Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit serebrovaskuler/cerebrovascular disease (CVD) merupakan


penyakit sistem persarafan yang paling sering dijumpai. Stroke merupakan bagian
dari CVD. Menurut World Health Organization (WHO), stroke adalah manifestasi
klinis dari gangguan fungsi serebri fokal atau global yang berkembang dengan cepat
atau tiba-tiba, berlangsung lebih dari 24 jam atau berakhir dengan kematian, dengan
tidak tampaknya penyebab lain selain penyebab vaskular. Berdasarkan American
Heart Association (AHA) stroke ditandai sebagai defisit neurologi yang dikaitkan
dengan cedera fokal akut dari sistem saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh
pembuluh darah, termasuk infark serebral, perdarahan intraserebral (ICH) dan
perdarahan subaraknoid (SAH).
Stroke terjadi ketika jaringan otak terganggu karena berkurangnya aliran
darah atau oksigen ke sel-sel otak. Terdapat dua jenis stroke yaitu iskemik stroke dan
hemoragik. Stroke iskemik terjadi karena berkurangnya aliran daah sedangkan stroke
yang terjadi karena perdarahan ke dalam atau sekitar otak disebut stroke hemoragik.
Perdarahan yang terjadi pada stroke hemoragik dapat dengan cepat menimbulkan
gejala neurologik karena tekanan pada struktur saraf di dalam tengkorak. Stroke
hemoragik lebih jarang terjadi dibanding stroke iskemik akan tetapi stroke
hemoragik menyebabkan lebih banyak kematian.
Penyakit stroke merupakan penyebab kematian utama di hampir seluruh RS

di Indonesia, sekitar 15,4%. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes RI

tahun 2013 menunjukkan telah terjadi peningkatan prevalensi stroke di Indonesia


dari 8,3 per mil (tahun 2007) menjadi 12,1 per mil (tahun 2013). Prevalensi penyakit
Stroke tertinggi di Sulawesi Utara (10,8per mil), Yogyakarta (10,3 per mil), Bangka
Belitung  (9,7 per mil) dan  DKI Jakarta (9,7 per mil).
Kasus stroke termasuk dalam Standar Kompetensi Dokter dengan grade 3B,
yang berarti dokter umum harus mampu mendiagnosa klinik berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan sederhana. Dokter umum harus
mampu memutuskan dan memberikan terapi pendahuluan, serta merujuk ke spesialis
yang relevan (kasus gawat darurat).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Stroke


Stroke adalah suatu gangguan fungsi saraf akut yang disebabkan oleh karena
gangguan peredaran darah otak, dimana secara mendadak (dalam beberapa detik atau
menit) dapat menimbulkan gejala dan tanda yang sesuai dengan daerah fokal di otak
yang mengalami kerusakan. Menurut WHO, stroke didefinisikan sebagai manifestasi
klinis dari gangguan fungsi otak, baik fokal maupun global (menyeluruh), yang
berlangsung cepat, berlangsung lebih dari 24 jam atau sampai menyebabkan
kematian, tanpa penyebab lain selain gangguan vaskuler.
Pada umumnya gangguan fungsional otak fokal dapat berupa hemiparesis
yang disertai dengan defisit sensorik, parese nervus kraniales dan gangguan fungsi
luhur. Manifestasi klinis yang muncul sangat bergantung kepada area otak yang
diperdarahi oleh pembuluh darah yang mengalami oklusi ataupun ruptur.

2.2. Anatomi dan Fisiologi Pembuluh Darah Otak


Otak merupakan organ yang palik aktif secara metabolik. Otak hanya
memiliki sekitar 2% massa tubuh akan tetapi otak membutuhkan 15-20% kardiak
output untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan glukosanya. Secara anatomis,
pembuluh darah serebral terdiri dari dua sistem yaitu sistem karotis dan sistem
vertebrobasiler. Jatah darah ke otak 1/3 disalurkan melalui lintasan vaskuler
vertebrobasiler dan 2/3 melalui arteri karotis interna.

Tabel 1. Pembagian Daerah Otak yang Diperdarahi Pembuluh Darah Serebral

Sirkulasi Anterior (Sistem Karotis)

Anterior Koroid Hippokampus, globus pallidus, kapsula interna bawah

Anterior Serebri Korteks serebri frontomedial dan parietal serta substansia alba di
sekitarnya dan korpus kalosum anterior

Serebri Media Korteks serebri frontolateral, parietal, oksipital, dan temporal

2
serta substantia alba di sekitarnya

Cabang Nukleus kaudatus, putamen, dan kapsula interna atas


Lentikulostriata

Sirkulasi Posterior (Sistem Vertebrobasiler)

Arteri serebelar Medulla dan serebelum inferior


basiler posterior
inferior

Arteri serebelar Pons inferior dan media serta serebelum media


anterior inferior

Arteri serebelar Pons superior, otak tengah inferior, dan serebelum superior

Superior

Arteri serebelar Korteks oksipital dan temporal media serta substansia alba
posterior disekitarnya. Korpus kalosum posterior dan otak tengah superior

Cabang Thalamus
thalamoperforata

Anterior circulation (sistem karotis)

Stroke yang disebabkan karena gangguan pada sistem sirkulasi ini


memberikan tanda dan gejala disfungsi hemisfer serebri seperti afasia, apraxia, atau
agnosia. Selain itu dapat juga timbul hemiparese, gangguan hemisensoris, dan
gangguan lapang pandang.

