2220407003-Implementasi Khiyar Dalam Transaksi Jual Beli
2220407003-Implementasi Khiyar Dalam Transaksi Jual Beli
Indonesia merupakan negara dengan keberagaman suku, budaya dan agama sekaligus
merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, yakni 87% atau 222 juta jiwa dari
267 juta jiwa (BPS, 2018). Hal ini mengisyaratkan bahwa tentu saja terdapat berbagai macam
sudut pandang dalam melakukan aktivitas apapun, baik dalam urusan ibadah, maupun dalam
bertransaksi muammalah. Islam merupakan agama universal yang mengatur segala aspek
kehidupan ummatnya, sehingga menuntun ummatnya untuk dapat memenuhi lima maksud
ajaran Islam (Maqasidusy Syari’ah) secara menyeluruh pada setiap kegiatannya.
Dalam satu dasawarsa terakhir, inovasi teknologi informasi mengalami kemajuan
yang sangat pesat yang berdampak pada berbagai sektor, salah satunya sektor perekonomian.
Data Kemenko Bidang Perekonomian (Moergiarso, 2022) menunjukkan bahwa transaksi
perdagangan elektronik (e-commerce) di kuartal I tahun 2022 mencapai Rp108.54 Trilyun
dengan pertumbuhan 23%. Disrupsi teknologi ini menjadi sebuah tantangan bagi para praktisi
dan akademisi ekonomi syariah untuk dapat memberikan solusi terhadap fenomena transaksi
keuangan kontemporer, salah satunya dalam transaksi jual beli.
Hukum asal jual beli adalah mubah (boleh) selama tidak melanggar syari’at Islam
sebagaimana disampaikan dalam QS Al-Baqarah ayat 275 yang artinya: “dan Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Selain itu, kaidah األاصل في المعاملة اإلباحة
juga menjadi salah satu landasan hukum transaksi jual beli. Prinsip jual beli dalam islam
diatur dalam QS An-Nisa ayat 29 yang berbunyi:
اض ِّم ْن ُك ْم ۗ َواَل تَ ْقتُلُ ْٓوا اَ ْنفُ َس ُك ْم ۗ اِ َّن هّٰللا َ َكانَ بِ ُك ْم َ ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تَْأ ُكلُ ْٓوا اَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل آِاَّل اَ ْن تَ ُكوْ نَ تِ َج
ٍ ارةً ع َْن ت ََر
َر ِح ْي ًما
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar
suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah
Maha Penyayang kepadamu.”
Secara umum, ada beberapa perbuatan atau aktivitas bisnis yang dapat menjadi sebab
keharaman transaksi jual beli, diantaranya:
1. Zhalim
Islam melarang adanya interaksi bisnis yang merugikan atau membahayakan salah
satu pihak seperti dijelaskan dalam QS Al-Baqarah ayat 279 yang artinya: “Kalian
tidak boleh menzhalimi orang lain dan tidak boleh pula dizhalimi orang lain.”
2. Riba
Allah melarang secara mutlak adanya unsur riba dalam transaksi muammalah
sebagaimana disampaikan sebelumnya mengenai landasan hukum jual beli dalam QS
Al- Baqarah: 275 yang artinya: “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba”.
3. Maysir (Perjudian)
Dalam Al- Qur’an, transaksi spekulatif (perjudian) telah dilarang secara eksplisit
dalam QS Al- Maidah: 90 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban) untuk berhala, mengundi
nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka,
jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kamu mendapat keberuntungan.”
4. Gharar (Ketidakjelasan/Penipuan)
Unsur gharar dalam jual beli harus ditiadakan agar akad yang terjadi dalam transaksi
tersebut tidak rusak/batal. Contoh transaksi gharar adalah seperti membeli buah yang
masih di pohonnya, membeli anak sapi yang masih di dalam kandungan, dan lain
sebagainya. Rasulullah SAW melarang adanya unsur gharar dalam jual beli
sebagaimana Santosa (2015) menyampaikan bahwa Ahmad bin Hanbal meriwayatkan
dalam kitab musnadnya; Bab Musnad Abdullah bin Mas’ud nomor: 3494 yang
artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muhriz bin Salamah Al 'Adani berkata,
telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad dari ubaidullah dari Abu
Az Zinad dari Al A'raj dari Abu hurairah ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam melarang jual beli gharar dan jual beli hashah.”
