SEKOLAH LAPANG
6. Tim Penyusun
a. Koordinator : Naeni Amanulloh
b. Anggota :
1) Maizir Akhmadin
2) Rendra
3) Ibe Karyanto
4) Yosep Heriyanto
5) Yuli Setiawati
i
KATA PENGANTAR
Inklusi sosial pada dasarnya merupakan nilai kebaikan sosial yang tersirat dalam
mandat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Mandat UU Desa tentang
Desa sebagai “kesatuan masyarakat yang memiliki batas wilayah yang berkewenangan
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat”
menegaskan bahwa setiap warga Desa setara di hadapan hukum. Kesetaraan merupakan
nilai dasar hubungan sosial yang inklusif, yang terbuka untuk saling menghormati
perbedaan.
ii
TIM PENYUSUN i
ii
iii
iii
PENDAHULUAN
1. Konteks Desa Sebagai Kesatuan Masyarakat Inklusif
Dalam kerangka Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU
Desa), inklusi sosial merupakan perspektif untuk memahami mandat pengakuan
Desa sebagai “kesatuan agenda pengarusutamaan mandat tentang Desa sebagai
“…kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berkewenangan
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak
tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia” (Pasal 1)
Setiap orang (warga Desa) adalah sama kedudukannya dalam hukum (tata
aturan) dan pemerintahan. Oleh sebab itu, setiap warga Desa harus diperlakukan
atau memperoleh perlakukan sama dalam peyelenggaraan dan pelayanan
pemerintahan, pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa serta
kemasyarakatan Desa. Inilah sesungguhnya makna Desa inklusi. Tak seorangpun
boleh tertinggal (no-one left behind).
2
Setiap orang (warga Desa) adalah sama kedudukannya dalam hukum (tata
aturan) dan pemerintahan. Oleh sebab itu, setiap warga Desa harus diperlakukan
atau memperoleh perlakukan sama dalam peyelenggaraan dan pelayanan
pemerintahan, pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa serta
kemasyarakatan Desa. Inilah sesungguhnya makna Desa inklusi. Tak seorangpun
boleh tertinggal (no-one left behind).
Setiap orang yang berada dalam kesatuan wilayah adalah bagian dari
kesatuan masyarakat Desa yang merupakan subyek yang memiliki hak dan
kewenangan yang sama dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat.
3
Oleh karena itu yang harus didudukan pertama-tama adalah kesediaan
semua pihak (elemen penyelenggara pemerintahan: Kepala Desa-perangkat dan
BPD serta masyarakat Desa) sebagai penopang Desa secara sosial politik harus
bersedia secara sukarela terlibat dalam urusan hidup bersama, yaitu gotong
royong. Gotong royong sebagai kesediaan seluruh elemen Desa untuk terlibat
dalam urusan hidup bersama ini dilakukan dengan melakukan
kesepakatan/mufakat atau konsensus antara warga Desa dengan pemerintahan
representatif yang dibentuknya (Kepala Desa melalui pemilihan langsung dan BPD
melalui pemilihan berdasar kewilayahan di Desa). Jadi warga Desa melalui
pemilihan tersebut “sepakat” melepaskan sebagian hak atau kekuasaannya
“diserahkan” kepada “untuk diurus” Kepala Desa dan BPD. Pemerintan dengan
demikian memiliki legitimasi mandat memimpin dan/atau mewakili kepentingan
warga yang membentuk pemerintahan. Proses pelepasan kedaulatan (atas hak-
kekuasaan tertentu) ini adalah bentuk kontrak sosial Desa.
Dalam perspektif itu, Kepala Desa dan perangkat Desa juga BPD merupakan
lembaga yang menjadi bagian tak terpisahkan dari cara masyarakat dalam
mengatur dan mengurus Desa. Masyarakat dan Pemerintah Desa bukan
merupakan dua hal yang terpisahkan, melainkan satu kesatuan yang disebut
masyarakat berpemerintahan. Pemimpin pemerintahan Desa sekaligus pemimpin
masyarakat, dalam hal ini Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain,
adalah anggota masyarakat Desa yang dipilih sebagai pelaksana mandat kehendak
kolektif masyarakat Desa. Dalam konteks itulah pentingnya kualitas partisipasi
masyarakat dalam menentukan pilihan siapa anggota masyarakat Desa yang
memiliki integritas kepemimpinan dan pantas dipilih sebagai Kepala Desa.
4
Kepala Desa terpilih selanjutnya tidak bisa dibiarkan sendiri dalam
menjalankan tugas, tanggungjawab, dan kewenangannya. Masyarakat Desa juga
bertanggungjawab untuk terus berpartisipasi mengawal pelaksanaan
pemerintahan Desa dan mekanisme Pembangunan Desa. Salah satu peran
masyarakat Desa adalah memastikan kebijakan Kepala Desa yang inklusif.
5
Berikutnya yang harus dikawal masyarakat Desa melalui kanal partisipasi
adalah kebijakan Kepala Desa yang berpihak pada kelompok masyarakat yang
rentan dan terpinggirkan. Sudah semestinya warga Desa yang peduli mengenali
secara baik keberadaan tetangga atau sesama warga Desa yang selama ini
terabaikan atau tersingkirkan dari mekanisme Pembangunan Desa sehingga tidak
pernah ikut merasakan manfaat hasil Pembangunan Desa. Karena itu masyarakat
dapat berpartisipasi dalam pemetaan kondisi Desa melalui pendataan dan
memastikan RPMJ Desa, RKP Desa, maupun APB Desa benar-benar berpihak pada
kelompok masyarakat yang rentan dan terpinggirkan. Pengawalan masyarakat
dilakukan dengan pertimbangan bahwa: setiap tindakan para
pemimpin/pemerintahan Desa dalam mengelola urusan publik dipastikan bersifat
inklusif. Demikian juga, tidak semua warga Desa memiliki pengetahuan dan
kesadaran/peduli dan secara sukarela meruangkan kesadaran kolektif tentang
inklusifitas dalam hidup bersama.
6
Undang-Undang Desa memiliki perspektif HAM sangat kuat dan jelas. Pasal
68 ayat (1) menyatakan bahwa: Masyarakat Desa berhak:
Apabila inklusi sosial Desa didekati dan dipahami dengan perspektif HAM
sebagaimana amanat UU Desa tersebut, maka kebijakan SDGs Desa menjadi jelas
konteksnya. SDGs Desa hanyalah alat untuk memastikan setiap warga Desa
memperoleh pelayanan dari para penyelenggara urusan publik yaitu pemerintahan
Desa secara berkeadilan.
