Anda di halaman 1dari 18

Zaenal Abidin, S.E.,M.M.Par.

,Gr
 Menjelaskan pengertian desa
 Menguraikan otonomi desa di Indonesia
Kata “Desa”, yang “cikal bakalnya” diperkenalkan
oleh seorang warga Belanda Mr. Herman Warner
Muninghe yang bertugas sebagai pembantu Gubernur
Jendral Inggris pada tahun 1817,69 secara etimologis
kata desa berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu “deca”,
seperti dusun, desi, negara, negeri, negari, negaro,
negory (negarom), yang berarti tanah air, tanah asal
atau tanah kelahiran, tanah leluhur yang merujuk
pada pada suatu kesatuan hidup dengan satu
kesatuan norma, serat memiliki batas yang jelas.
Istilah desa sendiri sangat beragam di berbagai tempat
di Indonesia. Desa hanya dipakai dalam masyarakat
pulau Jawa, Madura, dan Bali. Sebutan yang lazim
untuk desa adalah kelurahan, disebabkan karena
kepala desa mendapat sebutan “Lurah”. Sedangkan
kampung/dukuh/grumbul ialah merupakan bagian
dari pada desa yang merupakan kelompok tempat
warga masyarakat.
a. Pengertian Umum

Orang kebanyakan (umum) memahami desa sebagai


tempat dimana bermukim penduduk dengan
„peradaban‟ yang lebih terbelakang ketimbang kota.
Biasanya dicirikan dengan bahasa ibu yang kental,
tingkat pendidikan yang relatif rendah, mata
pencarian yang umumnya dari sektor pertanian.
Bahkan terdapat kesan kuat, bahwa pemahaman
umum memandang desa sebagai tempat bermukim
para petani.
b. Pengertian Sosiologis

Menurut Maschab dalam pengertian sosiologis, desa


digambarkan sebagai suatu bentuk kesatuan
masyarakat atau komunitas penduduk yang
bertempat tinggal dalam suatu lingkungan dimana
mereka saling mengenail dan corak kehidupan mereka
relatif homogen serta banyak bergantung kepada
alam. Lebih lanjut Maschab menyebutkan bahwa
dalam pengertian sosiologis desa diasosiasikan
dengan suatu masyarakat yang hidup sedrhana, pada
umumnya hidup dari lapangan pertanian, ikatan
sosial, adat dan tradisi masih kuat, sifat jujur dan
bersahaja, pendidikannya relatif rendah dan lain
sebagainya.
c. Pengertian Ekonomi

Menurut Wiradi pandangan (sosial) ekonomi yang


lebih menekankan sisi produksi, melihat desa sebagai
suatu komunitas masyarakat yang memiliki model
produksi yang khas. Desa mengandung arti sebagai
tempat orang hidup dalam ikatan keluarga dalam
suatu kelompok perumahan dengan saling
ketergantungan yang besar di bidang sosial dan
ekonomi. Selanjut menurut Hayami-Kikuchi, desa
biasanya terdiri dari rumah tangga petani dengan
kegiatan produksi, konsumsi dan investasi sebagai
hasil keputusan keluarga secara bersama.
c. Pengertian Hukum dan Politik

Menurut Kartohadikoesoemo, dan Wardi, dilihat dari


sudut pandang hukum dan politik, yang lebih
menekankan kepada tata aturan yang menjadi dasar
pengaturan kehidupan masyarakat, desa dipahami
sebagai suatu masyarakat, yang berkuasa (memiliki
wewenang). Pengertian ini sangat menekankan
adanya otonomi untuk membangun tata kehidupan
desa bagi kepntingan penduduk. Dalam pengertian
dan kebutuhan masyarakat desa, hanya bisa diketahui
dan disediakan oleh masyarakat desa, dan bukan
pihak luar.
Negara Republik Indonesia sebagai Negara kesatuan menganut
asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan,
dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada
Daerah untuk menyelenggarakan Otonomi daerah. Karena itu,
pasal 18 Undang-undang Dasar 1945, antara lain, menyatakan
bahwa pembagian Daerah Indonesia atas dasar besar dan kecil,
dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan
dengan undang-undang. Dalam kaitannya otonomi desa,
dikuatkan dengan bunyi pasal 18 B ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-
undang.
Dalam penjelasan pasal 18 Undang-Undang Dasar
1945 tersebut, antara lain, dikemukaan bahwa “oleh
karena Negara Indonesia itu suatu eenbeidsstaat, maka
Indonesia tidak akan mempunyai Daerah dalam
lingkungannya yang bersifat staat juga.

