Anda di halaman 1dari 38

TUGAS PROPOSAL

Dosen Pengampu :
Dr. Hirsanuddin, S.H., M.Hum.

DISUSUN OLEH :

NAMA : CATHUR SEPTIAN RAHARJO


NIM : D1A016049
MATKUL : METODE PENELITIAN HUKUM
KELAS : A1

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2020
A. JUDUL : PENERAPAN PIDANA TERHADAP PELAKU PENIPUAN ONLINE
(STUDI PUTUSAN NO. 570/PID.SUS/2017/PN SMN).

B. LATAR BELAKANG

Teknologi komunikasi dan informasi terus berkembang pesat dari tahun ke tahun

dan telah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat untuk meningkatkan produktivitas

keseharian mereka dengan akses yang cepat dalam memperoleh informasi, yang membuat

kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah pola hidup masyarakat dan

memicu terjadinya perubahan sosial, budaya, ekonomi, pertahanan, keamanan, dan

penegakan hukum.

Masyarakat perlu menyesuaikan diri mengikuti perkembangan teknologi agar

teknologi tersebut dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Kehadiran internet

merupakan salah satu penanda kemajuan dari teknologi komunikasi. Internet hadir untuk

mempermudah segala bentuk komunikasi yang dilakukan oleh masyarakat, seperti salah

satunya berinteraksi dalam hal bisnis. Pemanfaatan internet sebagai sarana untuk berbisnis

banyak dilakukan oleh masyarakat saat ini karena mudah untuk digunakan, hemat biaya dan

waktu, serta dapat diakses di mana saja. Banyaknya fasilitas yang tersedia untuk mengakses

internet pula menjadi penyebab maraknya bisnis dilakukan secara online. Kemudahan dalam

mengakses internet saat ini banyak disalahgunakan oleh penggunanya, salah satu contohnya

yaitu maraknya terjadi penipuan via online yang mengatasnamakan bisnis online. Hal

tersebut merupakan bentuk dari kejahatan di dunia maya. Sehingga dapat dikatakan bahwa

teknologi informasi dan komunikasi bagaikan pedang bermata dua, yaitu selain memberikan
kontribusi positif bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, juga

menjadi sarana potensial dan sarana efektif untuk melakukan perbuatan melawan hukum. 1

Pada masa awal, cybercrime didefinisikan sebagai kejahatan komputer (computer

crime). The British Law Commission mengartikan “computer crime” sebagai manipulasi

komputer dengan cara apapun yang dilakukan dengan iktikad buruk untuk memperoleh

uang, barang, atau keuntungan lainnya atau dimaksudkan untuk menimbulkan kerugian

kepada pihak lain.2 Bermacam – macam kejahatan yang dapat timbul dari Cybercrime yaitu

seperti penipuan online, penghinaan, pornografi (cyberporn), bahkan kejahatan terhadap

keamanan negara, seperti pembocoran rahasia negara, money laundring, dan terorisme juga

dapat dilakukan melalui internet.

Penipuan via online merupakan suatu bentuk kejahatan yang menggunakan fasilitas

teknologi dalam setiap perbuatannya. Prinsip pada penipuan secara online sama dengan

penipuan biasa atau konvensional, dimana setiap kasus penipuan pasti terdapat korban yang

dirugikan dan pihak lainnya diuntungkan secara tidak sah. Perbedaan antara penipuan online

dengan konvensional yaitu penggunaan sistem elektronik (perangkat telekomunikasi,

internet, dan komputer).3

Kasus kejahatan penipuan online pada tahun 2019 menduduki peringkat tertinggi.

Menurut Polda Metro Jaya, tahun 2019 kasus penipuan online paling banyak diadukan

dengan 2.300 laporan. Modus rekayasa sosial (social engineering) digunakan untuk

1
Siswanto Sunarso, Hukum Informasi Transaksi Elektronik: Studi Kasus Prita Mulyasari, Rineka Cipta, Jakarta,
2009, hlm 40
2
Budi Sahariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime) Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya,
Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hlm 10
3
Noor Rahmad. “Kajian Hukum terhadap Tindak Pidana Penipuan Secara Online.” Jurnal Hukum Ekonomi
Syariah. Vol. 3, No. 2, 2019, hlm 105.
berbagai bentuk penipuan online, seperti melakukan pengurasan saldo rekening, kartu

kredit, maupun saldo dompet digital. 4

Salah satu kasus yang menarik perhatian peneliti yaitu kasus penipuan secara online

yang dilakukan oleh Kiki Emilia Handayani di Seleman tertanggal 10 November 2017 pada

putusan nomor 570/Pid.Sus/2017/PN Smn. Dalam kasus ini, pelaku melakukan penipuan

online dengan cara menjual tiket pesawat yang terbilang cukup murah sebagai alasan

promo melalui aplikasi whatsapp. Thorik Aziz adalah korban dari penipuan ini yang tergiur

untuk membeli tiket tersebut yang dipromosikan melalui aplikasi whatsapp dengan harga

yang cukup fantastis, karena korban Thorik Aziz ini berniat untuk melakukan bisnis dengan

menjual kembali tiket yang dibeli dari pelaku tersebut.

Korban menghubungi pelaku pada tanggal 17 April 2017 bertempat di Perum Polri

Gowok, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

untuk membeli tiket. Atas kasus tersebut, korban melakukan transaksi dan mentransfer uang

dari rekening milik korban ke rekening pelaku dengan nomor rekening pelaku 0497466688

atas nama Kiki Emilia Handayani, yang seluruhnya sebesar Rp 92.620.000,- (sembilan

puluh dua juta enam ratus dua pulu ribu rupiah). Namun setelah korban melakukan transaksi

tersebut, ternyata pelaku Kiki Emilia Handayani hanya membeli tiket di agen tiket antara

lain di Jasa Wisata Tour dengan harga normal, kemudian setelah tiket tercetak maka pelaku

mengirimkan kode booking tiket tersebut kepada korban Thorik Aziz melalui chat aplikasi

whatsapp dengan jumlah keseluruhan tiket pesawat yang sudah tercetak dan berangkat

adalah sebesar Rp 11.450.000,- (Sebelas juta empat ratus lima puluh ribu rupiah).

Sedangkan sisanya sebesar Rp 81.170.000,- (delapan puluh satu juta seratus tujuh puluh ribu

4
Adhi Wicaksono,”Penipuan Online Kejahatan Paling Banyak di 2019”, diakses dari http://m.cnnindonesia.com,
pada 25 Februari 2020 pukul 18.00.
rupiah) pelaku tidak pernah mengirimkan kode booking atau tiket kepada korban Thorik

Aziz.

Akibat perbuatan pelaku Kiki Emilia Handayani tersebut, korban Thorik Aziz

mengalami kerugian sebesar Rp 81.170.000,- (delapan puluh satu juta seratus tujuh puluh

ribu rupiah). Berdasarkan perbuatan pelaku tersebut, korban Thorik Aziz melaporkan ke

pihak yang berwajib dan perbuatan pelaku diatur dan diancam pidana dalam pasal 45 A ayat

(1) Undang-Undang RI No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan Undang-Undang No. 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal 28 ayat (1) yang berbunyi

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan

yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik, dipidana dengan

pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp

1000.000.000,00 (satu miliyar rupiah).” 5

Adapun Undang-Undang yang mengatur tentang penipuan dalam KUHP pasal 378

yang berbunyi “Barang siapa yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang

lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu

muslihat ataupun rangkaian kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan

barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang

diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.” 6

Dalam putusan kasus Kiki Emilia Handayani, hakim memutus perkara tersebut

menggunakan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang

No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik, yang seharusnya kasus ini

menggunakan KUHP pasal 378 tentang penipuan karena dalam permasalahan di atas

5
Republik Indonesia,”Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008” (Yogyakarta:
Penerbit Jogja Bangkit, 2009) hlm 31.
6
Republik Indonesia,”Kitab Undang-Undang Hukum Pidana” (Permata Press, 2007) hlm 125-126.
memang pelaku menggunakan media elektronik dalam menjalankan aksi penipuannya, akan

tetapi unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan pelaku tersebut sudah memenuhi unsur-

unsur penipuan yang diatur dalam pasal 378 KUHP, karena dalam pasal 28 ayat (1)

Undang-Undang ITE, tidak menjelaskan secara khusus mengenai unsur-unsur penipuan

online tersebut. Bahkan dalam Undang-Undang ITE pun tidak terdapat pasal yang mengatur

secara khusus mengenai penipuan online.

Salah satu kasus yang menarik perhatian peneliti yaitu kasus penipuan secara online

yang dilakukan oleh Kiki Emilia Handayani di Sleman tertanggal 10 November 2017 pada

putusan nomor 570/Pid.Sus/2017/PN Smn. Dalam kasus ini, pelaku melakukan penipuan

online dengan cara menjual tiket pesawat yang terbilang cukup murah sebagai alasan

promo melalui aplikasi whatsapp. Thorik Aziz adalah korban dari penipuan ini yang tergiur

untuk membeli tiket tersebut yang dipromosikan melalui aplikasi whatsapp dengan harga

yang cukup fantastis, karena korban Thorik Aziz ini berniat untuk melakukan bisnis dengan

menjual kembali tiket yang dibeli dari pelaku tersebut.

Korban menghubungi pelaku pada tanggal 17 April 2017 bertempat di Perum Polri

Gowok, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

untuk membeli tiket. Atas kasus tersebut, korban melakukan transaksi dan mentransfer uang

dari rekening milik korban ke rekening pelaku dengan nomor rekening pelaku 0497466688

atas nama Kiki Emilia Handayani, yang seluruhnya sebesar Rp 92.620.000,- (sembilan

puluh dua juta enam ratus dua pulu ribu rupiah). Namun setelah korban melakukan transaksi

tersebut, ternyata pelaku Kiki Emilia Handayani hanya membeli tiket di agen tiket antara

lain di Jasa Wisata Tour dengan harga normal, kemudian setelah tiket tercetak maka pelaku

mengirimkan kode booking tiket tersebut kepada korban Thorik Aziz melalui chat aplikasi
whatsapp dengan jumlah keseluruhan tiket pesawat yang sudah tercetak dan berangkat

adalah sebesar Rp 11.450.000,- (Sebelas juta empat ratus lima puluh ribu rupiah).

Sedangkan sisanya sebesar Rp 81.170.000,- (delapan puluh satu juta seratus tujuh puluh ribu

rupiah) pelaku tidak pernah mengirimkan kode booking atau tiket kepada korban Thorik

Aziz.

Akibat perbuatan pelaku Kiki Emilia Handayani tersebut, korban Thorik Aziz

mengalami kerugian sebesar Rp 81.170.000,- (delapan puluh satu juta seratus tujuh puluh

ribu rupiah). Berdasarkan perbuatan pelaku tersebut, korban Thorik Aziz melaporkan ke

pihak yang berwajib dan perbuatan pelaku diatur dan diancam pidana dalam pasal 45 A ayat

(1) Undang-Undang RI No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan Undang-Undang No. 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal 28 ayat (1) yang berbunyi

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan

yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik, dipidana dengan

pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp

1000.000.000,00 (satu miliyar rupiah).” 7

Adapun Undang-Undang yang mengatur tentang penipuan dalam KUHP pasal 378

yang berbunyi “Barang siapa yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang

lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu

muslihat ataupun rangkaian kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan

barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang

diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.” 8

7
Republik Indonesia,”Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008” (Yogyakarta:
Penerbit Jogja Bangkit, 2009) hlm 31.
8
Republik Indonesia,”Kitab Undang-Undang Hukum Pidana” (Permata Press, 2007) hlm 125-126.
Dalam putusan kasus Kiki Emilia Handayani, hakim memutus perkara tersebut

menggunakan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang

No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik, yang seharusnya kasus ini

menggunakan KUHP pasal 378 tentang penipuan karena dalam permasalahan di atas

memang pelaku menggunakan media elektronik dalam menjalankan aksi penipuannya, akan

tetapi unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan pelaku tersebut sudah memenuhi unsur-

unsur penipuan yang diatur dalam pasal 378 KUHP, karena dalam pasal 28 ayat (1)

Undang-Undang ITE, tidak menjelaskan secara khusus mengenai unsur-unsur penipuan

online tersebut. Bahkan dalam Undang-Undang ITE pun tidak terdapat pasal yang mengatur

secara khusus mengenai penipuan online.

Salah satu kasus yang menarik perhatian peneliti yaitu kasus penipuan secara online

yang dilakukan oleh Kiki Emilia Handayani di Sleman tertanggal 10 November 2017 pada

putusan nomor 570/Pid.Sus/2017/PN Smn. Dalam kasus ini, pelaku melakukan penipuan

online dengan cara menjual tiket pesawat yang terbilang cukup murah sebagai alasan

promo melalui aplikasi whatsapp. Thorik Aziz adalah korban dari penipuan ini yang tergiur

untuk membeli tiket tersebut yang dipromosikan melalui aplikasi whatsapp dengan harga

yang cukup fantastis, karena korban Thorik Aziz ini berniat untuk melakukan bisnis dengan

menjual kembali tiket yang dibeli dari pelaku tersebut.

Korban menghubungi pelaku pada tanggal 17 April 2017 bertempat di Perum Polri

Gowok, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

untuk membeli tiket. Atas kasus tersebut, korban melakukan transaksi dan mentransfer uang

dari rekening milik korban ke rekening pelaku dengan nomor rekening pelaku 0497466688

atas nama Kiki Emilia Handayani, yang seluruhnya sebesar Rp 92.620.000,- (sembilan
puluh dua juta enam ratus dua pulu ribu rupiah). Namun setelah korban melakukan transaksi

tersebut, ternyata pelaku Kiki Emilia Handayani hanya membeli tiket di agen tiket antara

lain di Jasa Wisata Tour dengan harga normal, kemudian setelah tiket tercetak maka pelaku

mengirimkan kode booking tiket tersebut kepada korban Thorik Aziz melalui chat aplikasi

whatsapp dengan jumlah keseluruhan tiket pesawat yang sudah tercetak dan berangkat

adalah sebesar Rp 11.450.000,- (Sebelas juta empat ratus lima puluh ribu rupiah).

Sedangkan sisanya sebesar Rp 81.170.000,- (delapan puluh satu juta seratus tujuh puluh ribu

rupiah) pelaku tidak pernah mengirimkan kode booking atau tiket kepada korban Thorik

Aziz.

Akibat perbuatan pelaku Kiki Emilia Handayani tersebut, korban Thorik Aziz

mengalami kerugian sebesar Rp 81.170.000,- (delapan puluh satu juta seratus tujuh puluh

ribu rupiah). Berdasarkan perbuatan pelaku tersebut, korban Thorik Aziz melaporkan ke

pihak yang berwajib dan perbuatan pelaku diatur dan diancam pidana dalam pasal 45 A ayat

(1) Undang-Undang RI No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan Undang-Undang No. 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal 28 ayat (1) yang berbunyi

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan

yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik, dipidana dengan

pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp

1000.000.000,00 (satu miliyar rupiah).” 9

Adapun Undang-Undang yang mengatur tentang penipuan dalam KUHP pasal 378

yang berbunyi “Barang siapa yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang

lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu

9
Republik Indonesia,”Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008” (Yogyakarta:
Penerbit Jogja Bangkit, 2009) hlm 31.
muslihat ataupun rangkaian kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan

barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang

diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.” 10

Dalam putusan kasus Kiki Emilia Handayani, hakim memutus perkara tersebut

menggunakan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang

No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik, yang seharusnya kasus ini

menggunakan KUHP pasal 378 tentang penipuan karena dalam permasalahan di atas

memang pelaku menggunakan media elektronik dalam menjalankan aksi penipuannya, akan

tetapi unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan pelaku tersebut sudah memenuhi unsur-

unsur penipuan yang diatur dalam pasal 378 KUHP, karena dalam pasal 28 ayat (1)

Undang-Undang ITE, tidak menjelaskan secara khusus mengenai unsur-unsur penipuan

online tersebut. Bahkan dalam Undang-Undang ITE pun tidak terdapat pasal yang mengatur

secara khusus mengenai penipuan online.

Berdasarkan pemaparan di atas, penyusun tertarik untuk melakukan penelitian

dengan judul “Penerapan Pidana Terhadap Pelaku Penipuan Online (Studi Putusan

No. 570/Pid.Sus/2017/PN Smn).”

C. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang sudah penulis uraikan diatas, maka permasalahan

yang penulis angkat sebagai berikut:

1. Bagaimana penerapan pidana terhadap pelaku penipuan online (studi putusan No.

570/Pid.Sus/2017/PN Smn)?

10
Republik Indonesia,”Kitab Undang-Undang Hukum Pidana” (Permata Press, 2007) hlm 125-126.
2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku penipuan

online (studi putusan No. 570/Pid.Sus/2017/PN Smn)?

D. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1. Tujuan Penelitian

a) Untuk mengetahui bagaimana penerapan pidana terhadap pelaku penipuan online

(studi putusan no. 570/Pid.Sus/2017/PN Smn).

b) Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana

terhadap pelaku penipuan online (studi putusan No. 570/Pid.Sus/2017/PN Smn).

2. Manfaat Penelitian

a) Manfaat Akademis

Untuk melaksanakan persyaratan dalam mencapai derajat S1 program studi

Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Mataram.

b) Manfaat Teoritis

Sebagai manfaat dalam pengembangan ilmu hukum serta dapat memperkaya

ilmu hukum pidana yang berkaitan dengan penipuan online dan pertanggungjawaban

pidana pelaku penipuan online.

c) Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapakan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan

solusi yang tepat bagi pengambilan kebijakan terutama terhadap masyarakat atau

konsumen apabila timbul permasalahan dalam bidang hukum pidana khususnya tindak

pidana penipuan online.

E. RUANG LINGKUP PENELITIAN


Di dalam melakukan suatu penelitian diperlukan suatu batasan yang tegas dari suatu

objek permasalahan yang diteliti. Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini yaitu tentang

bagaimana penerapan pidana terhadap pelaku penipuan online (studi putusan no.

570/Pid.Sus/2017/PN Smn) dan bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana

menggunakan pasal 28 ayat (1) UU ITE.

F. ORISINALITAS PENELITIAN

No Nama Judul Jenis Persamaan Perbedaan

1 Rizki Analisis Penelitian Melakukan Dalam skripsi ini


Amalia, Yuridis Yuridis Penelitian membahas tentang
Fakultas Penegakan Normatif tentang bagaimana penegakan
Hukum, Hukum Pidana dan Penipuan hukum pidana terhadap
Universitas Terhadap Yuridis Online tindak penipuan bisnis
Lampung Tindak Pidana Empiris online, sedangkan dalam
Bandar Penipuan skripsi penulis
Lampung Bisnis Online membahas tentang
Tahun 2017 bagaimana penerapan
pidana terhadap tindak
penipuan online pada
studi putusan no.
570/Pid.Sus/2017/PN
Smn.
2 Adhi Tinjauan Penelitian Melakukan Dalam skripsi ini
Dharma Kriminologis empiris penelitian membahas tentang faktor
Aryyaguna, terhadap tentang yang mempengaruhi
Departemen kejahatan penipuan maraknya cybercrime
Hukum penipuan online pada kejahatan penipuan
Pidana berbasis online berbasis online,
Fakultas efektivitas penegakan
Hukum hukum dalam upaya
Universitas penanggulangan tindak
Hasanuddin pidana cybercrime, dan
Makassar, kendala-kendala yang
tahun 2017 dihadapi oleh aparat
kepolisian dalam upaya
penanggulangannya,
sedangkan dalam skripsi
penulis membahas lebih
dalam bagaimana
penerapan pidana
terhadap tindak penipuan
online pada studi
putusan no.
570/Pid.Sus/2017/PN
Smn.
3 Abdul Analisis Penelitian Melakukan Dalam skripsi ini
Kadir Yuridis Empiris penelitian membahas tentang
Pobela, terhadap penerapan penerapan hukum pidana
Bagian Tindak Pidana pidana terhadap perkara tindak
Hukum Penipuan yang terhadap pidana penipuan melalui
Pidana dilakukan pelaku media elektronik dan
Fakultas melalui media penipuan bagaimana pertimbangan
Hukum, elektronik online hakim dalam
Universitas (Studi Kasus menggunakan menjatuhkan putusan
Hasanuddin Putusan studi putusan terhadap perkara putusan
Makassar, No.1193/Pid.B no. 1193/Pid.B/2012/PN
tahun 2013 /2012/PN Mks), sedangkan dalam
Mks). skripsi penulis
membahas penerapan
pidana pelaku penipuan
online dalam studi
putusan
no.570/Pid.Sus/2017/PN
Smn.

G. TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Tindak Pidana


Menurut Simon, tindak pidana adalah suatu unsur-unsur yang diancam dengan

pidana oleh hukum, yang bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh orang yang

bersalah, dan orang itu dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya. 11

Vos berpendapat bahwa suatu tindak pidana adalah kelakuan manusia yang oleh

peraturan perundang-undangan diberi pidana, jadi suatu kelakuan manusia pada

umumnya dilarang dan diancam dengan pidana.Menurut Utrecht, tindak pidana adalah

adanya kelakuan yang melawan hukum, ada seorang pembuat (dader) yang

bertanggungjawab atas kelakuannya atau kesalahannya (“strafbaarheid van de dader”). 12

Menurut Moeljatno, pada dasarnya tindak pidana merupakan suatu pengertian

dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis. Seperti halnya

dalam memberikan definisi atau pengertian terhadap istilah hukum, bukanlah hal yang

mudah untuk memberikan definisi atau pengertian terhadap istilah tindak pidana.

Pembahasan hukum pidana dimaksudkan untuk memahami pengertian pidana

sebagai sanksi atau delik, sedangkan pemidanaan berkaitan dengan dasar-dasar

pembenaran pengenaan pidana serta teori-teori tentang tujuan pemidanaan. Pidana

merupakan suatu istilah yuridis yang mempunyai arti khusus sebagai terjemahan dari

bahasa Belanda “straf” yang dapat diartikan sebagai “hukuman”. 13

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Untuk dapat mengenakan pidana, maka harus dipenuhi syarat-syarat tertentu.

Syarat-syarat tertentu disebut dengan unsur-unsur tindak pidana. Seseorang dapat

dikenakan pidana apabila perbuatan yang dilakukan memenuhi syarat-syarat tindak

11
Agus Rusianto, Tindak Pidana & Pertanggungjawaban Pidana Tinjauan Kritis Melalui Konsistensi Antara Asas,
Teori, dan Penerapannya, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2016, hlm 3.
12
Ibid, hlm 3.
13
Hanafi Arief. Pengantar Hukum Indonesiadalam tataran historis, tata hukum dan politik hukum nasional. PT. LkiS
Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2016, hlm 124.
pidana (strafbaarfeit). Menurut Sudarto, pengertian unsur tindak pidana hendaknya

dibedakan dari pengertian unsur-unsur tindak pidana sebagaimana tersebut dalam

rumusan undang-undang. Pengertian yang pertama (unsur) lebih luas daripada pengertian

kedua (unsur-unsur). Misalnya unsur-unsur (dalam arti sempit) dari tindak pidana

pencurian biasa, ialah yang tercantum dalam pasal 362 KUHP.

Unsur-unsur dari suatu tindak pidana adalah:

a. Sifat melanggar hukum

b. Kualitas si pelaku

c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu

kenyataan sebagai akibat.14

Menurut Adami Chazawi, unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan setidaknya

dari dua sudut pandang, yakni dari sudut teoritis, dan sudut undang-undang. Teoritis

artinya berdasarkan pendapat para ahli hukum, sementara itu sudut undang-undang

adalah bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana

tertentu.15

Menurut Moeljatno, unsur-unsur tindak pidana adalah:

a. Perbuatan,

b. Yang dilarang (oleh aturan hukum),

c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan). 16

Dari rumusan R. Tresna, tindak pidana terdiri dari unsur-unsur, yakni:

a. Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia),

b. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,

14
Ibid, hlm 125-126.
15
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta,2007, hlm. 79
16
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2008
c. Diadakannya tindakan penghukuman. 17

3. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Dalam tindakan pidana atau delik dijelaskan beberapa jenis-jenis tindakan pidana

yang diatur dalam Undang-Undang. Jenis-jenis tindak pidana terbagi menjadi:

a. Delik Formil dan Delik Materil

Delik formil adalah delik atau perbuatan tindak pidana yang dilarang

melakukan tindak melanggar hukum yang diatur dalam undang-undang. Pengaturan

tersebut seperti pasal 160 KUHP tentang penghasutan. Pasal 209-210 KUHP

penggelapan atau penggelapan aktif yang dilakukan pelaku, pasal 362 KUHP tentang

pencurian, dan pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat-surat berharga dan terkait

undang-undang surat berharga semacam perjanjian kerja dan keterkaitan undang-

undang ketenaga kerjaan.

Delik materil adalah delik atau tindak pidana yang baru dianggap setelah

terjadinya suatu tindak melawan hukum atau tindak pidana atau delik. Ketika

perbuatan tindak pidana dilakukan barulah proses penjatuhan hukuman berlaku bagi

pelaku tersebut. Seperti yang meliputi pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dan

pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. 18

b. Delik Komisi dan Delik Omisi

Delik komisi adalah delik ini berlaku bila pelaku tindak pidana melakukan

pelanggaran terhadap larangan yang telah diatur dalam undang-undang. Larangan

tersebut tidak boleh dilakukan seperti tulisan yang tertempel di tempat-tempat tertentu

17
Ibid, hlm. 80
18
Extrix Mangkepriyanto. Hukum Pidana dan Kriminologi. Guepedia, Bogor, 2019, hlm 72-73
untuk menunjukkan maksud dan tujuan, seperti larangan merokok di tempat tertentu

diatur dalam Perda tertentu, larangan korupsi diatur dalam undang-undang tipikor di

dinas-dinas terkait, larangan pembunuhan serta pencurian diatur dalam kitab undang-

undang hukum pidana pasal 362 dan 338 KUHP.

Delik omisi adalah delik ini berlaku bagi pelaku yang melakukan pelanggaran

terhadap keharusan dalam suatu proses hukum dan proses peradilan yang berlaku, di

mana delik ini dapat dijatuhkan kepada pelaku yang melanggar ketentuan terhadap

keharusan. Bila dilakukan maka akan terkena sanksi hukuman yang telah diatur

dalam undang-undang, seperti pasal 164-165 KUHP tentang kejahatan melaporkan

kejahatan-kejahatan tertentu dengan maksud melaporkan yang tidak sesuai fakta dan

kriminologi kejahatan yang terjadi. 19

c. Delik yang Berdiri Sendiri dan Delik Berlanjut

Delik yang berdiri sendiri adalah pelaku tidak boleh melakukan suatu

perbuatan tertentu yang tidak boleh dilakukan menurut aturan yang berlaku dan

diberlakukan. Yang mana hukuman yang berlaku bagi setiap satu kasus maka akan

dijerat. Semisal penjaga di dalam suatu perkebunan, perusahaan, mereka yang dijaga

ditugaskan untuk menjaga bila terjadi pencurian baik dilakukan sendiri maupun orang

lain, maka pelaku tersebut akan dikenai sanksi hukum dalam pasal 362 KUHP

tentang pencurian dan juga termasuk dalam delik yang berdiri sendiri pada pasal 338

KUHP tentang pembunuhan.

Delik berlanjut adalah deliknya masih berkaitan dengan delik berdiri sendiri

tapi dengan yang masih saling berhubungan erat. Dengan delik yang berdiri sendiri

19
Ibid, hlm 73
tersebut sama dengan pidana penyertaan dalam keterkaitan dan memiliki unsur

keterkaitan dengan delik yang berdiri sendiri.

d. Delik Rampung dan Delik Berlanjut

Delik rampung adalah suatu perbuatan yang dilakukan pelaku yang

diselesaikan dalam waktu tertentu dan singkat. Yang mana semisal dalam pasal 338

KUHP tentang pembunuhan mereka melakukan pembunuhan dengan cepat seperti

menggunakan snipper (senjata api).

Delik berkelanjutan adalah delik lebih kepada keterlibatan atau berkelanjutan

dengan delik rampung dan sebagai penyertaan akibat delik rampung. 20

e. Delik Tunggal dan Delik Bersusun

Delik tunggal adalah perbuatan pelaku yang hanya satu perbuatan yang

melanggar ketentuang undang-undang yang berlaku. Seperti pasal 480 KUHP tentang

penadahan, yang mana hanya kasus tindak pidana dilakukan cuman penandahan

semata tidak ada pidana lain yang menyertai.

Delik bersusun adalah perbuatan pelaku disertai dengan perlakuan berkali-kali

dalam satu tindak pidana termasuk dalam pasal 296 KUHP tentang memudahkan

perbuatan cabul antara orang lain sebagai pencarian dan kebiasaan. 21

f. Delik Sederhana, Delik Pemberatan atau Delik Berkualifikasi, dan Delik Berprevillse

Delik sederhana adalah perbuatan yang dilakukan terlihat pada unsur dasar dan

pokok undang-undang yang berlaku. Tindak pidana yang sudah jelas itu merupakan

perbuatan melawan hukum semisal pada pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dan

pasal 362 KUHP tentang pencurian.

20
Ibid, hlm 74-75
21
Ibid, hlm 76-77
Delik pemberatan dan delik berkualifikasi adalah sama dengan delik sederhana

tapi lebih memberatkan sesuai dengan pelanggaran dan kejahatan yang diperbuat dan

tidak semua orang dapat melakukan tindak pidana atau perbuatan melawan hukum ini

melihat dan atau terlihat dari kemampuan, keahlian serta kekuasaan yang dimiliki

oleh pelaku tindak pidana tersebut.

Delik berprevillse adalah delik yang masih sama dengan sederhana tapi lebih

ringan hukuman yang dijatuhkan dan sudah terlihat atas perbuatan melanggar hukum

tersebut tertuang seperti pada pasal 339 tentang pembunuhan atas permintaan korban

sendiri. Dalam keadaan tertentu pelaku diminta korban untuk membunuh korban

sendiri bila terbukti memiliki kepastian fakta serta pembuktian yang jelas dan

memiliki saksi yang benar atau saksi meringankan, melihat kriminologi kejadian

tersebut korban meminta dibunuh maka pelaku dapat dikenai keringanan atas

hukuman yang dijatuhkan sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku.

g. Delik Sengaja dan Delik Kealpaan

Delik sengaja adalah delik yang merupakan datangnya niat dan keinginan yang

sudah direncanakan atau tidak direncanakan baik itu atas kemauan sendiri maupun

atas dorongan pihak lain terjadinya suatu perilaku tindak pidana yang dilakukan.

Dalam hal ini termasuk juga pada pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dan pasal

351 KUHP tentang penganiayaan.

Delik kealpaan adalah delik yang dilakukan oleh pelaku karena dasar tidak

disengaja dan bahkan tidak diinginkan suatu tindak pidana terjadi tertuang dalam
pasal 359 KUHP tentang karena dasar kesalahan serta pasal 336 KUHP tentang

dengan tidak sengaja menyebabkan luka-luka.22

h. Delik Politik dan Delik Umum

Delik politik adalah delik yang mana lebih kepada terhadap keamanan negara

dan kepada negara yang diatur dalam pasal 104 sampai 181 KUHP tentang keamanan

negara dan kepala negara Republik Indonesia.

Delik umum adalah delik ini berlaku tidak atas perlakuan pelanggaran terhadap

keamanan negara dan kepala negara tetapi merupakan tindak delik umum terhadap

delik politik atau lebih tepatnya delik politik untuk umum.

i. Delik Khusus dan Delik Umum

Delik khusus adalah delik yang dilakukan oleh orang-orang tertentu saja sama

seperti delik sederhana di mana tindak pidananya sangat jelas terlihat.

Delik umum adalah delik di mana tindak pidana dapat dilakukan setiap orang.

Delik ini sama dengan pada umumnya setiap orang dapat dijatuhi hukuman atas dasar

kesalahan perilakunya.

j. Delik Aduan dan Delik Biasa

Delik aduan adalah delik di mana setiap orang yang terkena tindak pidana atau

terkena dampak pidana dapat melakukan pengaduan tindak pidana yang terjadi, tanpa

pengaduan tidak dapat diproses hukumannya.

Delik biasa adalah delik di mana bila korban tidak mengadu kepada aparatur

hukum maka tidak dapat dituntut akan tetapi dapat dituntut bila pihak terdekat dari

22
Ibid, hlm 78-79
keluarga atau yang dekat dengan korban tindak pidana dapat melaporkan barulah

dapat diproses dan dijatuhi hukuman terhadap pelaku. 23

4. Tujuan Pemidanaan

Tujuan pemidanaan adalah suatu hasil dari proses hukum yang berlaku dan hasil

dari penyelesaiaan hukum tersebut, sedangkan secara umum tujuan dari pemidanaan

adalah agar terbentuknya jiwa-jiwa yang baik bagi pelaku tindak pidana dan membuat

jera para pelaku tindak pidana itu sendiri. Sehingga nanti pada saat pelaku tindak pidana

selesai menjalani hukuman atau dengan kata lain hasil dari putusan hukum mereka para

pelaku tindak pidana kembali ke lingkungan masyarakat dengan etika yang lebih baik

dalam hal memperbaiki diri terhadap lingkungan masing-masing.24

Tujuan pidana atau dapat disingkat dengan tiga R dan satu D. Tiga R dan satu D

tersebut adalah sebagai berikut:

a. Reformation: reformasi berarti memperbaiki atau merehabitas penjahat menjadi orang

baik dan berguna bagi masyarakat. Masyarakat akan memperoleh keuntungan dan

tidak ada seorang pun merugi jika penjahat menjadi baik. Reformasi perlu

digabungkan dengan tujuan yang lain seperti pencegahan. Kritikan terhadap reformasi

ialah ia tidak berhasil, ketidakberhasilannya nyata banyaknya residivis setelah

menjalani tindak pidana penjara. Yang perlu ditingkatkan dalam sistem reformasi ini

ialah intensitas latihan dipenjara lebih ditingkatkan.

b. Restraint: maksudnya mengasingkan pelanggar dari masyarakat. Dengan

tersingkirnya pelanggar hukum dari masyarakat berarti masyarakat itu akan menjadi

lebih aman. Terdapat pula kaitannya dengan sistem reformasi, apabila dipertanyakan

23
Ibid, hlm 80-81
24
Ibid, hlm 81-82
berapa lama terpidana harus diperbaiki di dalam penjara yang bersamaan dengan itu

ia tidak berada di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat memerlukan perlindungan

fisik dari perampok bersenjata dan penodong daripada orang yang melakukan

penggelapan.

c. Retribution: adalah pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan

dan saat ini disebut sebagai sistem yang bersifat kurang penilaiannya dari masyarakat

karena tidak sesuai dengan kemauan dan keinginan masyarakat yang beradab. Orang

yang menciptakan sistem ini lebih lunak kepada penjahat seperti reformasi itu

membuat makna carta bagi penjahat.

d. Deterrence: berarti membuat efek jera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai

individual maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut

untuk melakukan kejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa. 25

5. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana dilihat dari terpenuhinya rumusan tindak pidana yang

terdiri dari sikap batin pembuat dan sifat melawan hukum perbuatannya. Terpenuhinya

unsur-unsur itu mengakibatkan pembuat telah melakukan tindak pidana dan mempunyai

pertanggungjawaban pidana. Pembuat tidak dipidana tergantung pada ada atau tidak

adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf sebagai peniadaan pidana.

Pertanggungjawaban pidana hanya disinggung berkaitan dengan alasan pemaaf dan

alasan pembenar. Peniadaan pidana sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 44, 48, 49,

50 dan 51 KUHP.26

25
Andi Hamzah. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta, 2010, 28-29
26
Ibid, hlm 4.
Menurut Widodo, dalam KUHP tidak diatur mengenai kualifikasi seseorang yang

dapat dipertanggungjawabkan, akan tetapi dalam KUHP diatur mengenai orang-orang

yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, peraturan tersebut terdapat dalam pasal 44

KUHP.27 Sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 44 ayat (1) KUHP yakni “Barang

siapa yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena

jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.” 28

Unsur-unsur kesalahan dalam pertanggungjawaban pidana adalah sebagai berikut:

a. Kesengajaan

Dalam tindak pidana, kebanyakan di Indonesia memiliki unsur

kesengajaan atau opzettelijik bukan unsur culpa. Hal ini berkaitan bahwa orang

yang lebih pantas mendapatkan hukuman adalah orang yang melakukan hal

tersebut atau melakukan tindak pidana dengan unsur kesengajaan. Mengenai

unsur kesalahan yang disengaja ini tidak perlu dibuktikan bahwa pelaku

mengetahui perbuatannya yang diancam oleh undang-undang, sehingga tidak

perlu dibuktikan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku merupakan

perbuatan yang bersifat jahat. Sudah cukup dengan membuktikan bahwa pelaku

menghendaki perbuatannya tersebut dan mengetahui konsekuensi atas

perbuatannya, hal ini sejalan dengan adagium fiksi, yang menyatakan bahwa

setiap orang dianggap mengetahui isi undang-undang, sehingga dianggap bahwa

seseorang mengetahui tentang hukum, karena seseorang tidak dapat menghindari

27
Widodo, Aspek Hukum Pidana Kejahatan Mayantara, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2013, hlm 12.
28
Republik Indonesia,”Kitab Undang-Undang Hukum Pidana” (Permata Press, 2007) hlm 27
aturan hukum dengan alasan tidak mengetahui hukum atau tidak mengetahui

bahwa hal itu dilarang.29

Terdapat 3(tiga) macam unsur-unsur kesengajaan yaitu antara lain:

1) Sengaja sebagai maksud

Sengaja sebagai maksud dalam kejahatan bentuk ini pelaku benar-benar

menghendaki dan mengetahui atas perbuatan dan akibat dari perbuatan yang

pelaku lakukan. Hal mengetahui dan menghendaki ini harus dilihat dari sudut

pandang kesalahan normatif, yaitu berdasarkan peristiwa-peristiwa konkret

orang-orang akan menilai apakah perbuatan tersebut memang dikehendaki dan

diketahui oleh pelakunya.

Kesalahan dengan kesengajaan sebagai maksud si pelaku dapat

dipertanggungjawabakan, kesengajaan sebagai maksud ini adalah bentuk yang

mudah dimengerti oleh banyak masyarakat apabila kesengajaan dalam

maksud ini ada pada suatu tindak pidana di mana tidak ada yang menyangkal

maka pelaku pantas dikenai hukuman pidana yang lebih berat apabila dapat

dibuktikan bahwa dalam perbuatan yang dilakukan oleh pelaku benar-benar

suatu perbuatan yang disengaja dengan maksud, dapat dikatakan bahwa

pelaku benar-benar menghendaki dan ingin mencapai akibat yang menjadi

pokok alasan diadakannya ancaman hukum pidana.

2) Sengaja sebagai suatu keharusan

Kesengajaan semacam ini terjadi apabila pelaku dengan perbuatannya

tidak bertujuan untuk mencapai akibat dari perbuatannya, tetapi ia melakukan

perbuatan itu sebagai keharusan untuk mencapai tujuan yang lain. Artinya
29
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm 121
kesengajaan dalam bentuk ini, pelaku menyadari perbuatan yang ia kehendaki

namun pelaku tidak menghendaki akibat dari perbuatan yang telah ia perbuat.

3) Sengaja sebagai kemungkinan

Dalam sengaja sebagai kemungkinan, pelaku sebenarnya tidak

mengehendaki akibat perbuatannya itu, tetapi pelaku sebelumnya telah

mengetahui bahwa akibat itu kemungkinan juga dapat terjadi, namun pelaku
30
tetap melakukan perbuatannya dengan mengambil resiko tersebut.

b. Kealpaan (Culpa)

Dalam pasal-pasal KUHP pidana tidak memberikan definisi mengenai apa

yang dimaksud dengan kealpaan, sehingga untuk mengerti apa yang dimakusd

dengan kealpaan memerlukan pendapat para ahli hukum. Kealpaan merupakan

kelalaian salah satu bentuk kesalahan yang timbul karena pelaku tidak memenuhi

standar yang telah ditentukan, kelalaian itu terjadi karena perilaku dari orang itu

sendiri. Moeljatno mengatakan bahwa kealpaan adalah suatu struktur

gecompliceerd yang di satu sisi mengarah kepada perbuatan seseorang secara

konkret sedangkan di sisi lain mengarah kepada keadaan batin seseorang.

Kelalaian terbagi menjadi dua yaitu kelalaian yang ia sendiri (alpa) dan

kelalaian yang tidak ia sadari (lalai). Kelalaian yang ia sadari atau alpa adalah

kelalaian yang ia sadari, di mana pelaku menyadari dengan adanya resiko namun

tetap melakukan dengan mengandung resiko dan berharap akibat buruk atau

resiko buruk tidak akan terjadi. Kelalaian yang disadari adalah seseorang apabila

tidak melakukan suatu perbuatan maka akan timbul suatu akibat yang dilarang
30
Ibid, hlm 122
oleh hukum pidana sedangkan yang dimaksud dengan kealpaan yang ia tidak

sadari adalah pelaku tidak memikirkan akibat dari pebuatan yang ia lakukan dan

apabila ia memikirkan akibat dari perbuatan itu maka ia tidak akan

melakukannya.

c. Adanya kemampuan bertanggungjawab

Kemampuan bertanggungjawab selalu berhubungan dengan keadaan

psikis pelaku. Kemampuan bertanggungjawab ini selalu dihubungkan dengan

pertanggungjawaban pidana, hal ini yang menjadikan kemampuan


31
bertanggungjawab menjadi salah satu unsur pertanggungjawaban pidana.

Andi Zainal Abidin mengatakan bahwa kebanyakan undang-undang

merumuskan syarat kesalahan secara negatif. Kitab undang-undang hukum pidana

tidak mengatur tentang kemampuan bertanggungjawab namun yang diatur dalam

KUHP adalah kebalikan dari bertanggungjawab, yaitu diatur pada pasal 44 KUHP

yang berbunyi:

1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan

padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya (gebrekkige

ontiwikkeling) atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

2) Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya

disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu karena

penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke


32
dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

6. Tindak Pidana Penipuan

31
Ibid
32
Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm 260.
a. Pengertian Tindak Pidana Penipuan

Menurut Widodo, dalam KUHP tidak diatur mengenai kualifikasi seseorang

yang dapat dipertanggungjawabkan, akan tetapi dalam KUHP diatur mengenai orang-

orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, peraturan tersebut terdapat dalam

pasal 44 KUHP.33Sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 44 ayat (1) KUHP

yakni “Barang siapa yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan

kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit,

tidak dipidana.”34

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana Penipuan

Unsur-unsur tindak pidana penipuan adalah sebagai berikut:

1) Ada seseorang yang dibujuk atau digerakan untuk meyerahkan suatu

barangatau membuat hutang atau menghapus piutang.barang itu diserahkan

olehyang punya dengan jalan tipu muslihat. Barang yang diserahkan itu

tidakselamanya harus kepunyaan sendiri, tetapi juga kepunyaan orang sendiri.

2) Penipuan itu bermaksud untuk menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain

tanpa hak. Dari maksud itu ternyata bahwa tujuannya adalah untuk merugikan

orang yang menyerahkan barang tersebut.

3) Yang menjadi korban penipuan itu harus digerakkan untuk

menyerahkanbarang itu dengan jalan penyerahan barang itu harus dari

tindakan tipu daya, si penipu harus memperdayakan sikorban dengan satu akal

yang tersebut dalam Pasal 378 KUHP.

7. Pengertian Kejahatan dan Cyber Crime

33
Widodo, Aspek Hukum Pidana Kejahatan Mayantara, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2013, hlm 12.
34
Republik Indonesia,”Kitab Undang-Undang Hukum Pidana” (Permata Press, 2007) hlm 27
a. Pengertian Kejahatan

Kejahatan dalam pengertian yuridis adalah perbuatan yang bertentangan dengan

undang-undang hukum pidana yang mengacu pada kitab undang-undang hukum

pidana (KUHP) dan membedakan antara perbuatan yang digolongkan “pelanggaran”

dan perbuatan-perbuatan yang digolongkan dalam “kejahatan”. Kejahatan adalah

perbuatan karena sifatnya bertentangan dengan hukum, sedangkan pelanggaran

adalah perbuatan yang oleh undang-undang ditandai sebagai suatu perbuatan yang

bertentangan dengan ketertiban umum. 35

b. Pengertian Cybercrime

Istilah hukum cyber yang diartikan sebagai padanan kata dari cyberlaw, yang

secara internasional digunakan untuk sebagai istilah hukum yang berkaitan erat

dengan pemanfaatan teknologi informatika. Cybercrime adalah suatu tindak pidana

dengan menggunakan atau terjadi melalui komunikasi teknologi termasuk internet,

telepon, dan atau teknologi nirkabel. 36

Cybercrime adalah kejahatan teknologi informasi yang meliputi semua tindak

pidana yang berkenaan dengan sistem informasi itu sendiri, serta sistem informasi

yang merupakan sarana untuk penyampaian atau pertukaran informasi kepada pihak

lainnya.37

Kejahatan Dunia Maya (Cybercrime) adalah tindak kriminal yang dilakukan

dengan menggunakan teknologi komputer sebagai alat kejahatan utama. Kejahatan

35
M. Natsir, Kriminologi dan Teori-teori Hukum, Pustaka Bangsa (Anggota IKAPI), Mataram, 2016, hlm 4.
36
Jonaedi Efendi, dkk. Kamus Istilah Hukum Populer, edisi pertama, Prenadamedia Group, Jakarta, 2016, hlm. 102
37
Budi Sahariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi(Cyber Crime) Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya,
Rajawali Pers, Jakarta, 2012 hlm. 11
dunia maya merupakan kejahatan yang memanfaatkan perkembangan teknologi

komputer khusunya internet.38

Kejahatan Dunia Maya (Cybercrime) didefinisikan sebagai perbuatan

melanggar hukum yang memanfaatkan teknologi komputer yang berbasis pada

kecanggihan perkembangan teknologi internet. 39

c. Karakteristik Cybercrime

Karakteristik cybercrime adalah sebagai berikut:

1) Perbuatan yang dilakukan secara ilegal, tanpa hak atau tidak etis tersebut terjadi

dalam ruang atau wilayah siber/cyberspace, sehingga tidak dapat dipastikan

yurisdiksi negara mana yang berlaku terhadapnya.

2) Perbuatan tersebut dilakukan dengan menggunakan peralatan apapun yang terhubung

dengan internet.

3) Perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian materiil maupun inmateril (waktu, nilai,

jasa, uang, barang, harga diri, martabat, kerahasiaan informasi) yang cenderung lebih

besar dibandingkan dengan kejahatan konvensional. Pelakunya adalah orang yang

menguasai penggunaan internet beserta aplikasinya. 40

d. Bentuk-bentuk Cybercrime di Indonesia

Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik (UU ITE) diatur tentang bentuk-bentuk cybercrime di Indonesia, yaitu

sebagai berikut:

38
Josua Sitompul. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum Pidana, Jakarta,
Rajawali Pers. 2012. hlm.25
39
Niniek Suparni. Cyberspace Problematika & Antisipasi Pengaturannya, Jakarta. Sinar Grafika,
2009. hlm.31
40
Ibid, hlm. 13
1) Cybercrime yang berkaitan dengan perbuatan mengakses komputer dan/atau

sistem elektronik milik orang lain secara tidak sah, yaitu:

a. Distribusi atau penyebaran, transmisi, dapat diaksesnya isi (muatan) yang

tidak sah, yang mengandung unsur-unsur berikut:

a) Bertentangan dengan rasa kesusilaan sebagaimana diatur dalam Pasal 27

ayat (1);

b) Perjudian sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2);

c) Penghinaan atau pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 27

ayat (3);

d) Pemerasan atau pengancaman sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (4);

e) Berita bohong yang menyesatkan dan merugikan konsumen sebagaimana

diatur dalam Pasal 28 ayat (1);

f) Menimbulkan rasa kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antar-

golongan (SARA) sebagaimana diatur dalam pasal 28 ayat (2); dan

g) Informasi yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang

ditujukan kepada pribadi sebagaimana diatur dalam pasal 29.

h) Dengan cara apapun mengakses secara tidak sah terhadap sistem elektronik

sebagaimana diatur dalam pasal 30; dan

i) Intersepsi tidak sah terhadap informasi atau dokumen elektronik dan sistem

elektronik sebagaimana diatur dalam pasal 31.

b. Tindak pidana yang berkaitan dengan gangguan (interferensi) terhadap

informasi atau dokumen elektronik, yaitu terdiri atas perbuatan berupa:


a) Gangguan terhadap informasi atau dokumen elektronik sebagaimana diatur

dalam Pasal 32;

b) Gangguan terhadap sistem elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 33.

c. Tindak Pidana yang memfasilitasi perbuatan yang dilarang oleh hukum

sebagaimana diatur dalam pasal 34; dan

d. Tindak pidana pemalsuan informasi atau dokumen elektronik sebagaimana

diatur dalam Pasal 35.41

8. Peraturan yang Mengatur tentang Penipuan

Peraturan yang mengatur kasus penipuan online yaitu sebagai berikut:

a. Pasal 378 KUHP

“Barang siapa yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain

secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan

tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan, menggerakan orang lain untuk

menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun

menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama

empat tahun.”42

b. Undang-Undang ITE Nomor 11 Tahun 2008 Pasal 28 Ayat (1)

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan

menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik,

41
Widodo. Memerangi Cybercrime karakteristik, motivasi, dan strategi penanganannya dalam perspektif
kriminologi. Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2013, hlm 9
42
Republik Indonesia,”Kitab Undang-Undang Hukum Pidana” (Permata Press, 2007) hlm 125-126.
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp 1000.000.000,00 (satu miliyar rupiah).”43

9. Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana

BAB IX Undang-undang Dasar 1945 pasal 24 dan pasal 25 menjamin adanya

suatu kekuasaan kehakiman yang bebas, serta penjelasan pada pasal 1 ayat (1) Undang-

Undang No. 48 tahun 2009, yaitu kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang

merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Repbulik Indonesia tahun

1945, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka, maka kekuasaan ini

harus terbebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan yudisial. Kebebasan dalam

melakukan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk

menegakkan hukum dan keadilan sesuai pancasila, sehingga putusannya mencerminkan

rasa keadilan bagi rakyat. Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang No. 48 tahun 2009

menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan

peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan

peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara,

dan oleh sebuah mahkamah konstitusi. 44

Pertimbangan hakim dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu sebagai berikut:

1) Pertimbangan Yuridis

43
Republik Indonesia,”Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008” (Yogyakarta:
Penerbit Jogja Bangkit, 2009) hlm 31.
44
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hlm 94
Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-

fakta yuridis yang terungkap di dalam persidangan dan oleh undang-undang telah

ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Hal yang dimaksudkan

tersebut di antaranya yaitu dakwaan jasa penutut umum, keterangan terdakwa dan

saksi, barang-barang bukti, pasal-pasal dalam peraturan hukum pidana, dan lain

sebagainya.45

a) Dakwaan jasa penuntut umum

Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan itulah

pemeriksaan di persidangan dilakukan. Dakwaan selain berisikan identitas

terdakwa juga memuat uraian tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut

waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Perumusan dakwaan didasarkan

atas hasil pemeriksaan pendahuluan yang disusun tunggal, kumulatif, alternatif,

ataupun subsudair.

b) Keterangan terdakwa

Keterangan terdakwa menurut KUHAP pada pasal 184 butir e, digolongkan

sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di

sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau yang ia

alami sendiri. Dalam praktik keterangan terdakwa sering dinyatakan dalam bentuk

pengakuan dan penolakan, baik sebagian maupun keseluruhan terhadap dakwaan

penuntut umum dan keterangan yang disampaikan oleh para saksi. 46

c) Keterangan saksi

45
Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, PT Grafindo Persada, Yogyakarta, 2006, hlm 124
46
Ibid, hlm 126-127
Keterangan saksi adalah salah satu komponen yang harus diperhatikan

hakim dalam menjatuhkan putusannya. Keterangan saksi dapat dikategorikan

sebagai alat bukti sepanjang keterangan itu mengenai sesuatu peristiwa pidana

yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan alami sendiri serta harus disampaikan di

dalam sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah.

d) Barang-barang bukti

Pengertian barang bukti adalah semua benda yang dapat dikenakan

penyitaan dan yang diajukan oleh penuntut umum di depan sidang pengadilan yang

meliputi:

1) Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa seluruhnya atau sebagian

diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil tindak pidana

2) Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana

atau untuk mempersiapkan

3) Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi tindak penyidikan tindak

pidana

4) Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan untuk melakukan tindak

pidana

5) Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana

yang dilakukan47

e) Pasal-pasal peraturan hukum pidana

Salah satu hal yang sering terungkap di dalam proses persidangan adalah

pasal-pasal peraturan hukum pidana. Pasal-pasal ini bermula terlihat dan terungkap

dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum, yang diformulasikan sebagai


47
Ibid, hlm 130-134
ketentuan hukum pidana yang dilanggar oleh terdakwa. Pasal-pasal tersebut

kemudian dijadikan dasar pemidanaan atau tindakan oleh hakim. 48

2) Pertimbangan Non Yuridis

Berikut ini keadaan-keadaan yang golongkan sebagai pertimbangan yang

bersifat non yuridis:

a) Latar belakang perbuatan terdakwa

Latar belakang perbuatan terdakwa adalah setiap keadaan yang menyebabkan

timbulnya keinginan serta dorongan keras pada diri terdakwa dalam melakukan

tindak pidana kriminal. Keadaan ekonomi yang menjadi salah satu faktor kejahatan

itu dilakukan atas dasar latar belakang kemiskinan, kekurangan, atau kesengsaraan

merupakan suatu keadaan ekonomi yang sangat keras mendorong terdakwa

melakukan perbuatannya.

b) Akibat perbuatan terdakwa

Perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa sudah pasti membawa korban

ataupun kerugian pada pihak lain. Pada perbuatan pidana pembunuhan misalnya

akibat yang terjadi adalah matinya orang lain. Selain itu, berakibat buruk pada

keluarga korban apabila yang menjadi korban itu tulang punggung dalam kehidupan

keluarganya.

c) Kondisi diri terdakwa

Kondisi diri terdakwa adalah keadaan fisik maupun psikis terdakwa sebelum

melakukan kejahatan, termasuk pula status sosial yang melekat pada dirinya.

Keadaan fisik yang dimaksudkan adalah usia dan tingkat kedewasaan, sementara

keadaan psikis yang dimaksudkan adalah berkaitan dengan perasaan, misalnya


48
Ibid, hlm 135
dalam keadaan marah, mempunyai dendam, mendapat ancaman atau tekanan orang

lain dan pikiran dalam keadaan kacau atau tidak normal. Adapun yang dmaksudkan

dengan status sosial adalah predikat yang dimiliki dalam masyarakat yakni apakah

sebagai pejabat, tokoh masyarakat, ataukah sebagai gelandangan, dan sebagainya.

d) Keadaan sosial ekonomi terdakwa

Di dalam KUHP maupun dalam KUHAP tidak ada satu aturan pun yang

dengan jelas memerintahkan bahwa keadaan sosial ekonomi terdakwa harus

dipertimbangkan di dalam menjatuhkan putusan yang berupa pemidanaan. Hal ini

berbeda dengan konsep KUHP baru di mana terdapat ketentuan mengenai pedoman

pemidanaan yang harus dipertimbangkan oleh hakim. 49

H. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Jenis

penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif

adalah penelitian yang mengkaji tentang data kepustakaan mengenai bahan hukum primer,

sekunder, tersier, seperti rancangan Undang-Undang, hasil penelitian, atau pendapat pakar

hukum.

49
Ibid, hlm 141
2. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan 2 (dua) metode pendekatan, yaitu:

1. Pendekatan Perundang-undangan

Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan yang mengkaji tentang asas-

asas hukum, norma-norma hukum atau peraturan perundang-undangan baik yang berasal

dari undang-undang, dokumen, buku-buku, dan sumber-sumber resmi yang berkaitan

dengan penelitian ini.

2. Pendekatan Konseptual

Pendekatan konseptual yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengkaji

konsep-konsep, asas-asas hukum, prinsip-prinsip hukum serta pandangan,

doktrin/pendapat para ahli yang terkait langsung dengan pokok permasalahan yang akan

dibahas.

3. Sumber dan Jenis Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga bahan

hukum, yaitu:

1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat. Bahan hukum primer

dalam penelitian ini yaitu Peraturan Perundangan-Undangan yaitu Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP), dan Undang-Undang tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008 (ITE).

2. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, berupa hasil-hasil penelitian

yang berkaitan dengan objek permasalahan yang diteliti dan pendapat pakar hukum.
3. Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang melengkapi bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder seperti kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia.

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan bahan hukum studi dokumen yaitu

salah satu metode pengumpulan data yang berkaitan dengan ilmu hukum seperti Undang-

undang, buku, jurnal, laporan penelitian, artikel ilmiah, makalah, bahan hukum seminar,

internet, dan sebagainya.

5. Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan hukum setelah terkumpul selanjutnya diklasifikasikan sedemikian

rupa dan selanjutnya untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan penelitian. Bahan

hukum analisis dengan penjelasan secara sistematis terhadap aturan-aturan yang terkait

dengan tindak pidana penipuan online dan pandangan doktrin yang terkait dengan

permasalahan, guna untuk menjawab permasalahan yang dirumuskan.

Anda mungkin juga menyukai