7
Oleh sebab itu, pernyataan bahwa “arah kebijakan Pembangunan SDGs
(Sustainable Development Goals) Desa sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Transmigrasi (Kemen Desa,
PDT, dan Transmigrasi) Nomor 21 Tahun 2020 mendapatkan konteksnya yang
konkret” ini harus didudukan pada perspektif HAM dan perspektif “res publica”
sebagaimana dimaksud. Pada hakikatnya, secara “adanya” res-publica itu bersifat
tunggal dan “tujuan-tujuan” SDGs Desa itu membantu atau memudahkan
pemerintahan Desa untuk mengurus urusan publik dari berbagai dimensi
kehidupan ber-Desa.
8
Namun demikian upaya penerapan inklusi sosial di Desa hendaknya
diposisikan sebagai proses “pengungkapan” historisitas Desa. Historisitas yang
bermakna cara hidup dalam praktik keseharian yang menjadi kebiasaan dari
waktu ke waktu dan menyejarah dalam ruang Desa. Nilai-nilai inklusi sosial
sejatinya sudah terkandung dalam cara berinteraksi warga Desa. Masalahnya
hanya kuat dan lemahnya atau derajat intensionalitas tindakan yang
mengindikasikan terjadinya inklusi sosial itu. Gotong royong “mbangun Desa”
menjadi ciri inklusi masyarakat dalam sejarah perdesaan di Jawa. “Manunggal
sakato” di Minang dan “Gerbang Seribu” di sumatera utara, dan banyak lagi di
pelosok nusantara menjadi moto/semboyan ikonik kerja kolektif warga masyarakat
desa dalam Pembangunan Desa yang sarat dengan nilai kesetaraan, kesederajatan,
duduk sama rendah berdiri sama tinggi dalam kerekatan/kohesifitas sosial warga
Desa.
9
Berdasarkan Peraturan Presiden tersebut, Kementerian Desa, PDT, dan
Transmigrasi menerbitkan Permen Desa PDTT Nomor 21 Tahun 2020 tentang
Pedoman Umum Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Dalam
pedoman tersebut diatur tentang Kebijakan Pembangunan SDGs Desa sebagai
arah Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Arah kebijakan
tersebut sekaligus merupakan upaya mengimplementasikan Peraturan Presiden
Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (SDGs) ke dalam konteks lokal Desa.
Semboyan SDGs Desa adalah “Desa untuk Semua Warga” atau “Desa
Suarga”. Semboyan tersebut mencerminkan nilai inklusi, yaitu nilai pengakuan
dan penghormatan kesetaraan hak setiap warga dan ketersesdiaan ruang bagi
setiap warga Desa untuk berpartisipasi aktif. Keterlibatan aktif masyarakat
merupakan prasyarat praktik pelaksanaan demokratisasi Desa. Dalam hal ini
pengertian demokratisasi Desa tidak hanya terbatas pada tersedianya lembaga
dan prosedur demokrasi, melainkan lebih pada peningkatan kesadaran warga Desa
untuk terlibat aktif dalam tata kelola pemerintahan Desa dan tata kelola
Pembangunan Desa. Dengan kata lain tingkat kesadaran kolektif warga Desa
menentukan kualitas partisipasi warga Desa sebagai modal sosial sekaligus.
Dengan demikian penyelenggaraan Desa dipahami sebagai proses konstruksi sosial
atau strukturisasi sosial yang unsurnya adalah adanya aturan hukum dan nilai-
nilai sosial moral (struktur) serta para pihak (pemerintahan Desa dan masyarakat)
yang melakukan tindakan (subjek pelaku) dari aturan hukum Desa sebagai
konsensus kolektif.
10
Sejauh ini belum banyak masyarakat Desa yang paham dengan baik tentang
posisi penting dan menentukannya peran partisipasi masyarakat Desa dalam
penyelenggaraan Desa. Di sisi lain kebijakan pemerintahan Desa banyak yang
belum cukup kuat menggerakkan masyarakat Desa untuk berpartisipasi.
Karenanya, pengembangan kapasitas para pihak yang terlibat dalam
mengkonstruksi tatanan sosial yaitu Desa Inklusif dilakukan dengan cara
pembelajaran melalui praktik langsung. Para pihak ini belajar mengevaluasi
penyelenggaraan kehidupan dan penghidupan di Desanya, sekaligus memperdalam
serta memperbaikinya.
11
Peningkatan kualitas partisipasi masyarakat Desa dalam kerangka
penguatan Desa inklusif merupakan bagian dari tujuan penyelenggaraan Program
Penguatan Pemerintahan Dan Pembangunan Desa (P3PD). Untuk itulah
Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi sebagai salah satu kementerian
pelaksana program P3PD menawarkan adaptasi sekolah Lapang Desa Inklusif
sebagai salah satu opsi yang dapat dipilih oleh Desa.
12
Dukungan Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi, dalam hal ini Unit Kerja
Direktorat Pengembangan Sosial Budaya dan Lingkungan Desa dan Perdesaan,
Direktorat Jenderal Pembangunan Desa dan Perdesaan dalam memfasilitasi Desa
dilakukan dengan menerbitkan buku saku Sekolah Lapang Desa Inklusif. Buku ini
merupakan media pembelajaran yang dapat digunakan sebagai referensi bagi
setiap pihak yang berkepentingan untuk menguatkan penyelenggaraan Desa
Inklusif. Meskipun setiap pihak dapat membaca buku ini, namun secara khusus
target pembaca buku ini adalah Kepala Desa, Perangkat Desa, kelompok Kader
Pemberdayaan Masyarakat Desa, dan kelompok warga Desa.
Isi buku berikut ini terdiri dari 4 bagian yang disusun dalam kerangka pikir yang
berurutan. Diharapkan pembaca membaca isi buku secara berurutan sehingga
dapat memahami lebih utuh konteks urgensi adaptasi Sekolah Lapang. Meskipun
demikian sebagai media pengkayaan acuan, dimungkinkan bagi pembaca untuk
mulai membaca dari bagian yang dianggapnya lebih relevan dengan
kebutuhannya.
