Anda di halaman 1dari 44

TUGAS CLIPPING

ETIKA ADMINISTRASI
TENTANG PELAYANAN ADMINISTRASI PUBLIK

Dosen Pengampu: RUSMAN, S.Sos.,M.Si

Di susun Oleh :

Abdan Syakuro
200314608
5B - REGULER

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS KUTAI KARTANEGARA

TENGGARONG

2021
Kata Pengantar
ASSALAAMU’ALAIKUM WR.WB.

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha esa karena telah
memberikan kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan
makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “ etika birokrasi “ dengan
tepat waktu.

Makalah “etika birokrasi” ini disusun guna memenuhi tugas dosen


pada Mata Kuliah etika administrasi di Universitas Kutai
Kartanegara. Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini
dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang topik makalah
yang akan di bahas nanti.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada


Bapak/Ibu selaku dosen mata kuliah . Tugas yang telah diberikan
ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang
ditekuni penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna.


Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis
terima demi kesempurnaan makalah ini di kemudian hari. Sekian,
penulis akhiri

Wallahul Muwaffiq Ilaa Aqwamith Thariiq


WASSALAMU’ALAIKUM WR.WB.

Tenggarong, 29 September 2021

Penulis

ii | P a g e
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.........................................................................................................ii

Daftar Isi...................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1

1.1. Latar Belakang...............................................................................................1


1.2. Rumusan Masalah..........................................................................................3
1.3. Tujuan.............................................................................................................3
1.4. Manfaat Penulisan..........................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................

2.1. Etika................................................................................................................10
2.1.1 Pengertian Etika Menurut Etimologi....................................................10
2.2.1 Pengertian Etika Menurut Pendapat Ahli.............................................10
2.3.1 Sejarah Etika.........................................................................................15
2.4.1 Objek Etika...........................................................................................15
2.5.1 Fungsi Dan Manfaat Etika....................................................................16
2.6.1 Macam – Macam Etika……………………………………………….16
2.2. Birokrasi.........................................................................................................10
2.1.1 Pengertian Birokrasi Menurut Etimologi…………………………10
2.2.1 Pengertian Birokrasi Menurut Pendapat Ahli.......................................10
2.3.1 Ciri – Ciri Birokrasi..............................................................................15
2.4.1 Karakteristik Birokrasi..........................................................................15
2.5.1 Tipe Ideal Birokrasi..............................................................................16
2.3. Etika Birokrasi................................................................................................10
2.1.1 Etika Birokrasi…………………………10
2.2.1 Konsep Etika Birokrasi.........................................................................10
2.3.1 Pelaksanaan Etika Birokrasi.................................................................15

BAB III PENUTUP..................................................................................................27

1.1. Kesimpulan...................................................................................................27
1.2. Saran..............................................................................................................27
DAPTAR PUSTAKA...............................................................................................31

iii | P a g e
BAB 1
PENDAHULUAN

D
1. LATAR BELAKANG
i negara-negara berkembang, tugas utama birokrasi lebih dititik-
beratkan untuk memperlancar proses pembangunan. Itulah
sebabnya banyak penulis yang menganalisis administrasi negara-
negara berkembang menggu-nakan istilah birokrasi pembangunan atau
administrasi pembangunan. Definisi yang sederhana mengatakan bahwa
pembangunan adalah proses perubahan dari suatu keadaan tertentu kearah
keadaan lain yang lebih baik. Katz (1965). Dalam tugas-tugas pembangunan,
aparat administrasi diharapkan memiliki komitmen terhadap tujuantujuan
pembangunan, baik dalam perumusan kebijakan maupun dalam
pelaksanaannya secara efektif dan efisien. Dia harus berorientasi kepada
kegiatan (bukan hanya terpaku pada aturanaturan legalistik), mampu
memecahkan masalah-masalah kemasyara-katan, serta mampu merumuskan
kebijakan-kebijakan tertentu ke arah kemajuan. Singkatnya, dia harus mampu
menjadi agen-agen perubahan (change agents).

Dengan demikian, wajarlah apabila para administrator pembangunan diberi


hak-hak untuk mengambil kebijakan-kebijakan yang diperlukan berdasarkan
pertimbangan rasional dan pengalaman yang dimilikinya. Keleluasaan untuk
mengambil kebijakan administratif (administrative discretion) ini diberikan
supaya pemerintahan dapat berjalan secara efektif dan proyekproyek
pembangunan yang kerapkali membutuhkan pengambilan keputusan yang
cepat itu dapat terlaksana dengan lancar. Sayangnya, tidak setiap
administrator menyadari bahwa mereka mengemban tugas berat yang hams
selalu dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Seharusnya para administrator
mempergunakan hak-hak diskresinya untuk situasi unik yang belum terdapat
dalam peraturan, untuk masalah-masalah yang lidak terlalu berpengaruh
secara makro, atau untuk kebijakan- kebijakan yang benar-benar urgen dan
mendesak. Tetapi dalam banyak kasus mereka selalu mempergunakan hak-
hak yang melekat dalam jabatannya, dan lebih buruk lagi mereka tidak
melibatkan pertimbangan-pertimbangan rasional. Davis mengatakan bahwa di
1|Page
negara-negara yang tengah melakukan usaha-usaha modernisasi, banyak
pejabat publik yang kini memiliki terlalu banyak diskresi. Oleh sebab itu,
tindakan-tindakan restrukturisasi perlu dilakukan untuk membatasi, menyusun
kembali, dan mengevaluasi pelbagai diskresi tersebut guna menciptakan
masyarakat yang lebih adil. (davis, 1976: 3). Di negara kita,
pertanggungjawaban administratif terhadap masalah-masalah pembangunan
akan semakin diperlukan terutama jika diingat bahwa pendekatan legalistik
melalui peradilan tata usaha negara (ptun) belum bisa betul-betul diterapkan.
Jalan yang bisa ditempuh adalah melalui sistem pertanggungjawaban kepada
tingkat-tingkat administratif yang lebih tinggi, atau melalui dialog terus-
menerus secara terbuka dengan komponen-komponen yang berfungsi
menyalurkan aspirasi masyarakat. Betapapun administrasi pembangunan tidak
berjalan dalam kondisi vakum politik, karena pelaksanaannya harus dapat
dipertanggungjawabkan secara politik pula. Proses administrasi memperoleh
legitimasinya dari kehendak politik rakyat sehingga sudah selayaknya kalau ia
mencerminkan kemauan rakyat sampai kepada tingkat kebijakan yang paling
mikro.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan nasional kita selama kurun


waktu 25 (dua puluh lima) tahun terakhir telah berhasil mengangkat taraf
kemakmuran ekonomis masyarakat. Akan tetapi, prestasi ini tidak dibarengi
dengan meningkatnya kesejahteraan dipandang dari aspek-aspek sosial dan
nilai-nilai demokrasi. Pelaksanaan pembangunan komunitas pada skala luas
hanya menghasilkan tidak lebih dari seperangkat program dan target baru
yang dirumuskan dari pusat dengan pelaksana struktur-struktur birokrasi yang
konvensional dan tidak tanggap terhadap preferensi atau kebutuhan-kebutuhan
rakyat setempat. Secara rinci korten mengemukakan ciri-ciri program
pembangunan pada kebanyakan negara berkembang, antara lain: (a)
ketergantungan pada organisasi-organisasi birokrasi terpusat yang hanya
mempunyai sedikit kemampuan untuk menanggapi beraneka-ragam
kebutuhan khas komunitas; ketergantungan ini juga tampak dalam
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan “partisipatif”; (b) investasi yang
tidak memadai dalam proses pengembangan kemampuan komunitas untuk
memecahkan masalah; (c) perhatian yang kurang dalam menangani

2|Page
keanekaragaman masyarakat, terutama dalam hal struktur sosial pedesaan
yang sangat berlapis-lapis; dan (d) tidak cukupnya integrasi antara komponen-
komponen teknis dengan sosial dalam upaya pembangunan. Untuk itu, korten
(1988: 231-249) mengusulkan supaya program-program pembangunan tidak
hanya berdasarkan ancangan “cetak biru” yang terlalu kaku melainkan
diupayakan agar terjadi proses belajar (learning process) yang bermanfaat
bagi rakyat. Tantangan yang harus dihadapi untuk menuju model
pembangunan partisipatoris ialah usahausaha pemaduan pelaksanaan kerja,
pendidikan, dan pembentukan lembaga ke dalam sebuah proses belajar yang
koheren. (korten, 1988: 231-249). Ini hanya bisa dilaksanakan jika para
administrator bersedia selalu membuka diri untuk tidak hanya terpancang
pada pemahaman teknis dan asas-asas manajerial dalam proses administratif
tetapi juga membuka diri terhadap pemahaman mengenai karakter dan kultur
masyarakat.

Rumusan yang terdapat dalam garis-garis besar haluan negara secara eksplisit
telah menyebutkan bahwa ideologi pembangunan yang kita anut mencita-
citakan pembangunan manusia seutuhnya. Itu berarti bahwa pembangunan
nasional tidak hanya mengutamakan tercukupinya kebutuhan-kebutuhan
materi, sistem ekonomi yang sehat, dan taraf hidup yang lebih baik, melainkan
juga terbinanya manusia-manusia indonesia yang berwatak, berkepribadian,
memiliki rasionalitas dan visi ke depan, dan mempunyai nilai-nilai moralitas
yang tinggi. Manusia tidak ditempatkan sebagai objek pembangunan, tetapi
sebagai subjek atau titik sentral yang akan menentukan arah pembangunan itu
sendiri. Maka para administrator yang terlibat langsung dalam perencanaan
maupun operasionalisasi program-program pembangunan diharuskan untuk
selalu mempertimbangkan nilai-nilai yang wajib dianut dalam melaksanakan
tugas-tugas kedinasan mereka. Asas-asas pembangunan yang manusiawi itu
mungkin terlalu abstrak untuk dikaitkan dengan tugas-tugas yang bersifat
teknis, tetapi melalui penilaian yang bijaksana dari para administrator semua
kebijakan akan selalu mengandung konsekuensi yang terkait dengan ide-ide
pembangunan yang paling mendasar tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH

3|Page
Berdasarkan latar belakang di atas maka dalam makalah ini akan di bahas:

1. Pengertian etika menurut etimologi?


2. Pengertian etika menurut pendapat ahli?
3. Sejarah etika?
4. Objek etika?
5. Fungsi dan manfaat etika?
6. Macam – macam etika?
7. Pengertian birokrasi menurut etimologi?
8. Pengertian birokrasi menurut pendapat ahli?
9. Ciri – ciri birokrasi?
10. Karakteristik birokrasi?
11. Tipe ideal birokrasi?
12. Etika birokrasi?
13. Konsep etika birokrasi?
14. Peranan etika birokrasi?

C. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini yaitu:

1. Untuk mengetahui pengertian etika menurut etimologi


2. Untuk mengetahui pengertian etika menurut pendapat ahli
3. Untuk mengetahui sejarah etika
4. Untuk mengetahui objek etika
5. Untuk mengetahui fungsi dan manfaat etika
6. Untuk mengetahui macam – macam etika
7. Untuk mengetahui pengertian birokrasi menurut etimologi
8. Untuk mengetahui pengertian birokrasi menurut pendapat ahli
9. Untuk mengetahui ciri – ciri birokrasi
10. Untuk mengetahui karakteristik birokrasi
11. Untuk mengetahui tipe ideal birokrasi
12. Untuk mengetahui etika birokrasi

13. Untuk mengetahui konsep etika birokrasi


14. Untuk mengetahui peranan etika birokrasi

4|Page
D. MANFAAT PENULISAN

Selain ada tujuan pembuatan makalah ini, ada juga manfaat dari makalah
ini, yaitu menambah wawasan kita tentang birokrasi dan manajemen
pemerintahan di indonesia.

5|Page
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Etika
2.1.1 Pengertian etika menurut etimologi

Kalimat “etika” dalam kbbi, di definisikan sebagai ilmu tentang apa yang
baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak)

2.2.1 Pengertian etika menurut pendapat ahli


A. K. Bertens
Etika adalah nilai moral dan norma yang menjadi pedoman, baik bagi
suatu individu maupun suatu kelompok, dalam mengatur tindakan atau
perilaku. Dengan kata lain, pengertian ini disebut juga sebagai sistem nilai
di dalam hidup manusia, baik perorangan maupun bermasyarakat. Etika
berarti ilmu mengenai baik dan buruknya manusia (moral). Kemudian,
etika juga diartikan sebagai kumpulan nilai moral dan asas (kode etik).
B. Aristoteles
Aristoteles merupakan seorang filsuf asal yunani dan murid dari plato
berpendapat dengan membagi etika menjadi 2 pengertian, yakni terminius
technicus dan manner and cutom. Terminius technicus merupakan etika
sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari problema tingkah laku atau
perbuatan individu (manusia), sedangkan manner and cutom merupakan
pengkajian etika berkaitan dengan tata cara dan adat yang melekat dalam
diri individu, serta terkait dengan baik dan buruknya tingkah laku,
perbuatan, ataupun perilaku individu tersebut.
C. W. J. S. Poerwadarminta
Wilfridus. J. S poerwadarminta merupakan salah satu tokoh sastra
indonesia, mengemukakan bahwa etika adalah ilmu pengetahuan terkait
perbuatan dan perilaku manusia dilihat dari sisi baik dan sisi buruknya
yang ditentukan oleh manusia pula.
D. Prof. Dr. R. Soegarda Poerbakawatja
Prof. Dr. R. Soegarda poerbakawatja merupakan salah satu tokoh
pendidikan di indonesia, memberikan definisi bahwa etika adalah suatu
6|Page
ilmu yang memberikan arahan, acuan, dan juga pijakan pada suatu
perilaku atau perbuatan manusia.
E. Louis O. Kattsoff
Kattsoff memberikan pandangan bahwa etika pada hakikatnya lebih
cenderung berkaitan dengan asas-asas pembenaran dalam relasi tingkah
laku antarmanusia.
F. H. A Mustafa
H. A. Mustafa mengemukakan pengertian etika adalah ilmu yang
menelaah suatu tingkah laku atau perbuatan manusia dari segi baik dan
buruknya dengan memperhatikan perilaku manusia tersebut sejauh yang
diketahui oleh akal pikiran manusia.
G. Prof. Robert Salemon
Menurutnya, etika adalah karakter atau kepribadian suatu individu atau
hukum sosial yang mengendalikan, mengatur, juga membahas terkait
perilaku individu.
H. Sumaryono
Sumaryono mendefinisikan etika sebagai studi yang membahas mengenai
suatu kebenaran dari tindakan atau perilaku manusia atas kodrat atau fitrah
yang memang sudah melekat pada diri manusia itu.

2.3.1 Sejarah etika


Adapun pertumbuhan dan perkembangan etika dalam masa kemasa akan
dipaparkan pada penjelasan berikut ini:
1. Etika periode yunani
Secara historis etika sebagai usaha filsafat lahir dari keambrukan
tatanan moral di lingkungan kebudayaan yunani 2.500 tahun lalu.
Karena pandangan-pandangan lama tentang baik dan buruk tidak lagi
dipercaya, para filosof mempertanyakan kembali norma-norma dasar
bagi kelakuan manusia. Tempat pertama kali disusunnya cara-cara
hidup yang baik dalam suatu sistem dan dilakukan penyelidikan
tentang soal tersebut sebagai bagian filsafat.

Menurut poespoproddjo (1999: 18), kaum yunani sering mengadakan


perjalanan ke luar negeri itu menjadi sangat tertarik akan kenyataan
7|Page
bahwa terdapat berbagai macam kebiasaan, hukum, tata kehidupan dan
lain-lainnya. Bangsa yunani mulai bertanya apakah miliknya, hasil
pembudayaan negara tersebut benar-benar lebih tinggi karena tiada
seorang pun dari yunani yang akan mengatakan sebaliknya, maka
kemudian diajukanlah pertanyaan mengapa begitu? Kemudian
diselidikinya semua perbuatan dan lahirlah cabang baru dari filsafat
yaitu etika.

Penyelidikan para ahli filsafat tidak banyak memperhatikan masalah


etika. Kebanyakan dari mereka melakukan penyidikan mengenai alam.
Misalnya: bagaimana alam ini terjadi ? Apa yang menjadi unsur utama
alam ini ? Dan lain - lain. Sampai akhirnya datang sophisticians ialah
orang yang bijaksana yang menjadi guru dan tersebar ke berbagai
negeri.

Yunani menjadi tempat pertama kali disusunnya cara-cara hidup yang


baik ke dalam suatu sistem dan dilakukan penyelidikan tentang soal
tersebut sebagai bagian filsafat. Berkat pertemuannya dengan para
pedagang dan kaum kolonis dari berbagai negara, orang-orang yunani
yang sering mengadakan perjalanan ke luar negeri itu menjadi sangat
tertarik akan kenyataan bahwa terdapat berbagai macam kebiasaan,
hukum, tata kehidupan, dan lain-lain. Bangsa yunani mulai bertanya:
apakah miliknya, hasil pembudayaan negara tersebut benar- benar
lebih tinggi? Karena tiada seorang pun dari yunani yang akan
mengatakan sebaliknya, maka kemudian diajukanlah pertanyaan,
“mengapa begitu?” Kemudian diselidikinya semua perbuatan
manusiawi, dan lahirlah cabang baru dari filsafat, yakni filsafat moral
(filsafat kesusilaan) atau etika (poespoproddjo,1999: 18).

Jejak-jejak pertama sebuah etika muncul dikalangan murid pytagoras.


Ia lahir pada tahun 570 sm di samos di asia kecil barat dan kemudian
pindah ke daerah yunani di italia selatan. Ia meninggal 496 sm. Di
sekitar pytagoras terbentuk lingkaran murid yang tradisinya diteruskan
selama dua ratus tahun. Menurut mereka prinsip-prinsip matematika

8|Page
merupakan dasar segala realitas. Mereka penganut ajaran reinkarnasi.
Menurut mereka badan merupakan kubur jiwa (soma-sema,”tubuh-
kubur”). Agar jiwa dapat bebas dari badan, manusia perlu menempuh
jalan pembersihan. Dengan bekerja dan bertapa secara rohani,
terutama dengan berfilsafat dan bermatematika, manusia dibebaskan
dari ketertarikan indrawi dan dirohanikan.

Seratus tahun kemudian, demokritos (460-371 sm) bukan hanya


mengajarkan bahwa segala apa dapat dijelaskan dengan gerakan
bagian-bagian terkecil yang tak terbagi lagi, yaitu atomatom. Menurut
demokritos nilai tertinggi adalah apa yang enak. Dengan demikian,
anjuran untuk hidup baik berkaitan dengan suatu kerangka pengertian
hedonistik.

Sokrates (469-399 sm) tidak meninggalkan tulisan. Ajarannya tidak


mudah direkonstruksi karena bagian terbesar hanya kita ketahui dari
tulisan-tulisn plato. Dalam dialog-dialog palto hampir selalu sokrates
yang menjadi pembicara utama sehingga tidak mudah untuk
memastikan pandangan aslinya atau pandangan plato sendiri. Melalui
dialog sokrates mau membawa manusia kepada paham-paham etis
yang lebih jelas dengan menghadapkannya pada implikasi-implikasi
anggapan-anggapannya sendiri. Dengan demikian, manusia diantar
kepada kesadaran tentang apa yang sebenarnya baik dan bermanfaat.
Dari kebiasaan untuk berpandangan dangkal dan sementara, manusia
diantar kepada kebijaksanaan yang sebenarnya.

Socrates dipandang sebagai perintis ilmu etika. Karena ia pertama


berusaha dengan sungguh-sungguh membentuk hubungan manusia
dengan ilmu pengetahuan. Dia berpendapat etika dan bentuk
berhubungan itu tidak menjadi benar kecuali bila didasarkan ilmu
pengetahuan.

Plato (427 sm) tidak menulis tentang etika. Buku etika pertama ditulis
oleh aristoteles (384 sm). Namun dalam banyak dialog plato terdapat

9|Page
uraian-uraian bernada etika. Itulah sebabnya kita dapat merekontruksi
pikiran-pikiran plato tentang hidup yang baik. Intuisi dari plato tentang
hidup yang baik itu mempengaruhi filsafat dan juga kerohanian di
barat selama 2000 tahun. Baru pada zaman modern paham tentang
keterarahan objektif kepada yang ilahi dalam segala yang ada mulai
ditinggalkan dan diganti oleh pelbagai pola etika; diantaranya etika
otonomi kesadaran moral kant adalah yang paling penting. Etika plato
tidak hanya berpengaruh di barat, melainkan lewat neoplatoisme juga
masuk ke dalam kalangan sufi muslim. Disinilah nantinya jalur
hubungan pemikiran filsafat yunani dengan pemikir muslim seperti ibn
miskawaih yang banyak mempelajari filsafat yunani sehingga
mempengaruhi tulisantulisannya mengenai filsafat etika. Setelah
aristoteles, epikuros (314- 270 sm) adalah tokoh yang berepengaruh
dalam filsafat etika. Ia mendirikan sekolah filsafat di athena dengan
nama epikureanisme, akan menjadi salah satu aliran besar filsafat
yunani pasca aristoteles. Berbeda dengan plato dan aristoteles, berbeda
juga dengan stoa, epikuros dan murid-muridnya tidak berminat
memikirkan, apalagi masuk ke bidang politik. Ciri khas filsafat
epikuros adalah penarikan diri dari hidup ramai. Semboyannya adalah
“hidup dalam kesembunyian“. Etika epikurean bersifat privatistik.
Yang dicari adalah kebahagiaan pribadi. Epikuros menasihatkan orang
untuk menarik diri dari kehidupan umum, dalam arti ini adalah
individualisme. Namun ajaran epikuros tidak bersifat egois. Ia
mengajar bahwa sering berbuat baik lebih menyenangkan daripada
menerima kebaikan. Bagi kaum epikurean, kenikmatan lebih bersifat
rohani dan luhur daripada jasmani. Tidak sembarang keinginan perlu
dipenuhi. Ia membedakan antara keinginan alami yang perlu (makan),
keinginan alami yang tidak perlu (seperti makanan yang enak), dan
keinginan sia-sia (seperti kekayaan).

2. Etika pada abad pertengahan


Pada abad pertengahan, etika bisa dikatakan 'dianiaya' oleh gereja.
Pada saat itu, gereja memerangi filsafat yunani dan romawi, dan
menentang penyiaran ilmu dan kebudayaan kuno. (h.a. Mustofa, 1999:

10 | P a g e
45). Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan hakikat telah diterima dari
wahyu. Dan apa yang terkandung dan diajarkan oleh wahyu adalah
benar. Jadi manusia tidak perlu lagi bersusah payah menyeliiki tentang
kebenaran hakikat, karena semuanya telah diatur oleh tuhan.

Ahli-ahli filsafat etika yang lahir pada masa itu, adalah panduan dari
ajaran yunani dan ajaran nasrani. Di antara mereka yang termasyur
adalah abelard (1079-1142 sm), seorang ahli filsafat prancis, dan
thomas aquinus (1226-1270 sm), seorang ahli filsafat agama dari italia.

3. Etika pada periode bangsa arab


Bangsa arab pada zaman jahiliyah tidak mempuyai ahli-ahli filsafat
yang mengajak kepad aliran atau faham tertentu sebagaimana yunani,
seperti epicurus, zeno, plato, dan aristoteles. Hal itu terjadi karena
penyidikan ilmu tidak terjadi kecuali di negara yang sudah maju.
Waktu itu bangsa arab hanya memiliki ahli-ahli hikmat dan sebagian
ahli syair, yang memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah
kemungkaran, mendorong menuju keutamaan, dan menjauhkan diri
dari kerendahan yang terkenal pada zaman mereka. (h.a. Mustofa,
1999:46).

Namun sejak kedatangan islam, agama yang mengajak kepada orang-


orang untuk percaya kepada allah swt., sumber segala sesuatu di
seluruh alam. Allah swt. Memberikan jalan kepada manusia jalan yang
harus diseberangi. Allah swt. Juga menetapkan keutamaan seperti
benar dan adil, yang harus dilaksanakanya, dan menjadikan
kebahagiaan di dunia dan kenikmatan di akhirat, sebagai pahala bagi
orang yang mengikutinya.

Jadi bangsa arab pada masa itu, telah puas mengambil etika dari agama
dan tidak merasa butuh untuk menyelidiki mengenai dasar baik dan
buruk. Oleh karena itu, agama banyak menjadi dasar buku-buku yang
dilukiskan di dalam etika. Seperti buku karya alghazali dan al-
mawardi.

11 | P a g e
Penyidik bangsa arab yang terbesar mengenai etika adalah ibnu
maskawayh, yang wafat pada 421 h. Dia mencampurkan ajaran plato,
aristoteles, galinus dengan ajaran islam. Ajaran aristoteles bnyak
termasu dalam penyelidikan tentang jiwa. (shubhi, 1992: 17).

4. Etika periode abad modern


Pada akhir abad lima belas, eropa mulai bangkit. Ahli pengetahuan
mulai menyuburkan filsafat kuno. Begitu juga dengan italia, lalu
berkembang ke suluruh eorpa. Pada masa ini, segala sesuatu dikecam
dan diselidki, sehingga tegaklah kemerdekaan berfikir. Dan mulai
melihat segala sesuatu dengan pandangan baru, dan
mempertimbangkanya dengan ukuran yang baru.

Discarles, seorang ahli filsafat prancis (1596-1650). Termasuk pendiri


filsafat baru. Untuk ilmu pengetahuan, ia menetapkan dasardasar
sebagai berikut:
 Tidak menerima sesuatu yang belum diperiksa akal dan nyata
adanya. Dan apa yang tumbuhnya dari adat kebiasaan saja, wajib
di tolak.
 Di dalam penyelikidan harus kita mulai dari yang sekecilkecilnya,
lalu meningkat ke hal-hal yang lebih besar.
 Jangan menetapkan seusatu hukum akan kebenaran suatu hal
sehingga menyatakan dengan ujian. (mustofa, 1999: 51).

2.4.1 Objek Etika


Etika memiliki dua objek, yaitu: 1). Objek material, berupa tingkah laku
atau perbuatan manusia; dan 2). Objek formal, berupa kebaikan dan
keburukan (bermoral dan tidak bermoral) dari tindakan tersebut. Hal ini
senda dengan apa yang dikemukakan oleh Juhaya S. Praja (2010: 60)
bahwa objek penyelidikan etika adalah pernyataan-pernyataan moral yang
merupakan perwujudan dari pandangan-pandangan dan persoalan-
persoalan dalam bidang moral. Jika kita periksa segala macam pernyataan
moral, maka kita akan melihat bahwa pada dasarnya hanya ada dua
macam pernyataan, pertama, pernyataan tentang tindakan manusia. Kedua
12 | P a g e
pernyataan tentang manusia itu sendiri atau tentang unsur-unsur
kepribadian manusia, seperti motif-motif, maksud dan watak.

Setiap tingkah laku atau perbuatan manusia yang pasti berkaitan dengan
norma atau nilai etis yang belaku di masyarakat, sehingga dapat dikatakan
bahwasannya tingkahlaku manusia itu, baik yang dapat diamati secara
langsung maupun tidak, dapat dijadikan sebagai bahan tinjauan, tempat
penilaian terhadap norma yang berlaku di masyarakat. Perbuatan menjadi
obyek ketika etika mencoba atau menerapkan teori nilai.

Perpaduan antara nilai dengan perbuatan sebagai pelaksanaannya


menghasilkan sesuatu yang disebut moral atau kesusilaan. Perbuatan yang
dapat dihubungkan dengan nilai etis adalah: 1) Perbuatan oleh diri sendiri
baik dalam keadaan sadar maupun tidak; dan 2) Perbuatan oleh pengaruh
orang lain bisa berupa saran, anjuran, nasehat, tekanan, paksaan,
peringatan, ataupun ancaman.

Menurut pendapat Achmad Amin (1991) yang mengemukakan bahwa


perbuatan yang dimaksud sebagai obyek etika ialah perbuatan sadar baik
oleh diri sendiri atau pengaruh orang lain yang dilandasi oleh kehendak
bebas dan disertai niat dalam batin.

2.5.1 Fungsi dan Manfaat Etika


Etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap seuatu
perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut
akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya. Dengan
demikian etika tersebut berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah
perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Etika lebih mengacu kepada
pengkajian sistem nilai-nilai yang ada.

I Gede A.B. Wiranata (2005) menuliskan beberapa pendapat para ahli


tentang fungsi etika, diantaranya adalah Rohaniawan Franz Magnis
Suseno, ia menyatakan bahwa etika berfungsi untuk membantu manusia

13 | P a g e
mencari orientasi secara kritis dalam berhadapan dengan moralitas yang
membingungkan”

Secara terperinci fungsi etika adalah sebagai berikut:


 Tempat untuk mendapatkan orientasi kritis yang berhadapan dengan
berbagai suatu moralitas yang membingungkan.
 Untuk menunjukan suatu keterampilan intelektual yakni suatu
keterampilan untuk berargumentasi secara rasional dan kritis.
 Orientasi etis yang diperlukan dalam mengambil suatu sikap yang
wajar dalam suasana pluralisme.

Sedangkan manfaat Etika adalah sebagai berikut:


 Dapat menolong suatu pendirian dalam beragam suatu pandangan dan
moral.
 Dapat membedakan yang mana yang tidak boleh dirubah dan yang
mana yang boleh dirubah.
 Dapat menyelesaikan masalah-masalah moralitas ataupun suatu sosial
lainnya yang membingungkan suatu masyarakat dengan suatu
pemikiran yang sistematis dan kritis.
 Dapat menggunakan suatu nalar sebagai dasar pijak bukan dengan
suatu perasaan yang bikin merugikan banyak orang. Yaitu Berpikir
dan bekerja secara sistematis dan teratur (step by step).
 Dapat menyelidiki suatu masalah sampai ke akar-akarnya bukan
karena sekedar ingin tahu tanpa memperdulikannya.

2.6.1 Macam-Macam Etika


Keraf. A. Sonny (1991: 23) menggolongkan etika kedalam dua macam
yaitu:
1. Etika deskriptif
Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan
perilaku manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam
hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya etika deskriptif
tersebut berbicara mengenai fakta secara apa adanya, yakni mengenai
nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan
14 | P a g e
situasi dan realitas yang membudaya. Dapat disimpulkan bahwa
tentang kenyataan dalam penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam
suatu masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi tertentu
memungkinkan manusia dapat bertindak secara etis.

Etika deskriptif merupakan usaha menilai tindakan atau prilaku


berdasarkan pada ketentuan atau norma baik buruk yang tumbuh
dalam kehidupan bersama di dalam masyarakat. Kerangka etika ini
pada hakikatnya menempatkan kebiasaan yang sudah ada di dalam
masyarakat sebagai acuan etis. Suatu tindakan seseorang disebut etis
atau tidak. Tergantung pada kesesuaiannya dengan yang dilakukan
kebanyakan orang.

Etika deskriptif mempunyai dua bagian yang sangat penting. Pertama,


sejarah kesusilaan. Bagian ini timbul apabila orang menerapkan
metode historik dalam etika deskriptif. Dalam hal ini yang di selidiki
adalah pendirian-pendirian mengenai baik dan buruk, norma-norma
kesusilaan yang pernah berlaku, dan cita-cita kesusilaan yang dianut
oleh bangsa-bangsa tertentu apakah terjadi penerimaan dan bagaimana
pengolahannya. Perubahan-perubahan apakah yang di alami kesusilaan
dalam perjalanan waktu, hal-hal apakah yang mempengaruhinya, dan
sebagainya. Sehingga bagaimanapun sejarah etika penting juga bagi
sejarah kesusilaan.

Kedua, fenomenologi kesusilaan. Dalam hal ini istilah fenomenologi


dipergunakan dalam arti seperti dalam ilmu pengetahuan agama.
Fenomenologi agama mencari makna keagamaan dari gejala-gejala
keagamaan, mencari logos, susunan batiniah yang mempersatukan
gejala-gejala ini dalam keselarasan tersembunyi dan penataan yang
mengandung makna. Demikian pula dengan fenomenologi kesusilaan.
Artinya, ilmu pengetahuan ini melukiskan kesusilaan sebagaimana
adanya, memperlihatkan ciriciri pengenal, bagaimana hubungan yang
terdapat antara ciri yang satu dengan yang lain, atau singkatnya,
mempertanyakan apakah yang merupakan hakekat kesusilaan.

15 | P a g e
Dilukiskan dapat berupa kesusilaan tertentu, namun dapat juga moral
pada umumnya.
2. Etika normatif
Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan
seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan
oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi
etika normatif merupakan norma-norma yang dapat menuntun agar
manusia bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal yang buruk,
sesuai dengan kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di
masyarakat.

Kelompok ini mendasarkan diri pada sifat hakiki kesusilaan bahwa di


dalam perilaku serta tanggapan- tanggapan kesusilaannya, manusia
menjadikan norma- norma kesusilaan sebagai panutannya. Etika
menetapkan bahwa manusia memakai norma-norma sebagai
panutannya, tetapi tidak memberikan tanggapan mengenai kelayakan
ukuran-ukuran kesusilaan. Sah atau tidaknya norma- norma tetap tidak
dipersoalkan yang di perhatikan hanya berlakunya.

Etika normatif tidak dapat sekedar melukiskan susunan - susunan


formal kesusilaan. Ia menunjukkan prilaku manakah yang baik dan
prilaku manakah yang buruk. Yang demikian ini kadangkadang yang
disebut ajaran kesusilaan, sedangkan etika deskriptif disebut juga ilmu
kesusilaan. Yang pertama senantiasa merupakan etika material. Etika
normatif memperhatikan kenyataan-kenyataan, yang tidak dapat di
tangkap dan diverifikasi secara empirik.

Etika yang berusaha menelaah dan memberikan penilaian suatu


tindakan etis atau tidak, tergantung dengan kesesuaiannya terhadap
norma-norma yang sudah dilakukan dalam suatu masyarakat. Norma
rujukan yang digunakan untuk menilai tindakan wujudnya bisa berupa
tata tertib, dan juga kode etik profesi. Contohnya: etika yang bersifat
individual seperti kejujuran, disiplin, dan tanggung jawab.

16 | P a g e
2.2. Birokrasi
2.1.1 Pengertian birokrasi menurut etimologi

Kalimat "birokrasi" dalam KBBI, didefinisikan sebagai: sistem


pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah
berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan.

2.2.1 Pengertian birokrasi menurut pendapat ahli


A. Michael G. Roskin, et al., (1939)
Michael G. Roskin, et al., menyebut pengertian birokrasi. Bagi mereka
birokrasi adalah "setiap organisasi yang berskala besar yang terdiri atas
para pejabat yang diangkat, di mana fungsi utamanya adalah untuk
melaksanakan (to implement) kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh
para pengambil keputusan (decision makers). Idealnya, birokrasi
merupakan suatu sistem rasional atau struktur yang terorganisir yang
dirancang sedemikian rupa guna memungkinkan adanya pelaksanaan
kebijakan publik yang efektif dan efisien.

Birokrasi juga dioperasikan oleh serangkaian aturan serta prosedur yang


bersifat tetap. Terdapat rantai komando berupa hirarki kewenangan di
mana tanggung jawab setiap bagian-bagiannya 'mengalir' dari 'atas' ke
'bawah.'

Selain itu, birokrasi juga disebut sebagai badan yang menyelenggarakan


Civil Service (pelayanan publik). Birokrasi terdiri dari orang-orang yang
diangkat oleh eksekutif, dan posisi mereka ini 'datang dan pergi.' Artinya,
mereka-mereka duduk di dalam birokrasi kadang dikeluarkan atau tetap
dipertahankan berdasarkan prestasi kerja mereka. Seorang pegawai
birokrasi yang malas biasanya akan mendapat teguran dari atasan, yang
jika teguran ini tidak digubris, ia kemungkinan besar akan diberhentikan
dari posisinya. Namun, jika seorang pegawai menunjukkan prestasi kerja

17 | P a g e
yang memuaskan, ada kemungkinan ia akan dipromosikan untuk
mendapat posisi yang lebih tinggi (tentunya dengan gaji dan kewenangan
yang lebih besar pula).

B. Bintoro Tjokroamidjojo (1984)


Menurut bintoro tjokroamidjojo (1984), birokrasi dimaksudkan untuk
mengorganisasi secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh
banyak orang. Dengan demikian, tujuan dari adanya birokrasi agar
pekerjaan dapat diselesaikan dengan cepat dan terorganisasi. Bagaimana
suatu pekerjaan yang banyak jumlahnya harus diselesaikan oleh banyak
orang sehingga tidak terjadi tumpang tindih di dalam penyelesaiannya, dan
inilah yang sebenarnya menjadi tugas dari birokrasi.

C. Blau dan Page (1956)


Blau dan page (1956) mengemukakan birokrasi sebagai tipe dari suatu
organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif
yang besar dengan cara mengoordinasikan secara sistematis (teratur)
pekerjaan dari banyak orang. Jadi, menurut blau dan page, birokrasi justru
untuk melaksanakan prinsip-prinsip organisasi yang ditujukan untuk
meningkatkan efisiensi administratif, meskipun kadang dalam
pelaksanaannya birokratisasi sering mengakibatkan adanya
ketidakefisienan.

D. Mouzelis, Ismani (2001)


Dengan mengutip pendapat Mouzelis, Ismani (2001) mengemukakan
bahwa dalam birokrasi terdapat aturan-aturan yang rasional, struktur
organisasi dan proses berdasarkan pengetahuan teknis dan dengan efisiensi
yang setinggitingginya. Dari pandangan demikian, tidak sedikit pun alasan
untuk menganggap birokrasi itu jelek dan tidak efisien.

E. Fritz Morstein Marx, Bintoro Tjokroamidjojo (1984)


Dengan mengutip pendapat Fritz Morstein Marx, Bintoro Tjokroamidjojo
(1984) mengemukakan bahwa birokrasi adalah tipe organisasi yang
dipergunakan pemerintahan modern untuk pelaksanaan berbagai tugas
18 | P a g e
yang bersifat spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi yang
khususnya oleh aparatur pemerintahan.

F. Blau dan Meyer, Dwijowijoto (2004)


Dengan mengutip Blau dan Meyer, Dwijowijoto (2004) menjelaskan
bahwa birokrasi adalah suatu lembaga yang sangat kuat dengan
kemampuan untuk meningkatkan kapasitas-kapasitas potensial terhadap
hal-hal yang baik dan buruk dalam keberadaannya sebagai instrumen
administrasi rasional yang netral pada skala yang besar. Selanjutnya,
dikemukakan bahwa di dalam masyarakat modern, yang terdapat begitu
banyak urusan yang terus-menerus dan ajeg, hanya organisasi birokrasi
yang mampu menjawabnya. Birokrasi dalam praktik dijabarkan sebagai
pegawai negeri sipil.

2.3.1 Ciri - Ciri Birokrasi

Birokrasi menurut Max Weber memiliki ciri-ciri seperti di bawah ini:

 Jabatan administratif yang terorganisir atau tersusun secara hirarkis


(Administratice offices are organized hierarchically)
 Setiap jabatan memiliki wilayah kompetensinya sendiri. (Each office
has its own area of competence)
 Pegawai negeri ditetapkan, dan tidak dipilih berdasarkan hasil
kualifikasi teknik yang ditunjukan melalui ijazah atau ujian. (Civil
servants are appointed, not electe, on the basis of technical
qualifications as determined by diplomas or examination)
 Pegawai negeri menerima gaji tetap sesuai dengan pangkat atau
kedudukan yang dimiliki. (Civil servants receive fixed salaries
according to rank)
 Pekerjaan adalah karir yang terbatas, atau pada intinya, yaitu
pekerjaanya sebagai pegawai negeri. (The job is a career and the sole,
or at least primary, employment of the civil servant)

19 | P a g e
 Para pejabat tidak memiliki kantor tersendiri. (The official does not
own his or her office)
 Para pejabat berperan sebagai subjek yang melakukan pengontrolan,
dan pendisiplinan. (the official is subject to control and discipline)
 Promosi diberikan berdasarkan pertimbangan kemampuan yang
melebihi rata-rata. (Promotion is based on superiors judgement)

2.4.1 Karakteristik Birokrasi

a. Karakteristik Umum Birokrasi


Karakteristik birokrasi yang umum diacu adalah yang diajukan oleh Max
Weber. Menurut Weber, paling tidak terdapat 8 karakteristik birokrasi,
yaitu:

1. Organisasi yang disusun secara hirarkis


2. Setiap bagian memiliki wilayah kerja khusus.
3. Pelayanan publik (civil sevants) terdiri atas orang-orang yang
diangkat, bukan dipilih, di mana pengangkatan tersebut didasarkan
kepada kualifikasi kemampuan, jenjang pendidikan, atau pengujian
(examination).
4. Seorang pelayan publik menerima gaji pokok berdasarkan posisi.
5. Pekerjaan sekaligus merupakan jenjang karir.
6. Para pejabat/pekerja tidak memiliki sendiri kantor mereka.
7. Setiap pekerja dikontrol dan harus disiplin.
8. Promosi yang ada didasarkan atas penilaiaj atasan (superior's
judgments).

b. Karakteristik Khusus
Ditinjau secara politik, karakteristik birokrasi menurut Weber hanya
menyebut hal-hal yang ideal. Artinya, terkadang pola pengangkatan
pegawai di dalam birokrasi yang seharusnya didasarkan atas jenjang
pendidikan atau hasil ujian, kerap tidak terlaksana. Ini diakibatkan masih
berlangsungnya pola pengangkatan pegawai berdasarkan kepentingan
pemerintah.

20 | P a g e
2.5.1 Tipe Ideal Birokrasi

Dengan mengutip pendapat Max Weber seorang sosiolog Jerman,


Tjokroamidjojo (1984: 72-73) mengemukakan ciri-ciri utama dari struktur
birokrasi di dalam tipe idealnya, yaitu sebagai berikut:

1. Prinsip pembagian kerja


Kegiatan-kegiatan reguler yang diperlukan untuk mencapai tujuan
organisasi dibagi dalam cara-cara tertentu sebagai tugas-tugas jabatan.
Dengan adanya prinsip pembagian kerja yang jelas, pelaksanaan pekerjaan
dilakukan oleh tenagatenaga spesialisasi dalam setiap jabatan, sehingga
pekerjaan dapat dilaksanakan dengan tanggung jawab penuh dan efektif.
2. Struktur hierarkis
Pengorganisasian jabatan-jabatan mengikuti prinsip hierarkis, yaitu
jabatan yang lebih rendah berada di bawah pengawasan atau pimpinan dari
jabatan yang lebih atas. Pejabat yang lebih rendah kedudukannya harus
mempertanggungjawabkan setiap keputusannya kepada pejabat atasannya.
3. Aturan dan Prosedur
Pelaksanaan kegiatan didasarkan pada sistem peraturan yang konsisten.
Sistem standar tersebut dimaksudkan untuk menjamin adanya keragaman
pelaksanaan setiap tugas dan kegiatan tanpa melihat jumlah orang yang
terlibat di dalamnya.
4. Prinsip netral (tidak memihak)
Pejabat yang ideal dalam suatu birokrasi melaksanakan kewajiban dalam
semangat formalistic impersonality (formal nonpribadi), artinya tanpa
perasaan simpati atau tidak simpati. Dalam prinsip ini, seorang pejabat
dalam menjalankan tugas jabatannya terlepas dari pertimbangan yang
bersifat pribadi. Dengan menghilangkan pertimbangan yang bersifat
pribadi dalam urusan jabatan, berarti suatu prakondisi untuk sikap tidak
memihak dan juga untuk efisiensi.
5. Penempatan didasarkan atas karier
Penempatan kerja di dalam organisasi birokrasi didasarkan pada
kualifikasi teknis dan dilindungi terhadap pemberhentian sewenang-
wenang. Dalam organisasi birokrasi, penempatan kerja seorang pegawai

21 | P a g e
didasarkan atas karier. Ada sistem promosi, biasanya atas dasar senioritas
atau prestasi, atau keduaduanya. Kebijaksanaan kepegawaian demikian
dimaksudkan untuk meningkatkan loyalitas kepada organisasi dan
tumbuhnya esprit de corps atau jiwa korps di antara para anggotanya.

