atau nyeri tekan

pada seluruh lapang abdomen. hepar tidak teraba

c) Perkusi : suara tympani, ada pantulan gelombang cairan

d) Auskultasi : peristaltik usus normal ± 20 kali/ menit

10) Ekstermitas

a) Inspeksi

Perubahan warna lokal pada kulit dan fraktur,pembengkakam,

lokal dan kemerahan pada sendi maupun fraktur,immobilisasi

ekstermitas

b) Palpasi

Terdapat krepitus saat palpasi pada bagian fraktur,keterbatasan

gerak sendi, nyeri saat digeraakan,dan nyeri tekan pada area

fraktur, edema, penurunan/tidak ada denyut nadi pada bagian

distalarea cedera,pengisian kapiler lambat,pucat pada area

fraktur,serta hematomapada area fraktur

c) Perkusi

Reflek patella
47

d) Auskultasi

Saat diperiksa dengan tangan teraba derik tulang yang disebut

krepitus akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.

h. Pemeriksaan diagnostik

1) Pemeriksaan radiologi

Pada pasien yang mengalami nyeri tidak ditemukan hasil radiologi,

namun pada pasien yang mengalami fraktur pemeriksaan radiologi

dilakukan untuk mngethui adanya jaringan-jaringan ikat, tulang

yang mengalami kerusakan.

2) Pemeriksaan laboratorium

Pada pasien yang mengalami nyeri tidak ditemukan hasil

laboratorium, namun pada pasien frakur perlu dipantau hasil labor

antaranya seperti hasil kalsium serum, fostor serum meningkay pada

tahap penyembuhan tulang. Selain itu, alkalin fosfat gunanya untuk

meningkat pada kerusakan tulang akan menunjukkan kegiatan

osteoblastik dalam membentuk tulang. Kemudian, ensim otot seperti

kreatinin kinase, laktat dehidrogenase (LDH-5), aspartat amino

transferase (AST), aldolase yang meningkat pada tahap

penyembuhan tulang.

3) Pemeriksaan lain-lain

Pada pasien fraktur yang perlu dipantau adalah pemeriksaan

mikroorganisme pada kultur dan test sensitivitas dan didapatkan

mikroorganisme penyebab infeksi, biopsi tulang dan otot yang pada

intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan di atas tepi lebih


48

diindikasikan apabila terjadinya infeksi, elektromyografi untuk

mengetahui terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkkan

fraktur, arthroscopi untuk mendapatkan jaringan ikat yang rusak atau

sobek karena trauma yang berlebihan, indium imaging untuk

menentukan adanya infeksi pada tulang serta MRI untuk

menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

2. Diagnosa Keperawatan

Menurut Doengoes (2000) dalam Rosyidi, 2013)diagnosa pada pasien

fraktur yang sering dijumpai, yaitu :

a. Nyeri akut berdasarkan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang,

edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress atau ansietas

b. Resiko disfungsi neurovaskuler perifer berdsarkan dengan penurunan

aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)

c. Gangguan pertukaran gas berdasarkan degan perubahan aliran darah,

emboli, perubahan membran alveola atau kapiler (interstisial, edema

paru, kongesti)

d. Gangguan mobilitas fisik berdasarkan dengan kerusakan rangka

neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)

e. Gangguan integritas kulit berdasarkan dengan fraktur terbuka,

pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup)

f. Resiko infeksi berdasarkan dengan ketidakadekuatan tahanan primer

(kerusakan kulit, trauma jaringan lunak, prosedur invasif atau traksi

tulang)
49

g. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan

pengobatan berdasarkan dengan kurang terpajan atau salah intrepretasi

terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat atau

lengkapnya informasi yang ada.

3. Intervensi Keperawatan

Tabel 2.3
Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Keperawatan


Keperawatan Hasil (SIKI)
(SDKI) (SLKI)
1. Nyeri Akut Setelah dilakukan Manajemen nyeri
intervensi selama 1 x 24 Observasi
jam, maka tingkat nyeri 1. Identifikasi lokasi,
menurun dengan kriteria karakteristik, durasi,
hasil : frekuensi, kualitas,
1. Keluhan nyeri menurun intensitas nyeri
2. Meringis menurun 2. Identifikasi skala nyeri
3. Sikap protektif menurun 3. Identifikasi respon
4. Kesulitan tidur menurun nyeri non-verbal
5. Muntah menurun 4. Identifikasi faktor yang
6. Mual menurun memperberat dan
7. Frekuensi nadi memperingan nyeri
membaik 5. Monitor keberhasilan
8. Pola nafas membaik terapi komplementer
9. Tekanan darah yang sudah diberikan
membaik 6. Monitor efek samping
10. Nafsu makan membaik penggunaan analgetik
Pola tidur membaik Terapeutik
1. Berikan teknik non-
farmakologi untuk
mengurangi nyeri
2. Control lingkungan
yang memperberat rasa
nyeri
3. Fasilitasi istirahat dan
tidur
4. Pertimbangkan jenis
dan sumber nyeri untuk
pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
1. Jelaskan penyebab,
periode dan pemicu
nyeri
2. Jelaskan strategi
50

meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
4. Anjurkan teknik non-
farmakologi untuk
mengurangi nyeri

Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu

2. Resiko disfungsi Introvaskuler Perifer Manajemen sensasi perifer


neurovaskuler Setelah dilakukan Observasi
perifer intervensi keperawatan 1. Identifikasi penyebab
selama 1x24 jam, perubahan sensasi
diharapkan neurovaskuler 2. Identifikasi penggunaan
perifer meningkat, dengan alat pengikat, prostesis,
kriteria hasil : sepatu dan pakaian
1. Sirkulasi arteri 3. Periksa perbedaan
meningkat sensasi tajam atau
2. Sirkulasi vena tumpul
meningkat 4. Periksa perbedaan
3. Nyeri menurun sensasi panas dan
4. Nadi membaik dingin
5. Suhu tubuh membaik 5. Periksa kemampuan
6. Warna kulit membaik mengidentifikasi lokasi
7. Tekanan darah dan tekstur benda
membaik 6. Monitor terjadinya
8. Luka tekan membaik parestesis
7. Monitor perubahan
kulit
8. Monitor adanya
tromboflebitis dan
tromboemboli vena
Terapeutik
Hindari pemakaian benda-
benda yang berlebihan
suhunya (terlalu panas dan
dingin)
Edukasi
1. Anjurkan penggunaan
termometer untuk
menguji suhu air
2. Anjurkan penggunaan
sarung tangan termal
saat memasak
3. Anjurkan memakai
sepatu lembut dan
bertumit rendah

Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
51

analgesik, jika perlu


2. Kolaborasi pemberian
kortikosteroid, jika
perlu

3. Gangguan Pertukaran gas Pemantauan respirasi


pertukaran gas Setelah dilakukukan Observasi
intervensi keperawatan 1. Monitor frekuensi,
selama 1x24 jam, irama, kedalaman dan
diharapkan pertukaran gas upaya napas
meningkat, dengan 2. Monitor pola napas
kriteria hasil : (seperti bradipnea,
1. Tingkat kesadaran takipnea, hiperventilasi,
meningkat kussmaul, cheyne-
2. Dispnea menurun stokes, biot, ataksik)
3. Bunyi napas tambahan 3. Monitor kemampuan
menurun batuk efektif
4. Takikardia menurun 4. Monitor adanya
5. Pusing menurun produksi sputum
6. Penglihatan kabur 5. Monitor adanya
menurun sumbatan jalan napas
7. Gelisah menurun 6. Palpasi kesimetrisan
8. Napas cuping hidung ekspansi paru
menurun 7. Auskultasi bunyi napas
9. PCO2 membaik 8. Monitor saturasi
10. PO2 membaik oksigen
11. Ph arteri membaik 9. Monitor nilai AGD
12. Sianosis membaik 10. Monitor hasil x-ray
13. Pola napas membaik toraks
Terapeutik
1. Atur interval
pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
2. Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
2. Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu

4. Gangguan Mobilitas fisik Dukungan Mobilisasi


mobilitas fisik Setelah dilakukan Observasi
intervensi keperawatan 1. Identifikasi adanya
selama 1 x 24 jam, nyeri atau keluahan
diharapkan mobilitas fisik fisik lainnya
meningkat dengan kriteria 2. Identifikasi toleransi
hasil : fisik melakukan
1. Pergerakan pergerakan
ekstremitas 3. Monitor frekuensi
meningkat jantung dan tekanan
2. Kekuatan otot darah sebelum memuali
52

meningkat mobilisasi
3. Nyeri menurun 4. Monitor kondisi umum
4. Kaku sendi menurun selama melakukan
5. Gerakan terbatas mobilisasi
menurun
6. Kelemahan fisik Terapeutik
menurun 1. Fasilitasi aktivitas
mobilisasi dengan alat
bantu
2. Fasilitasi melakukan
pergerakan, jika perlu
3. Libatkan keluarga
untuk membantu pasien
dalam meningkatkan
pergerakan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur mobilisasi
2. Anjurkan melakukan
mobilisasi dini
3. Ajarkan mobilisasi
sederhana yang harus
dilakukan (mis: duduk
di tempat tidur)

5. Gangguan Integritas kulit dan Perawatan luka


integritas kulit jaringan Observasi
Setelah dilakukan 1. Monitor karakteristik
itervensi keperawatan luka (mis: drainase,
selama 1 x 24 jam, warna, ukuran, bau)
diharapkan integritas kulit 2. Monitor tanda-tanda
dan jaringan meningkat infeksi
dengan kriteria hasil : Terapeutik
1. Elastisitas meningkat 1. Lepaskan balutan dan
2. Hidrasi meningkat plester secara perlahan
3. Perfusi jaringan 2. cukur rambut di sekitar
meningkat daerah luka, jika perlu
4. Nyeri menurun 3. Bersihkan dengan
5. Perdarahan menurun vairan NaCl atau
6. Kemerahan menurun pembersih non-toksik,
7. Hematoma menurun sesuai kebutuhan
8. Pigmentasi abnormal 4. Bersihkan jaringan
menurun nekrotik
9. Jaringan parut 5. Berikan salep yang
menurun sesuai ke kulit / lesi,
10. Nekrosis menurun jika perlu
11. Abrasi kornea 6. Pasang balutan sesuai
menurun jenis luka
12. Suhu kulit membaik 7. Pertahankan teknik
13. Sensasi membaik steril saat melakukan
14. Tekstur membaik perawatan luka
15. Pertumbuhan rambut 8. Ganti balutan sesuai
53

membaik jumlah eksudat dan


drainase
9. Jadwalkan perubahan
posisi setiap 2 jam atau
sesuai kondisi pasien
10. Berikan diet dengan
kalori 30-35 kkal/ kg
BB/ hari dan protein
1,25-1,5 g/ kg BB/ hari)
11. Berikan suplemen
vitamin dan mineral
(mis: vitamin A,
Vitamin C, Zinc, asam
amino), sesuai indikasi
12. Berikan terapi TENS
(Stimulasi saraf
transkutaheous), jika
perlu
Edukasi
1. Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
2. Anjurkan
mengkonsumsi
makanan tinggi kalori
dan protein
3. Ajarkan prosedur
perawatan luka secara
mandiri
Kolaborasi
1. Kolaborasi prosedur
debridement ( mis:
enzimatik, biologis,
mekanis, autolitik), jika
perlu
2. Kolaborasi pemberian
antibiotik, jika perlu

6. Resiko infeksi Tingkat infeksi Pencegahan infeksi


Setelah dilakukan Observasi
intervensi keperawatan Monitor tanda dan gejala
selama 1x24 jam lokal dan sistemik
diharapkan tingkat infeksi Terapeutik
menurun dengan kriteria 1. Batasi jumlah
hasil : pengujung
1. Demam menurun 2. Berikan perawatan kulit
2. Kemerahan menurun pada area edema
3. Nyeri menurun 3. Cuci tangan sebelum
4. Bengkak menurun dan sesudah kontak
5. Cairan berbau busuk dengan pasien dan
menurun lingkungan pasien
6. Letargi menurun 4. Pertahankan teknik
7. Periode mengigil aseptik pada pasien
54

menurun beresiko tinggi


8. Kadar sel darah putih Edukasi
membaik 1. Jelaskan tanda dan
9. Kultur darah membaik gejala infeksi
10. Kultur urine membaik 2. Ajarkan cara mencuci
11. Nafsu makan tangan dengan benar
membaik 3. Ajarkan etika batuk
4. Ajarkan cara
memeriksa kondisi luka
atau luka operasi
5. Anjurkan
meningkatkan asupan
nutrisi
6. Anjurkan
meningkatkan asupan
cairan
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
imunisasi, jika perlu

7. Defisit Tingkat pengetahuan Edukasi kesehatan


pengetahuan Setelah dilakukan Observasi
intervensi keperawatan 1. Identifikasi kesiapan
selama 1x24 jam, dan kemampuan
diharapkan tingkat menerima informasi
pengetahuan meningkat 2. Identifikasi faktor-
dengan kriteria hasil : faktor yang dapat
1. Perilaku sesuai meningkatkan dan
anjuran meningkat menurunkan motivasi
2. Verbalisasi minat perilaku hidup bersih
dalam belajar dan sehat
meningkat Terapeutik
3. Kemampuan 1. Sediakan materi dan
menjelaskan media pendidikan
pengetahuan tentang kesehatan
sebuah topik 2. Jadwalkan pendidikan
meningkat kesehatan sesuai
4. Kemampuan kesepakatan
menggambarkan 3. Berikan kesempatan
pengalaman untuk bertanya
sebelumnya yang Edukasi
sesuai dengan topik 1. Jelaskan faktor resiko
meningkat yang dapat
5. Perilaku sesuai mempengaruhi
dengan pengetahuan kesehatan
meningkat 2. Ajarkan perilaku hidup
6. Pernyataan tentang bersih dan sehat
masalah yang 3. Ajarkan strategi yang
dihadapi menurun dapat digunakan untuk
7. Persepsi yang keliru meningkatkan perilaku
terhadap masalah hidup bersih dan sehat
menurun
55

4. Implementasi Keperawatan

Implementasi keperawatan atau pelaksanaan keperawatan merupakan

realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Kegiatan dalam pelaksanaan meliputi pengumpulan data berkelanjutan,

mengobservasi respons pasien selama dan sesudah dilakukan pelaksanaan

tindakan dan menilai data baru. Selain itu, di dalam implementasi

keperawatan terdapat beberapa tahap pelaksanaan dalam tindakan

keperawatan yaitu tahap persiapan; tahap pelaksanaan dan tahap sesudah

pelaksanaan (Budiono dan Pertami, 2015).

5. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan dalam mengukur

suatu keberhasilan dari rencana perawatan untuk memenuhi kebutuhan

klien. Pada pasien dengan fraktur diharapkan nyeri berkurang atau hilang,

tidak terjadi disfungsi neurovaskuler perifer, pertukaran gas adekuat, tidak

terjadi kerusakan ntegritas kulit, infeksi tidak terjadi dan meningkatnya

pemahaman pasien terhadap penyakit yang dialami (Rosyidi 2013).

E. Evidence Based Nursing (EBN)

1. Terapi Guided Imagery terhadap pasien fraktur post operasi ORIF

Proses pengumpulan literatur dilakukan dengan cara melakukan pemilihan

jumlah jurnal atau artikel dari 10 literatur menjadi 4 literatur dimana

semua jurnal nasional. Proses pencarian dilakukan melalui elektronik

based yang terindeks seperti google scholar (n=3) dan garuda (n=1). Hasil

kajian literature review jurnal dan pembahasan akan dijabarkan pada tabel

berikut ini.
56

Tabel 2.4

Hasil Penelitian dari Artikel Literatur / Jurnal Review


N Peneli Baha Sumber Judul Metode Hasil/ Temuan
o ti/ sa Artikel Penelitian (Desain
Tahun Studi,
Terbit Sampel,
Variabel,
Instrume
n,
Analisis)
1. Nur Indo http://dow Efektivitas Study Berdasarkan hasil
Meity nesia nload.gar terapi audio Design: dari penelitian
Sulisti uda.kemd guided Quasy didapatkan hasil
a Ayu ikbud.go.i imagery eksperime pada kelompok
(2017) d/article.p dengan nt dengan eksperimen yang
hp?article nafas dalam pendekata diberikan terapi
=1250679 terhadap n pre testaudio recorded
&val=144 penurunan dan post guided imagery
67&title= nyeri test dengan nafas
(Portal pasien nonequiva dalam mengalami
Garuda) pasca lentcontropenurunan skala
operasi l grup nyeri dari skala
fraktur nyeri sedang
Sample: (100%) menjadi
36 (77,8%) 14
responden responden yang
Random mengalami nyeri
sampling ringan yang
diukur dengan
Variable: skala nyeri NRS.
In Sedangkan pada
Independe kkelompok
n : audio kontrol masih
recorded mengalami nyeri
guided pada tingkat
imagery sedang (100%).
dikombin
asikan
dengan
terapi
nafas
dalam
Dependen
: nyeri
pasca
operasi
fraktur
ORIF

Instrumen
57

t:
Lembar
observasi
pengkajia
n nyeri
NRS dan
MP3
rekaman
audio
recorded
guided
imagery
dipantai

Data
Analysis:
NRS
(Numeric
Rating
Scale)

2. Novia Indo http://jurn Pengaruh Studi Berdasarkan hasil


Dwi nesia alkesehata terapi Design: penelitian
Astuti n.unisla.a guided Quasy didapatkan hasil
dan c.id/index imagery eksperime pada kelompok
Conve .php/midp terhadap ntal intervensi
ntie ro/article/ nyeri pada control sebanyak 14
Ari view/81 pasien post group orang yang
Respat (Google operasi design diberikan terapi
i Scholar) fraktur di guided imagery
(2018) ruang Sample: mengalami
Bougenvil Systemati penurunan nyeri
RSUD.R.K c random semua responden
oesma sampling (100%).
Tuban Sedangkan pada
Variable: kelompok kontrol
Independe yang terdiri dari
n : 14 responden
kelompok sebagian besar
intervensi (71,43%)
yang responden tidak
diberikan mengalami
terapi penurunan skala
guided nyeri, hanya
imagery (7,14%)
Dependen responden yang
: mengalami
kelompok penurunan nyeri
kontrol dan (21,43%)
mengalami
Instrumen peningkatan
t: nyeri.
58

SOP
terapi
guided
imagery
dan
pengukur
an skala
nyeri
visual aid
scale
Data
analysis:
Uji Mann
Whitney

3. Eka Indo https://rep Manajemen Desain Hasil penelitian


Suci nesia ository.po nyeri Studi: mendapatkan
Noviaj ltekkes- dengan Deskripsti hasil kedua pasien
i smg.ac.id/ guided f yaitu kedua
(2018) index.php imagery pasien dengan
/index.ph pada klien Sampel: fraktur post
p?p=show Post 2 operasi ORIF
_detail&i operasi responden yang diberikan
d=15067 fraktur terapi guided
&keywor kruris di Instrumen imagery
ds= RSUD H : mengalami
(Google Soewondo Lembar penurunan skala
Scholar) Kendal observasi nyeri
dan menggunakan
penilaian pengukuran skala
skala nyeri NRS
nyeri (Numeric Rating
NRS Scale) pada Ny.S
(Numeric dari skala nyeri 7
Rating hari pertama
Scale) menjadi skala 3
pada hari ke tiga.
Sedangkan pada
Tn.M pada hari
pertama skala
nyeri 7 menjadi
skala nyeri 4 pada
hari ketiga.

4. Jenice Indo http://epri Asuhan Studi Berdasarkan hasil


59

Oktavi nesia nts.ukh.ac keperawata Design: dari penelitian


ani .id/id/epri n pada Quasy pada ditemukan
dan nt/1871/1/ pasien eksperime bahwasanya
Annisa NASKAH pasca n dengan terapi guided
Cindy %20PUB operasi pendekata imagery mampu
Nurul LIKASI% fraktur n pre test untuk mengurangi
Afni 20JANIC dalam dan post nyeri pasien
(2021) E%20OK pemenuhan test non fraktur post
TAVIANI kebutuhan equivalen operasi ORIF
%20P180 rasa aman control dengan
27.pdf dan grup pengukuran nyeri
(Google nyaman NRS (Numeric
Scholar) Sample: Rating Scale)
Seluruh didapatkan pasien
pasien hari pertama skala
dewasa di nyeri 5 menjadi 2
Puskesma pada hari ketiga.
s
Gondangr
ejo

Variable:
Kelompo
k
eksperime
n dan
kelompok
kontrol

Instrumen
t:
Wawanca
ra,
observasi,
asuhan
keperawat
an dan
mp3
rekaman
audio
guided
imagery

Berdasarkan 4 artikel yang ditemukan bahwasanya semua artikel

mendapatkan hasil bahwasanya terdapat (100%) penurunan skala nyeri


60

pada pasien dengan fraktur post operasi ORIF. Penurunan skala nyeri dari

nyeri ringan ke nyeri sedang sebanyak (75%) dan penurunan skala nyeri

dari skala nyeri berat ke nyeri sedang dan nyeri berat ke nyeri ringan

sebanyak (25%).

Terapi guided imagery merupakan sebuah terapi menggunakan teknik

imajinasi seseorang untuk mencapai efek positif tertentu melalui narasi

cerita yang dibawakan oleh seseorang (Oktaviani & Afni, 2021). Terapi

guided imagery ini menggunakan sampel atau pasien dari beberapa

kategori dari usia tahap remaja hingga dewasa akhir dengan kondisi pasien

semuanya post operasi fraktur (setelah operasi patah tulang).

Sampel yang diambil dari jurnal Ayu (2017) dalam judul penelitian

Efektivitas terapi audio recorded guided imagery dengan nafas dalam

terhadap penurunan nyeri pasien pasca operasi fraktur yaitu usia tahap

dewasa awal hingga dewasa akhir dengan jumlah sampel 22 orang.

Kemudian, pada tahun 2018 menurut jurnal Astuti & Respati dengan judul

penelitian pengaruh terapi guided imagery terhadap nyeri pada pasien post

operasi fraktur, didapatkan hasil bahwa sampel yang diambil pada usia

tahap remaja hingga dewasa akhir dengan jumlah sampel 28 orang.

Berbeda dari hasil penelitian dari 2 jurnal diatas, jurnal Noviaji (2018)

mengenai manajemen nyeri dengan guided imagery pada klien post

operasi fraktur kruris yang berfokus pada dua orang pasien kelolaan

dengan jenis kelamin perempuan dan laki-laki dengan usia dewasa awal.

Sedangkan, pada hasil penelitian Oktaviani & Afni (2021) mengenai

Asuhan keperawatan pada pasiem pasca operasi fraktur dalam pemenuhan


61

kebutuhan rasa aman dan nyaman dengan sampel penelitian berpusat

kepada satu pasien kelolaan dengan usia dewasa pasca operasi fraktur

dengan jenis kelamin laki-laki.

Pasien post operasi fraktur akan merasakan nyeri, pengukuran nyeri yang

dirasakan oleh pasien ada berbagai metode, salah satunya dengan alat ukur

skala numerical rating scale (NRS) yaitu skala nyeri yang terdiri dari skala

nyeri 1-10, dimana skala nyeri 7-10 dikategorikan sebagai nyeri berat,

skala nyeri 4-6 dikategorikan sebagai nyeri sedang dan 1-3 dikategorikan

sebagai nyeri ringan. Hal ini sesuai dengan keempat jurnal yang ditelaah

bahwasanya keempat jurnal tersebut menggunakan alat pengukuran nyeri

numericale rating scale (NRS).

Berdasarkan hasil penelitian Ayu (2017) dalam judul penelitian Efektivitas

terapi audio recorded guided imagery dengan nafas dalam terhadap

penurunan nyeri pasien pasca operasi fraktur, mendapatkan hasil

bahwasanyadari 18 pasien yang diberikan terapi audio guided

imageryterdapat 14 orang (77,8%) yang mengalami penurunan nyeri dari

tingkat nyeri sedang ke tingkat nyeri ringan. Sesuai dengan teori Potter &

Perry (2006) dalam Astuti & Respati (2018) guided imagery atau imajinasi

terbimbing dapat mengaktifkan sistem saraf parasimpatis sehinggan dapat

mengurangi nyeri.

Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Astuti & Respati (2018)

mengenai Pengaruh terapi guided imagery terhadap nyeri pada pasien post

operasi fraktur, didapatkan hasil dari 14 pasien yang sebelum diberikan


62

terapi guided imagery semuanya (100%) mengalami nyeri sedang. Namun,

setelah diberikan terapi guided imagery hampir seluruh pasien (85,7%)

mengalami penurunan nyeri.

Hasil penelitian pada tahun yang sama oleh Noviaji (2018) bahwasanya

dari hasil kedua pasien yaitu kedua pasien dengan fraktur post operasi

ORIF yang diberikan terapi guided imagery mengalami penurunan skala

nyeri menggunakan pengukuran skala nyeri NRS (Numeric Rating Scale)

pada Ny.S dari skala nyeri 7 hari pertama menjadi skala 3 pada hari ke

tiga. Sedangkan pada Tn.M pada hari pertama skala nyeri 7 menjadi skala

nyeri 4 pada hari ketiga.

Hal ini sejalan dengan penelitian Oktaviani & Afni (2021) mengenai

Asuhan keperawatan pada pasiem pasca operasi fraktur dalam pemenuhan

kebutuhan rasa aman dan nyaman, didapatkan hasil pada pasien dengan

seluruhnya usia dewasa yang menjalani operasi fraktur bahwasanya

terdapat penurunan skala nyeri dari skala nyeri 5 ke skala nyeri 2. Hal ini

sesuai dengan penelitian Noviaji (2018) mengenai Manajemen nyeri

dengan guided imagery pada klien post operasi fraktur kruris, didapatkan

hasil pada kedua pasien yang diteliti peneliti terdapat penurunan intensitas

nyeri. Sebab teknik relaksasi guided imagery memberikan suatu tindakan

utuk membebaskan mental dan fisik dari ketegangan dan stress, sehingga

dapat meningkatkan toleransi terhadap nyeri.

2. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terapi guided

imagery dengan musik relaksasi berpengaruh terhadap penurunan nyeri


63

pada pasien fraktur. Terapi ini diberikan selama 10-15 menit dengan musik

relaksasi. Rata-rata pada jurnal penelitian mendapatkan hasil penurunan

skala nyeri dari nyeri sedang ke nyeri ringan.

Karakteristik responden atau sampel yang dilakukan oleh keempat jurnal

adalah pasien dengan post operasi fraktur, jenis kelamin laki-laki dan

perempuan serta usia responden dari keseluruhan banyak dari tahap usia

dewasa awal hingga akhir. Pada hasil penelitian Noviaji (2018) jenis

kelamin tidak menjadi perbedaan yang signifikan dalam hal merasakan

nyeri pasca operasi fraktur, dimana kedua pasien Ny.S dan Tn. M dengan

skala pengukuran nyeri numerical rating scale (NRS) yaitu keduanya

merasakan nyeri dengan kriteria nyeri berat. Hal ini sesuai dengan teori

Muttaqin (2012) yaitu perempuan dan laki-laki tidak berbeda dalam

merasakan nyeri.