13
Bagian pertama adalah Pendahuluan yang berisi penjelasan tentang Sekolah
Lapang dalam konteks mandat Desa Inklusi. Konteks utama Desa Inklusi adalah
mandat UU Desa tentang Desa sebagai kesatuan masyarakat sebagai subyek yang
berkewenangan. Mandat tersebut ditegaskan dalam arah kebijakan Pembangunan
SDGs Desa yang diatur dalam Peraturan Menteri Desa Nomor 21 Tahun 2020
tentang Pedoman Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Pada
sub berikut di bagian Pendahuluan berisi tentang urgensi Adaptasi Sekolah
Lapang.
Bagian kedua berisi dua sub bagian. Pada sub bagian pertama dijelaskan secara
ringkas konsep Sekolah Lapangan yang diinisiasi dan dikembangkan oleh
Departemen Pertanian. Sub bagian berikutnya menjelaskan konsep adaptasi yang
dilakukan Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi dalam rangka kepentingan
mendorong penguatan Desa inklusif. Bagian ketiga adalah Tata Kelola Sekolah
Lapang Desa Inklusif yang diadaptasi dari tata kelola penyelenggaraan Sekolah
Lapangan. Adaptasi tata kelola Sekolah Lapang dilakukan disesuaikan dengan
kebutuhan spesifik terkait pembelajaran Desa inklusi. Bagian ketiga terdiri tiga
sub bagian.
14
BAGIAN 1
KERANGKA UMUM
SEKOLAH LAPANG
DESA INKLUSIF
1. Kerangka Umum Desa Inklusif
Inklusi merupakan istilah yang berlawanan dengan eksklusi. Eksklusi sosial
adalah perspektif atau kohesi sosial yang buruk. Seseorang yang tereksklusi
adalah seseorang yang dikeluarkan atau diabaikan hak serta kewenangannya
untuk masuk dan terlibat dalam suatu kelompok. Seseorang yang tereksklusi
dapat digambarkan sebagai seseorang yang tidak didengar “suara”nya, terkucil
dari kelompok, dan dibatasi aksesnya terhadap sumber daya kelompok.
16
Desa Inklusif adalah Desa sebagai ruang kehidupan dan penghidupan bagi
semua warga Desa yang diatur dan diurus secara terbuka, ramah dan meniadakan
hambatan untuk bisa berpartisipasi secara setara, saling menghargai serta
merangkul setiap perbedaan dalam pembangunan.
17
Meskipun Desa sebagai pemerintahan representatif menganut asas legalitas
dimana segala tindakan pemerintahan Desa harus didasarkan atas peraturan
perundang-undangan yang sah dan tertulis (peraturan Desa dan keputusan Desa),
namun nilai inklusi sosial Desa membuka peluang bagi setiap warga Desa untuk
mendapatkan kesempatan berperan/terlibat aktif sesuai dengan kemampuannya
masing-masing dalam Pembangunan Desa yang berkeadilan.
Oleh karena itu dalam Desa Inklusif yang harus didudukan pertama-tama
adalah kesediaan semua pihak (elemen penyelenggara pemerintahan: Kepala Desa-
perangkat dan BPD serta masyarakat Desa) untuk secara sukarela terlibat dalam
gotong royong mengatur urusan hidup bersama. Gotong royong merupakan azas
bangunan struktur sosial Desa yang dilakukan dengan menciptakan
kesepakatan/mufakat atau konsensus antara warga Desa dengan pemerintahan
representatif yang dibentuknya.
Untuk itu dibutuhkan kaderisasi sebagai mekanisme penguatan kader yang
mampu meningkatan kesadaran warga dan mengorganisasikan kelompok warga
dalam menciptakan kemufakatan untuk membangun struktur sosial yang inklusif
dan Pembangunan Desa yang berkeadilan. Upaya tersebut dapat ditempuh melalui
3 jalan, yaitu jalan demokrasi, jalan pembangunan, dan jalan kebudayaan.
18
1. Jalan Demokrasi,
yaitu upaya perluasan ruang-ruang partisipasi warga Desa khususnya
kelompok marginal dan rentan agar mampu secara terus-menerus
berpartisipasi secara aktif di dalam penyelenggaraan Desa. Kualitas
partisipasi kelompok marginal dan rentan yang ada di Desa sangat
ditentukan oleh adanya tata kelola pemerintahan yang terbuka bagi peran
serta warga Desa. Pemerintahan Desa yang terbuka bagi partisipasi
masyarakat membuka peluang bagi kelompok marginal dan rentan
menjangkau pendayagunaan sumber daya pembangunan yang ada di Desa
untuk memenuhi hak dan kepentingannya. Untuk itu, penyelenggaraan Desa
Inklusif harus ditopang oleh upaya pendalaman jalan demokrasi.
2. Jalan Pembangunan,
yaitu upaya yang dimaknai sebagai perluasan ruang-ruang
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan Desa yang
terbuka bagi partisipasi setap warga Desa termasuk kelompok marginal dan
kelompok rentan. Untuk itu, penyelenggaraan Desa Inklusif harus ditopang
oleh upaya pendalaman pembangunan partisipatif.
3. Jalan Kebudayaan,
yaitu upaya yang dimaknai sebagai penguatan nilai-nilai inklusi sosial
sebagai pedoman perilaku bagi warga Desa agar mampu bersikap saling
menghargai dan bertoleransi di tengah perbedaan. Nilai-nilai inklusi sosial
seperti: keterbukaan, keramahan, kesetaraan, toleransi, sikap saling
menghargai dan kesukarelaan untuk merangkul setiap perbedaan
dihadirkan secara terus menerus dalam kehidupan sehari-hari warga Desa
sehingga menjadi adat dan budaya Desa. Jalan Kebudayaan ini akan
menjamin keberlanjutan Desa Inklusif. Sebab, nilai-nilai inklusi sosial
menyatu dengan cipta, rasa dan karsa seluruh warga Desa. Untuk itu,
penyelenggaraan Desa Inklusif harus ditopang oleh upaya pendalaman
kemajuan kebudayaan di Desa.
