Anda di halaman 1dari 62

TIM PENYUSUN BAHAN BACAAN

SEKOLAH LAPANG

1. Pengarah : Sugito, S.Sos, M.H


Direktur Jenderal Pembangunan Desa dan Perdesaan

2. Advisor : Bito Wikantosa SS.,M.Hum


Staf Ahli Menteri Bidang Pembangunan dan
Kemasyarakatan

3. Penanggungjawab : Ir. Eppy Lugiarti MP


Plt Direktur Pengembangan Sosial Budaya dan
Lingkungan Desa dan Perdesaan

4. Ketua : Ir. Sri Wahyuni


Pejabat Fungsional Madya Analis Kebijakan Publik

5. Tim Penyusun Ditjen Pembangunan Desa dan Perdesaan


a. Koordinator : Aprilia Kurnia Dewi,ST, M.Si
Pejabat Fungsional Muda Analis Kebijakan Publik
b. Anggota :
1) Jagad Witjaksono, S.IP
2) Lisda Bunga Asih, S.Sosio
3) Lucky Kusuma Wardani, S.Kesos

6. Tim Penyusun
a. Koordinator : Naeni Amanulloh
b. Anggota :
1) Maizir Akhmadin
2) Rendra
3) Ibe Karyanto
4) Yosep Heriyanto
5) Yuli Setiawati

i
KATA PENGANTAR
Inklusi sosial pada dasarnya merupakan nilai kebaikan sosial yang tersirat dalam
mandat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Mandat UU Desa tentang
Desa sebagai “kesatuan masyarakat yang memiliki batas wilayah yang berkewenangan
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat”
menegaskan bahwa setiap warga Desa setara di hadapan hukum. Kesetaraan merupakan
nilai dasar hubungan sosial yang inklusif, yang terbuka untuk saling menghormati
perbedaan.

Pengembangan Desa Inklusif merupakan program/kegiatan untuk menguatkan


kesadaran masyarakat Desa akan pentingnya memaknai nilai-nilai kesetaraan dalam
kehidupan bersama di Desa. Desa sebagai ruang kehidupan dan penghidupan bagi semua
warga Desa yang diatur dan diurus secara terbuka, ramah dan meniadakan hambatan
untuk bisa berpartisipasi secara setara, saling menghargai serta merangkul setiap
perbedaan dalam pembangunan Desa merupakan wujud dari Desa Inklusif.

Penyediaan Bahan Bacaan Sekolah Lapang Desa Inklusif merupakan media


pembelajaran yang memuat konsep dan desain pembelajaran tentang pengembangan Desa
Inklusif berbasis pengalaman-pengalaman baik dari berbagai sumber baik itu dari kepala
desa maupun perangkat desa yang terlibat dalam proses penyusunan maupun dari
lembaga mitra pembangunan. Penerbitan buku Sekolah Lapang Desa Inklusif ini
diharapkan dapat menjadi acuan bagi pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah
kabupaten/kotamadya, pemangku kepentingan lintas sektor, dan penggiat Desa yang
berkomitmen pada penguatan nilai-nilai inklusi sosial di Desa.

Jakarta, November 2021


Direktur Jenderal
Pembangunan Desa dan Perdesaan,

Sugito, S.Sos., M.H.

ii
TIM PENYUSUN i
ii
iii

iii
PENDAHULUAN
1. Konteks Desa Sebagai Kesatuan Masyarakat Inklusif
Dalam kerangka Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU
Desa), inklusi sosial merupakan perspektif untuk memahami mandat pengakuan
Desa sebagai “kesatuan agenda pengarusutamaan mandat tentang Desa sebagai
“…kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berkewenangan
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak
tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia” (Pasal 1)

Bunyi mandat tentang Desa sebagai “kesatuan masyarakat hukum yang


memiliki batas wilayah” menjelaskan bahwa Desa pada dasarnya bersifat inklusif.
Mandat pengakuan tentang Desa dapat dipahami dalam perspektif bahwa
kesetaraan dan kesamaan hak merupakan prinsip inklusi sosial dalam kehidupan
masyarakat Desa. Warga masyarakat –sebagaimana juga warga negara—
memperoleh kedudukan sederajat, setara atau sama dalam pandangan atau di
hadapan hukum. Suatu pengakuan azas equality before the law dalam perspektif
kehidupan Desa. “Kewenangan mengatur” mengandung arti seluruh aspek berdesa
dan segala tindakan (pemerintahan Desa, pembangunan Desa, pembinaan
kemasyarakatan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa) harus berdasar atas
hukum yang dalam hal ini adalah peraturan Desa, sebagai konsensus masyarakat.

Sedangkan “mengurus” memiliki arti segala keputusan dan ketetapan dalam


penyelenggaraan Desa. Kepatuhan atas kepengaturan dan kepengurusan
publik/masyarakat Desa dalam penyelenggaraan Desa tersebut bersumber dari ke-
sukarela-an menyerahkan aspek hidup pribadi (individu dan keluarga) dalam
hidup bersama (masyarakat Desa).

Setiap orang (warga Desa) adalah sama kedudukannya dalam hukum (tata
aturan) dan pemerintahan. Oleh sebab itu, setiap warga Desa harus diperlakukan
atau memperoleh perlakukan sama dalam peyelenggaraan dan pelayanan
pemerintahan, pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa serta
kemasyarakatan Desa. Inilah sesungguhnya makna Desa inklusi. Tak seorangpun
boleh tertinggal (no-one left behind).
2
Setiap orang (warga Desa) adalah sama kedudukannya dalam hukum (tata
aturan) dan pemerintahan. Oleh sebab itu, setiap warga Desa harus diperlakukan
atau memperoleh perlakukan sama dalam peyelenggaraan dan pelayanan
pemerintahan, pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa serta
kemasyarakatan Desa. Inilah sesungguhnya makna Desa inklusi. Tak seorangpun
boleh tertinggal (no-one left behind).

Setiap orang yang berada dalam kesatuan wilayah adalah bagian dari
kesatuan masyarakat Desa yang merupakan subyek yang memiliki hak dan
kewenangan yang sama dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat.

Oleh karena itu yang harus didudukan pertama-tama adalah kesediaan


semua pihak (elemen penyelenggara pemerintahan: Kepala Desa-perangkat dan
BPD serta masyarakat Desa) sebagai penopang Desa secara sosial politik harus
bersedia secara sukarela terlibat dalam urusan hidup bersama, yaitu gotong
royong. Gotong royong sebagai kesediaan seluruh elemen Desa untuk terlibat
dalam urusan hidup bersama ini dilakukan dengan melakukan
kesepakatan/mufakat atau konsensus antara warga Desa dengan pemerintahan
representatif yang dibentuknya (Kepala Desa melalui pemilihan langsung dan BPD
melalui pemilihan berdasar kewilayahan di Desa). Jadi warga Desa melalui
pemilihan tersebut “sepakat” melepaskan sebagian hak atau kekuasaannya
“diserahkan” kepada “untuk diurus” Kepala Desa dan BPD. Pemerintan dengan
demikian memiliki legitimasi mandat memimpin dan/atau mewakili kepentingan
warga yang membentuk pemerintahan. Proses pelepasan kedaulatan (atas hak-
kekuasaan tertentu) ini adalah bentuk kontrak sosial Desa.

Meskipun demikian cara kerja/beroperasinya Desa sebagai pemerintahan


representatif juga menganut asas legalitas. Segala tindakan pemerintahan Desa
harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis
(peraturan Desa dan keputusan Desa). Kewenangan Desa untuk mengatur adalah
wujud asas legalitas ini.

3
Oleh karena itu yang harus didudukan pertama-tama adalah kesediaan
semua pihak (elemen penyelenggara pemerintahan: Kepala Desa-perangkat dan
BPD serta masyarakat Desa) sebagai penopang Desa secara sosial politik harus
bersedia secara sukarela terlibat dalam urusan hidup bersama, yaitu gotong
royong. Gotong royong sebagai kesediaan seluruh elemen Desa untuk terlibat
dalam urusan hidup bersama ini dilakukan dengan melakukan
kesepakatan/mufakat atau konsensus antara warga Desa dengan pemerintahan
representatif yang dibentuknya (Kepala Desa melalui pemilihan langsung dan BPD
melalui pemilihan berdasar kewilayahan di Desa). Jadi warga Desa melalui
pemilihan tersebut “sepakat” melepaskan sebagian hak atau kekuasaannya
“diserahkan” kepada “untuk diurus” Kepala Desa dan BPD. Pemerintan dengan
demikian memiliki legitimasi mandat memimpin dan/atau mewakili kepentingan
warga yang membentuk pemerintahan. Proses pelepasan kedaulatan (atas hak-
kekuasaan tertentu) ini adalah bentuk kontrak sosial Desa.

Meskipun demikian cara kerja/beroperasinya Desa sebagai pemerintahan


representatif juga menganut asas legalitas. Segala tindakan pemerintahan Desa
harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis
(peraturan Desa dan keputusan Desa). Kewenangan Desa untuk mengatur adalah
wujud asas legalitas ini.

Dalam perspektif itu, Kepala Desa dan perangkat Desa juga BPD merupakan
lembaga yang menjadi bagian tak terpisahkan dari cara masyarakat dalam
mengatur dan mengurus Desa. Masyarakat dan Pemerintah Desa bukan
merupakan dua hal yang terpisahkan, melainkan satu kesatuan yang disebut
masyarakat berpemerintahan. Pemimpin pemerintahan Desa sekaligus pemimpin
masyarakat, dalam hal ini Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain,
adalah anggota masyarakat Desa yang dipilih sebagai pelaksana mandat kehendak
kolektif masyarakat Desa. Dalam konteks itulah pentingnya kualitas partisipasi
masyarakat dalam menentukan pilihan siapa anggota masyarakat Desa yang
memiliki integritas kepemimpinan dan pantas dipilih sebagai Kepala Desa.

4
Kepala Desa terpilih selanjutnya tidak bisa dibiarkan sendiri dalam
menjalankan tugas, tanggungjawab, dan kewenangannya. Masyarakat Desa juga
bertanggungjawab untuk terus berpartisipasi mengawal pelaksanaan
pemerintahan Desa dan mekanisme Pembangunan Desa. Salah satu peran
masyarakat Desa adalah memastikan kebijakan Kepala Desa yang inklusif.

Untuk itu seluruh warga Desa perlu berpartisipasi dalam urusan


penyusunan aturan hukum di Desa. Karena di Desa juga diterapkan “demokrasi
deliberatif”. Formasi penyusunan norma hukum dilakukan dengan melibatkan
para pihak (masyarakat Desa) yang akan diatur dengan norma hukum itu sendiri
sehingga aturan hukum itu memiliki legitimasi sosial yang kuat karena hasil
permufakatan.

Dengan demikian lintasan atau trajektori inklusi sosial difokuskan pada


formasi penyusunan kebijakan publik dan/atau penyusunan produk hukum di
Desa.

Kebijakan Desa yang inklusif pertama-tama harus dipahami sebagai


kebijakan yang mampu memahamkan masyarakat Desa tentang Desa sebagai
kesatuan masyarakat yang terdiri dari berbaga macam perbedaan. Kebijakan yang
utama adalah mampu menggerakkan sikap kerja sama, gotong royong antar warga
Desa yang berbeda. Kebijakan inklusif dalam hal ini juga dapat diwujudkan oleh
Kepala Desa melalui strategi prioritas kegiatan atau program Pembangunan Desa
berdasarkan kondisi dan kebutuhan obyektif masyarakat Desa, misalnya melalui
pemenuhan layanan dasar bagi seluruh warga Desa. Inklusi sosial mensyaratkan
adanya penguatan gotong royong (sebagai jalan kebudayaan) serta pendalaman
sekaligus penguatan demokrasi (sebagai jalan politik dalam arti konsensus kolektif
atau kesepakatan penyerahan hak-kekuasaan warga untuk diatur dan diurus
Desa).

Dalam hal inilah arah kebijakan Pembangunan SDGs (Sustainable


Development Goals) Desa sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Desa
Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Transmigrasi (Kemen Desa, PDT, dan
Transmigrasi) Nomor 21 Tahun 2020 mendapatkan konteksnya yang konkret.