Posterior circulation (sistem vertebrobasiler)

Stroke yang disebabkan karena gangguan pada sistem sirkulasi ini


memberikan tanda dan gejala disfungsi batang otak termasuk koma, drop attacks
(jatuh tiba-tiba tanpa penurunan kesadaran), vertigo, mual dan muntah, gangguan
saraf otak, ataxia, defisit sistem sensorimotorik kontralateral (hemiparese alternans).
Selain itu dapat juga timbul hemiparese, gangguan hemisensoris, dan gangguan

3
lapang pandang tetapi tidak spesifik untuk stroke yang disebabkan sistem
vertebrobasiler.

2.3. Epidemiologi Stroke


Stroke merupakan penyakit yang menyebabkan kecacatan tertinggi di dunia,
serta merupakan penyakit terbanyak ketiga setelah penyakit jantung dan kanker.
Menurut American Heart Association (AHA), angka kematian penderita stroke di
Amerika setiap tahunnya adalah 50-100 dari 100.000 orang penderita (Ahmad dan
Amir, 2003). Stroke diklasifikasikan menjadi stroke non hemoragik dan stroke
hemoragik. Stroke non hemoragik memiliki angka kejadian 85% dari seluruh stroke
yang terdiri dari 80% stroke aterotrombotik dan 20% stroke kardioemboli.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), stroke merupakan penyebab
kematian dan kecacatan utama hampir di seluruh RS di Indonesia. Angka kejadian
stroke meningkat dari tahun ke tahun. Setiap tujuh orang yang meninggal di
Indonesia, satu diantaranya disebabkan stroke.

2.4. Klasifikasi Stroke


Terdapat beberapa pengelompokkan stroke. Klasifikasi stroke telah banyak
dikemukakan oleh beberapa institusi, seperti yang dibuat oleh Stroke Data Bank,
World Health Organization (WHO,1989) dan National Institute of Neurological
Disease and Stroke (NINDS,1990). Pada dasarnya klasifikasi tersebut dikelompokan
atas dasar manifestasi klinik, proses patologi yang terjadi di otak dan area lesinya. Hal
ini berkaitan dengan pendekatan diagnosis neurologis untuk menetapkan diagnosis
klinis, diagnosis topik dan diagnosis etiologi. Lebih jauh, stroke dapat diklasifikasikan
berdasarkan gambaran klinik, patologi anatomi, sistem darah dan stadiumnya.
Pengelompokkan yang berbeda-beda ini menjadi landasan untuk menentukan terapi
dan usaha pencegahan stroke.
1. Berdasarkan Patalogi Anatomi dan penyebabnya
a. Stroke iskemik
i. Transient Ischemic Attack (TIA)
ii. Trombosis serebri
iii. Embolia serebri
b. Stroke hemoragik
i. Perdarahan intraserebral

4
ii. Perdarahan subarachnoid
2. Berdasarkan stadium/ pertimbangan waktu
a. TIA
b. Stroke-in-evolution
c. Completed stroke
d. Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND)
3. Berdasarkan sistem pembuluh darah
a. Sistem karotis
b. Sistem vertebra-basiler

Stroke memiliki tanda klinik yang spesifik, tergantung dengan daerah otak
yang mengalami inskemik atau infark. Walaupun telah terdapat pngelompokkan
stroke berdasarkan patologi anatominya, yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik,
namun penegakkan klinis stroke (hemoragik maupun non-hemoragik) tidak dapat
semata-mata ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis saja, karena semua gejala pada
kedua kelompok stroke ini hampir sama. Untuk itu diperlukan pemeriksaan tambahan
yang lebih komprehensif untuk menegakkan diagnosis stroke, seperti CT-scan.

2.5. Faktor Risiko

Tabel 2. Faktor Risiko Terjadinya Stroke

2.6. Diagnosis Stroke


Diagnosis stroke dibuat berdasarkan adanya gejala klinis neurologik
mendadak yang beraneka ragam mulai dari gejala motorik fokal, gejala sensorik,
gangguan fungsi luhur hingga gangguan kesadaran. Gejala tersebut dapat disertai

5
nyeri kepala, mual muntah, kejang, kaku kuduk dan lain sebagainya. Diagnosis stroke
seperti juga diagnosis lain di bidang Ilmu Penyakit Saraf mencakup diagnosis klinis,
topis dan etiologis. Pemahaman ilmu dasar mengenai anatomi otak dan bangunan
intrakranial di sekitarnya, sistem perdarahan otak serta fisiologi dan metabolisme otak
diperlukan dalam menentukan diagnosis stroke. Selain itu, anamnesis, pemeriksaan
fisik neurologis, dan pemeriksaan psikoneurologis perlu dicari dan disimpulkan dalam
sindrom-sindroma klinik yang dapat memberikan arah diagnosis topis dalam
pengelolaan pasien. Diagnosis etiologis menempati tempat utama yang harus segera
disimpulkan untuk dapat memberikan terapi yang cepat dan tepat.
1. Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis stroke ditetapkan dari pemeriksaan fisik neurologis dimana
didapatkan gejala-gejala yang sesuai dengan waktu perjalanan penyakitnya dan gejala
serta tanda yang sesuai dengan daerah pendarahan pemnbuluh darah otak tertentu.4,10,11
Gangguan pada sistem karotis menyebabkan: gangguan penglihatan,
gangguan bicara, disafasia atau afasia bila mengenai hemisfer serebri dominan,
gangguan motorik, hemiplegi/ hemiparesis kontra lateral, dan gangguan sensorik.
Gangguan pada sistim vertebrobasilar menyebabkan: gangguan penglihatan,
pandangan kabur atau buta bila gangguan pada lobus oksipital, gangguan nervi
kranalis bila mengenai batang otak, gangguan motorik, gangguan koordinasi, drop
attack, gangguan sensorik, gangguan kesadaran, dan kombinasi. Pada beberapa
keadaan didapat gangguan neurobehaviour, hemineglect, afasia, aleksia, anomia
maupun amnesia.
2. Diagnosis Topik
Menurut klasifikasi Bamford, diagnosis topik stroke dapat dibagi menjadi :3,4
a. Total Anterior Circulation Infarct (TACI) bila memenuhi 3 gejala di bawah:
- Hemiparesis dengan atau tanpa gangguan sensorik (kontralateral sisi lesi)
- Hemianopia kontralateral
- Gangguan fungsi luhur: disfasia, visuospasial, hemineglect, agnosia,
apraksia
b. Partial Anterior Circulation Infarct (PACI) bila memenuhi 2 gejala di bawah
ini atau cukup 1 saja tetapi harus merupakan gangguan fungsi luhur:
-Hemiparesis dengan atau tanpa gangguan sensorik (kontralateral sisi lesi)
-Hemianopia kontralateral
-Gangguan fungsi luhur: disfasia, visuospasial, hemineglect, agnosia, apraksia

6
c. Lacunar Circulation Infarct (LACI) bila:
- Gangguan motorik murni
- Gangguan sensorik murni
- Hemiparesis dengan ataksia
d. Posterior Circulation Infarct (POCI) bila memberikan gejala:
- Diplopia
- Disfagia
- Vertigo
- Disartria
- Hemiparesis alternans
- Gangguan motorik/sensorik bilateral
- Disfungsi serebelar tanpa gangguan long-tract sign
3. Diagnosis Etiologis
Diagnosis etiologis stroke dibedakan menjadi 2 yaitu stroke iskemik dan
stroke hemoragik. Baku emas yang digunakan untuk menentukan etiologi adalah CT-
scan kepala.
Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium (darah dan urin),
elektrokardiogram, ekhokardiogram, foto toraks, pungsi lumbal, elektroensefalogram,
arteriografi, doppler sonography diperlukan untuk membantu diagnosis etiologis
stroke hemoragik (intraserebral, subaraknoid) atau iskemik (emboli, trombosis) serta
mencari faktor risiko.

2.7. Stroke Hemoragik


2.7.1. Klasifikasi Stroke Hemoragik
Pembagian stroke hemorgaik dapat dibedakan berdasarkan penyebab
perdarahannya, yaitu:
1. Perdarahan Intraserberal
Perdarahan intaserebral dibagi menjadi dua, yaitu perdarahan intaserebral primer dan
perdarahan intraserebral sekunder. Perdarahan intraserbral primer disebabkan oleh
hipertensi kronik yang menyebabkan vaskulopati serebral dengan akibta pecahnya
pembuluh darah otak. Sedangkan perdarahan sekunder terjadi aakibat adanya anomaly
vaskular congenital, koagulopati, tumor otak, vaskulitis, maupun akibat obat-obat
antikoagulan. Diperkirakan sekitar 50% dari penyebab perdarahan intraserebral
adalah hipertensi kronik.

7
2. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan subarachnoid terjadi bila keluarnya darah ke ruang subarachnoid sehingga
menyebakan reaksi yang cukup hebat berupa sakit keapala yang hebat dan bahkan
penurunan kesadaran. Perdarahan subarachnoid dapat terjadi akibat pecahnya
aneurisma sakuler.

2.7.2. Patogenesis Stoke Hemoragik


Perdarahan intraserebral terjadi dalam 3 fase, yaitu fase initial hemorrhage,
hematoma expansion dan peri-hematoma edema. Fase initial hemmorhage terjadi
akibat rupturnya arteri serebral. hipertensi kronis, akan menyebabkan perubahan
patologi dari dinding pembuluh darah. Perubahan patologis dari dinding pembuluh
darah tersebut dapat berupa hipohialinosis, nekrosis fibrin serta timbulnya aneurisma
tipe Bouchard. Kenaikan tekanan darah dalam jumlah yang mencolok dan
meningkatnya denyut jantung, dapat menginduksi pecahnya aneurisma, sehingga
dapat terjadi perdarahan. Perdarahan ini akan menjadi awal dari timbulnya gejala-
gejala klinis (fase hematoma expansion). Pada fase hematoma expansion, gejala-
gejala klinis mulai timbul seperti peningkatan tekanan intracranial. Meningkatnya
tekanan intracranial akan mengganggu integritas jaringan-jaringan otak dan blood
brain-barrier. Perdarahan intraserebral lama kelamaan akan menyebabkan terjadinya
inflamasi sekunder dan terbentuknya edema serebri (fase peri-hematoma edema).
Pada fase ini defisit neurologis, yang mulai tampak pada fase hematoma expansion,
akan terus berkembang. Kerusakan pada parenkim otak, akibat volume perdarahan
yang relatif banyak akan mengakibatkan peninggian tekanan intracranial dan
menyebabkan menurunnya tekanan perfusi otak serta terganggunya drainase otak.
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat menurunnya
tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang terkena darah dan
sekitarnya menjadi lebih tertekan dan defisit neurologis pun akan semakin
berkembang.
Ukuran perdarahan akan berperan penting dalam menentukan prognosis.
Perdarahan yang kecil ukurannya akan menyebabkan massa darah menerobos atau
menyela di antara selaput akson massa putih “dissecan splitting” tanpa merusaknya.
Dalam keadaan ini, absorpsi darah akan diikuti oleh pulihnya fungsi-fungsi neurologi.

8
Sedangkan bila perdarahan yang terjadi dalam jumlah besar, maka akan merusak
struktur anatomi dari otak, peningkatan tekanan intracranial dan bahkan dapat
menyebabkan herniasi otak pada falx serebri atau lewat foramen magnum. Perdarahan
intraserebral yang yang tidak diatasi dengan baik akan menyebar hingga ke ventrikel
otak sehingga menyebabkan perdarahan intraventrikel. Perdarahan intraventrikel ini
diikuti oleh hidrosefalus obstruktif dan akan memperburuk prognosis. Jumlah
perdarahan yang lebih dari 60 ml akan meningkatkan resiko kematian hingga 93%.

2.7.3. Gejala Stroke Hemoragik


Serangan stroke jenis apa pun akan menimbulakan defisist neurologi yang
bersifat akut, baik deficit motorik, defisit sensorik, penurnan kesadaran, gangguan
fungsi luhur, maupun gangguan pada batang otak.
Gejala klinis dari stroke hemoragik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Gejala perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral umumnya terjadi pada usia 50-75 tahun.
Perdarahan intraserebral umunya akan menunjukkan gejala klinis berupa:
a. Terjadi pada waktu aktif
b. Nyeri kepala , yang diikuti dengan muntah dan penurunan kesadaran
c. Adanya riwayat hipertensi kronis
d. Nyeri telinga homolaterlal (lesi pada bagian temporal), afasia (lesi
pada thalamus)
e. Hemiparese kontralateral

2. Gejala perdarahan subarachnoid


Pada perdarahan subarachnoid akan menimbulakan tanda dan gejala klinis
berupa:
a. Nyeri kepala yang hebat dan mendadak
b. Hilangnya kesdaran
c. Fotofobia
d. Meningismus
e. Mual dan muntah
f. Tanda-tanda perangsangan meningeal, seperti kaku kuduk.

2.7.4. Diagnosis Stroke Hemoragik

9
1. Anamnesis
Pada anamnesa akan ditemukan kelumpuhan anggota gerak, mulut mengot
atau bicara pelo yang terjadi secara tiba-tiba pada saat sedang beraktivitas. Selain itu,
pada anamnesa juga perlu ditanyakan penyakit-penyakit tedahulu seperti diabetes
mellitus atau kelainan jantung. Obat-obatan yang dikonsumsi, riwayat penyakit dalam
keluarga juga perlu ditanyakan pada anamnesa.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pasien stroke perlu dilakukan pemeriksaan fisik neurologi seperti tingkat
kesadaran, ketangkasan gerakan, kekuatan otot, refleks tendon, refleks patologis dan
fungsi saraf kranial.
Pemeriksaan tingkat kesadaran dengan Glasgow Coma Scale (GCS) yaitu sebagai
berikut:

Tabel 3. Glasgow Coma Scale (GCS)


Respon Skor
a. Membuka mata
1) Membuka spontan 4
2) Membuka dengan perintah 3
3) Membuka mata karena rangsang nyeri 2
4) Tidak mampu membuka mata 1
b.Kemampuan bicara
1) Orientasi dan pengertian baik 5
2) Pembicaraan yang kacau 4
3) Pembicaraan tidak pantas dan kasar 3
4) Dapat bersuara, merintih 2
5) Tidak ada suara 1
c.Tanggapan motorik
1) Menanggapi perintah 6
2) Reaksi gerakan lokal terhadap rangsang 5
3) Reaksi menghindar terhadap rangsang nyeri 4
4) Tanggapan fleksi abnormal 3
5) Tanggapan ekstensi abnormal 2
6) Tidak ada gerakan 1

10
Derajat kesadaran :
Kompos mentis = GCS 15-14
Apatis = GCS 13-12
Delirium = GCS 11-10
Somnolen = GCS 9-7
Sopor = GCS 6-5
Semi koma = GCS 4
Koma = GCS 3
Gangguan ringan ketangkasan gerakan jari-jari tangan dan kaki dapat dinilai
melalui tes yang dilakukan dengan cara menyuruh penderita membuka dan menutup
kancing bajunya. Kemudian melepas dan memakai sandalnya.
Penilaian kekuatan otot dalam derajat tenaga 0 sampai 5 secara praktis mempunyai
kepentingan dalam penilaian kemajuan atau kemunduran orang sakit dalam perawatan
dan bukan suatu tindakan pemeriksaan yang semata-mata menentukan suatu
kelumpuhan.
Pemeriksaan kekuatan otot adalah sebagai berikut:

0 : Tidak ada kontraksi otot


1 : Terjadi kontraksi otot tanpa gerakan nyata
2 : Pasien hanya mampu menggeserkan tangan atau kaki
3 : Mampu mengangkat tangan, tetapi tidak mampu menahan gravitasi
4 : Tidak mampu menahan tangan pemeriksa
5 : Kekuatan penuh

Refleks patologis dapat dijumpai pada sisi yang hemiparetik. Refleks patologis
yang dapat dilakukan pada tangan ialah refleks Hoffmann–Tromner. Sedangkan
refleks patologis yang dapat dibangkitkan di kaki ialah refleks Babinsky, Chaddock,
Oppenheim, Gordon, Schaefer dan Gonda.
Saraf kranial adalah 12 pasang saraf pada manusia yang keluar melalui otak, berbeda
dari saraf spinal yang keluar melalui sumsum tulang belakang. Saraf kranial
merupakan bagian dari sistem saraf sadar. Dari 12 pasang saraf, 3 pasang memiliki
jenis sensori (saraf I, II, VIII), 5 pasang jenis motorik (saraf III, IV, VI, XI, XII) dan 4
pasang jenis gabungan (saraf V, VII, IX, X).

11
Tabel 4. Gangguan Nervus Kranialis.

Nervus kranial Fungsi Penemuan klinis dengan


lesi
I: Olfaktorius Penciuman Anosmia (hilangnya daya
penghidu)
II: Optikus Penglihatan Amaurosis
III: Okulomotorius Gerak mata, kontriksi pupil, Diplopia (penglihatan
akomodasi kembar), ptosis; midriasis;
hilangnya akomodasi
IV: Troklearis Gerak mata Diplopia
V: Trigeminus Sensasi umum wajah, kulit ”mati rasa” pada wajah;
kepala, dan gigi; gerak kelemahan otot rahang
mengunyah
VI: Abdusen Gerak mata Diplopia
VII: Fasialis Pengecapan; sensasi umum Hilangnya kemampuan
pada platum dan telinga mengecap pada duapertiga
luar; sekresi kelenjar anterior lidah; mulut
lakrimalis, submandibula kering; hilangnya
dan sublingual; ekspresi lakrimasi; paralisis otot
wajah wajah
VIII: Vestibulokoklearis Pendengaran; Tuli; tinitus(berdenging
keseimbangan terus menerus);
vertigo;nistagmus
IX: Glosofaringeus Pengecapan; sensasi umum Hilangnya daya
pada faring dan telinga; pengecapan pada sepertiga
mengangkat palatum; posterior lidah; anestesi
sekresi kelenjar parotis pada faring; mulut kering
sebagian
X: Vagus Pengecapan; sensasi umum Disfagia (gangguan
pada faring, laring dan menelan) suara parau;

12
telinga; menelan; fonasi; paralisis palatum
parasimpatis untuk jantung
dan visera abdomen
XI: Asesorius Spinal Fonasi; gerakan kepala; Suara parau; kelemahan
leher dan bahu otot kepala, leher dan bahu
XII: Hipoglosus Gerak lidah Kelemahan dan pelayuan
lidah

3. Pemeriksaan Penunjang
CT scan

 Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan baku emas untuk membedakan


stroke infark dengan stroke perdarahan.
 Pada stroke karena infark, gambaran CT scannya secara umum adalah
didapatkan gambaran hipodens sedangkan pada stroke perdarahan menunjukkan
gambaran hiperdens.

Intracranial Hemorrhage

Pada intracranial hemorrhage, pada fase akut (<24 jam), gambaran radiologi
akan terlihat hyperdense, sedangkan jika fase subakut (24 jam – 5 hari) akan terlihat

13
isodense, sedangkan pada fase kronik (> 5hari) akan terlihat gambaran hypodense.
Perdarahan terjadi di intracerebral sehingga gambaran CSF akan terlihat jernih.

Subarachnoid Hemorrhage

Pada subarachonid hemorrhage, gambaran radiologi akan memperlihatkan


ruangan yang diisi dengan CSF menjadi isodens.
Pemeriksaan MRI

Pemeriksaan ini sangat baik untuk menentukan adanya lesi di batang otak
(sangat sensitif). Secara umum juga lebih sensitif dibandingkan CT scan, terutama
untuk mendeteksi pendarahan posterior.

Pemeriksaan Angiografi

Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan apakah lokasi pada sistem


karotis atau vertebrobasiler, menentukan ada tidaknya penyempitan, oklusi atau
aneurisma pada pembuluh darah.

Pemeriksaan USG

Pemeriksaan ini untuk menilai pembuluh darah intra dan ekstra kranial,
menentukan ada tidaknya stenosis arteri karotis.

Pemeriksaan Pungsi Lumbal

14
Pemeriksaan ini digunakan apabila tidak ada CT scan atau MRI. Pada stroke
perdarahan intraserebral didapatkan gambaran LCS seperti cucian daging atau
berwarna kekuningan. Pada perdarahan subaraknoid didapatkan LCS yang gross
hemorragik. Pada stroke infark tidak didapatkan perdarahan (jernih).

Pemeriksaan Penunjang Lain.

Pemeriksaan untuk menetukan faktor risiko seperti darah rutin, komponen


kimia darah (ureum, kreatinin, asam urat, profil lipid, gula darah, fungsi hepar),
elektrolit darah, foto toraks, EKG, echocardiografi.

2.7.5. Tatalaksana Stroke Hemoragik


1. Stadium Hiperakut
Tindakan pada stadium ini dilakukan di Instalasi Rawat Darurat dan
merupakan tindakan resusitasi serebro-kardio-pulmonal bertujuan agar kerusakan
jaringan otak tidak meluas. Pada stadium ini, pasien diberi oksigen 2 L/menit dan
cairan kristaloid/koloid; hindari pemberian cairan dekstrosa atau salin dalam H2O.
Dilakukan pemeriksaan CT scan otak, elektrokardiografi, foto toraks, darah perifer
lengkap dan jumlah trombosit, protrombin time/INR, APTT, glukosa darah, kimia
darah (termasuk elektrolit); jika hipoksia, dilakukan analisis gas darah. Tindakan lain
di Instalasi Rawat Darurat adalah memberikan dukungan mental kepada pasien serta
memberikan penjelasan pada keluarganya agar tetap tenang.
2. Stadium Akut
Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume hematoma >30
mL, perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan keadaan klinis cenderung
memburuk. Tekanan darah harus diturunkan sampai tekanan darah premorbid atau 15-
20% bila tekanan sistolik >180 mmHg, diastolik >120 mmHg, MAP >130 mmHg,
dan volume hematoma bertambah. Bila terdapat gagal jantung, tekanan darah harus
segera diturunkan dengan labetalol iv 10 mg (pemberian dalam 2 menit) sampai 20
mg (pemberian dalam 10 menit) maksimum 300 mg; enalapril iv 0,625-1.25 mg per 6
jam; kaptopril 3 kali 6,25-25 mg per oral. Jika didapatkan tanda tekanan intracranial
meningkat, posisi kepala dinaikkan 30º, posisi kepala dan dada di satu bidang,
pemberian manitol (lihat penanganan stroke iskemik), dan hiperventilasi (pCO2 20-35
mmHg). 4,5,16
Terapi umum:

15
a. Letakkan kepala pasien pada posisi 30º, kepala dan dada pada satu bidang;
ubah posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap bila
hemodinamik sudah stabil. Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen
1-2 liter/menit sampai didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perlu,
dilakukan intubasi. Demam diatasi dengan kompres dan antipiretik,
kemudian dicari penyebabnya; jika kandung kemih penuh, dikosongkan
(sebaiknya dengan kateter intermiten).
b. Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500-2000
mL dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan mengandung glukosa atau
salin isotonik. Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi menelannya baik;
jika didapatkan gangguan menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan
melalui selang nasogastrik.
c. Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula darah
sewaktu 150 mg% dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari
pertama. Hipoglikemia (kadar gula darah < 60 mg% atau < 80 mg% dengan
gejala) diatasi segera dengan dekstrosa 40% iv sampai kembali normal dan
harus dicari penyebabnya.
d. Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian obat-obatan
sesuai gejala. Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan, kecuali bila
tekanan sistolik ≥220 mmHg, diastolik ≥120 mmHg, Mean Arterial Blood
Pressure (MAP) ≥ 130 mmHg (pada 2 kali pengukuran dengan selang waktu
30 menit), atau didapatkan infark miokard akut, gagal jantung kongestif
serta gagal ginjal. Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20%, dan obat
yang direkomendasikan: natrium nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta,
penyekat ACE, atau antagonis kalsium. Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan
sistolik ≤ 90 mm Hg, diastolik ≤70 mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL
selama 1 jam, dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam
atau sampai hipotensi dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan
darah sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberi dopamin 2-20 μg/kg/menit
sampai tekanan darah sistolik ≥ 110 mmHg.
e. Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelan-pelan selama 3 menit,
maksimal 100 mg per hari; dilanjutkan pemberian antikonvulsan per oral
(fenitoin, karbamazepin). Jika kejang muncul setelah 2 minggu, diberikan
antikonvulsan peroral jangka panjang.

16
f. Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol bolus
intravena 0,25 sampai 1 g/ kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai fenomena
rebound atau keadaan umum memburuk, dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30
menit setiap 6 jam selama 3-5 hari. Harus dilakukan pemantauan osmolalitas
(<320 mmol); sebagai alternatif, dapat diberikan larutan hipertonik (NaCl
3%) atau furosemid.
Terapi khusus
Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat vasodilator. Tindakan
bedah mempertimbangkan usia dan letak perdarahan yaitu pada pasien yang
kondisinya kian memburuk dengan perdarahan serebelum berdiameter >3 cm3,
hidrosefalus akut akibat perdarahan intraventrikel atau serebelum, dilakukan VP-
shunting, dan perdarahan lobar >60 mL dengan tanda peningkatan tekanan
intrakranial akut dan ancaman herniasi. Pada perdarahan subaraknoid, dapat
digunakan antagonis Kalsium (nimodipin) atau tindakan bedah (ligasi, embolisasi,
ekstirpasi, maupun gamma knife) jika penyebabnya adalah aneurisma atau malformasi
arteri-vena (arteriovenous malformation, AVM).

3. Stadium Subakut
Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku, menelan, terapi
wicara, dan bladder training (termasuk terapi fisik). Mengingat perjalanan penyakit
yang panjang, dibutuhkan penatalaksanaan khusus intensif pasca stroke di rumah sakit
dengan tujuan kemandirian pasien, mengerti, memahami dan melaksanakan program
preventif primer dan sekunder.
Terapi fase subakut:
a. Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya,
b. Penatalaksanaan komplikasi,
c. Restorasi/rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien), yaitu fisioterapi, terapi
wicara, terapi kognitif, dan terapi okupasi,
d. Prevensi sekunder
e. Edukasi keluarga dan Discharge Planning

2.7.6. Prognosis
1. Perdarahan Intraserebral

17
Prediktor terpenting untuk menilai outcome perdarahan intra serebri (PIS)
adalah volume PIS, tingkat kesadaran penderita (menggunakan skor Glasgow Coma
Scale (GCS), dan adanya darah intraventrikel. Volume PIS dan skor GCS dapat
digunakan untuk memprediksi tingkat kematian dalam 30 hari dengan sensitivitas
sebesar 96% dan spesifitas 98%. Prognosis buruk biasanya terjadi pada pasien dengan
volume perdarahan (>30mL), lokasi perdarahan di fossa posterior, usia lanjut dan
MAP >130 mmHg pada saat serangan. GCS <4 saat serangan juga bisa memberi
prognosis buruk.
Suatu PIS dengan volume >60 mL dan skor GCS ≤ 8 memiliki tingkat
mortalitas sebesar 91% dalam 30 hari, dibanding dengan tingkat kematian 19% pada
PIS dengan volume <30 mL dan GCS skor ≥ 9. Perluasan PIS ke intraventrikel
meningkatkan mortalitas secara umum menjadi 45% hingga 75%, tanpa
memperhatikan lokasi PIS, sebagai bagian dari adanya hidrosefalus obstruktif akibat
gangguan sirkulasi liquor cerebrospinal (LCS). Pengukuran volume hematom dapat
dilakukan secara akurat dengan CT scan. Secara klinis, edema berperan dalam efek
massa dari hematom, meningkatkan tekanan intrakranial dan pergeseran otak
intrakranial. Secara paradoks, volume relatif edema yang tinggi berhubungan dengan
outcome fungsional yang lebih baik, yang menimbulkan suatu kerancuan apakah
edema harus dijadikan target terapi atau hanya merupakan variabel prognostik.

2. Perdarahan Subarachnoid
Tingkat mortalitas pada tahun pertama dari serangan stroke hemoragik
perdarahan subarachnoid sangat tinggi, yaitu 60%. Sekitar 10% penderita perdarahan
subarachnoid meninggal sebelum tiba di RS dan 40% meninggal tanpa sempat
membaik sejak awitan. Perdarahan ulang juga sangat mungkin terjadi. Rata-rata
waktu antara perdarahan pertama dan perdarahan ulang adalah sekitar 5 tahun.

18
BAB II
STATUS PENDERITA NEUROLOGI

A. ANAMNESA
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. K
Umur : 47 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Sidua-dua Dusun V - Kanopan
Agama : Islam
MRS Tanggal : 19 September 2019

2. Keluhan Utama
Penderita tiba-tiba mengalami kelemahan pada lengan dan tungkai sesisi tubuh
sebelah kanan sejak ±12 jam SMRS.

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Kurang lebih 12 jam SMRS, saat penderita sedang beraktivitas, tiba-tiba
penderita mengalami kelemahan pada lengan dan tungkai sesisi tubuh sebelah
kanan, tanpa disertai penurunan kesadaran. Saat serangan, penderita mengalami
sakit kepala dan mual, muntah tidak ada, tidak disertai kejang. Tidak terdapat
gangguan rasa pada sesisi tubuh yang mengalami kelemahan. Penderita sehari-hari
menggunakan lengan kanan untuk beraktivitas. Penderita tidak dapat
mengungkapkan isi pikirannya secara lisan, tulisan dan isyarat. Saat penderita
berbicara, mulutnya mengot ke arah kanan dan bicaranya pelo. Saat serangan
penderita tidak mengalami jantung yang berdebar-debar disertai sesak nafas.
Penyakit seperti ini dialami untuk pertama kalinya.

19
4. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat Hipertensi : Sejak ± 4 tahun yang lalu, penderita
tidak rutin minum obat & kontrol secara
teratur
 Riwayat DM : Sejak 2 tahun yang lalu
 Riwayat Penyakit Jantung : (-)
 Riwayat Asma : (-)
 Riwayat Alergi Obat / Makanan : (-)
 Riwayat Trauma : (-)

5. Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat Hipertensi : (+) dari ayah penderita
 Riwayat DM : (-)
 Riwayat Penyakit Jantung : (-)
 Riwayat Asma : (-)
 Riwayat Alergi Obat / Makanan : (-)

B. PEMERIKSAAN FISIK (19 September 2019)


1. Status Internus
Kesadaran : GCS : 13 (E:4, M:5, V:4)
Gizi : Baik
Suhu Badan : 36,5 ºC
Nadi : 83 x/m
Pernapasan : 20 x/m
Tekanan Darah : 140/100 mmHg
Berat Badan : 64 kg
Tinggi Badan : 168 cm
Jantung : Murmur (-), gallop (-)
Paru-Paru : Vesikuler(+), ronkhi(-),wheezing (-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Anggota Gerak : Lihat status neurologikus
Genitalia : Tidak diperiksa

20
2. Status Neurologikus
KEPALA
Bentuk : normocephali Deformitas : (-)
Ukuran : normal Fraktur : (-)
Simetris : simetris Nyeri fraktur : (-)
Hematom : (-) Tumor : (-)
Pulsasi : (-)
Pembuluh darah : tidak ada pelebaran

LEHER
Sikap : lurus Deformitas : (-)
Torticolis : (-) Tumor : (-)
Kaku kuduk : (-)
Pembuluh darah : tidak ada pelebaran

SYARAF-SYARAF KRANIAL
N. Olfaktorius Kanan
Kiri
Penciuman tidak ada kelainan tidak ada
kelainan
Anosmia (-) (-)
Hyposmia (-) (-)
Parosmia (-) (-)

N.Opticus Kanan
Kiri
Visus 6/6 6/6
Campus visi V.O.D V.O.S
- Anopsia (-)
(-)
- Hemianopsia (-)
(-)
Fundus Oculi Tidak Diperiksa

21
N. Occulomotorius, Trochlearis dan Abducens
Kanan
Kiri
Diplopia (-) (-)
Celah mata (-) (-)
Ptosis (-) (-)
Sikap bola mata
- Strabismus (-) (-)
- Exophtalmus (-) (-)
- Enophtalmus (-) (-)
- Deviation conjugae (-) (-)
- Gerakan bola mata baik ke segala arah baik ke segala arah
Pupil
- Bentuknya bulat bulat
- Besarnya Ø 3 mm Ø 3 mm
- Isokori/anisokor isokor isokor
- Midriasis/miosis (-) (-)
Refleks cahaya
- Langsung (+) (+)
- Konsensuil (+) (+)
- Akomodasi (-) (-)

N.Trigeminus
Kanan
Kiri
Motorik
- Menggigit tidak ada kelainan
- Trismus tidak ada kelainan
- Refleks kornea tidak ada kelainan
Sensorik
- Dahi tidak ada kelainan
- Pipi tidak ada kelainan
- Dagu tidak ada kelainan

22
N.Facialis
Kanan Kiri
Motorik
- Mengerutkan dahi tidak ada kelainan tidak ada kelainan
- Menutup mata tidak ada kelainan tidak ada kelainan
- Menunjukkan gigi sudut mulut tertinggal tidak ada kelainan
- Lipatan nasolabialis sedikit datar tidak ada kelainan
- Bentuk Muka tidak ada kelainan
- Istirahat tidak ada kelainan
- Berbicara/bersiul bicara pelo
Sensorik
2/3 depan lidah tidak diperiksa
Otonom
- Salivasi tidak ada kelainan
- Lakrimasi tidak ada kelainan
- Chvostek’s sign (-) (-)
N. Cochlearis
Kanan
Kiri
Suara bisikan tidak diperiksa
Detik arloji tidak diperiksa
Tes Weber tidak diperiksa
Tes Rinne tidak diperiksa