19
Penguatan Desa Inklusif melalui tiga jalan tersebut sekaligus merupakan
upaya pencapaian tujuan pencapaian SDGs Desa yang ditetapkan sebagai arah
kebijakan Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Dalam
kerangka penegakan nilai inklusi sosial, kebijakan pembangunan SDGs Desa
mendudukkan program atau kegiatan Pembangunan Desa sebagai tindakan
bersama warga Desa dalam menghadapi kenyataan hidup keseharian. Kenyataan
hidup bersama warga Desa adalah persoalan kebutuhan yang dihadapi indvidu
yang berkelindan dengan beragam masalah, tantangan, dan potensi Desa sebaga
kesatuan masyarakat dalam menyelenggarakan tata kelola pembangunan yang
berkeadilan.
20
Pada dasarnya data obyektif kondisi Desa hasil pendataan partisipatif itulah
yang menjadi dasar untuk menentukan tindakan penyelesaian masalah hidup
bersama Desa dalam bentuk program atau kegiatan pembangunan, meskipun
dalam mekanisme pembangunan SDGs Desa data partisipatif tersebut kemudian
diinput ke dalam Sistem Informasi Desa. Sistem itu yang kemudian akan membaca
data dan memberikan output dalam bentuk indikator kebutuhan prioritas program
pembangunan.
21
2. Kerangka Umum Sekolah Lapang
Seperti sudah disampakan sebelumnya, Sekolah Lapang merupakan pilihan
model pembelajaran untuk meningkatkan kapasitas masyarakat Desa dalam
mendorong dan menguatkan penyelenggaraan Desa Inklusif. Sekolah Lapang
diadopsi dari kosepsi Sekolah Lapangan. Istilah Sekolah Lapangan pertama kali
digunakan dalam Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dan
kemudian dikembangkan menjadi Sekolah Lapangan PHT oleh Departemen
Pertanian pada tahun 1989 yang mendapat pelatihan dari Tim Bantuan Teknis
Food and Agriculture Organization (FAO).
Di sekolah ini mereka belajar selama satu musim tanam atau kurang lebih
12-14 minggu, sesuai dengan fase perkembangan tanaman yang mereka sedang
tanam. Mereka mengamati seluruh rangkaian proses satu siklus tanam tersebut,
mulai dari penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, kondisi tanah, hama yang
menyerang dan sampai pada masa panen. Bahkan di sela-selanya ada semacam
uji coba berdasarkan persoalan khusus yang mereka hadapi. Ciri utama sekolah
lapangan adalah peran aktif peserta sekolah (petani) sebagai pelaku, peneliti,
pemandu, dan manajer lahan yang ahli.
22
Seluruh peserta Sekolah Lapangan berinteraksi langsung dengan realitas
yang mereka hadapi sehari-hari, menemukenali persoalan dan tantangan yang
mereka temukan dan mengambil pembelajaran atau bahkan teori/pengetahuan
baru dari proses penemuan tersebut.
23
Sebagai gambaran, dalam kasus Wereng Coklat misalnya, PHT dilakukan
dengan menggunakan pestisida yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan dan
dipromosikan oleh penyuluh pertanian. Tetapi yang terjadi malah penggunaan
pestisida semakin mengembangbiakkan hama Wereng Coklat. Hal itu bisa dicegah
oleh petani sebelumnya dengan pemahaman mereka tentang interaksi ekologis dan
peranan musuh alami dan fungsi tanaman serta waktu menanam yang tepat.
Pada saat ini petani bisa membuktikan dirinya bahwa mereka tidak anti
terhadap berbagai teknologi yang dilahirkan dari proses penelitian ilmiah. Mereka
bisa mengadaptasi bahkan mengoreksinya dengan pengetahuan yang sudah
dimiliki jauh sebelum revolusi hijau terjadi dan dikembangkan sesuai dengan
kondisi saat ini. Tentu tantangan utamanya adalah mengembalikan posisi petani
sebagai mitra yang tangguh dan mereka memiliki pengalaman dan keterampilan
dalam mengelola sumber daya yang mereka miliki.
24
Pola pendidikan sekolah lapangan tidak sekedar learning by doing (belajar
dari pengalaman), akan tetapi discovery learning (penemuan ilmu) yang dia peroleh
dan terapkan dari pengalaman mengolah lahan pertaniannya. Dengan proses
tersebut, maka Sekolah Lapangan mampu menyiapkan petani yang tangguh
karena melewati berbagai dinamika dan siap dengan tantangan masa depan.
Dengan tiga hal utama di atas, warga didik akan menjadi pribadi yang
merdeka, memiliki pengetahuan dan keterampilan bertindak sehingga bisa
memutuskan tindakan-tindakan menyangkut penghidupan mereka sebagai petani.
25
B.Kerangka Adaptasi Sekolah Lapang
Adaptasi, dalam pengertian umum, adalah mekanisme organisme untuk
bertahan hidup dengan cara mengatasi tekanan lingkungan sekitar. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, arti adaptasi adalah penyesuaian terhadap lingkungan,
pekerjaan, dan pelajaran. Adaptasi Sekolah Lapangan menjadi Sekolah Lapang
secara konkret dilakukan dengan melakukan modifikasi pada beberapa unsur
yang dibutuhkan. Adatasi Sekolah Lapang sejatinya dapat dilakukan untuk tujuan
pembelajaran banyak aspek terkait dengan penyelenggaraan Desa.
26
Sebagai contoh, peserta Sekolah Lapangan PHT secara umum sama dengan
Sekolah Lapang Desa Inklusif. Di Sekolah lapangan PHT peserta bisa siapa saja
yang berkomitmen pada gerakan PHT. Demikian juga di Sekolah Lapang Desa
Inklusif, peserta bisa siapa saja, tetapi yang berkomitmen pada pembentukan dan
penguatan Desa Inklusif. Peserta Sekolah Lapang terbuka bagi warga Desa yang
berkomitmen untuk menjadi kader penggerak perubahan Desa menuju Desa
Inklusif. Dalam Panduan Fasilitasi Desa Inklusi dsebutkan bahwa “Kader Desa
adalah pemimpin Desa dan/atau warga Desa yang memiliki kepedulian dan
keberpihakan serta dukungan dan keterlibatan diri secara langsung untuk menjadi
motor penggerak penyelenggaraan Desa. Kader Desa ini ditumbuhkan dan
dikembangkan dengan cara membentuk, mendidik dan melatih kepala Desa,
perangkat Desa, anggota BPD dan warga Desa untuk secara sukarela menjadi
motor penggerak penyelenggaraan Desa Inklusif. Kader Desa tumbuh dan
berkembang dari sumber daya manusia yang ada di Desa atau disebut kader
organik Desa.”
27
Paradigma Sekolah Lapang Desa Inklusif
28
Paradigma tersebut menuntut suatu perubahan cara pandang tentang
pemberdayaan. Seperti pada umumnya pemberdayaan dipandang sebagai
tindakan pihak lain yang memberdayakan masyarakat melalui bimbingan teknis
atau workshop di ruangan. Dalam Sekolah Lapang pemberdayaan adalah tindakan
masyarakat memberdayakan dirinya sendiri melalui proses pembelajaran yang
diperoleh dari pengalaman keterlibatan.
Unsur penguatan inklusi sosial Desa yang utama adalah masalah cara
pandang. Pengetahuan dan keterampilan di bidang inklusi sosial baru akan efektif
apabila dimiliki oleh seorang yang memiliki kesadaran sosial dalam wujud rasa
empati. Seperti halnya dengan penguatan karakter, demikian halnya dengan
penguatan empati pada persoalan inklusi sosial hanya mungkin dicapai melalui
pengalaman nyata berinteraksi dengan kelompok masyarakat yang
termarginalisasi. Pengalaman keterlibatan langsung dengan realitas merupakan
proses interaksi, baik dengan lingkungan alam maupun, terutama, lingkungan
sosial yang dapat menggugah kesadaran peserta terhadap fenomena kehidupan
yang dijumpai.
29
Sekolah Lapang Desa Inklusif mengadopsi konsep “sekolah tanpa dinding”
yang diselenggarakan dalam periode waktu tertentu. Ruang eksplorasi
penyelenggaraan Sekolah Lapang adalah Desa Inklusif dan Desa asal peserta. Desa
Inklusif menjadi ruang bagi peserta untuk berproses dengan sumber pengetahuan
melalui kegiatan pengamatan fenomena kehidupan (sosial, budaya, ekonomi,
politik) masyarakat Desa, mencatat data, dan melakukan kajian atas setiap data
temuan yang terkait dengan praktik penyelenggaraan Desa inklusif. Sedangkan
Desa asal peserta merupakan bagian dari ruang Sekolah Lapang, tempat dimana
peserta menguji implementasi hasil pengatahuannya ke dalam praktik kehidupan
besama di Desanya. Di ruang Desa Inklusif peserta mengkaji fenomena praktik
penyelenggaraan Desa Inklusif, di ruang Desa asal peserta mengkaji upaya uji
coba penerapan teori pengetahuan dan keterampilan hasil temuannya.
Ciri-ciri nyata Sekolah Lapang Desa Inkusif dapat dikenali dari beberapa hal
berikut ini:
30
3. Analisis dan Pengambilan Keputusan. Analisis atau kajian merupakan
kegiatan utama peserta Sekolah Lapang. Analisis merupakan metode yang
digunakan untuk mendapatkan suatu pengetahuan berdasarkan temuan
data. Analisis juga digunakan sebagai metode untuk menentukan
pengambilan keputusan. Karena itu pengenalan metode analisis dan
peningkatan kemampuan analisis merupakan materi dasar yang harus
dipelajari oleh setiap peserta. Analisis sosial merupakan salah satu metode
yang wajib dipelajari oleh peserta.
31
6. Arti Partisipasi dalam Sekolah Lapang. Kerekatan (cohesion) antar semua
pihak yang terlibat dalam Sekolah Lapang merupakan hal utama yang
menentukan efektifitas dan kedalaman cara belajar kelompok. Kerekatan
sosal mensyaratkan adanya partisipasi aktif dari setiap peserta. Partisipasi
diterapkan untuk mencapai tiga tujuan sesuai dengan jenjang partisipasi,
yaitu:
Tata kelola Sekolah Lapang yang baik adalah sistem penyelenggaraan yang
didasarkan pada visi dan paradigma yang telah ditetapkan, yaitu penegakan dan
penghormatan kesetaraan hak warga Desa melalui pembentukan dan
pengembangan Desa Inklusif. Visi tersebut diwujudkan melalui praksis pendidikan
Sekolah Lapang yang diselenggarakan dengan paradigma pemberdayaan
masyarakat Desa berbasis pengalaman. Azas efektifitas dimaksudkan untuk
memastikan tata kelola Sekolah Lapang dapat benar-benar membantu peserta
untuk dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.
34
Dengan berpijak pada prinsip hormat pada kemanusiaan, pembelajaran di
Sekolah Lapang dimulai dengan membiasakan peserta untuk bisa saling
menghormati kehadiran peserta lain. Membiasakan bertindak atas prinsip hormat
pada kemanusiaan merupakan bagian dari cara bagi peserta Sekolah Lapang
mengembangkan kedewasaan emosinya. Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara
kedewasaan emosional adalah bagian dari kecakapan budi pekerti peserta sebagai
manusia. Budi pekerti adalah konsepsi Ki Hajar Dewantara tentang kesatuan budi
dan pekerti yang merupakan potensi kodratiah manusia pembelajar. Budi adalah
kemampuan akal dan rasa atau kemampuan otak dan emosi. Sedangkan pekerti
adalah kekuatan kehendak mewujudkan apa yang dirasa dan dipikirkan. Wujud
nyata dari kekuatan pekerti adalah satunya karya, sikap, dan tindakan.
35
Sekolah Lapang dengan demikian menjadi organisme, bagian dari ekosistem
yang menggerakkan peserta untuk dapat menghargai potensi kemanusiaannya
sendiri, sekaligus meningkatkan kemampuannya untuk memanusiawikan
lingkungannya, kelompoknya atau Desanya. Dengan arah tersebut maka
kemampuan yang dikembangkan peserta Sekolah Lapang adalah kemampuan di
tiga ranah pribadinya;
36
3. Ranah Pengetahuan. Pengetahuan peserta Sekolah Lapang utamanya
diperoleh dari pengalaman. Dengan pembelajaran berbasis proyek, maka
peluang bagi peserta Sekolah Lapang untuk mendapatkan berbagai
pengalaman terbuka luas. Namun pengalaman tersebut baru akan
memberikan pengetahuan kalau peserta memiliki kemauan kuat untuk
melakukan refleksi atau mengkaji setiap fenomena yang dijumpai dalam
setiap pengalaman.