Konsep jual beli di masa kini telah terintegrasi dengan adanya perkembangan
teknologi, sehingga muncul fenomena transaksi jual beli online sebagai salah satu dampak
adanya kemudahan dalam mendapatkan dan mengakses informasi. Jual beli yang dulunya
hanya terbatas dengan tatap muka antara penjual dan pembeli di pasar, kini hanya dengan
menggunakan aplikasi seperti shopee, tokopedia, dan lain sebagainya. Meskipun pada
dasarnya jual beli online tidak jauh berbeda dengan jual beli pada umumnya, namun tentunya
terdapat perbedaan saat implementasi akad di dalamnya sehingga dengan demikian transaksi
online sebagai bentuk bisnis baru perlu dikaji praktiknya.
Beberapa larangan utama dalam transaksi jual beli diatas menjadi taukid (penguat)
bahwasanya selain adanya unsur saling ridha (rela) antara penjual dan pembeli, para pelaku
usaha juga harus menghindarkan adanya unsur zhalim, riba, maysir dan gharar dalam jual
beli. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan kelonggaran dalam
bertransaksi, seperti adanya kesepakatan bahwa kedua belah pihak diperbolehkan
membatalkan transaksi jual beli jika terdapat ketidaksesuaian pada barang yang
diperdagangkan seperti adanya cacat atau ‘aib. Hak tersebut dinamakan “khiyar”. Oktasari
(2021) menjelaskan bahwa seorang pelaku akad memiliki hak khiyar (hak pilih) antara
melanjutkan akad atau tidak melanjutkan dengan men-fasakh-nya (jika khiyarnya khiyar
syarat, khiyar ru’yah, dan khiyar ‘aib) atau pelaku akad memilih salah satu dari dua barang
dagangan (jika khiyarnya khiyar ta’yin).
Pengertian Khiyar
Khiyar secara bahasa berarti pilihan (Sayyid Sabiq, 1996). Sedangkan menurut Az-
Zuhaili (1985), al-khiyar adalah hak pilih bagi salah-satu pihak atau kedua belah pihak yang
melaksanakan transaksi, untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi yang telah
disepakati. Oktasari (2021) menjelaskan bahwa tujuan khiyar adalah agar adanya pemikiran
yang benar-benar matang baik dari segi positif maupun negatif bagi kedua belah pihak
sebelum melakukan memutuskan jual beli. Hal ini untuk menghindari kerugian yang terjadi
dikemudian hari oleh kedua belah pihak. Jadi, hak khiyar itu ditetapkan dalam Islam untuk
menjamin kerelaan dan kepuasan timbal balik bagi pihak-pihak yang melakukan akad dalam
suatu jual beli. Terdapat ikhtilaf ulama mengenai kebolehan khiyar, namun Ibnu Rusyd
(2020) dalam kitab Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid menyampaikan mengenai
pendapat jumhur ulama yang membolehkan khiyar. Adanya perbedaan pendapat ulama
tersebut disebabkan karena adakalanya dalam sistem khiyar timbul penyesalan dari salah satu
pihak, baik penjual maupun pembeli. Seorang penjual yang sudah berharap barang
dagangannya laku, tentu tidak senang jika barangnya dikembalikan sesudah terjual. Hal yang
sama juga berlaku pada pembeli. Pembeli tentunya mengharapkan barang yang dibeli dalam
kondisi prima, tak ada cacat maupun kekurangan lainnya. Oleh karena itu, untuk menetapkan
sahnya ada khiyar harus ada ikrar dari kedua pihak atau salah satu pihak yang diterima oleh
pihak lainnya atau kedua pihaknya, jika kedua belah pihak menghendakinya, maka
hukumnya boleh. Salah satu jembatan dalam proses khiyar adalah adanya garansi uang atau
barang kembali jika produk tidak sesuai, dengan beberapa catatan tertentu yang telah
disepakati antara penjual dan pembeli.
(Oktasari, 2021) menjelaskan bahwa dibolehkan khiyar dalam jual beli disebabkan
karena terkadang sebagian orang membeli suatu barang hanya karena melihat dari
bungkusnya atau tampilan luarnya saja tanpa memperhatikan mutu dan kualitasnya. Jika
sekiranya bungkus tersebut sudah dibuka dan barangnya tidak sesuai dengan yang diinginkan,
maka hanya penyesalan yang terjadi bagi pembeli, kemudian penyesalan itu diikuti oleh rasa
dengki, dendam, pertengkaran, dan lain sebagainya. Karena hal seperti itu sangat dibenci
dalam agama, oleh sebab itu, khiyar sangat diperlukan dalam semua transaksi untuk
mempertimbangkan kemaslahatan masing-masing pihak yang melakukan transaksi.
Macam-macam Khiyar
Khiyar terjadi setelah setelah ijab dan Kabul. Jika terjadi sebelum ijab dan kabul itu
dinamakan dengan tawar menawar (Musawamah). Hasanah et al., (2019) menjelaskan
macam-macam khiyar sebagai berikut:
a. Khiyar Majelis
Khiyar majelis dipahami sebagai hak pilih dari pihak yang melakukan akad
untuk membatalkan kontrak selama mereka masih berada di lokasi kontrak (majelis
akad) dan belum berpisah secara fisik. Artinya suatu transaksi baru dianggap sah
apabila kedua belah pihak yang melaksanakan akad telah berpisah badan atau salah
satu diantara mereka telah melakukan pilihan untuk menjual atau membeli. Dasar
hukum khiyar majelis ini terdapat dalam hadits Rasullah SAW yang artinya: “Dari
Hakim bin Hizam ia berkata bahwasannya Rasullah SAW bersabda penjual dan
pembeli berhak memilih selama belum berpisah atau beliau bersbda hingga
keduanya berpisah” (HR. Bukhari).
b. Khiyar Syarat
Khiyar syarat merupakan hak yang disyaratkan oleh satu atau kedua belah
pihak untuk membatalkan suatu kontrak yang telah diikat. Misalnya, pembeli
mengatakan kepada penjual “Saya beli barang ini dari anda, tapi saya punya hak
untuk mengembalikan barang ini dalam tiga hari”. Begitu periode yang disyaratkan
berakhir, maka hak untuk membatalkan yang ditimbulkan oleh syarat ini tidak berlaku
lagi. Sebagai akibat dari hak ini, maka kontrak yang pada awalnya bersifat mengikat
menjadi tidak mengikat dan hak untuk memberi syarat jual beli ini membolehkan
suatu pihak untuk menunda eksekusi kontrak itu.
c. Khiyar Aib
Khiyar Aib adalah suatu hak yang diberikan kepada pembeli dalam kontrak
jual beli untuk membatalkan kontrak jika si pembeli menemukan cacat dalam barang
yang telah dibelinya sehingga menurunkan nilai barang itu. Hak itu digariskan oleh
hukum dan pihak-pihak yang terlibat tidak boleh melanggarnya dalam kontrak,
sehingga pembeli yang menemukan cacat pada barang yang dibeli mempunyai hak
untuk mengembalikannya kepada penjual, kecuali dia mengetahui cacat itu sebelum
dibelinya. Adapun cacat yang menyebabkan munculnya hak khiyar aib ini menurut
Az-Zuhaili (1985) adalah setiap transaksi yang rusak dari asal fitrahnya sehingga
mengurangi nilainya menurut adat yangberlaku, seperti kadaluarsa, rusak, atau
berubah warna.
Namun, Pudjihardjo (2017) menjelaskan bahwa beberapa kondisi dalam
khiyar aib masih berlaku saat barang sudah dibeli. Sebagai contoh:
Ahmad hendak membeli barang, saat mengamati kondisi barang, ia menemukan
keanehan dari barang tersebut namun menganggapnya sebagai hal yang biasa saja dan
bukan merupakan cacat yang berarti. Namun di kemudian hari, ternyata Ahmad
mengetahui bahwa keanehan tersebut adalah cacat pada barang yang dibelinya.
Ketidaktahuan Ahmad ini termasuk masyaqqah (kesulitan) yang menyebabkan
keringanan sehingga Ahmad diperbolehkan untuk melakukan khiyar aib (memilih
untuk melanjutkan jual beli atau batal karena terdapat aib).
d. Khiyar Ru’yah
Khiyar Ru’yah adalah hak pilihan untuk meneruskan akad atau
membatalkannya setelah barang yang menjadi objek akad dilihat oleh pembeli. Hal ini
terjadi dalam kondisi dimana barang yang menjadi objek akad tidak ada dimajelis
akad, kalaupun ada hanya contohnya saja, sehingga pembeli tidak tahu apakah barang
yang dibelinya itu baik atau tidak. Setelah pembeli melihat langsung kondisi barang
yang dibelinya, apabila setuju, ia bisa meneruskan jual belinya dan apabila tidak
setuju, ia boleh mengembalikannya kepada penjual, dan jual beli dibatalkan,
sedangkan harga dikembalikan seluruhnya kepada pembeli. Hal ini berdasarkan pada
sabda Rasulullah SAW yang artinya: “ Siapa yang membeli sesuatu yang belum ia
lihat, maka ia berhak khiyar apabila telah melihat barang itu” (HR. Ad-Dharqutni dan
Abu Hurairah).
Namun dalam penerapan jual beli saat ini, terdapat beberapa kendala jika
harus menunjukkan barang secara utuh dalam proses jual beli, contohnya saat jual beli
barang elektronik seperti handphone. Dalam jual beli HP, penjual diperbolehkan
untuk memberikan sampel atau display barang yang dijual sehingga tidak perlu
membuka seluruh produknya saat proses khiyar untuk menghilangkan masyaqqah.
Hal ini berkaitan dengan efektivitas waktu dan biaya. Jika tidak ada keringanan, tentu
saja hal ini berpotensi menyebabkan kerugian besar di sisi penjual karena apabila
setelah melakukan khiyar dengan membuka seluruh box HP pembeli tidak jadi
membeli, maka barang tersebut sudah tidak tersegel dan akan mengurangi
kepercayaan pembeli lainnya.
Az-Zuhaili, W. (1985). الفقه اإلسالمي وأدلته/ Al- Fiqhul Islamy Wa Adillatuhu: Vol. Juz 4. دار الفكر/
Darul Fikri.
Hasanah, D., Kosim, M., & Arif, S. (2019). Konsep Khiyar Pada Jual Beli Pre Order Online Shop
Dalam Perspektif Hukum Islam. Iqtishoduna, 8(2).
Ibnu Rusyd, & Nur, F. S. (2020). Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid (A. Zirzis, Ed.;
2nd ed., Vol. 2). Pustaka Al- Kautsar.
Oktasari, O. (2021). Al-Khiyar dan Implementasinya dalam Jual Beli Online. Jurnal Aghniya
STIESNU Bengkulu, 4(1), 39–48.
Pudjihardjo, & Muhith, N. F. (2017). Kaidah Kaidah Fikih Untuk Ekonomi Islam (Vol. 1). UB
Press.
Santosa, P. B., & Muttaqin, A. A. (2015). Larangan Jual Beli Gharar: Tela’ah Terhadap Hadis
Dari Musnad Ahmad bin Hanbal. Jurnal Ekobomi Syariah EQUILIBRIUM, 3(1), 158–173.
Sayyid Sabiq. (1996). Fikih Sunnah (Vol. 12). Darul Ma’arif.