Daerah Indonesia akan dibagi dalam Daerah Propinsi


dan Daerah Propinsi akan dibagi dalam daerah yang
lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom
(streek en locale rechtgemeenschappen) atau bersifat
administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang
akan ditetapkan dengan Undang-undang”
Secara hitoris desa merupakan cikal bakal
terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di
Indonesia jauh sebelum Negara dan bangsa ini
terbentuk, struktur sosial jenis desa, masyarakat adat
dan lain sebagainya telah menjadi institusi sosial yang
mempunyai posisi yang sangat penting.

Desa merupakan institusi yang otonom dengan


tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri serta
relatif mandiri. Hal ini antara lain ditunjukan dengan
tingkat keragaman yang tinggi membuat desa
mungkin merupakan wujud bangsa yang paling
kongkret.
Menurut Prof. Drs. HAW. Widjaja, penyelenggaraan
pemerintahan desa merupakan subsistem dari sistem
penyelenggaraan pemerintahan, sehingga desa
memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakatnya.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang


Pemerintahan Daerah yang merupakan pengganti
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa juga
telah memberikan ketentuan tersendiri tentang Desa.
Menurut Zudan Arif, kekhasan otonomi desa,
minimal dapat ditinjau dari dua aspek :
1) Otonomi desa bukan merupakan implikasi dari
adanya penyerahan kewenangan dari
pemerintahan pusat atau pemerintahan daerah
kepada pemerintahan desa melaui kebijakan
desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan,
meskipun dalam kedudukan pemerintahan desa
sebagai subsistem dari pemerintahan nasional,
tetap diatur pula tentang hubungan keuangan
serta hubungan pembinaan dan pengawasan
antara pemerintahan pusat dan pemerintahan
daerah dengan pemerintahan desa.
2) Otonomi desa diselenggarakan berdasarkan hak
asal usul dari adat istiadat masyarakat setempat,
sehingga otonomi desa lebih bermakna sebagai
otonomi masyarakat desa dalam mengatur dan
mengurus kepentingan bersama sesuai dengan
sistem nilai sosial budaya masyarakat setempat,
meskipun dalam pelaksanaannya perlu
menggunakan pola administrasi modern. Hal ini
berimplikasi pada penggunaan “istilah desa atau
sebutan lain”, seperti nagari, kampung, hura, bori,
atau marga, serta memfungsikan lembaga adat
untuk mendukung proses penyelenggaraan
pemerintahan desa.
1. HAW. Widjaja, Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli Bulat dan Utuh , Jakarta : PT Raja Granfindo Persada 2003,
hlm.3
2. Hari Sabarno, “ Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa”, Sinar Grafika,
Jakarta:2007, hlm.30
3. Bambang Suryadi, “Memahami Peraturan Pemerintah tentang Desa”, cetakan pertama, Sai Wawai, Bandar Lampung, 2016.
hlm.3
4. Dinar Aji Atmaja, “Analisis Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Desa (Studi Kasus di Desa Plesungan Kecamatan
Gondangrejo Kabupaten Karanganyar)”, terdapat dalam
http://eprints.ums.ac.id/42652 , Diakses terahir tanggal 4 Desember 2018 pukul 20.15 WIB
5. Mewvi, Walukow, Lintje, Sherrly, “Analisis Perencanaan Pengelolaan Keuangan Desa
Sesuai Dengan Permen Nomor 113 Tahun 2014 Di Desa Kauneran Kecamatan Sonder Kabupaten Minahasa, Jurnal Riset
Akuntansi Going Concern, Edisi No. 2, Vol. 12, Fakultas Ekonomi danBisnis Jurusan Akuntansi Universitas Sam
Ratulangit, 2017, hlm. 266.
6. H.A.W Widjaja, Pemerintahan Desa/Marga, Ctk. Pertama, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarata, 2003, hlm. 57.
7. Pasal 68 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Desa.
8. H.A.W Widjaja, Op., Cit., hlm.3
9. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

10. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang pelaksanaan Undang-Undang


Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
11. Mewvi, Walukow, Lintje, Sherrly, Op. Cit., hlm 268-269.
12. Djati Julitriarsa dan John Suprihantoro, “Manajemen Umum” ,BPFE, Jakarta:1998,
hlm.101
13. Nurmayani. Hukum Administrasi Daerah. Lampung: Universitas Lampung, 2009. hlm.
14. Ernie Tisnawati Sule dan Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, Ctk. Ketiga,
Edisi Pertama, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hlm. 316.
15. Miriam Budiarjo, ”Dasar-Dasar Ilmu Politik”, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta:1998, hlm.78
1. Hari Sabarno, Op,. Cit., hlm.129
2. Sarinah dan Mardalena. Pengantar Manajemen, Ctk. Pertama, CV. Budi Utama,
Yogyakarta, 2017, hlm. 146.
3. Ernie Tisnawati Sule dan Kurniawan Saefullah, Op. Cit., hlm. 318.
4. Abdul Halim dan Theresia Damayanti, Pengelolaan Keuangan Daerah. Edisi Kedua.
Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2007, hlm. 44.
5. Kusnadi, Op. Cit., hlm. 265.
6. Abdurrahmat Fathoni, Manajemen Sumber Daya Manusia, Ctk. Pertama, Rineka.
Cipta, Bandung, 2006, hlm. 30.
7. Abdul Halim, dkk., Sistem Pengendalian Manajemen., Unit. Penerbit dan Percetakan
Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, Yogyakarta, 2000. Hlm. 306.
8. Ibid
9. Ernie Tisnawati Sule dan Kurniawan Saefullah, Op. Cit., hlm. 321.
10. Sondang P. Siagian, Manajemen Sumber Daya Manusia, Ctk. Kedua, Bumi Aksara,
Jakarta, 2014, hlm. 44.
11. 6Indra Pahlevi, “Dana Desa Dan Permasalahanya”, Jurnal Hukum, Edisi No. 17, Vol. 7,
Pemerintahan Dalam Negeri, 2016, hlm. 17.
12. ttps://nasional.kompas.com/read/2018/11/21/19000481/icw-ada-181-kasus-korupsidana-desa-rugikan-negara-rp-
406-miliar diakses terakhir pada tanggal 12 Desember 2018 pukul
11.15 WIB
13. M.A. Mannan, Islamic Economics-Theory dan Practise, Ctk. Pertama, Arnold
Overseas, London 1970, hlm 336.
14. Abdul Ghofur, Pengantar Ekonomi Syariah,dalam Badrul Munir (editor), Ctk. Pertama,
Rajawali Press, Depok, 2017, hlm 95.
15. Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi Prinsip Dasar Islam, dalam Suherman
Rosyidi (editor), Ctk. Pertama, Kencana, Jakarta, 2012, hlm. 303.
1. Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum Antar Golongan Dalam Fiqih Islam, Ctk. Pertama,
Bulan
Bintang, Jakarta, 1971, hlm 17.
2. Fatwa MUI,‟‟Prinsip-prinsip Pemerintahan yang baik menurut islam” terdapat dalam
http://www.fikihkontemporer.com, Diakses pada tanggal 14 Desember 2018
pukul 14.40 WIB.
3. Farid Ma‟aruf, Etika Ilmu Akhlak, Ctk. Pertama, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hlm.
200
4. Abdul Karim Zaidan, Hak-Hak Rakyat Dan Kewajiban Negara Dalam Islam, Ctk.
Petama, Lingkaran Studi Nusantara, Yogyakarta, 1983, hlm 42.
5. Didin, Hafidhuddin, Hendri, Tanjung, Shariah Principles On Management, Ctk.
Pertama, Gemani Insani, Jakarata, 2006, hlm. 59.
6. Abdul Karim Zaidan, Op.cit., hlm. 43.
7. Ahmad Ibrohim Abu sinn, Manajemen Syariah, Ctk. Pertama, Raja
Grafindo,Jakarta,
2006, hlm. 181.

Anda mungkin juga menyukai