Anda di halaman 1dari 10

Implementasi Khiyar dalam Transaksi Jual Beli

Dosen Pengampu : Dr. Arip Rahman

Disusun Oleh : Siti Qurrata Akyunina


NIM : 2220407003
Konsentrasi : Akuntansi Syariah

PROGRAM PASCA SARJANA


MAGISTER EKONOMI SYARIAH
INSTITUT TAZKIA
2022 M / 1443 H
Pendahuluan

Indonesia merupakan negara dengan keberagaman suku, budaya dan agama sekaligus
merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, yakni 87% atau 222 juta jiwa dari
267 juta jiwa (BPS, 2018). Hal ini mengisyaratkan bahwa tentu saja terdapat berbagai macam
sudut pandang dalam melakukan aktivitas apapun, baik dalam urusan ibadah, maupun dalam
bertransaksi muammalah. Islam merupakan agama universal yang mengatur segala aspek
kehidupan ummatnya, sehingga menuntun ummatnya untuk dapat memenuhi lima maksud
ajaran Islam (Maqasidusy Syari’ah) secara menyeluruh pada setiap kegiatannya.
Dalam satu dasawarsa terakhir, inovasi teknologi informasi mengalami kemajuan
yang sangat pesat yang berdampak pada berbagai sektor, salah satunya sektor perekonomian.
Data Kemenko Bidang Perekonomian (Moergiarso, 2022) menunjukkan bahwa transaksi
perdagangan elektronik (e-commerce) di kuartal I tahun 2022 mencapai Rp108.54 Trilyun
dengan pertumbuhan 23%. Disrupsi teknologi ini menjadi sebuah tantangan bagi para praktisi
dan akademisi ekonomi syariah untuk dapat memberikan solusi terhadap fenomena transaksi
keuangan kontemporer, salah satunya dalam transaksi jual beli.
Hukum asal jual beli adalah mubah (boleh) selama tidak melanggar syari’at Islam
sebagaimana disampaikan dalam QS Al-Baqarah ayat 275 yang artinya: “dan Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Selain itu, kaidah ‫األاصل في المعاملة اإلباحة‬
juga menjadi salah satu landasan hukum transaksi jual beli. Prinsip jual beli dalam islam
diatur dalam QS An-Nisa ayat 29 yang berbunyi:
‫اض ِّم ْن ُك ْم ۗ َواَل تَ ْقتُلُ ْٓوا اَ ْنفُ َس ُك ْم ۗ اِ َّن هّٰللا َ َكانَ بِ ُك ْم‬ َ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تَْأ ُكلُ ْٓوا اَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل آِاَّل اَ ْن تَ ُكوْ نَ تِ َج‬
ٍ ‫ارةً ع َْن ت ََر‬
‫َر ِح ْي ًما‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar
suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah
Maha Penyayang kepadamu.”
Secara umum, ada beberapa perbuatan atau aktivitas bisnis yang dapat menjadi sebab
keharaman transaksi jual beli, diantaranya:

1. Zhalim
Islam melarang adanya interaksi bisnis yang merugikan atau membahayakan salah
satu pihak seperti dijelaskan dalam QS Al-Baqarah ayat 279 yang artinya: “Kalian
tidak boleh menzhalimi orang lain dan tidak boleh pula dizhalimi orang lain.”
2. Riba
Allah melarang secara mutlak adanya unsur riba dalam transaksi muammalah
sebagaimana disampaikan sebelumnya mengenai landasan hukum jual beli dalam QS
Al- Baqarah: 275 yang artinya: “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba”.
3. Maysir (Perjudian)
Dalam Al- Qur’an, transaksi spekulatif (perjudian) telah dilarang secara eksplisit
dalam QS Al- Maidah: 90 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban) untuk berhala, mengundi
nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka,
jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kamu mendapat keberuntungan.”
4. Gharar (Ketidakjelasan/Penipuan)
Unsur gharar dalam jual beli harus ditiadakan agar akad yang terjadi dalam transaksi
tersebut tidak rusak/batal. Contoh transaksi gharar adalah seperti membeli buah yang
masih di pohonnya, membeli anak sapi yang masih di dalam kandungan, dan lain
sebagainya. Rasulullah SAW melarang adanya unsur gharar dalam jual beli
sebagaimana Santosa (2015) menyampaikan bahwa Ahmad bin Hanbal meriwayatkan
dalam kitab musnadnya; Bab Musnad Abdullah bin Mas’ud nomor: 3494 yang
artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muhriz bin Salamah Al 'Adani berkata,
telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad dari ubaidullah dari Abu
Az Zinad dari Al A'raj dari Abu hurairah ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam melarang jual beli gharar dan jual beli hashah.”

