Anda di halaman 1dari 8

TINJAUAN HUKUM TENTANG

KASUS PENIPUAN JUAL BELI ONLINE VIA SOSIAL MEDIA

YUNI ASTUTI

Hukum Pidana Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Raden
Fatah
Palembang

E-mail : yuniastutii378@gmail.com

Abstrak

Penulisan ini bertujuan untuk memahami dan mempelajari pengaturan tindak pidana
kasus penipuan jual beli online via sosial media berdasarkan hukum positif Indonesia. Selain itu,
tujuan penulisan ini adalah untuk memahami dan mengetahui perlindungan hukum bagi pembeli
dalam hal terjadi penipuan jual beli online . Penulisan ini menggunakan metode penelitian
hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan studi kepustakaan yang dilakukan
melalui analisis data.
Jual beli online ini merupakan praktik jual beli melalui jaringan internet dalam skala
nasional, regional benua, maupun ke seluruh penjuru dunia. Dijalankan secara efisien dan masif
melalui jaringan internet, praktik ini terdapat nilai positif yaitu memudahkan proses transaksi
pihak penjual dan pembeli. Namun jika terdapat nilai positif pasti terdapat nilai negatif, salah
satu contohnya yaitu penipuan yang kerap terjadi didalam jual beli online tersebut.
Hasil studi menunjukkan bahwa Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 yang telah diubah
dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE) aturan ini merupakan aturan hukum mengenai internet pertama di Indonesia. Dalam hal ini
jual beli online atau e-commerce secara cukup jelas tertuang dalam aturan tersebut mulai dari,
pengertian, pemahaman, dasar hukum, penyelenggara, hubungan hukum pelaku transaksi
elektronik serta informasi akurat, dan perlindungan terhadap konsumen.
Kata Kunci : penipuan, jual beli online, sosial media, implikasi hukum, perlindungan korban,
identitas, sanksi pidana, platform sosial media.

PENDAHULUAN

Dalam era digital yang semakin maju, transaksi jual beli online melalui sosial media telah
menjadi salah satu metode yang populer di antara masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi mereka. Platform-media sosial seperti Facebook, Instagram, dan Twitter telah
menciptakan lingkungan yang memungkinkan pengguna untuk melakukan jual beli produk
dengan cepat dan mudah. Namun, di balik kemudahan dan kenyamanan ini, terdapat ancaman
serius yang menimbulkan keprihatinan, yaitu penipuan dalam transaksi jual beli online.
Kasus penipuan jual beli online melalui sosial media semakin meluas dan merugikan banyak
orang. Para penipu menggunakan kecerdikan mereka dengan memanfaatkan platform-media
sosial yang memungkinkan mereka berinteraksi langsung dengan calon pembeli, tetapi juga
memberikan mereka kemampuan untuk menyembunyikan identitas mereka dengan
menggunakan identitas palsu atau anonim. Akibatnya, banyak konsumen yang menjadi korban
penipuan dengan kerugian finansial yang signifikan.
Tinjauan hukum terhadap kasus penipuan jual beli online melalui sosial media sangat
penting dalam menangani fenomena ini. Perlindungan hukum yang memadai harus tersedia bagi
para korban penipuan, dan langkah-langkah efektif harus diambil untuk mencegah terjadinya
kasus serupa di masa depan. Namun, menghadapi tantangan yang semakin kompleks dari dunia
digital, implementasi dan penegakan hukum dalam kasus-kasus seperti ini masih membutuhkan
perhatian yang lebih besar.
Dalam konteks ini, tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan tinjauan hukum yang
komprehensif terhadap kasus penipuan jual beli online melalui sosial media. Melalui analisis
normatif dan mengacu pada undang-undang, peraturan, dan keputusan pengadilan terkait,
penelitian ini akan mengungkapkan implikasi hukum dari penipuan semacam itu dan
mempertimbangkan perlindungan hukum yang tersedia bagi para korban. Selain itu, penelitian
ini juga akan mengidentifikasi tantangan yang dihadapi dalam implementasi hukum dan
mendorong adopsi tindakan yang lebih efektif untuk melindungi konsumen.
Dengan pemahaman yang lebih baik tentang kerangka hukum yang ada dan kesadaran yang
meningkat tentang risiko penipuan jual beli online melalui sosial media, diharapkan dapat
ditemukan solusi yang lebih baik dan memberikan perlindungan yang lebih baik bagi konsumen.
Penelitian ini juga akan membahas pentingnya kerja sama antara pihak berwenang, platform
sosial media, dan masyarakat umum untuk mengurangi jumlah kasus penipuan semacam ini dan
menciptakan lingkungan online yang aman dan dapat dipercaya.

METODE PENELITIAN

Dalam studi ini, digunakan metode analisis normatif sebagai pendekatan penelitian. Metode
analisis normatif digunakan untuk menganalisis kerangka hukum yang berlaku, termasuk
undang-undang, peraturan, dan putusan pengadilan terkait dengan jual beli online dan penipuan.
Data sekunder yang diperoleh dari sumber hukum yang relevan, seperti perundang-undangan,
keputusan pengadilan, dan peraturan terkait dengan jual beli online dan penipuan, juga
digunakan dalam penelitian ini.
Dengan menggunakan metode analisis normatif, penelitian ini akan mengidentifikasi dan
menganalisis ketentuan hukum yang berlaku dalam konteks penipuan jual beli online melalui
sosial media. Ini melibatkan tinjauan undang-undang yang mengatur tindakan pidana terkait
dengan penipuan, perlindungan hak konsumen, dan sanksi yang dapat diberikan kepada pelaku
penipuan. Selain itu, putusan pengadilan yang relevan juga akan diperhatikan untuk memberikan
panduan hukum dalam menangani kasus penipuan semacam ini.

HASIL PENELITIAN

A. Pengaturan Hukum Pidana Tentang Penipuan Jual Beli Online


Penipuan berasal dari kata tipu yang berarti perbuatan atau perkataan yang tidak
jujur atau bohong, palsu dan sebagainya dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali
dan mencari keuntungan. Tindakan penipuan merupakan suatu tindakan yang merugikan
orang lain sehingga termasuk ke dalam tindakan yang dapat dikenakan hukum pidana.
Pengertian penipuan di atas memberikan gambaran bahwa tindakan penipuan memeiliki
beberapa bentuk, baik berupa perkataan bohong atau berupa perbuatan dengan maksud
untuk mencari keuntungan sendiri dari orang lain. Keuntungan yang dimaksud baik
berupa keuntungan materil maupun keuntungan yang sifatnya abstrak.1
1
Aswan, Tindak Pidana Penipuan Berbasis Transaksi Elektronik, (Makassar:Guepedia,2019), hlm. 27
Mengenai sanksi pidana dari tindakan penipuan, telah diatur dalam Pasal 378
KUHP yang menyatakan bahwa “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan
diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan menggunakan nama palsu
atau martabat (hoedanigheid) palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian
kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya,
atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan,
dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Pengertian penipuan secara konvensional yang diatur dalam Pasal 378 KUHP di
atas belum mencakup secara komprehensif mengenai penipuan online dalam transaksi
elektronik. Oleh karena itu, perlu diketahui mengenai aturan yang secara khusus
mengenai transaksi elektronik. Aturan itu adalah Undang-Undang No. 11 Tahun 2008
yang telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) aturan ini merupakan aturan hukum mengenai internet
pertama di Indonesia2.
Dalam aturan hukum yang ada seperti yang disebutkan perdagangan diatur di
dalamnya. Dalam hal ini jual beli online atau e-commerce secara cukup jelas tertuang
dalam aturan tersebut mulai dari, pengertian, pemahaman, dasar hukum, penyelenggara,
hubungan hukum pelaku transaksi elektronik serta informasi akurat, dan perlindungan
terhadap konsumen.
Dalam hal hubungan konsumen serta penyedia jasa dalam jual beli online atau e-
commerce tetap adanya persyaratan berupa materi dan adanya pengesahan hukum yang
terlibat di dalamnya. Berdasarkan ketentuan pasal 65 Undang-undang Nomor 7 Tahun
2014 tentang Perdagangan mengatur dasar perdagangan secara elektronik, dalam
melaksanakan transaksi elektronik berupa media online, syarat wajib yang harus
diperhatikan adalah penjual barang atau jasa harus mencantumkan informasi yang secara
jujur, asli serta akurat kepada konsumen.
Perdagangan melalui sistem elektronik dalam transaksi elektronik memberikan
penjelasan mengenai adanya pengaturan dalam transaksi elektronik. Setiap pelaku
dagang usaha atau jasa dalam adanya transaksi elektronik wajib menyertakan informasi
tentang barang dan jasa yang diperjual belikan secara jujur, terbuka serta akurat. Serta

2
Abdul Halim Barkatullah, Hukum Transaksi Elektronik, (Bandung:Nusa Media,2018), hlm.18
setiap pelaku dagang dan usaha sangat dilarang keras dalam melakukan perdagangan,
dimana jika barang atau jasa yang diterima konsumen tidak sesuai dengan apa yang
dijanjikan, karena hal ini sangat bertentangan dengan pengaturan hukum yang berlaku
atas perdagangan.3
Dalam hal ini kita akan membahas tentang penipuan tetapi terjadinya via sosial
media, Dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE dijelaskan bahwa :
“Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.”
Kemudian jika dilakukan pelanggaran terhadap Pasal 28 ayat (1) UU ITE maka
akan dikenakan ancaman pidana sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 45A ayat (1)
UU ITE yaitu:
“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong
dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).”4

B. Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Dalam Hal Terjadi Penipuan Jual Beli Online
Indonesia merupakan negara yang salah satu dari negara yang ada di dunia terikat
dengan hukum, hukum membuat hidup masyarakat yang berada dibawah negara menjadi
berkesinambungan dengan adanya rasa aman dan adil dengan ditegakkannya hukum di
negara ini, maka dari itu, regulasiregulasi pengaturan hukum sangat ketat di Indonesia
membuat semua hal perlu didasari dengan adanya aturan hukum.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan,
mengatur adanya e-commerce di indonesia walaupun transaksi online merupakan hal
baru bagi rakyat Indonesia, pengaturan tersebut sudah diatur dalam pada Pasal 65 dan
Pasal 66. Berlakunya aturan ini terhadap e-commerce diberlakukan juga sampai berskala
internasional.

3
Dewa Gede Ananta dan Ana Agung Sagung, Tinjauan Yuridis Industri E-Commerce Dalam Melakukan Kegiatan
Transaksi Online, Jurnal Konstruksi Hukum, Vol. 3, No. 2, (2022), hlm. 365
4
Aswan, Tindak Pidana Penipuan Berbasis Transaksi Elektronik, (Makassar:Guepedia,2019), hlm. 70
Dalam melakukan transaksi elektronik dalam lingkup luar negeri ataupun di
dalam negeri dengan menjadikan negara Indonesia sebagai pasar yang luas dalam
transaksi tersebut, dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014
Tentang Perdagangan dan peraturan pelaksananya dalam hal ini salah satu peraturan
pelaksananya adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2019
Tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Dengan adanya regulasi ini jika pelaku
usaha tidak memenuhi aturan hukum atau syarat-syarat sah yang ada dalam negara
Indonesia maka, akan terjadinya sengketa yang berakibat kerugian yang dialami oleh
konsumen.
Dalam tidaknya terpenuhi syarat-syarat yang harus dilakukan dalam melakukan
transaksi dalam e-commerce dimana pelaku usaha melanggar adanya keakuratan
informasi dalam dibagikan kepada konsumen melanggar Pasal 80 Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2019 Tentang Perdagangan Melalui Sistem
Elektronik dimana dalam hal ini pelaku yang terbukti melakukan pelanggaran akan
dikenakan sanksi berupa pencabutan izin usaha, didaftarkan ke blacklist perdagangan,
akan diawasi ketat usahanya dengan dimasukkan dalam daftar pengawasan perdagangan.
Pembinaan konsumen terdapat dalam Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen. Adanya pembinaan konsumen sangat perlu dengan kondisi
saat ini, dimana pembinaan konsumen dilakukan agar konsumen lebih melek akan
informasi terkait dengan transaksi online yang akan dilakukan, serta paham dan mengerti
jika konsumen juga memiliki hak dalam hal perlindungan konsumen.
Di dalam pasal 4 huruf e UUPK dapat dilihat hak-hak yang mestinya didapatkan
oleh konsumen. Berdasarkan UUPK, perlindungan konsumen adalah suatu bentuk upaya
yang akan menjamin terciptanya suatu kepastian hukum yang akan memberikan suatu
perlindungan dalam hal ini bentuk perlindungannya terhadap konsumen, ada 4 (empat)
macam hak ataupun kepentingan yang mendasar bagi konsumen, yakni sebagai berikut :5
1. “Hak ataupun suatu kepentingan untuk mendapatkan suatu bentuk keamanan
(The right to be safety);
2. Hak mendapatkan informasi (The right to get information)
3. Hak untuk memilih (The right to choose necessary)

5
Susanto, Happy. Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan. (Jakarta: Visimedia, 2008), hlm. 20
4. Hak ataupun kepentingan untuk didengar (The right to get heard).
Selain itu, salah satu kewajiban pelaku usaha adalah memberikan kompensasi,
ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan (Pasal 7 huruf f UUPK). Dalam
adanya transaksi elektronik dalam e-commerce menjadikan kegiatan ini ada beberapa
resiko yang dihasilkan, adapun sengketa-sengketa yang tidak dapat dihindari di masa
yang akan datang, yang dapat menurunkannya rasa percaya konsumen terhadap pelaku
usaha, sehingga diperlukannya penyelesaian sengketa secara cepat dan efisien.6

KESIMPULAN
Aturan yang secara khusus mengenai transaksi elektronik adalah Undang-Undang No. 11
Tahun 2008 yang telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam hal ini kita akan membahas tentang penipuan tetapi
terjadinya via sosial media, Dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE dijelaskan bahwa :
“Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.”
Kemudian jika dilakukan pelanggaran terhadap Pasal 28 ayat (1) UU ITE maka akan
dikenakan ancaman pidana sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 45A ayat (1) UU ITE
yaitu:
“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Pembinaan konsumen terdapat dalam Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen. Di dalam pasal 4 huruf e UUPK dapat dilihat hak-hak yang mestinya didapatkan
oleh konsumen, yakni
1. “Hak ataupun suatu kepentingan untuk mendapatkan suatu bentuk keamanan (The right
to be safety);
2. Hak mendapatkan informasi (The right to get information)
3. Hak untuk memilih (The right to choose necessary)
6
Dewa Gede Ananta dan Ana Agung Sagung, Tinjauan Yuridis Industri E-Commerce Dalam Melakukan Kegiatan
Transaksi Online, Jurnal Konstruksi Hukum, Vol. 3, No. 2, (2022), hlm. 367-369
4. Hak ataupun kepentingan untuk didengar (The right to get heard).

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Aswan.Tindak Pidana Penipuan Berbasis Transaksi Elektronik, (Makassar:Guepedia,2019)
Barkatullah, Abdul Halim. Hukum Transaksi Elektronik. (Bandung:Nusa Media,2018)
Susanto, Happy. Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan. (Jakarta: Visimedia, 2008)

Jurnal
Dewa Gede Ananta dan Ana Agung Sagung, Tinjauan Yuridis Industri E-Commerce Dalam
Melakukan Kegiatan Transaksi Online, Jurnal Konstruksi Hukum, Vol. 3, No. 2, (2022).
file:///C:/Users/home/Downloads/4838-Article%20Text-25437-1-10-20220329.pdf.

Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Pasal 378 KUHP Mengenai sanksi pidana dari tindakan penipuan

Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 tahun 2008

Undang-Undang ITE pasal 28 ayat 1 dan pasal 45A ayat 1

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

Undang-Undang Pasal 29 ayat 1tentang Perlindungan Konsumen

Anda mungkin juga menyukai