id
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Diabetes Melitus (DM)
a. Definisi dan Diagnosis DM Tipe 2
Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin, atau keduanya. Pada DM tipe 2 terjadi karena defek progresif
pada sekresi insulin sehingga terjadi resistensi insulin (Grant et al, 2015).
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada pasien diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM berupa:
polyuria, polydipsia, dan penurunan beratbadan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan,
gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada
wanita (Rudianto et al, 2011).
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika
keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma
200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua, jika
%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
b. Kriteria Pengendalian DM
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan
pengendalian DM yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes
terkendali baik, apabila kadar glukosa darah mencapai kadar yang
diharapkan serta kadar lipid dan HbA1c juga mencapai kadar yang
diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah. Kriteria
keberhasilan pengendalian DM dapat dilihat pada tabel 2.1 (Rudianto et al,
2011)
2. Fibrilasi Atrium
a. Definisi Fibrilasi Atrium
Fibrilasi atrium adalah takiaritmia supraventrikel dengan karakteristik
aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi sehingga memperburuk fungsi
mekanik. Fibrilasi atrium merupakan gangguan irama jantung tersering,
yang makin meningkat prevalensinya dengan usia (Fuster et al, 2011).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
western blotting
atrium kiri kelinci diabetes berkorelasi positif dengan fibrosis atrium.
Fibrosis dapat memicu aritmogenesis atrium melalui beberapa
mekanisme (Gambar 2.3). Pertama, jaringan fibrosis dapat
memisahkan serabut-serabut otot atrium secara longitudinal (Gambar
2.3.A), sehingga membentuk hambatan fisik untuk konduksi.
Hambatan konduksi tipe ini membentuk gangguan konduksi lokal dan
blok yang memicu reentri. Kedua, fibrosis dikaitkan dengan
proliferasi fibroblas dan diferensiasinya menjadi fenotif miofibroblas,
meningkatkan kecenderungan interaksi fibroblas-kardiomiosit yang
erat. Interaksi antara kardiomiosit dan fibroblas via cell-coupling
connexin hemichannels menyebabkan fibroblas (dimana tidak bisa
dirangsang namun bisa menghantarkan arus) bekerja sebagai penurun
tegangan listrik untuk bioelektrik kardiomiosit (Gambar 2.3.B). Hal
ini mengakibatkan perlambatan konduksi, depolarisasi potensial
istirahat pada kardiomiosit, variasi efek pada durasi potensial aksi, dan
induksi spontan depolarisasi fase-4. Depolarisasi spontan
menyebabkan ektopik fokal dan perlambatan baik konduksi maupun
durasi potensial aksi sehingga memudahkan induksi dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
b.7. Inflamasi
Penelitian mengindikasikan inflamasi mungkin berperan dalam
pencetusan, berkembangnya dan menetapnya fibrilasi atrium (Sun and
Hu, 2009). Patofisiologi inisiasi fibrilasi atrium yang dipicu oleh
inflamasi secara langsung atau adanya kondisi inflamasi sistemik yang
memicu menetapnya fibrilasi atrium lebih lanjut masih belum jelas.
Kedua mekanisme tersebut saling berkaitan dan mengindikasikan
bahwa inflamasi tidak hanya respon terhadap proses aritmia yang
terjadi namun merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari aritmia
tersebut. Aktivasi atrium cepat telah terbukti memicu akumulasi
kalsium dengan miosit atrium sehingga terjadi kelebihan beban
kalsium dan pada beberapa kasus menginisiasi apoptosis pada miosit
atrium. Kerusakan miokardium atrium dapat memicu respon inflamasi
derajat rendah dan menjadi bagian dalam proses remodeling struktur
dengan peningkatan persistensi fibrilasi atrium (Engelmann and
Svendsen, 2005).
Alternatif lainnya, adanya kondisi inflamasi sistemik (DM) akan
meningkatkan C-reactive protein/CRP sirkulasi sehingga menjadi
predisposisi pasien mencetuskan fokus atrium dan berkembang
menjadi fibrilasi atrium. CRP dapat memiliki peranan secara langsung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Tabel 2.2. Prediksi kejadian fibrilasi atrium dengan pengukuran interval PA-
TDI (Modifikasi Yuasa and Imoto, 2016).
Jml pasien Durasi PA-TDI (milidetik)
FA (%)/ FA Non-FA Cut-off
non-FA (AUC)
*
De Vos et al FA onset baru 15(6)/234 172±25 150±20 165(0,74)
(2009)
Antoni et al FA onset baru 38(6)/575 138±29 109±16 127(0,84)
(2010) setelah IMA
Den Uijl et al Kekambuhan 74(35)/139 146±20 124±23 -(0,765)
(2011) setelah ablasi FA
Fujiwara et al FA setelah 35(40)/53 156±20 128±15 141(0,85)
(2014) operasi jantung
Takahashi et FA setelah 41(65)/22 155±19 137±13§ 147(0,80)
al (2014) operasi jantung
Takahashi et FA setelah 44(60)/29 159±22 141±20 159(0,74)
al (2015) operasi jantung
*P=0,001; P<0,001; P=0,0001; §P<0,01; FA, fibrilasi atrium; IMA, infark miokard
akut; AUC, area under curve
PA-TDI >190 milidetik versus 0% pada pasien dengan interval PA-TDI <
130 milidetik.
2. Waktu konduksi interatrium total memanjang pada pasien diabetes mellitus
a. Kato et al (2006) melakukan pengukuran waktu konduksi interatrium dari
apendik atrium kanan sampai kiri dengan pemeriksaan elektrofisiologi
dan melaporkan peningkatan waktu konduksi interatrium yang bermakna
pada atrium diabetik tikus dibandingkan kontrol (p<0.01 dibanding
kontrol).
b. Liu et al (2012) melakukan pemeriksaan elektrofisiologi dan histologi
pada kelinci dan didapatkan hasil bahwa waktu konduksi interatrium total
memanjang secara bermakna pada kelompok diabetik dibandingkan
kontrol (37.91±6.81 versus 27.43±1.63 milidetik, p<0.01) dan dispersi
periode refrakter efektif atrium meningkat pada kelompok diabetik
dibandingkan kontrol (30.37±8.33 versus 14.70±5.16 mili detik, p<0.01).
3. Waktu konduksi interatrium total berhubungan dengan inflamasi pada pasien
DM
Bakirci et al (2015) menemukan bahwa waktu konduksi interatrium total
sebagai prediktor fibrilasi atrium memanjang secara bermakna pada individu
DM tipe 2 dibanding individu sehat (131.7 ± 23.6 versus 113.1 ± 21.3,
p<0.001). Waktu konduksi interatrium total berkorelasi positif dengan kadar
hsCRP (r=0.197, p=0.024), rasio neutrophil limfosit (r=0.311, p<0.001) dan
ketebalan tunika intima media karotis (r=0.364, p<0.001). Hal ini
mengindikasikan bahwa aterosklerosis subklinis dan inflamasi berhubungan
secara bebas dengan waktu konduksi interatrium total. Oleh karena itu,
aterosklerosis subklinis dan inflamasi dapat menjadi mekanisme terjadinya
pemanjangan waktu konduksi interatrium total. Pemanjangan waktu konduksi
interatrium total dapat merupakan penanda awal keterlibatan jantung
subklinis pada pasien DM tipe 2 yang belum terbukti secara klinis memiliki
penyakit kardiovaskular.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
C. Kerangka Pikir
Keterangan:
1 : mengaktivasi
2 : variabel yang diperiksa
atrium. Fokus ektopik juga berperan menyebabkan fibrilasi atrium dengan bekerja
pada substrat reentri yang sesuai (Goudis et al, 2015; Nattel et al, 2008).
Di sisi lain, adanya inflamasi sistemik akan meningkatkan kadar IL-6 yang
akan stimulasi produksi CRP di hati (Yap, 2009). Peningkatan kadar CRP yang
dapat menjadi predisposisi timbulnya fibrilasi atrium karena dapat menimbulkan
fokus ektopik di atrium (Madrid, 2006).
D. Hipotesis Penelitian
1. Ada hubungan antara waktu konduksi interatrium total dengan hsCRP pada
pasien DM tipe 2.
2. Ada hubungan antara waktu konduksi interatrium total dengan status kontrol
glikemik pada pasien DM tipe 2.