Berdasarkan analisa peneliti, nyeri yang dirasakan pada pasien dengan

fraktur setelah dilakukan operasi pemasangan ORIF setelah dilakukan

terapi non farmakologi dengan terapi guided imagery yang diiringi dengan

musik alam seperti suara ombak atau kicauan burung serta dengan

rekaman guided imagery membuat nyeri beberapa pasien berkurang. Hal

ini tentu diiringi dengan terapi farmakologi yang diresepkan oleh dokter.
BAB III
TINJAUAN KASUS

A. PENGKAJIAN

1. Identitas Diri Klien

Nama : Tn. D Tanggal masuk RS : 31-10-2021

Tempat/Tgl lahir : 7 Mei 1990 Informasi : Pasien dan keluarga

Jenis kelamin : Laki-laki

Status kawin : Kawin

Agama : Islam

Pendidikan : SMU (Tamat)

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Perum, Darok Indah Gunung Sarik

2. Identitas Keluarga Klien

Keluarga terdekat yang dapat segera dihubungi (Orangtua, istri, suami)

Nama : Ny. O

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Perum, Darok Indah Gunung Sarik

3. Riwayat Kesehatan

a. Keluhan Utama

Keluarga pasien mengatakan sebelum masuk ke rumah sakit, pasien

terjatuh dari sepeda motor lalu diantar warga ke IGD RSUP Mdjamil

Padang pada tanggal 31-10-2021 sekitar pukul 13:48 WIB dengan GCS

pasien 14 E3M6V5, reaksi pupil isokor +/+, ukuran pupil 3mm/3mm,

63
64

pasien mengalami patah tulang terbuka pada kaki kiri dengan keluar

darah ± 30 cc, diketahui sebelum kecelakaan telah mengkonsumsi

alkohol 1 jam yang lalu, muntah tidak ada, kejang tidak ada, riwayat

keluar darah dari hidung, mulut, telinga tidak ada. Terdapat luka fraktur

terbuka pada kaki kiri (Tibia sinistra) dan edema pada wajah bagian kiri

(zygomaticus sinistra).

b. Riwayat kesehatan sekarang

Pada saat dilakukan pengkajian pada tanggal 03-11-2021 pasiendengan

post operasi ORIF mengeluh nyeri secara terus-menerus, nyeri

dirasakan di kaki sebelah kiri (tibia) dengan skala nyeri 6. Pasien

memiliki luka post operasi ORIF di kaki sebelah kiri (tibia) dengan

panjang ± 15 cm dengan luka tampak masih basah, warna luka

kemerahan, tidak ada keluar push (nanah), tidak ada pendarahan. Selain

itu, pada tangan sebelah kiri terdapat luka gores dengan panjang ± 3 cm

dengan luka tampak sudah kering, push tidak ada dan pendarahan tidak

ada. Pasien memiliki berat badan 70 kg dan tinggi 170 cm tidak ada

mengeluh mual, muntah dan pusing. Keluarga pasien mengatakan

semua aktivitas pasien dibantu oleh keluarga, serta pasien mengeluh

sering terbangun pada malam hari karena nyeri yang dirasakan di tibia

sinistra, wajah sebelah kiri (regio zygoma sinistra). Setelah dilakukan

pengecekan tanda-tanda vital didapatkan hasil Tekanan darah (TD)

132/97 mmHg, Nadi (N) 110x/menit, pernafasan 21x/menit dan suhu

37◦C. Pasien BAB 1x sehari dengan karakteristik feses lunak dan BAK

± 6-7 kali sehari bewarna kuning. Pasien mengatakan kesulitan makan


65

karena keadaan rahang kiri sakit dan makanan yang dihabiskan hanya

3-5 sendok saja. Diketahui pasien mendapatkan diet makanan lunak

(ML).

Kekuatan otot :

5555 5555

5555 2222

c. Riwayat kesehatan dahulu

Pasien mengatakan mengatakan tidak pernah mengalami penyakit

diabetes mellitus, hipertensi serta pasien alergi pada makanan yaitu

udang.

d. Riwayat Kesehatan keluarga

Keluarga pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang

mengalami penyakit diabetes mellitus, hipertensi dan penyakit menular

lainnya seperti Tubercolusis (TBC)

Genogram
66

Keterangan :

= Laki-laki

= Perempuan
= Menikah
= Pasien

= Tinggal serumah

4. Pemeriksaan Fisik

a. Tanda-tanda vital

TD : 132/97 mmHg

N : 110x/i

RR : 21x/i

S : 37◦C

Kesadaran : Composmetis

GCS : 14 E3V5M6

b. Kepala

Inspeksi : Kepala pasien tampak normochepal, rambut berwarna

hitam,tidak ada ketombe, rambut tampak lurus dan tidak

rontok

Palpasi : Saat di raba kepala pasien tidak ada massa atau luka pada

kepala

c. Facial

Inspeksi : Wajah pasien tampak sebelah kiri tampak edema pada

regio zygomaticus, hematom tidak ada


67

d. Mata

Inspeksi : Mata pasien tampak terlihat simetris, penglihatan klien

jelas, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil

isokor 3ml/3ml, reflek cahaya langsung (RCL) (+/+),

edema palpebra terlihat tampak lebam (hematoma

periorbital).

e. Hidung

Inspeksi : Hidung pasien tampak ada bekas gores jatuh, edema

tidak ada, mimisan tidak ada

f. Telinga

Inspeksi : Telinga pasien tampak simetris kiri dan kanan, tidak ada

pembengkakan disekitar telinga, tidak ada cerumen

ataupun pendarahan, liang telinga tampak bersih

g. Mulut, rahang, gigi dan lidah

Inspeksi : Mukosa mulut pasien tampak lembab, bibir tidak pecah-

pecah, warna bibir kehitaman, tidak ada stomatitis, gigi

karies, lidah tidak ada tanda-tanda infeksi, kemudian

pada rahang sebalah kiri (regio zygomaticus) tampak

terdapat edema dan pasien mengeluh nyeri saat

digerakkan
68

h. Leher

Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, tidak ada pembesaran kelenjar

tyroid, tidak ada bekas luka atau jahitan, tidak ada

kesulitan menelan

Palpasi : Saat di raba tidak ada teraba kelenjar tyroid dan massa
pada leher

i. Thorax

1) Paru-paru

Inspeksi : Dada klien tampak simetris kiri dan kanan, tidak

ada luka, maupun edema

Palpasi : Fremitus kiri dan kanan

Perkusi : Terdengar bunyi sonor pada kedua lapang paru.

Auskultasi : Ronchi (-), whezing (-)

2) Kardiovaskuler

Inspeksi : Tampak Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Teraba ictus cordis teraba 1 jari LMCRS RIC V

Perkusi : Terdengar bunyi pekak (hati)

Auskultasi : Bunyi jantung pasien reguler ((lup dup)

3) Payudara

Inspeksi : Dada pasien tampak simetris kiri dan kanan, warna

kulit sawo matang, ukuran simetris kiri dan kanan,

tidak terdapat massadan tidak terdapat luka pada


69

kedua payudara

Palpasi : Saat di palpasi tidak terdapat massa dan nyeri tekan

j. Abdomen

Inspeksi : Perut pasien tampak tidak membuncit (distensi), tidak

terdapat luka serta jejas disekitar perut

Palpasi : Saat ditekan tidak terdapat nyeri tekan pada abdomen,

supel (+), NT (-), NTL (-)

Perkusi : Tympani

Auskultasi : Bising usus (+)

k. Pemeriksaan syaraf kranial

Tabel 3.1
Pemeriksaan Syaraf Kranial

N1 (Olfaktorius) Pasien mengatakan dapat membedakan bau minyak


kayu putih dengan sabun cair
N2 (Optikus) Pasien mengatakan mampu membaca papan nama
dalam jarak 30 cm tanpa menggunakan alat bantu
N3, N4, N6 Pasien tampak dapat menggerak bola mata ke segala
(Okulomotoris, arah, respon pupil miosis (mengecil)
Trokhealis,
Abdusen)
N5 (Trigeminus) Mata pasien tampak mampu berkedip saat diberi
pilinan kapas yang diusapkan pada kelopak mata,
pasien dapat membedakan sensasi kasar, halus, tajam
dan tumpul pada area wajah. Reflek mengedip (+)
N7 (Fasialis) Wajah pasien tampak tidak simetris, wajah sebelah
kiri tampak bengkak
N8 (Auditorius) Pasien tampak mampu mendengaran suara perawat
(Kemampuan mendengar (+))
N9 dan N10 Pasien tampak dapat menelan dengan baik
(Glosofaringeus)
N11 (Asesorius) Pasien tampak dapat menoleh ke kanan dan ke kiri
N12 (Vagus) Pasien tampak dapat menggerakkan lidah ke segala
arah dengan bebas.
70

l. Ektremitas

Ekstremitas ataskanan : pada tangan kanan pasien tampak bisa

digerakkan, tidak tampak adanya luka dan

edema

Ekstremitas atas kiri : pada lengan tangan sebelah kiripasien

tampak terdapat luka goresan dengan

panjang ± 3 cm

Ekstremitas bawah kanan : pada kaki sebelah kanan pasien tampak

bisa digerakkan serta tidak terdapat luka

dan tidak ada edema

Ektremitas bawah kiri : pada kaki sebelah kiri pasien tampak

terpasang perban, sulit digerakkan, fraktur

di kaki kiri dengan terdapat luka post

operasi ORIF dengan panjang luka

±15cm, namun semua jari kaki kiri bisa

digerakkan

P: Fraktur Tibia sinistra 1/3 tengah

Q: Nyeri terasa berdenyut

R: Kaki kiri pada tungkai bagian

bawah (tibia)

S: Skala nyeri 8

T: hilang timbul dan bertambah

nyeri bila digerakkan


71

Kekuatan otot :

5555 5555

55552222

m. Genetalia

Pada genetalia tampak terpasang kateter

n. Kulit

I : warna kulit pasien tampak kuning langsat, tidak terdapat lesi, turgor

kulit tidak elastis

5. Pola Nutrisi

a. Berat Badan

Sebelum sakit : 72 kg

Saat sakit : 70 kg

Tinggi badan : 170 cm

b. Frekuensi makan

Sebelum sakit : pasien mengatakan sebelum sakit frekuensi

makan sebanyak 3 x sehari (habis)

Saat sakit : pasien mengatakan selama di rawat di

rumah sakit frekuensi makan pasien sebanyak 4-5 sendok makan.

c. Jenis makanan

Sebelum sakit : pasien mengatakan sebelum sakit jenis makanan

yang dikonsumsi yaitu makanan padat


72

Saat sakit : pasien mengatakan saat di rawat di rumah sakit

pasien dapat makanan lunak seperti bubur dan

nasi lunak.

d. Makanan yang disukai : pasien mengatakan semua makanan bisa

dimakan kecuali udang, sebab pasien alergi dengan udang

e. Nafsu makan : pasien mengatakan nafsu makan

menurun,dikarenakan makanan terasa hambar dan rahang sakit saat

digerakkan

f. Pola makan : pasien mengatakan pola makan sebanyak

2-3 kali sehari

6. Pola eliminasi

Tabel 3.2
Pola Eliminasi BAB dan BAK
Pola BAB dan BAK Sebelum Sakit Saat Sakit
BAB
Frekuensi 1 x 2 hari Belum BAB
Konsistensi feses Keras Tidak ada
Warna feses Coklat Tidak ada
Masalah dalam BAB Tidak ada Tidak ada
BAK
Frekuensi BAK/ Volume 6-7 x/ hari Terpasang kateter dengan
urine produksi urin 1000 cc/ 8
jam
Warna urine Kuning Kuning
Masalah dalam BAK Tidak ada Tidak ada
Penggunaan alat bantu Tidak ada Kateter
73

7. Pola Tidur dan Istirahat

Tabel 3.3
Pola Tidur dan Istirahat

Kategori Sebelum sakit Saat sakit


Waktu tidur Pukul 10:00 wib Tidak menentu
Lama tidur 9 jam ± 5 jam
Kebiasaan saat tidur Tidak ada Tidak ada
Kesulitan dalam hal tidur Tidak ada Tidak ada

8. Pola Aktivitas & Kesehatan

Kegiatan dalam pekerjaan : pasien mengatakan bekerja sebagai

pedagang atau sales suatu produk.

Olahraga : pasien mengatakan jarang olahraga

Kegiatan di waktu luang : pasien mengatakan kegiatan di waktu luang

hanya berkumpul dengan teman-teman sebaya

9. Pola Bekerja

Jenin pekerjaan : pasien mengatakan bekerja sebagai

pedagang atau sales suatu produk

Lama bekerja : pasien mengatakan lama bekerja sekitar 8-

10 jam

Jumlah jam kerja : pasien mengatakan jumlah jam kerja tidak

menentu

10. Aspek Psikososial

a. Pola pikir & persepsi

Alat bantu yang digunakan : pasien mengatakan tidak menggunakan alat

bantu pendengaran ataupun penglihatan


74

Kesulitan yang dialami : pasien mengatakan tidak ada kesulitan

yang dialami

b. Persepsi diri

Tabel 3.4
Persepsi Diri

Hal yang amat Pasien mengatakan hal yang amat dipikirkan saat
dipikirkan saat ini ini adalah bagaimana bisa cepat pulih kembali
dan beraktifitas seperti biasanya
Harapan setelah Pasien mengatakan harapan setelah menjalani
menjalani perawatan perawatan berharap kaki kiri cepat pulih kembali
danbisa bekerja mencari nafkah untuk istri
Perubahan yang dirasa Pasien mengatakan perubahan yang dirasa setelah
setelah sakit sakit adalah kaki kiri tidak bisa digerakkan, jika
digerakkan atau berubah posisi nyeri.

c. Hubungan/komunikasi

Bahasa utama : pasien mengatakan bahasa utama yang

digunakan sehari-hari adalah bahasa minang

Bicara : pasien berbicara tampak masih kurang

jelas, karena rahang sebelah kiri sakit

Kehidupan keluarga :

Adat istiadat yang dianut : Pasien mengatakan adat

istiadat yang dianut adalah

adat istiadat Minangkabau

Pembuat keputusan dalam keluarga : Pasien mengatakan di dalam

keluarga pembuat keputusan

adalah dirinya sendiri


75

Pola komunikasi : Pasien mengatakan pola

komunikasi yang dilakukan

dalam keluarga adalah pola

komunikasi musyawarah

mufakat

Keuangan : Pasien mengatakan kondisi

keuangan cukup menafkahi

keluarganya

Kesulitan dalam keluarga : Pasien mengatakan tidak

terdapat kesulitan dalam

keluarga, hubungan antara

keluarga rukun

Kebiasaan seksual : Pasien mengatakan tidak ada

gangguan hubungan seksual

d. Spiritual

Keyakinan agama : Pasien mengatakan agama

yang dianut adalah islam

Kegiatan agama yang dilakukan : Pasien mengatakan kegiatan

agama yang dilakukan seperti sholat, namun sering kali tinggal

Kegiatan agama yang dilakukan di RS : Pasien mengatakan tidak

bisa melakukan sholat karena keadaan saat ini sakit.


