Anda di halaman 1dari 6

Tugas 5 Etika Akuntan

Kelompok:

1. Novia Dewi Rengganis 5211201108

2. Jeny Bethari Maudi 5211201114

3. Fadia Hasya Sulaiman 5211201115

4. Fazri Imani 5211201128

Pelanggaran Tata Kelola Perusahaan

1. PT Kimia Farma Tbk

Kasus penggunaan Rapid Diagnostic Test Antigen bekas yang terjadi di Bandara Kualanamu,
Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Perbuatan melanggar hukum dalambentuk
penggunaan Rapid Diagnostic Test Antigen daur ulang berupa swab stick atau cotton buddi laboratorium
Kimia Farma, Bandara Kualanamu sudah berlangsung sejak bulan Desember2020. Keuntungan yang
diraup oleh para pelaku diperkirakan mencapai 1,8 miliar rupiah. Oknum yang mendaur ulang alat rapid
test bekas telah melanggar Pasal 106. Sehingga menurut aturan tentang Kesehatan sesuai Undang-
Undang No. 36 Tahun 2009 Pasal 197 dapat diancam maksimal 15 tahun pidana peniara serta seiumlah
1.5 Miliar untuk denda pidana.Pelanggaran ini juga tergolong ke dalam Kebijakan Pelanggaran Disiplin
Berat Tingkat II Peratutan PT Kimia Farma Tbk Tahun 2018 yang tercatat dalam huruf (1), yaitu
melakukan perbuatan tau aktivitas yang menimbulkan kerugian pada perusahaan. Maka PT Kimia Farma
Tbk mendapat penurunan tingkat kepercayaan masyarakat umum kepada keprofesionalan kinerja
perusahaan tersebut.

Ada beberapa aspek good governance yang dilanggar oleh PT Kimia Farma diantaranya adalah

1. Akuntabilitas

- Pimpinan tidak memberikan contoh terpuni dengan membiarkan bahkan akut serta dalam

kegiatan tersebut

- Hilangnya Kepercayaan masyarakat

- Tidak adanya rasa menolak perintah yang diberikan serta keberanian untuk melaporkan kesalahan
prosedur - Menghalalkan/melegalkan cara yang yang salah untuk mencapai tujuan.

2. Petanggungjawaban

- Kurang tanggungjawab pemimpin dan pelaku dalam melaksanakan tugas serta kewenangannva

- Tidak menanamkan rasa cinta tanah air, serta mengancam keselamatan manusia
- Tidak jujur kepada calon penumpang peserta Rapid Antigen - Tidak ada ketulusan bekerja

karena lebih mementingkan materi dan mengorbankan kepentingan orang lain.

- Melanggar kode etik tenaga kesehatan karena mengesampingkan keselamatan calon penumpang

- Tidak tepat dalam merealisasikan penggunaan sumber daya sehingga terjadi penyimpangan

- Tidak menunjukkan sikap jujur terhadap pelaksanaan prosedur kerja

3. Kesetaraan dan Kewajaran

- Tidak dilakukan pengawasan terhadap system, sehingga terjadi kecurangan untuk kepentingan

tertentu Anti Korupsi

- Tidak ada transparansi yang jelas tentang pengawasan operasional prosedur Rapid Test Antigen

- Tidak menunjukkan rasa peduli terhadap calon penumpang yang menjadi korban

2. PT Jamsostek

Badan Pemeriksa Keuangan menemukan beberapa pelanggaran kepatuhan PT Jamsostek atas laporan
keuangan 2011 dengan nilai di atas Rp7 triliun. Hal tersebut terungkap dalam makalah presentasi
Bahrullah Akbar, anggota VII Badan Pemeriksa Keuangan dalam diskusi Indonesia Menuju Era Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial. Bahrullah mengatakan ada empat temuan BPK atas laporan keuangan
2011 Jamsostek yang menyimpang dari aturan. Pertama, Jamsostek membentuk Dana Pengembangan
Progran Jaminan Hari Tua (JHT) sebesar Rp7,24 triliun yang tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah
22/2004.

Kedua, Jamsostek kehilangan potensi iuran karena terdapat penerapan tarif program yang tidak sesuai
dengan ketentuan. Pada laporan keuangan 2011, potensi penerimaan Jamsostek yang hilang mencapai
Rp36,5 miliar karena tidak menerapkan tarif jaminan kecelakaan kerja sesuai ketentuan. Ketiga, BPK
menemukan Jamsostek belum menyelesaikan aset eks investasi bermasalah, yakni jaminan medium
term notes (MTN). Adapun aset yang belum diselesaikan adalah tanah eks jaminan MTN PT Sapta Prana
Jaya senilai Rp72,25 miliar dan aset eks jaminan MTB PT Volgren Indonesia. Adapun temuan keempat
dari BPK adalah masih terdapat beberapa kelemahan dalam pemantauan piutang hasil investasi.
Pengendalian dan monitoring PT Jamsostek atas piutang jatuh tempo dan bunga deposito belum
sepenuhnya memadai. Selain temuan tersebut, BPK juga menemukan sejumlah ketidakefektifan dalam
kinerja Jamsostek. Pertama, Jamsostek belum efektif mengevaluasi kebutuhan pegawai dan beban kerja
untuk mendukung penyelenggaran program JHT. Kedua, Jamsostek belum efektif dalam mengelola data
peserta JHT.

Ketiga, Jamsostek masih perlu membenahi sistem informasi dan teknologi informasi yang mendukung
kehandalan data. Keempat, Jamsostek belum efektif melakukan perluasan dan pembinaan kepersertaan.
Hal tersebut terlihat bahwa Jamsostek belum menjangkau seluruh potensi kepersertaan dan masih
terdapatnya peserta perusahaan yang tidak patuh, termasuk BUMN. Adapun Kelima, Jamsostek tidak
efektif memberikan perlindungan dengan membayarkan JHT kepada 1,02 juta peserta tenaga kerja usia
pensiun dengan total saldo Rp1,86 triliun.

3. PT Garuda Indonesia

Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK menetapkan mantan Direktur Utama Garuda Indonesia sebagai
tersangka dugaan suap pembelian mesin pesawat dari Rolls Royce Inggris. KPK juga menetapkan pendiri
PT Mugi Rekso Abadi sebagai tersangka pemberi suap kepada mantan Dirut Garuda tersebut dalam
kasus pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus S.A.S dan Rolls Royce Plc kepada PT Garuda
Indonesia. "Tersangka ESA diduga menerima suap dari tersangka SS dalam bentuk uang dan barang,"
ujar Wakil Ketua KPK. Laode M Syarif, dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta Kamis (19/1) sore.
Beberapa beberapa media di Indonesia melaporkan tersangka yang ditetapkan KPK sebagai Emirsyah
Satar, yang menjabat Direktur Utama Garuda sejak Maret 2005 hingga mengundurkan diri pada
Desember 2014. Menurut KPK, pendiri PT Mugi Rekso Abadi yang disebut SS memberi suap kepada
mantan Dirut Garuda itu dalam bentuk uang sebesar sekitar Rp20 miliar serta barang setara Rp 26,76
miliar yang tersebar di Indonesia dan Singapura. Pemberian tersebut diduga untuk memenangkan
proyek pengadaan pesawat Airbus dalam kurun 2005-2014 dalam program pengadaan 50 pesawat
Airbus A330. Dalam keterangan sebelumnya, juru bicara KPK, Febri Diansyah, mengungkapkan, kasus ini
terungkap setelah pihaknya bekerja sama dengan lembaga antikorupsi Singapura (Corrupt Practices
Investigation Bureau) dan Inggris (Serious Fraud Office). Sebelumnya, Lembaga antikorupsi Inggris
Serious Fraud Office (SFO) menemukan adanya konspirasi untuk tindak korupsi dan suap oleh Rolls-
Royce di Cina, India, dan pasar-pasar lainnya. Rolls-Royce sudah meminta maaf 'tanpa syarat' atas kasus-
kasus yang terjadi dalam rentang waktu hampir 25 tahun. Pengadilan Inggris memerintahkan produsen
mesin jet itu untuk membayar denda dan biaya sebesar £497 juta (sekitar Rp 8,1 triliun) ke kantor SFO,
lembaga yang pernah melakukan penyelidikan terhadap perusahaan ini. lDan produsen mesin jet
terbesar dari Inggris, Rolls-Royce, sudah menyatakan akan membayar denda sebesar £671 juta (atau
sekitar Rp11 triliun) untuk menyelesaikan kasus-kasus korupsi dengan otoritas Inggris dan Amerika
Serikat, termasuk dengan sebuah pihak Indonesia.

4. PT Bank Lippo Tbk.

Laporan Keuangan PT Bank Lippo Tbk. per 30 September 2002 yang diiklankan di Surat Kabar Harian
Investor Indonesia pada tanggal 28 November 2002; Pemuatan iklan tersebut merupakan pelaksanaan
kewajiban PT Bank Lippo Tbk. atas ketentuan Bank Indonesia. Adapun materi atau informasi yang
tercantum dalam iklan laporan keuangan tersebut antara lain adalah:

a. Adanya pernyataan Manajemen PT Bank Lippo Tbk. bahwa laporan keuangan tersebut disusun
berdasarkan Laporan Keuangan Konsolidasi yang telah diaudit oleh KAP Prasetio, Sarwoko & Sandjaja
(penanggung jawab Drs. Ruchjat Kosasih) dengan pendapat wajar tanpa pengecualian;

b. Penyajian dalam bentuk komparasi per 30 September 2002 (“Diaudit”) dan per 30 September 2001
(“tidak diaudit”);
c. Nilai Agunan Yang Diambil Alih (“AYDA”) per 30 September 2002 sebesar Rp. 2,393 triliun;
d. Total aktiva per 30 September 2002 sebesar Rp. 24,185 triliun;
e. Laba tahun berjalan per 30 September 2002 sebesar Rp. 98,77 miliar;

f. Rasio Kewajiban Modal Minimum Yang Tersedia sebesar 24,77%

2. Laporan keuangan PT Bank Lippo Tbk. per 30 September 2002 yang disampaikan ke
BEJ pada tanggal 27 Desember 2002; Penyampaian laporan tersebut merupakan pemenuhan kewajiban
PT Bank Lippo Tbk. untuk menyampaikan Laporan Keuangan Triwulan ke-3. Adapun materi atau
informasi yang tercantum dalam laporan keuangan tersebut antara lain:

Pernyataan manajemen PT Bank Lippo Tbk. bahwa laporan keuangan yang disampaikan adalah laporan
keuangan audited yang tidak disertai dengan Laporan Auditor Independen yang berisi opini Akuntan
Publik;
a. Penyajian dalam bentuk komparasi per 30 September 2002 (“audited”) dan 30 September 2001
(“unaudited”);

b. Nilai Agunan Yang Diambil Alih-bersih (“AYDA”) per 30 September 2002 sebesar Rp. 1,42 triliun;
c. Total aktiva per 30 September 2002 sebesar Rp. 22,8 triliun;

d. Rugi bersih per 30 September 2002 sebesar Rp. 1,273 triliun;


e. Rasio Kecukupan Modal sebesar 4,23%.

3. Laporan keuangan PT Bank Lippo Tbk. per 30 September 2002 yang disampaikan oleh Akuntan Publik
KAP Prasetio, Sarwoko & Sandjaja kepada Manajemen PT Bank Lippo Tbk. pada tanggal 6 Januari 2003.

Adapun materi atau informasi yang tercantum dalam laporan keuangan tersebut antara lain adalah:

a. Laporan Auditor Independen yang berisi opini Akuntan Publik Drs. Ruchjat Kosasih dari KAP Prasetio,
Sarwoko & Sandjaja dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian. Laporan auditor independen tersebut
tertanggal 20 November 2002, kecuali untuk catatan 40a tertanggal 22 November 2002 dan catatan 40c
tertanggal 16 Desember 2002;

b. Penyajian dalam bentuk komparasi per 30 September 2002, 31 Desember 2001 dan 31 Desember
2000;

c. Total aktiva per 30 September 2002 sebesar Rp. 22,8 triliun;

d. Nilai Agunan Yang Diambil Alih-bersih (“AYDA”) per 30 September 2002 sebesar Rp. 1,42 triliun;

e. Rugi bersih per 30 September 2002 sebesar Rp. 1,273 triliun;

f. Rasio Kecukupan Modal sebesar 4,23%.

Pelanggaran yang dilakukan oleh PT Bank Lippo Tbk. adalah:


Pada kasus PT Bank Lippo Tbk., menunjukkan bahwa perbuatan Manajemen PT Bank Lippo Tbk. baik
yang melibatkan direksi maupun komisaris secara bersama-sama tergolong perbuatan yang telah
memanipulasi Pasar Modal. Dimana, dalam UUPM telah menyatakan bahwa setiap pihak dilarang
melakukan perbuatan yang menyesatkan sehingga mempengaruhi harga efek apabila pada saat
pernyataan dibuat pihak yang bersangkutan mengetahui adanya kesesatan tersebut, atau pihak tersebut
tidak cukup hati-hati dalam menentukan kebenaran material dari pernyataan tersebut. Dalam kasus ini,
sebelum laporan keuangan PT Bank Lippo Tbk. disampaikan kepada publik, laporan tersebut hendaknya
sudah diteliti dengan baik oleh manajemen PT Bank Lippo Tbk. Namun, pada kenyataannya manajemen
PT Bank Lippo Tbk. dengan sengaja telah merugikan pihak lain (Bapepam-LK) dengan mencantumkan
kata “diaudit” dengan Opini Wajar Tanpa Pengecualian pada iklan laporan keuangan per 30 September
2002 pada tanggal 28 November 2002, dan laporan keuangan yang tidak disertai dengan laporan auditor
independen dan telah terdapat penilaian kembali terhadap Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) dan
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) pada laporan keuangan PT Bank Lippo Tbk. per 30
September 2002 yang disampaikan ke BEJ pada tanggal 27 Desember 2002. Maka, pada kasus ini pihak
Manajemen PT Bank Lippo Tbk. yang telah memanipulasi pasar ini dapat dituntut dengan ketentuan
yang terdapat dalam Pasal 104 Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yakni diancam
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 15.000.000.000,-
(lima belas miliar rupiah

Prinsip-Prinsip GCG yang dilanggar oleh PT Bank Lippo Tbk. yaitu Prinsip Transparansi dan Prisip
Akuntabilitas. Pelanggaran terhadap Prinsip Transparansi ditunjukkan dengan perbuatan Manajemen PT
Bank Lippo Tbk. yang telah lalai karena mencantumkan kata “audited” di dalam laporan keuangan yang
sebenarnya belum diaudit. Maka, PT Bank Lippo Tbk. telah melakukan suatu kelalaian dan melanggar
salah satu hak dasar pemegang saham, yaitu hak untuk menerima informasi. Sedangkan, pelanggaran
terhadap Prinsip Akuntabilitas dapat dilihat dari kesalahan dewan direksi yang telah lalai melakukan
pengawasan terhadap Manajemen PT Bank Lippo Tbk. dan tidak adanya checks and balances yang baik
antara direksi dan komisaris dengan manajemen PT Bank Lippo Tbk. yang menyampaikan dua laporan
keuangan yang tidak diaudit.

Sanksi hukum atas pelanggaran Prinsip GCG di Pasar Modal yang dilakukan oleh PT Bank Lippo Tbk
adalah berupa sanksi administratif saja yaitu kewajiban dari Direksi PT Bank Lippo Tbk. untuk menyetor
uang ke kas negara sejumlah Rp. 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) dan terhadap
Akuntan Publik untuk menyetor uang ke kas negara sebesar Rp. 3.500.000,00 (tiga juta lima ratus ribu
rupiah). Terhadap penerapan sanksi pidana belum dilaksanakan pada kasus PT Bank Lippo Tbk.

5. PT Surya Cipta Perkasa

Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan tim pengaduan
masyarakat Satgas REDD+ sedang melakukan pengumpulan bahan dan keterangan serta analisis atas
dugaan pelanggaran ijin pada kawasan konsesi PT Suryamas Cipta Perkasa (SCP), sebuah perusahaan
kelapa sawit, di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
Pertama, masalah pengelolaan dan pemetaan tata ruang yang baik terkait dengan fungsi perlindungan
dituding menjadi salah satu akar masalah. Berdasarkan laporan Amdal PT SCP No.
660/151/II/BPPLHD/2008, diketahui hampir 20.000 hektar areal lahan konsesi milik PT SCP memiliki
ketebalan gambut sedalam 4-8 meter. Hal ini sesuai dengan peta RTRWP Kalimantan Tengah yang
menyebutkan bahwa konsesi PT SCP terletak di kawasan gambut dengan ketebalan yang termasuk
dalam kawasan pengembangan produksi. Padahal menurut Kepres No. 32/1990 tentang pengelolaan
kawasan lindung menyebutkan bahwa wilayah dengan gambut tebal dikualifikasikan sebagai kawasan
lindung dalam peta RTRWP. Yang kedua, UKP4 juga meminta agar Permentan No. 14/2009 dikaji
kembali. Kajian ini dianggap perlu karena peraturan mengenai perijinan kelapa sawit di kawasan hutan
tersebut dianggap tidak sejalan dengan upaya penegakan hukum. Akar permasalahan berikutnya adalah
tidak adanya koordinasi dan sinergi antar instansi pemberi ijin, terutama menyangkut Kementerian
Kehutanan sebagai perwakilan pemerintah yang mengatur penggunaan hutan dan Bupati sebagai
pemberi ijin operasional di daerah. Kondisi tanpa koordinasi dan sinergi inilah yang menyebabkan PT
SCP melakukan pelanggaran. Prosedur perijinan yang tidak dijalankan dengan baik oleh para kepala
daerah merupakan akar permasalahan yang keempat. Pada kasus PT SCP, perusahaan menjalankan
usaha perkebunannya tanpa dilengkapi analisis dampak lingkungan sehingga mereka tidak dapat
mengidentifikasi gambut dalam yang seharusnya dilindungi dari kegiatan usaha. Kelima, PT SCP
dianggap telah melanggar peraturan wilayah konsesi selama tiga tahun karena lemahnya penegakan
hukum. Parahnya, tidak ada sanksi administratif yang diterapkan. Seandainya, peraturan ditegakkan,
maka dampak kerusakan dapat dicegah dan perusahaan pun harus tunduk kepada peraturan yang ada.

Anda mungkin juga menyukai