ETIKA ADMINISTRASI
TENTANG PELAYANAN ADMINISTRASI PUBLIK
Di susun Oleh :
Abdan Syakuro
200314608
5B - REGULER
TENGGARONG
2021
Kata Pengantar
ASSALAAMU’ALAIKUM WR.WB.
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha esa karena telah
memberikan kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan
makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “ etika birokrasi “ dengan
tepat waktu.
Penulis
ii | P a g e
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.........................................................................................................ii
Daftar Isi...................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1
2.1. Etika................................................................................................................10
2.1.1 Pengertian Etika Menurut Etimologi....................................................10
2.2.1 Pengertian Etika Menurut Pendapat Ahli.............................................10
2.3.1 Sejarah Etika.........................................................................................15
2.4.1 Objek Etika...........................................................................................15
2.5.1 Fungsi Dan Manfaat Etika....................................................................16
2.6.1 Macam – Macam Etika……………………………………………….16
2.2. Birokrasi.........................................................................................................10
2.1.1 Pengertian Birokrasi Menurut Etimologi…………………………10
2.2.1 Pengertian Birokrasi Menurut Pendapat Ahli.......................................10
2.3.1 Ciri – Ciri Birokrasi..............................................................................15
2.4.1 Karakteristik Birokrasi..........................................................................15
2.5.1 Tipe Ideal Birokrasi..............................................................................16
2.3. Etika Birokrasi................................................................................................10
2.1.1 Etika Birokrasi…………………………10
2.2.1 Konsep Etika Birokrasi.........................................................................10
2.3.1 Pelaksanaan Etika Birokrasi.................................................................15
1.1. Kesimpulan...................................................................................................27
1.2. Saran..............................................................................................................27
DAPTAR PUSTAKA...............................................................................................31
iii | P a g e
BAB 1
PENDAHULUAN
D
1. LATAR BELAKANG
i negara-negara berkembang, tugas utama birokrasi lebih dititik-
beratkan untuk memperlancar proses pembangunan. Itulah
sebabnya banyak penulis yang menganalisis administrasi negara-
negara berkembang menggu-nakan istilah birokrasi pembangunan atau
administrasi pembangunan. Definisi yang sederhana mengatakan bahwa
pembangunan adalah proses perubahan dari suatu keadaan tertentu kearah
keadaan lain yang lebih baik. Katz (1965). Dalam tugas-tugas pembangunan,
aparat administrasi diharapkan memiliki komitmen terhadap tujuantujuan
pembangunan, baik dalam perumusan kebijakan maupun dalam
pelaksanaannya secara efektif dan efisien. Dia harus berorientasi kepada
kegiatan (bukan hanya terpaku pada aturanaturan legalistik), mampu
memecahkan masalah-masalah kemasyara-katan, serta mampu merumuskan
kebijakan-kebijakan tertentu ke arah kemajuan. Singkatnya, dia harus mampu
menjadi agen-agen perubahan (change agents).
2|Page
keanekaragaman masyarakat, terutama dalam hal struktur sosial pedesaan
yang sangat berlapis-lapis; dan (d) tidak cukupnya integrasi antara komponen-
komponen teknis dengan sosial dalam upaya pembangunan. Untuk itu, korten
(1988: 231-249) mengusulkan supaya program-program pembangunan tidak
hanya berdasarkan ancangan “cetak biru” yang terlalu kaku melainkan
diupayakan agar terjadi proses belajar (learning process) yang bermanfaat
bagi rakyat. Tantangan yang harus dihadapi untuk menuju model
pembangunan partisipatoris ialah usahausaha pemaduan pelaksanaan kerja,
pendidikan, dan pembentukan lembaga ke dalam sebuah proses belajar yang
koheren. (korten, 1988: 231-249). Ini hanya bisa dilaksanakan jika para
administrator bersedia selalu membuka diri untuk tidak hanya terpancang
pada pemahaman teknis dan asas-asas manajerial dalam proses administratif
tetapi juga membuka diri terhadap pemahaman mengenai karakter dan kultur
masyarakat.
Rumusan yang terdapat dalam garis-garis besar haluan negara secara eksplisit
telah menyebutkan bahwa ideologi pembangunan yang kita anut mencita-
citakan pembangunan manusia seutuhnya. Itu berarti bahwa pembangunan
nasional tidak hanya mengutamakan tercukupinya kebutuhan-kebutuhan
materi, sistem ekonomi yang sehat, dan taraf hidup yang lebih baik, melainkan
juga terbinanya manusia-manusia indonesia yang berwatak, berkepribadian,
memiliki rasionalitas dan visi ke depan, dan mempunyai nilai-nilai moralitas
yang tinggi. Manusia tidak ditempatkan sebagai objek pembangunan, tetapi
sebagai subjek atau titik sentral yang akan menentukan arah pembangunan itu
sendiri. Maka para administrator yang terlibat langsung dalam perencanaan
maupun operasionalisasi program-program pembangunan diharuskan untuk
selalu mempertimbangkan nilai-nilai yang wajib dianut dalam melaksanakan
tugas-tugas kedinasan mereka. Asas-asas pembangunan yang manusiawi itu
mungkin terlalu abstrak untuk dikaitkan dengan tugas-tugas yang bersifat
teknis, tetapi melalui penilaian yang bijaksana dari para administrator semua
kebijakan akan selalu mengandung konsekuensi yang terkait dengan ide-ide
pembangunan yang paling mendasar tersebut.
B. RUMUSAN MASALAH
3|Page
Berdasarkan latar belakang di atas maka dalam makalah ini akan di bahas:
C. Tujuan
4|Page
D. MANFAAT PENULISAN
Selain ada tujuan pembuatan makalah ini, ada juga manfaat dari makalah
ini, yaitu menambah wawasan kita tentang birokrasi dan manajemen
pemerintahan di indonesia.
5|Page
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Etika
2.1.1 Pengertian etika menurut etimologi
Kalimat “etika” dalam kbbi, di definisikan sebagai ilmu tentang apa yang
baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak)
8|Page
merupakan dasar segala realitas. Mereka penganut ajaran reinkarnasi.
Menurut mereka badan merupakan kubur jiwa (soma-sema,”tubuh-
kubur”). Agar jiwa dapat bebas dari badan, manusia perlu menempuh
jalan pembersihan. Dengan bekerja dan bertapa secara rohani,
terutama dengan berfilsafat dan bermatematika, manusia dibebaskan
dari ketertarikan indrawi dan dirohanikan.
Plato (427 sm) tidak menulis tentang etika. Buku etika pertama ditulis
oleh aristoteles (384 sm). Namun dalam banyak dialog plato terdapat
9|Page
uraian-uraian bernada etika. Itulah sebabnya kita dapat merekontruksi
pikiran-pikiran plato tentang hidup yang baik. Intuisi dari plato tentang
hidup yang baik itu mempengaruhi filsafat dan juga kerohanian di
barat selama 2000 tahun. Baru pada zaman modern paham tentang
keterarahan objektif kepada yang ilahi dalam segala yang ada mulai
ditinggalkan dan diganti oleh pelbagai pola etika; diantaranya etika
otonomi kesadaran moral kant adalah yang paling penting. Etika plato
tidak hanya berpengaruh di barat, melainkan lewat neoplatoisme juga
masuk ke dalam kalangan sufi muslim. Disinilah nantinya jalur
hubungan pemikiran filsafat yunani dengan pemikir muslim seperti ibn
miskawaih yang banyak mempelajari filsafat yunani sehingga
mempengaruhi tulisantulisannya mengenai filsafat etika. Setelah
aristoteles, epikuros (314- 270 sm) adalah tokoh yang berepengaruh
dalam filsafat etika. Ia mendirikan sekolah filsafat di athena dengan
nama epikureanisme, akan menjadi salah satu aliran besar filsafat
yunani pasca aristoteles. Berbeda dengan plato dan aristoteles, berbeda
juga dengan stoa, epikuros dan murid-muridnya tidak berminat
memikirkan, apalagi masuk ke bidang politik. Ciri khas filsafat
epikuros adalah penarikan diri dari hidup ramai. Semboyannya adalah
“hidup dalam kesembunyian“. Etika epikurean bersifat privatistik.
Yang dicari adalah kebahagiaan pribadi. Epikuros menasihatkan orang
untuk menarik diri dari kehidupan umum, dalam arti ini adalah
individualisme. Namun ajaran epikuros tidak bersifat egois. Ia
mengajar bahwa sering berbuat baik lebih menyenangkan daripada
menerima kebaikan. Bagi kaum epikurean, kenikmatan lebih bersifat
rohani dan luhur daripada jasmani. Tidak sembarang keinginan perlu
dipenuhi. Ia membedakan antara keinginan alami yang perlu (makan),
keinginan alami yang tidak perlu (seperti makanan yang enak), dan
keinginan sia-sia (seperti kekayaan).
10 | P a g e
45). Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan hakikat telah diterima dari
wahyu. Dan apa yang terkandung dan diajarkan oleh wahyu adalah
benar. Jadi manusia tidak perlu lagi bersusah payah menyeliiki tentang
kebenaran hakikat, karena semuanya telah diatur oleh tuhan.
Ahli-ahli filsafat etika yang lahir pada masa itu, adalah panduan dari
ajaran yunani dan ajaran nasrani. Di antara mereka yang termasyur
adalah abelard (1079-1142 sm), seorang ahli filsafat prancis, dan
thomas aquinus (1226-1270 sm), seorang ahli filsafat agama dari italia.
Jadi bangsa arab pada masa itu, telah puas mengambil etika dari agama
dan tidak merasa butuh untuk menyelidiki mengenai dasar baik dan
buruk. Oleh karena itu, agama banyak menjadi dasar buku-buku yang
dilukiskan di dalam etika. Seperti buku karya alghazali dan al-
mawardi.
11 | P a g e
Penyidik bangsa arab yang terbesar mengenai etika adalah ibnu
maskawayh, yang wafat pada 421 h. Dia mencampurkan ajaran plato,
aristoteles, galinus dengan ajaran islam. Ajaran aristoteles bnyak
termasu dalam penyelidikan tentang jiwa. (shubhi, 1992: 17).