6. Birokrasi murni
Pengalaman menunjukkan bahwa tipe birokrasi yang murni dari organisasi
administrasi dilihat dari segi teknis dapat memenuhi efisiensi tingkat
tinggi. Mekanisme birokrasi yang berkembang sepenuhnya akan lebih
efisien daripada organisasi yang tidak seperti itu atau yang tidak jelas
birokrasinya.
7. Selanjutnya, menurut Sondang P. Siagian, paradigma birokrasi yang ideal,
agar semakin mampu menyelenggarakan fungsinya dengan tingkat
efesiensi, efektivitas, dan produktivitas yang semakin tinggi, birokrasi
pemerintahan harus selalu berusaha agar seluruh organisasi birokrasi
dikelola berdasarkan prinsip prinsip organisasi yang sehat. Prinsip-prinsip
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Prinsip organisasi
Sebagai paradigma di bidang kelembagaan, prinsip organisasi penting
dipahami dan diimplementasikan.
b. Prinsip kejelasan misi
Misi birokrasi diangkat dari tujuan nasional di segala bidang
kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Birokrasi memiliki
serangkaian tugas utama yang harus dilaksanakannya, baik yang
sifatnya pengaturan yang selalu harus berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan dioperasionalkan secara transparan, maupun
dalam berbagai bentuk pelayanan masyarakat yang harus memenuhi
persyaratan benar, ramah, cepat, tetapi sekaligus akurat.
c. Prinsip kejelasan fungsi
Sebagai paradigma , fungsi merupakan rincian misi yang harus
diemban. Kejelasan fungsi tidak terbatas pada rumusan hal-hal tertentu
yang menjadi tanggung jawab fungsional suatu instansi. Meskipun
sangat penting, hal ini juga sebagai upaya untuk menjamin bahwa:

22 | P a g e
1) dalam birokrasi tidak terjadi tumpang tindih dan duplikasi dalam
arti satu fungsi diselenggarakan oleh lebih dari satu instansi;
2) tidak ada fungsi yang terabaikan karena tidak jelas induknya;
3) menghilangkan persepsi tentang adanya fungsi yang penting
kurang penting dan tidak penting;
4) jelas bagi birokrasi dan masyarakat siapa yang menjadi kelompok
clientele instansi yang sama.
d. Prinsip kejelasan aktivitas
Yang dimaksud dengan aktivitas birokrasi adalah kegiatan yang
dilakukan dalam penyelenggaraan tugas fungsi satuan kerja dalam
birokrasi. Prinsip ini harus mendapat perhatian yang terletak pada
kenyataan bahwa setiap kali para anggota birokrasi terlihat dalam
aktivitas yang mubazir, setiap itu pula terjadi pemborosan. Padahal,
karena terbatasnya sarana, prasarana, waktu, dan dana yang tersedia,
pemborosan merupakan tindakan yang tidak pernah dapat dibenarkan.
e. Prinsip kesatuan arah
Merupakan kenyataan bahwa jajaran birokrat terlibat dalam berbagai
aktivitas, baik yang ditujukan kepada berbagai pihak di luar birokrasi,
yaitu masyarakat luas maupun bagi kepentingan instansi yang
bersangkutan. Bahkan, banyak kegiatan tersebut bersifat spesialistis,
bergantung pada tuntutan dan kepentingan pihak-pihak yang harus
dilayani. Akan tetapi, aneka ragam aktivitas tersebut tetap harus
diarahkan pada satu titik kulminasi tertentu, yaitu tercapainya tujuan
yang telah ditetapkan sebelumnya.
f. Prinsip kesatuan perintah
Salah satu wewenang yang dimiliki oleh setiap orang yang menduduki
jabatan manajerial adalah memberikan perintah kepada bawahannya.
Sebaliknya, perintah bisa berupa larangan agar bawahan tersebut tidak
melakukan tindakan tertentu. Agar perintah yang diberikan dapat
terlaksana dengan efektif, sumbernya hanya satu, yaitu atasan
langsung dari bawahan yang bersangkutan. Penegasan ini sangat
penting sebagai salah satu paradigma birokrasi karena dalam
kenyataan sesungguhnya seorang bawahan mempunyai banyak atasan
bergantung pada jumlah jenjang jabatan manajerial yang terdapat

23 | P a g e
dalam suatu organisasi. Dengan demikian, penerapan prinsip satu
perintah seyogianya didasarkan pada pendapat "satu anak tangga ke
bawah". Artinya, setiap pimpinan memberikan perintah hanya kepada
para bawahannya langsung . Dengan prinsip ini, tercapai hal berikut.
1) penerima perintah tidak akan bingung tentang makna perintah yang
diterimanya;
2) pejabat yang lebih rendah tidak merasa dilampaui, satu hal yang
secara psikologis dapat berdampak negatif;
3) prinsip formalisasi ialah penentuan standar yang baku untuk semua
kegiatan yang memang dapat dilakukan. Dalam suatu birokrasi
diperlukan formalisasi yang tinggi karena dengan demikian
terdapat kriteria kinerja yang seragam untuk semua kegiatan yang
sejenis. Manfaatnya bukan hanya dalam mengukur kinerja para
pegawai yang penting untuk penilaian dalam rangka evaluasi para
pegawai untuk promosi, alih tugas, alih wilayah, bahkan untuk
pengenaan sanksi disiplin. Jika di awal telah disinggung betapa
pentingnya suatu birokrasi dikelola secara demokratis, salah satu
perwujudannya ialah kesediaan seorang pejabat pimpinan untuk
mendelegasikan wewenangnya kepada para bawahannya untuk
mengambil keputusan sesuai dengan hierarki jabatannya dalam
organisasi. Rumus yang dapat digunakan dalam hal ini bahwa pada
tingkat manajemen puncak, keputusan yang diambil adalah yang
bersifat strategis, para manajer tingkat media mengambil
keputusan yang bersifat taktis dan para manajer tingkat rendah
mengambil keputusan teknis dan operasional.

Disoroti dari kinerja manajerial penerapan prinsip ini sangat penting


karena:

1) Mutu keputusan yang diambil akan semakin tinggi,


2) Bagi setiap manajer tersedia waktu lebih banyak untuk
menyelenggarakan fungsi-fungsi manajerial yang lain,
3) Operasionalisasi keputusan akan semakin efektif karena rasa
tanggung jawab para pengambil keputusan pada berbagai eselon
akan semakin besar,
24 | P a g e
4) Para manajerial yang lebih rendah merasa mendapat kepercayaan
dari atasan masing-masing. Sebagaimana dimaklumi bahwa
pendelegasian wewenang hanya mungkin berlangsung dengan baik
apabila penerima delegasi wewenang itu menunjukkan
kemantapan, tidak hanya dalam arti teknis, tetapi juga secara
psikologis dan mental intelektual. Pengalaman menunjukkan
bahwa kemantapan tersebut hanya tercapai dalam suatu
organisasional yang demokratis. Kuncinya terletak pada gaya
manajerial para atasan.

g. Prinsip desentralisasi
Prinsip yang berkaitan erat dengan pendelegasian wewenang adalah
penerapan prinsip desentralisasi. Sebagai paradigma birokrasi,
desentralisasi pada dasarnya berarti harus dicegah adanya konsentrasi
pengambilan keputusan pada satu titik tertentu. Dengan kata lain,
jangan sampai terjadi sentralisasi yang berlebihan.

Bagi suatu birokrasi, hal ini sangat penting karena dengan kondisi
wilayah kekuasaan negara yang sangat mungkin heterogen ditinjau
dari segi potensi ekonomi, jumlah dan komposisi penduduk, kekayaan
alam, topografi wilayah, dan budaya masyarakat setempat,
desentralisasi pengambilan keputusan mutlak diperlukan. Dengan
desentralisasi itulah, para pejabat pimpinan dan pelaksana dapat
bertindak dengan tepat, dalam arti sesuai dengan situasi dan kondisi
setempat dan lapangan.

Dalam kaitan ini, harus ditekankan bahwa ada hal-hal tertentu yang
dilakukan dengan pendekatan sentralisasi, terutama dalam suatu
negara kesatuan. Beberapa contoh yang sifatnya nasional, seperti
perumusan kebijaksanaan dasar, pola perencanaan, pola organisasi dan
pola pengawasan.

Bahkan di negara yang berbentuk federasi, ada kegiatan yang


merupakan "urusan" pemerintah federal, seperti pertahanan dan

25 | P a g e
keamanan, serta hubungan luar negeri. Para pejabat dan petugas di
lapangan bekerja atas pola yang telah ditetapkan secara nasional.

h. Prinsip keseimbangan wewenang dan tanggung jawab


Jika wewenang dapat diartikan sebagai hak menyuruh atau melarang
orang lain melakukan sesuatu, tanggung jawab adalah kewajiban untuk
memikul segala konsekuensi yang mungkin timbul karena penggunaan
wewenang. Keduanya harus dimiliki secara berimbang oleh setiap
anggota, terutama para pejabat pimpinan. Teori manajemen
menekankan bahwa ketidakseimbangan antara keduanya dapat
berdampak negatif pada kinerja organisasi. Jika wewenang seseorang
tidak diimbangi oleh tanggung jawab, tidak mustahil terbuka peluang
untuk bertindak otoriter atau diktatorial. Sebaliknya, jika seseorang
hanya dibebani dengan tanggung jawab tanpa diimbangi oleh
wewenang, mungkin ia akan ragu-ragu melakukan sesuatu karena
takut jika tindakannya itu melampaui wewenangnya.

2.3. Etika Birokrasi


2.1.1 Etika Birokrasi
Pada pembahasan di atas telah diuraikan pengertian dari birokrasi,
selanjutnya kita akan bahas menyangkut etika birokrasi. Sebagaimana
dimaklumi bahwa etika merupakan norma-norma moral yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya
atau kumpulan asas atau nilai moral. Untuk menjadi pegangan atau
rujukan seseorang atau kelompok, nilai-nilai moral tersebut diwujudkan
dalam bentuk kode etik, misalnya kode etik kedokteran, kode etik
pers/jurnalistik, kode etik kehakiman, dan lain sebagainya.

Menurut Dwijowijoto (2004), birokrasi dalam praktik dijabarkan sebagai


pegawai negeri sipil. Ismani (2001) mengemukakan bahwa apabila
dikaitkan dengan fungsi pemerintahan dan pembangunan, birokrasi
berkenaan dengan kelembagaan, aparat, dan sistem serta prosedur dalam
kegiatan yang dilaksanakan demi kepentingan umum dan masyarakat.
Dalam pengertian birokrasi demikian, menurut Yahya Muhaimin (1991),
26 | P a g e
birokrasi sebagai keseluruhan aparat pemerintah, baik sipil maupun militer
yang bertugas membantu pemerintah dan menerima gaji dari pemerintah
karena statusnya itu. Dari keseluruhan yang dikemukakan di atas, dapat
dirumuskan bahwa etika birokrasi adalah "norma atau nilai-nilai moral
yang menjadi pedoman bagi keseluruhan aparat pemerintah dalam
menjalankan tugas dan keivajibannya demi kepentingan umum atau
masyarakat.

Dengan demikian, aparat pemerintah seharusnya mempunyai pedoman


dan penuntun dalam sikap dan perilaku sehingga birokrasi menjadi bersih
dinamis dan bertanggung jawab. Dalam hal ini tidak cukup hanya
tanggung jawab secara yuridis formal, tetapi juga tanggung jawab secara
moral.

Dengan kata lain, birokrasi pada prinsipnya tidak dibuat sulit selama
dalam prosesnya dapat dibuat mudah. Sementara dalam praktiknya, ada
oknum pejabat yang memanfaatkan birokrasi ini untuk kepentingan sesaat
dirinya. Tanpa mengindahkan kesulitan orang lain yang membutuhkan
bantuan pelayanan. Hal seperti ini dalam fenomena pelaksanaan birokrasi
mulai kalangan pegawai rendah sampai kalangan pejabat masih banyak
terjadi.

Prinsip dasar birokrasi adalah proses waktu pelayanan cepat, biaya murah,
tidak berbelit-belit, sikap dan perilaku para pegawai ramah dan sopan, ini
yang selalu harus dijaga serta dilaksanakan tanpa mengenal pamrih.
Dengan sendirinya akan berdampak terhadap orang yang dilayani akan
diperlakukan hal yang sama atas kepuasan pelayanan karena para
pelaksana birokrasi memegang prinsip etika dalam melaksanakan
birokrasi.

2.2.1 Konsep Etika Birokrasi


Di negara-negara berkembang, tugas utama birokrasi lebih dititikberatkan
untuk memperlancar proses pembangunan. Itulah sebabnya banyak penulis
yang menganalisis administrasi negara-negara berkembang menggunakan
27 | P a g e
istilah birokrasi pembangunan atau administrasi pembangunan. Definisi
yang sederhana mengatakan bahwa pembangunan adalah proses
perubahan dari suatu keadaan tertentu kearah keadaan lain yang lebih
baik. Katz (1965). Dalam tugas-tugas pembangunan, aparat administrasi
diharapkan memiliki komitmen terhadap tujuan-tujuan pembangunan, baik
dalam perumusan kebijakan maupun dalam pelaksanaannya secara efektif
dan efisien. Dia harus berorientasi kepada kegiatan (bukan hanya terpaku
pada aturan-aturan legalistik), mampu memecahkan masalahmasalah
kemasyara-katan, serta mampu merumuskan kebijakankebijakan tertentu
ke arah kemajuan. Singkatnya, dia harus mampu menjadi agen-agen
perubahan (change agents).
Dengan demikian, wajarlah apabila para administrator pembangunan
diberi hak-hak untuk mengambil kebijakankebijakan yang diperlukan
berdasarkan pertimbangan rasional dan pengalaman yang dimilikinya.
Keleluasaan untuk mengambil kebijakan administratif (administrative
discretion) ini diberikan supaya pemerintahan dapat berjalan secara efektif
dan proyek-proyek pembangunan yang kerapkali membutuhkan
pengambilan keputusan yang cepat itu dapat terlaksana dengan lancar.
Sayangnya, tidak setiap administrator menyadari bahwa mereka
mengemban tugas berat yang hams selalu dipertanggungjawabkan kepada
rakyat. Seharusnya para administrator mempergunakan hak-hak
diskresinya untuk situasi unik yang belum terdapat dalam peraturan, untuk
masalah-masalah yang lidak terlalu berpengaruh secara makro, atau untuk
kebijakan- kebijakan yang benar-benar urgen dan mendesak. Tetapi dalam
banyak kasus mereka selalu mempergunakan hak-hak yang melekat dalam
jabatannya, dan lebih buruk lagi mereka tidak melibatkan
pertimbanganpertimbangan rasional. Davis mengatakan bahwa di
negaranegara yang tengah melakukan usaha-usaha modernisasi, banyak
pejabat publik yang kini memiliki terlalu banyak diskresi. Oleh sebab itu,
tindakan-tindakan restrukturisasi perlu dilakukan untuk membatasi,
menyusun kembali, dan mengevaluasi pelbagai diskresi tersebut guna
menciptakan masyarakat yang lebih adil. (Davis, 1976: 3) Di negara kita,
pertanggungjawaban administratif terhadap masalah-masalah
pembangunan akan semakin diperlukan terutama jika diingat bahwa

28 | P a g e
pendekatan legalistik melalui Peradilan Tata Usaha Negara belum bisa
betulbetul diterapkan. Jalan yang bisa ditempuh adalah melalui sistem
pertanggungjawaban kepada tingkat-tingkat administratif yang lebih
tinggi, atau melalui dialog terus-menerus secara terbuka dengan
komponen-komponen yang berfungsi menyalurkan aspirasi masyarakat.
Betapapun administrasi pembangunan tidak berjalan dalam kondisi vakum
politik, karena itu pelaksanaannya harus dapat dipertanggungjawabkan
secara politik pula. Proses administrasi memperoleh legitimasinya dari
kehendak politik rakyat sehingga sudah selayaknya kalau ia
mencerminkan kemauan rakyat Sampai kepada tingkat kebijakan yang
paling mikro.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan nasional kita selama kurun
waktu 25 (dua puluh lima) tahun terakhir telah berhasil mengangkat taraf
kemakmuran ekonomis masyarakat. Akan tetapi, prestasi ini tidak
dibarengi dengan meningkatnya kesejahteraan dipandang dari aspek-aspek
sosial dan nilai-nilai demokrasi. Pelaksanaan pembangunan komunitas
pada skala luas hanya menghasilkan tidak lebih dari seperangkat program
dan target baru yang dirumuskan dari pusat dengan pelaksana struktur-
struktur birokrasi yang konvensional dan tidak tanggap terhadap preferensi
atau kebutuhan-kebutuhan rakyat setempat. Secara rinci Korten
mengemukakan ciri-ciri program pembangunan pada kebanyakan negara
berkembang, antara lain: (a) ketergantungan pada organisasi-organisasi
birokrasi terpusat yang hanya mempunyai sedikit kemampuan untuk
menanggapi beraneka-ragam kebutuhan khas komunitas; ketergantungan
ini juga tampak dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
“partisipatif”; (b) investasi yang tidak memadai dalam proses
pengembangan kemampuan komunitas untuk memecahkan masalah; (c)
perhatian yang kurang dalam menangani keanekaragaman masyarakat,
terutama dalam hal struktur sosial pedesaan yang sangat berlapis-lapis; (d)
tidak cukupnya integrasi antara komponen-komponen teknis dengan sosial
dalam upaya pembangunan. Untuk itu, Korten mengusulkan supaya
program-program pembangunan tidak hanya berdasarkan ancangan “cetak
biru” yang terlalu kaku melainkan diupayakan agar terjadi proses belajar
(learning process) yang bermanfaat bagi rakyat. Tantangan yang harus

29 | P a g e
dihadapi untuk menuju model pembangunan partisipatoris ialah usaha-
usaha pemaduan pelaksanaan kerja, pendidikan, dan pembentukan
lembaga ke dalam sebuah proses belajar yang koheren (Korten, 1988: 231-
249). Ini hanya bisa dilaksanakan jika para administrator bersedia selalu
membuka diri untuk tidak hanya terpancang pada pemahaman teknis dan
asas-asas manajerial dalam proses administratif tetapi juga membuka diri
terhadap pemahaman mengenai karakter dan kultur masyarakat.

Rumusan yang terdapat dalam Garis-garis Besar Haluan Negara secara


eksplisit telah menyebutkan bahwa ideologi pembangunan yang kita anut
mencita-citakan pembangunan manusia seutuhnya. Itu berarti bahwa
pembangunan nasional tidak hanya mengutamakan tercukupinya
kebutuhan- kebutuhan materi, sistem ekonomi yang sehat, dan taraf hidup
yang lebih baik, melainkan juga terbinanya manusia-manusia Indonesia
yang berwatak, berkepribadian, memiliki rasionalitas dan visi ke depan,
dan mempunyai nilai-nilai moralitas yang tinggi. Manusia tidak
ditempatkan sebagai objek pembangunan, tetapi sebagai subjek atau titik
sentral yang akan menentukan arah pembangunan itu sendiri. Maka para
administrator yang terlibat langsung dalam perencanaan maupun
operasionalisasi program-program pembangunan diharuskan untuk selalu
mempertimbangkan nilai-nilai yang wajib dianut dalam melaksanakan
tugas-tugas kedinasan mereka. Asas-asas pembangunan yang manusiawi
itu mungkin terlalu abstrak untuk dikaitkan dengan tugas-tugas yang
bersifat teknis, tetapi melalui penilaian yang bijaksana dari para
administrator semua kebijakan akan selalu mengandung konsekuensi yang
terkait dengan ide-ide pembangunan yang paling mendasar tersebut.
1. Kebebasan
Kemerdekaan pribadi atau kebebasan merupakan bagian penting dari
hak-hak asasi manusia. Hak untuk bebas merupakan hak yang melekat
pada setiap individu karena martabatnya sebagai manusia, bukan
karena pemberian oleh masyarakat dan negara. Dalam sejarah bisa
ditengok bahwa persoalan kebebasan seringkali mencuat karena
ditindasnya hak-hak kebebasan manusia oleh kekuasaan negara
absolutis atau kekuasaan oligopolis pasar dari sisi politik, sosial

30 | P a g e
maupun ekonomis. Kebebasan perlu ditegakkan supaya wajah
pembangunan tetap beradab dan berprikemanusiaan. Menjamin
kebebasan individu berarti mencegah masyarakat dari kemungkinan
tumbuhnya kekuasaan liran atau kebijakan-kebijakan pembangunan
semena-mena yang hendak menukar modernisasi dengan harkat dan
martabat warga negara. Menurut (Rais, 1990: 173) Dalam proses
menggerakkan roda pembangunan, ada beberapa corak kebebasan
yang perlu dipertimbangkan antara lain:
1. Kebebasan Mengeluarkan Pendapat
Pemerintahan disebut demokratis hanya apabila ia bersedia
membuka peluang yang luas bagi setiap warga negara untuk
berbicara sesuai dengan keyakinannya. Kebebasan mengeluarkan
pendapat perlu dijamin dengan alasan bahwa di samping untuk
melindungi hak-hak asasi ia juga dapat dijadikan sumber masukan
bagi pemerintah supaya bisa mengetahui kelemahankelemahannya.
Gejolak-gejolak masyarakat akibat berbagai ketidakpuasan dapat
dikurangi jika kebebasan mengeluarkan pendapat tetap ditegakkan
sehingga cara ini sesungguhnya juga merupakan sarana penjamin
stabilitas.
2. Kebebasan Pers
Kontrol sosial dan tanggung jawab sosial hanya dapat berjalan baik
jika dalam masyarakat terdapat kebebasan pers. Lebih dari itu pers
juga dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mengkomunikasikan
ide-ide pembangunan. Patut disayangkan bahwa pers sendiri
acapkali melakukan self- censorship dan tidak berusaha
menciptakan iklim yang kondusif bagi adu argumentasi yang sehat.
Pers sendiri terkadang tak mampu menunjukkan prinsip yang jelas
dalam misi jurnalistiknya sehingga informasi-informasi yang
diungkapkannya tidak murni lagi. Inilah yang perlu mendapat
perhatian dalam mengembangkan kebebasan pers yang mapan.
3. Kebebasan Berserikat
Kebebasan berkumpul atau berserikat perlu senantiasa dilindungi
dalam upaya menuju sistem politik yang demokratis. Rakyat
mempunyai hak untuk menyelenggarakan rapat, melaksanakan

