Anda di halaman 1dari 8

STIMULASI AUDITIF

(Schuell, 1964)

Schuell meletakkan dasar bagi pendekatan langsung penanganan afasia. Ia memilih stimulasi
auditif yang kuat sebagai dasar untuk memancing respons verbal: ahli terapi merangsang pasien
hingga pemahaman dan pengungkapan bahasa dipermudah.

Schuell tidak membeda-bedakan sindrom-sindrom afasia, melainkan menganggap afasia


sebagai inidimensional: suatu gangguan bahasa yang sentral, yang hanya dapat bervariasi berat-
ringan keparahannya, tetapi tidak berbeda-beda jenisnya. Dengan cara merangsang pemahaman
auditif sekaligus dirangsang seluruh bahasa. Respons haruslah dipancing, bukan dipaksa atau
dikoreksi. Pada stimulus yang cukup kuat, responsnya akan tepat. Tiadanya respons atau terjadinya
respons yang salah menunjukkan bahwa stimulusnya kurang.

STIMULASI MULTIMODAL

Orang dapat menerapkan beberapa modalitas dan tidak harus membatasi diri pada satu
modalitas saja dalam pelaksanaan suatu tugas. Berbagai modalitas masukan dapat diterapkan
sekaligus, misalnya dengan memberikan kalimat yang disajikan secara lisan maupun secara tulisan.

Dalam memancing respons, dapat juga diterapkan lebih dari satu modalitas, misalnya
dengan meminta pasien menyebutkan nama suatu gambar, menyuruh mengulang kata itu,
menyuruh menuliskan kata itu dan kemudian, menyuruh mengucapkan kata itu. Selain diterapkan
sekaligus, berbagai modalitas itu dapat diterapkan secara berturut-turut. Dalam cara ini, modalitas
yang gangguannya lebih ringan diterapkan lebih dulu, baru diikuti oleh modalitas yang gangguannya
lebih berat. Dengan demikian, fungsi yang satu memudahkan dan merangsang fungsi lain. Akan
tetapi, penting disadari benar apa yang sedang dilatih dengan cara ini.

METODE PREVENTIF

(beyn, Shokhor-Trotskaya, 1966)

Beyn dan Shokhor mencoba mencegah terjadinya gaya telegram dengan mendorong pasien
mereka dari sejak awal afasia untuk menggunakan kata seru dan kalimat lengkap. Lewat bicara
bersama dan meniru ucapan dilatihlah kata-kata seperti ‘oh’, ‘tidak’, ‘sekarang’, ‘baik’; kemudian
dilatih pula kata-kata seperti saya mau’ dikombinasikan dengan kata kerja seperti ‘makan, ‘tidur’.
Nama benda tidak dipakai sampai muncul dengan sendirinya dalam percakapan spontan, akan
tetapi, tetap tidak dipakai sebagai pokok (pembicaraan). Para penulis melaporkan bahwa di antara
keduapuluhlima pasien mereka, tidak ada yang mengembangkan gaya telegram. Sayang, tidak jelas
apakah semua pasien itu benar-benar menderita afasia tidak fasih.
MENYINGKIRKAN PENGHALANG

(Weigl, Bierwich, 1970)

Weigl dan Bierwich berpendapat bahwa pada pasien afasia ada beberapa aspek
‘performance’ (pelaksanaan) yang terghanggu, sedangkan ‘competence’ (apa yang diketahui tentang
bahasa) tetap utuh. Oleh karena itu, pada suatu saat, pasien dapat memahami atau memakai suatu
kata yang pada saat lain, tidak dapat digunakannya. Dalam kondisi ‘penyingkiran halangan’- yaitu
apabila suatu fungsi yang terganggu didahului oleh fungsi yang relatif tidak terganggu-unsur-unsur
bahasa yang tadinya terhambat, dapat diangkat ke permukaan. Dengan, misalnya pertama-tama
menyuruh menyalin suatu kata, pasien sesudahnya dapat menuliskan kata itu bila didikte. Dengan
mula-mula memperdengarkan suatu kata, maka sesudah itu pasien dapat memahami perkataan
yang tertulis.

PEORGANISASI ANTAR-SISTEM

(luria, 1970)

Luria melihat pemulihan sebagai proses terjadinya hubungan-hubungan baru dalam otak.
Suatu fungsi utuh yang secara normal tidak terlibat dalam fungsi tertentu, kini diikutsertakan untuk
memulihkan fungsi yang terganggu. Ini biasanya menyangkut perbuatan-perbuatan yang dulu
dilakukan secara tidak sadar dan yang sekarang secara sadar harus dianalisis oleh pasien dengan
bantuan ahli terapi.

Luria memberikan kepada seorang pasien Broca suatu gambar dan tiga carik kertas yang
melukiskan tiga bagian kalimat subyek-predikat-objek. Ia meminta pasiennya untuk berturut-turut
menunjuk secarik kertas dan sekaligus menyebutkan kata yang sesuai dalam kalimat yang disajikan.
Dengan jalan ini, setiap kalimat diucapkan secara sangat sadar oleh pasien.

Metode ini merupakan dasar bagi pengembangan ‘papan konstruksi kalimat’ oleh Davis
pada tahun 1973.

Terapi Intonasi Melodi, yang akan dibahas kemudian dalam bab ini, merupakan contoh
reorganisasi antar-sistem: menyanyi diikutsertakan untuk menghidupkan lagi proses bicara yang
terganggu.

PELATIHAN KOGNITIF

(Wepman, 1972)

Wepman bertolak dari teori bahwa dasar afasia ialah pembatasan dalam proses-proses
berpikir. Pasien afasia lebih banyak mengalami pemiskinan ide daripada pemiskinan kata. Untuk
mengalihkan pasien dari ‘pergulatan untuk menemukan kata yang tepat’ ke proses-proses pikir yang
mendasari penggunaan kata, ahli terapi dan pasien harus bersama-sama membicarakan hal-hal
menarik bagi pasien ditinjau dari segi profesinya. Ahli terapi bertugas untuk membimbing pasien
agar tetap di dalam kerangka pokok bahasan itu serta mengarahkan perhatian pada gagasan dan
bukan pada kata-kata. Tujuannya ialah perbaikan ekspresi verbal, tetapi tidak dengan menggarapnya
secara langsung. Wepmann menggambarkan beberapa contoh penanganannya: seorang hakim, yang
sesudah dua tahun tidak lebih banyak hasilnya dari bergulat kata demi kata dalam percakapan,
dimintanya untuk membicarakan kasus-kasus pengadilan tertentu dengan berbagai macam visual.
Seorang ahli psikoanalisa, yang sesudah terapi selama setahun hanya memakai beberapa kalimat
automatis saja, disuruhnya bercerita tentang kasus-kasus dari prakteknya dan tentang mimpi-
mimpinya.

PAPAN-KONSTRUKSI-KALIMAT

(Davis, 1973)

Luria dan Tsvetkova, pada tahun 1968, sudah menggambarkan metode untuk memberi
pasien tidak carik kertas sebagai kinci untuk menyusun suatu kalimat yang terdiri atas tiga unsur.
Inilah dasarnya untuk pengembangan ‘papan-konstruksi-kalimat’ oleh Davis (1973).

MENYINGKIRKAN HALANGAN

(Ulatowska, Richardson, 1974)

Bertolak dari teori bahwa pengetahuan tentang bahasa masih utuh, tetapi jalan bahasa
terhambat, Ulatowska dan Richardson memakai ‘paham kata’ pada pasien afasia Wernicke yang
tidak mengalami kemajuan dengan teknik tradisional pada waktu itu. Kata-kata yang dicetak
digunakan mereka untuk memperkuat kata-kata yang diucapkan dan untuk memberi representasi
yang stabil. Pasien dilatih dalam tiga tugas: mengulang kata-kata, membaca kata-kata dan
membentuk kata-kata itu menjadi kalimat. Pelatihan ini diberi selama setahun dan selama kurun
waktu itu, pasien mencapai kemajuan dari jargon, melalui parafasia literal dan parafasia verbal,
akhirnya ke substitusi semantik.

KOMUNIKASI VISUAL (VISUAL COMMUNICATION: VIC)

(Davis, Gardner, 1975)

Komunikasi Visual ialah bahasa buatan yang diciptakan bagi pasien afasia untuk
berkomunikasi. Komunikasi Visual terdiri atas kartu-kartu yang agak besar dengan gambar geometris
atau ideografis yang merupakan kesatuan bermakna dan kartu yang lebih kecil dengan gambar suatu
lambang yang menggambarkan kata penghubung atau kata depan.

Lima di antara delapan pasien yang memperoleh latihan intensif dengan sistem ini mencapai
taraf yang letaknya di atas prestasi mereka dengan tugas bahasa Inggris.

Komunikasi Visual belakangan menjadi dasar untuk mengembangkan Terapi Kegiatan Visual.
TERAPI INTONASI MELODI (MELODIC INTONATION THERAPY: MIT)

(Sparks, Holland, 1976)

Terapi Intonasi Melodi ialah program terapi yang memanfaatkan instruksi terprogram: suatu
cara belajar, yang bahannya sesudah dianalisis secara seksama, disajikan langkah demi langkah
dalam jumlah sedikit demi sedikit. Telah diamati bahwa pasien yang tidak atau hampir tidak dapat
berbicara biasanya dapat menyanyi, juga menyanyikan kata-katanya. Rupanya kata-kata itu turut
tertarik oleh lagunya, suatu fungsi hemisfer kanan yang pada afasia tidak terganggu. Metode ini
terdiri atas empat tingkat. Pada tingkat pertama pasien diajarkan untuk mengambil alih lagu-lagu.
Lagu itu didukung oleh ketukan irama dan aksen lagu. Pada tingkat kedua pasien diajarkan
menyanyikan kalimat-kalimat pada melodi: mula-mula dengan turut menyanyi dengan ahli terapi,
lalu meniru menyanyi, dan akhirnya dengan menggunakan kalimat yang dilatih itu sebagai jawaban
atas suatu pertanyaan. Pada tingkat ketiga, masih dengan lagu, dilatih kalimat-kalimat yang lebih
panjang. Akhirnya, pada tingkat keempat, tidak ada nyanyian lagi, tetapi latihan dilakukan dengan
intonasi yang berlebihan. Tingkat terakhir adalah tahap antara menyanyi dan bicara normal.

Metode ini dimaksudkan bagi kelompok pasien dengan kondisi tertentu; pasien afasia
dengan keterbatasan berat dalam ekspresi verbal, yang sukar meniru bicara, tetapi memiliki
gangguan pemahaman auditif yang ringan sampai sedang. Jadi, ini merupakan kelompok pasien
afasia Broca yang berat, khususnya dengan apraksia verbal. Dalam suatu pembahasan luas tentang
Terapi Intonasi Melodi, Sparks (1981) menulis bahwa pasien afasia Wernicke dan pasien afasia
Transkortikal jelas bukan calon baik untuk Terapi Intonasi Melodi, sedangkan pasien afasia Konduksi
mungkin calon yang baik. Metode itu dideskripsikan oleh Abraham-Ogterop dan Vercruysse dalam
bahasa Belanda (1979).

Terapi Intonasi Melodi ternyata merupakan metode yang efektif. Pasien yang dengan
bantuan program terapi lain tidak memperoleh kemajuan bicara, ternyata dengan metode ini
mendapat kemajuan.

BASE – 10 STIMULASI TERPROGRAM (BASE-10 PROGRAMMED STIMULATION)

(Lapointe, 1977)

Base-10 merupakan contoh metode yang didasarkan atas teori belajar yang pada saat
penanganan sekaligus hendak mengevaluasi secara cermat efek penanganan itu. Bertolak dari
prestasi dalam pemeriksaan PICA dipilih sejumlah tugas yang akan dilatih. Dalam setiap tugas
diajukan sepuluh unsur. Kesepuluh unsur ini selalu diajukan lagi dan diberi nilai dalam pertemuan-
pertemuan yang susul-menyusul. Bila dicapai keberhasilan 80% (dalam lima pertemuan berturut-
turut) sampai 90% (dalam tiga pertemuan berturut-turut) boleh dimulai dengan tugas berikutnya.
TERAPI KEGIATAN VISUAL (VISUAL ACTION THERAPY: VAT)

(Helm, Benson, 1978)

Dalam Terapi Kegiatan Visual yang menggunakan lambang-lambang abstrak, ternyata


pasien-pasien dengan afasia Global sanggup menggunakan suatu sistem komunikasi alternatif.
Berangkat dari hal ini, Nancy Helm mendapat ide untuk mengembangkan penggunaan gerak-isyarat
dengan pemakaian simbolisasi yang lebih konkret, yaitu gambar atau lukisan. Dalam metode
instruksi terprogram yang dikembangkan olehnya, mula-mula diletakkan hubungan antara benda
dan suatu gambar yang ukurannya sesuai dengan yang sebenarnya. Kemudian pada tingkat I dalam
enam langkah, dilatih pengenalan dan penciptaan gerak-gerak isyarat, dengan menggunakan benda-
benda berikut atribut-atributnya yang sesuai, seperti martil dengan paku-paku dan sebilah kayu.
Enam langkah berikutnya (masih pada tingkat I) menghantar pasiennya pada gerak-isyarat tanpa
benda, yaitu gerak-isyarat yang representatif. Keenam langkah terakhir dilatih pada tingkat II dengan
gambar-gambar tindakan; dan akhirnya pada tingkat III dengan gambar kecil benda-benda yang
dipakai. Beralih ke langkah berikutnya baru diperbolehkan apabila langkah sebelumnya 100%
berhasil, atau dalam tiga pertemuan berturut-turut, 90% berhasil.

Bahan metode itu terdiri atas delapan benda yang dapat digunakan dengan satu tangan
(pasien dengan afasia Global hampir selalu menderita hemiplegia) dan yang gerak-isyaratnya hanya
membawa satu arti; gambar-gambar benda itu dengan ukuran yang sebenarnya, gambar-gambar
kecil dan gambar situasi setiap gerak isyarat (misalnya seseorang yang sedang mengerjakan kayu).
Metode itu ternyata sukses pada sebagian besar pasien afasia. Tidak hanya penggunaan gerak-
isyarat yang berkembang sehingga mereka dapat menyatakan maksud mereka dengan lebih baik,
tetapi konsentrasi dan pemahaman auditif juga menjadi lebih baik. Hal ini rupanya diakibatkan oleh
prosedur yang diikuti: selama latihan, baik ahli terapi maupun pasien tidak boleh berbicara.
Petunjuk-petunjuk diberikan oleh ahli terapi dengan gerak-isyarat dan mimik muka. Oleh karena itu,
metode ini ternyata juga cocok untuk pasien dengan afasia Wernicke: keterpaksaan berdiam diri
memperbaiki konsentrasi dan perhatian mereka sehingga pemahaman auditif mereka pun menjadi
lebih baik. Belakangan ini Nancy Helm-Estabrooks (1986) menyatakan bahwa gerak-isyarat proksimal
(gerak-isyarat dengan seluruh lengan) bagi pasien afasia dengan apraksia tangan lebih mudah
dilakukan daripada gerak-isyarat distal (gerak-isyarat dengan hanya menggerakkan tangan). Dengan
demikian, maka gerak-isyarat untuk ‘menggergaji’ akan lebih mudah dibuat daripada gerakan untuk
‘memutar sekrup’. Adanya informasi ini perlu diperhatikan dalam pemilihan gerak-isyarat yang akan
dilatih dengan Terapi Kegiatan Visual.

KATA KERJA-SEBAGAI-INTI (VERB-AS-CORE)

(Loverso, Selinger, Prescott, 1979)

Berangkat dari gagasan Fillmore bahwa kata kerja merupakan inti kalimat, Loverso, Selinger
dan Presscott mengembangkan program terapi ‘kata kerja-sebagai-inti’ untuk pasien-pasien afasia
dengan gangguan sintaksis. Kata kerja digunakan sebagai rangsangan dan pertanyaan Apa Mengapa
dan sebagainya sebagai kunci untuk memancing kalimat-kaliamat dari tipe subjek-kata kerja-objek.
Kalimat-kalimatnya juga ditulis. Ternyata, dalam tes ulang, pada pasien memperhatikan kemajuan
dalam penyusunan kalimat dengan pendekatan ‘siasat kata kerja’ ini.

PROGRAM STIMULASI SINTAKS (SYNTAX STIMULATION PROGRAM)

(Helm-Estabrooks, Fitzpatrick, Barresi, 1981)

Pada tahun1975, Gleason, Goodglass dan beberapa peneliti lain telah mengembangkan
‘Story Completion Test’ (Tes Penyelesaian Cerita) untuk menetapkan konstruksi gramatikal mana
yang lebih mudah atau lebih sukar bagi pasien dengan afasia Broca. Mereka memancing konstruksi-
konstruksi itu dengan menceritakan kepada para pasien suatu cerita yang harus diikuti oleh suatu
respons. Misalnya, untuk memancing suatu konstruksi pasief, peneliti berkata: ‘Seseorang berjalan
di tengah-tengah rel kereta api. Sebuah kereta api datang. Orang itu tidak mendengar. Apa yang
terjadi ? orang itu........’Urutan dari mudah ke sukar ternyata:

Imperatif Intransitif Duduk

Imperatif Transitif Minum susu

Jumlah + Kata benda Dua Belas Cangkir

Pertanyaan mana/ Bila dsb Di mana menaruh sepatu ?

Deklaratif Transitif Anjing menggigit kuciong

Deklaratif Intransitif Bayi menangis

Komparatif Ia lebih besar

Pasif Dibunuh

Pertanyaan ya-tidak Mau minum ?

Objek langsung + tidak langsung Kasih uang teman

Kalimat subordinat Anak yang jalan

Kata benda + Kata sifat + Kata sifat Buku kecil merah

Waktu mendatang Mereka akan kerja

Berangkat dari urutan ini dan dari pendekatan stimulasi. Helm dan kawan-kawan
mengembangkan program perangsangan-sintaks. Untuk setiap tipe dari kedelapan tipe kalimat itu,
mereka menciptakan dua puluh unsur: suatu cerita dengan respons yang diharapkan. Selain itu,
dalam program ini diperhatikan juga aspek fonologi sehingga kalimat-kalimat yang mudah juga
terdiri atas kata-kata yang secara fonologi lebih sederhana. Cerita-cerita itu disertai oleh gambar-
gambar garis yang melukiskan cerita yang bersangkutan. Hasil-hasil pertama menggembirakan:
seorang pasien yang kronis agramatis mencapai kemajuan dalam membua. Tipe kalimat yang
disebut tadi malam pembicaraan spontannya. Diharapkan bahwa teknik Program Stimulasi Sintaks
ini, dikombinasikan dengan rangsangan visual yang serasi, akan memperbesar kemungkinan bahwa
seorang pasien akan memberikan jawaban yang tepat karena dengan cara ini, baik daya
membayangkan secara visual maupun verbal diperbesar.

INTERVENSI SEMANTIK DIVERGEN (DIVERGENT SEMANTIC INTERVENTION)

(Chapey, 19, 1981)

Dalam penanganan afasia biasanya dipergunakan tugas bahasa konverge81)

Dalam penanganan afasia biasanya dipergunakan tugas bahasa konvergen; kepn; kepada
pada pasien diajuksusuattuu sti stimuluus yang memungkinkan s yang memungkinkan s yang
memungkinkan hanya satu jawaban, seperti menyebutkan nama suatu gambar. Akan tetapi, dalam
kehidupan sehari-hari, pasien afasia harus menggali sendiri bermacam ide dan kata. Chapey
menggarisbawahi pentingnya tugas-tugas yang divergen (tugas-tugas yang memungkinkan lebih dari
satu respons) dalam penanganan pasien afasia, terutama untuk melatih penemuan kata. Tugas-tugas
ini terutama sesuai diterapkan untuk pasien dengan afasia ringan. Sebagai contoh:

- memilih kata-kata yang dimulai dengan suatu huruf tertentu;

- menyebut kemungkinan pemakaian suatu benda;

- mengguanakan suatu kata dalam berbagai kalimat;

- menyebut nama benda-benda dalam satu kategori tertentu.

LATIHAN PEMAHAMAN AUDITIF (AUDITORY COMPREHENSION TRAINING: ACT)

(Marshall, 1981)

Untuk memperbaiki pemahaman auditif, Marshall mengembangkan Latihan Pemahaman


Auditif. Titik tolak metode ini ialah:

- Hampir semua pasien afasia menderita gangguan pemahaman auditif.


- Gangguan-gangguan itu secara kualitatif berbeda-beda bagi berbagai pasien afasia.
- Latihan pemahaman auditif merupakan aspek penting dalam penanganan afasia.
- Variabel-variabel yang dapat mempengaruhi pemahaman ialah: variabel linguistik, variabel
waktu (kecepatan berbicara, jeddah bicara) dan variabel kontekstual.
- Kita tahu bahwa pasien afasia telah memahami sesuatu dengan baik kalau ia
menyatakannya dengan respons yang tepat. Jadi, yang penting adalah memancing respons
yang tepat.
- Tugas-tugas harus dihayati oleh pasien sebagai sesuatu yang bermakna.

Marshall memberi petunjuk untuk mengembangkan terapi yang di arahkan pada penanganan
pemahaman auditif bagi beraneka tingkat keparahan afasia (serius, sedang, ringan) dan bagi
berbagai tahap dalam afasia (tahap awal dan tahap-tahap berikutnya). Oleh karena petunjuk untuk
memperbaiki gangguan pemahaman berat dibangun dengan cara tersendiri, maka hal itu akan
dibahas di sini dengan panjang lebar.

Untuk memperbaiki gangguan berat dalam pemahaman auditif, Marshall berangkat dari
pemikiran bahwa kita baru tahu apakah seorang pasien afasia telah memahami sesuatu, apabila ia
menyatakannya dengan respons yang tepat. Dengan demikian, memancing respons yang tepat amat
penting.

Ia menggambarkan adanya empat tahap yang bertumpang-tindih sehingga tidak dapat


dipisahkan satu sama lain dengan tegas.

Dalam tahap pertama, tahap awal afasia (segera sesudah trauma atau GPDO), pasien afasia
berat mengalami kekacauan, biasanya merasa cemas dan depresif. Dengan demikian, penting
bahrwa ahli logopedi menciptakan hubungan baik dengan pasien dan menjelaskan kepadanya
bahwa logopedi ada untuk menolongnya mengatasi kesulitan-kesulitan yang sedang ia hadapi pada
saat itu. Tidak ada gunanya pada tahap ini untuk memperlihatkan kepadanya gambar-gambar yang
sama sekali tidak menarik perhatiannya. Pasien biasanya masih berbaring di tempat tidur, cepat
merasa letih dan pertemuan-pertemuan yang dilakukan haruslah singkat. Tujuan dalam periode ini
ialah mengarahkan perhatian pasien dan memancing suatu respons. Respons ini dapat berupa
jawaban ya atau tidak, tetapi juga dapat berupa respons menunjuk, mengiyakan, tersenyum atau
mengerutkan dahi. Setiap respons pasien diterima. Penting sekali bahwa orang-oranmg yang
merawat pasien mengetahui bahwa mereka harus berbicara dengan pasien, sekalipun pasien tidak
bereaksi dengan kata-kata. Apabila digunakan bahan, bahan itu harus bermakna pasien pada
gagasan-gagasan.

Apabila digunakan bahan, bahan itu harus bermakna bagi pasien pada saat itu. Keluarga dapat
membantu dengan menghantarkan informasi atau gagasan-gagasan.

Pada tahap kedua, kalau pasien sudah lebih baik orientasinya dan lebih sadar akan berbagai
rangsangan, maka tujuan pertama diperluas dengan mencoba menciptakan diferensiasi dalam
respons pasien. Ahli logopedi menerima dan memperkuat setiap respons yang berlainan. Reaksi
pasien terhadap berbagai rangsangan dapat diamati dan dari situ dapat dipetik respons lain. Dapat
juga dicoba untuk memancing respons-respons yang berbeda dengan menyodorkan kepadanya
tugas-tugas berstruktur dengan instruksi untuk menunjuk pada sesuatu atau memperlihatkan
sesuatu atau membuat gerak-isyarat lain yang sederhana.

Apabila pasien dapat memberi respons lain yang lebih berdiferensiasi di sini kita sampai di
tahap ketiga—diharapkan bahwa respons-responsnya semakin banyak mengarah ke jurusan yang
baik. Atas pertyanyaan ‘ini hari apa?’ ia misalnya menunjuk kalender. Ia memberi jawaban ya kalau
ia maksudnya tidak. Bagaimana pun, responsnya merupakan petunjuk mengenai apa yang
dimaksudkan. Beberapa pasien tidak dapat melampaui tahap ini.

Akhirnya sang pasien mungkin sudah demikian jauhnya hingga ia sudah bergerak atau duduk
di kursi roda perlu diusahakan untuk mendapatkan respons yang tepat dari pasien. Respons seperti
ini tidak usah berupa respons verbal: ia dapat menjawab dengan mengangguk-angguk, menunjuk
atau bereaksi dengan gerak-isyarat atau gambar.

Anda mungkin juga menyukai