Setiap tingkah laku atau perbuatan manusia yang pasti berkaitan dengan
norma atau nilai etis yang belaku di masyarakat, sehingga dapat dikatakan
bahwasannya tingkahlaku manusia itu, baik yang dapat diamati secara
langsung maupun tidak, dapat dijadikan sebagai bahan tinjauan, tempat
penilaian terhadap norma yang berlaku di masyarakat. Perbuatan menjadi
obyek ketika etika mencoba atau menerapkan teori nilai.
13 | P a g e
mencari orientasi secara kritis dalam berhadapan dengan moralitas yang
membingungkan”
15 | P a g e
Dilukiskan dapat berupa kesusilaan tertentu, namun dapat juga moral
pada umumnya.
2. Etika normatif
Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan
seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan
oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi
etika normatif merupakan norma-norma yang dapat menuntun agar
manusia bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal yang buruk,
sesuai dengan kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di
masyarakat.
16 | P a g e
2.2. Birokrasi
2.1.1 Pengertian birokrasi menurut etimologi
17 | P a g e
yang memuaskan, ada kemungkinan ia akan dipromosikan untuk
mendapat posisi yang lebih tinggi (tentunya dengan gaji dan kewenangan
yang lebih besar pula).
19 | P a g e
Para pejabat tidak memiliki kantor tersendiri. (The official does not
own his or her office)
Para pejabat berperan sebagai subjek yang melakukan pengontrolan,
dan pendisiplinan. (the official is subject to control and discipline)
Promosi diberikan berdasarkan pertimbangan kemampuan yang
melebihi rata-rata. (Promotion is based on superiors judgement)
b. Karakteristik Khusus
Ditinjau secara politik, karakteristik birokrasi menurut Weber hanya
menyebut hal-hal yang ideal. Artinya, terkadang pola pengangkatan
pegawai di dalam birokrasi yang seharusnya didasarkan atas jenjang
pendidikan atau hasil ujian, kerap tidak terlaksana. Ini diakibatkan masih
berlangsungnya pola pengangkatan pegawai berdasarkan kepentingan
pemerintah.
20 | P a g e
2.5.1 Tipe Ideal Birokrasi
21 | P a g e
didasarkan atas karier. Ada sistem promosi, biasanya atas dasar senioritas
atau prestasi, atau keduaduanya. Kebijaksanaan kepegawaian demikian
dimaksudkan untuk meningkatkan loyalitas kepada organisasi dan
tumbuhnya esprit de corps atau jiwa korps di antara para anggotanya.
6. Birokrasi murni
Pengalaman menunjukkan bahwa tipe birokrasi yang murni dari organisasi
administrasi dilihat dari segi teknis dapat memenuhi efisiensi tingkat
tinggi. Mekanisme birokrasi yang berkembang sepenuhnya akan lebih
efisien daripada organisasi yang tidak seperti itu atau yang tidak jelas
birokrasinya.
7. Selanjutnya, menurut Sondang P. Siagian, paradigma birokrasi yang ideal,
agar semakin mampu menyelenggarakan fungsinya dengan tingkat
efesiensi, efektivitas, dan produktivitas yang semakin tinggi, birokrasi
pemerintahan harus selalu berusaha agar seluruh organisasi birokrasi
dikelola berdasarkan prinsip prinsip organisasi yang sehat. Prinsip-prinsip
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Prinsip organisasi
Sebagai paradigma di bidang kelembagaan, prinsip organisasi penting
dipahami dan diimplementasikan.
b. Prinsip kejelasan misi
Misi birokrasi diangkat dari tujuan nasional di segala bidang
kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Birokrasi memiliki
serangkaian tugas utama yang harus dilaksanakannya, baik yang
sifatnya pengaturan yang selalu harus berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan dioperasionalkan secara transparan, maupun
dalam berbagai bentuk pelayanan masyarakat yang harus memenuhi
persyaratan benar, ramah, cepat, tetapi sekaligus akurat.
c. Prinsip kejelasan fungsi
Sebagai paradigma , fungsi merupakan rincian misi yang harus
diemban. Kejelasan fungsi tidak terbatas pada rumusan hal-hal tertentu
yang menjadi tanggung jawab fungsional suatu instansi. Meskipun
sangat penting, hal ini juga sebagai upaya untuk menjamin bahwa:
22 | P a g e
1) dalam birokrasi tidak terjadi tumpang tindih dan duplikasi dalam
arti satu fungsi diselenggarakan oleh lebih dari satu instansi;
2) tidak ada fungsi yang terabaikan karena tidak jelas induknya;
3) menghilangkan persepsi tentang adanya fungsi yang penting
kurang penting dan tidak penting;
4) jelas bagi birokrasi dan masyarakat siapa yang menjadi kelompok
clientele instansi yang sama.
d. Prinsip kejelasan aktivitas
Yang dimaksud dengan aktivitas birokrasi adalah kegiatan yang
dilakukan dalam penyelenggaraan tugas fungsi satuan kerja dalam
birokrasi. Prinsip ini harus mendapat perhatian yang terletak pada
kenyataan bahwa setiap kali para anggota birokrasi terlihat dalam
aktivitas yang mubazir, setiap itu pula terjadi pemborosan. Padahal,
karena terbatasnya sarana, prasarana, waktu, dan dana yang tersedia,
pemborosan merupakan tindakan yang tidak pernah dapat dibenarkan.
e. Prinsip kesatuan arah
Merupakan kenyataan bahwa jajaran birokrat terlibat dalam berbagai
aktivitas, baik yang ditujukan kepada berbagai pihak di luar birokrasi,
yaitu masyarakat luas maupun bagi kepentingan instansi yang
bersangkutan. Bahkan, banyak kegiatan tersebut bersifat spesialistis,
bergantung pada tuntutan dan kepentingan pihak-pihak yang harus
dilayani. Akan tetapi, aneka ragam aktivitas tersebut tetap harus
diarahkan pada satu titik kulminasi tertentu, yaitu tercapainya tujuan
yang telah ditetapkan sebelumnya.
f. Prinsip kesatuan perintah
Salah satu wewenang yang dimiliki oleh setiap orang yang menduduki
jabatan manajerial adalah memberikan perintah kepada bawahannya.
Sebaliknya, perintah bisa berupa larangan agar bawahan tersebut tidak
melakukan tindakan tertentu. Agar perintah yang diberikan dapat
terlaksana dengan efektif, sumbernya hanya satu, yaitu atasan
langsung dari bawahan yang bersangkutan. Penegasan ini sangat
penting sebagai salah satu paradigma birokrasi karena dalam
kenyataan sesungguhnya seorang bawahan mempunyai banyak atasan
bergantung pada jumlah jenjang jabatan manajerial yang terdapat
23 | P a g e
dalam suatu organisasi. Dengan demikian, penerapan prinsip satu
perintah seyogianya didasarkan pada pendapat "satu anak tangga ke
bawah". Artinya, setiap pimpinan memberikan perintah hanya kepada
para bawahannya langsung . Dengan prinsip ini, tercapai hal berikut.
1) penerima perintah tidak akan bingung tentang makna perintah yang
diterimanya;
2) pejabat yang lebih rendah tidak merasa dilampaui, satu hal yang
secara psikologis dapat berdampak negatif;
3) prinsip formalisasi ialah penentuan standar yang baku untuk semua
kegiatan yang memang dapat dilakukan. Dalam suatu birokrasi
diperlukan formalisasi yang tinggi karena dengan demikian
terdapat kriteria kinerja yang seragam untuk semua kegiatan yang
sejenis. Manfaatnya bukan hanya dalam mengukur kinerja para
pegawai yang penting untuk penilaian dalam rangka evaluasi para
pegawai untuk promosi, alih tugas, alih wilayah, bahkan untuk
pengenaan sanksi disiplin. Jika di awal telah disinggung betapa
pentingnya suatu birokrasi dikelola secara demokratis, salah satu
perwujudannya ialah kesediaan seorang pejabat pimpinan untuk
mendelegasikan wewenangnya kepada para bawahannya untuk
mengambil keputusan sesuai dengan hierarki jabatannya dalam
organisasi. Rumus yang dapat digunakan dalam hal ini bahwa pada
tingkat manajemen puncak, keputusan yang diambil adalah yang
bersifat strategis, para manajer tingkat media mengambil
keputusan yang bersifat taktis dan para manajer tingkat rendah
mengambil keputusan teknis dan operasional.
g. Prinsip desentralisasi
Prinsip yang berkaitan erat dengan pendelegasian wewenang adalah
penerapan prinsip desentralisasi. Sebagai paradigma birokrasi,
desentralisasi pada dasarnya berarti harus dicegah adanya konsentrasi
pengambilan keputusan pada satu titik tertentu. Dengan kata lain,
jangan sampai terjadi sentralisasi yang berlebihan.
Bagi suatu birokrasi, hal ini sangat penting karena dengan kondisi
wilayah kekuasaan negara yang sangat mungkin heterogen ditinjau
dari segi potensi ekonomi, jumlah dan komposisi penduduk, kekayaan
alam, topografi wilayah, dan budaya masyarakat setempat,
desentralisasi pengambilan keputusan mutlak diperlukan. Dengan
desentralisasi itulah, para pejabat pimpinan dan pelaksana dapat
bertindak dengan tepat, dalam arti sesuai dengan situasi dan kondisi
setempat dan lapangan.
Dalam kaitan ini, harus ditekankan bahwa ada hal-hal tertentu yang
dilakukan dengan pendekatan sentralisasi, terutama dalam suatu
negara kesatuan. Beberapa contoh yang sifatnya nasional, seperti
perumusan kebijaksanaan dasar, pola perencanaan, pola organisasi dan
pola pengawasan.
25 | P a g e
keamanan, serta hubungan luar negeri. Para pejabat dan petugas di
lapangan bekerja atas pola yang telah ditetapkan secara nasional.
Dengan kata lain, birokrasi pada prinsipnya tidak dibuat sulit selama
dalam prosesnya dapat dibuat mudah. Sementara dalam praktiknya, ada
oknum pejabat yang memanfaatkan birokrasi ini untuk kepentingan sesaat
dirinya. Tanpa mengindahkan kesulitan orang lain yang membutuhkan
bantuan pelayanan. Hal seperti ini dalam fenomena pelaksanaan birokrasi
mulai kalangan pegawai rendah sampai kalangan pejabat masih banyak
terjadi.
Prinsip dasar birokrasi adalah proses waktu pelayanan cepat, biaya murah,
tidak berbelit-belit, sikap dan perilaku para pegawai ramah dan sopan, ini
yang selalu harus dijaga serta dilaksanakan tanpa mengenal pamrih.
Dengan sendirinya akan berdampak terhadap orang yang dilayani akan
diperlakukan hal yang sama atas kepuasan pelayanan karena para
pelaksana birokrasi memegang prinsip etika dalam melaksanakan
birokrasi.
28 | P a g e
pendekatan legalistik melalui Peradilan Tata Usaha Negara belum bisa
betulbetul diterapkan. Jalan yang bisa ditempuh adalah melalui sistem
pertanggungjawaban kepada tingkat-tingkat administratif yang lebih
tinggi, atau melalui dialog terus-menerus secara terbuka dengan
komponen-komponen yang berfungsi menyalurkan aspirasi masyarakat.
Betapapun administrasi pembangunan tidak berjalan dalam kondisi vakum
politik, karena itu pelaksanaannya harus dapat dipertanggungjawabkan
secara politik pula. Proses administrasi memperoleh legitimasinya dari
kehendak politik rakyat sehingga sudah selayaknya kalau ia
mencerminkan kemauan rakyat Sampai kepada tingkat kebijakan yang
paling mikro.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan nasional kita selama kurun
waktu 25 (dua puluh lima) tahun terakhir telah berhasil mengangkat taraf
kemakmuran ekonomis masyarakat. Akan tetapi, prestasi ini tidak
dibarengi dengan meningkatnya kesejahteraan dipandang dari aspek-aspek
sosial dan nilai-nilai demokrasi. Pelaksanaan pembangunan komunitas
pada skala luas hanya menghasilkan tidak lebih dari seperangkat program
dan target baru yang dirumuskan dari pusat dengan pelaksana struktur-
struktur birokrasi yang konvensional dan tidak tanggap terhadap preferensi
atau kebutuhan-kebutuhan rakyat setempat. Secara rinci Korten
mengemukakan ciri-ciri program pembangunan pada kebanyakan negara
berkembang, antara lain: (a) ketergantungan pada organisasi-organisasi
birokrasi terpusat yang hanya mempunyai sedikit kemampuan untuk
menanggapi beraneka-ragam kebutuhan khas komunitas; ketergantungan
ini juga tampak dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
“partisipatif”; (b) investasi yang tidak memadai dalam proses
pengembangan kemampuan komunitas untuk memecahkan masalah; (c)
perhatian yang kurang dalam menangani keanekaragaman masyarakat,
terutama dalam hal struktur sosial pedesaan yang sangat berlapis-lapis; (d)
tidak cukupnya integrasi antara komponen-komponen teknis dengan sosial
dalam upaya pembangunan. Untuk itu, Korten mengusulkan supaya
program-program pembangunan tidak hanya berdasarkan ancangan “cetak
biru” yang terlalu kaku melainkan diupayakan agar terjadi proses belajar
(learning process) yang bermanfaat bagi rakyat. Tantangan yang harus
29 | P a g e
dihadapi untuk menuju model pembangunan partisipatoris ialah usaha-
usaha pemaduan pelaksanaan kerja, pendidikan, dan pembentukan
lembaga ke dalam sebuah proses belajar yang koheren (Korten, 1988: 231-
249). Ini hanya bisa dilaksanakan jika para administrator bersedia selalu
membuka diri untuk tidak hanya terpancang pada pemahaman teknis dan
asas-asas manajerial dalam proses administratif tetapi juga membuka diri
terhadap pemahaman mengenai karakter dan kultur masyarakat.
30 | P a g e
maupun ekonomis. Kebebasan perlu ditegakkan supaya wajah
pembangunan tetap beradab dan berprikemanusiaan. Menjamin
kebebasan individu berarti mencegah masyarakat dari kemungkinan
tumbuhnya kekuasaan liran atau kebijakan-kebijakan pembangunan
semena-mena yang hendak menukar modernisasi dengan harkat dan
martabat warga negara. Menurut (Rais, 1990: 173) Dalam proses
menggerakkan roda pembangunan, ada beberapa corak kebebasan
yang perlu dipertimbangkan antara lain:
1. Kebebasan Mengeluarkan Pendapat
Pemerintahan disebut demokratis hanya apabila ia bersedia
membuka peluang yang luas bagi setiap warga negara untuk
berbicara sesuai dengan keyakinannya. Kebebasan mengeluarkan
pendapat perlu dijamin dengan alasan bahwa di samping untuk
melindungi hak-hak asasi ia juga dapat dijadikan sumber masukan
bagi pemerintah supaya bisa mengetahui kelemahankelemahannya.