5
Berikutnya yang harus dikawal masyarakat Desa melalui kanal partisipasi
adalah kebijakan Kepala Desa yang berpihak pada kelompok masyarakat yang
rentan dan terpinggirkan. Sudah semestinya warga Desa yang peduli mengenali
secara baik keberadaan tetangga atau sesama warga Desa yang selama ini
terabaikan atau tersingkirkan dari mekanisme Pembangunan Desa sehingga tidak
pernah ikut merasakan manfaat hasil Pembangunan Desa. Karena itu masyarakat
dapat berpartisipasi dalam pemetaan kondisi Desa melalui pendataan dan
memastikan RPMJ Desa, RKP Desa, maupun APB Desa benar-benar berpihak pada
kelompok masyarakat yang rentan dan terpinggirkan. Pengawalan masyarakat
dilakukan dengan pertimbangan bahwa: setiap tindakan para
pemimpin/pemerintahan Desa dalam mengelola urusan publik dipastikan bersifat
inklusif. Demikian juga, tidak semua warga Desa memiliki pengetahuan dan
kesadaran/peduli dan secara sukarela meruangkan kesadaran kolektif tentang
inklusifitas dalam hidup bersama.

Penyelenggara pemerintahan Desa harus selalu diingatkan oleh


publik/masyarakat Desa (sebagai public obligatoris atau kewajiban dan kebajikan
bersama) tentang berbagai hal, urusan dan hak “publik”. Publik/urusan
umum/res publica dalam konstruksi pemerintahan Desa demokratis harus
dinyatakan dalam norma hukum. Penyusunan norma hukum di Desa ini akan
sangat ditentukan atau diwarnai oleh norma dasar dalam konstitusi negara
Indonesia yaitu UUD 1945, dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia atau cara pandang/perspektif HAM.

6
Undang-Undang Desa memiliki perspektif HAM sangat kuat dan jelas. Pasal
68 ayat (1) menyatakan bahwa: Masyarakat Desa berhak:

a) meminta dan mendapatkan informasi dari Pemerintah Desa serta


mengawasi kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan
Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa;
b) memperoleh pelayanan yang sama dan adil;
c) menyampaikan aspirasi, saran, dan pendapat lisan atau tertulis secara
bertanggung jawab tentang kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa;
d) memilih, dipilih, dan/atau ditetapkan menjadi:
1. Kepala Desa;
2. perangkat Desa;
3. anggota Badan Permusyawaratan Desa; atau
4. anggota lembaga kemasyarakatan Desa.
e) mendapatkan pengayoman dan perlindungan dari gangguan
ketenteraman dan ketertiban di Desa.

Apabila inklusi sosial Desa didekati dan dipahami dengan perspektif HAM
sebagaimana amanat UU Desa tersebut, maka kebijakan SDGs Desa menjadi jelas
konteksnya. SDGs Desa hanyalah alat untuk memastikan setiap warga Desa
memperoleh pelayanan dari para penyelenggara urusan publik yaitu pemerintahan
Desa secara berkeadilan.

7
Oleh sebab itu, pernyataan bahwa “arah kebijakan Pembangunan SDGs
(Sustainable Development Goals) Desa sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Transmigrasi (Kemen Desa,
PDT, dan Transmigrasi) Nomor 21 Tahun 2020 mendapatkan konteksnya yang
konkret” ini harus didudukan pada perspektif HAM dan perspektif “res publica”
sebagaimana dimaksud. Pada hakikatnya, secara “adanya” res-publica itu bersifat
tunggal dan “tujuan-tujuan” SDGs Desa itu membantu atau memudahkan
pemerintahan Desa untuk mengurus urusan publik dari berbagai dimensi
kehidupan ber-Desa.

Dengan demikian, melalui mandat kewenangan yang diberikan oleh


masyarakat Desa serta pengawalan yang terus-menerus, pemerintahan Desa
Kepala Desa-perangkat dan BPD dapat tetap menghidupkan kearifan lokal yang
sarat dengan nilai-nilai inklusi dan melalui Pembangunan Desa dapat
mewujudkan pemenuhan hak setiap warga Desanya.

2. Peningkatan Sumber Daya Manusia Desa


Dalam Panduan Fasilitasi Desa Inklusif yang diterbitkan Kementerian Desa,
PDT, Dan Transmigrasi dijelaskan bahwa, “Inklusi Sosial adalah suatu pendekatan
yang mendorong proses membangun hubungan sosial dan penghormatan terhadap
individu serta komunitas, sehingga mereka yang marjinal dan mengalami
prasangka dapat berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan, kehidupan
ekonomi, sosial, politik, budaya.”

Pengertian tersebut mengandaikan bahwa inklusi sosial merupakan


perspektif peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam Pembangunan Desa
dan Pemberdayaan Masyarakat Desa sebagaimana ketentuan umum UU Desa
tentang Pembangunan Desa. Dalam ketentuan umum UU Desa Pasal 1 ditegaskan
bahwa, Pembangunan Desa adalah upaya peningkatan kualitas hidup dan
kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.

8
Namun demikian upaya penerapan inklusi sosial di Desa hendaknya
diposisikan sebagai proses “pengungkapan” historisitas Desa. Historisitas yang
bermakna cara hidup dalam praktik keseharian yang menjadi kebiasaan dari
waktu ke waktu dan menyejarah dalam ruang Desa. Nilai-nilai inklusi sosial
sejatinya sudah terkandung dalam cara berinteraksi warga Desa. Masalahnya
hanya kuat dan lemahnya atau derajat intensionalitas tindakan yang
mengindikasikan terjadinya inklusi sosial itu. Gotong royong “mbangun Desa”
menjadi ciri inklusi masyarakat dalam sejarah perdesaan di Jawa. “Manunggal
sakato” di Minang dan “Gerbang Seribu” di sumatera utara, dan banyak lagi di
pelosok nusantara menjadi moto/semboyan ikonik kerja kolektif warga masyarakat
desa dalam Pembangunan Desa yang sarat dengan nilai kesetaraan, kesederajatan,
duduk sama rendah berdiri sama tinggi dalam kerekatan/kohesifitas sosial warga
Desa.

Masa kini, lahirnya UU Desa, dapat dipahami dalam rangkaian historisitas


Desa. Pembangunan Desa dalam pengertian ketentuan umum UU Desa tersebut
sejalan dengan arah Pembangunan Jangka Panjang Indonesia tahun 2005 – 2025,
bidang Sumber Daya Manusia yaitu, peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia
untuk mencapai terwujudnya manusia Indonesia yang sehat, cerdas, produktif dan
berakhlak mulia. Arah Pembangunan Jangka Panjang Indonesia tersebut
ditegaskan kembali dalam visi dan misi kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan
Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2020-2024. Visi Presiden dan Wakil Presiden untuk
“Terwujudnya Indonesia Maju yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian
Berlandaskan Gotong Royong” tersebut dituangkan dalam Peraturan Presiden
Nomor 18 Tahun 2020. Visi tersebut diwujudkan ke dalam 9 misi Pembangunan
dengan misi pertama adalah “Peningkatan Kualitas Manusia Indonesia”.

9
Berdasarkan Peraturan Presiden tersebut, Kementerian Desa, PDT, dan
Transmigrasi menerbitkan Permen Desa PDTT Nomor 21 Tahun 2020 tentang
Pedoman Umum Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Dalam
pedoman tersebut diatur tentang Kebijakan Pembangunan SDGs Desa sebagai
arah Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Arah kebijakan
tersebut sekaligus merupakan upaya mengimplementasikan Peraturan Presiden
Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (SDGs) ke dalam konteks lokal Desa.

Semboyan SDGs Desa adalah “Desa untuk Semua Warga” atau “Desa
Suarga”. Semboyan tersebut mencerminkan nilai inklusi, yaitu nilai pengakuan
dan penghormatan kesetaraan hak setiap warga dan ketersesdiaan ruang bagi
setiap warga Desa untuk berpartisipasi aktif. Keterlibatan aktif masyarakat
merupakan prasyarat praktik pelaksanaan demokratisasi Desa. Dalam hal ini
pengertian demokratisasi Desa tidak hanya terbatas pada tersedianya lembaga
dan prosedur demokrasi, melainkan lebih pada peningkatan kesadaran warga Desa
untuk terlibat aktif dalam tata kelola pemerintahan Desa dan tata kelola
Pembangunan Desa. Dengan kata lain tingkat kesadaran kolektif warga Desa
menentukan kualitas partisipasi warga Desa sebagai modal sosial sekaligus.
Dengan demikian penyelenggaraan Desa dipahami sebagai proses konstruksi sosial
atau strukturisasi sosial yang unsurnya adalah adanya aturan hukum dan nilai-
nilai sosial moral (struktur) serta para pihak (pemerintahan Desa dan masyarakat)
yang melakukan tindakan (subjek pelaku) dari aturan hukum Desa sebagai
konsensus kolektif.

10
Sejauh ini belum banyak masyarakat Desa yang paham dengan baik tentang
posisi penting dan menentukannya peran partisipasi masyarakat Desa dalam
penyelenggaraan Desa. Di sisi lain kebijakan pemerintahan Desa banyak yang
belum cukup kuat menggerakkan masyarakat Desa untuk berpartisipasi.
Karenanya, pengembangan kapasitas para pihak yang terlibat dalam
mengkonstruksi tatanan sosial yaitu Desa Inklusif dilakukan dengan cara
pembelajaran melalui praktik langsung. Para pihak ini belajar mengevaluasi
penyelenggaraan kehidupan dan penghidupan di Desanya, sekaligus memperdalam
serta memperbaikinya.

Pemberdayaan dalam pengertian peningkatan kualitas sumber daya Desa


(penyelenggara pemerintahan Desa dan masyarakat warga Desa) berarti membuka
lebar ruang perspektif yaitu pengetahuan dan kesadaran tentang bagaimana cara
mengembangkan dan mengoperasikan strukturisasi sosial Desa Inklusif.

3. Urgensi Adaptasi Sekolah Lapang Desa Inklusif

Kondisi lemahnya partisipasi masyarakat Desa merupakan salah satu


konteks urgensi Kemeterian Desa, PDT, dan Transmigrasi untuk mengadaptasi
Sekolah Lapang Desa Inklusif. Banyak Desa yang sudah memiliki praktik baik
penyelenggaraan Desa inklusif. Sebagian Desa menghidupi prinsip dan nilai inklusi
yang terkandung dalam kearifan budaya lokal Desa dengan cara mewariskannya
secara turun temurun. Sebagian Desa lain menegakkan inklusi melalui proses
pembelajaran yang difasilitasi pihak ketiga; Kementerian, Perguruan Tinggi,
maupun Organisasi Masyarakat Sipil. Ada juga Desa menjadi inklusif karena
inisiatif Kepala Desa dan kemampuannya dalam meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan perangkat Desa serta kemampuannya dalam menggerakkan
masyarakat.

11
Peningkatan kualitas partisipasi masyarakat Desa dalam kerangka
penguatan Desa inklusif merupakan bagian dari tujuan penyelenggaraan Program
Penguatan Pemerintahan Dan Pembangunan Desa (P3PD). Untuk itulah
Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi sebagai salah satu kementerian
pelaksana program P3PD menawarkan adaptasi sekolah Lapang Desa Inklusif
sebagai salah satu opsi yang dapat dipilih oleh Desa.

Sekolah Lapang merupakan pilihan model pembelajaran bagi masyarakat


Desa untuk meningkatkan kapasitasnya sebagai subyek sekaligus sumber daya
manusia dalam mendorong dan menguatkan penyelenggaraan Desa Inklusif.
Sekolah Lapang Desa Inklusif merupakan adopsi dari Sekolah Lapangan yang
dikembangan Departemen Pertanian di akhir tahun 80-an sebagai bagian dari
strategi Pemberantasan Hama Terpadu.

Sekolah Lapangan diadopsi karena relevan untuk kepentingan peningkatan


kualitas partisipasi masyarakat Desa dalam menguatkan inklusi sosial Desa.
Melalui Sekolah Lapang, suatu Desa dapat belajar dari praktik baik Desa inklusif
untuk kemudian mengadaptasi dan memodifikasi sesuai dengan kebutuhan dan
kondisi Desa masing-masing.

Adaptasi dan modifikasi tata kelola Sekolah Lapang dilakukan dan


disesuaikan dengan kebutuhan spesifik terkait pembelajaran Desa inklusi. Dengan
mengembangkan manajerial pengelolaan mulai dari persiapan, pelaksanaan, dan
strategi penerapan sekaligus mempresentasikan contoh praktik baik nilai-nilai
inklusi Desa dalam kearifan lokal Desa.

12
Dukungan Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi, dalam hal ini Unit Kerja
Direktorat Pengembangan Sosial Budaya dan Lingkungan Desa dan Perdesaan,
Direktorat Jenderal Pembangunan Desa dan Perdesaan dalam memfasilitasi Desa
dilakukan dengan menerbitkan buku saku Sekolah Lapang Desa Inklusif. Buku ini
merupakan media pembelajaran yang dapat digunakan sebagai referensi bagi
setiap pihak yang berkepentingan untuk menguatkan penyelenggaraan Desa
Inklusif. Meskipun setiap pihak dapat membaca buku ini, namun secara khusus
target pembaca buku ini adalah Kepala Desa, Perangkat Desa, kelompok Kader
Pemberdayaan Masyarakat Desa, dan kelompok warga Desa.

Isi buku berikut ini terdiri dari 4 bagian yang disusun dalam kerangka pikir yang
berurutan. Diharapkan pembaca membaca isi buku secara berurutan sehingga
dapat memahami lebih utuh konteks urgensi adaptasi Sekolah Lapang. Meskipun
demikian sebagai media pengkayaan acuan, dimungkinkan bagi pembaca untuk
mulai membaca dari bagian yang dianggapnya lebih relevan dengan
kebutuhannya.

13
Bagian pertama adalah Pendahuluan yang berisi penjelasan tentang Sekolah
Lapang dalam konteks mandat Desa Inklusi. Konteks utama Desa Inklusi adalah
mandat UU Desa tentang Desa sebagai kesatuan masyarakat sebagai subyek yang
berkewenangan. Mandat tersebut ditegaskan dalam arah kebijakan Pembangunan
SDGs Desa yang diatur dalam Peraturan Menteri Desa Nomor 21 Tahun 2020
tentang Pedoman Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Pada
sub berikut di bagian Pendahuluan berisi tentang urgensi Adaptasi Sekolah
Lapang.

Bagian kedua berisi dua sub bagian. Pada sub bagian pertama dijelaskan secara
ringkas konsep Sekolah Lapangan yang diinisiasi dan dikembangkan oleh
Departemen Pertanian. Sub bagian berikutnya menjelaskan konsep adaptasi yang
dilakukan Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi dalam rangka kepentingan
mendorong penguatan Desa inklusif. Bagian ketiga adalah Tata Kelola Sekolah
Lapang Desa Inklusif yang diadaptasi dari tata kelola penyelenggaraan Sekolah
Lapangan. Adaptasi tata kelola Sekolah Lapang dilakukan disesuaikan dengan
kebutuhan spesifik terkait pembelajaran Desa inklusi. Bagian ketiga terdiri tiga
sub bagian.

14
BAGIAN 1
KERANGKA UMUM
SEKOLAH LAPANG
DESA INKLUSIF
1. Kerangka Umum Desa Inklusif
Inklusi merupakan istilah yang berlawanan dengan eksklusi. Eksklusi sosial
adalah perspektif atau kohesi sosial yang buruk. Seseorang yang tereksklusi
adalah seseorang yang dikeluarkan atau diabaikan hak serta kewenangannya
untuk masuk dan terlibat dalam suatu kelompok. Seseorang yang tereksklusi
dapat digambarkan sebagai seseorang yang tidak didengar “suara”nya, terkucil
dari kelompok, dan dibatasi aksesnya terhadap sumber daya kelompok.

Dalam kerangka UU Desa, kelompok warga yang tereksklusi itu disebut


kelompok marginal dan rentan, yaitu bagian warga Desa yang tidak berdaya yang
cenderung mengalami ketidaksetaraan sosial, budaya, dan politik. Kelompok
marginal dan rentan yang terabaikan dalam mekanisme Pembangunan Desa
diantaranya adalah penduduk miskin, kelompok difabel, kelompok anak dan
perempuan, penderita HIV/AIDS, Masyarakat Adat, dan minoritas
agama/kepercayaan.

Praktik eksklusi sosial jelas bertentangan dengan mandat UU Desa yang


mengakui Desa sebagai kesatuan masyarakat yang berkewenangan mengatur dan
mengurus urusan Desa dan pemerintahan Desa. Desa adalah subyek
Pembangunan Desa, dimana setiap warganya memiliki hak yang setara untuk
berpartisipasi dalam Pembangunan Desa. Setiap warga Desa, tanpa terkecuali,
harus ditingkatkan kapasitas dan kapabilitasnya yang setara agar mampu
bersama-sama bermusyawarah untuk mencapai mufakat dalam merumuskan
kebijakan Pembangunan Desa. Karena itu diperlukan upaya untuk membentuk
dan mengembangkan Desa Inklusif.

16
Desa Inklusif adalah Desa sebagai ruang kehidupan dan penghidupan bagi
semua warga Desa yang diatur dan diurus secara terbuka, ramah dan meniadakan
hambatan untuk bisa berpartisipasi secara setara, saling menghargai serta
merangkul setiap perbedaan dalam pembangunan.

Desa Inklusif akan memperkuat sikap saling menghargai atau toleransi


diantara warga Desa yang memiliki keragaman secara ekonomi, politik, sosial-
budaya, maupun keragaman secara ragawi. Warga Desa, dalam tatanan Desa
Inklusif, akan lebih bermartabat karena tidak akan mengalami pengucilan sosial
yang disebabkan oleh stigma, diskriminasi, ataupun perbedaan status sosial. Sikap
saling menghargai dan toleransi di tengah perbedaan akan memperkuat ketahanan
sosial. Sebab, warga Desa akan lebih mudah melakukan musyawarah-mufakat,
berswadaya dan bergotong-royong dalam penyelenggaraan Desa.

Desa Inklusif adalah Desa sebagai ruang kehidupan dan


penghidupan bagi semua warga Desa yang diatur dan diurus
secara terbuka, ramah dan meniadakan hambatan untuk bisa
berpartisipasi secara setara, saling menghargai serta
merangkul setiap perbedaan dalam pembangunan.

(Panduan Fasilitasi Desa Inklusif)

17
Meskipun Desa sebagai pemerintahan representatif menganut asas legalitas
dimana segala tindakan pemerintahan Desa harus didasarkan atas peraturan
perundang-undangan yang sah dan tertulis (peraturan Desa dan keputusan Desa),
namun nilai inklusi sosial Desa membuka peluang bagi setiap warga Desa untuk
mendapatkan kesempatan berperan/terlibat aktif sesuai dengan kemampuannya
masing-masing dalam Pembangunan Desa yang berkeadilan.

Oleh karena itu dalam Desa Inklusif yang harus didudukan pertama-tama
adalah kesediaan semua pihak (elemen penyelenggara pemerintahan: Kepala Desa-
perangkat dan BPD serta masyarakat Desa) untuk secara sukarela terlibat dalam
gotong royong mengatur urusan hidup bersama. Gotong royong merupakan azas
bangunan struktur sosial Desa yang dilakukan dengan menciptakan
kesepakatan/mufakat atau konsensus antara warga Desa dengan pemerintahan
representatif yang dibentuknya.
Untuk itu dibutuhkan kaderisasi sebagai mekanisme penguatan kader yang
mampu meningkatan kesadaran warga dan mengorganisasikan kelompok warga
dalam menciptakan kemufakatan untuk membangun struktur sosial yang inklusif
dan Pembangunan Desa yang berkeadilan. Upaya tersebut dapat ditempuh melalui
3 jalan, yaitu jalan demokrasi, jalan pembangunan, dan jalan kebudayaan.

18
1. Jalan Demokrasi,
yaitu upaya perluasan ruang-ruang partisipasi warga Desa khususnya
kelompok marginal dan rentan agar mampu secara terus-menerus
berpartisipasi secara aktif di dalam penyelenggaraan Desa. Kualitas
partisipasi kelompok marginal dan rentan yang ada di Desa sangat
ditentukan oleh adanya tata kelola pemerintahan yang terbuka bagi peran
serta warga Desa. Pemerintahan Desa yang terbuka bagi partisipasi
masyarakat membuka peluang bagi kelompok marginal dan rentan
menjangkau pendayagunaan sumber daya pembangunan yang ada di Desa
untuk memenuhi hak dan kepentingannya. Untuk itu, penyelenggaraan Desa
Inklusif harus ditopang oleh upaya pendalaman jalan demokrasi.

2. Jalan Pembangunan,
yaitu upaya yang dimaknai sebagai perluasan ruang-ruang
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan Desa yang
terbuka bagi partisipasi setap warga Desa termasuk kelompok marginal dan
kelompok rentan. Untuk itu, penyelenggaraan Desa Inklusif harus ditopang
oleh upaya pendalaman pembangunan partisipatif.

3. Jalan Kebudayaan,
yaitu upaya yang dimaknai sebagai penguatan nilai-nilai inklusi sosial
sebagai pedoman perilaku bagi warga Desa agar mampu bersikap saling
menghargai dan bertoleransi di tengah perbedaan. Nilai-nilai inklusi sosial
seperti: keterbukaan, keramahan, kesetaraan, toleransi, sikap saling
menghargai dan kesukarelaan untuk merangkul setiap perbedaan
dihadirkan secara terus menerus dalam kehidupan sehari-hari warga Desa
sehingga menjadi adat dan budaya Desa. Jalan Kebudayaan ini akan
menjamin keberlanjutan Desa Inklusif. Sebab, nilai-nilai inklusi sosial
menyatu dengan cipta, rasa dan karsa seluruh warga Desa. Untuk itu,
penyelenggaraan Desa Inklusif harus ditopang oleh upaya pendalaman
kemajuan kebudayaan di Desa.

19
Penguatan Desa Inklusif melalui tiga jalan tersebut sekaligus merupakan
upaya pencapaian tujuan pencapaian SDGs Desa yang ditetapkan sebagai arah
kebijakan Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Dalam
kerangka penegakan nilai inklusi sosial, kebijakan pembangunan SDGs Desa
mendudukkan program atau kegiatan Pembangunan Desa sebagai tindakan
bersama warga Desa dalam menghadapi kenyataan hidup keseharian. Kenyataan
hidup bersama warga Desa adalah persoalan kebutuhan yang dihadapi indvidu
yang berkelindan dengan beragam masalah, tantangan, dan potensi Desa sebaga
kesatuan masyarakat dalam menyelenggarakan tata kelola pembangunan yang
berkeadilan.

Dalam kerangka penguatan nilai inklusi sosial, tindakan bersama warga


Desa yang diwujudkan dalam program pencapaian tujuan SDGs Desa
diselenggarakan dengan semboyan “tak seorang pun warga Desa yang
ditinggalkan”. Sesuai degan semboyan tersebut arah kebijakan SDGs Desa
ditempuh melalui mekanisme Pembanguan Desa yang dimulai dengan tahap
pengumpulan data partisipatif, dimana setiap warga Desa berhak terlibat dalam
kegiatan tersebut. Tahap ini sekaligus merupakan tahap strategis untuk memulai
penegakan nilai inklusivitas Desa, karena pada tahap ini kelompok masyarakat
yang termaginalkan dan rentan dapa berparisipasi sepenuhnya dalam memberikan
data kondisi obyektif yang dihadapi.

20
Pada dasarnya data obyektif kondisi Desa hasil pendataan partisipatif itulah
yang menjadi dasar untuk menentukan tindakan penyelesaian masalah hidup
bersama Desa dalam bentuk program atau kegiatan pembangunan, meskipun
dalam mekanisme pembangunan SDGs Desa data partisipatif tersebut kemudian
diinput ke dalam Sistem Informasi Desa. Sistem itu yang kemudian akan membaca
data dan memberikan output dalam bentuk indikator kebutuhan prioritas program
pembangunan.

Pada tahap berikutnya data partisipatif atau indikator kebutuhan prioritas


program pembangunan Desa yang direkomendasikan Sistem Informasi Desa
dibahas dan disepakati dalam Musyawarah Desa. Sesuai Permen Desa, PDT, dan
Transmigrasi Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembangunan Desa dan
Pemberdayaan Masyarakat Desa, sebelum dibahas dan disepakati dalam
Musyawarah Desa, kelompok warga Desa diberikan kesempatan untuk
mengklarifikasi data dari Sistem Informasi Desa dengan data kondisi obyektif Desa
yang dimiliki oleh kelompok masyarakat. Bagi kader Desa atau pendamping
organik penggerak Desa ketentuan tersebut merupakan kesempatan
mengorganisasikan kelompok warga untuk berpartisipasi aktif memastikan
rekomendasi prioritas program pembangunan benar-benar berpihak pada
masyarakat marginal dan terpinggirkan atau sesuai dengan data kondisi obyektif
Desa.

21
2. Kerangka Umum Sekolah Lapang
Seperti sudah disampakan sebelumnya, Sekolah Lapang merupakan pilihan
model pembelajaran untuk meningkatkan kapasitas masyarakat Desa dalam
mendorong dan menguatkan penyelenggaraan Desa Inklusif. Sekolah Lapang
diadopsi dari kosepsi Sekolah Lapangan. Istilah Sekolah Lapangan pertama kali
digunakan dalam Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dan
kemudian dikembangkan menjadi Sekolah Lapangan PHT oleh Departemen
Pertanian pada tahun 1989 yang mendapat pelatihan dari Tim Bantuan Teknis
Food and Agriculture Organization (FAO).

Sekolah Lapangan diadopsi karena relevan untuk kepentingan peningkatan


kualias partsipasi masyarakat Desa dalam menguatkan inklusi sosial Desa.
Melalui Sekolah Lapang, suatu Desa dapat belajar dari praktik baik Desa inklusif
untuk kemudian mengadaptasi dan memodifikasi sesuai dengan kebutuhan dan
kondisi Desa masing-masing.

A. Sekilas Sekolah Lapangan

Meskipun menggunakan istilah “sekolah”, tetapi sebenarnya wujudnya tidak


berupa bangunan atau dikenal sebagai “sekolah tanpa dinding”. Sekolah Lapangan
dilakukan dimana saja; di sawah, di kebun ataupun pekarangan warga yang dekat
dengan lahan pertanian mereka.

Di sekolah ini mereka belajar selama satu musim tanam atau kurang lebih
12-14 minggu, sesuai dengan fase perkembangan tanaman yang mereka sedang
tanam. Mereka mengamati seluruh rangkaian proses satu siklus tanam tersebut,
mulai dari penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, kondisi tanah, hama yang
menyerang dan sampai pada masa panen. Bahkan di sela-selanya ada semacam
uji coba berdasarkan persoalan khusus yang mereka hadapi. Ciri utama sekolah
lapangan adalah peran aktif peserta sekolah (petani) sebagai pelaku, peneliti,
pemandu, dan manajer lahan yang ahli.

22
Seluruh peserta Sekolah Lapangan berinteraksi langsung dengan realitas
yang mereka hadapi sehari-hari, menemukenali persoalan dan tantangan yang
mereka temukan dan mengambil pembelajaran atau bahkan teori/pengetahuan
baru dari proses penemuan tersebut.

Sekolah Lapang sekaligus membalikkan pandangan buruk tentang petani.


Selama ini petani kerap dianggap sebagai salah satu faktor utama yang
menghambat pengembangan pertanian. Petani digambarkan sebagai sosok yang
serba kurang; kurang memiliki pengetahuan, kurang pendidikan, kurang terbuka
dan serba kurang lainnya. Sebaliknya dalam pendekatan Sekolah Lapangan PHT,
petani ditempatkan sebagai kunci keberhasilan dan sumber daya manusia yang
paling potensial. Petani adalah pelaku utama dan manajer di lahannya sendiri.
Dengan demikian petani adalah ahli PHT sehingga mampu mengolah lahannya
berdasarkan kemampuan, keterampilan dan pengetahuan yang dimiliknya.

23
Sebagai gambaran, dalam kasus Wereng Coklat misalnya, PHT dilakukan
dengan menggunakan pestisida yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan dan
dipromosikan oleh penyuluh pertanian. Tetapi yang terjadi malah penggunaan
pestisida semakin mengembangbiakkan hama Wereng Coklat. Hal itu bisa dicegah
oleh petani sebelumnya dengan pemahaman mereka tentang interaksi ekologis dan
peranan musuh alami dan fungsi tanaman serta waktu menanam yang tepat.

Pada saat ini petani bisa membuktikan dirinya bahwa mereka tidak anti
terhadap berbagai teknologi yang dilahirkan dari proses penelitian ilmiah. Mereka
bisa mengadaptasi bahkan mengoreksinya dengan pengetahuan yang sudah
dimiliki jauh sebelum revolusi hijau terjadi dan dikembangkan sesuai dengan
kondisi saat ini. Tentu tantangan utamanya adalah mengembalikan posisi petani
sebagai mitra yang tangguh dan mereka memiliki pengalaman dan keterampilan
dalam mengelola sumber daya yang mereka miliki.

Pembaharuan paradigma Sekolah Lapangan bukan berarti sebuah


metodologi baru yang akan dikembangkan, tetapi mengembalikan pada konsep
pendidikan yang seharusnya. Sekolah Lapangan adalah tempat bagi petani
mengambil peran aktif dalam penciptaan ilmu pengetahuan yang sudah dimiliki
oleh mereka. Pendidikan di Sekolah Lapangan menitikberatkan pada proses,
interaksi langsung dan penemuan fakta di lapangan.

Jika menggunakan filsafat Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan, maka


dalam Sekolah Lapangan peran penyuluh bukan sebagai guru atau penyampai
pesan, tetapi sebagai fasilitator yang menemani petani memperoleh pengetahuan
baru dari alam sekitar mereka. Petani tidak diberikan informasi saja melainkan
diajak melakukan penelusuran dan penggalian ilmu pengetahuan secara bersama-
sama.

24
Pola pendidikan sekolah lapangan tidak sekedar learning by doing (belajar
dari pengalaman), akan tetapi discovery learning (penemuan ilmu) yang dia peroleh
dan terapkan dari pengalaman mengolah lahan pertaniannya. Dengan proses
tersebut, maka Sekolah Lapangan mampu menyiapkan petani yang tangguh
karena melewati berbagai dinamika dan siap dengan tantangan masa depan.

Agar tujuan Sekolah Lapangan mampu memanusiakan warga didik agar


mampu melakukan kegiatan yang berkenan langsung dengan pengelolaan lahan
yang mereka miliki:

1. Kemampuan membangun dinamika dan kerjasama di antara sesama


warga didik dan pihak lain
2. Keahlian manajerial dalam mengelola dan mengambil keputusan atas
tindakan yang dilakukan
3. Keahlian manajerial dalam mengelola dan mengambil keputusan atas
tindakan yang dilakukan

Dengan tiga hal utama di atas, warga didik akan menjadi pribadi yang
merdeka, memiliki pengetahuan dan keterampilan bertindak sehingga bisa
memutuskan tindakan-tindakan menyangkut penghidupan mereka sebagai petani.

25
B.Kerangka Adaptasi Sekolah Lapang
Adaptasi, dalam pengertian umum, adalah mekanisme organisme untuk
bertahan hidup dengan cara mengatasi tekanan lingkungan sekitar. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, arti adaptasi adalah penyesuaian terhadap lingkungan,
pekerjaan, dan pelajaran. Adaptasi Sekolah Lapangan menjadi Sekolah Lapang
secara konkret dilakukan dengan melakukan modifikasi pada beberapa unsur
yang dibutuhkan. Adatasi Sekolah Lapang sejatinya dapat dilakukan untuk tujuan
pembelajaran banyak aspek terkait dengan penyelenggaraan Desa.

Meskipun demikian adopsi dan adaptasi Sekolah Lapang yang dilakukan


dalam buku ini merupakan langkah penyesuaian konsep Sekolah Lapangan
dengan tujuan dan ruang lingkup kebutuhan penyediaan bahan pembelajaran
yang dapat dimanfaatkan sebagai referensi fasilitasi upaya pencapaian tujuan
program P3PD, yaitu untuk meningkatkan kapasitas masyarakat Desa dan
penguatan Desa Inklusif. Adaptasi dilakukan dengan memodifikasi beberapa aspek
dari Sekolah Lapangan sesuai dengan aspek kebutuhan untuk mencapai tujuan
pembelajaran tentang Desa Inklusif.

26
Sebagai contoh, peserta Sekolah Lapangan PHT secara umum sama dengan
Sekolah Lapang Desa Inklusif. Di Sekolah lapangan PHT peserta bisa siapa saja
yang berkomitmen pada gerakan PHT. Demikian juga di Sekolah Lapang Desa
Inklusif, peserta bisa siapa saja, tetapi yang berkomitmen pada pembentukan dan
penguatan Desa Inklusif. Peserta Sekolah Lapang terbuka bagi warga Desa yang
berkomitmen untuk menjadi kader penggerak perubahan Desa menuju Desa
Inklusif. Dalam Panduan Fasilitasi Desa Inklusi dsebutkan bahwa “Kader Desa
adalah pemimpin Desa dan/atau warga Desa yang memiliki kepedulian dan
keberpihakan serta dukungan dan keterlibatan diri secara langsung untuk menjadi
motor penggerak penyelenggaraan Desa. Kader Desa ini ditumbuhkan dan
dikembangkan dengan cara membentuk, mendidik dan melatih kepala Desa,
perangkat Desa, anggota BPD dan warga Desa untuk secara sukarela menjadi
motor penggerak penyelenggaraan Desa Inklusif. Kader Desa tumbuh dan
berkembang dari sumber daya manusia yang ada di Desa atau disebut kader
organik Desa.”

Dalam rangka mendorong lahirnya kader-kader Desa sebagai pendamping


organik Desa, peserta Sekolah Lapang diprioritaskan untuk warga Desa, baik
Kepala Desa, perangkat Desa, maupun kelompok masyarakat Desa, utamanya
kelompok masyarakat marginal dan rentan.

27
Paradigma Sekolah Lapang Desa Inklusif

Inklusi sosial merupakan nilai-nilai kemanusiaan universal. Pembentukan


dan penguatan Desa Inklusif adalah upaya Desa menegakkan nilai-nilai
kemanusiaan. Karena itu Sekolah Lapang diselenggarakan dengan paradigma
pemberdayaan masyarakat sebagai basis pengalaman memanusiawikan Desa.
Pemberdayaan masyarakat dengan demikian menjadi kegiatan strategis bagi
masyarakat Desa dalam upaya menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat untuk
berpartisipasi aktif untuk memperjuangkan penyelenggaraan Desa yang lebih
manusiawi. Dengan paradigma tersebut Sekolah Lapang mendudukkan tujuan
pembentukan dan pengembangan Desa Inklusif sebagai bagian dari pemberdayaan
yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kemampuan masyarakat Desa
sebagai subyek pembangunan. Peserta Sekolah Lapang selain mengembangkan
kemampuannya sebagai pribadi, sekaligus kemampuannya sebagai anggota
masyarakat Desa yang menjadi subyek Pembangunan Desa. Artinya kemampuan
peserta tidak hanya untuk dirinya, melainkan untuk menjadikan Desa semakin
inklusif, semakin menghormati martabat dan hak setiap warga Desa.

Dalam kerangka pemikiran N. Driyarkara pembelajaran yang


diselenggarakan Sekolah Lapang merupakan bagian dari proses bagi setiap peserta
mengenali jati dirinya sebagai manusia, subyek yang mandiri (hominisasi),
sekaligus mengembangkan kemampuannya untuk memperlakukan lingkungan
dimana subyek berada (Desa) menjadi semakin manusiawi (humanisasi) dengan
cara menghormati dan menegakkan kodrat individu-individu warga Desa sebagai
manusia yang setara. Untuk itu Sekolah Lapang dikembangkan sebagai suatu
ekosistem pembelajaran yang manusiawi.

28
Paradigma tersebut menuntut suatu perubahan cara pandang tentang
pemberdayaan. Seperti pada umumnya pemberdayaan dipandang sebagai
tindakan pihak lain yang memberdayakan masyarakat melalui bimbingan teknis
atau workshop di ruangan. Dalam Sekolah Lapang pemberdayaan adalah tindakan
masyarakat memberdayakan dirinya sendiri melalui proses pembelajaran yang
diperoleh dari pengalaman keterlibatan.

Subyek atau pelaku utama pembelajaran di Sekolah Lapang adalah


masyarakat Desa, baik Kepala Desa, perangkat Desa, maupun kelompok
masyarakat, termasuk kelompok yang termarginalisasi dan rentan. Melalui
Sekolah Lapang masyarakat yang memberdayakan dirinya dengan bergerak aktif
melakukan eksplorasi untuk mengolah rasa, mendapatkan pengetahuan, dan
mengasah keterampilan di ruang yang terbuka luas sehingga mudah mendapatkan
akses sumber pembelajaran yang dibutuhkan. Melalui pengalaman langsung
berinteraksi dengan realitas, peserta Sekolah Lapang dapat menguasai proses
penemuan “ilmu pengetahuan” yang relevan untuk diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari.

Unsur penguatan inklusi sosial Desa yang utama adalah masalah cara
pandang. Pengetahuan dan keterampilan di bidang inklusi sosial baru akan efektif
apabila dimiliki oleh seorang yang memiliki kesadaran sosial dalam wujud rasa
empati. Seperti halnya dengan penguatan karakter, demikian halnya dengan
penguatan empati pada persoalan inklusi sosial hanya mungkin dicapai melalui
pengalaman nyata berinteraksi dengan kelompok masyarakat yang
termarginalisasi. Pengalaman keterlibatan langsung dengan realitas merupakan
proses interaksi, baik dengan lingkungan alam maupun, terutama, lingkungan
sosial yang dapat menggugah kesadaran peserta terhadap fenomena kehidupan
yang dijumpai.

29
Sekolah Lapang Desa Inklusif mengadopsi konsep “sekolah tanpa dinding”
yang diselenggarakan dalam periode waktu tertentu. Ruang eksplorasi
penyelenggaraan Sekolah Lapang adalah Desa Inklusif dan Desa asal peserta. Desa
Inklusif menjadi ruang bagi peserta untuk berproses dengan sumber pengetahuan
melalui kegiatan pengamatan fenomena kehidupan (sosial, budaya, ekonomi,
politik) masyarakat Desa, mencatat data, dan melakukan kajian atas setiap data
temuan yang terkait dengan praktik penyelenggaraan Desa inklusif. Sedangkan
Desa asal peserta merupakan bagian dari ruang Sekolah Lapang, tempat dimana
peserta menguji implementasi hasil pengatahuannya ke dalam praktik kehidupan
besama di Desanya. Di ruang Desa Inklusif peserta mengkaji fenomena praktik
penyelenggaraan Desa Inklusif, di ruang Desa asal peserta mengkaji upaya uji
coba penerapan teori pengetahuan dan keterampilan hasil temuannya.

Ciri-ciri Sekolah Lapang

Ciri-ciri nyata Sekolah Lapang Desa Inkusif dapat dikenali dari beberapa hal
berikut ini:

1. Sarana Belajar Ciptaan Sendiri. Sarana belajar yang utama di Sekolah


Lapang adalah Desa dengan segala aspek kehidupan masyarakatnya dan
penyelenggaraan Desa. Buku, alat tulis, maupun teknologi merupakan
sarana pelengkap pembelajaran. Dengan sarana belajar itulah peserta
menciptakan sendiri “buku pintar” yang merupakan jurnal catatan proses
pembelajaran yang berisi hasil pengamatan fenomenas, pencatatan data,
maupun hasil temuan kajian.

2. Peran Pemandu. Pemandu bukan guru. Prinsip pembelajaran di Sekolah


Lapang adalah belajar bersama-sama. Dengan demikian setiap peserta di
Sekolah Lapang dapat berperan sebagai guru sekaligus sebagai murid. Peran
itu akan terlihat dalam dinamika diskusi kelompok, saat peserta saling
menguji hasil temuannya. Pemandu adalah fasilitator yang tugas
fungsionalnya memudahkan jalannya proses pembelajaran.

30
3. Analisis dan Pengambilan Keputusan. Analisis atau kajian merupakan
kegiatan utama peserta Sekolah Lapang. Analisis merupakan metode yang
digunakan untuk mendapatkan suatu pengetahuan berdasarkan temuan
data. Analisis juga digunakan sebagai metode untuk menentukan
pengambilan keputusan. Karena itu pengenalan metode analisis dan
peningkatan kemampuan analisis merupakan materi dasar yang harus
dipelajari oleh setiap peserta. Analisis sosial merupakan salah satu metode
yang wajib dipelajari oleh peserta.

4. Pembelajaran Berkesinambungan. Sekolah Lapang dirancang dan


dikembangkan dalam kurun waktu tertentu sesuai situasi dan kondisi
tertentu dalam tahap yang berkesinambungan. Proses pembelajaran ideal
bisa dirancang menyesuaikan dengan siklus mekanisme Pembangunan
Desa. Tujuannya supaya setiap tahap Pembangunan Desa dapat menjadi
ruang bagi peserta untuk menguji penerapan pengetahuan temuannya.
Sekalipun demikian belum tentu dalam satu siklus Pembangunan Desa hasil
pengetahuan dan keterampilan peserta dapat mempengaruhi pembentukan
Desa Inklusif. Karena itu peserta harus menguji kembali pengetahuannya
pada siklus berikutnya.

5. Dinamika Kelompok. Tujuan Sekolah Lapang adalah untuk menciptakan


suatu organisasi belajar yang berkelanjutan. Baik pemandu maupun
peserta dibekali metode dan teknik untuk meningkatkan kekuatan
organisasi. Para peserta berlatih kerjasama, komunikasi, pemecahan
masalah, dan kepemimpinan melalui pola pengalaman berstruktur, dimana
hal-hal ini dapat dialami secara langsung dan nyata. Semua peserta
diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk memimpin kegiatan kelompok,
mempresentasikan analisisnya, melaksanakan eksperimen, dan memimpin
diskusi.

31
6. Arti Partisipasi dalam Sekolah Lapang. Kerekatan (cohesion) antar semua
pihak yang terlibat dalam Sekolah Lapang merupakan hal utama yang
menentukan efektifitas dan kedalaman cara belajar kelompok. Kerekatan
sosal mensyaratkan adanya partisipasi aktif dari setiap peserta. Partisipasi
diterapkan untuk mencapai tiga tujuan sesuai dengan jenjang partisipasi,
yaitu:

a) partisipasi untuk menguasai ilmu pembentukan Desa Inklusif. Ilmu


dan proses inklusi sosial setiap Desa bukan merupakan suatu
pengetahuan permanen yang terdapat dalam suatu buku,
melainkan suatu yang bergerak dinamis. Pencatatan fenomena dan
pengumpulan data kehidupan Desa Inklusif tidak cukup dilakukan
oleh satu orang. Karena itu terjun ke dalam pengalaman secara
kelompok merupakan cara efektif untuk mendapatkan banyak
unsur pengetahuan. Partisipasi aktif peserta dalam pengumpulan
data dibutuhkan untuk dapat menguasai suatu ilmu pembentukan
Desa Inklusif.

b) partisipasi untuk interaksi dan pengembangan kelompok.


Partisipasi dibutuhkan untuk tujuan meningkatkan kerekatan
relasi peserta sebagai kelompok yang dinamis. Kelompok yang
dinamis dibutuhkan untuk mengembangkan kerjasama yang
efektif, membina ketrampilan kepemimpinan, menguasai cara-cara
pengambilan keputusan yang baik, meningkatkan ketrampilan
komunikasi dan pemecahan masalah. Kelompok peserta yang
dinamis dan solid dibutuhkan mengingat proses Sekolah Lapang
hanya merupakan fase awal dari kegiatan-kegiatan lain yang masih
harus diperjuangkan oleh kelompok.

c) partisipasi dalam membangun kesadaran kolektif warga. Tujuan


pembelajaran di Sekolah Lapang adalah meningkatkan kemampuan
peserta, baik individu atau kelompok sebagai bagian dari kesatuan
warga Desa. Kemampuan yang dperoleh dari pembelajaran d
Sekolah Lapang merupakan modal bagi peserta sebagai kader
penggerak perubahan kesadaran kolektf masyarakat Desa untuk
menguatkan inklusi sosial Desa.
32
BAGIAN 2
TATA KELOLA
SEKOLAH
LAPANG DESA
INKLUSIF
Sekolah Lapang Desa Inklusif merupakan suatu organisasi penyelenggara
pendidikan yang memiliki tujuan meningkatkan kapasitas masyarakat Desa dan
perangkat pemerintahan Desa dalam menguatkan pembentukan dan
pengembangan Desa Inklusif. Untuk dapat mencapai tujuan yang dimaksud,
diperlukan tata kelola penyelenggaraan Sekolah Lapang yang baik dan efektif. Tata
kelola yang dimaksud adalah suatu sistem integratif yang merangkai aturan,
kebijakan, pengorganisasi, dan kebiasaan yang dapat memengaruhi proses
penyelenggaraan Sekolah Lapang. Tata kelola mencakup di dalamnya adalah
penataan pola hubungan antar para pemangku kepentingan yang terlibat dalam
proses penyelenggaraan Sekolah Lapang.

Tata kelola Sekolah Lapang yang baik adalah sistem penyelenggaraan yang
didasarkan pada visi dan paradigma yang telah ditetapkan, yaitu penegakan dan
penghormatan kesetaraan hak warga Desa melalui pembentukan dan
pengembangan Desa Inklusif. Visi tersebut diwujudkan melalui praksis pendidikan
Sekolah Lapang yang diselenggarakan dengan paradigma pemberdayaan
masyarakat Desa berbasis pengalaman. Azas efektifitas dimaksudkan untuk
memastikan tata kelola Sekolah Lapang dapat benar-benar membantu peserta
untuk dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.

1. Prinsip Dan Ranah Kemampuan


Prinsip utama dala Sekolah Lapang adalah hormat pada kemanusiaan dan
mandiri. Tujuan Sekolah Lapang adalah menguatkan penyelenggaraan Desa
Inklusif. Seperti dijelaskan sebelumnya, inklusi sosial merupakan istilah yang
mengacu pada nilai-nilai kemanusiaan. Praktik penguatan penyelenggaraan Desa
Inklusif adalah dengan menguatkan paradigma Pembangunan Desa yang berbasis
pada kemanusiaan. Sikap hormat pada kemanusiaan bukanlah perkara yang
mudah, karena menyangkut perubahan cara pandang. Untuk mengubah cara
pandang dibutuhkan pembiasaan yang terus menerus.

34
Dengan berpijak pada prinsip hormat pada kemanusiaan, pembelajaran di
Sekolah Lapang dimulai dengan membiasakan peserta untuk bisa saling
menghormati kehadiran peserta lain. Membiasakan bertindak atas prinsip hormat
pada kemanusiaan merupakan bagian dari cara bagi peserta Sekolah Lapang
mengembangkan kedewasaan emosinya. Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara
kedewasaan emosional adalah bagian dari kecakapan budi pekerti peserta sebagai
manusia. Budi pekerti adalah konsepsi Ki Hajar Dewantara tentang kesatuan budi
dan pekerti yang merupakan potensi kodratiah manusia pembelajar. Budi adalah
kemampuan akal dan rasa atau kemampuan otak dan emosi. Sedangkan pekerti
adalah kekuatan kehendak mewujudkan apa yang dirasa dan dipikirkan. Wujud
nyata dari kekuatan pekerti adalah satunya karya, sikap, dan tindakan.

Prinsip kedua dalam Sekolah Lapang adalah pembelajaran orang dewasa,


yaitu mandiri, baik dalam pembelajaran pribadi maupun dalam pembelajaran
kelompok. Kemandirian merupakan salah satu sifat orang dewasa. Kemandirian
orang dewasa terlihat dari kemampuannya dalam menstrukturkan kekayaan
pengalaman dan pengetahuannya untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi.
Orientasi pendidikan orang dewasa bukan pada pencapaian nilai, tetapi terpusat
pada upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupannya. Kemandirian
merupakan prinsip utama dalam pendekatan pendidikan orang dewasa.

Dengan prinsip pembelajaran orang dewasa, peserta dituntut mampu


merefleksikan pengalamannya dalam perspektif kemanusiaan. Kemanusiaan
merupakan perspektif penting bagi peserta untuk dapat menemukan makna dari
paradigma memanusiawikan Desa. Seperti dijelaskan sebelumnya, paradigma
kemanusiaan Sekolah Lapang dapat dipahami lebih jelas melalui pemikiran N.
Driyarkara tentang tugas kodratiah peserta sebagai manusia untuk terus menerus
menjadi semakin manusiawi (hominisasi) sekaligus semakin mampu
memanusiawikan lingkungan Desanya dengan menegakkan. nilai-nilai inklusi
sosial. Dengan paradigma itu, maka praktik Sekolah Lapang sekaligus merupakan
upaya membangun Desa sebagai ekosistem pembelajaran yang manusiawi.

35
Sekolah Lapang dengan demikian menjadi organisme, bagian dari ekosistem
yang menggerakkan peserta untuk dapat menghargai potensi kemanusiaannya
sendiri, sekaligus meningkatkan kemampuannya untuk memanusiawikan
lingkungannya, kelompoknya atau Desanya. Dengan arah tersebut maka
kemampuan yang dikembangkan peserta Sekolah Lapang adalah kemampuan di
tiga ranah pribadinya;

1. Ranah Teknis, yang mencakup keterampilan dan manajerial.


Pembelajaran di Sekolah Lapang dilakukan secara mandiri. Penguasaan
teknik dan manajerial diperoleh melalui upaya aktif peserta dalam
mengelola waktu dan cara pembelajarannya. Karena itu hal yang pertama
dan utama harus dipelajari oleh peserta adalah kemampuannya dalam
mengatur cara pembelajaran yang efektif mulai dari proses awal
perencanaan, pengamatan, pencatatan, dan pengkajian variabel data
penentu pembentukan dan pengembangan Desa Inklusif. Selain itu
keterampilan teknis dalam hal manajerial dipelajari peserta melalui
keberanian untuk tampil, berdiskusi, presentasi, dan memfasilitasi
kegiatan.

2. Ranah Afeksi. Bidang afeksi bukan hanya menyangkut rasa perasaan,


tapi lebih pada kemampuan mengelola emosi atau yang disebut
kecerdasan emosional peserta. Kecerdasan emosional adalah kemampuan
yang menggerakkan sikap kepedulian dan menguatkan komitmen
keberpihakan. Selain itu kecerdasan emosional menentukan cara peserta
bersikap dalam bekerja sama, berkomunikasi, diskusi dengan peserta
lain maupun dengan pihak-pihak pemangku kepentingan Sekolah
Lapang. Refleksi merupakan cara yang dapat dipergunakan bagi peserta
Sekolah Lapang dalam mengenali perkembangan kecerdasan
emosionalnya.

36
3. Ranah Pengetahuan. Pengetahuan peserta Sekolah Lapang utamanya
diperoleh dari pengalaman. Dengan pembelajaran berbasis proyek, maka
peluang bagi peserta Sekolah Lapang untuk mendapatkan berbagai
pengalaman terbuka luas. Namun pengalaman tersebut baru akan
memberikan pengetahuan kalau peserta memiliki kemauan kuat untuk
melakukan refleksi atau mengkaji setiap fenomena yang dijumpai dalam
setiap pengalaman.

2. Kurikulum Pembelajaran Kontekstual


Kurikulum secara umum diartikan sebagai suatu rancangan pembelajaran
untuk mencapai tujuan tertentu dalam satu periode. Kurikulum berisi beberapa
komponen diantaranya adalah tujuan pembelajaran, isi atau materi yang
dipelajari, periode pembelajaran, dan cara atau metode pembelajaran. Kurikulum
sekolah pada umumnya dirancang dengan tujuan untuk dapat menentukan
penilaian hasil pencapaian peserta dalam menguasi materi pelajaran.

Kurikulum Sekolah Lapang merupakan rancangan pembelajaran kontekstual


berbasis pengalaman (experiential learning). Konteks pembelajaran di Sekolah
Lapang adalah kondisi Desa dan dinamika penyelenggaraan Desa dengan segala
aspeknya yang terkait dengan pembentukan dan pengembangan Desa Inklusif.
Kurikulum Sekolah Lapang disusun berdasarkan hasil diskusi peserta Sekolah
Lapang yang difasilitasi pemandu dan ditetapkan pada awal periode pembelajaran.
Diskusi penyusunan kurikulum membahas dan menetapkan isi atau materi
pembelajaran yang relevan dengan berbagai aspek dari konteks yang menentukan
penyelenggaraan Desa Inklusif.

37
Bidang atau materi pembelajaran yang ditetapkan dalam kurikulum Sekolah
Lapang bisa sangat bergantung pada tujuan peserta. Demikian juga dalam hal
Sekolah Lapang Desa Inklusif, bidang pembelajaran dalam kurikulum pada
dasarnya bergantung pada tujuan yang hendak dicapai. Karena yang hendak
dicapai dalam pembelajaran Sekolah Lapang adalah peningkatan kemampuan
peserta dalam mengorganisasikan masyarakat Desa untuk menguatkan inkusi
sosial Desa, maka ruang lingkup pembelajarannya mencakup keseluruhan aspek
penyelenggaraan Desa Inklusif.

Pengetahuan tentang esensi dan nilai inklusi sosial Desa merupakan materi
pelajaran utama yang menjadi dasar kajian data hasil pengamatan peserta
terhadap penyelenggaraan Desa. Materi pelajaran lain yang termasuk dalam
kategori pelajaran utama dalam kurikulum Sekolah Lapang adalah analisa sosial.
Analisa sosial adalah kajian untuk memperoleh gambaran komprehensif, kritis
tentang relasi beragam aspek yang menentukan penyelenggaraan Desa. Beberapa
metode atau alat untuk kajian yang dapat dikembangkan dalam kurikulum
Sekolah Lapang diantaranya adalah diagram ven, kalender musim, pohon masalah,
dan peta Desa.

Selain kajian metode yang dikembangkan dalam Sekolah Lapang adalah


pengamatan lapangan, paparan dan diskusi kelompok. Paparan dan diskusi
kelompok merupakan dua metode yang terintegrasi. Artinya melalui dua metode
tersebut peserta sekaligus dapat belajar banyak hal. Paparan mengkondisikan
peserta untuk dapat mengembangkan kemampuan berbicara secara terstruktur
dalam mengungkapkan hasil temuannya. Diskusi kelompok selain peserta belajar
berargumentasi juga belajar menghagari pendapat orang lain, terlebih pendapat
yang konstruktif yang bermanfaat untuk penguatan gagasan atau hasil
temuannya.

38
Berikut bidang-bidang yang dapat dipertimbangkan sebagai materi
pembelajaran utama dalam kurikulum Sekolah Lapang Desa Inklusif:

Bidang Utama Ruang Lingkup Kajian


Mandat UU Desa Kesatuan Masyarakat Desa Sebagai Subyek
Pembangunan
Inklusi Sosial Nilai dan Penerapannya
Analisa Sosial Pemetaan Relasi Sosial, Ekonomi, Budaya
Desa
Tata Kelola Desa Inklusif Strategi Penyiapan
Tata Kelola Penyelenggaraan Desa Inkusif

3. Proses Dialektik Pembelajaran Berbasis Pengalaman


Proses pembelajaran di Sekolah Lapang dilakukan berdasarkan pengalaman.
Tujuannya, supaya peserta mendapatkan pengetahuan lansung dari proses kajian
atas pengetahuan yang relevan dengan kebutuhannya. Tidak seperti belajar dari
buku atau bimbingan teknis yang berjalan linier dalam mencapai tujuan, proses
belajar dari pengalaman berjalan dialektis. Proses dialeketis merupakan
pembelajaran yang didasarkan atas asumsi bahwa kebenaran pengetahuan tidak
bersifat permanen. Sebuah kajian suatu ketika dapat menghasikan kebenaran
pengetahuan baru yang mengoreksi suatu pengetahuan yang sebelumnya sudah
dianggap benar.

Dalam proses dialektik peserta mendapatkan pengetahuan dengan cara


terus menerus melakukan kajian teori dan praktik. Pada suatu fase peserta
Sekolah Lapang harus menguji kajian teori pengetahuan yang diperolehnya ke
dalam praktik kehidupan sehari-hari. Pada fase itu juga peserta harus mengamati,
mencatat, dan mengkaji praktik penerapan teori pengetahuannya. Melalui proses
uji praktik dalam kehidupan sehari-hari peserta dapat mengetahui lebih mendalam
kelemahan teori pengetahuannya. Dengan mengetahui unsur kelemahannya,
peserta dapat mengkaji kembali pengalamannya untuk bisa mendapatkan teori
pengetahuan yang lebih sahih.

39
Diskusi kelompok merupakan saat peserta menguji hasil kajiannya atas
pengalaman praktik. Pada kesempatan diskusi kelompok peserta saling berbagi
data dan mendiskusikan pengetahuan hasil temuannya untuk mendapatkan
klarifikasi, afirmasi, validasi atau mendapatkan kritik konstruktif. Diskusi
kelompok sekaligus merupakan dinamka pembelajaran yang dibangun untuk
menguatkan daya rekat antar peserta. Dari diskusi kelompok, setiap peserta
merevisi atau merestrukturisasi kembali temuan pengetahuannya berdasarkan
gagasan yang diterma dari peserta lain.

Pengetahuan hasil revisi selanjutnya menjadi dasar bagi peserta untuk


kembali masuk ke dalam pengalaman praktik. Selama praktik
mengimplementasikan pengetahuannya ke dalam kehidupan masyarakat Desa,
peserta mengamati dan mencatat segala hal yang terjadi. Catatan itu selanjutnya
akan menjadi bahan bagi peserta untuk kembali menilai validias pengatahuan
atau keterampilannya.

40
4. Tahap Persiapan Sekolah Lapangan
1. Perencanaan

Inisiatif penyelenggaraan Sekolah Lapang Desa Inklusif dapat dimulai dari


mana saja. Inisiatif itu yang kemudian disosialisasikan. Tujuannya selain untuk
mendapatkan dukungan Desa, juga untuk dapat menjaring warga Desa yang
berkomitmen untuk menjadi peserta Sekolah Lapang. Selanjutnya peserta Sekolah
Lapang yang difasilitasi pemandu atau kader penggerak Desa merencanakan
persiapan pelaksanaan Sekolah Desa. Kader yang dimaksud adalah warga Desa
siapa saja yang memiliki komitmen kerelawanan untuk melakukan pemberdayaan
masyarakat Desa.

Rancangan persiapan Sekolah Lapang berisi penentuan lokasi Sekolah


Lapang, materi pokok pembelajaran, penentuan para pihak yang dilibatkan dalam
proses pelaksanaan, periode waktu pelaksanaan, dan pengadaan sarana atau media
yang dibutuhkan. Selain itu rancangan persiapan Sekolah Lapang juga menetapkan
kriteria dan jumlah peserta. Keseimbangan gender merupakan salah satu kriteria
peserta, selain yang utama adalah minat dan komitmen peserta.

Catatan khusus mengenai lokus Sekolah Lapang. Lokus pembelajaran Sekolah


Lapang idealnya adalah di Desa Inkusif dan Desa asal peserta, yaitu Desa yang
belum memiliki regulasi tentang inklusi sosial. Untuk saat ini lokus ideal tersebut
tentu masih sulit direalisasi, mengingat jumlah Desa Inklusif masih sangat sedikit.
Karena itu Sekolah Lapang dapat diselenggarakan di Desa asal peserta.

41
2. Koordinasi Dengan Pemerintah Desa

Rancangan persiapan Sekolah Lapang selanjutnya dikoordinasikan dengan


BPD, Kepala Desa dan perangkat pemerintah Desa untuk mendapatkan dukungan.
Koordinasi dilakukan dengan maksud memberikan pemahaman kepada aparat
pemerintah Desa tentang tujuan diselenggarakannya Sekolah Lapang dan meminta
dukungan dari perangkat Desa, utamanya Kepala Desa. Dukungan Pemerintah
Desa akan sangat membantu kelancaran pelaksanaan Sekolah Lapang. Dukungan
yang dibutuhkan berupa izin pelaksanaan Sekolah Lapang dan penyediaan
fasilitas sarana maupun prasarana yang dibutuhkan.

3. Sosialisasi dan Koordinasi Dengan Tokoh Masyarakat

Tokoh masyarakat memiliki peran sosial yang penting dalam dinamika


kehidupan di Desa. Tokoh masyarakat, seperti tokoh adat, tokoh agama, ketua
organisasi kaum perempuan, ketua pemuda, ketua lembaga ekonomi di desa, dan
lainnya, diberikan penjelasan rencana yang akan dilaksanakan pada kegiatan
Sekolah Lapang di Desa. Hal itu akan sangat membantu dalam memberikan
dorongan pengembangan tindak lanjut kegiatan, khususnya bila kegiatan telah
selesai dilaksanakan. Sosialisasi dan koordinasi dengan tokoh masyarakat
dimaksudkan untuk menyampaikan pemahaman kepada tokoh-tokoh masyarakat
tentang tujuan diselenggarakannya kegiatan Sekolah Lapang. Selain itu tujuannya
adalah meminta dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat untuk pelaksanaan
kegiatan Sekolah Lapang di desanya.

42
4. Koordinasi Dan Sosialisasi Dengan Pihak Yang Dilibatkan

Selain dari pemerintah Desa dan tokoh masyarakat pelaksanaan Sekolah


Lapang juga membutuhkan keterlibatan pihak-pihak lain yang dapat membantu
kelancaran pelaksanaan Sekolah Lapang. Pihak lain yang dimaksud adalah
individu yang dinilai berkompeten menjadi nara sumber atau partner diskusi
dalam proses pembelajaran tentang isu atau bidang tertentu.

5. Pertemuan Konsolidasi Peserta

Proses pelaksanaan Sekolah Lapangan akan sangat dipengaruhi oleh


soliditas atau kerekatan hubungan antar peserta. Selain pembelajaran individual,
Sekolah Lapang juga menekankan pentingnya dinamika pembelajaran kelompok.
Pemandu atau fasilitator Sekolah Lapang wajib menyelenggarakan pertemuan
konsolidasi peserta sebelum periode pembelajaran dimulai. Selain melakukan
konsolidasi, pertemuan persiapan juga bertujuan untuk mendapatkan penjelasan
tentang kegiatan Sekolah Lapang, musyawarah untuk menentukan kesepakatan
belajar.