31 | P a g e
pertemuanpertemuan, atau bahkan membentuk berbagai corak
kelompok sosial untuk memenuhi kepentingan bersama. Birokrasi
tidak perlu selalu curiga atas aktivitas-aktivitas mereka apalagi
memaksakan kehendak agar kelompokkelompok itu tersubordinasi
di bawahnya.
4. Kebebasan Beragama
Setiap warga negara harus diperkenankan untuk menganut agama
tertentu dan beribadah sesuai dengan keyakinannya, karena itu
menyangkut hak individual yang wajib dijamin. Sudah banyak
terbukti bahwa keyakinan spiritual yang muncul dari ketaatan
kepada agama akan dapat menjadi motor pembangunan yang dapat
diandalkan, sementara nilai-nilai moral pembangunan itu sendiri
takkan pernah dilupakan.
Komponen-komponen hak kebebasan di atas harus selalu dijadikan
dasar dalam proses membangun bangsa. Semuanya perlu diwujudkan
dalam pelaksanaan proyekproyek pembangunan kalau kita memang
menghendaki terciptanya wujud pembangunan yang manusiawi.
2. Persamaan
Nilai-nilai moral yang terkandung dalam gerak pembangunan juga
ditentukan oleh seberapa jauh proses itu dapat menciptakan persamaan
derajat bagi warga negara. Hal yang pertama-tama harus ditegakkan
oleh pemerintah adalah persamaan di depan hukum (equality before
the taw). Sisa-sisa budaya feodalistik terkadang menghalangi
terciptanya persamaan di depan hukum bagi seluruh unsur masyarakat.
Perlakuan hukum terhadap anggota masyarakat masih berlain- lainan
dan pilih kasih. Seorang pejabat yang melanggar hukum dengan
mencuri kekayaan negara atau seorang penguasa yang ketahuan telah
melakukan korupsi besar-besaran kadang- kadang dapat saja bebas
dari tuntutan hukum, sementara seorang pemulung yang
menggelapkan sepeda harus mengalami penyiksaan yang hebat dalam
tahanan disertai hukuman penjara. Karena memiliki kedudukan tinggi,
banyak pejabat yang seolah-olah “kebal hukum” meskipun
pelanggaran yang dilakukannya sesungguhnya sangat merugikan
masyarakat. Kiranya sudah saatnya bagi birokrasi untuk melakukan

32 | P a g e
otokritik dengan melihat setiap permasalahan yang menyangkut
interaksi administratif dengan rakyat secara objektif. Dalam sistem
administrasi negara kita ternyata masih sedikit sekali pejabat yang
secara jantan mau mengakui kekeliruannya dalam melaksanakan tugas
untuk kemudian meletakkan jabatannya secara suka rela. Lebih parah
lagi banyak di antara mereka yang menganggap kritik-kritik yang
dilontarkan masyarakat sebagai angin lalu saja.

Aspek persamaan yang juga membutuhkan perhatian adalah


persamaan kesempatan (equality of opportunity) bagi seluruh lapisan
masyarakat. Persamaan kesempatan di negara-negara berkembang
akan bisa diwujudkan bila negara berperan aktif untuk menciptakan
peluang-peluang terutama bagi kaum miskin dan kurang
berpendidikan. Jika untuk menjamin kebebasan negara kemudian
membiarkan para pengusaha besar boleh semaunya menggencet
pengusahapengusaha kecil, maka itu bukanlah persamaan yang kita
maksudkan. Dalam kasus-kasus seperti ini intervensi birokrasi negara
untuk menentukan aturan-aturan main yang wajar sungguh diperlukan.
Kita tidak hendak mengarah kepada sistem etatisme yang
membenarkan campur-tangan negara dalam seluruh sendi kehidupan
sosial rakyatnya, tetapi segala bentuk persaingan curang yang bisa
mengakibatkan free fight liberalism juga tidak bisa dibiarkan begitu
saja. Persamaan yang harus diciptakan itu bukan hanya dalam bidang
ekonomi, melainkan menyangkul pula bidang-bidang pendidikan,
sosial, politik, atau ketenagakerjaan. Tantangan yang mesti dihadapi
guna memecahkan persoalan-persoalan seperti ini semakin nyata
apabila kita benar-benar mengharapkan tumbuhnya demokrasi.
3. Demokrasi dan Partisipasi
Dalam menelaah perubahan-perubahan yang terjadi di negara-negara
berkembang, kita melihat setidak-tidaknya dua komponen pendorong
perubahan. Pertama adalah perubahan- perubahan yang bersifat
otonom karena masyarakat menginginkan adanya pergeseran ke arah
kondisi sosial atau taraf hidup yang lebih maju. Dengan kata lain,
perubahan itu terjadi karena rakyat memang menghendakinya sebagai

33 | P a g e
naluri yang wajar untuk mencapai derajat kemakmuran, keadilan, dan
kesejahteraan yang lebih tinggi. Komponen pendorong perubahan
yang kedua berasal dari para pemimpin negara, politisi, teknokrat,
intelektual, atau birokrat yang menghendaki perubahan masyarakat ke
arah kemajuan sesuai dengan yang mereka pahami dan citacitakan.
Maka tokoh-tokoh ini pun kemudian banyak terlibat dalam
perencanaan, pengambilan keputusan, implementasi dan evaluasi,
bahkan sampai kepada usaha-usaha untuk membuat “cetak-biru” bagi
pembangunan masyarakatnya. Persoalan-persoalan etika pembangunan
muncul karena ternyata metode membangun yang diterapkan oleh para
penguasa maupun administrator itu tidak cocok atau tidak koheren
dengan kehendak rakyat. Demokratisasi dimaksudkan agar cara-cara
yang ditempuh dalam melaksanakan pembangunan itu sesuai dengan
keinginan rakyat sehingga apa pun hasil dari pembangunan itu akan
dapat menikmati bersama. Betapapun, rakyat merupakan subjek utama
pembangunan. Karena itu pembangunan tanpa demokrasi akhirnya
akan merosot statusnya menjadi usaha sepihak elit penguasa yang
menentukan gagasangagasannya sendiri kepada masyarakat luas dan
hanya akan mengutamakan kepentingan kelompok mereka sendiri.

Konsep demokrasi mengandaikan bahwa masyarakat di segala


tingkatan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan-keputusan
yang menyangkut mereka. Segala bentuk monopoli yang dicengkeram
oleh para politisi, pejabat, teknokrat hams dihapuskan karena
sesungguhnya mereka ini memperoleh legitimasi kekuasaannya dari
rakyat. Demokrasi harus diletakkan sejak perangkat pemerintahan
yang paling bawah hingga jenjang yang paling tinggi. Hal ini layak
diperhatikan sebab sampai sekarang kita masih menyaksikan bahwa
banyak sekali proyek-proyek pembangunan yang hanya didrop dari
atas. Masyarakat pedesaan, misalnya, nyaris tak pernah ditanya
mengenai hal-hal yang mereka butuhkan sehingga sangat wajar jika
antusiasme mereka dalam melaksanakan program-program
pembangunan itu sulit ditingkatkan.

34 | P a g e
Keengganan para pejabat untuk memahami pendapatpendapat
masyarakat seringkali juga mengakibatkan tumpulnya kepekaan
masyarakat terhadap masalah-masalah pembangunan. Karena terlanjur
beranggapan bahwa pendapat-pendapatnya tidak akan pernah
didengar, rakyat bahkan lebih memilih untuk tidak berpendapat
sehingga tingkat partisipasi semakin menurun. Celakanya, kalaupun
sebagian masyarakat berniat untuk menyampaikan pendapat serta
keluhannya kepada wakil-wakil rakyat pada pranata legislatif, suara-
suara itu jarang yang diteruskan kepada pranata eksekutif apalagi
didesakkan untuk dilaksanakan. Begitu banyak kasus yang
menunjukkan bahwa para wakil rakyat itu sudah dikooptasi oleh
kepentingan eksekutif, sehingga fungsi mereka tidak lebih dari tukang
cap (rubber stamp) dari keputusan-keputusan yang diambil oleh aparat
eksekutif. Tampak bahwa persoalan partisipasi masyarakat sudah
menjadi semacam lingkaran setan sehingga sulit sekali untuk
menemukan titik-tolak yang paling tepat guna memecahkan masalah
ini. Akan tetapi, satu hal yang jelas dapat dilakukan adalah upaya
penyadaran secara terusmenerus mengenai pentingnya partisipasi
masyarakat dalam masalah-masalah pembangunan. Partisipasi di sini
hendaknya melibatkan segenap unsur kemasyarakatan, meliputi
birokrasi pemerintah, para teknokrat, militer, lembaga-lembaga
swadaya, serikat buruh dan koperasi, universitas-universitas, para
mahasiswa dan cendekiawan, kaum bisnis, profesi hakim dan
pengacara, aparat medis, para rohaniwan, filosof, teolog dan seniman,
serta seluruh unsur masyarakat dalam segala fungsi yang ada.
4. Keadilan Sosial dan Pemerataan
Untuk mengejar ketinggalan dari kelompok negaranegara maju, dapat
dipahami bahwa proyek-proyek pembangunan yang dilaksanakan oleh
kebanyakan negaranegara dunia ketiga diarahkan untuk meningkatkan
taraf ekonomi secepat mungkin. Maka upaya-upaya yang dilakukan
adalah pengerahan sumber-sumber daya yang tersedia, pencegahan
terhadap pemborosan-pemborosan finansial yang tak bertanggung
jawab, sambil mempertahankan tingkat pelayanan publik yang sudah
tercapai. Efisiensi seolah-olah menjadi satu-satunya nilai yang harus

35 | P a g e
diraih. Akan tetapi, fenomena-fenomena yang muncul ternyata masih
menyisakan pertanyaan-pertanyaan pelik berkenaan dengan sasaran
pembangunan itu sendiri. Sudahkah kebijakan-kebijakan
pembangunan itu mencapai sasarannya untuk meningkatkan taraf
hidup masyarakat yang miskin? Apakah hasil-hasil pembangunan itu
benarbenar dapat dinikmati oleh setiap lapisan masyarakat secara
merata? Masyarakat terlalu pluralis bagi penerapan kebijakan yang
hanya mengandalkan rumusan-rumusan yang sekali jadi. Efisiensi
memang harus dipertahankan supaya sumber-sumber daya negara
tidak cepat habis akibat pemborosan. Namun, harus pula dipastikan
bahwa efisiensi itu benar-benar dimanfaatkan guna menolong
masyarakat yang paling tak berpunya. Masalah keadilan sosial (social
equity) menyeruak akibat munculnya kenyataan bahwa peningkatan
kesejahteraan ekonomis ternyata hanya dinikmati oleh kalangan
tertentu. Setelah beberapa persoalan untuk memenuhi kebutuhan dasar
berhasil diatasi, agenda permasalahan yang harus dipecahkan dalam
periode pembangunan selanjutnya bertalian dengan keadilan sosial.
Asas keadilan sesungguhnya tidak hanya menyangkut hukum-hukum
positif tetapi lebih mendalam lagi kepada ruang lingkup nilai- nilai
moral dan etika, dalam hal ini etika pembangunan.