Gejolak-gejolak masyarakat akibat berbagai ketidakpuasan dapat
dikurangi jika kebebasan mengeluarkan pendapat tetap ditegakkan
sehingga cara ini sesungguhnya juga merupakan sarana penjamin
stabilitas.
2. Kebebasan Pers
Kontrol sosial dan tanggung jawab sosial hanya dapat berjalan baik
jika dalam masyarakat terdapat kebebasan pers. Lebih dari itu pers
juga dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mengkomunikasikan
ide-ide pembangunan. Patut disayangkan bahwa pers sendiri
acapkali melakukan self- censorship dan tidak berusaha
menciptakan iklim yang kondusif bagi adu argumentasi yang sehat.
Pers sendiri terkadang tak mampu menunjukkan prinsip yang jelas
dalam misi jurnalistiknya sehingga informasi-informasi yang
diungkapkannya tidak murni lagi. Inilah yang perlu mendapat
perhatian dalam mengembangkan kebebasan pers yang mapan.
3. Kebebasan Berserikat
Kebebasan berkumpul atau berserikat perlu senantiasa dilindungi
dalam upaya menuju sistem politik yang demokratis. Rakyat
mempunyai hak untuk menyelenggarakan rapat, melaksanakan
31 | P a g e
pertemuanpertemuan, atau bahkan membentuk berbagai corak
kelompok sosial untuk memenuhi kepentingan bersama. Birokrasi
tidak perlu selalu curiga atas aktivitas-aktivitas mereka apalagi
memaksakan kehendak agar kelompokkelompok itu tersubordinasi
di bawahnya.
4. Kebebasan Beragama
Setiap warga negara harus diperkenankan untuk menganut agama
tertentu dan beribadah sesuai dengan keyakinannya, karena itu
menyangkut hak individual yang wajib dijamin. Sudah banyak
terbukti bahwa keyakinan spiritual yang muncul dari ketaatan
kepada agama akan dapat menjadi motor pembangunan yang dapat
diandalkan, sementara nilai-nilai moral pembangunan itu sendiri
takkan pernah dilupakan.
Komponen-komponen hak kebebasan di atas harus selalu dijadikan
dasar dalam proses membangun bangsa. Semuanya perlu diwujudkan
dalam pelaksanaan proyekproyek pembangunan kalau kita memang
menghendaki terciptanya wujud pembangunan yang manusiawi.
2. Persamaan
Nilai-nilai moral yang terkandung dalam gerak pembangunan juga
ditentukan oleh seberapa jauh proses itu dapat menciptakan persamaan
derajat bagi warga negara. Hal yang pertama-tama harus ditegakkan
oleh pemerintah adalah persamaan di depan hukum (equality before
the taw). Sisa-sisa budaya feodalistik terkadang menghalangi
terciptanya persamaan di depan hukum bagi seluruh unsur masyarakat.
Perlakuan hukum terhadap anggota masyarakat masih berlain- lainan
dan pilih kasih. Seorang pejabat yang melanggar hukum dengan
mencuri kekayaan negara atau seorang penguasa yang ketahuan telah
melakukan korupsi besar-besaran kadang- kadang dapat saja bebas
dari tuntutan hukum, sementara seorang pemulung yang
menggelapkan sepeda harus mengalami penyiksaan yang hebat dalam
tahanan disertai hukuman penjara. Karena memiliki kedudukan tinggi,
banyak pejabat yang seolah-olah “kebal hukum” meskipun
pelanggaran yang dilakukannya sesungguhnya sangat merugikan
masyarakat. Kiranya sudah saatnya bagi birokrasi untuk melakukan
32 | P a g e
otokritik dengan melihat setiap permasalahan yang menyangkut
interaksi administratif dengan rakyat secara objektif. Dalam sistem
administrasi negara kita ternyata masih sedikit sekali pejabat yang
secara jantan mau mengakui kekeliruannya dalam melaksanakan tugas
untuk kemudian meletakkan jabatannya secara suka rela. Lebih parah
lagi banyak di antara mereka yang menganggap kritik-kritik yang
dilontarkan masyarakat sebagai angin lalu saja.
33 | P a g e
naluri yang wajar untuk mencapai derajat kemakmuran, keadilan, dan
kesejahteraan yang lebih tinggi. Komponen pendorong perubahan
yang kedua berasal dari para pemimpin negara, politisi, teknokrat,
intelektual, atau birokrat yang menghendaki perubahan masyarakat ke
arah kemajuan sesuai dengan yang mereka pahami dan citacitakan.
Maka tokoh-tokoh ini pun kemudian banyak terlibat dalam
perencanaan, pengambilan keputusan, implementasi dan evaluasi,
bahkan sampai kepada usaha-usaha untuk membuat “cetak-biru” bagi
pembangunan masyarakatnya. Persoalan-persoalan etika pembangunan
muncul karena ternyata metode membangun yang diterapkan oleh para
penguasa maupun administrator itu tidak cocok atau tidak koheren
dengan kehendak rakyat. Demokratisasi dimaksudkan agar cara-cara
yang ditempuh dalam melaksanakan pembangunan itu sesuai dengan
keinginan rakyat sehingga apa pun hasil dari pembangunan itu akan
dapat menikmati bersama. Betapapun, rakyat merupakan subjek utama
pembangunan. Karena itu pembangunan tanpa demokrasi akhirnya
akan merosot statusnya menjadi usaha sepihak elit penguasa yang
menentukan gagasangagasannya sendiri kepada masyarakat luas dan
hanya akan mengutamakan kepentingan kelompok mereka sendiri.
34 | P a g e
Keengganan para pejabat untuk memahami pendapatpendapat
masyarakat seringkali juga mengakibatkan tumpulnya kepekaan
masyarakat terhadap masalah-masalah pembangunan. Karena terlanjur
beranggapan bahwa pendapat-pendapatnya tidak akan pernah
didengar, rakyat bahkan lebih memilih untuk tidak berpendapat
sehingga tingkat partisipasi semakin menurun. Celakanya, kalaupun
sebagian masyarakat berniat untuk menyampaikan pendapat serta
keluhannya kepada wakil-wakil rakyat pada pranata legislatif, suara-
suara itu jarang yang diteruskan kepada pranata eksekutif apalagi
didesakkan untuk dilaksanakan. Begitu banyak kasus yang
menunjukkan bahwa para wakil rakyat itu sudah dikooptasi oleh
kepentingan eksekutif, sehingga fungsi mereka tidak lebih dari tukang
cap (rubber stamp) dari keputusan-keputusan yang diambil oleh aparat
eksekutif. Tampak bahwa persoalan partisipasi masyarakat sudah
menjadi semacam lingkaran setan sehingga sulit sekali untuk
menemukan titik-tolak yang paling tepat guna memecahkan masalah
ini. Akan tetapi, satu hal yang jelas dapat dilakukan adalah upaya
penyadaran secara terusmenerus mengenai pentingnya partisipasi
masyarakat dalam masalah-masalah pembangunan. Partisipasi di sini
hendaknya melibatkan segenap unsur kemasyarakatan, meliputi
birokrasi pemerintah, para teknokrat, militer, lembaga-lembaga
swadaya, serikat buruh dan koperasi, universitas-universitas, para
mahasiswa dan cendekiawan, kaum bisnis, profesi hakim dan
pengacara, aparat medis, para rohaniwan, filosof, teolog dan seniman,
serta seluruh unsur masyarakat dalam segala fungsi yang ada.
4. Keadilan Sosial dan Pemerataan
Untuk mengejar ketinggalan dari kelompok negaranegara maju, dapat
dipahami bahwa proyek-proyek pembangunan yang dilaksanakan oleh
kebanyakan negaranegara dunia ketiga diarahkan untuk meningkatkan
taraf ekonomi secepat mungkin. Maka upaya-upaya yang dilakukan
adalah pengerahan sumber-sumber daya yang tersedia, pencegahan
terhadap pemborosan-pemborosan finansial yang tak bertanggung
jawab, sambil mempertahankan tingkat pelayanan publik yang sudah
tercapai. Efisiensi seolah-olah menjadi satu-satunya nilai yang harus
35 | P a g e
diraih. Akan tetapi, fenomena-fenomena yang muncul ternyata masih
menyisakan pertanyaan-pertanyaan pelik berkenaan dengan sasaran
pembangunan itu sendiri. Sudahkah kebijakan-kebijakan
pembangunan itu mencapai sasarannya untuk meningkatkan taraf
hidup masyarakat yang miskin? Apakah hasil-hasil pembangunan itu
benarbenar dapat dinikmati oleh setiap lapisan masyarakat secara
merata? Masyarakat terlalu pluralis bagi penerapan kebijakan yang
hanya mengandalkan rumusan-rumusan yang sekali jadi. Efisiensi
memang harus dipertahankan supaya sumber-sumber daya negara
tidak cepat habis akibat pemborosan. Namun, harus pula dipastikan
bahwa efisiensi itu benar-benar dimanfaatkan guna menolong
masyarakat yang paling tak berpunya. Masalah keadilan sosial (social
equity) menyeruak akibat munculnya kenyataan bahwa peningkatan
kesejahteraan ekonomis ternyata hanya dinikmati oleh kalangan
tertentu. Setelah beberapa persoalan untuk memenuhi kebutuhan dasar
berhasil diatasi, agenda permasalahan yang harus dipecahkan dalam
periode pembangunan selanjutnya bertalian dengan keadilan sosial.
Asas keadilan sesungguhnya tidak hanya menyangkut hukum-hukum
positif tetapi lebih mendalam lagi kepada ruang lingkup nilai- nilai
moral dan etika, dalam hal ini etika pembangunan.
36 | P a g e
yang paling nyata adalah kemiskinan. Kita barangkali tak dapat
mempersoalkan keadilan sosial dengan menunjuk masalah kemiskinan
jika dalam suatu negara sumbersumber daya yang tersedia memang
sangat sedikit sehingga secara keseluruhan masyarakatnya miskin.
Tetapi bila di dalam suatu negara terdapat kelompok orang yang
miskin sedangkan kelompok yang lain kaya-raya, maka pasti ada
sesuatu yang tidak beres dalam proses distribusi kemakmuran mereka.
Oleh sebab itu aparat pemerintahan harus tetap menaruh perhatian
(concern) terhadap masalah-masalah pembagian rezeki pembangunan
ini sebab dialah yang akan paling banyak berurusan dengan masalah-
masalah kebijakan pembangunan. Pemerataan hendaknya senantiasa
menjadi salah-satu nilai yang wajib dianut bagi setiap aparat yang
memprakarsai, merencanakan, dan melaksanakan proyekproyek
sampai ke hal-hal yang bersifat teknis. Ini perlu diingat karena
pengalaman menunjukkan bahwa akselerasi pembangunan yang tak
terkendali acapkali mengabaikan pemerataan hasil-hasilnya.
37 | P a g e
moral kelompok tersebut melalui ketentuan - ketentuan tertulis yang
diharapkan akan dipegang teguh oleh seluruh kelompok.
38 | P a g e
Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik dalam Keputusan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 63/ KEP/M.PAN/7/2003. Secara
khusus di lingkungan Departemen Keuangan, beberapa unit telah memiliki
kode etik pegawai, yaitu Inspektorat Jenderal, Direktorat Jenderal Pajak,
dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, sedangkan beberapa unit lainnya
sedang menyusun kode etik pegawai, antara lain Direktorat Surat Utang
Negara pada Ditjen Perbendaharaan, Direktorat Jenderal Piutang dan
Lelang Negara serta Badan Pengawas Pasar Modal.
39 | P a g e
yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan
sesuai dengan posisi dan jabatannya. Ketentuan-ketentuan tersebut
dijabarkan dalam kode etik pegawai.
4. Pada umumnya, penyusunan kode etik minimal didasari oleh empat
aspek pertimbangan sebagai berikut :
a) Profesionalisme
Keahlian khusus yang dimiliki oleh seseorang, baik yang
diperolehnya dari pendidikan formal (dokter, akuntan, pengacara,
dan lain-lain), dari bakat (penyanyi, pelukis, pianis, dan lain-lain),
maupun dari kompetensi mengerjakan sesuatu (direktur, pegawai,
pejabat, dan lainlain).
b) Akuntabilitas
Kesanggupan seseorang untuk mempertanggungjawabkan apa pun
yang dilakukannya berkaitan dengan profesi serta perannya
sehingga ia dapat dipercaya. Misalnya, seorang auditor yang
memeriksa laporan keuangan sebuah perusahaan. Ia harus dapat
mempertanggungjawabkan hasil pemeriksaan yang dibuatnya
sesuai dengan kondisi perusahaan yang sebenarnya.
c) Menjaga kerahasiaan
Sebuah kemampuan memelihara kepercayaan dengan bersikap
hati-hati dalam memberikan informasi. Seorang profesional harus
mampu menyeleksi hal-hal yang bisa diinformasikan kepada
umum dan informasi yang perlu disimpan sebagai sebuah
kerahasiaan. Hal ini dilakukan demi menjaga reputasi sebuah
perusahaan dan profesi yang dijabatnya. Misalnya seorang
konsultan merupakan orang kepercayaan sebuah perusahaan, ia
bisa mengetahui seluk-beluk perusahaan tersebut, tetapi harus
menjaga informasi yang dimilikinya agar tidak sampai ke pihak
luar yang tidak berkepentingan.
d) Independensi
Sikap netral, tidak memihak salah satu pihak, menyadari batasan-
batasan dalam mengungkapkan sesuatu juga merupakan salah satu
pertimbangan kode etik. Misalnya, untuk mendamaikan dua pihak
yang berselisih dan merugikan perusahaan, seorang manajer yang
40 | P a g e
bisa menjaga sikap independennya akan lebih dipercaya kedua
belah pihak sehingga akan sangat membantu dalam penyelesaian
kasus perselisihan yang dihadapinya.
Prinsip lain yang juga bisa dijadikan parameter dalam pelaksanaan
birokrasi dapat merujuk pada prinsip-prinsip good governance yang
meliputi partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, transparansi,
kepedulian kepada stakeholder, berorientasi kepada konsensus, kesetaraan,
efektivitas dan efisiensi, akuntabilitas, dan visi strategis.
BAB III
PENUTUP
2.1.1
2.2.1
DAFTAR PUSTAKA
1. Atmodjo, S. S. n.d. MANAJEMEN (Teoritis dan Praktis). LPP Balai Insan
Cendekia. ,Bab III, "Birokrasi Dalam Manajemen Pemerintahan"
2. Muhammad. 2018. Birokrasi (Kajian Konsep, Teori Menuju Good
Governance). Vol. 53., Bab II, “Birokrasi Pemerintahan”
3. Hidayat, Rahmat, and Muhammad Rifai. 2018. Etika Manajemen Persfektif
Islam.,Bab I, “Hakikat Etika”
4. Prof. Dr. Andi Rasyid Pananrangi, S. H. M. P., S. P. M. P. Muhammad
Darwis, and H. GW. 2017. Etika Birokrat. SAH MEDIA.
5. https://id.wikipedia.org/wiki/Birokrasi
6. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/birokrasi
7. https://www.gramedia.com/best-seller/pengertian-etika/
41 | P a g e