76

11. Informasi Penunjang (tanggal 31-11-2021)

1. Laboratorium

Tabel 3.5
Hasil Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal


Hemoglobin (Hb) 16,3 g/dL 13,0 – 16,0
Leukosit 10,48 10^3/mm^3 5,0 - 10,0
Trombosit 280 10^3/mm^3 150 – 400
Eritrosit 5,43 10^6/ µL 4,50 – 5,50
Hematokrit 48 % 40,0 – 48,0

Gula darah sewaktu 106 mg/dL 50 - 200


(GDS)

2. Rontgen cruris AP & lateral

Gambar 3.1 Hasil Rontgen Cruris AP & Lateral (Sinistra)


77

3. Pengobatan

Tabel 3.6
Pengobatan pasien

Injeksi Cefriaxonone 2 x 1 hari


Keterolac 3 x 1 hari
Ranitidine 2 x 1 hari
Vit K 1x1 hari
Kalnex 1x1 hari
Infus IVFD NaCl 0,9% 8 jam/ kolf
Oral Paracetamol 500 mg
Ekstra Diet ML (3 x 1) sehari
Susu coklat 200 cc 1 x 1 hari
Jus buah ( Mangga, Melon)
Buah (Pepaya, jeruk)
78

B. ANALISA DATA
Tabel 3.7
Analisa Data Keperawatan

No Data Etiologi Masalah


1. DS : Fraktur Nyeri akut
a. Pasien mengatakan
nyeri pada kaki kiri, Diskontinuitas tulang
lengan kiri dan
rahang sebelah kiri Pergeseran fragmen
P : Terdapat fraktur tulang
tibia 1/3 tengah
sinistra
Q : nyeri terasa Nyeri akut
berdenyut
R : kaki kiri tungkai
bagian bawah (tibia)
S : skala nyeri 6
T : hilang timbul dan
bertambah nyeri bila
digerakkan
b. Pasien mengatakan
nyerinya terasa
berdenyut
c. Keluarga pasien
mengatakan nyeri
bertambah bila kaki
kiri digerakkan
DO :
a. Pasien tampak
meringis
b. Skala nyeri 6
c. Tampak edema pada
bagian fraktur
d. Pasien tampak hari
pertama post operasi
ORIF
e. Tanda-tanda vital
TD : 132/97 mmHg
N : 110x/i
RR : 21xi
S : 37◦C
79

2. DS : Fraktur Terbuka Gangguan


a. Pasien mengatakan integritas
baru selesai operasi Perubahan bentuk kulit/jaringan
pada kaki kiri fragmen
b. Pasien mengatakan ada
luka gores bekas ORIF
kecelakaan di lengan
sebelah kiri Pemasangan crew

DO : Kontinuitas jaringan
a. Tampak luka post terputus
operasi ORIF pada
kaki sebelah kiri Gangguan integritas
dengan panjang ± 15 kulit/jaringan
cm
b. Balutan luka tampak
tidak ada rembesan
c. Luka post operasi
tampak tidak ada
push
d. Jahitan luka post
operasi tampak masih
basah
e. Luka pada kaki kiri
tampak memerah
f. Luka pada lengan
kiri tampak terbuka
dengan panjang ± 3
cm
g. Luka pada lengan
kiri tampak belum
kering dan memerah
80

3. DS : Fraktur Gangguan
a. Keluarga pasien mobilitas fisik
mengatakan aktivitas Diskontinuitas tulang
pasien selalu dibantu
oleh keluarga Perubahan jaringan
b. Keluarga pasien sekitar
mengatakan pasien
banyak berbaring Pergeseran fragmen
saja tulang
c. Pasien mengatakan
tidak bisa Depormitas
menggerakkan kaki
kiri karena sakit Gangguan fungsi
DO :
a. Pasien hari pertama
post operasi ORIF Gangguan mobilitas
b. Kaki sebelah kiri fisik
pasien tampak
terpasang tansocrote
c. Kekuatan otot
5555 5555
5555 2222
d. Pasien tampak selalu
dibantu oleh perawat
dan keluarga pasien
dalam melakukan
aktivitas
e. Pasien tampak
membatasi aktivitas
f. Vital Sign klien
TD : 132/97 mmHg
N : 110 x/i
RR : 20 x/i
S : 37◦C

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN (SDKI, 2017)

1. Nyeri akutb.d agen pencedera fisik (trauma)d.d pasien mengeluh nyeri,


tampak meringis, gelisah, bersikap protektif, tekanan darah meningkat
2. Gangguan integritas kulit / jaringan fisik b.d Perubahan sirkulasi
3. Gangguan mobilitas fisik b.d Gangguan muskuloskeletal
81

D. INTERVENSI KEPERAWATAN
Tabel 3.8
Intervensi Keperawatan
Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Keperawatan
Keperawatan Hasil (SIKI)
(SDKI) (SLKI)
1. Nyeri akut b.d Setelah dilakukan Manajemen nyeri
agen intervensi selama 1 x Observasi
pencedera 24 jam, maka tingkat 1. Identifikasi lokasi,
fisik nyeri menurun dengan karakteristik, durasi,
(trauma)d.d kriteria hasil : frekuensi, kualitas,
pasien 1. Keluhan nyeri intensitas nyeri
mengeluh menurun 2. Identifikasi skala nyeri
nyeri, tampak 2. Meringis menurun 3. Identifikasi respon nyeri
meringis, 3. Sikap protektif non-verbal
gelisah, menurun 4. Identifikasi faktor yang
bersikap 4. Kesulitan tidur memperberat dan
protektif, menurun memperingan nyeri
tekanan darah 5. Muntah menurun 5. Monitor skala nyeri
meningkat 6. Mual menurun sebelum dan sesudah
7. Frekuensi nadi dilakukan terapi guided
membaik imagery dengan musik
8. Pola nafas membaik relaksasi
9. Tekanan darah Terapeutik
membaik 1. Berikan teknik non-
10. Nafsu makan farmakologi yaitu terapi
membaik guided imagery dengan
11. Pola tidur membaik musik relaksasi :
a. Berikan salam
terapeutik
b. Jelaskan kepada
pasien dan keluarga
mengenai terapi
guided imagery
dengan musik
relaksasi
c. Tunjukkan dan
praktekkan teknik
relaksasi guided
imagery
d. Sebelum melakukan
terapi guided imagery
ukur skala nyeri
menggunakan NRS
e. Anjurkan pasien untuk
menutup mata
f. Nyalakan musik
relaksasi
g. Minta pasien menarik
nafas dalam dengan
82

perlahan
h. Minta Pasien untuk
menggunakan semua
panca indera dalam
menjelaskan bayangan
dan lingkungan
bayangan tersebut
i. Minta pasien
membayangkan
tempat yang
menyenangkan dan
dapat dinikmati
j. Minta pasien
menjelaskan perasaan
fisik dan emosional
yang ditimbulkan dari
bayangannya dan
bantu pasien untuk
mengeksplorasi
respon terhadap
bayangannya
k. Dorong pengulangan
teknik praktik-praktik
tertentu secara berkala
2. Control lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
3. Fasilitasi istirahat dan
tidur
Edukasi
1. Jelaskan penyebab,
periode dan pemicu nyeri
2. Anjurkan melatih terapi
guided imagery 2x sehari
terutama sebelum tidur
pada malam hari dengan
MP3
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
83

2. Gangguan Integritas kulit dan Perawatan luka


integritas jaringan Observasi
kulit / Setelah dilakukan 1. Monitor karakteristik
jaringan b.d itervensi keperawatan luka (mis: drainase,
Perubahan selama 1 x 24 jam, warna, ukuran, bau)
sirkulasi diharapkan integritas 2. Monitor tanda-tanda
kulit dan jaringan infeksi
meningkat dengan Terapeutik
kriteria hasil : 1. Lepaskan balutan dan
1. Perfusi jaringan plester secara perlahan
meningkat 2. Cukur rambut di sekitar
2. Nyeri menurun daerah luka, jika perlu
3. Perdarahan 3. Bersihkan dengan vairan
menurun NaCl atau pembersih
4. Kemerahan non-toksik, sesuai
menurun kebutuhan
5. Hematoma menurun 4. Bersihkan jaringan
6. Pigmentasi nekrotik
abnormal menurun 5. Pasang balutan sesuai
7. Jaringan parut jenis luka
menurun 6. Pertahankan teknik steril
8. Nekrosis menurun saat melakukan
9. Suhu kulit membaik perawatan luka
10. Sensasi membaik 7. Ganti balutan sesuai
11. Tekstur membaik jumlah eksudat dan
drainase
Edukasi
1. Jelaskan tanda dan gejala
infeksi
2. Anjurkan mengkonsumsi
makanan tinggi kalori
dan protein
3. Ajarkan prosedur
perawatan luka secara
mandiri
Kolaborasi
1. Kolaborasi prosedur
debridement ( mis:
enzimatik, biologis,
mekanis, autolitik), jika
perlu
2. Kolaborasi pemberian
antibiotik, jika perlu
84

3. Gangguan Mobilitas fisik Dukungan Mobilisasi


mobilitas Setelah dilakukan Observasi
fisik b.d intervensi keperawatan 1. Identifikasi adanya nyeri
Gangguan selama 1 x 24 jam, atau keluahan fisik
muskuloskele diharapkan mobilitas lainnya
tal fisik meningkat dengan 2. Identifikasi toleransi fisik
kriteria hasil : melakukan pergerakan
1. Pergerakan 3. Monitor frekuensi
ekstremitas jantung dan tekanan
meningkat darah sebelum memulai
2. Kekuatan otot mobilisasi
meningkat 4. Monitor kondisi umum
3. Nyeri menurun selama melakukan
4. Kaku sendi menurun mobilisasi
5. Gerakan terbatas Terapeutik
menurun 1. Fasilitasi aktivitas
mobilisasi dengan alat
bantu
2. Fasilitasi melakukan
pergerakan, jika perlu
3. Latih pasien melakukan
mobilisasi (ROM)
4. Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan pergerakan

Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur mobilisasi
2. Anjurkan melakukan
mobilisasi dini
3. Ajarkan mobilisasi
sederhana yang harus
dilakukan (mis: duduk di
tempat tidur)
85

E. Catatan Perkembangan
Tabel 3.9

Catatan Perkembangan
Nama Pasien : Tn. D
Diagnosa Medis : Fraktur Tibia Sinistra 1/3 Tengah
Hari/Tanggal : Rabu/ 03-11-2021
No Diagnosa Implementasi Evaluasi TTD
keperawatan
1. Nyeri akut b.d 1. Mengidentifikasi Pukul 16:00 WIB
Agen
skala nyeri
pencedera fisik S:
(trauma) d.d 2. Mengidentifikasi  Pasien mengatakan
pasien respon nyeri non nyeri pada luka
mengeluh post operasi
nyeri, tampak verbal  Pasien mengatakan
meringis, 3. Mengidentifikasi nyeri menetap
gelisah, karena tidak fokus
faktor yang setelah diberikan
bersikap
memperberat dan terapi guided
protektif, imagery dengan
tekanan darah memperingan nyeri musik relaksasi,
meningkat sebelum diberikan
4. Mengajarkan
terapi guided
teknik non imagery dengan
farmakologi : musik relaksasi
skala nyeri 6,
guided imagery setelah diberikan
dengan musik terapi guided
imagery dengan
relaksasi musik relaksasi
a. Menjelaskan skala nyeri 6
 Pasien mengatakan
kepada pasien nyeri bertambah
dan keluarga saat kaki
digerakkan
mengenai terapi  Pasien mengatakan
guided imagery nyeri terasa terus-
menerus
dengan musik O:
relaksasi  Pasien tampak
dalam posisi tidur
b. Mengukur skala semi fowler
nyeri pasien  Pasien tampak
meringis
dengan skala
 Pasien bergerak
NRS sebelum hati-hati untuk
melindungi area
86

melakukan nyeri
 Pasien
terapi guided
mendapatkan
imagery dengan keterolac 3x1 drip
Nacl 500 ml habis
musik relaksasi
dalam 8 jam
c. Menunjukkan  P : Fraktur tibia 1/3
dan tengah post operasi
pemasangan ORIF
mempraktekkan  Q : Nyeri terasa
teknik relaksasi seperti ditusuk-
tusuk
guided imagery
d. Menganjurkan  R : Nyeri terasa
pada daerah luka
pasien untuk post operasi
menutup mata pemasangan ORIF
fraktur tibia
e. Menyalakan  S : Skala nyeri 6
musik relaksasi  T : Nyeri hilang
timbul 3-5 menit
f. Meminta pasien  Pemeriksaan
menarik nafas Tanda-tanda vital
TD : 132/97 mmHg
dalam dengan N : 110x/i
perlahan RR : 21x/i
S : 37◦C
g. Meminta Pasien
untuk A:
Masalah belum teratasi
menggunakan P:
semua panca Intervensi dilanjutkan:
 Manajemen nyeri
indera dalam
dengan terapi
menjelaskan guided imagery
bayangan dan dengan musik
lingkungan relaksasi
 Lanjutkan terapi
bayangan
farmakologi
tersebut  Anjurkan pasien
h. Meminta pasien untuk mendapatkan
istirahat yang
membayangkan
cukup
tempat yang
menyenangkan
dan dapat
dinikmati
87

i. Meminta pasien
menjelaskan
perasaan fisik
dan emosional
yang
ditimbulkan
dari
bayangannya
dan membantu
pasien untuk
mengeksplorasi
respon terhadap
bayangannya
j. Mendorong
pengulangan
teknik praktik-
praktik tertentu
secara berkala
5. Memonitor skala
nyeri sebelum dan
sesudah dilakukan
terapi guided
imagery dengan
musik relaksasi
6. Menganjurkan
melatih terapi
guided imagery 2x
sehari terutama
sebelum tidur pada
malam hari
dengan MP3
7. Melakukan
pemeriksaan tanda-
tanda vital
88

2. Gangguan 1. Memonitor Pukul 15:00 WIB


integritas kulit
karakteristik luka
/ jaringan b.d S:
Perubahan 2. Melakukan  Pasien mengatakan
sirkulasi luka di lengan kiri
perawatan luka
perih saat
3. Melepaskan dilakukan
perawatan luka
balutan dan plester
 Pasien mengatakan
secara perlahan saat di buka balutan
4. Membersihkan luka post operasi
terasa nyeri
dengan cairan
NaCl O:
 Warna luka lengan
5. Pasang balutan kiri tampak
sesuai jenis luka memerah
 Tidak ada push
6. Mempertahankan pada luka lengan
teknik steril saat kiri
 S : 37◦C
melakukan  Luka pada post
perawatan luka operasi tampak
masih basah
dengan panjang ±
15 cm
 Warna luka post
operasi tampak
memerah
 Luka post operasi
tidak tampak
adanya push dan
jaringan nekrotik
pada jahitan luka
 Pasien tampak
mendapatkan
antibiotik
Cefriaxonone 2x1
hari

A:
Masalah belum teratasi
P:
Intervensi dilanjutkan :
 Perawatan luka
 Lanjutkan
pemberian
antibiotik
89

3. Gangguan 1. Mengidentifikasi Pukul 19 : 00 WIB


mobilitas fisik
adanya nyeri atau
b.d Gangguan S:
muskuloskelet keluhan fisik  Pasien mengatakan
al nyeri saat kaki post
lainnya
operasi ORIF
2. Mengidentifikasi digerakkan
toleransi fisik  Pasien mengatakan
makanan dan
melakukan gerakan minuman mampu
3. Menjelaskan tujuan secara mandiri
namun aktivitas
dan prosedur dibantu keluarga
mobilisasi (ROM)  Pasien mengatakan
mengetahui
4. Melakukan manfaat mobilisasi
mobilisasi (ROM) dini

pada pasien O:
5. Membantu pasien  Pasien tampak
paham dan jelas
melakukan atas penjelasan
mobilisasi (ROM) yang diberikan
 Pasien post operasi
hari pertama
 Pasien tampak
takut saat
menggerakkan
kakinya
 Pasien tampak
terpasang
tensocrepe
 Aktivitas pasien
tampak dibantu
oleh keluarga
A:
Masalah belum teratasi

P:
Intervensi dilanjutkan :
 Terapi latihan
 Mobilisasi dini
90

Catatan Perkembangan
Nama Pasien : Tn. D
Diagnosa Medis : Fraktur Tibia Sinistra 1/3 Tengah
Hari/ Tanggal : Kamis/ 04-11-2021
No Diagnosa Implementasi Evaluasi TTD
keperawatan
1. Nyeri akut b.d 1. Mengevaluasi Pukul 09 : 00 WIB
Agen
nyeri dengan
pencedera fisik S:
(trauma) pengkajian secara  Pasien mengatakan
nyeri pada luka post
komprehensif
operasi
2. Mengobservasi  Pasien mengatakan
respon nyeri non sebelum tidur hari
kemaren
verbal mendengarkan
3. Mengajarkan rekaman terapi
guided imagery
teknik non dengan musik
farmakologi : relaksasi
 Pasien mengatakan
guided imagery setelah terapi guided
dengan musik imagery dengan
musik relaksasi nyeri
relaksasi berkurang sebelum
a. Menjelaskan skala nyeri 6
menjadi skala nyeri
kepada pasien 5
dan keluarga  pasien mengatakan
perasaan menjadi
mengenai rileks setelah terapi
terapi guided guided imagery
dengan musik
imagery relaksasi
dengan musik O:
 Pasien masih
relaksasi meringis
b. Mengukur  Pasien tampak fokus
melakukan terapi
skala nyeri guided imagery
pasien dengan dengan musik
relaksasi
skala NRS
 P : Fraktur tibia post
sebelum pemasangan ORIF
 Q : Nyeri terasa
melakukan
seperti ditusuk-tusuk
terapi guided  R : Nyeri dirasakan
dibagian luka post
91

imagery operasi pemasangan


ORIF fraktur tibia
dengan musik
 S : Skala nyeri 5
relaksasi  T : Nyeri terus-
c. Menunjukkan menerus ± 3 menit
 TD : 129/76 mmHg
dan N : 106 x/i
mempraktekka RR : 21x/i
S : 36,8◦C
n teknik  Pasien tampak
relaksasi diberikan analgesik
keterolac 3 x 1 drip
guided NaCl 500 ml habis
imagery dalam 8 jam.

d. Menganjurkan A:
pasien untuk Masalah belum teratasi
P:
menutup mata Intervensi dilanjutkan :
e. Menyalakan  Manajemen nyeri
 Ajarkan teknik non
musik farmakologi : terapi
relaksasi guided imagery
dengan musik
f. Meminta relaksasi
pasien  Monitor TTV
menarik nafas
dalam dengan
perlahan
g. Meminta
Pasien untuk
menggunakan
semua panca
indera dalam
menjelaskan
bayangan dan
lingkungan
bayangan
tersebut
h. Meminta
pasien
membayangka
n tempat yang
92

menyenangka
n dan dapat
dinikmati
i. Meminta
pasien
menjelaskan
perasaan fisik
dan emosional
yang
ditimbulkan
dari
bayangannya
dan membantu
pasien untuk
mengeksplora
si respon
terhadap
bayangannya
j. Mendorong
pengulangan
teknik praktik-
praktik
tertentu secara
berkala
4. Memonitor skala
nyeri sebelum
dan sesudah
dilakukan terapi
guided imagery
dengan musik
relaksasi
5. Menganjurkan
melatih terapi
guided imagery
2x sehari
93

terutama sebelum
tidur pada malam
hari dengan MP3
6. Menganjurkan
pasien untuk
istirahat
7. Memonitor
tanda-tanda vital

2. Gangguan 1. Memonitor Pukul 08 : 00 WIB


integritas kulit
tanda-tanda
/ jaringan b.d S:
Perubahan infeksi  Pasien mengatakan
sirkulasi luka pada lengan kiri
2. Memonitor
sudah diperban dan
karakteristik luka tidak basah
3. Menjadwalkan  Pasien mengatakan
balutan pada luka
perubahan posisi operasi tidak basah
setiap 2 jam atau
O:
sesuai kondisi  Luka pada lengan
pasien kiri tampak tidak ada
perdarahan
4. Mengkolaborasik  Perban pada luka
an pemberian lengan kiri tampak
tidak basah
antibiotik  Luka pada lengan
kiri tampak tidak ada
jaringan nekrotik
 Luka pada lengan
kiri tampak tidak ada
mengeluarkan push
 S : 36,8◦C
 Luka bekas operasi
ORIF tampak di
perban
 Perban pada luka
post operasi ORIF
tampak tidak basah
A:
Masalah belum teratasi

P:
Intervensi dilanjutkan:
 Perawatan luka
 Monitor tanda-tanda
94

infeksi
 Monitor karakteristik
luka

3. Gangguan 1. Memfasilitasi Pukul 11 : 00 WIB


mobilitas fisik
aktivitas
b.d Gangguan S:
muskuloskelet mobilisasi Pasien mengatakan setelah
al gerakan kedua kaki terasa
dengan alat bantu
masih kaku
pagar tempat
O:
tidur
 Pasien tampak masih
2. Melatih pasien meringis
melakukan  pasien tampak
mampu miring
mobilisasi kiridan kanan
(ROM) walaupun masih
dibantu
3. Memfasilitasi  Sebelum melakukan
melakukan ROM
TD :129/76 mmHg
pergerakan N : 106x/i
4. Melibatkan  Setelah melakukan
ROM
keluarga untuk TD :143/90 mmHg
membantu pasien N : 112 x/i

dalam melakukan A:
pergerakan Masalah belum teratasi

P:
Intervensi dilanjutkan:
 Aktivitas perawatan
diri
 Mobilisasi dini
95

Catatan Perkembangan
Nama Pasien : Tn. D
Diagnosa Medis : Fraktur Tibia Sinistra 1/3 Tengah
Hari/ Tanggal : Sabtu/ 06-11-2021
Tang Diagnosa Implementasi Evaluasi TTD
gal keperawatan
06/1 Nyeri akut b.d 1. Mengevaluasi Pukul 15 : 00 WIB
1/20 Agen
skala nyeri
21 pencedera fisik S:
(trauma) 2. Mengobservasi  Pasien
mengatakan
respon nyeri non
masih terasa
verbal nyeri pada luka
3. Menjelaskan post operasi
 Pasien
penyebab, periode mengatakan
dan pemicu nyeri selalu
mendengarkan
4. Mengajarkan rekaman terapi
teknik non guided imagery
dengan musik
farmakologi : relaksasi sebelum
guided imagery tidur
 Pasien
dengan musik mengatakan
relaksasi setelah terapi
guided imagery
a. Menjelaskan dengan musik
kepada pasien relaksasi nyeri
berkurang dari
dan keluarga sebelum skala
mengenai terapi nyeri 4, setelah
skala nyeri 3
guided imagery O:
dengan musik  Pasien masih
meringis
relaksasi  Pasien tampak
b. Mengukur skala tenang
 Pasien tampak
nyeri pasien meringis saat
dengan skala menggerakkan
kaki kiri
NRS sebelum
 Pasien tampak
melakukan tenang
mendengarkan
terapi guided
terapi
imagery dengan  Skala nyeri 3
 TD : 115/82
96

musik relaksasi mmHg


N : 98x/i
c. Menunjukkan
RR : 20x/i
dan S : 36,9◦C
A:
mempraktekkan
Masalah belum
teknik relaksasi teratasi
guided imagery
P:
d. Menganjurkan Intervensi dilanjutkan
:
pasien untuk
 Manajemen nyeri
menutup mata dengan terapi
guided imagery
e. Menyalakan
dengan musik
musik relaksasi relaksasi
f. Meminta pasien  Lanjutkan terapi
farmakologi
menarik nafas  Monitor TTV
dalam dengan
perlahan
g. Meminta Pasien
untuk
menggunakan
semua panca
indera dalam
menjelaskan
bayangan dan
lingkungan
bayangan
tersebut
h. Meminta pasien
membayangkan
tempat yang
menyenangkan
dan dapat
dinikmati
i. Meminta pasien
menjelaskan
perasaan fisik
dan emosional
97

yang
ditimbulkan
dari
bayangannya
dan membantu
pasien untuk
mengeksplorasi
respon terhadap
bayangannya
j. Mendorong
pengulangan
teknik praktik-
praktik tertentu
secara berkala
5. Memonitor skala
nyeri sebelum dan
sesudah dilakukan
terapi guided
imagery dengan
musik relaksasi
6. Menganjurkan
melatih terapi
guided imagery 2x
sehari terutama
sebelum tidur pada
malam hari
dengan MP3
98

Gangguan 1. Melepaskan Pukul 16 : 00 WIB


integritas kulit
balutan dan plester
/ jaringan b.d S:
Perubahan secara perlahan  Pasien
sirkulasi mengatakan luka
2. Membersihkan
bekas operasi
luka dengan cairan tidak perih saat
dibersihkan
NaCl
 Pasien
3. Memasang balutan mengatakan luka
luka sesuai jenis sudah kering dan
tidak nyeri lagi
luka pada lengan kiri
4. Mempertahankan
O:
teknik steril saat  Luka pada lengan
melakukan kiri tampak sudah
kering
perawatan luka  Perban luka pada
5. Mengajarkan lengan kiri
tampak dibuka
prosedur perawatan  Luka pada lengan
luka secara mandiri kiri tidak ada
push, kemerahan
6. Mengkolaborasika dan tidak ada
n pemberian jaringan nekrotik
 Luka jahit post
antibiotik operasi tampak
kering
 Warna luka post
operasi tampak
tidak ada
kemerahan
 Luka post operasi
tampak tidak ada
push dan tidak
ada perdarahan

A:
Masalah belum
teratasi

P:
Intervensi dilanjutkan:
 Perawatan luka
 Monitor tanda-
tanda infeksi
 Monitor
karakteristik luka
99

Gangguan 1. Melakukan Pukul 17 : 00 WIB


mobilitas fisik
mobilisasi pasien
b.d Gangguan S:
muskuloskelet (ROM) Pasien mengatakan
al setelah berpindah
2. Membantu pasien
posisi badan terasa
melakukan tidak kaku namun
masih nyeri pada kaki
mobilisasi (ROM)
kiri jika digerakkan
3. Menganjurkan
O:
mobilisasi dini
 Pasien tampak
4. Menganjurkan meringis saat
menggerakkan
mobilisasi
kaki kiri
sederhana yang  pasien tampak
harus dilakukan mampu untuk
duduk ditempat
(mis duduk di tidurdengan
tempat tidur) mandiri
 Pasien tampak
5. Memonitor semangat untuk
frekuensi jantung melakukan
mobilisasi
dan tekanan darah  Sebelum
sebelum dan melakukan ROM
TD :115/82
sesudah dilakukan mmHg
mobilisasi (ROM) N :98x/i
 Setelah
melakukan ROM
TD :120/78
mmHg
N :90x/i

A:
Masalah belum
teratasi

P:
Intervensi dilanjutkan:
 Mobilisasi dini
 Monitor frekuensi
jantung dan
tekanan darah
sebelum dan
sesudah
mobilisasi (ROM)
100

