Anda di halaman 1dari 6

Neurolinguistik

Neurologi bahasa dikenal juga dengan Neurolinguistik, yaitu suatu bidang


kajian dalam ilmu linguistic yang membahas struktur otak yang dimiliki seseorang
untuk memproses bahasa, termasuk di dalamnya gangguan yang terjadi dalam
memproduksi bahasa. kalau secara anatomis atau biologis, perilaku berbahasa ada
dan dipetakan dalam otak kiri. Bisa dikatakan otak kiri dominan untuk perilaku
berbahasa. Istilah neurolinguistik sering dipakai dalam psikolinguistik untuk kajian
gangguan bahasa berdasarkan gangguan neurologi. Sehingga istilah ini merupakan
hubungan antara linguistik sebagai kajian bahasa dengan dasar neurologi.

Malmkjaer (1996: 262) neurolinguistik, merupakan kajian hubungan antara


bahasa dengan dasar-dasar neurologis, dengan tiga bagian utama, yaitu: linguistik,
psikolinguistik dan neurolinguistik. Psikolinguistik, kajian utama berkaitan dengan
pemakaian bahasa, yaitu proses pemerolehan, produksi dan pemerolehan bahasa.
Sedangkan, neurolinguistik; berkaitan dengan sistem dan operasional secara
neurologis, struktur dan fungsi sistem pendengaran beserta elemen yang terkait;
dasar dan sistem neurologis yang berkaitan dengan perilaku berbahasa; sistem dan
struktur yang mengendalikan organ artikulatoris dan yang terkait.

Ahlsen (2006:3), neurolinguistik mengkaji hubungan bahasa dan


komunikasi pada aspek lain fungsi otak, dengan kata lain mengekplorasi proses
otak untuk produksi bahasa dan komunikasi. Kajian ini melibatkan usaha untuk
mengkombinasikan teori neurologis/neurofisiologis (struktur otak dan fungsinya)
dengan teori linguistik (struktur bahasa dan fungsinya). Selain neurologi dan
linguistik, psikologi merupakan sumber kajian neurolinguistik. Neurolinguistik
mempunyai hubungan dekat dengan psikolinguistik, namun lebih memusatkan
pada otak. Studi umum neurolinguistik adalah kajian bahasa dan komunikasi
setelah kerusakan otak. Metode yang banyak dipakai sekarang untuk kajian
neurolinguistik adalah eksperimen, konstruksi model dan neuroimaging.

Fernandez and Cairns (2011:81) memaparkan neurolinguistik merupakan


kajian representasi bahasa di otak dan penemuan afasia merupakan kelahiran
kajian interdisipliner ini. Meski ada perdebatan antara psikolinguistik, linguistik
dan neurolinguistik tentang proses bahasa merupakan proses dari sistem neurologis
manusia.
Dominansi hemisfer kiri untuk perilaku berbahasa sudah dibuktikan secara
klinis, oleh neurolog seperti Paul Broca dan Carl Wernicke, yang menemukan
kerusakan area tertentu pada otak berhubungan dengan kehilangan kemampuan
linguistik pada penderita yang dirawatnya (Crystal, 1992:260). Hemisfer kiri
mempunyai daerah atau area yang memegang perilaku tertentu, dengan kata lain
fungsi bahasa dilateralisasikan. Istilah lateralisasi dipakai untuk fungsi kognisi
yang dilokalisasikan (Fromkin dan Rodman, 2003:37)

Carl Wernicke (neurolog Jerman), merawat penderita stroke yang dapat


berbicara meskipun dengan kesalahan tetapi daya atau kemampuan memahami
bicara orang lain terganggu. Setelah diotopsi, ditemukan kerusakan di lobus
temporalis kiri belakang atas, kemudian disebut area Wernicke (Markam,
1991:22).

Beberapa hal menjadi perhatian dalam pembahasan neurologi bahasa,


berkaitan dengan kaidah neurolinguistik, antara lain adalah kerusakan pada otak,
berpengaruh terhadap usaha seseorang dalam memperoses bahasa, sedangkan
kerusakan organ lain seperti jantung, paru paru, hati, dan ginjal tidak terlalu
berpengaruh pada fugsi bahasa. Hal ini menandakan bahwa otak adalah suatu
organ fisik yang sangat berperan dalam memperoses bahasa. Kerusakan otak akan
mengakibatkan disfungsi khusus bahasa atau yang dikenal dengan afasia.

Afasia
Afasia merupakan gangguan bahasa yang diakibatkan oleh kerusakan pada
korteks. Afasia adalah suatu penyakit yang diperoleh apabila seseorang yang telah
memiliki suatu sistem linguistik. Artinya, seseorang penderita afasia adalah
seseorang yang telah mempunyai kemampuan dan penguasaan tehadap suatu
bahasa. Afasia hanya dikhususkan untuk gngguan berbahasa saja.

Walaupun kerusakan otak mengakibatkan berbegai jenis sindrom atau


kerusakan, namun hanya melibatkan disfungsi bahasa saja yang dinamakan dengan
afasia. Dengan demikian afasia pada dasarnya disebabkan oleh karna adanya
kecederaan atau luka pada korteks atau pada trek serat putih yang menempatkan
pusat bahasa di dalam korteks. Afasia dapat menyebabkan terjadinya stroke. Stroke
terjadi karna pembekuan darah dan pecahnya pembuluh dalam otak.
Penderita afasia memerlukan kajian neurolinguitik, untuk memulihkan
kemampuan berbahasa yang rusak atau terganggu. Disinilah, teori dan konsep
linguistic diperlukan untuk membantu pemulihan kemampuan berbahasa.

Ada beberapa jenis afasia yang dikenali secara umum dalam penelitian
neurologi, yaitu Afasia Broca, Afasia Wernicke, Afasia Konduksi. Sedangkan
beberapa jenis lain berdasarkan penelitian neurologi dalam hubungan dengan
bahasa dikenal sebagai afasia semantic, anomia, dan kepekaan kata. Berikut adalah
penjelasan satu persatu jenis afasia tersebut.

Afasia Broca
Afasia broca merupakan gangguan motoric atau bisa disebut afasia
ekspresif. Afasia ini melibatkan kerusakan pada bagian ketiga lingkaran depan
hamister dominan kiri. Kerusakan ini terjadi pada bagian korteks motoric yang
mengawal otot pertuturan.

Pierre Paul Broca (neurolog Prancis), merawat seorang penderita stroke


yang kehilangan daya bicara (hanya mampu mengucapkan “tan-tan”). Setelah
meninggal penderita diotopsi dan ditemukan adanya kerusakan di lobus frontalis
kiri belakang bawah, yang kemudian disebut area Broca. Area Broca terletak di
depan bagian korteks motorik yang mengurus gerakan-gerakan otot muka, rahang,
lidah, palatum molle dan laring, yaitu otot-otot yang mengeluarkan bunyi
(Markam, 1991:22).

Schwartz (1998) mencontohkan tuturan seorang penderita afasia ekspresif


dalam sebuah article berjudul “Classification of Language Disorder from the
Psycholinguistic Point of View”. Tuturan seorang penderita afasia ekpresif yang
mencoba menerangkan sebuah gambar. Gambar tersebut menggambarkan
bagaimana seorang laki-laki ketika memberikan bunga kepada gurunya:

“Girl is handing flowers teacher”

Pengguguran morfem tata bahasa terjadi dalam kalimat tersebut, yang seharusnya

‘The girls is handing the flowers to her teachers’

“The young…the girl….the little girl is…..the flower”


Terputus- putusnya kalimat tersebut menunjukan bahwa penderita hamper putusasa
tetapi kemudian menemukannya kembali.

“The girl is….is rose…The girl is rosing. The women and the girl was rosed”

Pada kalimat tersebut terdapat penggunaan kata nama rose menjadi suatu bentuk
kata kerja.

Afasia Wernicke
Afasia Wernicke dikenal juga dengan afasia reseptif yang merupakan
gangguan atau kerusakan yang terjadi pada bagian lingkaran suatu hemister yang
dominan bahasa. Carl Wernicke (neurolog Jerman), merawat penderita stroke
yang dapat berbicara meskipun dengan kesalahan tetapi daya atau kemampuan
memahami bicara orang lain terganggu. Setelah diotopsi, ditemukan kerusakan di
lobus temporalis kiri belakang atas, kemudian disebut area Wernicke (Markam,
1991:22).

Kerusakan ini terjadi berdekatan dengan korteks auditori. Pada umum nya
penderita Afasia Wernicke mempunyai lebih kurang dari 30 sampai 80 persen
dalam istilah neologistik. Istilah tersebut merujuk pada kata-kata baru dan ujaran
yang berpadanan dengan struktur fonologi bahasa penderita dan tidak mempunyai
maksud bebas.

Afasia Wernicke bisa disebut juga dengan afasia neologistik jargon (afasia
jargon). Terkadang output tuturan diiringi dengan teka teki parafasia fonemik yang
megandung pengulangan dan pembalikan fonem. Afasia fonemik disebut juga
dengan parafasia literal, yang terjadi di karenakan keliru terhadap isi neurologi
yang suda tersimpan antara fonem dengan huruf dalam abjad. Penderita bisa
dikatakan keliru dengan huruf-huruf sehingga ia disebut mengalami parafasia
literal. Brown (1972) mencontohkan jawaban yang diberikan oleh seorang
penderita afasia wernicke :

“He is selfice on purpiten”


Struktur kalimat tersebut normal, mengandung subjek (he) yang diikuti oleh
satu kata bantu kerja (is) dan satu pelengkap (selfice on purpiten). Masalah yang
akan muncul disini adalah merujuk pada pelengkap yang diperkirakan sebagai
jargon.

Berdasarkan output yang dituturkan oleh seorang penderita afasia


Wernicke , Brown memberikan contoh lain ketika seorang penderita memberikan
jawaban sesuai dengan pertanyaan yang di ajukan padanya:

“What is your speech problem?

Penderita tersebut menjawab:

“Because no one gotta scotta gowan thwa, thirst, gell, gerst, derund,
gystrol, that’s all”.

Berdasarkan jawaban penderita tersebut terdapat ciri-ciri fonemik. Seperti :


gotta; scotta; thwa, thirst; gell; gerst; gerst;gystrol, that’s all.

KESIMPULAN

Neurolinguistik, merupakan kajian hubungan antara neurologi dan linguistik.


Neurolinguistik mengkaji dasar-dasar biologis, terutama otak, untuk memproses
dan memproduksi bahasa. Teori dan konsep neurologi yang dipakai adalah proses
struktur dan anatomi otak yang berkaitan dengan proses pemahaman dan produksi
bahasa. Teori dan konsep linguistik, diterapkan untuk melihat proses pemahaman
dan produksi bahasa dalam otak. Teori dan konsep neurolinguistik banyak
diperoleh dari kajian gangguan berbahasa, atau afasia. Penderita afasia merupakan
penderita yang mengalami gangguan pada area bahasa yang ada di otak kiri.
Diyakini otak kiri dominan untuk perilaku berbahasa. Teori dan konsep linguistik
diperlukan untuk membantu pemulihan penderita afasia, karena membantu
menentukan gangguan yang dialami penderita afasia. Bila mengalami gangguan
bunyi, dibantu untuk dipulihkan bunyi yang terganggau. Bila mengalami gangguan
kata, dibantu untuk memulihkan kata yang terganggu
DAFTAR PUSTAKA
Ahlsen, Elizabeth. 2006. Introduction to Neurolinguistics. Amsterdam:John Benjamin Publishing
Company.

Crystal, David. 1992. The Cambridge Encyclopedia of Language. Cambridge University Press.

Fernandez, Eva M dan Helen Smith Cairns. 2011. Fundamentals of Psycholinguistics. Blackwell
Publishing

Fromkin, Victoria; Robert Rodman dan Nina Hyams. 2003. An Introduction to Language 7th
edition.
Thomson Wadsworth.

Malmkjaer, Kirsten. 1996. The Linguistics Encyclopedia. London: Routledge.

Markam, Soemarmo. 1991. “Hubungan Fungsi Ptak dan Kemampuan Berbahasa pada Orang
Dewasa” dalam Linguistik Neurologi PELLBA 4, penyunting Soenjono Dardjowidjojo.
Yogyakarta:Kanisius.

Sastra, G. 2009 “Afasia”. Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai