Anda di halaman 1dari 4

Rabu, 20 February 2019

Pasal-pasal Pidana yang Bisa


Jerat Perusahaan Fintech Ilegal
Permasalahan fintech ini bahkan merenggut nyawa nasabah yang memilih
bunuh diri akibat depresi karena penagihan pinjaman. Berbagai bentuk
pelanggaran fintech ini dapat dijerat secara pidana.
Mochamad Januar Rizki
Ilustrasi: BAS
BERITA TERKAIT
 Gagal Bayar Pinjaman Fintech, Bisakah Dikenakan Pidana?
 Regulasi-regulasi Soal Fintech Ini ‘Curi Perhatian’ Selama 2018
 Tak Semua Aduan Fintech Ilegal Dapat Ditindaklanjuti Satgas
 Duh, Penyelesaian Hukum Ribuan Pengaduan Fintech Masih Tak Jelas
 Berkaca dari Kasus Vloan, Masyarakat Diminta Waspada Lakukan Pinjaman Online
Permasalahan pinjaman online atau financial technology peer to peer
lending (fintech P2P) kian hari terus menjadi sorotan publik. Terakhir,
permasalahan fintech ini bahkan merenggut nyawa nasabah yang memilih bunuh
diri akibat depresi karena penagihan pinjaman tersebut. Sayangnya, penyelesaian
hukum permasalahan ini masih minim sehingga kasus-kasus serupa terus
bermunculan.

Bentuk pelanggaran perusahaan fintech ini juga beragam jenisnya. Mulai


penagihan intimidatif, penyebaran data pribadi hingga pelecehan seksual diduga
terjadi dalam persoalan ini. Ragam dugaan pelanggaran tersebut salah satunya
bersumber dari hasil laporan pengaduan masyarakat yang diterima Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Jakarta sejak tahun lalu.

LBH Jakarta mencatat sebanyak 14 pelanggaran hukum dan hak asasi manusia
yang dialami oleh korban aplikasi pinjaman online. Pelanggaran-pelanggaran
tersebut sebagai berikut:

1. Bunga yang sangat tinggi dan tanpa batasan.


2. Penagihan yang tidak hanya dilakukan pada peminjam atau kontak darurat yang disertakan
oleh peminjam.
3. Ancaman, fitnah, penipuan dan pelecehan seksual.
4. Penyebaran data pribadi.
5. Penyebaran foto dan informasi pinjaman ke kontak yang ada pada gawai peminjam.
6. Pengambilan hampir seluruh akses terhadap gawai peminjam.
7. Kontak dan lokasi kantor penyelenggara aplikasi pinjaman online yang tidak jelas.
8. Biaya admin yang tidak jelas.
9. Aplikasi berganti nama tanpa pemberitahuan kepada peminjam, sedangkan bunga pinjaman
terus berkembang.
10. Peminjam sudah membayar pinjamannya, namun pinjaman tidak hapus dengan alasan tidak
masuk pada sistem.
11. Aplikasi tidak bisa di buka bahkan hilang dari Appstore / Playstore pada saat jatuh tempo
pengembalian pinjaman.
12. Penagihan dilakukan oleh orang yang berbeda-beda.
13. Data KTP dipakai oleh penyelenggara aplikasi pinjaman online untuk mengajukan pinjaman di
aplikasi lain.
14. Virtual Account pengembalian uang salah, sehingga bunga terus berkembang dan penagihan
intimidatif terus dilakukan.

Pengacara publik LBH Jakarta, Jeanny Silvia Sirait menjelaskan setiap bentuk
pelanggaran fintech legal maupun ilegal seharusnya menjadi tanggung jawab
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Itu (pelanggaran) tanggung jawab OJK bahwa
UU OJK pasal 4,5 dan 6 mengatur itu. Jadi kalau dibilang aspek hukum apa
menjerat pinjol tersebut jelas OJK sendiri punya aturan ke sana, baik dia terdaftar
atatu tidak,” jelas Jeanny kepada hukumonline, Selasa (19/2).

(Baca Juga: Gagal Bayar Pinjaman Fintech, Bisakah Dikenakan Pidana?)

Lebih lanjut, Jeanny juga menjelaskan terdapat aturan lain bagi perusahaan
fintech yang terbukti melakukan pelanggaran hukum. Misalnya, dia menjelaskan
bagi perusahaan fintech yang melakukan pelanggaran berupa penyeberan data
pribadi dapat dikenakan Pasal 32 juncto (jo) Pasal 48 UU No. 11 Tahun 2008
Juncto UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Kemudian, pengancaman perusahaan fintech terhadap nasabah dapat dijerat
dengan Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 29 jo
Pasal 45B UU ITE.

“Mesti dilihat dahulu bentuk pelanggaran seperti apa yang dapat disesuaikan
dengan jeratan hukumnya. Hampir semua mengadu pada kami di awal-awal
pelaporan korban mengaku depresi yang penyebabnya karena intimidasi,” jelas
Jeanny.

1. Penyebaran data pribadi (Pasal 32 jo Pasal 48 UU ITE)


2. Pengancaman dalam penagihan (Pasal 368 KUHP dan Pasal 29 jo 45 UU ITE)
3. Penipuan (Pasal 378 KUHP)
4. Fitnah (311 Ayat 1 KUHP)
5. Pelecehan seksual melalui media elektronik (Pasal 27 Ayat 1 jo 45 Ayat 1 UU ITE)
Sementara itu, Direktur LBH Jakarta Arif Maulana menjelaskan perusahaan
fintech “nakal” tersebut juga dapat dijerat Pasal 55 KUHP karena terlibat dalam
tindakan pidana. Apabila, tindak pidana tersebut sampai berbentuk kekerasan
fisik, pengambilan barang maka dapat dikenakan sanksi sesuai dengan KUHP
Pasal 170, Pasal 351, Pasal 368 Ayat 1, Pasal 335 Ayat 1 pasca-putusan
Mahkamah Konstitusi.

Sehubungan dengan kasus bunuh diri nasabah fintech, Direktur LBH Jakarta Arif
Maulana mengatakan kepolisian harus mencari penyebab terjadinya kasus
tersebut. Terlebih lagi, ada dugaan penyebab bunuh diri ini terjadi karena depresi
korban karena pinjaman fintech.

“Polisi harus menuntaskan penyelidikan dan harus dicari apakah memang ada
ancaman atau tindak pidana lain yang membuat yang bersangkutan kemudian
memilih bunuh diri,” jelas Arif.

Respons OJK
Menaggapi kasus bunuh diri nasabah fintech ini, OJK mengimbau kepada semua
masyarakat Indonesia untuk tidak melakukan peminjaman uang secara online.
Ketua Satgas Waspada Investasi, Tongam L Tobing, memberikan klarifikasinya
terkait peminjaman online yang sedang marak belakangan ini.

"Masyarakat diminta untuk tidak melakukan pinjaman terhadap fintech _P2P


lending tanpa terdaftar atau memiliki izin OJK," ucap Tongam seperti dikutip
dari Antara.

Lebih lanjut, Tongam menjelaskan mayoritas perusahaan fintech ilegal tersebut


pinjaman berbasis online ilegal yang sudah merambah ke media sosial. "Nah,
melihat berbagai kondisi ini, kami dari OJK dan asosiasi melakukan pendalaman,
dalam hal ini melakukan proses pengumpulan informasi. Selanjutnya fintech legal
dilarang meng-copy semua kontak yang ada di HP, hanya kontak darurat yang
boleh dikontak," jelas Tongam.

Hingga Februari 2019, OJK melalui Satgas Waspada Investasi, telah


memberhentikan layanan 231 penyelenggara pinjaman online. Dari jumlah
tersebut, OJK memastikan seluruhnya adalah layanan yang tidak terdaftar dan
tidak memiliki izin dari OJK.

Oleh karena itu, Satgas Waspada Investasi OJK telah membuat langkah
pencegahan terhadap "P2P lending" ilegal, yakni dengan mengumumkan
daftarnya lalu mengajukan permohonan pemblokiran melalui Kominfo untuk
memutus akses keuangannya dan menyampaikan laporan kepada Bareskrim
Polri.
Sebelumnya diberitakan pada Senin (11/2) lalu, seorang pengemudi taksi
bernama Zulfandi (35), ditemukan tewas di kamar kostnya di daerah Tegal Parang,
Jakarta Selatan. Zulfandi tewas gantung diri setelah diduga tidak kuat menghadapi
pola penagihan akibat pinjaman online yang ia lakukan sendiri. Melalui sepucuk
surat yang ia tulis sebelum melakukan aksinya, Zulfandi meminta kepada OJK dan
pihak berwajib untuk memberantas pinjaman online. (ANT)

Anda mungkin juga menyukai