Anda di halaman 1dari 7

MODUL 11

TEORI PERKEMBANGAN KOTA DAN URBAN SPRAWL

A. Mata Kuliah : Analisa Lokasi Dan Pola Ruang


B. Dosen Pengampu : Wahyu Atiq Widiantoro, ST., MT.

11.1 Teori Perkembangan Kota


Sejalan dengan peningkatan penduduk dan aktivitasnya, kebutuhan akan ruang perkotaan
akan makin meningkat. Dengan terbatasnya ruang di dalam kota maka peningkatan kebutuhan
ruang untuk tempat tinggal dan kegiatan ekonomi perkotaan akan mengambil ruang meluas ke
arah luar bahkan sampai di pinggiran kota. Gejala penjalaran atau perembetan areal kota ini
disebut sebagai “invasion” dan proses perembetan kenampakan fisik ke arah luar disebut
sebagai urban sprawl (Yunus, 2011)1.
Ditinjau dari arah penjalaran atau perembetannya, secara umum perkembangan fisik kota
dibedakan menjadi 3 (tiga) macam model yaitu secara konsentris, secara memanjang atau linier
dan secara meloncat. Perkembangan kota secara konsentris merupakan perkembangan kota
yang penjalaran/perembetan fisiknya mempunyai sifat rata pada bagian luar, cenderung lambar
dan menunjukkan morfologi kota yang kompak. Perkembangan kota dikatakan
memanjang/linear (ribbon/linear/axial development) apabila penjalaran fisik kota mengikuti
pola jaringan jalan dan menunjukkan penjalaran yang tidak sama pada setiap bagian
perkembangan kota. Sementara, perkembangan kota yang meloncat (leap frog/checher board
development) adalah perkembangan kota dengan penjalaran fisik yang tidak mengikuti pola
tertentu.
Secara skematik model perkembangan kota dapat dibediilustrasikan sebagai berikut:

Gambar 1. Mode Penjalaran Fisik Kota Secara Konsentris


Penjalaran fisik kota yang mempunyai sifat rata pada bagian luar, cenderung lambat, dan
menunjukkan morfologi kota yang kompak disebut sebagai perkembangan konsentris.

1
Hari Sabari Yunus. Manajemen Kota Perspektif Spasial. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011).
Gambar 2. Mode Penjalaran Fisik Kota Secara Memanjang/Linier
Penjalaran fisik kota yang mengikuti pola jaringan jalan dan menunjukkan penjalaran
yang tidak sama pada setiap bagian perkembangan kota disebut dengan perkembangan fisik
memanjang/linier (ribbon/linear/axial development). Tipe ini menunjukkan ketidakmerataan
perembetan areal kekotaan. Perembetan paling cepat terlihat di sepanjang jalur transportasi
yang ada, khususnya yang bersifat menjauh dari pusat kota. Pada daerah ini disepanjang rute
transportasi utama merupakan tekanan paling berat dari perkembangan. Daerah di sepanjang
jalur transportasi memiliki mobilitas yang tinggi, sehingga perkembangan fisiknya akan lebih
pesat dibandingkan daerah-daerah di antara jalur transportasi.

Gambar 3. Mode Penjalaran Fisik Kota Secara Meloncat


Penjalaran fisik kota yang tidak mengikuti pola tertentu disebut sebagai perkembangan
yang meloncat (leap frog/checker board development). Tipe perkembangan ini oleh
kebanyakan pakar lingkungan dianggap paling merugikan, tidak efisien dalam arti ekonomi,
tidak mempunyai nilai estetika dan tidak menarik. Bentuk perkembangan areal kekotaan yang
terjadi secara sporadis diluar daerah terbangun utamanya dan daerah pembangunan baru yang
terbentuk berada ditengah daerah yang belum terbangun.
Pola pemekaran atau ekspansi kota mengikuti jalur transportasi juga dikemukakan oleh
Hoyt dalam Daldjoeni (1998)2. Pola dan proses pemekaran atau ekspansi kota menurut Hoyt
adalah sebagai berikut:
1) Perluasan mengikuti pertumbuhan sumbu atau dengan kata lain perluasannya akan
mengikuti jalur jalan transportasi ke daerah-daerah perbatasan kota. Dengan demikian
polanya akan berbentuk bintang atau “star shape”.

2
Daldjoeni, N. Geografi Kota dan Desa. (Bandung: Alumni ITB. 1998)
2) Daerah-daerah hinterland di luar kota semakin lama semakin berkembang dan akhirnya
menggabung pada kota yang lebih besar.
3) Menggabungkan kota inti dengan kota-kota kecil yang berada di luar kota inti atau
disebut dengan konurbasi.

11.2 Urban Sprawl


Pada masa terdahulu, kota-kota dapat di definisikan dengan batas-batas yang spesifik,
saat ini batas-batas tersebut semakin samar karena pertumbuhan yang berlebih dan tidak
terkontrol. Fenomena urban sprawl kemudian muncul sebagai permasalahan kota masa kini.
Kata “Urban Sprawl” memiliki konotasi yang buruk karena digunakan untuk menyebut
pertumbuhan kota yang lebih cepat dari yang telah diprediksi atau yang telah sebelumnya
direncanakan. Kota-kota selalu memiliki kecenderungan untuk terus bertumbuh, sehingga
pertumbuhan yang terencana hanya dapat dicapai dengan penetapan proporsi antara
pembangunan kota dengan segala kebutuhan penduduknya. Ketika pertumbuhan meningkat
secara tidak normal, pertumbuhan kota akan terus menekan ke arah pinggiran kota dan
menimbulkan masalah-masalah baru.
Terdapat banyak definisi untuk urban sprawl. Menurut kamus Oxford3, urban sprawl
didefinisikan sebagai “The spread or increase of low-density, automobile-dependent built
environment around existing urban areas, generally with the implication that this process is
unplanned or uncontrolled .”; Artinya: Penyebaran atau peningkatan lingkungan terbangun
dengan tingkat kepadatan rendah dan bergantung pada sekitar area perkotaan yang ada,
umumnya dengan implikasi bahwa proses ini berjalan secara tidak terencana atau tidak
terkendali.
European Environmental Agency (2006)4 mendeskripsikan sprawl sebagai pola
pembangunan fisik dengan densitas rendah yang menjadi perpanjangan kawasan perkotaan dan
menempati lahan-lahan pertanian di sekitarnya. Sprawl merupakan yang terdepan dalam
pertumbuhan kota dan mengimplikasikan kurangnya kontrol terhadap suatu bagian kota.
Pembangunan pada kawasan terdampak sprawl terlihat seperti tambal sulam, tersebar, dan
menggantung, dengan kecenderungan tidak berkelanjutan.

3
Oxford University. Oxford Reference. http://oxfordreference.com (diakses tanggal 28 Juni 2023).
4
EEA Research Center, “Urban Sprawl in Europe: The Ignored Challenge”, EEA Report No. 10/2006.
Bruegmann (2006)5 menyebut sprawl sebagai pembangunan yang tidak terencana,
tersebar, memiliki densitas rendah, dan sangat bergantung pada penggunaan kendaraan
bermotor milik pribadi. Pembangunan tersebut terjadi tanpa perencanaan guna lahan yang
sistematis dan memiliki skala lingkup yang luas (systematic large scale planning). Bruegmann
menggambarkan pinggiran kota-kota di Amerika terjadi secara alamiah sebagai perwujudan
“American Dream”, atau mimpi utopis akan gaya hidup ala masyarakat Amerika. Pertumbuhan
tersebut dianggap memberikan keuntungan bagi penduduk di sana sekaligus menimbulkan
masalah baru pada aspek sosial dan ekologis. Breugmann mengemukakan bahwa proses
pembangunan berpola sprawl juga didorong oleh paradigma masyarakat terhadap kelayakan
hunian. Sprawl memungkinkan seseorang bekerja dan mendapat penghasilan tinggi dari
kegiatan di pusat kota, disaat yang sama juga menikmati kualitas hunian yang jauh lebih baik
daripada yang ada di pusat kota.
Sierra Club (1998)6 mendefinisikan sprawl sebagai: pembangunan dengan densitas
rendah yang melebihi ketersediaan pelayanan dan lapangan pekerjaan, mengakibatkan
penduduk menjadi sangat berjarak dengan lokasi berbelanja, bekerja, rekreasi, dan bersekolah;
Pada akhrinya penduduk jadi bergantung pada mobil pribadi untuk berpindah antar lokasi.
Kemudian dia menambahkan bahwa sprawl tidak hanya didefinisikan dari karakteristiknya,
namun juga dari dampak yang ditimbulkan.
A. Karakteristik Urban Sprawl
Yan Song dan Yves Zenou (2006)7 menyebutkan bahwa urban sprawl sebagai
pembangunan dengan densitas yang rendah di pinggir perkotaan. Dalam proses pembangunan
tersebut, demand terhadap pemakaian lahan lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan
penduduk. Brueckner (2000)8 menambahkan bahwa urban sprawl adalah bertumbuhan kota
yang eksesif (berlebih) secara spasial. Hal yang sama dikatakan oleh Fulton (2001)9 bahwa
sprawl akan meningkat ketika luasan lahan yang dikonsumsi melebihi pertumbuhan
populasinya.

5
Robert Bruegmann. Sprawl: A Compact History. (Chicago: The University of Chicago Press. 2006).
6
Sierra Club. The Dark Side of the American Dream: The Costs amd Consequences of Suburban Sprawl. (London:
Sierra Club. 1998).
7
Yan Song dan Yves Zenou. “Property Tax and Urban Sprawl: Theory and Implications for US Cities”. Journal
of Urban Economics. Vol. 60, Issue 3, 519-534.
8
Brueckner, J.K. “Urban Sprawl Diagnosis and Remedies”. International Regional Science Review. Vol. 23, 160-
171.
9
Calthorpe, Peter. Fulton, William. The Regional City: Planning For The End of Sprawl. (Washington DC: Island
Press. 2001).
Sementara, Anthony Downs (1999)10 secara lebih spesifik menyebutkan bahwa sprawl
merupakan suatu pertumbuhan yang dapat dikenali dengan melihat ciri-ciri yaitu:
1. Adanya pola pertumbuhan yang tidak terbatas ke bagian luar dari kota yang telah
berkembang;
2. Intensitas penggunaan lahan untuk kawasan permukiman dan komersil rendah;
3. Adanya pola pertumbuhan meloncat dan tidak teratur (leap frog development);
4. Terjadi fragmentasi kekuasaan terhadap guna lahan dalam petak lahan yang sempit;
5. Dominasi penggunaan kendaraan bermotor pribadi;
6. Kurangnya perencanaan terpusat dan kontrol terhadap guna lahan eksisting;
7. Tingginya disparitas fiskal dalam suatu lokasi;
8. Kurangnya integrasi guna lahan antar zona; dan
9. Ketergantungan kawasan terhadap trickle down effect untuk menyediakan permukiman
bagi kalangan berpendapatan rendah.
Dalam perspektif sedikit berbeda, Angel S. dkk (2005)11 menyebutkan atribut pada
karakteristik sprawl yaitu
1. Munculnya lorong atau koridor panjang dengan walkability yang rendah;
2. Berkurangnya densitas perkotaan dan meningkatnya demand terhadap lahan oleh
penduduk kota;
3. Proses bergesernya masyarakat perkotaan (urban) ke daerah pinggiran perkotaan (sub
urban), dan berkurangnya populasi yang hidup dan bekerja di pusat-pusat kota
(metropoltan centres);
4. Hilangnya persentuhan antara kawasan terbangun di perkotaan dengan ruang terbuka di
sekitarnya; dan
5. Bertambahnya kepadatan perkotaan pada kawasan di sekitar jalur ke arah luar perkotaan.

B. Faktor Penyebab Tumbuhnya Urban Sprawl


Secara umum, proses sprawl disebabkan oleh peningkatan kebutuhan ruang dan
disebabkan karena adanya perubahan kemampuan sistem transportasi, pembangunan
perumahan dan keberadaan infrastruktur (Aryani, R.V., 2005) 12. Kemampuan masyarakat

10
Anthony Downs. Some Realities About Sprawl and Urban Decline. (Washington DC: The Brooking Institution.
1999).
11
Angel, S., Sheppard, S.C., & Divco, D.L. The Dynamics of Global Urban Expansion. (Washington DC:
Transport and Urban Development Department, The World Bank. 2005).
12
Aryani, Rosita Vitri. Identifikasi Karakteristik Urban Sprawl di Kota Semarang. (Thesis. Universitas
Diponegoro. 2010).
terhadap kepemilikan kendaraan bermotor pribadi dan ketersediaan jaringan transportasi
memungkinkan dilakukannya perjalanan jarak jauh. Apalagi ditunjang ketersediaan
transportasi masal seperti bus dan kereta api yang memudahkan akses dari kota atau wilayah
tetangga ke pusat kota membuat jarak tempuh menjadi bukan suatu faktor penentu dalam
memilih hunian.
Kecenderungan penduduk bermukim di pinggiran kota juga disebabkan semakin
tingginya harga lahan di pusat kota yang menyebabkan bermunculan pengembang-
pengembang perumahan yang menawarkan harga lebih terjangkau (Yeates et al, 1980)13.
Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh S. Habibi dan N. Asadi (2011)14, penyebab urban
sprawl dapat dirangkum menjadi beberapa aspek: Ekonomi, Demografi Perumahan,
Transportasi, dan masalah-masalah di bagian dalam kawasan kota. Hasil penelitian tersebut
dapat dirangkum sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 1. Faktor dan Penyebab Terjadinya Urban Sprawl
Faktor Penyebab
Ekonomi • Pertumbuhan Ekonomi dan meningkatnya pendapatan
• Harga Lahan
• Subsisdi
Demografi Perumahan • Pertumbuhan populasi
• Kebutuhan ruang lebih banyak untuk setiap individu
• Keragaman kebutuhan terhadap tipe rumah
Transortasi • Kepemilikan kendaraan pribadi
• Rendahnya tarif transportasi
• Peningkatan sistem transportasi
Masalah Pada Area Bagian • Tingginya tingkat pajak
Dalam Kota • Kerusakan Infrastruktur
• Berkurang atau sedikitnya pusat-pusat kegiatan
publik.
• Apartemen yang terlalu kecil
• Kurangnya ruang terbuka
• Masalah dan penyakit sosial
Lainnya Inovasi Teknologi, fasilitas umum, dan infrastruktur
Sumber: S. Habibi (2011)

13
Yeates, Maurice; Garner, Barry. The North American City. (New York: Harper & Row Publisher. 1980).
14
S. Habibi dan N. Asadi. “Penyebab, Hasil, dan Metode Pengendalian Urban Sprawl”. Journal Elsevier
Procedia. Rekayasa Prosedia 21 (2011). 133-141.
C. Efek Dari Urban Sprawl
Merujuk pada karakteristik dan penyebabnya, dapat ditemukan efek yang diakibatkan
oleh fenomena urban sprawl. Walaupun juga terdapat sisi positif dari fenomena tersebut,
namun lebih banyak yang melihatnya sebagai fenomena yang berkonotasi negatif. Bahkan
Torrens dan Alberti (2000)15 menyebutkan sprawl sebagai urbanisasi yang penuh kesia-siaan,
salah satunya karena memiliki karakteristik densitas guna lahan yang rendah namun seragam.
Di bidang transportasi, sprawl menyebabkan bertambahnya jumlah dan lamanya perjalanan
(commuting), serta kemacetan (congestion). Secara umum, sprawl meningkatkan ongkos
infrastruktur (contohnya jalan tol, parkir, saluran air, dan tarif listrik). Terlebih lagi, sprawl
akan mengakibatkan lebih banyak pemborosan energi, lebih banyak polusi, dan pemborosan
lahan. Hidup di kawasan urban sprawl juga menimbulkan dampak fisik dan sosial. Dua tipe
dampak fisik diantaranya terampasnya aksesibilitas dan kerusakan lingkungan.
Dampak sprawl pada pusat kota tua (old centers), mengakibatkan pusat kota menjadi
kehilangan daya saingnya. Di kawasan yang baru berkembang, sprawl mengakibatkan demand
terhadap infrastruktur baru, membangkitkan jumlah perjalanan, menyingkirkan lahan
pertanian, dan mengurangi interaksi sosial.
Secara makro, dampak dari sprawl pada kota besar yaitu meningkatnya biaya
infrastruktur, tertekannya daya dukung lingkungan, timbulnya masalah akibat polusi, dan
terjadinya pemborosan energi. Gordon dan Ricardson (2000) menambahkan, urban sprawl
mengakibatkan meningkatnya kesenjangan pendapatan, berkurangnya lapangan pekerjaan,
menurunkan “centrality” (keterpusatan) dari pusat kota, mahalnya biaya perumahan,
perjalanan yang terlalu lama dan panjang, masalah lingkungan, kepunahan suatu spesies,
lenyapnya lahan-lahan pertanian, perasaan terisolir bagi penduduk, meningkatnya stres,
tingginya intoleransi, berbagai dampak psikologis, bahkan berpotensi menumbuhkan budaya
kekerasan.

Torrens, P.M.; Alberti, M. “Measuring Sprawl”. Working Paper No. 27. Centre for Advanced Spatial Analysis,
15

Universyy College London, London. 2000.

Anda mungkin juga menyukai