Catatan Perkembangan
Nama Pasien : Tn. D
Diagnosa Medis : Fraktur Tibia Sinistra 1/3 Tengah
Hari/ Tanggal : Minggu/ 07-11-2021
Tang Diagnosa Implementasi Evaluasi TTD
gal keperawatan
07/1 Nyeri akut b.d 1. Mengidentifikasi Pukul 15 : 00 WIB
1/20 Agen
skala nyeri
21 pencedera fisik S:
(trauma) 2. Mengidentifikasi  Pasien
mengatakan
respon nyeri non
terapi guided
verbal membuat badan
3. Mengajarkan menjadi rileks
 Pasien
teknik non mengatakan
farmakologi : terapi guided
imagery dapat
guided imagery menurunkan
dengan musik skala nyeri dari
skala 3 ke 2
relaksasi
a. Menjelaskan O:
 Pasien tampak
kepada pasien tenang
dan keluarga  Pasien tampak
fokus melakukan
mengenai terapi terapi guided
guided imagery imagery dengan
musik relaksasi
dengan musik  P : Fraktur tibia
relaksasi post operasi
pemasangan
b. Mengukur skala ORIF
nyeri pasien  Q : Nyeri terasa
seperti ditusuk-
dengan skala tuduk
NRS sebelum  R : Nyeri
dirasakan
melakukan dibagian luka
terapi guided fraktur tibia post
operasi
imagery dengan
pemasangan
musik relaksasi ORIF
 S : Skala nyeri 2
c. Menunjukkan
 T : Nyeri terasa
dan hilang timbul ± 1
menit
101

mempraktekkan  Pemeriksaan
tanda-tanda vital
teknik relaksasi
TD : 122/76
guided imagery mmHg
N : 83x/i
d. Menganjurkan
RR :20x/i
pasien untuk S : 36,7◦C
menutup mata
A:
e. Menyalakan Masalah teratasi
P:
musik relaksasi
Intervensi dihentikan
f. Meminta pasien Pasien
menarik nafas
dalam dengan
perlahan
g. Meminta Pasien
untuk
menggunakan
semua panca
indera dalam
menjelaskan
bayangan dan
lingkungan
bayangan
tersebut
h. Meminta pasien
membayangkan
tempat yang
menyenangkan
dan dapat
dinikmati
i. Meminta pasien
menjelaskan
perasaan fisik
dan emosional
yang
ditimbulkan
dari
102

bayangannya
dan membantu
pasien untuk
mengeksplorasi
respon terhadap
bayangannya
j. Mendorong
pengulangan
teknik praktik-
praktik tertentu
secara berkala
4. Memonitor skala
nyeri sebelum dan
sesudah dilakukan
terapi guided
imagery dengan
musik relaksasi
5. Menganjurkan
melatih terapi
guided imagery 2x
sehari terutama
sebelum tidur pada
malam hari
dengan MP3
6. Memeriksa tanda-
tanda vital pasien
103

Gangguan 1. Memonitor Pukul16 :00 WIB


integritas kulit
karakterisitik luka
/ jaringan b.d S:
Perubahan 2. Memonitor tanda-  Pasien
sirkulasi mengatakan luka
tanda infeksi
pada lengan kiri
3. Menganjurkan sudah kering
mengkonsumsi  Pasien
mengatakan
makanan tinggi sudah paham cara
kalori dan protein merawat luka
sendiri
4. Mengajarkan
prosedur perawatan O:
 Luka pada lengan
luka secara mandiri kiri tampak tidak
di rumah kepada diperban lagi
 Luka pada lengan
pasien dan kiri tampak sudah
keluarga kering
 Luka post operasi
5. Menjelaskan tampak di balut
kepada pasien dan perban
 Luka post operasi
keluarga tanda- tampak tidak ada
tanda infeksi basah pada
balutan
 Pasien tampak
mendapatkan
antibiotik
cefriaxone 3 x 1
 S : 36,7◦ C

A:
Masalah teratasi
sebagian

P:
Intervensi dilanjutkan
dirumah
Pasien pulang
104

Gangguan 1. Memonitor Pukul 17:00 WIB


mobilitas fisik
frekuensi jantung
b.d Gangguan S:
muskuloskelet dan tekanan darah  Pasien
al mengatakan
sebelum mobilisasi
sudah bisa
2. Melakukan merubah posisi
dan duduk secara
mobilisasi (ROM)
mandiri di kasur
3. Membantu pasien  Pasien
melakukan mengatakan bisa
melakukan ROM
mobilisasi (ROM)  Pasien
4. Menganjurkan mengatakan
masih merasakan
melakukan kakinya nyeri saat
mobilisasi dini digerakkan
 Pasien
dirumah kepada mengatakan
pasien makanan dan
minuman bisa
5. Menganjurkan dilakukan secara
kepada keluarga mandiri
membantu pasien O:
melakukan  Pasien tampak
menggerakkan
mobilisasi (ROM) kaki kiri ke kiri
6. Mengajarkan dan ke kanan
 pasien tampak
kepada pasien dan mampu untuk
keluarga mobilisasi duduk ditempat
tidurdengan
(ROM) mandiri
 Pasien tampak
dibatu oleh
keluarga saat
melakukan
gerakan
 Pasien tampak
memakai
tensocrote
 Sebelum
melakukan ROM
TD :122/76
mmHg
N :83x/i
 Setelah
melakukan ROM
TD :121/83
mmHg
N :100x/i
105

A:
Masalah teratasi
sebagian

P:
Intervensi dilanjutkan
dirumah
Pasien pulang
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Manajemen Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Pasien berusia 31 Tahun masuk ke RSUP Dr. M.Djamil Padang

dengan keluhan nyeri di tungkai bagian bawah sebelah kiri dengan GCS

14 E3M6V5 pada tanggal 31 Oktober 2021 sejak 1 jam sebelum masuk

rumah sakit, pasien diketahui post kecelakaan motor dengan riwayat

mengkonsumsi minuman alkohol 1 jam sebelum kecelakaan, tidak ada

keluar darah dari hidung dan telinga, tidak ada kuluhan muntah serta mual.

Pada bagian tulang kering pada kaki sebelah kiri terdapat luka post operasi

± 15 cm dan pada daerah dagu terdapat pembengkakan pada sebelah kiri

serta luka gores di bagian lengan sebelah kiri dengan panjang luka ± 3 cm.

Pasien masuk dengan diagnosa medis Fraktur Tibia 1/3 tengah serta pasien

hari pertama post operasi ORIF.

Kasus fraktur di Asia Tenggara khususnya negara kita Indonesia

menjadi penyebab kematian ketiga dibawah penyakit jantung koroner dan

tuberkulosis. Diperkirakan kejadian fraktur setiap tahunnya sebesar 1,3

juta jiwa. Selain itu, penyebab terjadinya kasus fraktur di negara Indonesia

yaitu kecelakaan lalu lintas 72,7% dengan mengendarai sepeda motor

(Kemenkes, 2018).

106
107

Fraktur tibia yaitu terpotongnya hubungan tulang yang disebabkan

oleh cedera dari trauma langsung seperti benda keras yang mengenai kaki.

Kondisi anatomis tulang tibia terletak di bawah subcutan memberikan

dampak resiko fraktur terbuka lebih sering dibandingkan tulang panjang

lainnya apabila mendapat suatu cedera (Muttaqin, 2013). Fraktur tibia

sangat rentan terhadap perkembangan sindrom kompartemen. Jadi,

perawat harus dengan cermat menilai ekstremitas terhadap pasien, sebab

pasien seringkali merasakan sakit walaupun sudah diberikan analgesik.

Dibutuhkan 10-12 minggu untuk tibia sembuh.

Salah satu penetalaksanaan pada pasien fraktur tibia yaitu

pemasangan ORIF. Tindakan Open Reduction Internal Fixation (ORIF)

merupakan tindakan pembedahan pada tulang intramedullary (femur, tibia

dan humerus) dengan cara memasukkan paku, pen, screw kedalam tempat

fraktur untuk menguatkan atau mengikat bagian-bagian yang fraktur

secara bersamaan(Rosyidi, 2013).

Pada saat pengkajian pada tanggal 01-11-2021 diketahui pasien

belum dilakukan operasi pemasangan ORIF dan dilakukan tindakan

tersebut pada tanggal 03-11-2021 pukul 10:00 wib. Kemudian, setelah

dilakukan operasi pemasangan ORIF tampak pasien mendapatkan

analgesik keterolac 3 x 1 hari yang sudah di drip dalam cairan NaCl 500

ml, pasien tampak meringis, gelisah, skala nyeri 6 serta kaki kiri sakit jika

digerakkan maupun tidak digerakkan. Menurut pendapat Darmadi dan

Hafid (2020)mengatakan bahwasanya tingkat keparahan nyeri setelah

operasi dipengaruhi pada anggapan fisiologi serta psikologi seseorang,


108

toleransi yang ditimbulkan untuk nyeri, letak insisi, sifat prosedur,

kedalaman trauma bedah.

Pada pemeriksaan tanda-tanda vital pasien setelah operasi ORIF

didapatkan hasil terdapat peningkatan pada tekanan darah pasien yaitu

132/97 mmHg disertai dengan peningkatan nadi yaitu 110x/i diatas nilai

normal. hal tersebut dikarenakan nyeri yang dirasakan pasien. Hal ini

didukung oleh teori Muttaqin (2012) yaitu peningkatan tekanan darah

dapat terjadi akibat respon terhadap nyeri yang dirasakan dan nyeri dapat

menjadi stressor terhadap seseorang.

Pada pemeriksaan fisik terhadap Tn.D ditemukan luka post operasi

hari pertama dengan panjang luka post operasi ±15cm. Hal ini

menimbulkan keluhan nyeri yang dirasakan pasien akibat dari sayatan saat

tindakan operasi ORIF menyebabkan kerusakan integritas kulit. Hal ini

didukung oleh teori Noviaji (2018) bahwasanya tindakan pembedahan atau

operasi dapat menimbulkan nyeri atau rasa sakit yang dirasakan oleh

pasien serta dapat mengganggu kebutuhan dasar manusia yaitu

kenyamanan pasien atau seseorang.

Pada pengkajian pola aktivitas dan latihan didapatkan hasil

bahwasanya pasien belum mampu untuk menggerakkan kaki sebelum dan

setelah operasi kaki kirinya. Pasien mengatakan seluruh aktivitas

dilakukan di atas tempat tidur dan aktivitas ditolong oleh keluarga seperti

makan, minum, berpakaian, berpindah posisi serta BAK pasien

menggunakan kateter dan BAB belum ada sejak pertama kali masuk ke

rumah sakit. Kemudian, pada pola aktivitas dan olahraga, pasien


109

mengatakan selalu waspada agar dapat menjaga posisi kakinya saat

menggerakkan bagian tubuh lainnya yang tidak mengalami cedera.

Penyebab terjadinya fraktur yang paling umum adalah trauma, seperti

pukulan langsung, kekuatan penghancur, gerakan memutar tiba-tiba serta

kontraksi otot yang ekstrem tergantung kecelakaan yang terjadi pada

seseorang (Haryono dan Utami, 2019).

Penatalaksanaan medis pada pasien fraktur diantaranya dengan cara

reduksi, retensi dan rehabilitasi. Pada penatalaksanaan reduksi, terdapat

alat fiksasi internal seperti pen, kawat, skrup dan plat yang dimasukkan ke

dalam fraktur melalui pembedahan ORIF (Open Reduction Internal

Ficsation)(Haryono dan Utami, 2019).Nyeri yang dirasakan seseorang

akibat tindakan pembedahan menimbulkan rasa sakit sehingga

menimbulkan ketidaknyamanan, hal ini harus diatasi dengan cara

manajemen nyeri sebab kenyamanan adalah kebutuhan dasar manusia

(Noviaji, 2018).

2. Diagnosa Keperawatan

Pada kasus kelolaan di rumah sakit RSUP Dr. M. Djamil Padang yang

dilakukan oleh peneliti, berdasarkan hasil pengkajian peneliti didapatkan

tiga masalah keperawatan pada Tn. D yaitu nyeri akut, gangguan integritas

kulit / jaringan dan gangguan mobilitas fisik. Masalah tersebut berdasarkan

pada data langsung dari pasien berupa data subjektif dan data objektif atau

data observasi perawat dan hasil pemeriksaan penunjang.


110

a. Nyeri akut b.d Agen pencedera fisik (post insisi bedah)

Menurut SDKI (2017), sebelum ditetapkan diagnosa keperawatan nyeri

akut, harus melihat tanda dan gejala mayor dan minor. Tanda dan gejala

mayor terdiri dari data subjektif pasien mengeluh nyeri. Sedangkan,

data objektif data mayor pasien tampak menangis, bersikap protektif,

gelisah, frekuensi nadi meningkat dan sulit tidur. Selain itu,

diperhatikan juga data tanda dan gejala minor dengan data objektif

seperti tekanan darah meningkat, pola napas berubah, nafsu makan

berubah, proses pikir terganggu, menarik diri, berfokus pada diri

sendiri, dan diaforesis.

Menurut analisa peneliti pada kasus Tn.D ditemukan beberapa batasan

karakteristik seperti tanda dan gejala mayor dan minor diagnosa

keperawatan nyeri akut ditemukan data subjektif pasien mengeluh

nyeri, sedangkan data objektif pasien tampak meringis, bersikap

protektif atau waspada, gelisah, frekuensi nadi meningkat dan sulit

tidur. Selain itu, diagnosa keperawatan nyeri akut menjadi diagnosa

aktual dikarenakan menggambarkan respons pasien terhadap kondisi

kesehatan saat ini. Sehingga, diagnosa keperawatan nyeri akut menjadi

diagnosa utama atau aktual.

b. Gangguan integritas kulit / jaringan b.d Perubahan sirkulasi

Menurut SDKI (2017) sebelum ditetapkan diagnosa keperawatan

gangguan integritas kulit / jaringan ada gejala serta tanda mayor dan

minor. Tanda dan gejala mayor seperti tampak adanya kerusakan


111

jaringan atau lapisan kulit. Sedangkan pada tanda dan gejala minor

tampak pasien nyeri, perdarahan, kemerahan dan hematoma.

Berdasarkan analisa peneliti, hal ini sesuai dengan data yang didapatkan

dari Tn.D, dimana pasien mengalami fraktur dan terdapat luka terbuka

pada daerah fraktur. Keadaan luka post operasi masih tampak memerah

dan belum kering, panjang luka ± 15 cm. Selain itu, terdapat luka pada

lengan kiri pasien dengan panjang luka ± 3 cm.

c. Gangguan mobilitas fisik b.d Gangguan muskuloskeletal

SDKI (2017), sebelum menetapkan diagnosa keperawatan gangguan

mobilitas fisik terdapat tanda dan gejala mayor serta minor. Tanda dan

gejala mayor pada data subjektif terdapat pasien mengeluh sulit

menggerakkan ekstremitas, selain itu data objektif pasien tampak

kekeuatan otot menurun dan rentang gerak (ROM) menurun.

Kemudian, tanda dan gejala minor pada data subjektif pasien

mengeluhkan nyeri saat bergerak, jarang melakukan pergerakan dan

merasa cemas saat bergerak. Selain itu, data objektifnya pasien tampak

sendinya kaku, gerakan tidak terkoordinasi, gerakan terbatas dan fisik

lemah.
112

3. Intervensi Keperawatan

Intervensi merupakan suatu strategi untuk mengatasi masalah pasien yang

perlu ditegakkan diagnosa dengan tujuan yang akan dicapai serta kriteria

hasil. Umumnya perencanaan yang ada pada tinjauan teoritis dapat

diaplikasikan dan diterapkan dalam tindakan keperawatan sesuai dengan

masalah yang ada atau sesuai dengan prioritas masalah.

Intervensi yang dilakukan pada diagnosa pertama yaitu nyeri akut dengan

melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif (P,Q,R,S,T) untuk

mengetahui karakteristik nyeri, mengukur skala nyeri dengan NRS

(Numeric Rating Scale), memonitor mengenai tanda-tanda vital pasien,

mmengobservasi reaksi non verbal terhadap ketidaknyamanan, kemudian

memberikan pengobatan analgesik sebagai terapi farmakologi yaitu

keterolac serta pengobatan non-farmakologi seperti terapi guided imagery

dengan musik relaksasi untuk mengurangi nyeri tanpa mengkonsumsi

obat.

Intervensi yang dilakukan pada diagnosa kedua yaitu gangguan integritas

kulit / jaringan yaitu monitor dan mengobservasi keadaan luka yang terdiri

dari warna, bau, ukuran dan drainase. Kemudian, mengobservasi tanda-

tanda infeksi pada luka pasien, berikan posisi untuk menghindari tekanan

pada luka, mobilisasi pasien setiap 2 jam karena mobilisasi dapat

memperlancar peredaran darah sehingga dapat cepat memulihkan luka.

Kemudian, melakukan perawatan luka merupakan suatu intervensi yang

dilakukan setiap pagi hari yang dilakukan 2 hari sekali pada Tn. D, namun

jika terdapat balutan pada luka merembes, maka diberikan perawatan luka
113

segera agar terhindar dari infeksi, serta perawatan luka dilakukan dengan

memperhatikan prinsip steril.

Intervensi yang dilakukan pada diagnosa ketiga yaitu gangguan mobilitas

fisik dilakukan perencanaan pada pasien dengan melatih pasien latihan

gerak sendi (ROM), anjurkan pasien untuk merubah posisi, miring kiri

miring kanan, duduk di tempat tidur hingga mampu melakukan Activity

Daily Leaving (ADL) secara mandiri. Setelah dilakukan intervensi

terhadap Tn. D diharapkan pasien dapat meningkatkan mobilisasi secara

mandiri.

4. Implementasi

Berdasarkan dari perencanaan keperawatan pada Tn.D peneliti melakukan

beberapa aktivitas pada masing-masing diagnosa keperawatan. Tindakan

keperawatan (Implementasi) disesuaikan dengan perencanaan keperawatan

(Intervensi) menurut Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI)

serta disesuaikan menurut kondisi pasien.

Asuhan keperawatan berupa tindakan yang dilakukan oleh perawat kepada

pasien yaitu Tn.D dengan diagnosa sebagai berikut :

a. Nyeri akut b.d Agen pencedera fisik d.d pasien mengeluh nyeri

Pada diagnosa pertama menjadi diagnosa aktual yaitu nyeri akut

berhubungan dengan agen pencedera fisik seperti luka fraktur dan luka

bekas operasi pemasangan ORIF ditandai dengan pasien mengeluhkan

nyeri. Implementasi atau tindakan yang dilakukan oleh peneliti yaitu

melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif untuk mengetahui

karakteristik nyeri, mengontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi


114

nyeri untuk terjadinya peningkatan kenyamanan terhadap pasien,

mengajarkan teknik non farmakologi atau terapi guided imagery dengan

musik relaksasi. Sebelum dilakukan terapi guided imagery terlebih

dahulu menciptakan lingkungan yang tenang, lalu anjurkan pasien

menggunakan pakaian yang longgar dan nyaman, serta mengatur posisi

pasien senyaman mungkin.

Pada Tn. D posisi tidur yang nyaman adalah dengan posisi semi fowler.

Kemudian, menganjurkan pasien untuk menutup mata dan musik

relaksasi suara ombak di pantai diputar. Setelah itu, menganjurkan

pasien untuk tarik nafas dalam secara beraturan dan menganjurkan

pasien untuk menggunakan semua panca indera membayangkan berada

di pantai sesuai dengan perintah perawat lalu membantu pasien untuk

mengekspresikan perasaannya, ulangi 10 hingga 15 menit. Setelah itu,

menganjurkan pasien tarik nafas dalam secara beraturan dan membuka

mata.

Pada hasil penelitian pada hari pertama pada Tn.D dengan hari pertama

post operasi ORIF, pasien mengeluhkan nyeri dengan skala 6 dengan

tanda-tanda vital tekanan darah (TD) 132/97 mmHg, nadi (N) 110x/i,

pernafasan 21x/i dan suhu tubuh pasien 37◦C. Walaupun pasien telah

diberikan terapi farmakologi seperti keterolac, namun perlu didampingi

dengan terapi non farmakologi seperti terapi guided imagery dengan

musik relaksasi untuk mengurangi nyeri yang dialami pasien. Namun,

setelah diberikan terapi guided imagery dengan musik relaksasi nyeri

yang dirasakan oleh pasien tidak menurun hal tersebut terjadi


115

dikarenakan pasien tidak fokus mendengarkan terapi yang diberikan,

sehingga terapi guided imagery tidak optimal.

Hal tersebut mempunyai persamaan dengan hasil penelitian dari Astuti

& Respati (2018) mengenai pengaruh terapi guided imagery terhadap

nyeri pada pasien post operasi fraktur bahwasanya dari 14 responden

terdapat 2 responden yang tidak mengalami penurunan skala nyeri

setelah terapi guided imagery diberikan, hal ini disebabkan oleh faktor

lingkungan pada saat itu jam besuk jadi tidak kondusif dan pasien

kurang kooperatif seperti sikap acuh serta kurang pemahaman terhadap

prosedur terapi guided imagery yang diberikan.

Pada hasil penelitian Noviaji (2018) dengan judul manajemen nyeri

dengan guided imagery pada klien post operasi fraktur mendapatkan

hasil bahwasanya pada pasien kelolaan pada penelitian hari pertama

rasa nyeri yang berat yang dirasakan oleh pasien mengalami penurunan

ke skala nyeri sedang pada hari ketiga disebabkan oleh pemberian terapi

farmakologi yaitu keterolac yang diiringi oleh terapi non farmakologi

yaitu guided imagery.

Menurut penulis, terdapat persamaan pada hasil implementasi dan

evaluasi pada hari kedua hingga hari keempat diberikan terapi guided

imagery dengan musik relaksasi terdapat penurunan nyeri terhadap

Tn.D dengan skala nyeri awal 6 menjadi skala nyeri 3. Pasien telah

fokus terhadap terapi yang diberikan terlihat pasien melakukan terapi

guided imagery dengan musik relaksasi dengan baik. Selain itu, pasien

juga mendapatkan terapi farmakologi yang diresepkan oleh dokter yang


116

dimasukkan melalui selang infus dan habis selama 8 jam. Oleh sebab

itu, terapi guided imagery dengan musik relaksasi diimbangi dengan

terapi farmakologi obat-obatan yang diresepkan oleh dokter.

Menurut penulis keberhasilan terapi guided imagery yang diberikan

pada pasien disebabkan oleh penerapan pelaksanaan terapi guided

imagery dengan musik relaksasi sesuai dengan petunjuk pelaksanaan

serta didukung oleh sikap kooperatif pasien dalam melakukan terapi

guided imagery. Sehingga, dapat memberikan dampak positif bagi

pasien post operasi fraktur atau ORIF dalam mengurangi nyeri yang

dirasakan oleh pasien.

b. Gangguan integritas kulit / jaringan b.d Perubahan sirkulasi

Implementasi yang dilakukan pada diagnosa kedua yaitu gangguan

integritas kulit / jaringan yaitu dengan memonitor luka pasien dengan

melihat drainase, warna, bau, dan ukuran luka. Kemudian, memonitor

adanya tanda-tanda infeksi pada luka pasien, melakukan perawatan luka

dengan memegang prinsip steril dengan cairan NaCl 0,9% dan betadine

secara tipis lalu di tutup dengan verban kembali. Setelah itu,

menganjurkan pasien untuk merubah posisi setiap 2 jam sekali untuk

memperlancar aliran darah serta anggota badan yang tidak mengalami

luka tidak kaku.

Luka yang diperoleh oleh pasien disebabkan oleh luka akibat

pembedahan operasi ORIF yang dilakukan dengan panjang luka ±15

cm. Hal tersebut disebabkan adanya plate dan screw yang dipasang
117

pada kaki sebelah kiri pasien, gunanya untuk menstabilkan kembali

tulang yang telah patah agar bersatu kembali.

Hal ini didukung oleh teori di buku Rosyidi (2013) bahwasanya

penatalaksanaan pada fraktur salah satunya dengan reduksi yang

berguna untuk mengembalikan panjang dan kesejajaran tulang ke garis

normal dengan cara pembedahan memasukkan alat-alat fiksasi internal

seperti pen, kawat, skrup dan plat ke dalam tulang yang terjadi patahan.

c. Gangguan mobilitas fisik b.d Gangguan muskuloskeletal

Implementasi yang dilakukan pada diagnosa ketiga yaitu gangguan

mobilitas fisik dengan melatih pasien untuk bisa mobilisasi secara

mandiri secara bertahap dengan melakukan latihan gerak sendi (ROM)

dengan melakukan posisi termudah terlebih dahulu yaitu miring kiri

miring kanan terlebih dahulu, duduk di tempat tidur dan beralih duduk

di kursi secara mandiri. Latihan gerak sendi dilakukan 2 kali sehari

dengan dibantu oleh keluarga untuk mengurangi terjadinya cedera atau

pasien jatuh. Tujuan dilakukannya ROM berguna untuk melancarkan

persendian atau kekakuan otot akibat kurangnya gerak karena

keterbatasan gerak selama di rumah sakit disebabkan oleh penyakit

yang dialami pasien, dan berguna agar aktivitas sehari-hari pasien bisa

dilakukan secara mandiri tanpa bantuan keluarga.

Hal ini didukung oleh teori dari buku Muttaqin (2012) bahwasanya

nyeri yang dirasakan oleh seseorang akan mengakibatkan gerakan

terbatas, seperti semua aktivitas berkurang sehingga perlu bantuan

orang lain untuk melakukan aktivitas seperti sebelum-sebelumnya.


118

5. Evaluasi

a. Nyeri akut b.d Agen pencedera fisik d.d pasien mengeluh nyeri

Berdasarkan kasus pada Tn.D didapatkan evaluasi setelah dilakukan

empat hari implementasi yaitu mengalami penurunan intensitas nyeri

pada hari kedua dengan skala nyeri pasien 6menurun menjadi skala

nyeri 5, hari ketigadengan skala nyeri 5 menurun menjadi 4, hari

keempat skala nyeri4 menjadi 3. Nyeri yang berkurang dikarenakan

adanya obat analgesik keterolac untuk mengurangi nyeri dan terapi non

farmakologi yaitu terapi guided imagery dengan musik relaksasi untuk

mengurangi nyeri serta bantuan keluarga agar pasien selalu

mendengarkan rekaman terapi guided imagery pada pagi hari dan

malam hari sebelum tidur.

Namun, pada hari pertama setelah dilakukan terapi guided imagery

dengan musik relaksasi kepada pasien (Tn.D) tidak mengalami

penurunan skala nyeri. Hal ini, terjadi karena pasien tidak kooperatif

dalam mendengarkan arahan sebelum dilakukan terapi dan saat

dilakukan terapi pasien bersikap acuh dan kurang pemahaman

walaupun kondisi lingkungan saat dilakukan terapi guided imagery

kondusif tidak mempengaruhi terapi yang diberikan. Hal ini sesuai

dengan hasil penelitian Astuti & Respati (2018) bahwasanya dari 14

responden yang dilakukan terapi guided imagery hanya 2 orang pasien

yang tidak mengalami penurunan nyeri yang disebabkan oleh tidak

kooperatifnya pasien dalam menjalani terapi serta lingkungan yang

tidak kondusif.
119

Terapi guided imagery menurut teori Darmadi & Hafid (2020)

bahwasanya terapi guided imagery tidak dapat memusatkan perhatian

pada banyak hal dalam satu waktu, karena seseorang mengharuskan

membayangkan sebuah imajinasi yang kuat dan menyenangkan. Oleh

sebab itu, perlu konsentrasi dan kooperatif seseorang dalam menjalani

terapi guided imagery.

Menurut analisa penulis, penurunan skala nyeri pada pasien Tn.D

terjadi karena implementasi dilakukan secara berturut-urut selama 5

hari serta didukung dengan keluarga yang selalu ikut mengingatkan dan

membantu dalam menerapkan terapi guided imagery selama 2 kali

sehari pada saat pagi hari dan malam hari sebelum tidur. Selain itu,

terapi guided imagery selain dapat mengurangi skala nyeri Tn.D tetapi

juga mampu membuat badan Tn.D rileks. Hal ini sesuai dengan teori

menurut Oktaviani & Afni (2021) bahwasanya jika seseorang

membayangkan sesuatu hal yang negatif atau buruk serta menakutkan

dapat meningkatkan rasa sakit atau kecemasan pada seseorang tersebut

dan dapat dicegah dengan pikiran positif atau menenangkan melalui

imajinasi dengan terapi guided imagery.

b. Gangguan integritas kulit / jaringan b.d Perubahan sirkulasi

Evaluasi pada diagnosa kedua yaitu gangguan integritas kulit / jaringan

yaitu dilakukan dengan perawatan luka pada luka terbuka pada lengan

kiri dibersihkan dengan larutan NaCl 0,9% lalu diperban. Setelah itu

dilakukan perawatan luka pada luka fraktur terbuka dengan membuka

balutan luka lalu membersihkan luka dengan NaCl 0,9% dengan dioles
120

tipis betadine, lalu luka di perban kembali untuk mencegah terjadinya

infeksi. Kedua perawatan luka dilakukan dengan prinsip steril. Pasien

mengatakan lebih nyaman setelah dilakukan perawatan luka walaupun

awalnya pasien mengeluhkan perih.

Menurut analisa penulis,setelah dilakukan asuhan keperawatan selama

empat hari, kedaan luka pada lengan kiri sudah kering pada hari ke 3

dilakukan tindakan keperawatan, sedangkan luka bekas operasi

pemasangan ORIF terlihat tidak ada perdarahan, tanda-tanda infeksi

pada hari keempat setelah dilakukan tindakan pembedahan, namun luka

masih tampak memerah dan belum kering. Hal tersebut terjadi, karena

butuh waktu yang lama untuk luka operasi sembuh.

c. Gangguan mobilitas fisik b.d Gangguan muskuloskeletal

Evaluasi pada diagnosa ketiga yaitu gangguan mobilitas fisik yaitu

setelah dilakukan latihan mobilisasi setiap 2 kali sehari pagi dan sore

dengan latihan gerak sendi (ROM). Pasien mengatakan kakinya sudah

lebih bisa digerakkan dari biasanya, tampak pasien merubah posisi tidur

dan adanya peningkatan aktivitas seperti duduk di tempat tidur secara

mandiri.

Menurut asumsi penulis, latihan gerak sendi (ROM) yang dilakukan

terhadap pasien efektif dalam meningkatkan pergerakan ekstremitas

pada Tn.D apabila latihan mobilisasi ini dilakukan secara rutin,

sehingga pasien akan mengalami peningkatan dalam melakukan

aktivitas sehari-hari tanpa bantuan dari keluarga.


BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian asuhan keperawatan nyeri pada pasien

Tn. D dengan fraktur atas indikasi post operasi ORIF di ruangan Trauma

Center RSUP Dr. Mdjamil Padang, peneliti dapat mengambil kesimpulan

sebagai berikut :

1. Hasil pengkajian didapatkan pasien mengalami nyeri pada daerah fraktur

dengan skala delapan, pasien tidak dapat melakukan aktivitas secara

mandiri sehingga kebutuhan sehari-hari dibantu oleh perawat dan keluarga

2. Diagnosa keperawatan yang ditemukan yaitu nyeri akut berhubungan

dengan agen pencedera fisik (trauma) ditandai dengan pasien mengeluh

nyeri, gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi,

dan gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan

muskuloskeletal.

3. Intervensi keperawayan yang direncanakan tergantung kepada masalah

keperawatan yang ditemukan, semua disusun intervensi yang dijabarkan

dalam asuhan keperawatan, disusun sesuai dengan teori yang ada menurut

Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI). Intervensi yang

dilakukan peneliti kepada pasien adalah hari pertama sampai hari ke enam

diajarkan kepada pasien mengenai terapi guided imagery dengan

mendengarkan musik relaksasi selama 10-15 menit dan diberikan satu kali

sehari pada pasien, monitor penurunan nyeri, jelaskan pentingnya istirahat

dan tidur untuk penurunan nyeri dan monitor tanda-tanda vital

121
122

4. Implementasi keperawatan dilakukan pada tanggal 02 November 2021

yaitu implementasi dilakukan sesuai intervensi yang telah disusun serta

dilakukan terapi guided imagery dengan musik relaksasi kepada pasien

5. Hasil evaluasi keperawatan didapatkan terapi guided imagery bermanfaat

untuk mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien dan memberikan

kenyamanan seperti perasaaan rileks pada pasien fraktur tibia terbuka post

operasi ORIF.

6. Hasil telaah jurnal didapatkan bahwa terapi guided imagery dapat

mengurangi nyeri pada pasien fraktur tibia post operasi ORIF, karena

terapi guided imagery menciptakan pikiran positif melalui imajinasi

sehingga menimbulkan perasaan tenang dan damai dan membuat nyeri

berkurang.

7. Hasil dokumentasi didapatkan dari hasil observasi selama asuhan

keperawatan kepada Tn.D dengan fraktur tibia pre dan post operasi ORIF

selama 5 hari di RSUP Dr.M.Djamil Padang.

B. Saran

Dengan selesainya dilakukan asuhan keperawatan pada klien dengan

fraktur tibia post ORIF, diharapkan dapat memberikan masukan terutama

pada :

1. Bagi Mahasiswa

Diharapkan hasil karya ilmiah ini dapat menambah wawasan mahasiswa

serta dapat mengaplikasikan ilmu pengetahuan mengenai asuhan

keperawatan medikal bedah khususnya pemberian terapi guided imagery


123

dengan musik relaksasi pada pasien fraktur tibia post pemasangan ORIF

(Open Reduction Internal Fixation).

2. Bagi STIKes Alifah Padang

Dapat dijadikan sebagai bahan untuk pelaksanaan pendidikan serta

masukan dan perbandingan untuk penelitian lebih lanjut asuhan

keperawatan pada pasien dengan fraktur tibia post operasi ORIF.

3. Bagi RSUP Dr.M.Djamil Padang

Diharapkan hasil karya ilmiah akhir ners ini akan memberikan manfaat

bagi pelayanan keperawatan dengan memberikan gambaran dan

mengaplikasikan acuan dalam memberikan asuhan keperawatan pada

pasien dengan fraktur tibia yang komprehensif serta memberikan

pelayanan yang lebih baik dan menghasilkan pelayanan yang memuaskan

pada pasien serta melihatkan perkembangan pasien yang lebih baik di

RSUP Dr.M.Djamil Padang.

4. Bagi Pasien dan Keluarga

Sebagai media informasi tentang penyakit yang dialami pasien dan

bagaimana penanganan bagi pasien dan keluarga baik dirumah sakit

maupun dirumah. Terutama dalam pemberian terapi guided imagery

untuk menurunkan nyeri yang dirasakan oleh pasien fraktur tibia post

pemasangan ORIF.
DAFTAR PUSTAKA

Andarmoyo, Sulistyo. 2013. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Yogyakarta:


Ar-Ruzz Media.

Astuti, Novia Dwi, dan Conventie Ari Respati. 2018. “Pengaruh Terapi Guided
Imagery terhadap Nyeri pada Pasien Post Operasi Fraktur di Ruang
Bougenvil RSUD Dr. R. Koesma Tuban.” Jurnal Midpro 10(2):52–63. doi:
10.30736/midpro.v10i2.81.

Ayu, Nur Meity Sulistia. 2017. “Efektifitas Terapi Audio Recorded Guided
Imagery dengan Nafas Dalam terhadap Penurunan Nyeri Pasien Pasca
Operasi Fraktur.”Jurnal Keperawatan 7:25–38.

Budiono, Budiono, dan Sumrah Budi Pertami. 2015. Konsep Dasar Keperawatan.
Jakarta: Bumi Medika.

Black, J dan Hawks, J. 2014. Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis


untuk Hasil yang Diharapkan. Dialihbahasakan oleh Nampira R. Jakarta:
Salemba Emban Patria

Cahyani, Ika Rizki, dan Dwi Nopriyanto. 2021. “Overview of Nursing


Implementation on Closed Fractures to Reduce Pain Scale.”Jurnal
Kesehatan Bumi Kalimantan4(1):41–46.

Darmadi, M. Nur Faizal, dan Anwar Hafid. 2020. “Efektivitas Imajinasi


Terbimbing (Guided Imagery) Terhadap Penurunan Nyeri Pasien Post
Operasi : A Literatur Review.”Alauddin Scientific Journal of Nursing
1:42–54.

Haryono, Rudi, dan Maria Putri Sari Utami. 2019. Keperawatan Medikal Bedah 2.
Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

Hidayat, Asep Achmad. 2020. Manipulative-and body-base therapies Reflexation


Therapies (Terapi Relaksasi). 3 ed. Bandung: NUANSA CENDEKIA.

Hidayat, Asep Achmad. 2020. Mind-Body-Spirit Therapies TERAPI MUSIK. 5 ed.


Bandung: Nuansa Cendekia.

Mahogany, Cesa Sekar, Meri Oktariani, dan Atiek Murhayati. 2021. “Asuhan
Keperawatan pada Pasien Post Operasi Fraktur dalam Pemenuhan
Kebutuhan Rasa Aman dan Nyamam : Nyeri.”Study Program of Nursing
Diploma Three Program University of Kusuma Husada Surakarta 2021.

Manurung, Nixson. 2018. Keperawatan Medikal Bedah Konsep, Mind Mapping


danNANDA NIC NOC Solusi Cerdas Lulus UKOM Bidang Keperawatan.
Jakarta: TIM.
Mardalena, Ida. 2021. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Pustaka
Baru Press.

Muttaqin. (2013). Buku Saku Gangguan Muskuloskletal Aplikasi pada Praktik


Klinik Keperawatan. Jakarta. EGC

Noviaji, Eka Suci. 2018. “Manajemen Nyeri dengan Guided Imagery pada Klien
Post Operasi Fraktur Kruris di RSUD H Soewondo Kendal.”Politeknik
Kesehatan Bakti Husada Semarang 62.

Oktaviani, Janice, dan Annisa Cindy Nurul Afni. 2021. “Asuhan Keperawatan
pada Pasien Pasca Operasi Fraktur dalam Pemenuhan Kebutuhan Rasa
Aman dan Nyaman.” Program Studi Keperawatan Program Diploma Tiga
Universitas Kusuma Husada Surakarta 2021.

Riskesdas. 2018. Riset Kesehatan Dasar 2018. Jakarta: Kementerian Kesehatan


RI
Rosyidi, Kholid. 2013. Muskuloskeletal. Jakarta: TIM.

Smith Lori. (2018). What to know about a tibia fracture. Article Medical New
Todey

Sutanto, Andina Vita, dan Yuni Fitriani. 2017. Kebutuhan Dasar Manusia Teori
dan Aplikasi dalam Praktik Keperawatan. Yogyakarta: Pustaka Baru
Press.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Defenisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Defenisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia
Defenisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Lampiran 1

Monitoring skala nyeri setelah pemberian terapi guided imagery dengan musik

relaksasi

Penurunan skala nyeri pada Tn.D

Tanggal Nama Hari Skala Nyeri

Sebelum Sesudah

02-11- Tn.D 1 8 7

2021

03-11- 2 8 8

2021

04-11- 3 7 6

2021

06-11- 4 6 5

2021

07-11- 5 5 4

2021
Lampiran 2

SKALA PENGUKURAN INTENSITAS NYERI DENGAN NUMERIC

RATING SCALE (NRS)

Keterangan :

0 : Tidak nyeri

1-3 : Nyeri ringan

4-6 : Nyeri sedang

7-9 : Nyeri berat

10 : Nyeri sangat berat


Lampiran 3

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)


PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY UNTUK MENURUNKAN
SKALA NYERI PASIEN POST OPERASI ORIF

PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY UNTUK


MENURUNKAN SKALA NYERI POST OPERASI ORIF

PROFESI NERS
STIKES ALIFAH
PADANG
PROSEDUR
TETAP
1 PENGERTIAN Imajinasi terbimbing menggunakan teknik dengam
. memanfaatkan narasi atau cerita untuk mempengaruhi pikiran
seseorang yang biasanya dikombinasikan dengan latar
belakang musik.
2 TUJUAN Mengarahkan seseorang secara lembut ke dalam keadaan
. dimana pikiran menjadi tenang, tetap rileks sehingga
menjauhkan rasa nyeri.
3 MANFAAT 1. Mengurangi nyeri
. 2. Mengurangi stress
3. Mengurangi kecemasan
4. Membuat badan rileks
4 INDIKASI 1. Pasien post operasi
. 2. Pasien yang mengeluh nyeri
3. Pasien yang mengeluh cemas

5 KONTRAINDIK 1. Pasien aktif psikotik


. ASI 2. Pasien tidak mampu berfikir secara abstrak
3. Pasien tidak mampu membedakan fantasi dan kenyataan
4. Pasien yang mengalami halusinasi
5. Pasien demensia
6 PROSEDUR d. Tahappersiapan
. 7) Kontrakwaktu, topic dantempat
8) Pasiendiberipenjelasantentangprosedurtindakan yang
akandilakukan
9) Jaga privacy pasien
10) Aturposisipasiensesuaikebutuhan
11) Skalanyeri NRS (Numeric rating scale)
12) MP3 musikrelaksasi

e. Tahapkerja
11) Memberikansalamterapeutik, perkenalkandiri
12) Jelaskanpadapasiendankeluargatentangrencanapembe
rianterapi guided imagery dengan music relaksasi
13) Kajiskalanyerimenggunakanskalanyeri NRS
(numeric rating scale)
sebelumdilakukanimplementasi
14) Anjurkan klien untuk menutup mata dengan lembut
15) Nyalakan music relaksasi
16) Minta klien menarik nafas dalam dan perlahan untuk
menimbulkan relaksasi.
17) Minta klien untuk menggunakan seluruh panca
indarnya dalam menjelaskan bayangan dan
lingkungan bayangan tersebut.
18) Mulailah untuk membayangkan tempat yang
menyenangkan dan dapat dinikmati
19) Minta klien untuk menjelaskan perasaan fisik dan
emosionalyang ditimbulkandaribayangannyadan
bantu klien untuk mengeksplorasi respon terhadap
bayangannya.
20) Ulangi 10 sampai 15 menit
f. Tahapterminasi
3) Mengucapkansalampenutupkepadapasien
4) Dokumentasikantindakankesehatan yang
sudahdilakukandanpenurunanskalanyeri
Sumber :(Ayu 2017);(Darmadi dan Hafid, 2020);(Oktaviani dan Afni, 2021).
Lampiran 4

Dokumentasi pada Tn. D dalam pemberian terapi guided imagery dengan musik
relaksasi
Lampiran 5

Lembar Bimbingan
Lampiran 6

Daftar Matriks Perbaikan

Anda mungkin juga menyukai