37
Bidang atau materi pembelajaran yang ditetapkan dalam kurikulum Sekolah
Lapang bisa sangat bergantung pada tujuan peserta. Demikian juga dalam hal
Sekolah Lapang Desa Inklusif, bidang pembelajaran dalam kurikulum pada
dasarnya bergantung pada tujuan yang hendak dicapai. Karena yang hendak
dicapai dalam pembelajaran Sekolah Lapang adalah peningkatan kemampuan
peserta dalam mengorganisasikan masyarakat Desa untuk menguatkan inkusi
sosial Desa, maka ruang lingkup pembelajarannya mencakup keseluruhan aspek
penyelenggaraan Desa Inklusif.
Pengetahuan tentang esensi dan nilai inklusi sosial Desa merupakan materi
pelajaran utama yang menjadi dasar kajian data hasil pengamatan peserta
terhadap penyelenggaraan Desa. Materi pelajaran lain yang termasuk dalam
kategori pelajaran utama dalam kurikulum Sekolah Lapang adalah analisa sosial.
Analisa sosial adalah kajian untuk memperoleh gambaran komprehensif, kritis
tentang relasi beragam aspek yang menentukan penyelenggaraan Desa. Beberapa
metode atau alat untuk kajian yang dapat dikembangkan dalam kurikulum
Sekolah Lapang diantaranya adalah diagram ven, kalender musim, pohon masalah,
dan peta Desa.
38
Berikut bidang-bidang yang dapat dipertimbangkan sebagai materi
pembelajaran utama dalam kurikulum Sekolah Lapang Desa Inklusif:
39
Diskusi kelompok merupakan saat peserta menguji hasil kajiannya atas
pengalaman praktik. Pada kesempatan diskusi kelompok peserta saling berbagi
data dan mendiskusikan pengetahuan hasil temuannya untuk mendapatkan
klarifikasi, afirmasi, validasi atau mendapatkan kritik konstruktif. Diskusi
kelompok sekaligus merupakan dinamka pembelajaran yang dibangun untuk
menguatkan daya rekat antar peserta. Dari diskusi kelompok, setiap peserta
merevisi atau merestrukturisasi kembali temuan pengetahuannya berdasarkan
gagasan yang diterma dari peserta lain.
40
4. Tahap Persiapan Sekolah Lapangan
1. Perencanaan
41
2. Koordinasi Dengan Pemerintah Desa
42
4. Koordinasi Dan Sosialisasi Dengan Pihak Yang Dilibatkan
43
Satu periode proses dialektik pembelajaran di Sekolah Lapang berlangsung
selama sekitar 6 bulan yang dapat disesuaikan dengan kalender siklus
perencanaan Pembangunan Desa. Satu periode dibagi ke dalam 3 fase. Setiap fase
memiliki topik materi pokok yang menjadi fokus pembelajaran. Lama waktu setiap
fase ditentukan berdasarkan bobot materi pokok pembelajaran. Meskipun
ditentukan, karena metode pembelajaran didasarkan pada kajian pengalaman,
maka lama waktu setiap fase pembelajaran bisa fleksibel menyesuaikan
kebutuhan.
Sebagai contoh, satu periode pembelajaran dimulai di bulan April, dua bulan
sebelum memasuki siklus perencanaan Pembangunan Desa yang dumulai bulan
Juni. Lokus pembelajaran adalah Desa asal peserta. Sekurangnya dua materi
pokok dalam fase pertama pembeajaran, yaitu materi ideologis terkait mandat
penguatan masyarakat Desa sebagai subyek pembangunan dan materi analisas
sosial tentang keadaan Desa peserta terkait dengan data kondisi obyektif perhatian
Desa terhadap kelompok-kelompok masyarakat. Nara sumber utama untuk
pembelajaran fase pertama adalah masyarakat Desa asal peserta, utamanya
adalah kelompok masyarakat marginal dan rentan.
44
Pembelajaran kedua materi tersebut ditempatkan pada awal periode
pembelajaran di bulan April dengan tujuan supaya hasil peserta Sekolah Lapang
dapat menguji pengetahuannya melalui praktik fasilitasi rembug warga.
Selanjutnya peserta Sekolah Lapang dapat mengamati respon perubahan sikap
warga dalam setiap kesempatan perbincangan warga baik di ruang-ruang terbuka
maupun di forum resmi Musyawarah Desa. Di setiap kesempatan itu, peserta
kemudian mencatat apakah kelompok masyarakat yang difasilitasi sudah berani
menyuarakan isu tentang keadaan obyektif Desa. Catatan yang berisi temuan
hasil pengamatan menjadi bahan bagi peserta untuk melakukan kajian lebih
mendalam.
Fase kedua diselenggarakan selama dua bulan sebelum penetapan RKP Desa
di bulan September. Isu yang menjadi materi pembelajaran pada fase kedua
adalah isu inklusi sosial. Isu inklusi sosial dapat dibedakan menjadi dua materi,
yaitu materi tentang pengertian pokok inkusi sosial dan materi tentang
pembentukan Desa Inklusif. Lokus pembelajaran fase dua adalah Desa Inklusi dan
Desa asal peserta. Pengamatan dan kajian diselenggarakan di Desa Inklusif. Nara
sumber utama untuk pembelajaran pada fase kedua adalah Kepala Desa dan
anggota BPD. Lokus uji praktik hasil kajian dilakukan di Desa asal peserta.
45
BAGIAN 3
PENGALAMAN
PRAKTIK INKLUSI
SOSIAL DESA
Bagian ini berisi contoh praktik baik Desa Inklusif yang dibagi menjadi dua
sub bagian berdasarkan asal-usul terselenggaranya inklusi sosial Desa. Kedua sub
bagian dimaksudkan dapat menjadi referensi bagi setiap pihak yang berniat
menjadi kader penggerak pembentukan dan pengembangan Desa Inklusif.
Sub pertama yang diberi judul Nilai Inklusi Dalam Kearifan Lokal, berisi
penjelasn ringkas tentang nilai inklusi yang yang sudah hidup dan dihidupi turun
temurun dalam kearifan lokal Desa. Beberapa contoh nilai inklusi dalam kearifan
lokal yang masih diwariskan secara turun temurun. Sub kedua berjudul Praktik
Pembentukan Desa Inklusif, berisi narasi praktik baik Desa Inklusif yang dibentuk
dan dikembangkan melalu pendekatan programatik atau pendekatan normatif.
Faktor lain, umumnya tatanan sosial dan politik dalam masyarakat Desa
tradisional diatur atas dasar jalur kekerabatan. Pengukuran keabsahan pemimpin
dari trah, keturunan, atau genealogi tokoh penting, misalnya, dengan sendirinya
merupakan gejala yang berlawanan dengan inklusi, yaitu eksklusi.
47
Meskipun demikian ada contoh yang menarik. Sebuah monografi tahun
1984 mengenai masyarakat Desa di Indonesia yang disusun oleh sejumlah
antropolog menginformasikan gambaran pola pemerintahan dan kepemimpinan
Desa di Timor Barat. Di Soba, nama Desa itu, pejabat pemerintahan Desa seperti
fettor ambini, tobe, hulubalang, pegawai pengumpul upeti, serta pemuka upacara
agama didistribusikan pada sejumlah klan. Meski demikian, klan saja tidak
cukup. Dalam kasus-kasus tertentu, kecakapan atau kompetensi seseorang
memungkinnya untuk menerima tugas atau jabatan tertentu, meskipun orang
tersebut bukan dari klan yang berkuasa.
Contoh kecil ini diambil dari sebuah Desa yang diselidiki beberapa puluh
tahun lalu yang pasti telah melewati sejumlah dinamika. Berikut kita akan melihat
nilai inklusi dari semboyan paling dikenal di Indonesia yang telah berabad-abad
usianya.
48
b. Sistem kesatuan hidup setempat
49
2. Praktik Penegakan Desa Inklusif
1. Inisiatif Kader Difabel Menggerakkan Desa
Pencapaian itu merupakan bagian dari perjalanan panjang Sartono, kader difabel Desa dari
Desa Gentungan dalam memperjuangkan kesetaraan hak warga difabel. Bagi Sartono
perjalanan memperjuangkan hak warga Difabel adalah pengalaman yang mengajarkan
banyak hal. Komitmen perjuangannya dimulai dari kepeduliannya yang tergerak ketika
suatu saat di satu tempat ibadah di Jakarta, Sartono sebagai seorang marbot, melihat
saudaranya yang difabel ditolak masuk ke ruang ibadah. Upaya Sartono memperjuangkan
hak difabel untuk beribadah di tempat ibadah membuahkan hasil.
Perlahan dan pasti setiap upaya yang dilakukan warga difabel baik melalui kelompok di
Desa maupun forum di Kecamatan membuahkan hasil. Pandangan warga Desa perlahan
berubah. Warga tidak lagi memandang kaum difabel sebagai liyan, melainkan sesama
manusia warga Desa yang memiliki hak yang sama. Pandangan warga yang disampaikan
dalam berbagai kesempatan berperan besar dalam memengaruhi kebijakan pemerintah
Desa.
Meskipun mengaku belum semua misi perjuangannya terwujud, sekurangnya Sartono saat
ini sudah bisa menyaksikan bagaimana saudara-saudaranya yang difabel didengarkan
suaranya oleh Desa, baik dalam kesempatan rembug warga, perbincangan informal
maupun dalam forum resmi Musyawarah Desa.
50
Model Pembelajaran Berbasis Pengalaman
51
2. Pengalaman Perempuan Mengubah Nagari1
Yudelmi lahir dan besar di tengah keluarga B.A. Tuanku Mudo, Ketua Pengadilan Agama
Kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat, yang akrab dipanggil Buya. Semasa kecil
Yudelmi sering menyaksikan banyak orang datang menemui ayahnya untuk mengadukan
masalah keluarga, mulai dari pertengkaran sampai pada masalah perceraian. Tidak jarang
Yudelmi mendengarkan pasangan muda usia yang datang, menyampaikan niatnya untuk
bercerai.
Komitmennya yang kuat pada persoalan perempuan membuat Yudelmi sempat ditawari
untuk menjadi calon anggota legeslatif. Yudelmi menolak tawaran tersebut, dan lebih
memilih tetap aktif di berorganisasi. Selain aktif di organisasi nasional seperti AMPI dan
KNPI, Yudelmi juga aktif berorganisasi di tingkat Desa, sebagai kader di berbagai Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat Desa. Meskipun sudah menikah di 1997, dan dikarunia dua
anak, Yudelmi masih bisa memberikan perhatian pada isu perempuan.
Kehadiran Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M) di Koto Tinggi pada
tahun 2010 menjadi ruang terbuka yang menyediakan kesempatan bagi Yudelmi untuk
semakin intensif menguatkan keberpihakannya pada masalah perempuan. Upaya yang
dilakukan Yudelmi bersama LP2M untuk menegakkan hak perempuan melalui pendekatan
program peningkatan ekonomi keluarga membuahkan hasi nyata.
Tahun 2014, merupakan tahun akhir jabatan Wali Nagari. Untuk itu dipilihlah anggota
Badan Musyawarah (Bamus) yang baru. Nama Yudelmi muncul sebagai salah satu nama
calon anggota Bamus. Pemilihan berjalan alot karena, seperti biasanya, mekanisme
pemilihan dikendalikan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Namun kehendak kolektif warga
mampu mengubah kebiasaan. Yudelmi terplih sebagai satu-satunya perempuan anggota
Bamus di antara 9 anggota lain.
Diakui”, bagian dari buku “Permpuan Bangkit Perempuan Bisa: Kumpulan Cerita”,
dterbitkan Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M), tahun 2020. 52
Banyak pihak yang meragukan dan bersikap pesimis menyambut penyelenggaran Sekolah
Perempuan Akar Rumput. Namun dengan pendekatan komunikasi yang baik, perlahan tapi
pasti para pihak pun berubah pandangan, terutama ketika melihat kesediaan Wali Nagari,
Karapatan Adat Nagari, anggota Bamus, dan tokoh-tokoh Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat bersedia menjadi nara sumber di Sekolah Perempuan. Pandangan orang
semakin terbuka ketika menyaksikan sendiri kemampuan para perempuan alumni Sekolah
Perempuan Akar Rumput. Tahun 2016 merupakan momentum yang pantas dicatat sebagai
awal pergerakan perempuan mengubah Nagari.
“Saya dan warga lainnya mengadvokasi agar tahun ini anggaran untuk kegiatan
pemberdayaan perempuan lebih meningkat. Kami semua terlibat dalam Musyawarah
Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Nagari Koto Tinggi yang dilakukan tanggal 25
Januari 2016. Mungkin dalam sejarahnya Musrenbang inilah yang paling banyak
menghadirkan peserta dari masyarakat, termasuk banyaknya kehadiran perempuan.”
Demikian disampaikan Yudelmi dalam tulisannya.
Ketekunan pergerakan perempuan Nagari Koto dalam menempuh jalan panjang perjuangan
sampailah pada pintu gerbang menuju perubahan yang lebih baik. Berkat ketekunan para
perempuan, ninik-mamak, dan kerja sama dengan berbagai pihak: tokoh masyarakat,
unsur KAN, LPM, Bundo Kanduang, termasuk juga LP2M akhirnya Nagari Koto Tinggi
telah melahirkan Peraturan Nagari (Perna) tentang Perlindungan Perempuan dan Anak.
Perna ini telah disahkan oleh Bamus pada tanggal 11 Desember 2017..
Perna tentang Perlindungan Peremuan dan Anak bukanlah tujuan akhir, melainkan
gerbang menuju tahap perubahan yang lebih berat. Meskipun demikian Yudelmi dan para
perempuan penggerak perubahan tak lelah mendampingi masyarakat untuk membangun
kesadaran baru para perempuan untuk mandiri menegakkan haknya yang setara sebagai
warga Nagari.
53
3. Desa Inklusif Bernama Balun2
Balun adalah nama sebuah Desa di Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa
Timur dengan jumlah penduduk yang tidak lebih dari 5 ribu jiwa. Nama Balun berasal dari
Mbah Alun, nama alias dari Raja Blambangan, Sultan Tawang Alun. Dari berbagai catatan
diketahui Balun dulunya, akhir abad 16, adalah sebuah Desa kuno yang bernama
Candipari. Di Desa terpencil itulah Raja Blambangan yang kemudian dikenal dengan nama
Mbah Alun tinggal dan menghabiskan sisa hidupnya sebagai seorang ulama yang
mendalami ajaran agama, mengajar mengaji, dan menyiarkan ajaran Islam. Mbah Alun
meninggal tahun 1654.
Sejak itu tidak ada catatan khusus tentang Desa Balun, selain menjadi bagian dari
dinamika perkembangan Kabupaten Lamongan. Meskipun demikian bisa dipastikan
masyarakat Desa Balun secara turun temurun menghidupi budaya dan mengembangkan
nilai-nilai ajaran Islam warisan Mbah Alun. Catatan sejarah Desa Balun baru dikenal
kembali sesudah peristiwa Gerakan 30 Septermber, 1965.
Benih toleransi tumbuh berkembang di masa awal sejarah tragedi kemanusiaan. Menyusul
tragedi 30 September, dilancarkan operasi pembersihan orang-orang yang diindikasi
berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia. Akibatnya tahun 1967 Desa Balun mengalami
kekosongan perangkat Desa. Ditunjuklah seorang bernama Batih, tokoh penyebaran agama
Kristen, untuk mengisi kekosongan pemerintahan Desa.
Kehadiran Batih sebagai kepala pemerintahan Desa membawa pengaruh juga pada
penyebaran agama Kristen di Desa Balun. Warga Desa Balun yang mayoritas beragam
Islam mulai berkenalan dengan pemeluk agama Kristen. Pada saat yang bersamaan, masuk
juga ke Desa Balun pemeluk agama Hindu yang berasal dari Desa Plosowayuh, Desa
tetangga Balun. Tahardono Sasmito adalah tokoh agama Hindu yang berpengaruh
menyebarkan agama Hindu di Balun.
Tidak ada gejolak sosial yang terjadi pada saat-saat awal perkembangan kedua agama di
Desa Balun. Warga Muslim, penduduk tertua Desa Balun menerima dengan hormat
kehadiran pemeluk kedua agama. Sikap menghormati perbedaan pilihan dan keberadaan
agama lain menjadi nilai kearifan yang dihidupi dan diwariskan turun temurun. Tidak ada
sekat dalam kehidupan bersama pemeluk ketiga agama; Islam, Kristen, dan Hindu. Bukan
hanya bangunan rumah yang berbaur, bahkan di beberapa keluarga hidup berbaur antar
pemeluk agama yang berbeda.
54
Upaya menghidupi nilai toleransi dalam kehidupan bersama tentu bukan perkara mudah,
terlebih di jaman perkembangan teknologi komunikasi yang melaju pesat menawarkan
berbagai ragam pilihan informasi. Demikian juga tidak mudah bagi para orang tua, tokoh
masyarakat, dan tokoh agama di Balun untuk menjaga keberlangsungan budaya toleransi.
"Konflik yang terjadi di desa ini hanya pada ranah media sosial, misalnya Facebook.
Beberapa kali terjadi hal sepeti itu, tetapi kami punya formulasi jitu untuk mengatasinya.
Setiap ada ketegangan yang terjadi di media sosial, biasanya antar remaja tentu saja kami
langsung memanggil orang-orang yang bersitegang untuk berdialog mengundang pemuka
agama dan orang tua dari masing-masing orang tersebut, dan alhamdulillah sampai saat
ini semuanya bisa terselesaikan dengan baik." Demikian penjelasan Kusyairi, Kepala Desa
Balun pada awak media.
Rasa hormat antar pemeluk agama yang berbeda mengejawantah dalam kebiasaan untuk
saling membantu pada setiap perayaan hari besar keagamaan. Kebiasaan saling membantu
itu menguat menjadi tradisi yang memberikan rasa aman dan nyaman setiap penduduk
dalam menyelenggarakan kehidupan bersama sebagai warga Desa. Kehidupan bersama
saling menghormat perbedaan yang merupakan nilai dasar inklusi sosial sudah menjadi
bagian dari kesadaran kolektif warga Desa Balun. Kesadaran kolektif warga Desa yang
inklusif itu mengerakkan semangat gotong royong warga Desa Balun dalam melaksanakan
setiap kebijakan pembangunan Desa. Tentulah sulit mengadopsi praktk baik inkusi sosial
yang terjadi di Desa Balun, namun bukan berarti tidak bisa.
55
Direktorat Jenderal Pembangunan Desa dan Perdesaan
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
2021