Konsep jual beli di masa kini telah terintegrasi dengan adanya perkembangan
teknologi, sehingga muncul fenomena transaksi jual beli online sebagai salah satu dampak
adanya kemudahan dalam mendapatkan dan mengakses informasi. Jual beli yang dulunya
hanya terbatas dengan tatap muka antara penjual dan pembeli di pasar, kini hanya dengan
menggunakan aplikasi seperti shopee, tokopedia, dan lain sebagainya. Meskipun pada
dasarnya jual beli online tidak jauh berbeda dengan jual beli pada umumnya, namun tentunya
terdapat perbedaan saat implementasi akad di dalamnya sehingga dengan demikian transaksi
online sebagai bentuk bisnis baru perlu dikaji praktiknya.
Beberapa larangan utama dalam transaksi jual beli diatas menjadi taukid (penguat)
bahwasanya selain adanya unsur saling ridha (rela) antara penjual dan pembeli, para pelaku
usaha juga harus menghindarkan adanya unsur zhalim, riba, maysir dan gharar dalam jual
beli. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan kelonggaran dalam
bertransaksi, seperti adanya kesepakatan bahwa kedua belah pihak diperbolehkan
membatalkan transaksi jual beli jika terdapat ketidaksesuaian pada barang yang
diperdagangkan seperti adanya cacat atau ‘aib. Hak tersebut dinamakan “khiyar”. Oktasari
(2021) menjelaskan bahwa seorang pelaku akad memiliki hak khiyar (hak pilih) antara
melanjutkan akad atau tidak melanjutkan dengan men-fasakh-nya (jika khiyarnya khiyar
syarat, khiyar ru’yah, dan khiyar ‘aib) atau pelaku akad memilih salah satu dari dua barang
dagangan (jika khiyarnya khiyar ta’yin).

Pengertian Khiyar

Khiyar secara bahasa berarti pilihan (Sayyid Sabiq, 1996). Sedangkan menurut Az-
Zuhaili (1985), al-khiyar adalah hak pilih bagi salah-satu pihak atau kedua belah pihak yang
melaksanakan transaksi, untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi yang telah
disepakati. Oktasari (2021) menjelaskan bahwa tujuan khiyar adalah agar adanya pemikiran
yang benar-benar matang baik dari segi positif maupun negatif bagi kedua belah pihak
sebelum melakukan memutuskan jual beli. Hal ini untuk menghindari kerugian yang terjadi
dikemudian hari oleh kedua belah pihak. Jadi, hak khiyar itu ditetapkan dalam Islam untuk
menjamin kerelaan dan kepuasan timbal balik bagi pihak-pihak yang melakukan akad dalam
suatu jual beli. Terdapat ikhtilaf ulama mengenai kebolehan khiyar, namun Ibnu Rusyd
(2020) dalam kitab Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid menyampaikan mengenai
pendapat jumhur ulama yang membolehkan khiyar. Adanya perbedaan pendapat ulama
tersebut disebabkan karena adakalanya dalam sistem khiyar timbul penyesalan dari salah satu
pihak, baik penjual maupun pembeli. Seorang penjual yang sudah berharap barang
dagangannya laku, tentu tidak senang jika barangnya dikembalikan sesudah terjual. Hal yang
sama juga berlaku pada pembeli. Pembeli tentunya mengharapkan barang yang dibeli dalam
kondisi prima, tak ada cacat maupun kekurangan lainnya. Oleh karena itu, untuk menetapkan
sahnya ada khiyar harus ada ikrar dari kedua pihak atau salah satu pihak yang diterima oleh
pihak lainnya atau kedua pihaknya, jika kedua belah pihak menghendakinya, maka
hukumnya boleh. Salah satu jembatan dalam proses khiyar adalah adanya garansi uang atau
barang kembali jika produk tidak sesuai, dengan beberapa catatan tertentu yang telah
disepakati antara penjual dan pembeli.
(Oktasari, 2021) menjelaskan bahwa dibolehkan khiyar dalam jual beli disebabkan
karena terkadang sebagian orang membeli suatu barang hanya karena melihat dari
bungkusnya atau tampilan luarnya saja tanpa memperhatikan mutu dan kualitasnya. Jika
sekiranya bungkus tersebut sudah dibuka dan barangnya tidak sesuai dengan yang diinginkan,
maka hanya penyesalan yang terjadi bagi pembeli, kemudian penyesalan itu diikuti oleh rasa
dengki, dendam, pertengkaran, dan lain sebagainya. Karena hal seperti itu sangat dibenci
dalam agama, oleh sebab itu, khiyar sangat diperlukan dalam semua transaksi untuk
mempertimbangkan kemaslahatan masing-masing pihak yang melakukan transaksi.

Macam-macam Khiyar
Khiyar terjadi setelah setelah ijab dan Kabul. Jika terjadi sebelum ijab dan kabul itu
dinamakan dengan tawar menawar (Musawamah). Hasanah et al., (2019) menjelaskan
macam-macam khiyar sebagai berikut:

a. Khiyar Majelis
Khiyar majelis dipahami sebagai hak pilih dari pihak yang melakukan akad
untuk membatalkan kontrak selama mereka masih berada di lokasi kontrak (majelis
akad) dan belum berpisah secara fisik. Artinya suatu transaksi baru dianggap sah
apabila kedua belah pihak yang melaksanakan akad telah berpisah badan atau salah
satu diantara mereka telah melakukan pilihan untuk menjual atau membeli. Dasar
hukum khiyar majelis ini terdapat dalam hadits Rasullah SAW yang artinya: “Dari
Hakim bin Hizam ia berkata bahwasannya Rasullah SAW bersabda penjual dan
pembeli berhak memilih selama belum berpisah atau beliau bersbda hingga
keduanya berpisah” (HR. Bukhari).
b. Khiyar Syarat
Khiyar syarat merupakan hak yang disyaratkan oleh satu atau kedua belah
pihak untuk membatalkan suatu kontrak yang telah diikat. Misalnya, pembeli
mengatakan kepada penjual “Saya beli barang ini dari anda, tapi saya punya hak
untuk mengembalikan barang ini dalam tiga hari”. Begitu periode yang disyaratkan
berakhir, maka hak untuk membatalkan yang ditimbulkan oleh syarat ini tidak berlaku
lagi. Sebagai akibat dari hak ini, maka kontrak yang pada awalnya bersifat mengikat
menjadi tidak mengikat dan hak untuk memberi syarat jual beli ini membolehkan
suatu pihak untuk menunda eksekusi kontrak itu.
c. Khiyar Aib
Khiyar Aib adalah suatu hak yang diberikan kepada pembeli dalam kontrak
jual beli untuk membatalkan kontrak jika si pembeli menemukan cacat dalam barang
yang telah dibelinya sehingga menurunkan nilai barang itu. Hak itu digariskan oleh
hukum dan pihak-pihak yang terlibat tidak boleh melanggarnya dalam kontrak,
sehingga pembeli yang menemukan cacat pada barang yang dibeli mempunyai hak
untuk mengembalikannya kepada penjual, kecuali dia mengetahui cacat itu sebelum
dibelinya. Adapun cacat yang menyebabkan munculnya hak khiyar aib ini menurut
Az-Zuhaili (1985) adalah setiap transaksi yang rusak dari asal fitrahnya sehingga
mengurangi nilainya menurut adat yangberlaku, seperti kadaluarsa, rusak, atau
berubah warna.
Namun, Pudjihardjo (2017) menjelaskan bahwa beberapa kondisi dalam
khiyar aib masih berlaku saat barang sudah dibeli. Sebagai contoh:
Ahmad hendak membeli barang, saat mengamati kondisi barang, ia menemukan
keanehan dari barang tersebut namun menganggapnya sebagai hal yang biasa saja dan
bukan merupakan cacat yang berarti. Namun di kemudian hari, ternyata Ahmad
mengetahui bahwa keanehan tersebut adalah cacat pada barang yang dibelinya.
Ketidaktahuan Ahmad ini termasuk masyaqqah (kesulitan) yang menyebabkan
keringanan sehingga Ahmad diperbolehkan untuk melakukan khiyar aib (memilih
untuk melanjutkan jual beli atau batal karena terdapat aib).
d. Khiyar Ru’yah
Khiyar Ru’yah adalah hak pilihan untuk meneruskan akad atau
membatalkannya setelah barang yang menjadi objek akad dilihat oleh pembeli. Hal ini
terjadi dalam kondisi dimana barang yang menjadi objek akad tidak ada dimajelis
akad, kalaupun ada hanya contohnya saja, sehingga pembeli tidak tahu apakah barang
yang dibelinya itu baik atau tidak. Setelah pembeli melihat langsung kondisi barang
yang dibelinya, apabila setuju, ia bisa meneruskan jual belinya dan apabila tidak
setuju, ia boleh mengembalikannya kepada penjual, dan jual beli dibatalkan,
sedangkan harga dikembalikan seluruhnya kepada pembeli. Hal ini berdasarkan pada
sabda Rasulullah SAW yang artinya: “ Siapa yang membeli sesuatu yang belum ia
lihat, maka ia berhak khiyar apabila telah melihat barang itu” (HR. Ad-Dharqutni dan
Abu Hurairah).
Namun dalam penerapan jual beli saat ini, terdapat beberapa kendala jika
harus menunjukkan barang secara utuh dalam proses jual beli, contohnya saat jual beli
barang elektronik seperti handphone. Dalam jual beli HP, penjual diperbolehkan
untuk memberikan sampel atau display barang yang dijual sehingga tidak perlu
membuka seluruh produknya saat proses khiyar untuk menghilangkan masyaqqah.
Hal ini berkaitan dengan efektivitas waktu dan biaya. Jika tidak ada keringanan, tentu
saja hal ini berpotensi menyebabkan kerugian besar di sisi penjual karena apabila
setelah melakukan khiyar dengan membuka seluruh box HP pembeli tidak jadi
membeli, maka barang tersebut sudah tidak tersegel dan akan mengurangi
kepercayaan pembeli lainnya.

Implementasi Khiyar dalam Jual Beli


Proses jual beli merupakan proses pemenuhan kebutuhan manusia dan bukti nyata
bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan satu sama lain. Akad jual beli
dibolehkan dalam Islam untuk memenuhi hajat pembeli untuk memiliki barang dan menyewa
jasa juga memenuhi hajat penjual untuk mendapatkan keuntungan. Pada dasarnya, akad jual
beli menjadi sebuah hal yang bersifat lazim apabila terpenuhi rukun dan syaratnya. Namun,
kadangkala muncul kepentingan yang lebih penting dari pihak yang melakukan jual beli
sehingga syariat membolehkan adanya khiyar agar kemashlahatan kedua belah pihak selalu
terpelihara.
Adanya khiyar bertujuan untuk menghilangkan kesulitan, menolak kemudharatan dan
mewujudkan kemashlahatan bagi pihak yang melakukan transaksi jual beli. Khiyar sebagai
hak memilih yang diberikan kepada pihak yang berakad merupakan hak yang diberikan Islam
sebagai salah satu bukti sempurnanya Islam mengatur sebuah transaksi. Selain mengatur
rukun dan syarat akad jual beli, Islam juga mengatur sebuah hak untuk melanjutkan akad agar
pihak yang berakad merasa saling ridha terhadap transaksi yang dilakukaknnya.
Pada zaman sekarang implementasi khiyar pada transaksi bisnis secara tidak
langsung sudah banyak kita jumpai. Namun, hal sebaliknya juga terjadi di beberapa pelaku
usaha yakni tidak adanya penerapan khiyar di dalam proses transaksi jual belinya. Sebagai
contoh, yaitu ada penjual yang memberi keterangan bahwa barang yang sudah dipesan tidak
bisa dikembalikan, atau dengan catatan “membeli berarti setuju”, atau “tidak melayani
complain”, dan redaksi lainnya yang menjelaskan bahwa hak khiyar tidak berlaku. Penjual
tidak mau melayani pembeli yang complain terhadap mutu barang yang telah dibeli atau
berbeda dengan yang diinginkan dan tidak mau menerima atau mengganti barang tersebut.
Rasionalisasi dari adanya fenomena ini adalah penjual melakukan hal tersebut sebagai
langkah konservatis (kehati-hatian) jikalau sewaktu-waktu pembeli sengaja merusak barang
yang sudah dibelinya agar mendapatkan unit yang baru. Hal ini dapat menimbulkan kerugian
penjual karena akan menyebabkan stok barang menipis dan barang retur (dikembalikan) yang
menumpuk sehingga tidak lagi dapat dijual dan menimbulkan kerugian.
Begitu juga dengan khiyar ru’yah yang terdapat pada transaksi jual beli. Jika barang
yang dilihat oleh pembeli telah sesuai dengan pesanan dan kriteria yang disepakati saat jual
beli, maka pembeli dapat melanjutkan akad. Tetapi, jika barang yang diterimanya tidak sesuai
dengan yang dipesan, maka pembeli memiliki hak khiyar ru’yah yaitu hak untuk melanjutkan
dan menerima cacat barang atau membatalkannya dan mengambil kembali harga yang telah
diberikan kepada penjual. Implementasi khiyar ru’yah banyak terdapat pada proses jual beli
online.
Di era ini, jual beli online populer di semua kalangan. Hal ini dikarenakan adanya
konsep praktis, mudah dan cepat dalam transaksi jual beli online. Salah satu contoh proses
khiyar ru’yah dapat dilihat pada proses pembelian di platform shopee misalnya. Pada
halaman utama katalog produk, beberapa penjual memberikan catatan garansi jika barang
rusak dengan syarat melakukan video unboxing barang. Lebih lanjut, pada packaging
(kemasan) barang, beberapa penjual juga mencantumkan catatan mengenai kewajiban
unboxing video oleh pelanggan. Hal ini dilakukan agar pembeli bisa melakukan klaim atas
barang yang dibelinya apabila tidak sesuai dengan pesanan atau datang dalam keadaan rusak.
Di sisi penjual, hal ini dilakukan agar penjual dapat memverifikasi data pelanggan dan
melihat kecacatan yang ada pada barang serta menghindari adanya kemungkinan penipuan
oleh pelanggan.
Selanjutnya mengenai implementasi khiyar majelis. Contoh penerapannya yakni
dalam proses pembelian barang elektronik (dalam hal ini HP). Salah satu media dalam
memasarkan produk dagangan HP adalah dengan menampilkan display tipe HP di etalase
toko. Tentu saja tidak semua stok HP ditampilkan di dalam etalase, karena saat pembeli
melakukan pembelian, ia pasti meminta penjual untuk memberikan unit HP baru dan bukan
yang ada di display.
Implementasi khiyar majelis dapat kita temukan pada proses transaksi pembelian HP
di ibox. Tak hanya pembelian HP, ibox memfasilitasi pelanggannya untuk melakukan
pengecekan atas barang setelah ia setuju untuk membeli barang tersebut dan melakukan
pembayaran. Proses khiyar yang terjadi disini adalah saat selesai melakukan pembayaran,
petugas ibox akan membuka langsung unit yang dibeli pelanggan, menyerahkannya kepada
pelanggan dan memberi keleluasaan pelanggan untuk komplain jika ada keadaan cacat dalam
barang. Jika pelanggan sudah setuju, barang tersebut selanjutnya akan diaktivasi oleh petugas
dan pelanggan tetap dapat melakukan konsultasi dan mengajukan klaim garansi resmi selama
satu tahun sejak tanggal pembelian.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa khiyar
adalah hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi untuk
meneruskan atau tidak meneruskan transaksi tersebut dengan mekanisme tertentu. Hukum
khiyar adalah disyari’atkan atau dibolehkan karena suatu keperluan yang mendesak dalam
mempertimbangkan kemaslahatan masing-masing pihak yang melakukan transaksi. Jadi, hak
khiyar ada untuk menjamin kerelaan dan kepuasan bagi pihak-pihak yang melakukan akad
jual beli untuk memenuhi syarat jual beli yakni unsur kerelaan dan kemaslahatan serta
melindungi mereka dari bahaya yang mungkin menimbulkan kerugian. Konsep Khiyar ini
dapat menjadi faktor untuk menguatkan posisi konsumen di mata produsen, sehingga
produsen atau perusahaan manapun tidak dapat berbuat semena-mena terhadap
pelanggannya. Begitupun sebaliknya, khiyar dapat menjadi evaluasi perusahaan mengenai
barang yang dijual serta memperkuat posisi produsen di mata konsumen; bahwa penjual juga
memiliki hak dalam menawarkan barang yang ia jual.

Wallahu A’lam Bisshawab


DAFTAR PUSTAKA

Az-Zuhaili, W. (1985). ‫ الفقه اإلسالمي وأدلته‬/ Al- Fiqhul Islamy Wa Adillatuhu: Vol. Juz 4. ‫ دار الفكر‬/
Darul Fikri.
Hasanah, D., Kosim, M., & Arif, S. (2019). Konsep Khiyar Pada Jual Beli Pre Order Online Shop
Dalam Perspektif Hukum Islam. Iqtishoduna, 8(2).
Ibnu Rusyd, & Nur, F. S. (2020). Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid (A. Zirzis, Ed.;
2nd ed., Vol. 2). Pustaka Al- Kautsar.
Oktasari, O. (2021). Al-Khiyar dan Implementasinya dalam Jual Beli Online. Jurnal Aghniya
STIESNU Bengkulu, 4(1), 39–48.
Pudjihardjo, & Muhith, N. F. (2017). Kaidah Kaidah Fikih Untuk Ekonomi Islam (Vol. 1). UB
Press.
Santosa, P. B., & Muttaqin, A. A. (2015). Larangan Jual Beli Gharar: Tela’ah Terhadap Hadis
Dari Musnad Ahmad bin Hanbal. Jurnal Ekobomi Syariah EQUILIBRIUM, 3(1), 158–173.
Sayyid Sabiq. (1996). Fikih Sunnah (Vol. 12). Darul Ma’arif.
 

Anda mungkin juga menyukai