Anda di halaman 1dari 2

Politik Militer dalam Perampasan Tanah Rakyat: Studi Konflik Penguasaan Tanah

oleh Militer & Kekerasan terhadap Petani di Jawa Timur

Konflik politik militer merujuk pada konflik atau pertentangan yang melibatkan elemen
politik dan militer. Hal ini terjadi ketika masalah politik atau perbedaan pandangan politik
diatasi atau diperparah oleh penggunaan kekuatan militer atau ancaman penggunaan kekuatan
militer sebagai alat untuk mencapai tujuan politik. Konflik politik militer bisa terjadi di
berbagai tingkatan, mulai dari konflik internal antara pemerintah dan oposisi, konflik antara
negara atau wilayah, hingga konflik internasional yang melibatkan beberapa negara. 

Contoh kasus konflik politik militer kali ini adalah mengenai persoalan sengketa tanah di
Indonesia, khususnya tanah-tanah militer, kurang banyak mendapat tempat dalam diskursus
sejarah konflik agraria, dibandingkan dengan sengketa tanah-tanah perkebunan ataupun
penggusuran di komunitas perkotaan. Terutama, pengungkapan sejarah terhadap peran militer
secara institusional dalam sengketa tanah dan klaim militer dalam mengambil tanah-tanah
rakyat secara paksa untuk kepentingan bisnis, pusat latihan tempur dan juga fasilitas lainnya.

“TNI zaman gerilya diberi makan rakyat, TNI zaman ini memakan tanah rakyat!”
(salah satu spanduk aksi di DPRD Jatim, September 2001)

Agak susah untuk memisahkan sejarah konflik tanah militer dengan sejarah politik di
Indonesia yang menjadi konteks politik militer atas penguasaan tanah. Artinya, dalam kurun
waktu berbeda antara rezim satu dengan rezim berikutnya akan menunjukkan perbedaan
relasi-relasi politiknya, khususnya antara peran penguasa birokrasi dengan peran militer, serta
pola-pola yang dibangun oleh keduanya. Persinggungan sejarah politik penguasa birokrasi
dengan politik militer dari setiap pergantian rezim menjadi relevan dan penting dipahami.

Misalnya, apa pengaruh Konferensi Meja Bundar (KMB) bagi politik tentara, khususnya
terhadap penguasaan aset-aset bekas kolonial yang kemudian dinasionalisasi oleh pemerintah,
termasuk di dalamnya upaya nasionalisasi industri dan tanah-tanah perkebunan. Begitu juga
apa pengaruh politik sebelum dan sesudah tragedi 1965 yang terkait dengan penguasaan
tanah-tanah rakyat pada saat gencarnya program land reform pemerintahan saat itu paska UU
No. 5 Tahun 1960 dan UU No. 51/Prp/1960. Dan masih banyak konteks politik yang sangat
penting untuk dianalisis hubungannya dengan kekuatan-kekuatan politik, khususnya militer
terhadap problem ketimpangan penguasaan tanah-tanah yang menjadi warisan konflik
sekarang.

Di sinilah upaya penelusuran sejarah konteks politik masa lalu yang dihubungkan dengan
upaya penyelesaian sengketa tanah-tanah rakyat pada masa sekarang. Ada beberapa hal yang
menjadi argumentasi kuat untuk menyegerakan penelusuran sejarah penguasaan tanah-tanah
rakyat oleh militer, yakni: Pertama, keterbatasan sumber-sumber data atau informasi,
kepustakaan, dan ahli-ahli politik dan militer terhadap konflik tanah. Keterbatasan sumber,
data, dan kepustakaan yang menganalisis secara khusus terhadap politik militer atas tanah
bukan sekedar disebabkan oleh tidak menariknya objek tanah militer bagi sebagian ahliahli
politik dan militer, tetapi juga karena ketertutupan birokrasi militer itu sendiri yang
menyebabkan susahnya birokrasi penyelesaian sengketa tanah yang melibatkan militer untuk
ditembus.

Kedua, karena persoalan mangkraknya atau terlantarnya penyelesaian sengketa tanah militer
di Indonesia, dimana pemerintah, yang di dalamnya terdapat unsur parlemen dan birokrasi
pertanahan belum pernah menuntaskan bagaimana seharusnya konflik tanah yang dirampas
militer bisa diselesaikan.

Ketiga, seriusnya berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia yang
tidak pernah diungkap secara serius dan mendalam, apalagi dalam rangka untuk membongkar
struktur kekerasan tersebut sebagai problem struktural yang ada di tubuh militer sendiri.
Terutama korban petani, banyak sekali petani yang menjadi korban kekerasan dalam upaya
memperjuangkan kembalinya hak atas tanah yang dirampas oleh militer, seperti penculikan
atau kasus orang hilang, pembunuhan, pelecehan seksual, penganiayaan, penahanan dan
penangkapan semena-mena.

Ketika negara tidak mampu menyelesaikan problem tanah militer, institusi militer dengan
peran politiknya telah menerobos dominasi politik negara untuk mengendalikan kebijakan
politik tanah. Keterlibatan militer dalam kancah politik tanah inilah yang melahirkan banyak
sengketa tanah militer. Sengketa tanah militer adalah sengketa tanah antara rakyat petani
dengan institusi militer yang terjadi akibat perampasan tanah secara paksa dengan pola
kekerasan di masa lalu dan mempergunakan tanah rampasan tersebut untuk kepentingan
militer, seperti untuk fasilitas latihan militer, bisnis, perkebunan, perumahan dan kepentingan
militer lainnya.

Yang patut dipersoalkan secara lebih besar adalah cara-cara perampasan tanah-tanah rakyat
yang dilakukan dengan pola pendekatan kekerasan (repressive approach) seperti
pembunuhan, penembakan, penculikan, pengrusakan, pengusiran/penggusuran, dan
pemaksaan lainnya, termasuk manipulasi keterangan atau informasi dan peruntukan
tanahnya. Persoalan inilah yang menjadi tanda tanya besar dalam sejarah tentara di Indonesia,
mengapa militer yang merupakan alat negara dalam urusan keamanan atau pertahanan negara
masuk dalam wilayah konflik sipil yang mengorbankan publik secara luas, khususnya petani
di basis perdesaan.

Anda mungkin juga menyukai