N. Vestibularis
Kanan
Kiri
Nistagmus (-) (-)
Vertigo (-) (-)

N. Glossopharingeus dan N. Vagus


Kanan
Kiri

23
Arcus pharingeus tidak ada kelainan
Uvula tidak ada kelainan
Gangguan menelan tidak ada kelainan
Suara serak/sengau tidak ada kelainan
Denyut jantung tidak ada kelainan
Refleks
- Muntah tidak ada kelainan
- Batuk tidak ada kelainan
- Okulokardiak tidak ada kelainan
- Sinus karotikus tidak ada kelainan
Sensorik
- 1/3 belakang lidah tidak dinilai

N. Accessorius
Kanan
Kiri
Mengangkat bahu tidak ada kelainan
Memutar kepala tidak ada kelainan

N. Hypoglossus
Kanan
Kiri
Mengulur lidah deviasi lidah ke kanan
Fasikulasi (-)
Atrofi papil (-)
Disartria (+)
MOTORIK
LENGAN Kanan Kiri
Gerakan Kurang
Cukup
Kekuatan 3 5
Tonus Meningkat Normal
Refleks fisiologis
- Biceps Meningkat Normal

24
- Triceps Meningkat
Normal
- Radius Meningkat Normal
- Ulna Meningkat Normal
Refleks patologis
- Hoffman Ttromner (-) (-)
- Leri (-) (-).
- Meyer (-) (-)
Trofik (-) (-)

TUNGKAI Kanan Kiri


Gerakan Kurang
Cukup
Kekuatan 3 5
Tonus Meningkat Normal
Klonus
- Paha (-) (-)
- Kaki (-) (-)
Refleks fisiologis
- KPR Meningkat Normal
- APR Meningkat Normal
Refleks patologis
- Babinsky (-) (-)
- Chaddock (-) (-)
- Oppenheim (-) (-)
- Gordon (-) (-)
- Schaeffer (-) (-)
Refleks kulit perut
- Atas tidak ada kelainan
- Tengah tidak ada kelainan
- Bawah tidak ada kelainan
Refleks cremaster tidak ada kelainan

SENSORIK

25
Tidak ada kelainan

FUNGSI VEGETATIF
Miksi : tidak ada kelainan
Defekasi : tidak ada kelainan
Ereksi : tidak dinilai

KOLUMNA VERTEBRALIS

26
Kyphosis : (-)
Lordosis : (-)
Gibbus : (-)
Deformitas : (-)
Tumor : (-)
Meningocele : (-)
Hematoma : (-)
Nyeri ketok : (-)

GEJALA RANGSANG MENINGEAL


Kanan
Kiri
Kaku kuduk (-)
Kerniq (-)
Lasseque (-)
Brudzinsky
- Neck (-)
- Cheek (-)
- Symphisis (-)
- Leg I (-)
- Leg II (-)

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium (16 Maret 2017)
Hb : 13,7 g/dl
Eritrosit : 4,46x106/mm3
Leukosit : 11.600 /mm3
Trombosit : 261.000/mm3
Hematokrit : 38%
Ck-MB : tidak diperiksa
Ck-NAC : tidak diperiksa
KGD Ad Random : 353 mg/dl
Natrium : tidak diperiksa
Kalsium : tidak diperiksa

27
Kalium : tidak diperiksa
Clorida : tidak diperiksa
Magnesium : tidak diperiksa

FUNGSI GINJAL LIPID PROFILE


Ureum : 15 mg/dl Choles-Total : 222 mg/dl
Kreatinin : 0,64 mg/dl Triglyserida : 119 mg/dl
Asam Urat : 5,9 mg/dl

URINE
tidak diperiksa

LIQUOR CEREBROSPINALIS
tidak diperiksa

2. Pemeriksaan EKG

Tidak Dilakukan Pemeriksaan

3. Pemeriksaan Radiologis

1. Rontgen Thorax

Tidak Dilakukan Pemeriksaan

2. CT Scan
Kepala:
 Tampak area hiperdens di parietal kiri ukuran 4,62 x 3,81 cm.
 Differensiasi grey, white matter jelas.
 Tak tampak deviasi midline structure.
 Sistem ventrikel normal, sulci/gyri normal.
 Pons/cerebellum/CPA normal.
 Sinus paranasal/cavum nasi dan orbita normal.

Kesimpulan: ICH di parietal kiri vol ± 90 cc.

28
D. DIAGNOSIS

Diagnosis klinis : Hemiparese dextra tipe spastic


Parese N. VII dextra tipe sentral
Parese N. XII dextra tipe sentral
Diagnosis topik : Parietal sinistra
Diagnosis etiologi : Intracerebral hemorrhage (ICH)

E. PENATALAKSANAAN

Nonfarmakologi:

 Follow Up: GCS+TTV


 Head up 30°
 O2 adekuat
 Diet cair 1700 kkal
 Konsul Bedah Saraf
Farmakologi:

 IVFD NaCl 0,9% gtt xx/menit

29
 Inj. Citicoline 2x500 IV
 Inj. Omeprazole 1x40 mg IV
 Inj. Asam tranexamat 3 x 500 mg IV
 B kompleks 1x500 mcg PO

F. PROGNOSIS

Quo ad Vitam : dubia ad bonam

Quo ad Functionam : dubia

Quo ad Sanationam : dubia

30
31

Anda mungkin juga menyukai