5. Tahap Pelaksanaan Sekolah Lapangan

Tahap pelaksanaan Sekolah Lapang merupakan proses pembelajaran


berdasarkan kurikulum dan rencana persiapan yang mencakup diantaranya
adalah periode waktu pembelajaran, materi pembelajaran, dan lokus
pembelajaran.

43
Satu periode proses dialektik pembelajaran di Sekolah Lapang berlangsung
selama sekitar 6 bulan yang dapat disesuaikan dengan kalender siklus
perencanaan Pembangunan Desa. Satu periode dibagi ke dalam 3 fase. Setiap fase
memiliki topik materi pokok yang menjadi fokus pembelajaran. Lama waktu setiap
fase ditentukan berdasarkan bobot materi pokok pembelajaran. Meskipun
ditentukan, karena metode pembelajaran didasarkan pada kajian pengalaman,
maka lama waktu setiap fase pembelajaran bisa fleksibel menyesuaikan
kebutuhan.

Sebagai contoh, satu periode pembelajaran dimulai di bulan April, dua bulan
sebelum memasuki siklus perencanaan Pembangunan Desa yang dumulai bulan
Juni. Lokus pembelajaran adalah Desa asal peserta. Sekurangnya dua materi
pokok dalam fase pertama pembeajaran, yaitu materi ideologis terkait mandat
penguatan masyarakat Desa sebagai subyek pembangunan dan materi analisas
sosial tentang keadaan Desa peserta terkait dengan data kondisi obyektif perhatian
Desa terhadap kelompok-kelompok masyarakat. Nara sumber utama untuk
pembelajaran fase pertama adalah masyarakat Desa asal peserta, utamanya
adalah kelompok masyarakat marginal dan rentan.

Waktu pelaksanaan Sekolah Lapang bisa juga ditentukan berdasarkan


kesepakatan para peserta dan pemandu atau fasilitator dengan
mempertimbangkan kebutuhan dan kondisi yangdinilai paling
memungkinkan dan efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran

44
Pembelajaran kedua materi tersebut ditempatkan pada awal periode
pembelajaran di bulan April dengan tujuan supaya hasil peserta Sekolah Lapang
dapat menguji pengetahuannya melalui praktik fasilitasi rembug warga.
Selanjutnya peserta Sekolah Lapang dapat mengamati respon perubahan sikap
warga dalam setiap kesempatan perbincangan warga baik di ruang-ruang terbuka
maupun di forum resmi Musyawarah Desa. Di setiap kesempatan itu, peserta
kemudian mencatat apakah kelompok masyarakat yang difasilitasi sudah berani
menyuarakan isu tentang keadaan obyektif Desa. Catatan yang berisi temuan
hasil pengamatan menjadi bahan bagi peserta untuk melakukan kajian lebih
mendalam.

Fase kedua diselenggarakan selama dua bulan sebelum penetapan RKP Desa
di bulan September. Isu yang menjadi materi pembelajaran pada fase kedua
adalah isu inklusi sosial. Isu inklusi sosial dapat dibedakan menjadi dua materi,
yaitu materi tentang pengertian pokok inkusi sosial dan materi tentang
pembentukan Desa Inklusif. Lokus pembelajaran fase dua adalah Desa Inklusi dan
Desa asal peserta. Pengamatan dan kajian diselenggarakan di Desa Inklusif. Nara
sumber utama untuk pembelajaran pada fase kedua adalah Kepala Desa dan
anggota BPD. Lokus uji praktik hasil kajian dilakukan di Desa asal peserta.

Fase ketiga diselenggarakan dua bulan sebelum penetapan rancangan APB


Desa. Materi pokok pembelajaran pada fase ketiga adalah tentang tata kelola Desa
Inklusif. Lokus pembelajaran utamanya ada di Desa Inklusif. Nara sumber utama
dalam pembelajaran fase ketiga adalah perangkat Desa dan kelompok masyarakat
marginal dan terpinggirkan yang sudah diakomodasi haknya yang setara dengan
warga lain.

45
BAGIAN 3
PENGALAMAN
PRAKTIK INKLUSI
SOSIAL DESA
Bagian ini berisi contoh praktik baik Desa Inklusif yang dibagi menjadi dua
sub bagian berdasarkan asal-usul terselenggaranya inklusi sosial Desa. Kedua sub
bagian dimaksudkan dapat menjadi referensi bagi setiap pihak yang berniat
menjadi kader penggerak pembentukan dan pengembangan Desa Inklusif.

Sub pertama yang diberi judul Nilai Inklusi Dalam Kearifan Lokal, berisi
penjelasn ringkas tentang nilai inklusi yang yang sudah hidup dan dihidupi turun
temurun dalam kearifan lokal Desa. Beberapa contoh nilai inklusi dalam kearifan
lokal yang masih diwariskan secara turun temurun. Sub kedua berjudul Praktik
Pembentukan Desa Inklusif, berisi narasi praktik baik Desa Inklusif yang dibentuk
dan dikembangkan melalu pendekatan programatik atau pendekatan normatif.

1. Nilai Inklusi Dalam Kearifan Lokal


Harus diakui bahwa penelusuran atas keberadaan nilai dan praktik
‘merangkul setiap perbedaan dalam pembangunan’ dalam tradisi masyarakat Desa
atau masyarakat tradisional secara umum di Indonesia, bukanlah hal mudah.
Bukan saja karena jumlah Desa di Indonesia yang begitu banyak, melainkan
karena tradisi dan berbagai kearifan lokal Desa itu sendiri ditantang sedemikian
rupa oleh kebiasaan dan tradisi baru yang ditawarkan oleh modernitas.

Faktor lain, umumnya tatanan sosial dan politik dalam masyarakat Desa
tradisional diatur atas dasar jalur kekerabatan. Pengukuran keabsahan pemimpin
dari trah, keturunan, atau genealogi tokoh penting, misalnya, dengan sendirinya
merupakan gejala yang berlawanan dengan inklusi, yaitu eksklusi.

47
Meskipun demikian ada contoh yang menarik. Sebuah monografi tahun
1984 mengenai masyarakat Desa di Indonesia yang disusun oleh sejumlah
antropolog menginformasikan gambaran pola pemerintahan dan kepemimpinan
Desa di Timor Barat. Di Soba, nama Desa itu, pejabat pemerintahan Desa seperti
fettor ambini, tobe, hulubalang, pegawai pengumpul upeti, serta pemuka upacara
agama didistribusikan pada sejumlah klan. Meski demikian, klan saja tidak
cukup. Dalam kasus-kasus tertentu, kecakapan atau kompetensi seseorang
memungkinnya untuk menerima tugas atau jabatan tertentu, meskipun orang
tersebut bukan dari klan yang berkuasa.

Contoh kecil ini diambil dari sebuah Desa yang diselidiki beberapa puluh
tahun lalu yang pasti telah melewati sejumlah dinamika. Berikut kita akan melihat
nilai inklusi dari semboyan paling dikenal di Indonesia yang telah berabad-abad
usianya.

a. Berangkat dari Bhinneka Tunggal Ika

Ungkapan bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa berasal


dari kitab Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular. Ungkapan itu kurang
lebih berarti ‘berbeda-beda namun dalam satu kesatuan, tidak ada
dharma/pengabdian yang mendua’.
Sejak merdeka ungkapan tersebut menjadi semboyan negara, sebagai
peneguh fakta keberagamaan masyarakat-bangsa dalam kesatuan negara
republik Indonesia. Namun lebih dari itu, semboyan tersebut juga menjadi
arah pembangunan nation. Bila ditarik lebih jauh, penegasan atas arah
pembangunan tersebut membutuhkan jaminan pelaksanaan, yaitu regulasi.

Bhinneka tunggal ika dirumuskan dalam keragaman keragamaan di


era Majapahit. Dalam konteks ini perlu ada perumusan konteks baru situasi
keindonesiaan saat ini. Keragamaan saat ini bukan semata-mata dalam hal
agama. Dalam satu agama itu sendiri, keragaman telah tumbuh sangat
bervariasi. Selain itu, situasi-situasi sosial.

48
b. Sistem kesatuan hidup setempat

Bila ditelisik lebih jauh ke dalam kehidupan masyarakat tradisional


kita, yang hakikatnya adalah pedesaan, kita telah mengenal kesatuan hidup
setempat. Salah satu yang paling menonjol adalah gotong royong. Namun
kita harus ingat bahwa ‘gotong royong’ adalah juga istilah baru untuk
menyebut pekerjaan yang dilakukan secara bersama-sama dalam suasana
saling ‘bantu’.

Masyarakat tradisional Sulawesi Tengah memiliki cita-cita yang


spesifik. Cita-cita tersebut adalah (1) cukup pangan (ndosu tai), (2) cukup
sandang (nanapa), (3) mempunyai rumah (naulu balengga), (4) berbadan
sehat (makan buku), (5) tidur nyenyak (mapiri mata), (6) aman sentosa
(malino talinga), dan (7) terang penglihatan, murah rezeki (marame pangita).

Prinsip utama dalam upaya mencapai ketujuh cita-cita tersebut adalah


segala cara baik yang dilandaskan pada mufakat dan gotong royong.
Landasan atau prinsip utama ini disebut sebagai sintuwu.

Aktor atau pelaku utama dalam sintuwu adalah kelompok-kelompok


sosial-ekonomi yang ada di dalam masyarakat. Mereka antara lain adalah
persatuan penggembala ternak (noewu), gotong royong setengah hari
(nosidondo), gotong royong sehari penuh (nsosialapale), gotong royong dalam
pertukangan kayu untuk membangun rumah (nekayu no teba), gotong
royong dalam pertukangan besi (no buso), gotong royong memburu rusa
dengan anjing dan kuda (no asu), dan gotong royong membuat pakaian dari
kulit kayu (no ntunu).

Nilai-nilai dan pranata tradisional ini dapat kita pertanyakan: apakah


masih hidup atau, setidaknya, teringat oleh generasi masyarakat desa di
Sulawesi saat ini? Nilai dan pranata sosial tradisional merupakan dua hal
yang paling mudah tergerus dalam kehidupan modern.

49
2. Praktik Penegakan Desa Inklusif
1. Inisiatif Kader Difabel Menggerakkan Desa

Saat ini keberadaan Kelompok Difabel Desa di 13 Desa di Kecamatan Mojogedang,


Kabupaten Karanganyar diakui dan dihormati kesetaraan haknya dengan warga yang lain.
Setiap Kepala Desa di 13 Desa dalam satu Kecamatan yang sama menerbitkan Surat
Keputusan (SK) tentang pembentukan kelompok difabel Desa. Isi SK diantaranya adalah
data lengkap warga difabel di Desa. Selain pengakuan formal dalam wujud penerbitan SK,
pengakuan Desa terhadap warga kelompok difabel juga diwujudkan dalam pelibatan
anggota kelompok difabel dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, termasuk
pelibatan aktif dalam Musyawarah Desa.

Pencapaian itu merupakan bagian dari perjalanan panjang Sartono, kader difabel Desa dari
Desa Gentungan dalam memperjuangkan kesetaraan hak warga difabel. Bagi Sartono
perjalanan memperjuangkan hak warga Difabel adalah pengalaman yang mengajarkan
banyak hal. Komitmen perjuangannya dimulai dari kepeduliannya yang tergerak ketika
suatu saat di satu tempat ibadah di Jakarta, Sartono sebagai seorang marbot, melihat
saudaranya yang difabel ditolak masuk ke ruang ibadah. Upaya Sartono memperjuangkan
hak difabel untuk beribadah di tempat ibadah membuahkan hasil.

Sepulang dari Jakarta ke kampung halamannya, 2010, Sartono tergerak untuk


mengorganisir saudara-saudara warga difabel sampai terbentuk Kelompok Difabel Desa
(KDD) di 13 Desa di Kecamatan Mojogedang. Untuk mengefektifkan perjuagan warga
difabel, 13 KDD bersatu dalam Forum Difabel Mojogedang Bersatu (FDMB). Misi utama
FDMB adalah menguatkan perjuangan penegakan kesetaraan hak warga difabel. Selain itu,
FDMB juga menjadi forum diskusi, forum yang memfasilitasi peningkatan kapasitas
anggotanya.

Perlahan dan pasti setiap upaya yang dilakukan warga difabel baik melalui kelompok di
Desa maupun forum di Kecamatan membuahkan hasil. Pandangan warga Desa perlahan
berubah. Warga tidak lagi memandang kaum difabel sebagai liyan, melainkan sesama
manusia warga Desa yang memiliki hak yang sama. Pandangan warga yang disampaikan
dalam berbagai kesempatan berperan besar dalam memengaruhi kebijakan pemerintah
Desa.

Meskipun mengaku belum semua misi perjuangannya terwujud, sekurangnya Sartono saat
ini sudah bisa menyaksikan bagaimana saudara-saudaranya yang difabel didengarkan
suaranya oleh Desa, baik dalam kesempatan rembug warga, perbincangan informal
maupun dalam forum resmi Musyawarah Desa.

50
Model Pembelajaran Berbasis Pengalaman

Perjalanan perjuangan Sartono merupakan contoh model, bagaimana seorang difabel


lulusan Sekolah Dasar mampu menjadi kader difabel Desa yang menempa
kemampuannya dengan cara belajar dari pengalaman. Sartono belajar mandiri dari
proses perjuangan yang dialami. Dari pengalaman Sartono menyelenggarakan
pembelajaran bersama dengan kelompok difabel secara mandiri. Pengorganisasian
pembelajaran dilakukan Sartono bersama dengan kelompok difabel secara sistematis
dapat disusun dalam langkah-langkah berikut;

a. Mengidentifikasi dan mendata warga marginal dan/atau rentan;


b. Mengorganisir warga marginal dan/atau rentan lainnya untuk bergabung dan aktif
sebagai pengurus atau anggota kelompok marginal dan rentan;
c. Meningkatkan kesadaran kritis dan kemampuan warga marginal dan rentan
lainnya untuk mampu menyampaikan usulan kegiatan pembangunan Desa;
d. Meningkatkan partisipasi aktif dalam kelompok marginal dan rentan di dalam
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan Desa;
e. Melakukan kaderisasi untuk membentuk, mengembangkan dan mengorganisir
kader-kader Desa yang baru

51
2. Pengalaman Perempuan Mengubah Nagari1

Yudelmi lahir dan besar di tengah keluarga B.A. Tuanku Mudo, Ketua Pengadilan Agama
Kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat, yang akrab dipanggil Buya. Semasa kecil
Yudelmi sering menyaksikan banyak orang datang menemui ayahnya untuk mengadukan
masalah keluarga, mulai dari pertengkaran sampai pada masalah perceraian. Tidak jarang
Yudelmi mendengarkan pasangan muda usia yang datang, menyampaikan niatnya untuk
bercerai.

Empati pada persoalan perceraian keluarga menggerakkan Yudelmi untuk menuliskan


skripsi tentang “Peran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dalam Memperkecil Angka
Perceraian Di Kabupaten Padang Pariaman.” Sebagai langkah awal untuk membagikan
keprihatinanya pada persoalan perempuan dalam keluarga, Yudelmi mulai berorganisasi,
salah satunya di Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI).

Komitmennya yang kuat pada persoalan perempuan membuat Yudelmi sempat ditawari
untuk menjadi calon anggota legeslatif. Yudelmi menolak tawaran tersebut, dan lebih
memilih tetap aktif di berorganisasi. Selain aktif di organisasi nasional seperti AMPI dan
KNPI, Yudelmi juga aktif berorganisasi di tingkat Desa, sebagai kader di berbagai Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat Desa. Meskipun sudah menikah di 1997, dan dikarunia dua
anak, Yudelmi masih bisa memberikan perhatian pada isu perempuan.

Kehadiran Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M) di Koto Tinggi pada
tahun 2010 menjadi ruang terbuka yang menyediakan kesempatan bagi Yudelmi untuk
semakin intensif menguatkan keberpihakannya pada masalah perempuan. Upaya yang
dilakukan Yudelmi bersama LP2M untuk menegakkan hak perempuan melalui pendekatan
program peningkatan ekonomi keluarga membuahkan hasi nyata.

Tahun 2014, merupakan tahun akhir jabatan Wali Nagari. Untuk itu dipilihlah anggota
Badan Musyawarah (Bamus) yang baru. Nama Yudelmi muncul sebagai salah satu nama
calon anggota Bamus. Pemilihan berjalan alot karena, seperti biasanya, mekanisme
pemilihan dikendalikan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Namun kehendak kolektif warga
mampu mengubah kebiasaan. Yudelmi terplih sebagai satu-satunya perempuan anggota
Bamus di antara 9 anggota lain.

Sebagai anggota Bamus, Yudelmi mengemban amanah untuk memperjuangkan hak


perempuan dengan baik. Salah satunya diwujudkan dengan memberikan dukungan pada
LP2M untuk menyelenggarakan Sekolah Perempuan Akar Rumput sebagai program
pemberdayaan perempuan.

1Disarikan dari tulisan Yudelmi “Aktif Berorganisasi, Kepemimpinan Perempuan Mulai

Diakui”, bagian dari buku “Permpuan Bangkit Perempuan Bisa: Kumpulan Cerita”,
dterbitkan Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M), tahun 2020. 52
Banyak pihak yang meragukan dan bersikap pesimis menyambut penyelenggaran Sekolah
Perempuan Akar Rumput. Namun dengan pendekatan komunikasi yang baik, perlahan tapi
pasti para pihak pun berubah pandangan, terutama ketika melihat kesediaan Wali Nagari,
Karapatan Adat Nagari, anggota Bamus, dan tokoh-tokoh Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat bersedia menjadi nara sumber di Sekolah Perempuan. Pandangan orang
semakin terbuka ketika menyaksikan sendiri kemampuan para perempuan alumni Sekolah
Perempuan Akar Rumput. Tahun 2016 merupakan momentum yang pantas dicatat sebagai
awal pergerakan perempuan mengubah Nagari.

“Saya dan warga lainnya mengadvokasi agar tahun ini anggaran untuk kegiatan
pemberdayaan perempuan lebih meningkat. Kami semua terlibat dalam Musyawarah
Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Nagari Koto Tinggi yang dilakukan tanggal 25
Januari 2016. Mungkin dalam sejarahnya Musrenbang inilah yang paling banyak
menghadirkan peserta dari masyarakat, termasuk banyaknya kehadiran perempuan.”
Demikian disampaikan Yudelmi dalam tulisannya.

Ketekunan pergerakan perempuan Nagari Koto dalam menempuh jalan panjang perjuangan
sampailah pada pintu gerbang menuju perubahan yang lebih baik. Berkat ketekunan para
perempuan, ninik-mamak, dan kerja sama dengan berbagai pihak: tokoh masyarakat,
unsur KAN, LPM, Bundo Kanduang, termasuk juga LP2M akhirnya Nagari Koto Tinggi
telah melahirkan Peraturan Nagari (Perna) tentang Perlindungan Perempuan dan Anak.
Perna ini telah disahkan oleh Bamus pada tanggal 11 Desember 2017..

Perna tentang Perlindungan Peremuan dan Anak bukanlah tujuan akhir, melainkan
gerbang menuju tahap perubahan yang lebih berat. Meskipun demikian Yudelmi dan para
perempuan penggerak perubahan tak lelah mendampingi masyarakat untuk membangun
kesadaran baru para perempuan untuk mandiri menegakkan haknya yang setara sebagai
warga Nagari.

Pengalaman memberikan banyak pengetahuan, hanya bagi orang yang sedia


bertekun merefleksikan pengalaman sebagai proses pembelajaran.

Demikian perjalanan panjang Yudelmi, perempuan Nagari Kato, Kabupaten Padang


Pariaman, sebagai perempuan penggerak perubahan Nagari. Perjalanan perjuangan yang
berawal dari empati terhadap persoalan yang dihadapi perempuan dalam keluarga,
berkembang dan menguat menjadi komitmen keberpihakan pada kesetaraan hak
perempuan sebagai warga Nagari.

53
3. Desa Inklusif Bernama Balun2

Balun adalah nama sebuah Desa di Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa
Timur dengan jumlah penduduk yang tidak lebih dari 5 ribu jiwa. Nama Balun berasal dari
Mbah Alun, nama alias dari Raja Blambangan, Sultan Tawang Alun. Dari berbagai catatan
diketahui Balun dulunya, akhir abad 16, adalah sebuah Desa kuno yang bernama
Candipari. Di Desa terpencil itulah Raja Blambangan yang kemudian dikenal dengan nama
Mbah Alun tinggal dan menghabiskan sisa hidupnya sebagai seorang ulama yang
mendalami ajaran agama, mengajar mengaji, dan menyiarkan ajaran Islam. Mbah Alun
meninggal tahun 1654.

Sejak itu tidak ada catatan khusus tentang Desa Balun, selain menjadi bagian dari
dinamika perkembangan Kabupaten Lamongan. Meskipun demikian bisa dipastikan
masyarakat Desa Balun secara turun temurun menghidupi budaya dan mengembangkan
nilai-nilai ajaran Islam warisan Mbah Alun. Catatan sejarah Desa Balun baru dikenal
kembali sesudah peristiwa Gerakan 30 Septermber, 1965.

Benih toleransi tumbuh berkembang di masa awal sejarah tragedi kemanusiaan. Menyusul
tragedi 30 September, dilancarkan operasi pembersihan orang-orang yang diindikasi
berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia. Akibatnya tahun 1967 Desa Balun mengalami
kekosongan perangkat Desa. Ditunjuklah seorang bernama Batih, tokoh penyebaran agama
Kristen, untuk mengisi kekosongan pemerintahan Desa.
Kehadiran Batih sebagai kepala pemerintahan Desa membawa pengaruh juga pada
penyebaran agama Kristen di Desa Balun. Warga Desa Balun yang mayoritas beragam
Islam mulai berkenalan dengan pemeluk agama Kristen. Pada saat yang bersamaan, masuk
juga ke Desa Balun pemeluk agama Hindu yang berasal dari Desa Plosowayuh, Desa
tetangga Balun. Tahardono Sasmito adalah tokoh agama Hindu yang berpengaruh
menyebarkan agama Hindu di Balun.

Tidak ada gejolak sosial yang terjadi pada saat-saat awal perkembangan kedua agama di
Desa Balun. Warga Muslim, penduduk tertua Desa Balun menerima dengan hormat
kehadiran pemeluk kedua agama. Sikap menghormati perbedaan pilihan dan keberadaan
agama lain menjadi nilai kearifan yang dihidupi dan diwariskan turun temurun. Tidak ada
sekat dalam kehidupan bersama pemeluk ketiga agama; Islam, Kristen, dan Hindu. Bukan
hanya bangunan rumah yang berbaur, bahkan di beberapa keluarga hidup berbaur antar
pemeluk agama yang berbeda.

2Ditulisdari berbagai sumber untuk kepentingan


contoh inspiratif praktik baik Desa Inklusif

54
Upaya menghidupi nilai toleransi dalam kehidupan bersama tentu bukan perkara mudah,
terlebih di jaman perkembangan teknologi komunikasi yang melaju pesat menawarkan
berbagai ragam pilihan informasi. Demikian juga tidak mudah bagi para orang tua, tokoh
masyarakat, dan tokoh agama di Balun untuk menjaga keberlangsungan budaya toleransi.

"Konflik yang terjadi di desa ini hanya pada ranah media sosial, misalnya Facebook.
Beberapa kali terjadi hal sepeti itu, tetapi kami punya formulasi jitu untuk mengatasinya.
Setiap ada ketegangan yang terjadi di media sosial, biasanya antar remaja tentu saja kami
langsung memanggil orang-orang yang bersitegang untuk berdialog mengundang pemuka
agama dan orang tua dari masing-masing orang tersebut, dan alhamdulillah sampai saat
ini semuanya bisa terselesaikan dengan baik." Demikian penjelasan Kusyairi, Kepala Desa
Balun pada awak media.

Rasa hormat antar pemeluk agama yang berbeda mengejawantah dalam kebiasaan untuk
saling membantu pada setiap perayaan hari besar keagamaan. Kebiasaan saling membantu
itu menguat menjadi tradisi yang memberikan rasa aman dan nyaman setiap penduduk
dalam menyelenggarakan kehidupan bersama sebagai warga Desa. Kehidupan bersama
saling menghormat perbedaan yang merupakan nilai dasar inklusi sosial sudah menjadi
bagian dari kesadaran kolektif warga Desa Balun. Kesadaran kolektif warga Desa yang
inklusif itu mengerakkan semangat gotong royong warga Desa Balun dalam melaksanakan
setiap kebijakan pembangunan Desa. Tentulah sulit mengadopsi praktk baik inkusi sosial
yang terjadi di Desa Balun, namun bukan berarti tidak bisa.

55
Direktorat Jenderal Pembangunan Desa dan Perdesaan
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
2021

Anda mungkin juga menyukai