Pembahasan mengenai keadilan dalam lingkup negara seringkali tidak


tepat jika hanya menyoroti hubunganhubungan individual. Keadilan
juga bisa mempersoalkan struktur politik masyarakat secara
keseluruhan. Oleh karena itu, untuk mencapai keadilan sosial, kita
harus membangun atau mengubah struktur proses-proses politik,
ekonomi, sosial, dan budaya sehingga ia cukup kondusif bagi setiap
anggota masyarakat itu untuk memperoleh keadilan. Mengupayakan
keadilan sosial berarti menjamin seoptimal mungkin agar setiap
anggota masyarakat dapat memperoleh apa yang menjadi haknya serta
bisa mendapatkan bagian yang wajar dari kemakmuran masyarakat
yang telah berhasil dicapai. Logika ini dapat dibalik dengan
mengatakan bahwa usaha mencapai keadilan sosial dapat dilakukan
dengan menghapus ketidakadilan sosial. Dalam hal ini ketidakadilan

36 | P a g e
yang paling nyata adalah kemiskinan. Kita barangkali tak dapat
mempersoalkan keadilan sosial dengan menunjuk masalah kemiskinan
jika dalam suatu negara sumbersumber daya yang tersedia memang
sangat sedikit sehingga secara keseluruhan masyarakatnya miskin.
Tetapi bila di dalam suatu negara terdapat kelompok orang yang
miskin sedangkan kelompok yang lain kaya-raya, maka pasti ada
sesuatu yang tidak beres dalam proses distribusi kemakmuran mereka.
Oleh sebab itu aparat pemerintahan harus tetap menaruh perhatian
(concern) terhadap masalah-masalah pembagian rezeki pembangunan
ini sebab dialah yang akan paling banyak berurusan dengan masalah-
masalah kebijakan pembangunan. Pemerataan hendaknya senantiasa
menjadi salah-satu nilai yang wajib dianut bagi setiap aparat yang
memprakarsai, merencanakan, dan melaksanakan proyekproyek
sampai ke hal-hal yang bersifat teknis. Ini perlu diingat karena
pengalaman menunjukkan bahwa akselerasi pembangunan yang tak
terkendali acapkali mengabaikan pemerataan hasil-hasilnya.

2.3.1 Pelaksanaan Etika Birokrasi


Berdasarkan pengertian birokrasi yang menyatakan bahwa birokrasi
merupakan organisasi-organisasi yang didirikan secara resmi dan dibentuk
untuk memaksimumkan efisiensi administrasi dalam pemerintahan dan
pembangunan yang menyangkut kelembagaan, aparat, sistem dan prosedur
dalam melaksanakan kegiatan demi kepentingan umum atau masyarakat.
Organisasiorganisasi tersebut yang terdiri atas kelembagaan, aparat,
sistem, dan prosedur merupakan kelompok khusus dalam masyarakat yang
memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Selain itu, juga sebagai suatu
kelompok yang mempunyai kekuasaan tersendiri dan mempunyai
tanggung jawab yang khusus.

Suatu kelompok yang memiliki kekuasaan sehingga menjadi monopoli


dapat menimbulkan bahaya bila tertutup bagi orang luar kelompok
tersebut dan dapat menimbulkan kecurigaan masyarakat yang merasa
dipermainkan. Untuk mencegah hal itu, diusahakan mengatur tingkah laku

37 | P a g e
moral kelompok tersebut melalui ketentuan - ketentuan tertulis yang
diharapkan akan dipegang teguh oleh seluruh kelompok.

Dikaitkan dengan etika, ketentuan-ketentuan yang dibuat itu disebut kode


etik. Kode etik dapat mengimbangi segi negatif dari terbentuknya
kelompok yang memiliki kekuasaan khusus tersebut

Kode etik dapat memperkuat kepercayaan masyarakat dan mendapat


kepastian bahwa kepentingannya terjamin. Jadi, kode etik ibarat kompas
yang menunjukkan arah moral dan menjamin mutu kelompok tersebut
dalam hal ini kelompok birokrasi dalam pemerintahan di mata masyarakat.

Agar pelaksanaan kode etik berhasil dengan baik, pelaksanaannya diawasi


terus-menerus dan kode etik mengandung sanksi bagi pelanggar kode etik.
Pelanggaran kode etik akan dinilai dan ditindak oleh "suatu dewan
kehormatan" atau komisi yang dibentuk khusus untuk keperluan itu

Etika birokrasi terus dikembangkan dalam penyelenggaraan negara


dengan dicantumkannya dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional tahun 2005 - 2025 pada salah sata misi, yaitu "mengembangkan
etika birokrasi dan budaya kerja yang transparan, akuntabel, peka, dan
tanggap terhadap kepentingan dan aspirasi masyarakat di seluruh wilayah
negara Indonesia". Selain itu, pada Bab II tentang Arah Kebijakan
Pembangunan poin (d) disebutkan, Peningkatan etika birokrasi dan budaya
kerja serta pengetahuan dan pemahaman para penyelenggara negara
terhadap prinsip-prinsip good governance, dan pada Bab III tentang
Program Pokok Pembangunan poin (1), yaitu: Program Penerapan
PrinsipPrinsip Tata Pemerintahan yang baik (Good Governance). Tujuan
program ini adalah mengurangi dan menghilangkan penyalahgunaan
kewenangan dalam birokrasi serta untuk menciptakan etika birokrasi dan
budaya kerja yang baik.

Penerapan etika birokrasi dalam pemerintahan dituangkan ke dalam kode


etik Pegawai Negeri Sipil dalam PP Nomor 42 tahun 2004 dan Pedoman

38 | P a g e
Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik dalam Keputusan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 63/ KEP/M.PAN/7/2003. Secara
khusus di lingkungan Departemen Keuangan, beberapa unit telah memiliki
kode etik pegawai, yaitu Inspektorat Jenderal, Direktorat Jenderal Pajak,
dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, sedangkan beberapa unit lainnya
sedang menyusun kode etik pegawai, antara lain Direktorat Surat Utang
Negara pada Ditjen Perbendaharaan, Direktorat Jenderal Piutang dan
Lelang Negara serta Badan Pengawas Pasar Modal.

Ketentuan-ketentuan tentang pelaksanaan etika birokrasi adalah sebagai


berikut.
1. Dasar Hukum ditetapkannya Etika Pegawai Negeri Sipil adalah
sebagai berikut
a) Pasal 5 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28 dalam Undang-
Undang Dasar 1945.
b) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 43 tahun 1999.
c) Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
d) Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2004 tentang Pembinaan
Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil.
e) Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin
Pegawai Negeri Sipil.
2. Setiap jenis pekerjaan, pada dasarnya menuntut tanggung jawab, yang
berbeda hanya besar-kecilnya ukuran dan ruang lingkup dari tanggung
jawab tersebut. Semakin rendah posisi/ jabatan seseorang dalam
organisasi, semakin kecil ruang lingkup dan ukuran atas tanggung
jawabnya.
3. Demikian pula dengan jabatan, dalam organisasi apa pun termasuk
organisasi pemerintah, jabatan tidak bisa dilepaskan dari peran pejabat
di dalam organisasi tersebut. Oleh karena itu, setiap pejabat dalam
organisasi pemerintah mulai dari level eselon IV, eselon III sampai
dengan eselon I, tentu terikat pada hal-hal yang berkaitan dengan apa

39 | P a g e
yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan
sesuai dengan posisi dan jabatannya. Ketentuan-ketentuan tersebut
dijabarkan dalam kode etik pegawai.
4. Pada umumnya, penyusunan kode etik minimal didasari oleh empat
aspek pertimbangan sebagai berikut :
a) Profesionalisme
Keahlian khusus yang dimiliki oleh seseorang, baik yang
diperolehnya dari pendidikan formal (dokter, akuntan, pengacara,
dan lain-lain), dari bakat (penyanyi, pelukis, pianis, dan lain-lain),
maupun dari kompetensi mengerjakan sesuatu (direktur, pegawai,
pejabat, dan lainlain).
b) Akuntabilitas
Kesanggupan seseorang untuk mempertanggungjawabkan apa pun
yang dilakukannya berkaitan dengan profesi serta perannya
sehingga ia dapat dipercaya. Misalnya, seorang auditor yang
memeriksa laporan keuangan sebuah perusahaan. Ia harus dapat
mempertanggungjawabkan hasil pemeriksaan yang dibuatnya
sesuai dengan kondisi perusahaan yang sebenarnya.
c) Menjaga kerahasiaan
Sebuah kemampuan memelihara kepercayaan dengan bersikap
hati-hati dalam memberikan informasi. Seorang profesional harus
mampu menyeleksi hal-hal yang bisa diinformasikan kepada
umum dan informasi yang perlu disimpan sebagai sebuah
kerahasiaan. Hal ini dilakukan demi menjaga reputasi sebuah
perusahaan dan profesi yang dijabatnya. Misalnya seorang
konsultan merupakan orang kepercayaan sebuah perusahaan, ia
bisa mengetahui seluk-beluk perusahaan tersebut, tetapi harus
menjaga informasi yang dimilikinya agar tidak sampai ke pihak
luar yang tidak berkepentingan.
d) Independensi
Sikap netral, tidak memihak salah satu pihak, menyadari batasan-
batasan dalam mengungkapkan sesuatu juga merupakan salah satu
pertimbangan kode etik. Misalnya, untuk mendamaikan dua pihak
yang berselisih dan merugikan perusahaan, seorang manajer yang

40 | P a g e
bisa menjaga sikap independennya akan lebih dipercaya kedua
belah pihak sehingga akan sangat membantu dalam penyelesaian
kasus perselisihan yang dihadapinya.
Prinsip lain yang juga bisa dijadikan parameter dalam pelaksanaan
birokrasi dapat merujuk pada prinsip-prinsip good governance yang
meliputi partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, transparansi,
kepedulian kepada stakeholder, berorientasi kepada konsensus, kesetaraan,
efektivitas dan efisiensi, akuntabilitas, dan visi strategis.

BAB III

PENUTUP

2.1.1
2.2.1

DAFTAR PUSTAKA
1. Atmodjo, S. S. n.d. MANAJEMEN (Teoritis dan Praktis). LPP Balai Insan
Cendekia. ,Bab III, "Birokrasi Dalam Manajemen Pemerintahan"
2. Muhammad. 2018. Birokrasi (Kajian Konsep, Teori Menuju Good
Governance). Vol. 53., Bab II, “Birokrasi Pemerintahan”
3. Hidayat, Rahmat, and Muhammad Rifai. 2018. Etika Manajemen Persfektif
Islam.,Bab I, “Hakikat Etika”
4. Prof. Dr. Andi Rasyid Pananrangi, S. H. M. P., S. P. M. P. Muhammad
Darwis, and H. GW. 2017. Etika Birokrat. SAH MEDIA.
5. https://id.wikipedia.org/wiki/Birokrasi
6. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/birokrasi
7. https://www.gramedia.com/best-seller/pengertian-etika/

41 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai