Anda di halaman 1dari 47

Samarthya

Reinterpretasi Drupadi Dengan Pendekatan


Estetik Skizofrenia Sebagai Penciptaan Karya Seni Lukis
Dekoratif
PROPOSAL TUGAS AKHIR

Diajukan untuk memenuhi persyaratan


menjadi Sarjana Seni (S.Sn) Prodi Seni Rupa Murni

Oleh:
FANHANI AINA HERMAWAN
NIM 192131003

PROGRAM STUDI SENI RUPA MURNI


FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN
INSTITUT SENI DAN BUDAYA INDONESIA
BANDUNG
2023
Reinterpretasi Sosok Drupadi Dengan Pendekatan
Teori Estetik Skizofrenia

Fanhani Aina Hermawan 192131003


Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung
Email : fanhanifani@gmail.com

ABSTRAK

Drupadi, seorang tokoh yang mendiami peran penting dalam alur epos Mahabharata,
tampil dengan kemegahan sebagai seorang ratu yang mempesona dengan kecantikan yang
melampaui batas dan kecerdasan yang menusuk tajam. Menyandang kecerdasan yang
memikat, ia mampu menaklukan siapapun sehinga setiap orang tunduk dan merasa segan
terhadapnya. Dibalik kesempurnannya, Drupadi menyimpan kisah yang pelik yang berkaitan
dengan hak-hak perempuan serta keadilan. Pada karya ini, akan disuguhkan kompilasi luka
dan duka Drupadi dalam bentuk estetika gothic Ornament karena keduanya memiliki relasi
yaitu obsesi terhadap kesakitan, penderitaan dan kematian. Point kekuatan drupadi dalam
menghadapi setiap cobannya diambil untuk menimbulkan awareness terhadap perempuan
bahwa banyak sekali lika liku kehidupan yang akan terjadi terhadap kita, tetapi hal itu
seharusnya tidak memadamkan atau memudarkan semangat hidup, pun juga sebagai
peringatan kepada siapapun untuk menyebarkan kebaikan dan keadilan dimanapun dan
terhadp siapapun.
Kata kunci : Drupadi, Ornament Gothic Art, Kesutan Dadu, Mahabharata,
Seni Lukis.
ABSTRACT

Drupadi, a character who plays a significant role in the storyline of the Mahabharata
epic, appears with grandeur as a queen who mesmerizes with her beauty that surpasses limits
and a piercing intelligence. Possessing captivating intellect, she can conquer anyone,
causing everyone to bow down and feel reverence towards her. Behind her perfection,
Drupadi holds a complex story that relates to women's rights and justice. In this work, a
compilation of Drupadi's wounds and sorrows will be presented in the form of gothic
Ornament aesthetics, as both elements have a strong connection—an obsession with pain,
suffering, and death. The strength Drupadi exhibits in facing every challenge is highlighted
to create awareness among women that life is full of twists and turns, but it should never
extinguish or diminish the spirit to live. It also serves as a reminder to everyone to spread
goodness and justice wherever and to whomever.

Keywords: Drupadi, Gothic Ornament Art, The Game of Dice, Mahabharata, Fine Art.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Drupadi adalah salah satu tokoh penting dalam epos Mahabharata.


Ia digambarkan sebagai seorang ratu yang memiliki kecantikan luar biasa
dan kecerdasan yang tajam. Namun, di balik kecantikan dan kecerdasannya,
terdapat simbolik yang sangat kuat terkait dengan peran perempuan dalam
masyarakat. Drupadi tidak pernah dilahirkan namun ia diciptakan dari
sekuntum bunga teratai yang sedang merekah. Bunga teratai dikaitkan
dengan keindahan, kesuburan, kemakmuran, spiritualitas, dan keabadian.
Berdasarkan keterkaitan bunga teratai dengan simbol-simbolnya maka dapat
diperhatikan bahwa Drupadi tercipta dari bunga teratai yang
merepresentasikan dirinya sebagai wujud dari kemurnian, kesucian, dan
keindahan (kecantikan). Secara fisiologis, Drupadi merepresentasi sosok
yang cantik dan kecantikannya melekat sepanjang ia hidup. Berikut adalah
kutipan yang menggambarkan kecantikan sosok Drupadi
“Secantik-cantinya putri itu dalam bayangan mereka, setelah
melihat sendiri meski dari jarak yang jauh, ternyata Dewi Drupadi memang
begitu rupa cantiknya sehingga kecantikannya tiadalah terkatakan lagi...
Dari langit ketujuh cahaya pelangi menyorot dari balik awan ke arah Dewi
Drupadi. Matanya berkilat-kilat melebihi segenap kilatan perhiasan
disekujur tubuhnya, dan ketika ia tersenyum para ksatria seketika itu
bagaikan langsung terjerat hatinya, membuat mereka untuk sesaat menjadi
lemas tanpa daya - masih untung tiada yang lantas jatuh pingsan pula.”
Sosok Drupadi ketika menjadi putri kerajaan Pancala direpresentasikan
menjadi sosok perempuan yang cantik. Namun, terlepas dari sisi fisiologis,
secara sosiologis Drupadi adalah sosok perempuan yang dikekang, tidak
memiliki suara, dan menjadi objek seksual. Dalam epos Mahabharata,
Drupadi digambarkan sebagai seorang perempuan yang mengalami berbagai
macam kesulitan, seperti dijodohkan dengan lima orang suami yang
berbeda-beda, diculik dan hampir diperkosa oleh musuh, serta dihina dan
dilecehkan oleh para saudara suaminya. Namun, Drupadi berhasil
menunjukkan keberanian dan kecerdasannya dalam menghadapi segala
kesulitan tersebut.
Simbolik Drupadi mengandung makna feminis yang kuat, yaitu
tentang keberanian dan kecerdasan perempuan dalam menghadapi segala
kesulitan dan menentukan nasib dan kehidupannya. Di masa kini, simbolik
Drupadi masih sangat relevan dan dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi
dalam menciptakan karya seni yang menyuarakan isu-isu terkait kesetaraan
gender dan hak-hak perempuan dalam masyarakat. Melalui kisah hidupnya,
Drupadi menunjukkan bahwa perempuan mampu menghadapi segala
kesulitan dengan kecerdasan dan keberanian yang sama dengan laki-laki.
Drupadi juga menunjukkan bahwa perempuan memiliki hak yang sama
dengan laki-laki dalam menentukan nasib dan kehidupannya.

1.2 Rumusan Penciptaan

Dengan merujuk pada beberapa hal yang Pengkarya sampaikan pada


latar belalakang. Permasalahan penciptaan karya yaitu bagaimana
mewujudkan karya seni lukis yang berbasis tokoh Drupadi yang diuraikan
lagi sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep Drupadi dihadirkan pada karya Reinterpretasi Sosok Drupadi
Dengan Pendekatan Teori Estetik Skizofrenia ?
2. Bagaimana Teknik dan penggayaan yang digunakan ?
3. Bagaimana penyajian karya Reinterpretasi Sosok Drupadi Dengan Pendekatan
Teori Estetik Skizofrenia ?
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penulis membatasi beberapa hal sebagai
berikut :
1. Tema
Karya seni lukis ini mengadaptasi penggayaan gothic art ornament dengan objek
utama Drupadi. Visualisasi pada karya ini akan difokuskan pada penyatuan antara
ornament dari dua negara yang berbeda dengan mengangkat kisah Drupadi.
2. Konsep
Pada karya ini, penulis mengadaptasi ornament gothic yang dipadu padankan
dengan kisah Drupadi. Biasanya, gothic art ornament hanya mengangkat kisah
yang ada pada manuscript bible dengan nilai kesakralannya, namun berubah
kepada fungsi religius, lalu hiasan. Dengan latar belakang yang samasama
mengangkat tentang tragedy, Drupadi lah yang dipilih oleh penulis untuk diangkat
kisahnya dengan penggayaan gothic.
3. Media dan teknik
Media yang digunakan berua canvas berukuran 180 x 120 cm dan canvas
berukuran 15x15 cm sebanyak 100 pcs dengan maksud, mengangkat tema kisah
dibalik luka dan duka Drupadi yang dijadikan sebagai .... pada peristiwa kesutan
dadu dengan berakhirnya tindakan pemerkosaan oleh 100 kurawa.
4. Bentuk dan Objek
Pada karya ini, digambarkan karakter drupadi dalam penggayaan gothic sesuai
dengan apa yang penulis imajinasikan. Berfokus pada ornamental, jika dilihat dari
dekat banyak sekali ornament2 kecil yang berserakan menutupi setiap objek,
ornament yang digunakan merupakan ornamen dari india, jawa dan eropa yang
menyatu dalam satu frame.

1.3 Tujuan Penciptaan

Berdasarkan rumusan penciptaan di atas, Pengkarya memiliki tujuan


penciptaan sebagai berikut:
1) Menggambarkan Reinterpretasi sosok Drupadi dengan penggunaan kodefikasi
2) Menyajikan teknik dan penggayaan pada karya menggunakan Estetik
Skizofrenia

3) Menyajikan karya Reinterpretasi Sosok Drupadi Dengan Pendekatan


Teori Estetik Skizofrenia dengan gaya visual dekoratif
1.4 Manfaat Penciptaan

Terdapat beberapa manfaat penciptaan, yaitu sebagai berikut:

1. Bagi Pengkarya

Pengkarya diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan


mengenai kisah Drupadi melawan ketidakadilannya yang mampu
memberikan kesadaran atau inspirasi yang bisa meningkatkan tingkat
kepedulian terhadap perempuan dan kesadaran akan kekuatan diri
sendiri.

2. Bagi Pembaca

Pengkarya berharap dengan karya ini mampu memberikan informasi


tentang Drupadi dan perjuangannya melawan ketidak adilan yang bisa
dijadikan sebagai inspirasi dalam kehidupan sehari-hari untuk
memperjuangkan hak perempuan dan bertindak adil terhadap
sesama makhluk Tuhan.

3. Bagi Institusi

Pengkarya berharap dengan adanya penciptaan karya ini bisa


bermanfaat antara visual dan teorinya mampu memberikan kontribusi
sebagai kajian dan wacana keilmuan Seni Rupa dalam kepustakaan ISBI
Bandung.
1.5 Sistematika Pengkaryaan

Keseluruhan materi yang ada pada karya akan dikelompokkan


menjadi beberapa bab dan sub-bab, yaitu sebagai berikut:

1. BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini berisikan latar belakang. rumusan Penciptaan, tujuan
penciptaan, manfaat pengkaryaan, metode penciptaan, sistematika
Pengkaryaandan kerangka berpikir.
2. BAB II GAGASAN, KONSEP, DAN REFERENSI KARYA
Pada bab ini berisikan kajian sumber penciptaan, landasan
penciptaan, korelasi tema, ide, dan judul. Serta ada juga konsep
penciptaan dan batasan karya.

3. BAB III METODE PENCIPTAAN


Pada bab ini berisikan bedah naskah, proses berkarya, perancangan
karya, perwujudan karya, dan konsep penyajian karya.

4. BAB IV PEMBAHASAN KARYA


Pada bab ini berisikan tentang penjelasan setiap karya yang telah
dibuat dan juga nilai kebaruan dan keunggulan yang ada dalam karya
yang sudah dibuat.

5. BAB V PENUTUP
Pada bab terakhir ini berisikan kesimpulan dari keseluruhan selama
prosesberkarya dan saran-saran yang bisa dikemukakan.
1.6 Kerangka Berpikir

Gambar 1.1 ”Kerangka Berpikir”


BAB II
PROSES PENCIPTAAN
2.1 Kajian sumber penciptaan
2.1.1 Drupadi
Drupadi ketika menjadi putri Kerajaan Pancala dapat dilihat dari
penggambaran dirinya secara fisiologis dan secara psikologisnya serta
gambaran mengenai respon atau sikap Drupadi ketika mengetahui dirinya
akan dinikahi para Pandawa. Pada awal penceritaan dalam novel, Drupadi
dikisahkan dari fase penciptaannya.
Drupadi tidak pernah dilahirkan namun ia diciptakan dari sekuntum
bunga teratai yang sedang merekah. Bunga teratai dikaitkan dengan
keindahan, kesuburan, kemakmuran, spiritualitas, dan keabadian.
Berdasarkan keterkaitan bunga teratai dengan simbol-simbolnya maka dapat
diperhatikan bahwa Drupadi tercipta dari bunga teratai yang
merepresentasikan dirinya sebagai wujud dari kemurnian, kesucian, dan
keindahan (kecantikan). Secara fisiologis, Drupadi merepresentasi sosok
yang cantik dan kecantikannya melekat sepanjang ia hidup. Berikut adalah
kutipan yang menggambarkan kecantikan sosok Drupadi
“Secantik-cantinya putri itu dalam bayangan mereka, setelah
melihat sendiri meski dari jarak yang jauh, ternyata Dewi Drupadi memang
begitu rupa cantiknya sehingga kecantikannya tiadalah terkatakan lagi...
Dari langit ketujuh cahaya pelangi menyorot dari balik awan ke arah Dewi
Drupadi. Matanya berkilat-kilat melebihi segenap kilatan perhiasan
disekujur tubuhnya, dan ketika ia tersenyum para ksatria seketika itu
bagaikan langsung terjerat hatinya, membuat mereka untuk sesaat menjadi
lemas tanpa daya - masih untung tiada yang lantas jatuh pingsan pula.
Sosok Drupadi ketika menjadi putri kerajaan Pancala
direpresentasikan menjadi sosok perempuan yang cantik. Namun, terlepas
dari sisi fisiologis, secara sosiologis Drupadi adalah sosok perempuan yang
dikekang, tidak memiliki suara dan menjadi objek seksual. Meskipun seperti
itu, ketika peristiwa sayembara yang dilaksanakan di Pancala terlihat ada
potensi kekuatan Drupadi untuk keluar dari keterkekangan yang dialami.
Kekuatan Drupadi terlihat ketika ia berani bersuara untuk mencegah Karna
dalam mengikuti sayembara.
Pada peristiwa sayembara Drupadi menunjukkan sikap penolakan
untuk orang yang tidak ia kehendaki agar menjadi suaminya. Drupadi tidak
ingin menerima laki-laki yang berhasrat kepada dirinya. Artinya, ia
memiliki keberanian dalam bersuara yang mewakili keinginan diri dalam
memilih dan menentukan pasangan hidup. Penolakan tersebut dibuktikan
melalui kutipan berikut:
“Oh, maafkanlah aku, Karna, aku tidak bermaksud
menghinamu, tapi aku takmungkin menikah denganmu. Ini
memang tidak adil untukmu, tapi biarlah nanti kutebus dosaku.
Bukankah boleh aku menentukan nasibku sendiri, dengan caraku
sendiri?”

“Aku mau menikah dengannya! Ia calon suamiku!


Drupadi berteriak tanpa menutupi perasaannya yang seperti jatuh
cinta pada pandangan pertama”.

Drupadi di awal proses sayembara tidak memperlihatkan respons


tidak setuju atau tidak suka. Namun, Drupadi memberikan respons yang
cepat ketika Drupadi menganggap proses sayembara tidak sesuai dengan
peraturan yang ada. Sikap Drupadi yang menerima sosok Brahmana yang
mengikuti sayembara, seperti kutipan di atas, menunjukkan bahwa dirinya
berani bersuara dan mengambil keputusan yang penting dalam
kehidupannya, yaitu menikah. Drupadi menghendaki laki-laki pilihannya
sendiri, yaitu Arjuna yang menyamar sebagai Brahmana. Hal tersebut juga
mencirikan bahwa dirinya adalah sosok perempuan yang tegas dalam
menentukan sesuatu atau bersikap.
Pada fase Drupadi yang belum menikah terdapat tokoh perempuan
lain, yaitu Dewi Kunti. Namun, Dewi Kunti tidaklah mendapatkan
penggambaran yang spesifik, baik penggambaran fisik, psikis, dan juga
sosialnya. Dewi Kunti hadir dalam cerita ketika Drupadi telah dimenangkan
Arjuna dalam sayembara. Setelah pertimbangan Dewi Kunti yang
menganggap Drupadi dapat melayani kelembutan Yudhistira, kekasaran
Bima, kegairahan Arjuna, dan keanggunan Nakula-Sadewa. Dewi Kunti
baru menanyakan pendapat Drupadi mengenai pernikahannya dengan
Pandawa dan Drupadi langsung merespon pertanyaan Dewi Kunti mengenai
pernikahannya dengan kelima Pandawa. Dewi Kunti mengambil keputusan
untuk menikahkan para Pandawa dengan Drupadi. Berikut adalah
kutipannya:
“Anak-anakku, ujar Dewi Kunti kemudian dengan pasti,
Dewi Drupadi harus kalian nikahi bersama...Dewi Kunti memeluk
Drupadi dan mengecup keningnya”.

Dewi Kunti telah memutuskan bahwa para Pandawa harus


menikahi Drupadi. Artinya, dapat dilihat bahwa Dewi Kunti tanpa disadari
ikut andil dalam ketidakadilan yang dialami Drupadi. Dewi Kunti memiliki
kebebasan dalam menentukan atau mengambil keputusan. Pada peristiwa ini,
Drupadi tidak mengambil sikap penolakan. Sikap setuju yang ditunjukan
Drupadi dikarenakan Drupadi menghormati Dewi Kunti sebagai sosok ibu.
Pergolakan hanya terjadi di dalam pikiran dan hatinya. Berikut adalah
kutipan pergolakan hati Drupadi dan kepasrahan Drupadi pada keadaan:
“Apakah perempuan diandaikan tidak punya kemauan?
Tentu seorang perempuan memiliki kehendaknya sendiri. Namun
meski dirinya hidup di antara para bijak, selain kepada perempuan
tidak pernah diajukan pertanyaan, perempuan sendiri tidak akan
memperjuangkan kehendak dan cita-citanya dengan cara
menyatakannya. Ia telah bersikap bebas dan berani sebagai putri
raja, tapi kini ia berada di tengah lingkungan yang berbeda. Ia
berada di sebuah gubuk bersama para ksatria yang terandaikan
telah memiliki hak atas dirinya, sesuai dengan perjanjian terhormat
ayahnya tentang ketentuan sayembara”.

Berdasarkan kutipan di atas, Drupadi merasakan kelu dalam


hatinya karena Drupadi belum pernah dihadapkan pada kondisi yang
mengharuskan dirinya untuk menikah dengan lima laki-laki. Akibat dari apa
yang dirasakan, Drupadi hanya bisa pasrah dengan keadaan yang
membelenggu dirinya. Berikut ini adalah kutipan yang menggambarkan
kepasrahan Drupadi dalam keadaan:
“Ibu Dewi yang Agung, Drupadi menjawab dengan suara
seperti nyanyian terpelan, hamba pasrah atas apa yang akan
ditimpakan... Hanya itulah jawaban yang dianggap Drupadi sebagai
peluang. Ia tak dapat dan bagaimana mungkin menyatakan betapa
hanya Arjuna, dan hanya Arjuna seorang yang dikehendakinya dari
kelima Pandawa”.

Kutipan di atas memperlihatkan bahwa Drupadi tidak memiliki


keberanian secara utuh untuk menolak sesuatu yang tidak sesuai dengan
kehendaknya dikarenakan Dewi Kunti adalah sosok ibu yang harusdihormati.
Berbeda keadaannya ketika Drupadi melakukan penolakan terhadap Karna
ketika sayembara berlangsung dan Drupadi menerima seorang Brahmana
yang memenangkan sayembara. Tetapi, di sisi lain Drupadi tidak bisa
menolak untuk dinikahkan dengan para Pandawa. Pada tahap ini, Drupadi
belum memiliki kekonsistenan sikap untuk menolak sesuatu yang terjadi
pada dirinya. Ketidak konsistenan Drupadi dikarenakan penghormatan
Drupadi kepada sosok ibu yang direpresentasikan melalui Dewi Kunti dan
ketidakberanian Drupadi dalam mengungkapkan keinginannya untuk
menikah hanya dengan Arjuna. Drupadi lebih memilih bersikap pasrah dan
bungkam dengan keadaan yang membelenggu.
Sikap patuh yang dilakukan Drupadi dilatarbelakangi dengan
adanya faktor lingkungan yang berbeda. Ketika ia menolak Karna dalam
mengikuti sayembara itu terjadi di Kerajaan Pancala. Artinya, Drupadi
sudah terbiasa dan akrab dengan lingkungan tersebut. Drupadi sudah
memiliki pertimbangan-pertimbangan langkah yang akan Drupadi lakukan
tanpa adanya keadaan yang membelenggu. Namun, Drupadi tidak dapat
menolak keputusan Dewi Kunti dikarenakan Drupadi tidak pernah
dihadapkan dengan keadaan yang demikian dan dapat dikatakan baru
berinteraksi lagi satu dengan lainnya. Lingkungan yang baru membuat
Drupadi harus lebih memikirkan setiap langkah atau keputusan yang akan ia
ambil dan jalani. Dengan demikian, Drupadi dalam fase ini sebagai
representasi perempuan yang penurut terhadap sesuatu yang terjadi pada
dirinya. Dikatakan penurut karena Drupadi menerima keputusan Dewi Kunti
yang memintanya untuk menikahi Pandawa.

2.1.2 Luka dan Duka

kata duka memiliki arti 'susah hati; sedih hati'. Pada lema suka terdapat
bentukan suka duka yang berarti ' perasaan senang dan sedih dalam hati' (KBBI,
2012: 346, 1349).
Arti luka di KBBI adalah: belah (pecah, cedera, lecet, dan sebagainya) pada
kulit karena kena barang yang tajam dan sebagainya. Namun pada karya ini, luka
didefinisakan sebagai majas metafora atau perbandingan antara luka fisik yang
terlihat dan yang tak terlihat.

2.1.3 Sumber Inspirasi

Sumber adalah sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan dan


pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda. Sumber memiliki arti dalam kelas
nomina atau kata benda sehingga sumber dapat menyatakan nama dari seseorang,
tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata sumber adalah asal (dalam berbagai arti).
Contoh: Ia berusaha mendekati dan menemukan sumber bunyi yang
memesonanya, kabar itu didapatnya dari sumber yang boleh dipercaya. Arti
lainnya dari sumber adalah tempat keluar (air atau zat cair).

Pengertian inspirasi adalah suatu proses yang mendorong atau merangsang


pikiran untuk melakukan sesuatu tindakan terutama melakukan sesuatu yang
kreatif. Inspirasi merupakan suatu proses dimana mental dirangsang untuk
melakukan tidakan setelah melikat atau mempelajari sesuatu yang ada disekitar.
(https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-inspirasi/17046)

Merriam-Webster mendefinisikan inspirasi sebagai berikut : “Sesuatu yang


membuat seseorang ingin melakukan sesuatu atau yang memberi seseorang ide
tentang apa yang harus dilakukan atau dibuat.”

Inspirasi didefinisikan sebagai “Pernafasan atau pemasukan ide, tujuan dan


lain sebagainya ke dalam pikiran ; sugesti, atau penciptaan perasaan atau
dorongan pada sesuatu hal yang mulia.” (Oxford English Dictionary)

2.1.4 Gothic Ornament ( Gothic Contemporary)


In a century when the Gothic has once again exploded in popularity, and
following a period of strong institutionalization of its study in the 1990s and
2000s, establishing some of its key modern manifestations and core concerns
becomes a pressing issue. Current thinking in the area has tried to overcome this
problem by suggesting that the Gothic is “a mode rather than a genre,” “mobility
and [a] continued capacity for reinvention” being two of its “defining
characteristic[s].”5 As the fragments of an already atomized type of literature, the
contemporary Gothic is marked by its ubiquity: if a certain novel is not Gothic, it
is bound to utilize motifs or to include literary aspects that have, at some point,
been associated with the Gothic, from graveyards and ruins as memorable
settings to rapacious monks, monsters, and ghosts as villains.Moreover, concerns
over genre determinacy have given way to the forms of cultural work the Gothic
carries out, if sometimes at the expense of nuance or of intuitive alignments
between texts and their respective literary traditions. As early as 2000, Chris
Baldick and Robert Mighall werealready proposing that criticism “has tended to
reinvent [the Gothic] in the image of its own projected intellectual goals of
psychological ‘depth’ and political ‘subversion’. . . , mistakenly presenting
Gothic literature as a kind of ‘revolt’ against bourgeois rationality, modernity or
Enlightenment.”9 While their broader point is that an emphasis on intention and
transgression has ignored artistic merit and even implausibly turned plot
incoherence into virtue, it is equally true that the Gothic is now largely
celebrated as oppositional, socially aware, and even politically minded.10This is
not a situation exclusive to the Gothic, as other disciplines, such as television
studies, genre studies, or fan studies, which analyze products from popular
culture that may be perceived tp be “lowbrow” by some, have carried out similar
re-appraisals. ( The Contemporary Gothic, Xavier Aldana Reyes 1-4 )

"The principal aim of such novels [was] to evoke chilling terror by


exploiting mystery and a variety of horrors, usually they fictionalized the
realm of irrational and preserve impulses and nightmarish terrors that lie beneath
the orderly surface of the civilized mind" (Abrams 137). This implication in the
Gothic literature guideline demonstrates the change from the surface of the
novel to deep inside the inner condition of the protagonists and emphasis on the
role of the reader and "in the abject body and corporatization in general"
(Wolfrays 47).
Terror as the fundamental concept in Gothic is defined in Oxford Advanced
Dictionary of Learners (2003) as "a feeling of extreme fear"(1342). Postmodern
studies have recently focused on terror, terrorism, anxiety and death as sources
of fear in society and many of the contemporary artists express their ideas of
fear symbolically and in relation to society and ourselves. Therefore, terror can
be an interdisciplinary notion among various discourses in modern mediums,
especially media. Focusing on the postmodern literature and the reflection of the
Gothic Literature, the combination of these two movements is unavoidable. The
paradigm of postmodern literature can be regarded as an experimental, radical
and often metafictional literature, which problematises the relationship between
reality and fiction, on the one hand, and reader and text, on the other hand. By
defining the genre, Gothicpostmodernism links a tie between Gothic and the
postmodern in literary and cultural terms and declares Gothic as the clearest
mode of expression of terrors in post modernity; Gothic-postmodernism,
presents an expression of the psychological and philosophical implications of
terror in postmodernist literature, comparable to the terror of early Gothic works.
Fredric Jameson in Postmodernism, or the Cultural Logic of Late
Capitalism (1991) declares, the Gothic is a mere 'class fantasy (or nightmare) in
which the dialectic of privilege and shelter is exercised' (289). He calls Gothic as
a 'boring and exhausted paradigm' because postmodern is terrifying in itself; it is
boring in his point of view because both of them, Gothic and Postmodernism,
inspire anxiety and fear. (Terror and the notification of anxiety in postmodern
gothic , 1390-1392)

2.1.5 Seni Lukis


Seni lukis adalah karya seni rupa dua dimensional yang menampilkan unsur
warna, bidang, garis, bentuk, dan tekstur. Seni lukis merupakan penyusunan
kembali konsep dan emosi dalam suatu bentuk baru yang menyenangkan lewat
media dua dimensional (Suwaji Bastomi, 1992: 19). Sudjojono (dalam Siregar,
2006: 4) mengatakan seni lukis adalah cara berekspresi diri dalam penyampaian
pesan dari seniman kepada apresiator atau penonton. Dalam penciptaanya, setiap
seniman mempunyai kebebasan yang mutlak terhadap pemikiran apa yang hendak
dituangkan ke suatu media. Hal itu dipertegas oleh pendapat Suzane K.Langer
dari bukunya berjudul The Principles of Art yang mengatakan bahwa seni adalah
suatu ungkapan simbol dan perasaan.

2.1.6 Teori Estetika Skizofrenik


Skizofrenia adalah sebuah istilah psikoanalisis, yang pad aawalnya digunakan
untuk menjelaskan fenomena psikis dalam diri manusia. Akan tetapi, kini-
terutama dalam diskursus intelektual di Barat-istilah ini digunakan secara
metaforik untuk menjelaskan fenomena yang lebih luas, termasuk di antaranya
fenomena bahasa (Lacan), fenomena sosial ekonomi, sosial politik (Deluze &
Guattari), dan fenomena estetik (Jameson) . (Hipersemotika : Tafsir Cultural
Studies atas Matinya Makna , 202)
Di dalam kebudayaan seni, istilah skizofrenia digunakam hanya sebagai satu
metafora, untuk menggambarkan persimpangsiuran dalam penggunaan bahasa.
Kekacauan pertanda-selaian pada kalimat-juga terdapat pada gambar, teks atau
objek. Didalam seni, karya skizofrenik dapat dilihat dari keteroutusan dialog di
antara elemen-elemen dalam karya, yaitu, tidak berkaitannya elemen-elemen
tersebbut satu sama lain, sehingga makna karya tersebut sulit untuk ditafsirkan.
(Hipersemotika : Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, 205).

2.1.7 Postmodernisme
Pascamodernisme adalah satu gerakan seni dan kebudayaan, yang salah satu
agenda utamanya adalah menentang (atau mendekonstrukri, meninggalkan,
merevisi) modernisme karena dianggap tidak mampu lagi menawarkan kemajuan,
transformasi dan kebaruan yang dijanjikan, dalam rangka menghargai
kheterogenitas, fragmentasi dan pluralitas budaya yang untuk itu menghargai
kembali tradisi yang sebelumnya ditolak oleh modernisme. (Trans Estetika , 172).
Ruang postmodern, sebagaimana yang tersirat dari tulisan Heiddeger, adalah
ruang yang memungkinkan kita secara ekstrim menerima mitos dan eksistensi kita
dalam bentuk representasi-citraan-representasi melalui media massa, melalui
komputer, melalui televisi-dan, “hanya representasi inilah yang dianggap sebagai
nyata.” Hanya ruang postmodern yang memungkinkan manusia melihat Coca-
Cola, Marilyn Monroe, Brylvream, atau Pierre Cardin sebagai citra dirinya sendiri.
(Hipersemotika : Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, 85).
Posmodernisme mempermainkan keseriusan eksplorasi formal dan estetika
produksi-massa yang baku, dan sekaligus menolak label genius pada sang
seniman. Pendekatan utama posmodernisme terhadap gaya adalah
memperlakukan gaya sebagai satu bentuk komunikasi yang dapat disebut sebagai
komunikasi-ironis-bentuk komunikasi, yang didalamnya bukan makna-makna dari
pesan-pesan yang dijunjung tinggi, melainkan kegairahan dalam permainan bebas
tanda-tanda dan kode-kode-plesetan, humor, kritik. Konsep seperti ini, merupakan
konsep yang diwujudkan pada bahasa estetik posmodernisme, akan tetapi juga,
produk-produk konsumernya. (Hipersemotika : Tafsir Cultural Studies atas
Matinya Makna, , 183)

2.2 Landasan Penciptaan


Keberadaan gothic postmodern yang didominasi oleh literasi yang
dihadapkan dengan, kesakitan, penderitaan, terror dan horror menjadi hal yang
berelasi dengan keberadaan Drupadi dengan kisahnya yang dramatis dan lika-liku.
Kesakitan yang digambarkan secara tersirat dengan menojolkan ketegaran dan
kekuatan menjadikan Drupadi sebagai salah satu karakter kuat yang bisa
menyembunyikan segala kesakitannya tanpa diketahui banyak orang. Kisahnya
yang paling kontroversial berdasarkan buku Drupadi : Perempuan Poliandris
karya Seno Gumira Ajidarma adalah ketika Drupadi memiliki 5 suami tanpa
kehendaknya melainkan paksaan, lalu ketika Drupadi dijadikan taruhan di meja
judi oleh Yudhistira, suaminya sendiri, yang berakhir dengan pemerkosaan oleh
100 kurawa. Dalam buku tersebut tidak di jelaskan kesakitan atau kondisi Drupadi
setelah diperkosa 100 Kurawa, Drupadi tidak dijelaskan menjadi gila atau
memiliki masalah mental, atau gangguan penyakit. Membuktikan bahwa sebegitu
kuatnya Drupadi menghadapi segala cobaan yang terus menerus menerpanya. Hal
ini sejalan dengan konsep Gothic. Pada abad pertengahan, konsep gothic art
kebanyakan dipakai pada arsitektur yang kemudian mengalami ekspansi hingga
patri kaca dan untuk menghiasi manuscript bible. Pada saat itu, abad pertengahan
tengah gencar dan terobsesi dengan Jesus sebagai tuhan sehingga semua orang
mempersembahkan dirinya hanya untuk tuhan. Hal itu yang mempengaruhi
ketuhanannya. Seperti yang tertulis dalam buku History of Art ; Fifth Revised
Editon “ The decorations are devoted principally to scenes from the life of Christ,
laid in carefully arranged program consisting of 3 tiers of narrative scenes.” (363)
2.2 Referensi Seniman
A. Duccio
Duccio di Buoninsegna adalah seorang pelukis Italia yang aktif
di Siena , Tuscany , pada akhir abad ke-13 dan awal abad ke-14. Dia dipekerjakan
sepanjang hidupnya untuk menyelesaikan banyak pekerjaan penting di gedung
pemerintahan dan keagamaan di sekitar Italia. Duccio dianggap sebagai salah satu
pelukis Italia terbesar di Abad Pertengahan , [2]dan dikreditkan dengan
menciptakan gaya lukisan Trecento dan sekolah Siena . Dia juga memberikan
kontribusi signifikan terhadap gaya Gotik Siena .

Gambar 2.1 Lukisan DuciodiBuonisegna-TheMaesta-Facade(1308)

Gambar 2.2 Lukisan DuciodiBuoninsegna-TheCathedralofSiena(Part10)


B. Jan Van Eyck
Jan van Eyck (Belanda: [ˈjɑn fɑn ˈɛik]) (sebelum c. 1390 – 9 Juli 1441)
adalah seorang pelukis Netherlandish awal yang aktif di Brugge dan salah satu
seniman Renaisans Utara yang paling signifikan dari abad ke-15. Beberapa
catatan yang masih ada dari kehidupan awalnya menunjukkan bahwa ia lahir c.
1380–1390, kemungkinan besar di Maaseik. Dia mengambil pekerjaan di Den
Haag sebagai pelukis dan Valet de chambre dengan John III yang Kejam,
penguasa Holandia dan Hainaut di Den Haag sekitar tahun 1422, ketika ia sudah
menjadi pelukis master dengan asisten lokakarya. Setelah kematian John pada
1425 ia bekerja di Lille sebagai pelukis istana untuk Philippe yang Baik, Adipati
Bourgogne, sampai tahun 1429 sebelum pindah ke Bruges, di mana dia tinggal
sampai kematiannya. Dia sangat dihormati oleh Philippe, dan melakukan sejumlah
kunjungan diplomatik ke luar negeri, termasuk ke Lisboa tahun 1428 untuk
mengeksplorasi kemungkinan kontrak pernikahan antara adipati dan Isabella dari

Portugal.

Gambar 2.3 Altar Gent (1432)


Gambar 2.4 CrufixonandLastJudgementdiptych

C. Giotto

Giotto di Bondone dilahirkan sekitar tahun 1267 di Italia dan diperkirakan


tepatnya di sekitar Firenze. Ia adalah dikenal sebagai seorang pelukis zaman
pertengahan yang dapat membuat figur yang dilukiskannya tampak pejal. Semasa
hidupnya, Giotto tinggal di Firenze dengan keluarganya dan sering
membuka fresko yang berisi dengan adegan religius. Karyanya yang paling
terkenal adalah lukisan kehidupan Yesus dan Maria di Gereja Arena, Padua.

Ia meninggal pada tahun 1337 pada usia 70 tahun.


Gambar 2.5 OgnisantiMadona

Gambar2.6TheStefaneschiTriptych,Front,Circa1320
D. Groovygnome / bv Yui Sakamoto
Yui Sakamoto lahir pada Juli 1981 di Nagasaki, Jepang. Ia lulus SMA tahun
1999 dengan spesialisasi seni dan desain. Setelah lulus universitas pada tahun
2008, Yui tinggal dan belajar di Perugia, Italia, dari tahun 2000 hingga 2001. Ia
juga belajar seni visual di Monterrey, Meksiko pada tahun 2009, dan mengajar
seni di sekolah Jepang di Aguascalientes, Meksiko, dari tahun 2009 hingga 2012.
Yui telah berpartisipasi dalam lebih dari 10 eksposisi kolektif di Italia, Monterrey,
Aguascalientes dan San Miguel de Allende di Meksiko, dan di Austin, Texas. Hari
ini dia tinggal bersama keluarganya di San Miguel de Allende, Guanajuato,
Meksiko.

Gambar2.7TheGod
Gambar2.8YuiSakamotoPainting

E. Hannahyata
Hannah Yata (b. 1989) adalah setengah-Jepang-Amerika yang terkenal
dengan lukisan berskala besar yang cerah dan bahasa visual yang berani.
Campuran dunia mistis, alkimia, dan alami untuk membentuk crescendos yang
luar biasa di atas kanvas, sebuah simfoni untuk kehidupan dan alam semesta yang
terbentang. Hannah Yata bekerja dengan teknik dan bahan dari master lama.
Negeri ajaib psikedeliknya pada awalnya aneh dan menyenangkan, tetapi pada
pandangan kedua mereka meledak dengan resonansi dan simbolisme menciptakan
suasana yang menyenangkan sekaligus melahap.
Lukisan-lukisan Yata telah menjadi ceritanya sendiri tentang menyaksikan
kedewasaan bagi perempuan, spiritualitas, dan revolusi ekologis. Konfrontatif
namun mengundang, sosoknya dan bahasa psikedelik berbasis alam adalah
perjalanan untuk menginspirasi pemirsa untuk melihat dunia melalui mata baru.
Yata bermain dengan mitos dan bentuk perempuan sebagai perpanjangan dari
alam. Dia mereferensikan kisah penciptaan dan mempertanyakan realitas atau
kepastian kisah-kisah yang membentuk dunia kita. Sangat terinspirasi oleh seni
Paleolitik dan Neolitik, dia menjalin motif dan simbol ini ke dalam karyanya
untuk merayakan siklus alam dan citra pagan yang telah dijelek-jelekkan oleh
masyarakat. Saat peradaban kita berkembang menuju dunia yang selalu
terindustrialisasi, karyanya penuh dengan penghormatan dan kekaguman nostalgia
terhadap dunia yang memberi kita kehidupan.

Gambar2.9Honry-HanahyataPaintg
2.3 Korelasi Ide, Tema dan Judul
A. Tema
Kisah tragis tentang kehidupan Drupadi, istri dari Lima Pandawa dalam kisah
Mahabharata, yang mengalami berbagai macam penderitaan dan luka emosional,
menjadi subjek utama dalam karya seni lukis. Penggambaran luka dan duka
drupadi secara signifikan bisa digambarkan dengan raut wajah yang sedih dan
bagian tubuhnya yang terluka. Dalam karya ini, luka dan duka drupadi tidak
digambarkan secara tersurat melainkan melalui kodefikasi dengan menggunakan
teori estetika postmodern. Drupadi merupakan salah satu karakter yang terkenal
dengan kekuatan dan kecantikannya dibalik segala hal daramatis yang terjadi
didalam hidupnya. Tema Drupadi yang mengadaptasi kisahnya dijadikan karya
seni dengan aliran gothic ornament karena kedua memiliki kesamaan yaitu
menceritakan tentang tragei atau peristiwa yang terobsesi dengan kesakitan,
penderitaan bahkan kematian. Gothic art mulanya dijadikan sebagai manuscript
pada bible namun kemudian beralih fungsi pada gothic kontemporer yang
mengadaptasi cerita horror serta mitos untuk jadi sumber dan ide utamanya.

B. Ide
Ide berasal dari internal, referensi, literatur dan pengalaman pribadi yang
didukung oleh keadaan sekitar yang berasal dari ketidakadilan. Berawal dari
kegemaran penulis terhadap membaca, mengamati dan mengkritik lingkungan
sekitar, penulis menemukan banyak ketidakadilan yang hadir di dunia. Berbagai
masalah dan konflik selalu hadir setiap harinya hingga penulis mengalami krisis
identitas tentang mengapa manusia hadir ke dunia jika begitu banyak derita.
Penulis sangat menikmati karya-karya yang menceritakan dengan kesakitan dan
penderitaan yang dikemas dalam bentuk yang indah atau surreal sebagai bentuk
sarcastic. Karya-karya yang mengandung penderitan dikemas dengan bentuk yang
indah merupakan suatu bentuk protes yang sunyi terhadap realitas, kesakitan
dikemas dengan cara yang elegant karena saking sakitnya tidak tahu harus
mengekspresikan dengan cara apalagi. Salah satu topik yang diangkat berdasarkan
dengan ketidakadilan terhadap perempuan. Perempuan seringkali dianggap lemah
dan dijadikan sebagai objek seksual oleh oknum yang tidak bertanggung jawab,
berasal dari emosi melihat berita ini setiap harinya, penulis menuangkan ide
tersebut melalui karakter yang berkaitan , yang kisahnya sangat tragis. Drupadi
adalaha karakter yang kuat, yang senantiasa memendam kesedihannya dan segala
deritanya demi membahagiakan orang-orang disekitarnya. Dari mulai dinikahkan
dengan lima Pandawa hingga dijadikan taruhan di meja judi oleh suaminya sendiri,
tetapi Drupadi tetap bisa menjalani kehidupannya dan setia pada suaminya. Dalam
kisahnya, penulis melihat kekuatan dan keagungan Drupadi berasal dari setiap
luka yang ia deritanya sehingga menjadikan dirinya kuat. Sama halnya dengan
toori membangun habbit, luka dan duka Drupadi yang bertubi-tubi menjadi hal
yanhg membangun habbit Drupadi menjadi kuat. Kesunyian dan protes tersirat
pada karya gothic yang penulis rasakan dijadikan sebagai ide untuk dikorelasikan
dengan kisah Drupadi. Keduanya memiliki kesamaan yaitu menceritakan
kesakitan dan kekuatan secara bersamaan.

Ada beberapa relasi antara kisah Drupadi dan realita yang ada di
Masyarakat. Drupadi merupakan sosok yang benyak dipenuhi cobaan tetapi dengan
kehadirannya, ia bisa membuat orang lain patuh terhadapnya. Dengan pesona,
kekuatan dan kecantikannya Drupadi mampu menghipnotis setiap orang yang
bertemu dengannya hingga bertekuk lutut. Sosok wanita yang harus diperhitungkan
keberadaannya.Dari sekian banyak masalah yang dihadapi Drupadi, masalah
gender, point hidup dan hal perempuan menjadi salah satu masalah utama.
Berikut beberapa tokoh wanita yang hadir dan hidup di zaman sekarang yang
kisahnya memiliki relasi dengan point masalah yang sudah dijelaskan tadi.

1. Megawati

2. Queen Elizabeth

3. Marilyn Monroe

4. Lady Diana
C. Judul
Judul dalam pengkaryaan ini Reinterpretasi Sosok Drupadi Dengan
Pendekatam Teori Estetik Skizofrenia

Untuk menghindari salah pengertian terhadp judul penulisan, maka perlu


diberikan batasan berupa pengertian kata-kata yang bermaksd dalam kalimat
utama terutama yang memiliki arti khusus.
A. Reinterpretasi adalah penafsiran ulang yang ditujukan pada sosok Drupadi
dalam sudut pandang penulis dengan teori estetik skizofrenia.
B. Drupadi, adalah sosok yang dijadikan tokoh utama dalam pengkaryaan ini
yang diambil dari kisah Mahabrata india, namun, penulis mengambil sudut
pandang Drupadi versi jawa.
C. Teori estetik skizofrenia adalah sebuah teori yang memunculkan hilangna
atau tidak ada keterhubungannya semua simbol visual yang dihadirkan.

2.4 Konsep Penciptaan Karya


Dalam menciptakan lukisan dengan latar cerita Drupadi, penulis
menggunakan sumber ide gagasan dan mengaplikasikan teori estetika skizofrenik.
Karya ini juga memanfaatkan teori postmodern yang memperlihatkan
pertentangan antar kodefikasi visual, seperti rambut yang tergerai, mahkota
wayang, dan kain sari berwarna merah pada gambar Drupadi.

2.5 Batasan Penciptaan Karya


A. Tema
Karya seni lukis ini menampilkan Drupadi, istri dari Lima Pandawa, yang
mengalami penderitaan dan luka emosional dalam kehidupannya yang tragis.
Meskipun dihadapkan dengan banyak tragedi, Drupadi tetap terkenal dengan
kekuatan dan kecantikannya. Tema Drupadi dalam karya seni ini mengadopsi
aliran gothic ornament yang menceritakan kisah-kisah tragis dengan obsesi pada
kesakitan, penderitaan, dan kematian. Gothic art awalnya digunakan sebagai
ilustrasi dalam naskah-naskah Bible, namun kemudian menjadi sumber ide dan
inspirasi bagi seniman kontemporer dalam mengadaptasi cerita horor dan mitos.
B. Media dan alat
Dalam proses pembuatan karya tugas akhir ini, penulis menngunakan canvas dan
cat minyak serta gold painting untuk ornament.

C. Bentuk dan Objek


Penulis akan menampilkan objek visual dari penderitaan Drupadi yang dibagi
menjadi dua sekuel. Yang pertama menampilkan figur Drupadi dengan
penggayaan gothic, lalu melalui kodefikasi peristiwa kesutan dadu yang berakhir
dengan pemerkosaan oleh 100 kurawa yang kisahnya akan digambarkan pada 100
pcs canvas yang memuat abstraksi kelima pandawa dan kurawa yang telah berbuat
keji terhadap drupadi.

a) Gaya
Gaya yang digunakan adalah perpaduan gothic ornament dengan teknik lukis
skizofrenik yang memuat kodefikasi dari Drupadi.

b) Ukuran
Pada karya tugas akhir ini akan memuat dua jenis lukisan yang berbeda. Satu
lukisan dibuat pada canvas berukuran 180 x 120 cm, lalu canvas kedua dibuat
pada 100 pcs canvas berukuran 15 x 15 cm.

c) Jumlah
Jumlah total dari karya tugas akhir ini adalah dua. Tetapi dengan ukuran
canvas yang berbeda. Dua lukisan ini dipilih berdasarkan ide gagasan yang
sebelumnya telah dipaparkan. Karya satu memuat figur Drupadi sedangkan karya
dua memuat peristiwa yang menampilkan akar dari luka dan duka Drupadi.
BAB III
PROSES PERWUJUDAN KARYA
3.1 Proses Kreasi
A. Pengumpulan data
Pada tahap ini, penulis secara cermat mengumpulkan berbagai data dan
materi dari berbagai jenis media, termasuk media cetak seperti buku, serta media
digital seperti website dan jurnal. Selain itu, penulis juga mengadakan wawancara
dan asistensi dengan dosen untuk mendapatkan sudut pandang yang beragam.
Dalam pengumpulan data, penulis juga melakukan observasi tentang pendapat
teman, kakak tingkat, dan seniman ahli di bidang gothic art dan pewayangan.
Dengan menyatukan kumpulan data dan hasil observasi, penulis mengolah
informasi tersebut menjadi ide dan sumber gagasan yang penting bagi tugas
akhirnya.

B. Proses berfikir
a) Riset Jurnal
Untuk melakukan riset, penulis membaca beberapa jurnal dan menonton
video yang berkaitan dengan wayang Drupadi dan gothic art. Namun, literatur
yang ditemukan mengenai gothic art sebagian besar menggunakan bahasa Inggris,
sehingga memerlukan waktu ekstra untuk memahami materi yang ada di
dalamnya. Proses riset dan literasi ini menjadi salah satu pendukung utama dalam
menciptakan karya tugas akhir, karena sumber literatur sangat penting untuk
menunjang setiap teori atau pernyataan yang digunakan.

b) Wawancara
Narasumber : Ibu Martien Roos, Sp.Pd., M.Sn.
Jabatan : Dosen
Ibu Martien adalah salah satu dosen di ISBI Bandung. Beliau diwawancarai
karena pada semester 4 pernah mengajar mata kuliah Sejarah Seni Rupa Barat
yang membahas tentang materi Gothic Art. Penulis melakukan wawancara
mendalam tentang Gothic Art, termasuk sejarah kemunculannya dan karya
seninya. Hal ini sangat membantu penulis dalam proses pengkaryaan karena
adanya teori yang mendukung.

3.2 Perancangan Karya


A. Asistensi sketsa melalui WhatsApp
Proses sketsa dan asistensi laporan dilakukan secara hybrid offline dan online.
Asistensi dilakukan berkali-kali hingga mencapai tahapan acc untuk ke tahap
selanjutnya.
Gambar 3.1 Proses asistensi konsep karya

B. Asistensi laporan melalui WhatsApp

Gambar 3.2 Proses asistensi laporan


3.2.1 Sketsa karya tidak terpilih

Gambar 3.3 Sketsa karya yang tidak terpilih\

3.2.2 Sketsa karya terpilih

Gambar 3.4 Sketsa karya yang terpilih


3.3 Perwujudan Karya
3.3.1 Material
A. Canvas 180 x 120 Cm

Gambar 3.5 Canvas berukuran 180 x 120 cm


B. Oil Painting

Gambar 3. 6 Oil Painting Marries


C. Thinner

Gambar 3.7 Thinner pengencer cat

D. Cat akrilik gold dan silver

Gambar 3.8 Acrilic paint


E. Winsor Oil Painting

Gambar 3.9 Winsor Oil Painting


F. Piping bag
Piping bag adalah plastik berbentuk segitiga yang biasa digunakan sebagai
penghias kue dengan buttercream atau adonan kua. Pada karya ini, piping bag
dipakai untuk membuat ornament.

Gambar 4.1 Piping Bag


3.3.2 Proses perwujudan karya
Dalam proses perwujudan karya ini, penulis memulai dari memahami tulisan
dan gagasan yang sudah dikonsep kemudian mencari inspirasi visual dari berbagai
macam platform seperti Instagram, Pinterest, Behance dan Artificial Intelligence
Dall-E.
1. Progress Sketsa

Gambar 4.2 Progress sketsa terpilih


2. Pengaplikasian Sketsa pada canvas

Gambar 4.3 Progress sketsa pada canvas


3. Progress 10%

Gambar 4.4 Progress karya 10%


4. Progress 25%

Gambar 4.5 Progress karya 25%


5. Progress 50%

Gambar 4.6 Progress karya 50%


6. Progress 75 %

Gambar 4.7 Progress karya 75%


7. Progress 85%

Gambar 4.8 Progress karya 85%


3.4 Konsep Penyajian Karya
Menurut Julius Panelo & Martin Zelnik (2003), standarisasi adalah
penyesuaian bentuk (ukuran dan kualitas), dengan pedoman standar yang
ditetapkan, pembakuan. Berikut ini adalah gambar-gambar standarisasi
secara umum yang digunakan pada museum dan ruang display.

Gambar 4.9 Progress karya 85%

Dari gambar diatas dapat disimpulkan bahwa tinggi mata merupakan


pengukuran tubuh antropometrik yang penting dalam hal standarisasi display
karya seni. Namun harus diperhatikan bahwa sudut pandang yang masih 31
memungkinkan mata melihat detail-detail kecil dengan jelas adalah hanya sekitar
1 derajat. Jarak pandang orang dewasa pria ke arah objek karya seni yakni sekitar
60 inci - 78 inci atau 152.4 cm - 198.1 cm. Jarak pandang orang dewasa wanita ke
arah objek karya seni yaitu 30 inci - 42 inci atau 76.2 cm - 106.7 cm. Sedangkan
untuk jarak pandang pada anak-anak yaitu 16 inci - 24 inci atau 40.6 cm - 61.0 cm.
Penempatan karya seni diambil dari sumbu tengah karya tersebut dengan
ketinggian standar posisi mata pria. (PERANCANGAN ULANG INTERIOR OEI
HONG DJIEN MUSEUM MAGELANG ISTI CHOLIFAH 2012 : 30 ).
Lukisan akan dilapisi dengan varnish agar catnya tahan lama dan
menimbulkan kesan kilap. Kedua karya dengan ukuran yang berbeda yakni 180
cm x 120 cm akan berdampingan dengan lukisan 100 pcs canvas berukuran 15 x
15 cm. Tujuannya, karena lukisan ini merupakan sekuel, jadi keduanya tidak bisa
dipisahkan dan begitupun jumlahnya harus tetap 100 pcs karena sudah
berdasarkan konsep diatur berdasarkan sumber ide dan gagasan yang sudah
dipaparkan.

Gambar 4.9 Mockup Karya


DAFTAR PUSTAKA
Ajidarma, Seno Gumira. (2021) Perempuan Poliandris : Drupadi
Pendit, Nyoman S. (2003). Mahabrata
Sunaryo, Aryo. (2020). Rupa Wayang
Piliang, Yasraf Amir. (2022). Transestetika
Afrougheh Shahram, Reza Abouheidari, Hossein Safari. (2012) Terror and the
Notification of Anxiety in Postmodern Gothic
Reyes, Xavier Aldana. (2018). The Contemporary Gothic
Piliang, Yasraf Amir. (2018). Hipersemiotika : Tafsir Cultural Studies Atas
Matinya Makna
Janson, H.W dan Anthony F. Janson. (1995). History of Art 5th Edition Revised

Anda mungkin juga menyukai